• Tidak ada hasil yang ditemukan

!"#!!$$%#& ( ##&'2# )**+,-.)/

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "!"#!!$$%#& ( ##&'2# )**+,-.)/"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

929 3737 6983 3235 5699892

57598929796998 56 8992 99 352

98657399233 9289333318969671 989983

9693 39936

2567

 !"#!!$$%#& # #&'2# ( 9516239 )**+,-.)/) 91 8973 15 5699892 6 069 6 5733 15 5699892 5  11 3-*).

(3)
(4)
(5)
(6)

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Penulisan karya ilmiah akhir ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Profesi Keperawatan. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan karya ilmiah akhir ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan karya ilmiah akhir ini, oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:

1) Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan serta nasehat selama penulis menjalani studi di FIK UI.

2) Ibu Kuntarti, SKp., M.Biomed selaku Koordinator Mata kuliah Tugas Akhir dan Ketua Program Studi Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan karya ilmiah akhir ini.

3) Ibu Siti Chodidjah, SKp,M.N selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan arahan dan masukan berharga dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini.

4) Bapak Ns. Faisal S.kep selaku pembimbing klinik yang telah menyediakan waktu dalam memberikan bimbingan yang bermanfaat dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini.

5) Teman-teman seperjuangan FIK UI 2010 yang telah memberikan semangat dan bantuan kepada saya hingga penyelesaian karya ilmiah akhir ini.

6) Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan karya ilmiah akhir ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga karya ilmiah akhir ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Depok, 11 Juli 2013 Penulis v Universitas Indonesia

(7)
(8)

Program Studi : Ilmu Keperawatan

Judul : Analisis Praktek Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Klien Atresia Ani di lantai III Utara RSUP Fatmawati

Karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak dengan atresia ani pre dan postoperasi tutup kolostomi, dengan aplikasi terapi musik untuk mengurangi nyeri. Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), dimana tidak adanya lubang anus. Perawatan pre dan postoperasi tutup kolostomi menimbulkan nyeri pada anak. Salah satu intervensi untuk meminimalkan nyeri tersebut dengan menggunakan terapi musik. Terapi musik merupakan salah satu penatalaksanaan nyeri nonfarmakologis. Nyeri post operasi dan tindakan invasif perlu penanganan untuk meminimalkan rasa sakit yang dirasakan anak. Hasil dari penerapan intervensi terapi musik yang telah dilakukan pada anak atresia ani selama 3 hari untuk mengurangi nyeri terbukti efektif menurunkan skala nyeri klien dari skala nyeri 5 menjadi 3 dengan menggunakan FLACC postoperative pain scale.

Kata kunci: anak, atresia ani, nyeri, terapi musik.

(9)

Study Program : Nursing Science

Topic : Analysis of Urban Community Health Nursing Clinical Practice on the Atresia Ani Client in the North Third Floor of RSUP Fatmawati .

This final scientific work aims to provide an overview of nursing care to children with pre and postoperative atresia ani closed colostomy, with the application of music therapy to reduce pain. Atresia ani is a congenital abnormality, where there is no anal duct. Operative procedur to treat this congenital abnormality causes the children pain. Music therapy can be used to minimize the pain. Music therapy is one of the non-pharmacological pain management. Music therapy proved reduce the pain effectively to from scale of 5 to 3 with the using of FLACC postoperative pain scale.

Keywords: children, atresia ani, pain, music therapy.

(10)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN BEBAS PLAGIAT ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii ABSTRACT ... viii DAFTAR ISI ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... xi BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penulisan ... 3 1.3.1 Tujuan Umum ... 3 1.3.2 Tujuan Khusus ... 3 1.4 Manfaat Penulisan ... 4 1.4.1 Manfaat Teoritis ... 4 1.4.2 Manfaat Aplikatif ... 4 1.4.3 Manfaat Metodologis... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Atresia Ani ... 6 2.1.1 Pengertian ... ……. 6 2.1.2 Etiologi ... 7 2.1.3 Patofisiologi ... 7 2.1.4 Klasifikasi ………. 8 2.1.5 Manifestasi Klinik………. 9 2.1.6 Penetapan Diagnosis……… 9 2.1.7 Penanganan………... 9 2.1.8 Komplikasi……… 12 2.1.9 Masalah Keperawatan………. 13 2.1.10 Intervensi Keperawatan……… 13 2.2 Nyeri………... 14 2.2.1 Pengertian Nyeri……… 14 2.2.2 Klasifikasi Nyeri………. 15 2.2.3 Mekanisme Nyeri……… 16

2.2.4 Teori Pengontrolan Nyeri……… 18

2.2.5 Skala Penilaian Nyeri……… 19

2.2.6 Penatalaksanaan Nyeri……… 21

2.3 Terapi Musik………. 23

2.4 WOC Atresia Ani……….. 26 ix Universitas Indonesia

(11)

3.3 Intervensi Keperawatan ... 30

3.4 Implementasi Keperawatan…...……… 31

3.5 Evaluasi Keperawatan ... 32

BAB 4 ANALISIS SITUASI ... 34

4.1 Profil Lahan Praktik ... 34

4.2 Analisis Masalah Keperawatan Dengan Konsep Terkait KKMP Dan Konsep Kasus Terkait ... ... 35

4.3 Analisis Salah Satu Intervensi Dengan Konsep Penelitian Terkait ... 36

4.4 Alternatif Pemecahan Yang Dapat Dilakukan ... 38

BAB 5 PENUTUP ... 39 5.1 Kesimpulan ... 39 5.2 Saran ... 39 DAFTAR PUSTAKA ... 41 LAMPIRAN x Universitas Indonesia

(12)

Lampiran 1 – Pengkajian klien dengan atresia ani

Lampiran 2 – Nursing care plans klien dengan atresia ani Lampiran 3 – Catatan perkembangan klien dengan atresia ani

(13)

1.1 Latar Belakang

Atresia ani atau anus imperporata adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang ke luar (Wong,2004). Sebagian besar prognosis atresia ani biasanya baik bila didukung perawatan yang tepat dan juga tergantung kelainaan letak anatomi saat lahir. Atresia ani bila tidak segera ditangani maka dapat terjadi komplikasi seperti obstruksi intestinal, konstipasi dan inkontinensia feses.

Kehidupan masyarakat perkotaan erat kaitannya dengan kepadatan penduduk, dan polusi udara. Sulitnya mencari pekerjaan untuk kaum urban berpendidikan rendah, membuat banyak kaum urban berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah. Tinggal di pemukiman padat dan kumuh dengan polusi udara dan pola konsumsi nutrisi yang mungkin kurang baik. Rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi sangat memungkinkan terbatasnya keluarga dengan ibu hamil terpapar dengan informasi kesehatan tentang nutrisi kehamilan. Nutrisi yang dikonsumsi ibu selama kehamilan dipercaya dapat mempengaruhi perkembangan janin. Polusi udara dari asap rokok/nikotin dikaitkan dengan retardasi pertumbuhan janin dan peningkatan mortalitas dan morbiditas bayi dan perinatal (Bobak, 2005). Atresia ani merupakan salah kelainan kongenital yang dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan atau keduanya.

Atresia ani terjadi pada 1 dari setiap 4000-5000 kelainan hidup. Secara umum atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemuai pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan jenis atresia ani yang paling banyak ditemukan adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular

(14)

Angka kejadian kasus atresia ani di RSUP fatmawati selama kurun waktu 3 bulan dari Januari sampai Maret 2013 ada sekitar 14 kasus dari 100 klien yang dirawat di gedung Teratai lantai III Utara. Dari 14 kasus atresia ani tersebut sekitar 7 kasus dirawat untuk tutup kolostomi.

Atresia ani letak tinggi memerlukan penatalaksanaan operasi bertahap yaitu pembuatan kolostomi, pembuatan saluran anus/PSARP (posterior sagital

anorectoplasty), dan yang terakhir tutup kolostomi. Perawatan pada klien tutup

kolostomi memerlukan perhatian yang serius terutama pada penatalaksanaan cairan intravena dan perawatan luka. Nyeri, puasa lama, dan hari perawatan yang lama menimbulkan trauma bagi anak. Perawat memegang peranan penting dalam mengurangi efek hospitalisasi pada anak, terutama nyeri.

Dunia anak adalah dunia bermain, khususnya bagi anak yang berusia 1- 3 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan tersebut harus dijaga kelangsungannya dengan upaya stimulasi yang dpat dilakukan, sekalipun anak dalam perawatan dirumah sakit. Bermain pada anak di rumah sakit sebagai media bagi anak untuk mengekspresikan perasaan, relaksasi, dan distraksi perasaan yang tidak nyaman (Supartini, 2004). Terapi musik dapat di jadikan alternatif dalam meminimalkan nyeri dan ketidaknyamanan pada anak yang mengalami hospitalisasi sebagai bagian dari program bermain pada anak.

Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik atau elemen musik oleh seorang terapis untuk meningkatkan, mempertahankan dan mengembalikan kesehatan mental, fisik, emosional, dan spiritual. Terapi musik disebut juga sebagai terapi pelengkap Penggunaan terapi musik bisa diterapkan kepada setiap anak dalam berbagai kondisi. Terapi musik bisa dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan anak yang menjalani serangkaian tindakan.prosedur keperawatan selama di rawat di rumah sakit.

(15)

1.2 Perumusan Masalah

Tindakan invasif seperti pemasangan infus dan perawatan luka merupakan salah satu prosedur yang menimbulkan kecemasan dan ketakutan serta rasa tidak nyaman bagi anak akibat nyeri yang dirasakan saat prosedur tersebut dilaksanakan. Anak seringkali merasa takut dan menganggap prosedur tindakan dapat mengancam integritas tubuhnya. Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri anak usia toddler akan ditunjukan dengan perilaku menangis, menjerit, menolak perawat, dan tidak kooperatif (Wong,2006).

Berbagai upaya perawat dilakukan untuk meminimalkannya dalam meningkatkan rasa nyaman anak baik secara mandiri maupun kolaboratif. Terapi musik merupakan salah satu upaya dalam intervensi keperawatan untuk mengatasi atau meminimalkan nyeri secara nonfarmakologis yang diketahui efektif menurunkan nyeri yang ditimbulkan akibat prosedur invasif, namun pada kenyataannya belum banyak dilaksanakan khususnya di Indonesia. Hal ini membuat penulis tertarik untuk mengetahui “ bagaimana pengaruh terapi musik terhadap asuhan keperawatan pada anak usia toddler dengan atresia ani pre dan post operasi tutup kolostomi yang dirawat di lantai 3 Utara RSUP Fatmawati”.

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi musik dalam menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan pada anak yang dirawat dengan atresia ani pre dan postoperasi tutup kolostomi.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Melakukan pengkajian yang dibutuhkan terkait dengan asuhan keperawatan pada anak dengan atresia ani pre dan psot operasi tutup kolostomi.

(16)

1.3.2.2 Mengidentifikasi masalah yang terjadi pada anak dengan atresia ani pre dan post operasi tutup kolostomi.

1.3.2.3 Membuat perencanaan asuhan keperawatan yang tepat bagi anak dengan atresia ani pre dan post operasi tutup kolostomi.

1.3.2.4 Mengidentifikasi terapi musik yang tepat dalam menururnkan intensitas nyeri dan kecemasan pada anak yang dirawat dengan atresia ani pre dan post operasi tutup kolostomi.

1.3.2.5 Menganalisis pengaruh terapi musik dalam menurunkan intensitas nyeri dan ketidaknyamanan pada anak dengan atresia ani pre dan psot operasi tutup kolostomi.

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Manfaat Keilmuan

Karya ilmiah ini berguna sebagai bahan pengajaran dan pengembangan ilmu yang dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan terkait terapi musik yang dapat digunakan untuk menrurnkan intensitas nyeri dan ketidaknyamanan dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan atresia ani pre dan post operasi tutup kolostomi.

1.4.2 Manfaat Aplikatif

Karya ilmiah ini berguna dalam memberikan berbagai cara alternatif untuk mempermudah perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dan meminimalkan nyeri dan ketidaknyamanan pada anak terutama yang dirawat dengan atresia ani pre dan post operasi tutup kolostomi.

(17)

1.4.3 Manfaat Metodologi

Hasil karya ilmiah ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam area keperawatan pediatrik yang berkaitan dengan bermain terapeutik pada anak dan untuk selanjutnya untuk meningkatkan keefektifan pemberian asuhan keperawatan kepada anak dengan atersia ani. Selain itu, karya ilmiah ini juga berguna sebagai bahan referensi dan dapat menjadi ide dalam mengembangkan penelitian selanjutnya terkait asuhan keperawatan anak denga atresia ani pre dan postoperasi tutup kolostomi dalam meminimalkan nyeri dan ketidaknyamanan selama hospitalisasi.

(18)

2.1 Atresia Ani 2.1.1 Pengertian

Atresia ani disebut juga anorektal anomali atau imperforata anus.

Merupakan kelainan kongenital dimana terjadi perkembangan abnormal pada anorektal di saluran gastrointestinal. Atresia ani atau anus imperporata adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang ke luar (Wong,2004). Atresia ani / Atresia rekti adalah ketiadaan atau tertutupnya rectal secara kongenital (Dorland, 1998). Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rektum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002). Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).

2.1.2 Etiologi

Penyebab kelainan ini belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa kasus, atresia ani kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan (seperti peggunaan obat-obatan dan konsumsi alkohol selama masa kehamilan) namun hal ini masih belum jelas (Bobak, 2005).

Kelainan genetik atau bawaan (autosomal) anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada minggu kelima sampai ketujuh pada usia kehamilan, terjadi gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital, biasanya karena gangguan perkembangan septum urogenital.

(19)

2.1.3 Patofisiologi

Pada usia gestasi minggu ke-5, kloaka berkembang menjadi saluran urinari, genital dan rektum. Usia gestasi minggu ke-6, septum urorektal membagi kloaka menjadi sinus urogenital anterior dan intestinal posterior. Usia gestasi minggu ke-7, terjadi pemisahan segmen rektal dan urinari secara sempurna. Pada usia gestasi minggu ke-9, bagian urogenital sudah mempunyai lubang eksterna dan bagian anus tertutup oleh membrane. Atresia ani muncul ketika terdapat gangguan pada proses tersebut.

Selama pergerakan usus, mekonium melewati usus besar ke rektum dan kemudian menuju anus. Persarafan di anal kanal membantu sensasi keinginan untuk buang air besar (BAB) dan juga menstimulasi aktivitas otot. Otot tersebut membantu mengontrol pengeluaran feses saat buang air. Pada bayi dengan malformasi anorektal (atresia ani) terjadi beberapa kondisi abnormal sebagai berikut: lubang anus sempit atau salah letak di depan tempat semestinya, terdapat membrane pada saat pembukaan anal, rectum tidak terhubung dengan anus, rectum terhubung dengan saluran kemih atau sistem reproduksi melalui fistula, dan tidak terdapat pembukaan anus.

2.1.4 Klasifikasi

2.1.4.1 Kelainan Rendah (Low Anomaly/Kelainan Translevator), ciri-cirinya adalah rektum turun sampai ke otot puborektal, spingter ani eksternal dan internal berkembang sempurna dengan fungsi yang normal, rektum menembus muskulus levator ani sehingga jarak kulit dan rektum paling jauh 2 cm. Tipe dari kelainan rendah antara lain adalah anal stenosis, imperforata membrane anal, dan fistula ( untuk laki-laki fistula ke perineum, skrotum atau permukaan penis, dan untuk perempuan anterior ektopik anus atau anocutaneus fistula merupakan fistula ke perineal, vestibular atau vaginal).

(20)

2.1.4.2. Kelainan Intermediet/Menengah (Intermediate Anomaly), ciri-cirinya adalah ujung rektum mencapai tingkat muskulus Levator ani tetapi tidak menembusnya, rektum turun melewati otot puborektal sampai 1 cm atau tepat di otot puborektal, ada lesung anal dan sfingter eksternal. Tipe kelainan intermediet antara lain, untuk laki-laki bisa rektobulbar/rektouretral fistula yaitu fistula kecil dari kantong rektal ke bulbar), dan anal agenesis tanpa fistula. Sedangkan untuk perempuan bisa rektovagional fistula, analgenesis tanpa fistula, dan rektovestibular fistula.

2.1.4.3 Kelainan Tinggi (High Anomaly/Kelainan Supralevator). Kelainan tinggi mempunyai beberapa tipe antara lain: laki-laki ada anorektal agenesis, rektouretral fistula yaitu rektum buntu tidak ada hubungan dengan saluran urinary, fistula ke prostatic uretra. Rektum berakhir diatas muskulus puborektal dan muskulus levator ani, tidak ada sfingter internal. Perempuan ada anorektal agenesis dengan fistula vaginal tinggi, yaitu fistula antara rectum dan vagina posterior. Pada laki dan perempuan biasanya rectal atresia.

