PERENCANAAN DAN PERKERASAN
MATERIAL JALAN RAYA
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-syarat Kurikulum Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Syiah Kuala
Dikerjakan Oleh:
Nama
: Yogi Permana
NIM
: 1204101010046
Jurusan : Teknik Sipil
Dosen Pengasuh
:
Dr. Renny Anggraini, ST. M.EngNIP
:
19710923 169702 2 001JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
FAKULTAS TEKNIK
JL. TGK. SYEKH ABDUL RAUF NO. 7 DARUSSALAM–BANDA ACEH 23111 TELP./FAX. (0651) 52222
LEMBAR PENILAIAN
PERENCANAAN DAN PENGUJIAN MATERIAL JALAN RAYA
Dikerjakan Oleh:
NAMA : YOGI PERMANA
NIM : 1204101010046
KEPADA MAHASISWA YANG BERSANGKUTAN
DIBERIKAN NILAI
(…….)
Disetujui Oleh:
Dosen Pembimbing,
i Perencanaan Jalan Raya I
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, kesempatan dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Perencanaan Jalan Raya I ini, yang merupakan salah satu mata kuliah wajib pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala.
Dalam proses penyusunan laporan ini, penulis banyak mendapatkan masukan-masukan dan bimbingan yang sangat bermanfaat dari berbagai pihak. Karenanya, dalam kesempatan ini dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Renny Anggraini, ST. M.Eng. yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan saran-saran kepada penulis, sehingga tugas rancangan ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan juga kepada orang tua yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan bantuan berupa pikiran maupun waktu yang tentunya sangat berguna dalam proses rampungnya tugas ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan tugas rancangan ini masih jauh dari kesempurnaan, karenanya dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritikan dan saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan laporan di masa mendatang.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga tugas Perencanaan Jalan Raya I ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi khususnya dan rekan-rekan sesama mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah umumnya.
Banda Aceh, Januari 2015
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR KONSULTASI
LEMBAR PENILAIAN
SOAL
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI... ii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Maksud dan Tujuan... 3
1.3 Ruang Lingkup Perencanaan... 7
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 8
2.1 Bagian Perencanaan ... 8
2.2 Rumus-rumus yang digunakan... 8
2.2.1 Trase Jalan... 8
2.2.2 Alinyemen Horizontal... 10
2.2.3 Alinyemen Vertikal... 12
2.2.4 Jarak Pandangan... 13
2.2.5 Pelebaran perkerasan pada lengkung horizontal... . 22
2.2.6 Galian (cut) dan timbunan (fill)... . 23
2.2.7 Stationing... . 25
BAB III PERENCANAAN TRASE ... 26
3.1 Perencanaan Trase... 26
3.2 Alasan Pemilihan Trase... 27
3.3 Perhitungan Trase... 27
BAB IV PERENCANAAN ALINYEMEN HORIZONTAL ... 35
4.1 Alinyemen Horizontal... 35
iii
4.1.2 Lengkung Horizontal 2 (FC)... 39
4.1.3 Lengkung Horizontal 3 (SCS)... ... 42
4.1.4 Perhitungan Stasioning Horizontal... ... 45
BAB V PERENCANAAN ALINYEMEN VERTIKAL... 47
5.1 Perencanaan Alinyemen Vertikal... 47
5.1.1 Perhitungan kemiringan lintasan... 47
5.1.2 Lengkung Vertikal Cekung PPV1... 48
5.1.3 Lengkung Vertikal Cembung PPV2... 51
5.1.4 Lengkung Vertikal Cekung PPV3 ... 53
5.1.5 Lengkung Vertikal Cekung PPV4 ... 56
5.2 Perhitungan Jarak Pandangan... ... 59
5.2.1 Lengkung Vertikal Cembung I ... 59
5.2.1.1 Jarak Pandangan Henti... 59
5.2.1.2 Jarak Pandangan Menyiap ... 59
5.2.2 Lengkung Vertikal Cekung I... 60
5.2.3 Lengkung Vertikal Cembung II ... 61
5.2.3.1 Jarak Pandangan Henti... 61
5.2.3.2 Jarak Pandangan Menyiap ... 62
5.2.4 Lengkung Vertikal Cekung III ... 62
BAB VI PERHITUNGAN GALIAN (CUT) DAN TIMBUNAN (FILL) .... 65
6.1 Perhitungan Luas Galian (Cut) dan Timbunan (Fill)... 66
6.2 Perhitungan Volume Galian (Cut) dan Timbunan (Fill)... 87
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 89
7.1 Kesimpulan ... 89
7.2 Saran... 90
DAFTAR PUSTAKA
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jalan raya merupakan salah satu prasarana transportasi yang dapat menunjang pengembangan suatu wilayah. Semakin lancar transportasi maka semakin cepat suatu wilayah berkembang. Meningkatnya jumlah penduduk akan diikuti dengan meningkatnya kebutuhan sarana transportasi, sehingga perlu dilakukan perencanaan jalan yang sesuai dengan kebutuhan penduduk saat ini. Dewasa ini manusia telah mengenal sistem perencanaan jalan yang baik dan mudah dikerjakan serta pola perencanaannya yang makin sempurna.
Meskipun perencanaan sudah makin sempurna, namun kita sebagai orang teknik sipil tetap selalu dituntut untuk dapat merencanakan suatu lintasan jalan yang paling efektif dan efisien dari alternatif-alternatif yang ada, dengan tidak mengabaikan fungsi-fungsi dasar dari jalan. Oleh karena itu, dalam merencanakan suatu lintasan jalan, seorang teknik sipil harus mampu menyesuaikan keadaan di lapangan dengan teori-teori yang ada sehingga akan diperoleh hasil yang maksimal.
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |2
Selain itu, juga harus diperhatikan elemen – elemen dari perencanaan geometrik jalan, yaitu :
1. Alinyemen horizontal
Pada gambar alinyemen horizontal, akan terlihat apakah jalan tersebut merupakan jalan lurus, menikung ke kiri, atau ke kanan dan akan digambarkan sumbu jalan pada suatu countur yang terdiri dari garis lurus, lengkung berbentuk lingkaran serta lengkung peralihan dari bentuk lurus ke bentuk busur lingkaran. Pada perencanaan ini dititik beratkan pada pemilihan letak dan panjang dari bagian – bagian trase jalan, sesuai dengan kondisi medan sehingga terpenuhi kebutuhan akan pergerakan lalu lintas dan kenyamanannya.
