• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dipersepsikan oleh sebagian masyarakat, dimana penyandang tunanetra dianggap,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dipersepsikan oleh sebagian masyarakat, dimana penyandang tunanetra dianggap,"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diawali dengan keprihatinan peneliti akan penyandang tunanetra, dan dipersepsikan oleh sebagian masyarakat, dimana penyandang tunanetra dianggap, tidak berguna dalam menjalani kehidupannya. Individu/seorang tunanetra dalam kehidupan sehari-harinya, hanya mengharapkan belas kasihan kepada masyarakat, itu membuat persepsi masyarakat akan penyandang tunanetra negatif. Banyak dari masyarakat yang berpersepsi negatif akan penyandang tunanetra, seorang tunanetra dianggap tidak memiliki tujuan hidup dan seorang tunanetra dianggap tidak bisa memiliki hidup bahagia. Tapi itu semua persepsi yang salah akan penyandang tunanetra. Penyandang tunanetra juga berhak untuk memiliki tujuan hidup, penyandang tunanetra juga berhak mendapatkan kehidupan yang bahagia dan penyandang tunanetra juga bisa hidup mandiri.

Tunanetra merupakan orang yang mengalami gangguan penglihatan sehingga tidak dapat melakukan kegiatan keseharian seperti orang awas (orang berpengelihatan normal) walaupun dibantu dengan berbagai alat. Dalam kehidupannya tunanetra mengalami keterbatasan untuk menangkap sinyal visual yang dipancarkan oleh lingkungan. Dalam kehidupan sehari-hari seorang tunanetra membutuhkan seorang untuk membantunya untuk berbagai aktivitasnya.

(2)

Setiap individu memiliki kemampuan untuk mengadakan hubungan timbale balik dengan lingkungan sekelilingnya, baik lingkungan sosialnya budaya maupun, lingkungan fisik. Untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar harus memerlukan indera-indera yang baik seperti indera penglihatan, indera pendengaran, indera perabaan, dan indera pembauan. Sekalipun masing-masing indera mempunyai sifat dan karakteristik yang khas namun dalam bekerjanya memerlukan kerja sama sehingga memperoleh pengertian atau makna yang lengkap dan utuh tentang lingkungan sekelilingnya (Rianti, Ardisal & Fatmawati, 2014).

Lebih jauh, Rianti, Ardisal & Fatmawati (2014) individu sebagai makhluk sosial berarti adalah bagian dari warga masyarakat, yang kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat hidup sendiri atau mencukupi kebutuhan sendiri. Meskipun seseorang mempunyai kedudukan dan kekayaan, tentunya membutuhkan manusia lain. Setiap individu cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dapat dikatakan bahwa sejak lahir, dia sudah disebut sebagai makhluk sosial, baik lahir dalam kondisi normal maupun dalam keterbatasan (berkebutuhan khusus).

Peneliti melakukan obsevasi awal kepada salah satu subyek, karena kertarikan saya akan seorang tunanetra yang berprofesi sebagai Pendeta. Dalam observasi awal peneliti mendapatkan hal-hal menarik seperti, peneliti diajarkan tentang bagaimana menghargai hidup ini. Subyek juga sangat memotivasi dalam menyampaikan firman Tuhan kepada jemaat. Dari data sekunder peneliti mendapatkan data tentang kelulusan dari ijazah teologi, subyek lulusan teologi dari daerah semarang, subyek

(3)

mendapatkan nilai terbaik dalam hasil nilainya, dan saya juga meminta diperlihatkan tentang ijazah lulusan teologinya.

Data primer yang saya dapat, saya melihat langsung bagaimana subyek benar-benar mandiri dalam menjalani kehidupannya, banyak orang yang mempersepsikan seorang penyandang tunanetra yang tidak bisa mandiri dalam menjalani kehidupannya. Peneliti terkagum-kagum karena subyek bisa mempergunakan alat-alat elektronik seperti handpone, laptop dan kyboard dengan baik.

Salah satu kondisi kebutuhan khusus yang dihadapi oleh individu adalah ketidak mampuan dalam melihat (tunanetra) semenjak kelahirannya. Sebelum lebih jauh menjelaskan perihal makna hidup penyandang tunanetra yang berprofesi sebagai pendeta, penulis akan mengurai perihal makna hidup penyandang tunanetra pada umumnya.