Klasifikasi Berdasarkan Wingspread

Kelompok Kelainan Tindakan

I Laki-laki :Fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada, invertogram:udara >1 cm dari kulit Perempuan :Kloaka, fistel vagina, fistel anovestibular/ rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada,

invertogram:udara >1 cm dari kulit

Kolostomi neonatus; operasi definitif pada usia 4-6 bulan Kolostomi neonatus

II Laki-laki :Fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada, invertogram:udara <1 cm dari kulit Perempuan :Fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada, invertogram:udara <1 cm dari kulit

Operasi langsung pada neonatus

(21)

2.1.5 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik pada klien dengan atresia ani antara lain mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran atau keluar melalui saluran urin, vagina atau fistula. Pada bayi baru lahir tidak dapat dilakukan pengukuran sehu secara fekal. Distensi abdomen dapat terjadi bertahap dalam 8-24 jam pertama. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda-tanda obstruksi usus dan adanya konstipasi. Muntah pada bayi umur 24048 jam atau bila bayi diberi makan juga perlu diperhatikan. Pembukaan anal terbatas atau adanya misplaced pembukaan anal. Lebih dari 50% klien dengan atresia ani mempunyai kelainan congenital lain.

2.1.6 Penetapan diagnosis

Penetapan diagnosis untuk atresia ani dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan diagnostik. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan penampilan fisik anus, dan pembukaan anus. Pemeriksaan diagnostic yang dilakukan untuk menetapkan diagnosis atresia ani antara lain urinalisis, abdominal X-Ray, pyelogram intravena, USG abdomen, CT-Scan, MRI, kolonogram distal, aspirasi jarum, dan radiografi invertogram.

2.1.7 Penanganan

2.7.1 Penatalaksanaan Medis 1. Kolostomi

Bayi laki-laki maupun perempuan yang didiagnosa mengalami malformasi anorektal (atresia ani) tanpa fistula membutuhkan satu atau beberapa kali operasi untuk memperbaikinya. Kolostomi adalah bentuk operasi yang pertama dan biasa dilakukan. Kolostomi dilakukan untuk anomaly jenis kelainan tinggi (High Anomaly), rektovaginal fistula, rektovestibular fistula, rektouretral fistula, atresia rektum, dan jika hasil jarak udara di ujung

(22)

distal rektum ke tanda timah atau logam di perineum pada radiologi invertogram > 1 cm. Tempat yang dianjurkan ada 2 : transverso kolostomi dan sigmoidostomi. Bentuk kolostomi yang aman adalah stoma laras ganda.

Kolostomi merupakan perlindungan sementara (4-8 minggu) sebelum dilakukan pembedahan. Pemasangan kolostomi dilanjutkan 6-8 minggu setelah anoplasty atau bedah laparoskopi. Kolostomi ditutup 2-3 bulan setelah dilatasi rektal/anal postoperatif anoplasty. Kolostomi dilakukan pada periode perinatal dan diperbaiki pada usia 12-15 bulan

2. Dilatasi Anal (secara digital atau manual)

Dilatasi anal dilakukan pertama oleh dokter, kemudian dilanjutkan oleh perawat. Setelah itu prosedur ini diajarkan kepada orang tua kemudian dilakukan mandiri. Klien dengan anal stenosis, dilatasi anal dilakukan 3x sehari selama 10-14 hari. Dilatasi anal dilakukan dengan posisi lutut fleksi dekat ke dada. Dilator anal dioleskan cairan/minyak pelumas dan dimasukkan 3-4 cm ke dalam rektal.

Pada perawatan postoperatif anoplasty, dilatasi anal dilakukan beberapa minggu (umumnya 1-2 minggu) setelah pembedahan. Dilatasi anal dilakukan dua kali sehari selama 30 detik setiap hari dengan menggunakan Hegar Dilator. Ukuran dilator harus diganti setiap minggu ke ukuran yang lebih besar. Ketika seluruh ukuran dilator dapat dicapai, kolostomi dapat ditutup, namun dilatasi tetap dilanjutkan dengan mengurangi frekuensi.

(23)

Ukuran Hegar Dilator:

Umur Anak Hegar Dilator

1-4 bulan 12 4-12 bulan 13 8-12 bulan 14 1-3 tahun 15 3-12 tahun 16 >12 tahun 17 3. Anoplasty

Anoplasty dilakukan selama periode neonatal jika bayi cukup umur dan tanpa kerusakan lain. Operasi ditunda paling lama sampai usia 3 bulan jika tidak mengalami konstipasi. Anoplasty digunakan untuk kelainan rektoperineal fistula, rektovaginal fistula, rektovestibular fistula, rektouretral fistula, atresia rektum.

4. Bedah Laparoskopik/Bedah Terbuka Tradisional

Pembedahan ini dilakukan dengan menarik rectum ke pembukaan anus.

2.7.2 Penatalaksanaan Non Medis 1. Toilet Training

Toilet training dimulai pada usia 2-3 tahun. Menggunakan strategi yang sama dengan anak normal,misalnya pemilihan tempat duduk berlubang untuk eliminasi dan atau penggunaan toilet. Tempat duduk berlubang untuk eliminasi yang tidak ditopang oleh benda lain memungkinkan anak merasa aman. Menjejakkan kaki le lantai juga memfasilitasi defekasi (Stark, 1994 dalam Hockenberry,2009).

(24)

2. Bowel Management

Meliputi enema/irigasi kolon satu kali sehari untuk membersihkan kolon.

3. Diet Konstipasi

Makanan disediakan hangat atau pada suhu ruangan, jangan terlalu panas/dingin. Sayuran dimasak dengan benar. Menghindari buah-buahan dan sayuran mentah. Menghindari makanan yang memproduksi gas/menyebabkan kram, seperti minuman karbonat, permen karet, buncis, kol, makanan pedas, pemakaian sedotan. 4. Diet Laksatif/Tinggi Serat

Diet laksatif/tinggi serat antara lain dengan mengkonsumsi makanan seperti ASI, buah-buahan, sayuran, jus apel dan apricot, buah kering, makanan tinggi lemak, coklat, dan kafein.

2.1.8 Komplikasi

Komplikasi jangka pendek yang dapat terjadi pada klien atresia ani adalah asidosis hiperkloremi, infeksi saluran kemih yang berkepanjangan, dan kerusakan uretra. Komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi antara lain eversi mukosa anal, stenosis, infaksi dan kostipasi, masalah toilet training, prolaps mukosa anorectal, dan fistula kambuhan. Komplikasi lainnya antara lain obstruksi intestinal dan inkontinensia bowel.

2.1.9 Masalah Keperawatan

Masalah keperawatan preoperasi pada klien atresia ani adalah gangguan pola eliminasi konstipasi, gangguan rasa nyaman, dan gangguan proses keluarga. Masalah keperawatan postoperasi yang mungkin muncul adalah gangguan rasa nyaman nyeri, risiko tinggi

(25)

infeksi, resiko tinggi kekurangan volume cairan, resiko kerusakan integritas kulit, dan resiko tinggi cedera.

2.1.10 Intervensi Keperawatan

Perawat bertanggung jawab dalam mengidentifkasi adanya kelainan anorektal berupa tidak adanya lubang anus, fistula genitourinari, dan kelainan tulang belakang. Bayi baru lahir yang tidak mengeluarkan feses dalam 24 jam setelah lahir membutuhkan pengkajian lebih lanjut dan mekonium yang keluar dari lubang yang salah harus segera dilaporkan.

Asuhan keperawatan preoperatif meliputi evaluasi diagnostik, pengurangan tekanan intraabdomen, dan keseimbangan cairan. Evaluasi diagnostik yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Intervensi untuk pengurangan tekanan intraabdomen adalah klisma atau washing out (WO). Intervensi untuk keseimbangan cairan dengan pemantauan intake dan output, penkes orang tua klien untuk memenuhi kebutuhan minum klien sesuai BB klien, dan kolaborasi pemberian cairan intravena.

Asuhan keperawatan post operatif anorektoplasti difokuskan pada penyembuhan luka operasi tanpa infeksi dan komplikasi lain, seperti: menjaga area anus tetap sebersih mungkin dengan perawatan yang sangan teliti, balutan temporer dan drain, perineal cleansing untuk mengurangi gesekan, zinc oxide dan hydrocolloids untuk mengurangi iritasi kulit, posisi side-lying prone dengan pinggang diangkat, posisi supine dengan kaki diangkat dengan sudut 90° terhadap tubuh, pemberian makanan secara teratur setelah ada gerakan peristaltik, NGT dipasang 48-96 jam post operasi sampai muncul peristaltik usus, dan pemberian cairan intra vena untuk menjaga keseimbangan cairan.

(26)

Perawatan kolostomi yang dilakukan adalah merawat kulit di sekitar stoma, menjaga integritas kulit dengan hydrocolloid dressing, zinc oxide, atau campuran antara zinc oxide dan stoma, sementara untuk menjaga kepatenan kolostomi dari tarikan bayi/anak, maka dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatian anak ketika mengganti kantung stoma dengan cara memberi mainan. Pendidikan Kesehatan yang dilakukan anatara lain: perawatan kolostomi, bowel management dan toilet training, modifikasi diet, dilatasi anal, dan dukungan kepada bayi.