2. Alinyemen vertikal
Pada gambar alinyemen vertikal, akan terlihat apakah jalan tersebut tanpa kelandaian, mendaki atau menurun. Pada perencanaan ini, dipertimbangkan bagaimana meletakkan sumbu jalan sesuai dengan kondisi medan dengan memperhatikan fungsi - fungsi dasar dari jalan tersebut. Pemilihan alinyemen vertikal berkaitan pula dengan pekerjaan tanah yang mungkin timbul akibat adanya galian dan timbunan yang harus dilakukan
3. Penampang melintang jalan
Bagian – bagian dari jalan seperti lebar dan jumlah lajur, ada atau tidaknya median, drainase permukaan, kelandaian serta galian dan timbunan.
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |3
1.2 Maksud dan Tujuan
Tujuan dari perencanaan suatu jalan raya adalah untuk merencanakan suatu lintasan dan dimensi yang sesuai dengan Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya (PPGJR) No. 13 tahun 1970, sehingga dapat menjamin keamanan dan kelancaran lalu lintas. Dari perencanaan itu juga didapat suatu dokumen yang dapat memperhitungkan bobot pekerjaan baik galian maupun timbunan, pekerjaan tanah dan sebagainya sehingga bisa dilakukan perencanaan yang seekonomis mungkin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan geometrik jalan raya adalah: kelas jalan, kecapatan rencana, standar perencanaan, penampang melintang, volume lalu lintas, keadaan topografi, alinyemen horizontal, alinyemen vertikal, bentuk tikungan
1.2.1 Kelas jalan
Jalan dibagi dalam kelas-kelas yang penempatannya didasarkan pada fungsinya juga dipertimbangkan pada besarnya volume serta sifat lalu lintas yang diharapkan akan menggunakan jalan yang bersangkutan.
1.2.2 Volume lalu lintas
Volume lalu lintas dinyatakan dalam Satuan Mobil Penumpang (SMP) yang besarnya menunjukkan jumlah lalu lintas harian rata-rata (LHR) untuk kedua jurusan.
1.2.3 Kecepatan rencana
Kecepatan rencana yang dimaksud adalah kecepatan maksimum yang diizinkan pada jalan yang akan direncanakan sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi pemakai jalan tersebut. Dalam hal ini harus disesuaikan dengan tipe jalan yang direncanakan.
1.2.4 Keadaan topografi
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |4
golongan umum yang dibedakan menurut besarnya lereng melintang dalam arah kurang lebih tegak lurus sumbu jalan. Seperti yang diperlihatkan pada tabel 1.1 berikut :
Tabel 1.1 Klasifikasi Medan Dan Besanya Lereng Melintang
Golongan Medan Lereng Melintang
Datar (D) 0 sampai 9%
Perbukitan (B) 10 sampai 24,9%
Pegunungan (G) > 25%
Adapun pengaruh keadaan medan terhadap perencanaan suatu jalan raya meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Tikungan : Jari-jari tikungan pada pelebaran perkerasan diambil sedemikian rupa sehingga terjamin keamanan dan kenyamanan jalannya kendaraan dan pandangan bebas harus cukup luas.
b. Tanjakan : Dalam perencanaan diusahakan agar tanjakan dibuat dengan kelandaian sekecil mungkin.
1.2.5 Alinyemen horizontal
Alinyemen horizontal adalah garis proyeksi sumbu jalan yang tegak lurus pada bidang peta yang terdiri dari garis –garis lurus yang dihubungkan dengan garis lengkung yang dapat berupa busur lingkaran ditambah busur peralihan ataupun lingkaran saja.
Bagian yang sangat kritis pada alinyemen horizontal adalah bagian tikungan, dimana terdapat gaya yang dapat melemparkan kendaraan ke luar daerah tikungan yang disebut gaya sentrifugal. Atas dasar itu maka perencanaan tikungan diusahakan agar dapat memberikan keamanan dan kenyamanan, sehingga perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |5
b. Lengkung peralihan adalah lengkung pada tikungan yang dipergunakan untuk mengadakan peralihan dari bagian lurus ke bagian lengkung atau sebaliknya.
1.2.6 Alinyemen vertikal (profil memanjang)
Alinyemen vertikal adalah biang tegak yang melalui sumbu jalan atau proyeksi tegak lurus bidang gambar. Profil ini menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka tanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap kemampuan kendaraan dalam keadaan naik dan bermuatan penuh (dimana truk digunakan sebagi kendaraan standar), alinyemen vertikal sangat erat hubungannya dengan besar biaya pembangunan, biaya penggunaan, maka pada alinyemen vertikal yang merupakan bagian kritis justru pada bagian yang lurus.
a. Landai maksimum
Kelandaian maksimum hanya digunakan bila pertimbangan biaya sangat memaksa dan hanya untuk jarak yang pendek. Panjang kritis landai dimaksudkan adalah panjang yang masih dapat diterima tanpa mengakibat gangguan jalannya arus lalu lintas (panjang ini mengakibatkan pengurangan kecepatan maksimum 25 km/jam). Bila pertimbangan biaya memaksa, maka panjang kritis dapat dilampaui dengan syarat ada jalur khusus untuk kendaraan berat.
b. Landai minimum
Pada setiap penggantian landai dibuat lengkung vertikal yang memenuhi keamanan, kenyamanan, dan drainase yang baik. Disini digunakan lengkung parabola biasa.
1.2.7 Penampang melintang
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |6
Penampang melintang jalan yang digunakan harus sesuai dengan kelas jalan dan kebutuhan lalu lintas yang dilayaninya. Penampang melintang utama dapat dilihat pada daftar I PPGJR.
a. Lebar perkerasan
Pada umumnya lebar perkerasan ditentukan berdasarkan lebar jalur lalu lintas normal yang besarnya adalah 3,5 meter sebagaimana tercantum dalam daftar I PPGJR, kecuali:
- Jalan penghubung dan jalan kelas II c = 3,00 meter
- Jalan utama = 3,75 meter
b. Lebar bahu
Untuk jalan kelas III lebar bahu jalan minimum adalah 1,50 – 2,50 m untuk semua jenis medan.
c. Drainase
Drainase merupakan bagian yang sangat penting pada suatu jalan, seperti saluran tepi, saluran melintang, dan sebagainya, harus direncanakan berdasarkan data hidrologis setempat seperti intensitas hujan, lamanya frekuensi hujan, serta sifat daerah aliran.
d. Kebebasan pada jalan raya
Kebebasan yang dimaksud adalah keleluasaan pengemudi di jalan raya dengan tidak menghadapi rintangan. Lebar kebebasan ini merupakan bagian kiri kanan jalan yang merupakan bagian dari jalan (PPGJR No. 13/1970).