Dalam proses pencapaian makna hidup bagi penyandang tunanetra, sering mengalami kekecewaan dengan apa yang didapat dari kehidupannya. Pada hakekatnya, makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting, berharga dan memberi nilai khusus bagi individu, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Pengertian makna hidup menyiratkan bahwa di dalamnya terkandung tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi, menemukan makna hidup dan menetapkan tujuan hidup merupakan upaya untuk mengembangkan hidup yang bermakna.

Pencarian makna hidup seharusnya bersifat alamiah, menjadi bagian yang sehat dari kehidupan. Pencarian ini menghimbau orang-orang untuk senantiasa

(4)

mencari kesempatan-kesempatan dan tantangan-tantangan dalam hidup serta membangkitkan hasrat mereka untuk mengerti dan mengatur pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam hidup. Menurut Amelia (2013) makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti. Bagi penulis, ada ketertarikan secara khusus untuk mencoba memahami perihal makna hidup penyandang tunanetra dan secara khusus berprofesi sebagai pendeta.

Hidup bagi seorang penyandang tunanetra tidak hanya memberikan kesempatan kepadanya untuk menyikapi hidup tetapi juga dapat menemukan makna dari pengalaman tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Bastaman (2007) bahwa makna hidup seseorang dicapai melalui bermacam-macam nilai, salah satunya disebut sebagai nilai-nilai pengalaman (experiential).

Pada dasarnya, setiap individu (manusia) mengharapkan kondisi atau keadaan fisik yang normal dalam kehidupannya. Namun manusia tidak bisa mengatur kehendak Tuhan, dan Tuhan berkehendak lain. Pengertian secara etimologi, tuna rugi, dan netra berarti mata. Jadi tunanetra dapat disebut sebagai cacat mata.

Menurut Efendi (2006), tunanetra dapat disebabkan faktor endogen dan faktor eksogen, faktor endogen adalah faktor yang erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan. Sedangkan faktor eksogen adalah faktor dari luar, misalnya disebabkan oleh penyakit, seperti cataract, glaucoma maupun penyakit yang dapat menimbulkan ketunanetraan. Menurut Soemantri (2006), pengertian tunanetra tidak hanya untuk mereka yang buta, tetapi

(5)

mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari, terutama dalam belajar.

Tentunya setiap individu baik dalam kondisi fisik normal maupun memiliki keterbatasan, mengupayakan agar eksistensi dirinya diakui. Penyandang tunanetra senantiasa berkeinginan untuk menunjukan eksistensi dirinya. Salah satunya upaya adalah bekerja, menurut Wahyuni (2012) terdapat 4 (empat) alasan yang menyebabkan seseorang bekerja, yaitu:

1. Bekerja merupakan sarana bagi manusia untuk saling bertukar ide atau gagasan.

2. Karena bekerja secara umum memenuhi beberapa fungsi sosial antara lain tempat bekerja memberikan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang baru dan membina persahabatan.

3. Dengan bekerja seseorang mendapatkan status atau kedudukan dalam masyarakat.

4. Dengan bekerja seseorang mendapatkan identitas, harga diri, aktualisasi diri, dan makna hidup.

Lebih jauh, Wahyuni (2012) mengemukakan seorang tunanetra yang bekerja bukanlah orang yang tidak tahu diri dengan keterbatasannya tetapi karena ia berusaha mencari solusi untuk pemecahan masalah-masalah dalam hidupnya terutama masalah ekonomi.

Banyak orang yang mengatakan tunanetra tidak mempunyai masa depan yang jelas, padahal sebenarnya tidak menutup kemungkinan banyak dari mereka yang

(6)

meraih kesuksesan dan prestasi yang membanggakan. Hal tersebut mematahkan anggapan bahwa orang yang tunanetra adalah orang yang merepotkan dan tidak mandiri. Namun kenyataanya banyak terlihat seorang tunanetra yang bisa bertahan hidup dengan penghasilan sendiri (Chusniatul & Azizah, 2013).

Sementara, untuk mengembangkan hidup tidak bisa tergantung dengan orang lain, seorang tunanetra harus bekerja keras untuk mendapakan hidup yang bermakna. Hidup bisa dibuat bermakna melalui tiga jalan antara lain : (1) melalui apa yang dapat seseorang berikan kepada hidup (bekerja, karya kreatif), (2) melalui apa yang kita ambil dari hidup (menemui keindahan, kebenaran, dan cinta), dan (3) melalui sikap yang diberikan terhadap ketentuan atau nasib yang tidak dapat dirubah (penderitaan yang tidak dapat dihindari). Seorang tunanetra dapat menemukan makna hidup jika dalam hidupnya mampu menyikapi keterbatasannya.