2.2 Nyeri

2.2.1 Pengertian Nyeri

Nyeri bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri

yang sama dan respon setiap individu pun berbeda-beda. Nyeri dapat merupakan faktor utama yang menghambat kemampuan dan keinginan individu untuk pulih dari suatu penyakit (Potter & Perry, 2006). Karena persepsi nyeri sangat subjektif, individu yang bisa mengungkapkan nyerinya hanyalah yang mengalaminya (Strong, Unruh, Wright, & Baxter, 2002; Black & Hawks, 2009).

Nyeri adalah suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana terjadi kerusakan (International Assosiation for

Study of Pain (IASP), 2007). Menurut Kozier, et al. (2004), nyeri

adalah sensasi yang tidak menyenangkan dan sangat individual dan tidak dapat diungkapkan kepada orang lain. Nyeri juga didefinisikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Black dan Hawks (2009) nyeri merupakan perasaan yang tidak menyenangkan dan disebabkan oleh stimulus spesifik mekanis, kimia, elektrik pada

(27)

ujung-ujung saraf serta tidak dapat diserahterimakan kepada orang lain.

2.2.2 Klasifikasi Nyeri

Nyeri merupakan sensasi bagi tubuh ketika mengalami sesuatu. Nyeri menimbulkan respon seperti ketidaknyamanan, distress, dan penderitaan pada individu yang mengalaminya (Potter & Perry, 2006; Black & Hawks, 2009; Kozier, Erb, Berman, Snyder, 2010). Nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik, keduanya mempunyai mekanisme fisiologis yang berbeda sehingga memerlukan tindakan yang berbeda (Helms & Barone, 2008).

2.2.2.1 Nyeri Akut

Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan (Brunner & Suddarth, 2002). Nyeri akut memberikan peringatan bahwa penyakit atau cedera telah terjadi. Rasa sakit biasanya terbatas pada daerah yang terkena. Nyeri akut merangsang sistem saraf simpatik sehingga menghasilkan respon gejala yang meliputi peningkatan frekuensi jantung dan pernapasan, berkeringat, pupil melebar, gelisah, dan khawatir. Jenis nyeri akut meliputi somatik, viseral, dan nyeri alih (referred). Nyeri somatik adalah nyeri dangkal yang berasal dari kulit atau jaringan subkutan. Nyeri viseral berasal dari organ internal dan lapisan dari rongga tubuh, sedangkan

referred pain adalah nyeri yang dirasakan di daerah yang

jauh dari tempat stimulus (Helms & Barone, 2008).

2.2.2.2 Nyeri Kronik

Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih (Brunner & Suddarth, 2002). Nyeri kronik diartikan sebagai nyeri yang

(28)

menetap melebihi proses yang terjadi akibat penyakitnya atau melebihi waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan, biasanya 1 atau 6 bulan setelah onset, dengan kesulitan ditemukannya patologi yang dapat menjelaskan tentang adanya nyeri atau tentang mengapa nyeri tersebut masih dirasakan setelah proses penyembuhan selesai. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan (Perry & Potter, 2005). Klien yang mengalami nyeri kronik seringkali mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi ini membuat klien frustasi dan seringkali mengarah menjadi depresi psikologis (Perry & Potter, 2005). Anak-anak yang mengalami nyeri kronik atau berulang, sering kali membentuk strategi koping perilaku yang efektif, seperti meremas tangan, berbicara, menghitung, santai atau berfikir tentang kejadian-kejadian yang menyenangkan (Hockenberry & Wilson, 2009).

2.2.3 Mekanisme Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsangan nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berseppn hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut nosireseptor, secara anatomis reseptor nyeri ada yang bermielin dan ada yang tidak dari saraf perifer (Smeltzer & Bare, 2002; Rospond, 2008).

Nosiseptor atau reseptor nyeri merupakan saraf yang berespon terhadap stimulus nyeri yang berasal dari stimulus biologis, elektrik, thermal, mekanik, dan kimiawi. Nosiseptor ditemukan di sepanjang seluruh jaringan kecuali otak. Persepsi nyeri terjadi jika

(29)

stimulus ini ditransmisikan ke medulla spinalis dan kemudian diteruskan ke area pusat otak. Impuls nyeri berjalan ke bagian dorsal tulang belakang, dimana impuls tersebut melakukan sinaps dengan neuron di area dorsal pada substansi gelatinosa dan kemudian naik ke otak. Sensasi dasar nyeri terjadi di thalamus, dan berlanjut ke sistem limbik dan korteks serebri, dimana nyeri diterima dan diinterpretasikan (Helms & Barone, 2008).

Ada 2 (dua) tipe serabut saraf yang terlibat dalam transmisi nyeri. Serabut delta A yang besar menghasilkan nyeri yang didefinisikan dengan tajam, disebut “fast pain” atau “first pain”, yang secara khusus distimulus oleh luka potong, getaran listrik, atau karena pukulan fisik. Transmisi di sepanjang serabut A berlangsung sangat cepat dimana reflek tubuh dapatberespon dengan lebih cepat dari stimulus nyerinya, menghasilkan reaksi berupa penarikan bagian tubuh yang terkena stimulus sebelum seseorang merasa nyeri. Setelah nyeri pertama ini, serabut saraf C yang lebih kecil mengirimkan luka bakar atau sensasi rasa sakit, disebut sebagai “second pain”. Serabut C mentransmisikan nyeri lebih lambat daripada serabut A karena serabut C lebih kecil dan tidak memiliki selubung myelin. Serabut C merupakan satu-satunya serabut yang menghasilkan nyeri menetap atau konstan (Helms & Barone, 2008).

Berdasarkan teori gate control, stimulasi pada serabut saraf mentransmisikan stimulus yang tidak menyakitkan dapat memblok impuls nyeri di pintu dorsal. Sebagai contoh, jika reseptor sentuhan (A beta fibers) distimulasi, mereka mendominasi dan menutup pintu. Kemampuannya untuk memblok impuls nyeri merupakan alasan seseorang cenderung menarik sesegera mungkin dan mengirimkan pesan ke kaki ketika dia menginjak benda tajam. Sentuhan dapat memblok transmisi

(30)

dan durasi impuls nyeri. Hal ini memiliki implikasi untuk penggunaaan sentuhan dan masase untuk pasien yang mengalami nyeri (Helms & Barone, 2008).

2.2.4 Teori Pengontrolan Nyeri

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) menyatakan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa substansia di dalam kornu dorsalis pada medulla spinalis, thalamus dan sistem limbik. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri (Perry & Potter, 2005). Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi P untuk menghantarkan impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat.

Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi

mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari

serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opioid endogen, seperti endorpin dan dinorpin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup

(31)

mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. Teknik distraksi, konseling, dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorpin (Perry & Potter, 2005).

2.2.5 Skala Penilaian Nyeri

Skala (alat) penilaian nyeri merupakan tindakan pelaporan nyeri yang bersifat kuantitatif. Untuk mendapatkan penilaian intensitas nyeri yang paling valid dan dapat dipercaya maka skala yang dipilih disesuaikan dengan usia, kemampuan, dan kesukaan anak (Hokenberry & Wilson, 2009). Beberapa skala penilaian nyeri untuk anak-anak antara lain:

2.2.5.1 Skala Analog Visual (Visual Analog Scale/VAS)

VAS adalah suatu garis lurus yang mewakili ontensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini member klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitive karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian daripada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Perry & Potter,2005). VAS mengukur besarnya nyeri pada garis sepanjang 10 cm. Biasanya berbentuk horizontal, tetapi mungkin saja ditampilkan secara vertikal. VAS ini dapat digunakan pada anak yang mampu memahami perbedaan dan mengindikasikan derajat nyeri yang sedang dialaminya (Hockenberry & Wilson, 2007).

(32)

2.2.5.2 Intensitas Nyeri Numerik (Numeric rating scale/NRS) Skala penilaian numeric/NRS lebih digunakan sebagai

pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien memnilai nyeri dengan menggunakan skala 0-5 atau 10. 2.2.5.3 Faces Rating Scale dari Wong Baker

Wong dan Baker (1988) mengembangkan skala wajah untuk mengkaji nyeri pada anak-anak. Skala tersebut terdiri dari enam wajah dengan profil kartun yang menggambarkan wajah yang sedang tersenyum (tidak merasa nyeri) kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah bahagia, wajah yang sangat sedih sampai wajah yang ketakutan (nyeri yang sangat). Anak-anak pada usia 3 tahun dapat menggunakan skala wajah ini (Potter & Perry, 2005). Kelebihan dari skala wajah ini anak dapat menunjukan sendiri rasa nyeri yang baru dialaminya sesuai dengan gambar yang telah ada dan skala wajah ini baik digunakan pada anak usia prasekolah.