1.2.8 Bentuk tikungan
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |7
1.3 Ruang Lingkup Perencanaan
Dalam tugas perencanaan ini, perhitungan dilakukan terdiri dari beberapa tinjauan. Peninjauan ini meliputi :
1. Penentuan lintasan
Penentuan lintasan yang meliputi jarak lintasan, Sudut azimut, Kemiringan jalan, Elevasi jalan pada titik kritis, Luas tampang
2. Alinyemen horizontal
Terdapat tiga jenis lengkung horizontal yang dapat digunakan pada Alinyemen Horizontal, sebagai berikut :
a. Full Circle, digunakan pada tikungan yang mempunyai jari – jari besar dan sudut tangen yang relatif kecil.
b. Spiral Circle Spiral, digunakan pada tikungan yang mempunyai jari–jari kecil dan sudut tangen yang relatif besar.
c. Spiral – Spiral digunakan pada tikungan tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS.
3. Alinyemen vertikal
Pada perencanaan Alinyemen Vertikal,terdapat dua jenis tipe lengkung vertikal yaitu :
a. Lengkung vertikal cembung b. Lengkung vertikal cekung 4. Galian dan timbunan
8
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Bagian Perencanaan
Dalam tugas perencanaan ini, perhitungan dilakukan terdiri dari beberapa tinjauan. Peninjauan ini meliputi penentuan lintasan, alinyemen horizontal, alinyemen vertikal, penampang melintang, dan kubikasi.
2.2 Rumus-Rumus Yang Digunakan
2.2.1 Trase jalan
Rumus-rumus yang digunakan berdasarkan buku ”Perencanaan Trase Jalan
Raya”oleh Bukhari R.A dan Maimunah, tahun 2005.
a. Jarak lintasan
d A–Z = (xZxA)2 (yZyA)2 ………..………....(2.1)
dengan:
d A–Z = jarak dari titik A ke titik Z
xA = koordinat titik A terhadap sumbu x xZ = koordinat titik Z terhadap sumbu x yA = koordinat titik A terhadap sumbu y yZ = koordinat titik Z terhadap sumbu y
b. Sudut azimut
Δ M = arc tan
! "# $ %9
xA = koordinat titik pada awal lintasan sebelum titik M, terhadap sumbu x
yA = koordinat titik pada awal lintasan sebelum titik M, terhadap sumbu y
xM = koordinat titik pada akhir lintasan sesudah titik M, terhadap sumbu x
yM = koordinat titik pada akhir lintasan sesudah titik M, terhadap sumbu y
c. Kemiringan jalan
i A-Z = x100%
d eA eZ
Z A
………...…………..………...(2.3)
dengan:
i A-Z = kemiringan jalan dari titik awal ke titik akhir
eA = elevasi jalan pada titik awal eZ = elevasi jalan pada titik akhir
d A-Z = jarak lintasan dari titik awal ke titik akhir
d. Elevasi jalan pada titik kritis
ek = eT + i x L ...………...(2.4) dengan:
ek = Elevasi muka jalan pada titik kritis eT = elevasi muka jalan pada titik tinjauan
i = kemiringan lintasan pada titik kritis
&'(')*+)++) ,-)./(01.2 3+4+) 5+6+ 7 810
e. Luas tampang
Untuk menghitung luas tampang digunakan rumus-rumus luas segitiga, segi empat, dan trapesium.
2.2.2 Alinyemen horizontal
Berdasarkan Sukirman (1999), untuk perhitungan aliyemen horizontal digunakan rumus-rumus sebagai berikut :
Rmin =
emaks fmaks
V
127
2
……….….……..……...(2.5)
Dmaks =
2
53 . 181913
V
f
emaks maks
……….……...(2.6)
fmax = -0,00065 v + 0.192 (untuk Vrencana 40-80 km/jam) ……...(2.7)
a. Full circle
TC= RCtan ½∆... (2.8)
EC= TCtan1/4∆ ………... (2.9)
LC= 0,01745∆ RC………. .(2.10)
dengan:
R = Jari–jari lengkung minimum (m)
= Sudut perpotongan ( ° )
Ec = Jarak PI ke lengkung peralihan (m) Lc = Panjang bagian tikungan (m) Tc = Jarak antara TC dan PI (m)
untuk lebih jelasnya lengkung horizontal tipe full circle dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut :
9:;:<=><>>< ?@<AB;CDAE F>G>< H>I> J K11
Gambar 2.1. Lengkung Busur Lingkaran Sederhana
b. Spiral Circle Spiral
θ s = ………...(2.11)
LMNMOPQOQQO RSOTUNVWTX YQZQO [Q\Q ] ^12
1
2B 12B
Ts
CS B
Lc Es
Q
Rc Rc
TS
SC Ls
Øc
Øs Øs
Ls
p’ p’
ST k
Es = jarak PI ke lengkung peralihan (m) Ls = panjang lengkung spiral (m) Lc = panjang lengkung circle (m)
β = sudut perpotongan ( ° )
untuk lebih jelasnya lengkung horizontal tipe spiral-circle-spiral dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut :
Gambar 2.2. Lengkung Spiral-Lingkaran–Spiral Simetris.
2.2.3 Alinyemen vertikal
Berdasarkan Sukirman (1999), untuk perhitungan aliyemen vertikal digunakan rumus-rumus sebagai berikut :
a. Lengkung vertikal cembung
A = g1- g2 ...……...….(2.26)
Ev = 800
AxLv
………... ……….......(2.27)
_`a`bcdbddb efbghaijgk ldmdb ndod p q13
Ev = Pergeseran vertikal dari titik PPV ke bagian lengkung g1 = aljabar kelandaian lintasan pertama
g2 = aljabar kelandaian lintasan kedua A = perbedaan aljabar kelandaian (%) Lv = panjang lengkung (m)
b. Lengkung vertikal cekung
Rumus-rumus yang digunakan sama dengan lengkung vertikal cembung, namun pada saat penentuan Lv digunakan gambar pada lampiran A.2.