Selain itu alasan peneliti menggunakan penyandang tunanetra karena peneliti ingin melihat apakah dengan keterbatasan penglihatan yang dimiliki seorang tunanetra mampu atau tidak mencapai makna dalam hidupnya agar menjadi diri yang mandiri tanpa bergantung kepada orang lain. Dengan tidak bergantung kepada orang lain, seorang tunanetra mampu menyikapi kekurangan dalam dirinya karena bagi manusia mata adalah indra yang paling utama dan merupakan cakrawala dunia, tanpa mata manusia kehilangan Wahyuni (2012).

Individu sebagai makhluk yang memiliki kebebasan berkehendak, sadar diri dan mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri sesuai dengan julukan kehormatan bagi manusia sebagai the self determining being yaitu makhluk yang

(7)

mampu memilih dan menentukan hal-hal terbaik bagi dirinya (Bastaman, 2007). Tentu saja kebebasan ini sama sekali bukan dalam artian kebebasan mutlak, melainkan kebebasan manusia yang terbatas sebagai mahkluk serba terbatas pula. Kebebasan ini adalah kebebasan berkehendak yang senantiasa harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab (responsibility) karena kebebasan tanpa disertai tanggung jawab merupakan langkah awal ke arah kesewenangan-wenangan.

Bastaman (2007), selanjutnya mengungkapkan bahwa orang yang menghayati hidup bermakna ketika berada dalam situasi yang tidak menyenangkan atau mengalami penderitaan maka akan menghadapi dengan sikap tabah serta sadar bahwa senantiasa ada hikmah yang “tersembunyi” di balik penderitaan. Tindak bunuh diri sebagai jalan keluar dari penderitaan tidak pernah terlintas. Pendapat ini menyiratkan bahwa orang yang menghayati hidup bermakna akan selalu memiliki harapan atau optimisme. Seligman (2005) juga mengatakan bahwa optimisme pada individu akan memancarkan harapan, yang berarti memiliki keyakinan yang kuat bahwa segala hal dalam kehidupan ini akan dapat dilalui, dengan kata lain optimisme merupakan faktor dalam meningkatkan motivasi untuk dapat bertahan hidup.

Individu (manusia) berkembang pula secara psikologis, emosi, fisik. Dalam perkembangannya individu harus membuat banyak pilihan. Diantara banyak pilihan yang harus dibuat, individu harus memilih profesi atau pekerjaan yang harus dijalani. Setiap orang mencari makna dalam hidupnya di dalam profesi yang dijalani, namun terkadang rutinitas membuat orang kehilangan makna hidupnya, hal ini yang disebut meaningless.

(8)

Setiap profesi yang dijalani seseorang perlu dengan kerja keras dan kesungguhan untuk menjalaninya. Profesi sebagai pendeta membutuhkan pengetahuan yang baik akan firman Tuhan, sehingga apa yang akan disampaikan tentang firman Tuhan tidak salah, sebab itu seorang tunanetra yang berprofesi sebagai pendeta harus mempunyai kemampuan yang baik dalam firman Tuhan. Makna hidup obyektif cenderung bersifat spiritual, pasti, memerlukan keimanan, dan tidak berubah-ubah. Makna hidup obyektif tidak perlu dicari dan ditemukan seperti halnya makna hidup subyektif. Makna hidup obyektif sudah tersedia secara indoktrinatif, tidak selalu bersifat irasional, dalam bentuk ajaran seperti firman Tuhan atau sabda Nabi. Makna hidup obyektif mensyaratkan komitmen dan penyerahan diri yang lebih besar dan secara total terhadap yang diyakininya sebagai yang maha sempurna, tanpa komitmen dan penyerahan diri secara total, maka makna hidup obyektif tidak akan berfungsi secara penuh dalam membimbing manusia menghadapi kesulitan dan penderitaan hidup (Astuti & Budiyanti, 2011).