2.2.5.4 FALCC Postoperative Pain Scale (Merkel,dkk,1997)

Salah satu skala nyeri yang mengunakan parameter perilaku dan fisiologik untuk mengukur nyeri pada anak-anak kecil nonverbal. Petunjuk yang paling umum dikaji dalam instrument tersebut adalah ekspresi wajah, tangisan, aktivitas, frekuensi jantung, dan atau saturasi oksigen , serta gerakan tubuh. Sayangnyan banyak dari petunjuk tersebut dapat dipengaruhi oleh kejadian selain nyeri ( Mis,kecemasan dan ketakutan) dan memungkinkan terjadinya kesalahan interpretasi.Skala ini digunakan pada anak usia 2 bulan sampai 7 tahun.

(33)

Skala nyeri FLACC

0 1 2

Wajah Tidak ada ekspresi atau senyuman tertentu

Seringai atau kerutan yang kadang-kadang, menarik diri, tidak berminat. Sering berubah menjadi kerutan konstan, rahang mengatup, dagu bergetar.

Tungkai Posisi normal atau

rileks Tidak tenang, gelisah,tegang Menendang tungkai ditarik ke atau atas.

Aktivitas Berbaring tenang, posisi normal, bergerak dengan mudah. Menggeliat, bergerak ke depan dan kebelakang, tegang. Menekuk, kaku, atau terkejut. Tangisan Tidak menangis

(terbangun atau tertidur) Mengeluh atau merengek, terkadang mengeluh Menangis terus-menerus, berteriak atau tersedu-sedu, sering mengeluh. Ketenangan Puas, rileks Ditenangkan dengan

sentuhan, pelukan, atau “diajak berbicara”, dapat distraksi. Sulit untuk ditenangkan atau dinyamankan. Rentang skor : 0 = tidak ada nyeri, 10= nyeri yang terburuk.

2.2.6 Penatalaksanaan Nyeri

Metode penatalaksanaan nyeri dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu nonfarmakologi dan farmakologi (Hockenberry & Wilson, 2009).

2.2.6.1 Penatalaksanaan Nonfarmakologi

Nyeri sering dihubungkan dengan takut, cemas, dan stres. Sejumlah teknik nonfarmakologi seperti distraksi, relaksasi, guided imagery, dan stimulasi kutaneus memberikan strategi koping yang dapat membantu mengurangi persepsi nyeri, membuat nyeri lebih dapat ditoleransi, menurunkan kecemasan, dan meningkatkan efektivitas analgesik (Vessey & Carlson, 1996 dalam Hockenberry & Wilson, 2009). Strategi nonfarmakologi ini bersifat aman, tidak invasif, dan tidak mahal serta sebagian besar merupakan fungsi keperawatan yang mandiri. Penelitian dengan beberapa strategi yang sesuai

(34)

dengan usia anak, intensitas nyeri, minat, dan kemampuan anak diperlukan untuk menentukan pendekatan yang paling efektif (Hockenberry & Wilson, 2009). Pedoman

Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR)

(1992) menjelaskan bahwa penatalaksanaan nyeri akut dengan menggunakan intervensi nonfarmakologi sesuai untuk klien dengan kriteria sebagai berikut: Klien merasa bahwa intervensi tersebut menarik, klien mengekspresikan kecemasan atau ketakutan, klien memperoleh manfaat dari upaya mengurangi terapi obat, klien memiliki kemungkinan untuk mengembangkan koping dengan interval nyeri pascaoperasi yang lama, dan untuk klien yang masih merasakan nyeri setelah menggunakan terapi farmakologi (Perry & Potter, 2005).

Teknik distraksi adalah teknik yang dilakukan untuk mengalihkan perhatian klien dari nyeri. Teknik distraksi yang dapat dilakukan adalah : melakukan hal yang sangat disukai seperti membaca buku, melukis atau menggambar. Melakukan kompres hangat pada bagian tubuh yang dirasakan nyeri, bernapas lembut dan berirama secara teratur, menyanyi berirama dan menghitung ketukannya, terapi musik, massage/pijatan, guided imagery, dan relaksasi.

2.2.6.2 Penatalaksanaan Farmakologi

Penggunaan metode farmakologi untuk mengendalikan nyeri membutuhkan perhatian terhadap enam benar yaitu benar obat, benar dosis, benar jalur, benar waktu, benar pasien, dan benar pendokumentasian. Selain itu observasi terhadap efek samping obat merupakan tindakan keperawatan yang sangat penting (Hockenberry & Wilson,

(35)

2009). Nonopioid mencakup asetaminofen dan obat antiinflamasi nonsteroid sesuai untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang. Opioid diperlukan untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat (Hockenberry & Wilson, 2009).

2.3. Terapi Musik

Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik atau elemen musik oleh

seorang terapis untuk meningkatkan, mempertahankan dan mengembalikan kesehatan mental, fisik, emosional dan spiritual. Penggunaan terapi musik bisa diterapkan kepada setiap orang dalam berbagai kondisi. Terapi musik bisa dilakukan untuk mengurangi rasa khawatir klien yang menjalani berbagai operasi atau serangkaian proses perawatan penyakit berat di rumah sakit. Potter dan Perry (2005) mendefinisikan terapi musik sebagai teknik menggunakan bunyi atau irama tertentu.

2.3.1 Menggunakan Musik Untuk Mengontrol Nyeri

Dalam pelaksanaan penggunaan musik untuk mengontrol nyeri dan meningkatkan kenyamanan, maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini (Potter & Perry, 2005): pilih musik yang sesuai dengan selera pasien, pertimbangkan usia dan latar belakang. Pastikan tombol-tombol kontrol di pesawat tape mudah di tekan, dimanipulasi, dan dibedakan. Apabila nyeri yang klien rasakan akut, kuatkan volume musik. Apabila nyeri berkurang, kurangi volume. Apabila tersedia musik latar, pilih jenis musik umum yang sesuai dengan keinginan klien. Musik harus didengrakan minimal 15 menit supaya dapat memberikan efek terapeutik.

(36)

Jenis musik yang digunakan dalam terapi musik dapat disesuaikan dengan keinginan, seperti musik klasik, instrumentalia, slow musik, musik modern dan lainnya. Musik lembut dan teratur seperti instrumentalia dan musik klasik merupakan musik yang sering digunakan untuk terapi musik (Potter & Perry, 2005). Gunakan musik sesuai dengan kesukaan klien terutama yang lembut dan teratur. Upayakan untuk tidak menggunakan jenis musik rock and roll, disco, metal, dan sejenisnya. Karena jenis musik tersebut mempunyai karakter berlawanan dengan irama jantung manusia.

2.3.3. Lama Mendengarkan Terapi Musik

Tidak ada pedoman waktu yang jelas dalam pelaksanaan terapi musik untuk mengalihkan efek yang diinginkan. Pemberian terapi musik dengan jenis musik yang tepat dan diberikan pada klien yang tepat tidak akan memberikan efek yang membahayakan walaupun diberikan dalam waktu yang agak lama. Pada beberapa klien, terapi musik yang hanya diberikan dalam waktu singkat dapat memberikan efek positif bagi klien (Muci & Muci, 2002). Dalam suatu studi yang mengamati pengaruh musik selama proses khitanan disebutkan bahwa musik dapat mengurangi rasa sakit dan mencegah peningkatan detak jantung bayi ( Media Indonesia, 1 Juni 2009 dalam Ariestia, 2010).

2.3.4. Panduan Atau Prosedur Terapi Musik

Panduan intervensi terapi musik sebagi teknik relaksasi adalah sebagai berikut: pastikan pendengaran klien baik, pastikan musik yang disukai dan tidak disukai klien, kaji kesukaan musik klien dan pengalaman sebelumnya dengan musik yang digunakan untuk relaksasi, bantu dalam pemilihan lagu, tentukan tujuan intervensi musik yang disepakati dengan klien atau orang tuanya, siapkan peralatan yang diperlukan, dan yakinkan semuanya dalam kondisi baik, bantu klien untuk mendapatkan posisis yang nyaman, bantu menggunakan peralatan jika diperlukan, ciptakan lingkungan yang

(37)

tenang. Setelah terapi musik diberikan, dokumentasikan pencapaian tujuan dan revisi intervensi jika dibutuhkan (Synder & Liquist, 2002).