2.2.4 Jarak pandangan
Kemungkinan untuk melihat kedepan adalah faktor dalam suatu operasi di jalan agar tercapai keadaan yang aman dan efisien, untuk itu harus diadakan jarak pandang yang cukup panjang sehingga pengemudi dapat memilih kecepatan dari kendaraan dan tidak menghambat barang tak terduga diatas jalan. Demikian pula untuk jalan dua jalur yang memungkinkan pengendara berjalan diatas jalur berlawanan untuk menyiap kendaraan dengan aman.Jarak pandangan ini untuk keperluan perencanaan dibedakan atas:
a. Jarak pandangan henti
Jarak ini minimum harus dipenuhi oleh setiap pengemudi untuk menghentikan kendaraan yang sedang berjalan setelah melihat adanya rintangan di depannya. Jarak ini merupakan jumlah dua jarak dari:
- Jarak yang ditempuh dari saat melihat benda sampai mengijak rem - Jarak untuk berhenti setelah mengijak rem
rstsuvwuwwu xyuz{t|}z~ wwu ww 14
dibutuhkan dari saat melihat rintangan sampai menginjak pedal rem, disebut sebagai waktu reakasi adalah 2,5 detik, oleh karena itu dalam perencanaan diambil waktu reaksi (t=2,5) detik. Jarak tempuh selama waktu tersebut adalah sebesar d1, rumus
perhitungan jarak pandang dapat dilihat sebagai berikut: d1= kecepatan x waktu
d1= v x t
jika :
d1= jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak pedal
v = kecepatan km/jam t = waktu reaksi = 2,5 detik maka :
d1= 0,278 v t ………...….(2.28)
Jarak mengerem (d2) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan dari
menginjak pedal rem sampai kendaraan itu berhenti. Jarak pengereman dipengaruhi oleh faktor ban, sistim pengereman itu sendiri, kondisi muka jalan, dan kondisi permukaan jalan. Pada sistim pengereman kendaraan, terdapat beberapa kendaraan, terdapat beberapa kendaraan yaitu menurunnya putaran roda dan gesekan antara ban dan permukaan jalan akibat terkuncinya roda. Untuk perencanaan hanya diperhitungkan akibat adanya gesekan antara ban dan muka jalan. Dari buku Silvia sukirman hal 52, jarak mengerem dapat dirumuskan sebagai berikut:
d2=
fm v
254
2
...(2.29)
keterangan :
fm = koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah memanjang jalan
d2 = jarak mengerem, m
V = kecepatan kendaraan, km/jam g = 9,81 m/det2
G = berat kendaraan, ton
15
d = d1+ d2 ...(2.30)
Jarak pandang henti minimum juga sangat dipengaruhi oleh kelandaian. Jalan-jalan yang mempunyai kelandaian harga berat kendaraan sejajar permukaan jalan, yang memberikan pengaruh cukup berarti pada penentuan jarak mengerem. Pada jalan-jalan menurun jarak mengerem akan bertambah panjang, sedangkan untuk jalan-jalan mendaki jarak mengerem akan bertambah pendek. (Silvia : 56) merumuskan sebagai berikut:
G fm d2 G L d2= 1/2 2
v g
G
Dengan demikian rumus diatas akan menjadi:
d = 0,278 V t +
f L
v
254
2
...(2.31)
dimana:
L = besarnya landai jalan dalam desimal + = untuk pendakian
- = umtuk penurunan
b. Jarak pandangan menyiap
Jarak pandangan menyiap adalah jarak yang dibutuhkan untuk menyusul kendaraan lain yang dipergunakan hanya pada jalan 2 jalur. Besarnya jarak pandang menyiap minimum dapat dilihat dalam daftar II PPGRJ No. 13/1970.
Jarak pandang diukur dari ketinggian mata pengemudi kepuncak penghalang. Untuk jarak pandang henti ketinggian mata pengemudi adalah 125 cm dan ketinggian penghalang adalah 10 cm, sedang untuk jarak pandang menyiap ketinggian mata pengemudi adalah 125 cm dan ketinggian penhalang 125 cm.
¡¢£ ¤ ¥¦ §¨ © ª16
kendaraan dari arah yang berlawanan. Jarak yang dibutuhkan pengemudi sehingga dapat melakukan gerakan menyiap dengan aman dan dapat melihat kendaraan dari arah depan dengan bebas dinamakan jarak pandang menyiap. (Silvia : 60) merumuskan, untuk jarak pandang menyiap standar adalah sebagai berikut:
d = d1+ d2+ d3+ d4 ...(2.32) dimana:
d1 = 0,278 t1
2 1
t a m
v ...(2.33)
keterangan:
d1= Jarak yang ditempuh kendaraan yang hendak menyiap selama waktu reaksi dan waktu membawa kendaraannya yang hendak membelok ke lajur kanan.
t1 = Waktu reaksi, yang besarnya tergantung dari kecepatan yang dapat ditentukan dengan korelasi t1= 2,12 + 0,026 V.
m = Perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang disiap m = 15 km/jam.
V = Kecepatan rata-rata yang kendaraan yang menyiap, dalam perhitungan dapat diaanggap sama dengan kecepatan rencana km/jam.
a = Percepatan rata-rata yang besarnya tergantung dari kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap yang dapat ditentukan dengan menggunakan korelasi a = 2,052 + 0,0036 V
d2 = 0,278 v t2 ...(2.34)
dimana:
d2 = jarak yang di tempuh selama kendaraan yang menyiap berada pada jalur
kanan.
t2 = waktu dimana kendaraan yang menyiap berada pada lajur kanan yang dapat
ditentukan dengan mempergunakan korelasi t2= 6,56 + 0,048 V
d3= diambil 30–100 meter
«¬¬®¯°®°°® ±²®³´µ¶³· ¸°¹°® º°»° ¼ ½17
Didalam perencanaan seringkali kondisi jarak pandangan menyiap standar ini terbatasi oleh kekurangan biaya, sehingga jarak pandangan menyiap yang dipergunakan dapat mempergunakan jarak pandangan menyiap minimum (dmin).
dminimum=
3 2
d2+ d3+ d4 ...(2.35)
c. Jarak pandangan pada lengkung horizontal
Jarak pandangan pengemudi kendaraan yang bergerak pada lajur tepi sebelah dalam seringkali dihalangi oleh gedung-gedung, hutan-hutan kayu, tebing galian dan lain sebagainya. Demi menjaga keamanan pemakai jalan, panjang sepanjang jarak pandangan henti minimum harus terpenuhi sepanjang lengkung horizontal, dengan demikian terdapat batas minimum jarak antara sumbu lajur sebelah dalam dengan penghalang (m).