Pekerjaan pelayanan merupakan sesuatu yang tidak gampang, kadang bekerja tanpa diupah malah dibenci dan dianiaya. Namun prinsip pelayanan menjadi kekuatan dalam melakukan tugas dan kesaksian. Menurut Sari (2011) prinsip ini bersumber dari pengajaran Yesus yang tergambar dalam beberapa bagian Alkitab perjanjian baru dalam Yohanes 15:16, Efesus 4:11-12 dan 2 Korintus 12:12

1. Jabatan itu merupakan penetapan Allah pada seseorang yang dipilihNya. Itu berarti bahwa Allah mempercayakan dan menganugerahkan pelayanan pada

(9)

seseorang, secara khusus pada pendeta dan tanggung jawab terhadap hasil pekerjaan itu adalah pada Allah.

2. Sebagai pemimpin pelayan maka dituntut karakter yang lemah lembut, rendah hati, menjadi teladan bagi jemaat, hadir di tengah masyarakat untuk melayani bukan untuk dilayani.

3. Pendeta sebagai pemimpin dan gembala mesti menjaga dan mengasihi domba-domba dengan penuh kesetiaan bahkan rela mengorbankan hidupnya supaya domba-domba itu tetap terpelihara baik.

4. Pendeta harus mampu menguasai diri agar sebagai pemberita firman ia tidak ditolak karena mampu melakukan seperti apa yang disampaikannya. Beberapa poin di atas secara singkat dan sederhana hendak menyatakan bahwa seorang pendeta mendasari tugasnya dengan prinsip, tetap mengingat bahwa pertanggungjawaban tugasnya adalah :

a. pertama-tama kepada Allah dan mewujud dalam pelayanannya kepada umat.

b. Mengutamakan pelayanan.

c. Berani membela kepentingan jemaat/orang banyak.

d. Menguasai diri karena totalitas hidupnya adalah kesaksian tentang Yesus. Menjadi seorang pendeta bukan berarti tidak mempunyai masalah, seorang pendeta harus bisa mengatasih setiap masalah dalam hidupnya. Kehidupan dirasa bermakna manakalah manusia dapat menerima cobaan dan permasalahan hidup dengan baik. Perasaan bahagia akan selalu mengiringi ketika manusia menerima

(10)

dengan tabah dan ikhlas keadaan hidup yang dimilikinya baik sedih, susah, maupun senang. Akan tetapi banyak manusia yang tidak mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan dengan menyesali segala bentuk penderitaan dan pesakitan yang diterimanya dengan tidak melihat sisi positif dari berbagai macam permasalahan kehidupan. Hal ini disebabkan tingkat ketabahan manusia yang rendah sehingga membuat seseorang mudah menyerah dan tidak terbuka terhadap tantangan hidup. Selain itu, orang yang selalu menyesali diri dan keadaan hidupnya cenderung memiliki locus of control eksternal yang membuatnya tidak pernah bersyukur dan selalu menyalahkan keadaan. Dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Setiap manusia selalu mendambakan hidupnya bermakna, dan selalu berusaha mencari dan menemukannya. Makna hidup apabila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan mereka yang berhasil menemukan dan mengembangkannya akan merasakan kebahagiaan sebagai ganjarannya sekaligus terhindar dari keputusanya (Bastaman, 2007).

Kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu terhadap keberadaan dirinya, memuat hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, dan dapat memberikan arti khusus yang menjadi tujuan hidup sehingga membuat individu menjadi berarti dan berharga. kehidupan yang bermakna akan dimiliki seseorang apabila dia mengetahui apa makna dari sebuah pilihan hidupnya. Makna hidup adalah hal-hal yang memberikan arti khusus bagi seseorang, yang apabila berhasil dipenuhi

(11)

akan menyebabkan kehidupannya dirasakan berarti dan berharga, sehingga akan menimbulkan penghayatan bahagia happiness (Bukhori, 2012).

Kesempatan merekam semua kejadian kejadian penting dalam hidupnya dan dengan mampu menyikapi hal ini dengan penuh kemandirian maka seorang tunanetra layak untuk terus melanjutkan kehidupannya walau tanpa mata sekalipun. Adapun karakteristik Pendeta yang menjadi objek penelitian disini adalah individu dewasa, dimana salah satu ciri khas pada individu dewasa adalah keinginan dan perjuangannya untuk merasakan arti makna serta tujuan hidup.

Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan pada penyandang tunanetra yang berprofesi sebagai Pendeta. Mengapa Pendeta? Peneliti memilih obyek penelitian ini karena melihat fenomena yang ada dimana biasanya penyandang tunanetra lebih memilih pekerjaan meminta-minta. Sedangkan alasan peneliti menggunakan penyandang tunanetra sebagai obyek penelitian karena biasanya penyandang tunanetra menggunakan kekurangan dari inderanya untuk memohon belas kasihan untuk mendapatkan penghasilan yang instan atau cepat, tanpa harus bekerja keras.

B. Pertanyaan Peneliti

1. Bagaimana proses pencarian makna hidup pada pendeta tunanetra 2. Masalah apa yang dihadapi dalam menemukan makna hidup

3. Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam menjalani profesi sebagai pendeta tunanetra

(12)

C. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana proses pencarian makna hidup pada pendeta tunanetra.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masalah apa yang dihadapi dalam menemukan makna hidup.

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam menjalani profesi sebagai tunanetra.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Melalui penelitian ini penulis berharap dapat memberikan sumbangan pemikirian ilmiah bagi perkembangan bidang ilmu psikologi. Khususnya bidang psikologi yang berhubungan dengan gambaran makna hidup penyandang tunanetra berprofesi sebagai Pendeta.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang cukup mengenai proses makna hidup seorang pendeta yang berprofesi sebagai pendeta.

a. Untuk Jemaat Gereja. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah informasi bagi jemaat gereja, karena pendeta tunanetra juga bisa mempunya kemampuan, dalam memberikan motivasi dan menyampaikan firman Tuhan.

b. Untuk Instansi Pendidikan Teologi. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah informasi kepada instansi pendidikan teologi, karena seorang

(13)

tunanetra mempunyai kemampuan seperti mahasiswa teologi pada umumnya.

c. Untuk Masyarakat. Hasil penelitian dapat dijadikan bahan masukan informasi bagi orang tua, tenaga pengajar, pembimbing dan masyarakat dalam mendidik anak tunanetra

d. Untuk Gembala. Hasil penelitian dapat dibuat bahan masukan untuk gembala di gereja, karena seorang tunanetra juga bisa menyampaikan firman Tuhan dengan baik dan benar.

E. Sistematika Penulisan

Adapun penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I. Pendahuluan

Bab ini berisikan hal-hal yang akan dibahas dalam penelitian seperti latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II. Tinjauan Pustaka

Bab ini menjelaskan tentang landasan teori, definisi dan penjelasan yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan, teori-teori makna hidup, tunanetra, profesi, pendeta dan paradigma penelitian.

Bab III. Metode Penelitian

Metode penelitian berisikan pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian, karakteristik subyek, teknik pengambilan subyek, jumlah subyek, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, jenis pendekatan penelitian

(14)

kualitatif, kredibilitas pada penelitian kualitatif, tringulasi penelitian, tahapan persiapan penelitian dan teknik analisa data.

Bab 1V Pelaksanaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini berisi tentang proses pencarian makna hidup Bab V. Kesimpulan Dan Saran

Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dan diskusi yang diperoleh dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, serta saran bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Permintaan pasar untuk suatu produk: jumlah volume total yang akan dibeli oleh kelompok pelanggan tertentu dalam wilayah geografis tertentu dalam jangka waktu tertentu dan

penaksiran atas suatu barang bergerak dapat sesuai dengan nilai yang. sebenarnya. Pedoman penaksiran yang dikelompokkan atas dasar

Alternatively, you might want to use this book as a reference to quickly look up the details of the algorithm for affinity propagation (Chapter 3, Unsupervised Machine

Substitusi tepung protein tinggi dengan tepung beras merah dan mocal dapat meningkatkan nilai fungsionalnya seperti serat kasar, antosianin tetapi menurunkan kadar gluten maka

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah budaya organisasi, independensi, motivasi, komitmen organisasi, gaya kepemimpinan, pemahaman good governance dan

Profil ini menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka tanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap kemampuan kendaraan dalam keadaan naik dan bermuatan

Pada penelitian Setiawan (2013) isolat bakteri WU 021055* menunjukkan aktivitas fibrinolitik ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri yang

Bagian tambalan yang berlebih di kurangi dengan diamond bur lalu dilakukan pemolesan kembali, sehingga didapatkan hasil akhir seperti pada gambar 8.Kontrol pada gigi 65