(38)

Kegagalan penurunan septum anorektal pada embrional

Terjadi kegagalan dalam anagesis sacral dan abnormalitas pada uretrha dan vagina

Tidak ada kelengkapan migrasi perkembangan struktur kolon pada minggu ke 7-10 minggu dalam perkembangan fetal

ATRESIA ANI Low Intermediate High Laki-Laki :  Anorektal agenesis : - with rectopostatic-urethral fistula - without fistula  Rectal Atresia Perempuan :  Rectovesti bular fistula  Rectovaginal fistula Laki-Laki :  Recto- bulbar-urethral fistula Perempuan :  Anorektal agenesis : - with rectopostatic-urethral fistula - without fistula  Rectal Atresia Laki-Laki :  Agenesis without fistula  Anocutaneous fistula  Anal stenosis  Rare malformations Perempuan :

 Agenesis without fistula  Anovestibular fistula  Anocutaneous fistula  Anal stenosis  Cloaca  Rare malformations Faktor resiko :

 Putusnya sal. Cerna dari atas dengan daerah dubur  Gg. Pertumbuhan

fusi&pembentukan anus dari tonjolan embrionik  Kelainan bawaan  Penyebab : belum diketahui secara pasti Pemeriksaan Diagnosis:

1. Pemeriksaan fisik terhadap ada tidaknya lubang anal

2. USG abdomen dan pelvic, IVP, voiding cystourethrogram

3. MRI pelvic, radiografi, pemeriksaan fluoroskopi

4. Jika tidak ada fistel maka diindikasikan pemeriksaan invertogram

Gg pengeluaran feses Menumpuk bahan fekal Obstruksi

Muntah Dx. Resiko kekurangan volume cairan Distensi abdomen Mual Dx. Gg nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Gg.ekspansi paru Dx. Gg pola napas Adanya feses dalam urine

(39)

Dilakukan pembedahan sigmoid kolostomi dahulu setelah 6-12

bln,kemudian 3 bulan setelah itu tindakan definitive (PSARP) setelah 3 bulan dilakukan tutup colostomi

Dx : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terpajan dari feses sekunder akibat kolostomi

Tindakan pembedahan

Dx: Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan dan part entry kuman Komplikasi : infeksi saluran kemih

Dx : Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan.

Perubahan pola eliminasi :BAB

Trauma jaringan

Perawatan tidak adekuat

Dx. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan

(40)

3. 1 Pengkajian

Klien adalah An. S berusia 1 tahun 4 bulan, merupakan anak pertama keluarga bpk T. Selama kehamila ibu S kurang lebih 5 kali memeriksakan kandungannya ke bidan puskesmas, dan tidak secara rutin.Vitamin selama kehamilan seperti asam folat dan Fe tidak diminum secara rutin. Variasi nutrisi ibu selama kehamilan juga terbatas, ibu klien mengatakan jarang menkonsumsi sayuran dan susu, lebih sering makan ayam goreng yang dibeli di penjual ayam goreng deket rumah klien. Selama hamil ibu S tidak ngidam tapi ibu S suka minum kopi minimal 1 gelas sehari, dan bapak T seorang perokok yang suka merokok di dalam rumah dekat ibu S yang sedang hamil. Klien lahir spontan di rumah bidan dengan usia kehamilan 40 minggu. Berat badan lahir 2,75 kg dan panjang badan 50 cm.

Hasil pemeriksaan rectal toucher/colok dubur diketahui klien tidak memiliki lubang anus, tapi 12 jam kemudian klien BAB melalui lubang kecil dibawah vagina klien. Sampai usia klien 6 bulan BAB lancar 2 hari sekali lewat lubang/fistel tersebut. Setelah usia klien lebih dari 6 bulan saat anak mulai makan bubur dan biscuit bayi klien jadi jarang BAB nya yaitu kurang lebih 1 minggu sekali. Saat usia klien 9 bulan ketika klien makan lebih padat lagi, BAB klien menjadi lebih jarang yaitu kurang lebih 20 hari sekali. Maka keluarga mulai khawatir dan membawa klien ke RSUP Fatmawati untuk periksa dengan bantuan dana dari suatu yayasan sosial.

Klien didiagnosa medis ATRESIA ANI DENGAN FISTEL REKTOVESTIBULAR. Klien pernah dirawat RSUP Fatmawati pada tanggal 3 desember 2012 untuk operasi kolostomi, kemudian tanggal 2 April 2013 unuk operasi PSARP, dank lien masuk perawatan sekarang untuk persiapan operasi

(41)

tutup kolostomi. Saat dilakukan pengkajian klien baru masuk ruang perawatan yaitu tanggal 11 Juni 2013.

Hasil pemeriksaan fisik secara umum menunujukan bahwa klien tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, suhu 360C, pernapasan 20x/menit, nadi 100x/menit. BB 9 kg, TB 105 cm. Pemeriksaan fisik didapatkan hasil sebagai berikut; mata penglihatan jelas, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, hidung penciuman baik tidak ada pilek, mulut mukosanya lembab, tidak ada sariawan, telinga tampak bersih tidak ada serumen, tengkuk tidak ada kaku kuduk, paru-paru bunyi napas vesikuler, tidak ada ronkhi dsn wheezing, perut supel, punggung tidak ada kemerahan, genitalia tidak ada lecet, sete;ah operasi tanggal 13 Juni terpasang kateter, ekstremitas tidak ada keluhan, tangan dan kaki aktifr bergerak, kulit lembab, warna putih, tampak bersih.

Pemeriksaan penunjang laboratorium pada tanggal 12 Juni 2013, hasilnya didapatkan sebagai berikut: hemoglobin 10 g/dl, hematokrit 31%, lekosit 6,1 ribu/ul, trombosit 165 ribu/ul, eritrosit 4,30 juta/ul, VER 71,9 fl, HER 23.4 pg, KHER 32,5 g/dl, RDW 20,0%, APTT 27,7 detik, PT 13,5 detik, Masa perdarahan 1,5 menit, masa pembekuan 4,0 menit, SGOT 38 U/I, SGPT 13 U/I, ureum 21 mg/dl, kreatinin 0.2 mg, gula darah sewaktu 105 mg/dl.

Program pengobatan yang didapat yaitu : tanggal 13 Juni 2013 post operasi tutup kolostomi therapynya dalah cefotaxime 2 x 250 mg, dan farmadol 3 x 70 mg; tanggal 14 juni 2013 dapat therapy tambahan yaitu : ranitidine 2 x 20 mg.

Hasil pengkajian tingkat perkembangan didapatkan bahwa kemandirian dan bergaul klien masih sangat bergantung kepada kedua orang tuanya. Perkembangan motorik halus klien baru bisa bermain boneka kesayangannya, perkembangan kognitif dan bahasa klien baru bisa menyebutkan kata-kata pendek seperti ayah, ibu, dan mamam. Perkembangan motorik kasar klien belum bisa berjalan, baru bisa merangkak dan duduk.

(42)

3.2 Masalah Keperawatan

Hasil analisa data menunujukan bahwa pada kasus An. S ditemukan beberapa masalah keperawatan yaitu masalah keperawatan pre operasi: kecemasan pada orang tua tentang prosedur persiapan operasi berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang persiapan operasi, dan resiko kekurangan volume cairan diangkat berhubungan dengan dilakukannya washing out (WO)/clisma untuk membersihkan kolon sebagai persiapan tutup kolostomi. Masalah keperawatan postoperasi yang diangkat antara lain nyeri akut terkait adannya luka operasi, dan resiko infeksi terkait adanya luka operasi.

3.3. Intervensi Keperawatan

Rencana intervensi keperawatan untuk mengatasi kecemasan pada orang tua klien adalah dengan pendidikan kesehatan prosedur persiapan operasi pada orang tua klien untuk persiapan operasi tutup kolostomi, jelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan, dengan menggunakan sumber bahan pengajaran seperti leaflet. Rencana intervensi ini untuk mencapai kriteria evaluasi mengatasi kecemasan pada orang tua klien yaitu setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24 jam kecemasan orang tua klien berkurang/hilang. Kecemasan orang tua klien berkurang ditandai dengan ekspresi wajah orang tua klien tampak lebih santai dan rileks, dan orang tua klien mau bekerja sama dengan perawat dalam melakukan prosedur persiapan operasi.

Rencana intervensi keperawatan untuk masalah berikutnya yaitu resiko kekurangan volume cairan adalah dengan monitor tanda-tanda dehidrasi, ukur dan catat intake dan output, motivasi orang tua klien untuk memberi minum kepada klien sesuai kebutuhan klien, dan kolaborasi pemberian cairan parenteral. Kriteria evaluasi dari masalah resiko kekurangan volume cairan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam 2x24 jam kekurangan volume cairan tidak terjadi. Kekurangan volume cairan tidak terjadi ditandai dengan tidak ada

(43)

tanda-tanda dehidrasi, tanda vital dalam batas normal, dan pengeluaran urine stabil.

Intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah nyeri akut adalah dengan kaji nyeri klien, ukur tanda-tanda vital, kaji penyebab nyeri lain selain luka operasi, terapi musik untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan klien sebagai penatalaksanaan nyeri nonfarmakologi, dan kolaborasi pemberian analgetik intravena sebagai penatalaksanaan nyeri secara farmakologi. Kriteria evaluasi dari intervensi keperawatan untuk mengatasi nyeri akut adalah setelah dilakukan intervensi keperawatan 3x24 jam nyeri klien berkurang. Nyeri klien berkurang ditandai dengan skala nyeri klien berkurang dari skala 5 menjadi 3, dan tanda-tanda vital klien dalam batas normal.

Intervensi untuk mengatasi masalah keperawatan resiko infeksi adalah dengan perawatan luka minimal 2 hari sekali, observasi tanda-tanda infeksi, dan kolaborasi pemberian antibiotik. Kriteria evaluasi untuk masalah resiko infeksi adalah setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi infeksi pada luka operasi. Luka operasi dalam keadaan baik ditandai dengan tidak ditemukannnya tanda-tanda infeksi seperti kemarahan, bengkak, sakit pada daerah operasi, dan adanya pus, serta tanda-tanda vital klien terutama suhu klien dalam batas normal.

3.4 Implementasi Keperawatan

Intervensi keperawatan yang dilakukan pada An. S untuk mengatasi kecemasan pada orang tua terkait prosedur persiapan operasi adalah melakukan pendidikan kesehatan pada orang tua klien tentang prosedur persiapan operasi, dan menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan pada klien. Intervensi untuk resiko kekurangan volume cairan terkait pelaksanaan washing out dan diet clear

fluid sebagai persiapan operasi adalah memantau intake dan output klien,

(44)

Masalah keperawatan setelah operasi yaitu : nyeri akut, dan resiko infeksi. Intervensi untuk nyeri akut dan ketidak nyamanan karena luka operasi adalah memantau tanda-tanda vital, mengkaji skala nyeri, melakukan terapi musik untuk membantu mengurangi nyeri dan ketidak nyamanan, dan kolaborasi pemberian analgetik farmadol 3 x 70 mg. Intervensi untuk masalah resiko infeksi adalah memantau tanda-tanda vital dan tanda-tanda infeksi, melakukan perawatan luka dengan menerapkan teknik aseptic, menjelaskan pada orang tua untuk selalu cuci tangan bila hendak memegang area luka operasi, dan menjelaskan pada orang tua untuk menjaga klien untuk tidak menggaruk daerah luka operasi.

3.5 Evaluasi Keperawatan

Hasil evaluasi setelah dilakukan intervensi untuk masalah kecemasan orang tua pada tanggal 12 Juni 2013 yaitu orang tua mengatakan merasa lebih tenang menghadapi prosedur persiapan operasi setelah mendengar penjelasan dari perawat tentang prosedur persiapan operasi. Ekspresi wajah orang tau klien tampak rileks, dan orang tua klien kooperatif membantu perawat melakukan tindakan perawatan untuk persiapan operasi. Maka sesuai kriteria evaluasi masalah kecemasan pada orang tua teratasi.

Evaluasi keperawatan untuk intervensi yang telah dilakukan dalam mengatasi masalah resiko kekurangan volume cairan setelah dilakukan intervensi selama 2 hari didapatkan hasil kekurangan volume cairan tidak terjadi. Hal ini dibuktikan dengan orang tua klien mengatakan klien minum sekitar 1 liter/24 jam sementara pengukiran output, urine kurang lebih 450 cc/24 jam atau dieresis sekitar 2,1 cc/kg bb/jam, dan feses sekitar 400 cc, tidak ditemukan tanda-tanda dehidrasi yaitu turgor kulit baik, CRT < 3 detik, membrane mukosa lembab, tidak ada penurunan berat badan, dan nadi 100x/menit.

Hasil evaluasi untuk masalah nyeri akut setelah dilakukan intervensi selama 3 hari menunjukan bahwa nyeri klien berkurang. Nyeri klien berkurang dibuktikan dengan orang tua mengatakan klien tampak lebih tenang dan tidak terlalu rewel

(45)

terutama kalau dibunyikan musik terutama tentang lagu anak-anak, ketika di ukur tanda-tanda vital suhu 36,50C. nadi 100 x menit, pernapasan, 24 x menit, untuk skala nyeri berkurang dari skala nyeri 5 menjadi 3 berdasarkan pengukuran menggunakan FLACC postoperative pain scale.

Masalah resiko infeksi setelah dilakukan intervensi selama 3 hari, maka hasil

evaluasi tanggal 16 Juni 2013 infeksi pada klien tidak terjadi. Infeksi tidak terjadi dibuktikan dengan orang tua klien mengatakan klien tidak demam,dan tidak ada kemerahan sekitar luka operasi, hasil pengukuran tanda-tanda vital terutama suhu 360C, dan ketika dilakukan perawatan luka tidak ditemukan tanda-tanda infeksi, luka operasi baik, tidak ada pus, dan tidak bengkak. Secara umum semua masalah keperawatan sudah dilakukan intervensi dengan baik dan bisa teratasi.

(46)

4.1 Profil Lahan Praktek

Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati terletak diwilayah Jakarta Selatan dengan luas bangunan 57.457,50 m2 dan luas tanah 13 hektar (Achmadi, 2008). RSUP Fatmawati didirikan pada tahun 1954 oleh Ibu Fatmawati Soekarno sebagai RS yang mengkhususkan Penderita TBC Anak dan Rehabilitasinya. Pada tanggal 15 April 1961 penyelenggaraan dan pembiayaan RS Fatmawati diserahkan kepada Departemen Kesehatan sehingga tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi RS Fatmawati. Dalam perjalanan RS Fatmawati, tahun 1984 ditetapkan sebagai Pusat Rujukan Jakarta Selatan dan tahun 1994 ditetapkan sebagai RSU Kelas B Pendidikan. Pada tanggal 11 Agustus 2005 berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1243/MENKES/SK/VIII/2005 RSUP Fatmawati ditetapkan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kesehatan RI dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU).

Lantai III Utara merupakan salah satu ruang perawatan anak umum dan bedah, yang terletak di gedung teratai RSUP Fatmawati. Lantai III Utara terdiri dari 12 kamar yang terbagi atas : 1 kamar bedah prima, 3 kamar kelas I, 2 kamar kelas II, 1 kamar khusus isolasi infeksi, 1 kamar khusus luka bakar, dan 4 kamar kelas III dengan kapasits tempat tidur sekitar 45 tempat tidur. Jumlah tenaga 23 orang perawat, terdiri dari 7 orang S1 keperawatan, 14 orang DIII keperawatan, 2 orang SPK, dan 2 orang pekarya SLTA. Ruangan di lantai II Utara dikepalai oleh seoang kepala ruangan dibantu wakil kepala ruangan dan dua orang PN. Serta perawat pelaksana sebanyak 19 orang. Kasus atresia ani sendiri dalam 3 bulan terakhir dari Januari sampai Maret 2013 ada sekitar 14 kasus dari 100 klien yang dirawat.

(47)

Kebersihan dan kenyamanan di lantai III Utara sangat terjaga dengan baik sehingga sesuai untuk dijadikan lahan praktik bagi mahasiswa dan sangat mendukung terhadap peningkatan kesehatan klien. Selain itu, fasilitas yang memadai dan kerja perawat ruangan yang sigap juga sangat membantu dalam pemberian asuhan keperawatan sesuai kebutuhan klien. Perbandingan jumlah tenaga perawat dan pasien sebanyak 1:10 kadang lebih, menjadi faktor penghambat pada perawat dalam pemberian asuhan keperawatan secara holistik. Sementara kekurangan fasilitas di ruangan yang sangat nampak adalah tidak tersedianya ruang bermain dan fasilitas bermain anak lainnya.

4.2 Analisis Masalah Keperawatan Dengan Konsep Terkait KKMP Dan Konsep Kasus Terkait

Hasil pengkajian didapatkan data bahwa klien menderita Atresia ani dengan rencana operasi tutup kolostomi. Atresia ani merupakan kelainan kongenital yang secara pasti penyebabnya belum diketahui. Nutrisi ibu selama kehamilan merupakan satu dari banyak faktor yang ikut mempengaruhi perkembangan janin. Status nutrisi dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu : kemiskinan, kurang pendidikan, lingkungan yang buruk, kebiasaan makan yang aneh, dan kondisi kesehatan yang buruk akan terus berpengaruh pada satus gizi dan pertumbuhan serta perkembangan janin (Bobak, 2005).