Penentuan batas minimum jarak antara sumbu lajur sebelah dalam kepenghalang ditentukan berdasarkan kondisi dimana jarak pandangan berada didalam lengkung. Atau jarak pandangan lebih kecil dari lengkung horizontal. (Silvia
: 148) merumuskan untuk perhitungan jarak pandangan pada lengkung horizontal
berdasarkan gambar 2.3 sebagai berikut :
Gambar 2.4. Jarak Pandangan pada Lengkung Horizontal untuk S < L
S
O Ø R’
R’ R’
R’ m
¾¿À¿ÁÂÃÁÃÃÁ ÄÅÁÆÇÀÈÉÆÊ ËÃÌÃÁ ÍÃÎÃ Ï Ð18
Garis AB = garis pandangan Lengkung AB = jarak pandangan
m = jarak dari penghalang ke lajur sebelah dalam (m)
φ = setengah sudut pusat lengkung sepanjang L S = jarak pandangan (m)
R' = radius sumbu lajur sebelah dalam (m) m = R' - R' cos φ
d. Jarak pandangan pada lengkung vertikal cembung
(Silvia : 164) Bentuk lengkung vertikal yang diuraikan terdahulu, berlaku untuk lengkung vertikal cekung. Hanya saja untuk masing-masing lengkung terdapat batasan-batasan yang berhubungan dengan jarak pandangan. Pada lengkung vertikal cembung, pembatasan berdasarkan jarak pandangan yang dapat dibedakan atas dua keadaan yaitu :
ÑÒÓÒÔÕÖÔÖÖÔ ×ØÔÙÚÓÛÜÙÝ ÞÖßÖÔ àÖáÖ â ã19
1) Lengkung vertikal cembung dengan (S<L)
Untuk lengkung vertikal cembung (S<L) dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.5. Jarak Pandangan pada Lengkung Vertikal Cembung (S < L).
Dari gambar 2.5 diatas, untuk menentukan jarak pandangan dirumuskan berdasarkan gambar adalah sebagai berikut:
L =
Dalam perencanaan ini digunakan jarak pandangan henti menurut Bina Marga, dimana :
h1= 10 cm = 0,10 meter
äåæåçèéçééç êëçìíæîïìð ñéòéç óéôé õ ö20
C = konstanta garis pandangan untuk lengkung vertical cembung dimana S<L
Tabel 2.1. Nilai C untuk beberapa h1dan h2berdasarkan AASTHO dan Bina Marga.
AASTHO '90 Bina Marga '90
JPH JPM JPH JPM
Tinggi mata pengemudi (h1) (m) 1,07 1,07 1,20 1,20
Tinggi objek (h2) (m) 0,15 1,30 0,10 1,20
Konstanta C 404 946 399 960
JPH = Jarak pandangan henti JPM = Jarak pandangan menyiap
e. Jarak pandangan pada lengkung vertikal cekung
Menurut Silvia (1994) jarak pandangan pada lengkung vertikal cekung dipengaruhi oleh bentuk lengkung aliyemen horizontal, jarak penyinaran lampu kendaraan, jarak pandangan bebas dibawah bangunan, kenyamanan pengemudi,dan keluwesan bentuk.
1) Lengkung vertikal cekung dengan (S<L)
Untuk lengkung vertikal cekung (S<L) dapat digambarkan sebagai berikut.
÷øùøúûüúüüú ýþúÿ ùÿ üüú üü 21
Diasumsikan titik PPV berada dibawah bangunan.
E
Jika jarak bebas dari bagian bawah bangunan atas kejalan adalah C, maka:
m =
2) Lengkung vertikal cekung dengan (S>L)
Untuk lengkung vertikal cekung (S>L) dapat digambarkan sebagai berikut:
22
Diasumsikan titik PPV berada dibawah bangunan.
E
2.2.5 Pelebaran perkerasan pada lengkung horizontal
Elemen–elemen pelebaran perkerasan tikungan terdiri dari :
a. Off Tracking (U)
b. Kesukaran mengemudi di tikungan (Z)
Adapun rumus yang digunakan dalam perhitunagn pelebaran perkerasan (Silvia Sukirman : 145) adalah ;
Untuk ukuran kendaran rencana Truk adalah : p = jarak antar gandar = 6,5 m
!" "" #$ %&'(%) *"+" ,"-" . /23
Bt = n.(B+C)+Z………...…...(2.51)
∆b = Bt– Bn………...……...(2.52)
Keterangan :
Rc = radius lajur sebelah dalam–½ lebar perkerasan +1/2 b.
Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan V = kecepatan, km/jam
R = radius lengkung,m
B =lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah dalam.
C = lebar kebebasan samping d kiri dan kanan kendaran Bn =lebar total perkerasan pada bagian lurus
Bt =lebar total perkerasan di tikungan
∆b =tambahan lebar perkerasan di tikungan
2.2.6 Galian (cut) dan timbunan (fill)
Rumus-rumus yang digunakan adalah rumus-rumus luas segitiga, segiempat, trapesium dan untuk keadaan tertentu dipakai rumus interpolasi serta untuk perhitungan volume digunakan rumus kubus dan kerucut.
a. Luas segiempat A = P x L dengan:
A = luas segiempat (m2) P = panjang (m)
L = lebar (m) b. Luas segitiga
A = ½ a x t dengan:
01213453553 673892:;8< =5>53 ?5@5 A B24
a = panjang sisi alas (m) t = panjang sisi tegak (m) c. Luas trapesium
A = ½ (a + b) x t dengan:
A = luas segitiga (m2) a = panjang sisi atas (m) b = panjang sisi bawah (m) t = panjang sisi tegak (m) d. Interpolasi
Nilai interpolasi merupakan perbandingan segitiga, Seperti diperlihatkan pada gambar 2.8 di bwah ini :
T im b u n a n
Gambar 2.8. Interpolasi Nilai x pada Galian dan Timbunan. a : b = (L-x) : x
ax = b. L–b . x
ax + bx = b. L (a + b)x = b. L
x =
b a
bxL
CDEDFGHFHHF IJFKLEMNKO PHQHF RHSH T U25
2.2.7 Stationing (STA)
Stationing adalah pemberian nomor pada interval-interval tertentu dimulai dari titik
awal pekerjaan (Sukirman,1999). Seperti yang dipelihatkan pada gambar 2.9 berikut
:
Gambar 2.9. Perhitungan Stationing. Sta TC = Sta titik A + d1–T
Sta CT = d1+ T
Sta TS = Sta CT + (d2–T–Ts)
Sta SC = Sta TS + Ls Sta ST = d2+ Ts
Sta CS = Sta ST–Ls A
T T
d1
TC
Lc CT
d2
TS SC
CS ST
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |26
BAB III
PENCARIAN TRASE
3.1 Perencanaan Trase
Perencanaan trase dilakukan berdasarkan keadaan topografi. Topografi merupakan bentuk permukaan tanah asli yang digambarkan secara grafis pada bidang kertas kerja dalam bentuk garis-garis yang sering disebut transis. Garis-garis transisi ini digambarkan pada setiap kenaikan atau penurunan 1 meter.