Kasus An. S didapatkan data bahwa merupakan keluarga urban yang tinggal di Depok, mengontrak rumah petak yang tidak terlalu luas. Pekerjaan bapak T yang buruh dengan penghasilan kurang dari 2 juta,membuat ekonomi keluarga bapak T cukup sulit. Ibu S yang lulusan SMP mengaku tidak tahu banyak tentang kebutuhan nutrisi selama kehamilan, ditambah tidak ada keluarga dekat yang tinggal dengan keluarga bapak T membuat ibu T mengkonsumsi makanan seadanya ketika hamil, bahkan masih minum kopi. Sementara bapak T juga tidak menghentikan kebiasaan merokok walaupun didalam rumah sehingga asap rokok sangat mungkin terhirup juga oleh ibu S. Walaupun tidak secara pasti diketahui,

(48)

tetapi nutrisi ibu selama hamil dan pencemaran lingkungan dianggap turut berperan penting dalam perkembangan janin. Masalah gaya hidup dan polusi di perkotaan mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung terhadap kesehatan anak.

Masalah keperawatan yang ditemukan adalah nyeri pada anak. Nyeri yang dialami anak/klien terkait beberapa prosedur tindakan seperti pemasangan infus dan pengambilan darah, tindakan washing out, dan setelah operasi adanya luka operasi.

4.3 Analisis Salah Satu Intervensi Dengan Konsep Dan Penelitian Terkait

Pelaksanaan askep klien terhadap An. S dilakukan secara komprehensif, baik fisik maupun piskologis klien. Terkait masalah utama pada klien yaitu nyeri maka salah satu intervensi yang dilakukan penulis terkait aplikasi tesis yaitu penggunaaan terapi musik untuk mengurangi nyeri klien. Tesis yang coba diaplikasi penulis berjudul “Pengaruh terapi musik terhadap tingkat nyeri anak usia prasekolah yang dilakukan pemasangan infus di rumah sakit Islam Jakarta”. Nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, artinya persepsi nyeri seseorang ditentukan oleh pengalamannya dan status emosionalnya (tamsuri,2006). Usia anak sangat mempengaruhi toleransi anak terhadap nyeri, semakin bertambah usia semakin bertambah toleransinya terhadap nyeri. Fokus seseorang terhadap nyeri dapat mempengaruhi persepi nyeri, karenanya upaya distraksi dipercaya dapat menurunkan respon nyeri.

Penatalaksanaan nyeri nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri akibat tindakan invasif seperti pemasangan infus atau pengambilan sampel darah, dan perawatan luka terkait dengan nyeri dan upaya menghingdari efek samping obat serta tidak membutuhkan baiaya yang besar bisa dilaksanakn secara mandiri oleh perawat (Jacobson 1999 dalam Movahedi, 2006). Banyak teknik nonfarmakologis seperi

(49)

distraksi, relaksasi, guided imagery, stimulasi kulit memberikan strategi koping yang membantu menurunkan tingkat nyeri, sehingga nyeri dapat ditoleransi, cemas menurun, dan efektifitas pereda nyeri meningkat (Wong &Hockenberry, 2003). Terkait salah satu intervensi yang dilakukan penulis yaitu distraksi dalam hal ini yaitu terapi musik untuk mengurangi nyeri.

Teknik distraksi adalah teknik yang dilakukan untuk mengalihkan perhatian klien dari nyeri, Terapi musik adalah proses interpersonal yang digunakan untuk mempengaruhi keadaan fisik, emosional, mental, dan spiritual untuk membantu klien meningkatkan atau mempertahankan kesehatannya. Terapi musik digunakan oleh individu dari bermacam rentang usia dan beragam kondisi. Terapi ini juga digunakan untuk mendukung proses pembelajaran, membangun rasa percaya diri, mengurangi stress, mendukung latihan fisik dan mamfasilitasi berbagai macam aktivitas yang berkaitan dengan kesehatan (Ariestia, 2006). Terapi musik bisa dilakukan untuk mengurangi rasa khawatir klien yang menjalani berbagai operasi atau serangkaian perawatan penyakit berat di rumah sakit.

Terapi musik yang digunakan penulis untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan klien adalah menggunakan lagu-lagu anak dan musik instrumentalia yang lembut. Pada sekitar 3 kali tindakan pemasangan infus klien tampak lebih tenang dan kooperatif dibanding ketika pemasangan infus yang pertama kali dan tidak mengunakan terapi musik, dimana klien menangis keras dan meronta-ronta, dengan ekspresi wajah tegang. Begitu juga pada sekitar 3 kali tindakan perawatan luka di lakukan terapi musik hasilnya klien lebih tenang dan kooperatif, walaupun kehadiran orang tua menemani klien juga merupakan faktor yang juga turut mempengaruhi kenyamanan klien. Musik diputar dari mulai persiapan tindakan sampai tindakan selesai dilakukan. Waktu pemutaran terapi musik tidak selalu sama, bisa antar 10 sampai 30 menit tergantung lamanya prosedur tindakan yang dilakukan.

(50)

4.4 Alternatif Pemecahan Yang Dapat Dilakukan

Terapi musik merupakan salah satu penatalaksanaan nyeri secara nonfarmakologi. Terapi musik sebenarnya tindakan mandiri perawat yang mudah dan murah untuk dilaksanakan, dan terbukti sangat bermanfaat untuk klien. Tetapi perlu kesiapan perawat dan pengetahuan perawat tentang terapi musik terutama di lahan praktek untuk melaksanakannya.

Penatalaksanaan nonfarmakologi lain untuk mengatasi nyeri dan ketidaknyamanan pada anak yang mengalami hospitalisasi adalah dengan melakukan hal-hal yang sangat disukai anak seperti membaca buku, melukis atau menggambar. Melakukan kompres hangat pada bagian tubuh yang dirasakan nyeri juga dapat digunakan sebagai penatalaksanaan nonfarmakologi intuk mengurangi nyeri. Teknik napas dalam dengan bernapas lembut dan berirama secara teratur, menyanyi berirama dan menghitung ketukannya juga dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi nyeri. Alternatif lain yang dapat dilakukan perawat secara mandiri adalah melakukan massage/pijatan, dan guided imagery.

(51)

5.1. Kesimpulan

Atresia ani merupakan kelainan congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar. Atresia ani kemungkinan disebabkan oleh fakotr genetik dan faktor lingkungan walaupun belum pasti. Prinsip penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Prinsip asuhan keperawatan baik pre maupun postoperasi tutup kolostomi adalah mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan. Masalah keperawatan pada anak S dengan atresia ani adalah kecemasan,

kekurangan volume cairan untuk masa preoperasi, dan untuk postoperasi adalah nyeri akut, dan resiko infeksi. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah observasi tanda-tanda vital, observasi tanda-tanda infeksi, observasi tanda-tanda dehidrasi, menghitung intake dan output, penggunaan terapi musik, kolaborasi pemberian antibiotik dan analgetik, kolaborasi pemberian cairan intravena, dan perawatan luka.

Evaluasi yang dilakukan dengan menerapkan asuhan keperawatan untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan pada anak dengan menggunakan terapi musik, dapat memberikan dukungan pada anak untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyaman yang dialami selama menjalani perawatan di rumah sakit. Penggunaan terapi musik 3 hari pelaksanaan intervensi pada anak membuat anak tampak lebih tenang, dan kooperatif selama menjalani perawatan.

5.2 Saran

5.2.1 Bagi Mahasiswa

Terdapat penurunan nyeri dan ketidaknyamanan pada klien dengan mengunakan terapi musik. Hendaknya mahasiswa bisa menerapkan pemberian asuhan keperawatan dengan penatalaksanaan nyeri secara nonfarmakologi dalam

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Variasi itu banyak ditentukan oleh seberapa besar kemiringan batang-tubuh pada pemain tertentu sewaktu melakukan gerakan (kemiringan batang tubuh menyamping adalah

Canting adalah Canting adalah salah satu salah satu alat yang alat yang digunakan untuk digunakan untuk membuat karya membuat karya seni batik.. Peniupan pada Peniupan pada

Perkembangan yang terdapat di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional kemampuan yang harus dicapai pada anak usia 5-6 tahun pada aspek bahasa diantaranya yaitu

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah status gizi balita malnutrisi pada kelompok intervensi diperoleh p value 0,030 maka terdapat peningkatan nilai Z Score pada

1) Menimbulkan daya tarik bagi pembelajar. Gambar dengan berbagai warna akan lebih menarik dan membangkitkan minat serta perhatian belajar. Suatu penjelasan yang

Dalam UN-Habitat yang membahas tentang Enviromentally sustainable, healthy and livable human settlemens menjelaskan bahwa untuk mensosialisasikan lingkungan sehat

1. Modul IPA Terpadu berbasis SETS pada tema makanan sehat dan tubuhku mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1) berbentuk modul cetak untuk siswa dan untuk guru

Semua kemegahan sudah dijanjikan kepada Rasul agar ia berhenti menyiarkan dan melaksanakan ajaran agama Islam itu, mulai dan kekuasaan yang paling tinggi dan terhormat, harta