Pemilihan lintasan trase yang menguntungkan dari sudut biaya adalah pemilihan trase yang menyusuri atau sejajar garis transis. Namun demikian pemilihan trase seperti tersebut diatas sulit dipertahankan apabila medan yang dihadapi merupakan medan berat, yaitu medan yang terdiri dari pegunungan dan lembah-lembah dengan luas pengukuran topografi yang relative sempit.
Pada perencanaan trase dengan mempertimbangkan volume pekerjaan tanah, dilakukan berdasarkan posisi garis-garis transis relative mengikuti arah memanjang pengukuran peta topografi, maka perencanaan trase relative menyusuri garis transis tersebut. Sebaliknya apabila posisi garis-garis transis relative melintang dari arah memanjang pengukuran peta topografi dalam jumlah yang banyak serta jarak yang rapat, maka pemilihan trase dilakukan dengan cara memotong garis-garis tersebut.
Untuk menentukan posisi titik awal, titik akhir, dan panjang trase dilakukan dengan system koordinat stasiun, yaitu berdasarkan letak titik yang ditinjau terhadap koordinat peta topografi yang berskala 1 : 2000.
Dalam perencanaan ini, pencarian trase dilakukan dengan cara coba-coba dengan memperhatikan batasan-batasan yang telah ditetapkan, dalam tugas ini yaitu memiliki sekurang-kurangnya tiga tikungan.
Peta topografi yang ditentukan pada tugas rancangan ini merupakan: 1. Keadaan gunung
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |27
Langkah awal dari pencarian trase dimulai dengan cara menarik garis rencana yang agak sejajar dengan garis contour supaya diperoleh kelandaian yang kecil, Menurut Bina Marga kelandaian maksimal 10%. Selanjutnya juga diperhatikan jumlah tikungan serta jarak lintasan yang diperoleh. Setelah diperoleh lintasan dengan berbagai kriteria diatas, perlu diperhatikan lagi volume cut dan fill yang terjadi. Dalam hal ini disarankan agar penimbunan tidak dilakukan pada tanjakan dan tidak lebih dari 4 meter. Pemilihan yang terakhir didasarkan pada kelandaian, tanjakan, jumlah tikungan, jarak tempuh, dan volume cut dan fill. Diusahakan agar pemilihan dapat seekonomis mungkin.
3.2 Alasan Pemilihan Trase
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa trase yang dipilih hendaknya memenuhi syarat-syarat di atas. Berdasarkan pemilihan trase ini dapat disimpulkan bahwa untuk memilih trase yang lebih ekonomis tidak dapat hanya berpedoman pada panjangnya trase. Trase terpendek belum tentu merupakan yang paling ekonomis. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dipilih trase rencana dengan medan yang relatif tidak memerlukan pekerjaan tanah yang besar dan jarak yang tidak terlalu panjang. Pemilihan trase didasarkan pada trial dan error.
3.3 Perhitungan Trase
Trase jalan dari titik Y ke titik P seperti di peta transis:
1. Titik Y (x = 788102; y =671531) ke titik PI1(x = 788503; y = 671783)
2. Titik PI1(x = 788503; y = 671783) ke titik PI2( x = 788953; y = 671600)
3. Titik PI2( x = 788953; y = 671600)ke titik PI3( x = 789200; y = 671400)
4. Titik PI3(x = 789200; y = 671400)ke titik P ( x =789400; y = 671155)
Perhitungan jarak antara titik potong :
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |28
Titik PI2koordinat x = 788953 ; y = 671600
Titik PI3koordinat x = 789200 ; y = 671400
Titik P koordinat x = 789400 ; y = 671155
Jarak antara titik potong ini dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
d Y–PI1 = 1 2
Sudut Azimut masing–masing titik perpotongan
Sudut azimut ini dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 2.2 sebagai berikut:
Sudut Azimut = arc tan
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |29
Menentukan kemiringan jalan
Kemiringan jalan ini dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 2.3 sebagai berikut:
i = x100%
I h
Dimana :
h = beda tinggi permukaan jalan I = jarak antara 2 (dua) titik
a. Kemiringan lintasan Y- PI1
Elevasi muka tanah Y : 206 Elevasi muka tanah PI1 : 210
Jarak titik Y–PI1 : 473,61 m
b. Kemiringan lintasan PI1–PI2
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |30
Elevasi muka tanah PI2 : 207
Jarak titik PI1–PI2 : 485,79 m
c. Kemiringan lintasan PI2- PI3
Elevasi muka tanah PI2 : 207
Elevasi muka tanah PI3 : 202,5
Jarak titik PI2–PI3 : 317,82 m
d. Kemiringan lintasan PI3-P
Elevasi muka tanah PI3 : 200,5
Elevasi muka tanah P : 202,5 Jarak titik PI3–P : 316,27 m
SEMA LINTASAN TRASE
Y
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |31
Dari nilai tanjakan dan penurunan yang diperoleh, kelihatan bahwa lintasan memenuhi syarat. Namun masih harus di cek beberapa titik kritis diantara titik lintasan tersebut:
Menentukan titik kritis
Titik K1
Elevasi muka tanah = 207
Elevasi muka jalan = 206 + (0,0084 o 40) = 206,336 m
Dengan demikian ada galian sebesar = 206,336 - 207
= 0,664 m (-) < 8 m, aman Titik K2
Elevasi muka tanah = 208
Elevasi muka jalan = 206 + (0,0084 o 80) = 206,672 m
Dengan demikian ada galian sebesar = 206,672 - 208
= 1,328 m (-) < 8 m, aman Titik K3
Elevasi muka tanah = 209
Elevasi muka jalan = 206 + (0,0084 o 120) = 207,008 m
Dengan demikian ada galian sebesar = 207,008 - 209
= 1,192 m (-) < 8 m, aman Titik K4
Elevasi muka tanah = 210
Elevasi muka jalan = 206 + (0,0084 o 168) = 207,441 m
Dengan demikian ada galian sebesar = 207,441 - 210
= 2,589 m (-) < 8 m, aman Titik K5
Elevasi muka tanah = 211
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |32
Dengan demikian ada galian sebesar = 208,067 - 211
= 2,934 m (-) < 8 m, aman Titik K6
Elevasi muka tanah = 211
Elevasi muka jalan = 206 + (0,0084 p 336) = 208,822 m
Dengan demikian ada galian sebesar = 208,822- 211
= 2,172 m (-) < 8 m, aman Titik K7
Elevasi muka tanah = 210
Elevasi muka jalan = 210 - (0,0062 p 213) = 208,685 m
Dengan demikian ada galian sebesar = 208,685 - 210
= 1,315 m (-) < 8 m, aman Titik K8
Elevasi muka tanah = 209
Elevasi muka jalan = 210 - (0,0062 p 301) = 208,141 m
Dengan demikian ada galian sebesar = 208,141 - 209
= 0,859m (-) < 8 m, aman Titik K9
Elevasi muka tanah = 208
Elevasi muka jalan = 210 - (0,0062 p 394) = 207,567 m
Dengan demikian ada galian sebesar = 207,567 - 208
= 0,433 m (-) < 8 m, aman Titik K10
Elevasi muka tanah = 206
Elevasi muka jalan = 207 - (0,0142 p 61) = 206,136 m
Dengan demikian ada timbunan sebesar = 206,136 - 206
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |33
Titik K11
Elevasi muka tanah = 205
Elevasi muka jalan = 207 - (0,0142 q 136) = 205,074 m
Dengan demikian ada timbunan sebesar = 205,074 - 205
= 0,074 m < 4 m, aman Titik K12
Elevasi muka tanah = 204
Elevasi muka jalan = 207 - (0,0142 q 207) = 204,069 m
Dengan demikian ada timbunan sebesar = 204,069 - 204
= 0,069 m < 4 m, aman Titik K13
Elevasi muka tanah = 203
Elevasi muka jalan = 207 - (0,0142 q 282) = 203,007 m
Dengan demikian ada timbunan sebesar = 203,007 - 203
= 0,007 m < 4 m, aman
Titik K14
Elevasi muka tanah = 202
Elevasi muka jalan = 202,5 - (0,0063 q 42) = 202,236 m
Dengan demikian ada timbunan sebesar = 202,236 - 202
= 0,236 m < 4 m, aman
Titik K15
Elevasi muka tanah = 201
Elevasi muka jalan = 202,5 - (0,0063 q 227) = 201,072 m
Dengan demikian ada timbunan sebesar = 201,072 - 201
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |34
Tabel 3.1 Perhitungan titik kritis
Pias TitikKritis cmJarak m Kemiringan 206Elevasi (m)Jalan Galian TimbunanKedalaman (m)
Y-PI1 k1 2 40 0.845 207.000 206.338 0.662 0.000 k2 3.95 79 0.845 208.000 206.667 1.333 0.000
k3 6.4 128 0.845 209.000 207.081 1.919 0.000
k4 8.4 168 0.845 210.000 207.419 2.581 0.000
k5 12.3 246 0.845 211.000 208.078 2.922 0.000
k6 16.8 336 0.845 211.000 208.838 2.162 0.000
PI1-PI2 k7 10.65 213 -0.618 210.000 208.685 1.315 0.000 k8 15.05 301 -0.618 209.000 208.141 0.859 0.000
k9 19.7 394 -0.618 208.000 207.567 0.433 0.000
PI2-PI3 k10 3.05 61 -1.416 206.000 206.136 0.000 0.136 k11 6.8 136 -1.416 205.000 205.074 0.000 0.074
k12 10.35 207 -1.416 204.000 204.069 0.000 0.069
k13 14.1 282 -1.416 203.000 203.007 0.000 0.007
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |35
BAB IV
PERENCANAAN ALINYEMEN HORIZONTAL
4.1 Alinyemen Horizontal
Direncanakan pembuatan jalan kelas III untuk jalan penghubung . Peraturan Perencanaan Jalan Raya (PPGJR) N0.13/1970 standar geometrik adalah sebagai berikut:
Klasifikasi Jalan : Kelas III
Kecepatan Rencana : 60 km/jam
Lebar perkerasan : 2 x 3,75 m
Lebar Bahu jalan : 2 x 1,5 m
Miring Melintang Jalan (Transversal) : 2 %
Miring Melintang Bahu Jalan : 4 %
Miring memanjang jalan (longitudinal) maksimal : 10 %
Kemiringan Talud : 1 : 2
Dari peta topografi, trase jalan yang direncanakan merupakam trase jalan alternative I yang terdapat tiga tikungan horizontal yaitu :
1. Lengkung horizontal A : PI1= 54,276°
2. Lengkung horizontal B : PI2= 16,868°
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |36
4.1.1 Lengkung horizontal I
Menggunakan lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (Spiral-Circle-Spiral) seperti yang tertera pada bab I, perhitungan sebagai berikut:
β= 54,276° V = 60 Km/Jam
Direncanakan jari-jari Rc = 286 m
Melalui tabel 4.7 (silvia : 113) diperoleh: e = 0,064 dan Ls = 50 m
Besar Sudut Spiral
Besar pusat busur lingkaran
s
c β θ
θ 2
= 54,276,° - (2 x 5,008°) = 44,263°
Panjang lengkung circle
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |37
Ts = ( Rc + P) tg 1/2β+ k
= (286 + 0,364) tg ½ 54,276° + 24,993 = 171,7893 m
Es = (Rc + P) sec ½ β - Rc
= (286 + 0,364) sec ½ 54,276°–286 = 35,7958 m
Kontrol : L< 2 Ts
320,946 m < (2 x 171,7893) m
320,946 m < 343,5786m ………(Benar)
Landai relatif BM = [(0,02 + 0,039) x 3,75] / 50 = 0,00425
Gambar 4.1 Lengkung Horizontal PI1
Es = 35,796 m
Lc = 220,946 m ? =54,28°
44,263°
5.008°
TS SC TS=17
1,789
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |38
Gambar 4.2 Diagram Superelevasi untuk Lengkung Horizontal PI1
Gambar 4.3. Landai Relatif untuk Lengkung Horizontal PI1
TS
SC
CS
ST
Ls = 50 M Lc = 220,946 Ls = 50 M
E
MAKS =6.4%
E
MAKS =6.4%
2% 2%
2% 2% 2%
6.4%
0%
6.4%
2%
6.4%
2%
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |39
4.1.2 Lengkung horizontal II (FC)
Menggunakan tikungan jenis Full Circle dengan Rc = 716 m VR = 60 km/jam
e max = 0,1
β = 16,868°
Lebar jalan = 2 3,75 m ; e max = 10 %
Dari tabel 4.7 (Metode Bina Marga), didapat e = 0,029 dengan Ls = 50 m
Tc = Rc tan β
Landai relatif =
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |40
Gambar 4.4 Lengkung Horizontal PI2
L c = 2 1 0 ,7 7 7 m
1 6 ,8 7 °
P I
21 0 6 ,1 8
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |41
Gambar 4.5 Diagram Superelevasi untuk Lengkung Horizontal PI2
Gambar 4.6 Landai Relatif untuk Lengkung Horizontal PI2
TC
CT
Ls = 50 M Lc = 210,777 m
E
MAKS =2.9%
2% 2%
2% 2%
1,675%
0%
Ls = 50 M
2,9% 2,9%
2%
2%
2% 2%
1,675%
0%
2,9% 2,9%
1 4 Ls 3
4 Ls
2% 2%
3,75 m 3,75 m
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |42
4.1.3 Lengkung horizontal III (FC)
Menggunakan tikungan jenis Full Circle dengan Rc = 955 m VR = 60 km/jam
e max = 0,1
β = 11,777°
Lebar jalan = 2 3,75 m ; e max = 10 %
Dari tabel 4.7 (Metode Bina Marga), didapat e = 0,023 dengan Ls = 50 m
Tc = Rc tan β
Landai relatif =
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |43
Gambar 4.7 Lengkung Horizontal PI3
Lc = 196,311 m
11,78°
PI
298,521
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |44
Gambar 4.8 Diagram Superelevasi untuk Lengkung Horizontal PI3
Gambar 4.9 Landai Relatif untuk Lengkung Horizontal PI3
TC
CT
Ls = 50 M Lc = 196,311 m
E
MAKS =2.3%
2% 2%
2% 2%
1,225%
0%
Ls = 50 M
2,9% 2,9%
2%
2%
2% 2%
1,225%
0%
2,9% 2,9%
1 4 Ls 3
4 Ls
2%
2%
3,75 m
3,75 m
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |45
4.1.4 Perhitungan Stasioning Horizontal
Dalam menghitung panjang horizontal, perlu dibuat piel-piel stasiun sehingga dengan panjang tikungan yang telah dihitung akan didapatkan panjang horizontal jalan.
Lengkung Horizontal A (S-C-S)
Dari perhitungan lengkung horizontal A diperoleh: STA PI1 = STA Y + (d(Y- PI1))
= 0,000 + 473,61
= 473,61 m atau 0+ 473,61 m STA TS1 = STA PI1- (d(TS1))
= 473,61–171,7893
= 301,8207 m atau 0+ 301,8207 m STA SC1 = STA TS1+ Ls
= 301,8207 + 50
= 361,8207 m atau 0+ 361,8207 m STA ST1 = STA PI1+ (d(TS1))
= 473,61 m + 171,7893 m
= 645,3993 m atau 0+ 645,3993 m STA CS1 = STA ST1- Ls
= 645,3993 m - 50 m
= 595,3993 m atau 0+ 595,3993 m
Lengkung Horizontal B (FC)
Dari perhitungan lengkung horizontal A diperoleh: STA PI2 = STA PI1+ ( d(PI2))
= 473,61 m + 485,79
= 959,40 m atau 0 + 959,40 m STA TC2 = STA PI2- ( d(TC2))
= 959,40 m - 106,177 m
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I |46
STA CT2 = STA PI2+ ( d(TC2))
= 959,40 m + 106,177 m
= 1.065,577 m atau 1 + 065,577 m Lengkung Horizontal C (FC)
Dari perhitungan lengkung horizontal A diperoleh: STA PI3 = STA PI2+ ( d(PI3))
= 959,40 m + 317,82
= 1.277,92 m atau 1 + 277,92 m STA TC3 = STA PI3- ( d(TC3))
= 1.277,92 m–98,521 m
= 1.178,699 m atau 1 + 178,699 m STA CT3 = STA PI3+ ( d(TC3))
= 1.277,92 m + 98,521 m
= 1.376,441 m atau 1 + 376,441 m
Dari semua tikungan yang sudah dihitung, dimuat dalam suatu tabel sebagai berikut :
PI 1 2 3
STA 473,61 m 959,40 m 1277,92 m
X 788503 788953 789200
Y 671783 671600 671400
Δ 54 17 12
VR 60 km/jam 60 km/jam 60 km/jam
Rc 286 m 716 m 955 m
Ls 50 m 50 m 50 m
θ s 5,008° -
-θ c 44,263° -
-Ts 171,789 m -
-Tc - 106,177 m 98,521 m
Es 35,796 m -
-Ec - 7,830 m 5,068 m
Lc 220,946 m 210,777 m 196,311 m
L 320,946 m -
-e 6,4% 2,9% 2,3%
Jenis
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 47
BAB V
PERENCANAAN ALINYEMEN VERTIKAL
5.1 Perencanaan Alinyemen Vertikal
Pergantian dari satu kelandaian ke kelandaian yang lain dilakukan dengan menggunakan lengkung vertikal. Lengkung vertikal tersebut direncanakan sedemikian rupa sehinggga memenuhi keamanan dan kenyamanan drainase.
Jenis lengkung vertikal dilihat dari letak titik perpotongan kedua bagian lurus (tangen) adalah:
1. Lengkung vertikal cekung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada di bawah permukaan jalan.
2. Lengkung vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan.
Dalam perencanaan alinyemen vertikal, diperoleh dua buah lengkung vertikal cekung dan satu buah lengkung vertikal cembung.
5.1.1 Perhitungan kemiringan lintasan
Titik Y ke PPV1
g1= jarak
elevasiY elevasiPPV1
g1= 2,21%
5 , 257
206 7 ,
211
Titik PPV1 ke PPV 2
g2= jarak
elevasiPPV elevasiPPV2 1
g2= 0,69%
5 , 462
7 , 211 5 ,
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 48
Titik PPV2 ke PPV 3 g3=
jarak
elevasiPPV elevasiPPV3 2
g3= 0,37%
Titik PPV3 ke PPV 4 g4=
jarak
elevasiPPV elevasiPPV4 3
g4= 1,79%
Titik PPV4 ke Titik P g5=
5.1.2 Lengkung vertikal cembung I pada STA 0 + 257,5
Gambar 5.1 Lengkung Vertikal Cembung I pada STA 0 + 257,5
g1 = 2,21 %
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 49
Berdasarkan nilai A = 2,9 % dan V = 60 km/jam, dari grafik V PPMJR diperoleh Lv = 40 m.
Ev =
800 Lv A
800 40 2,90
= 0,145 m
Posisi titik di lengkung vertikal cembung sta 0+257,5 m
PLV1 = PPV1–½.Lv
= (0 + 257,5)–20 = 0 + 237,5 m Titik antara PLV dan PPV
= STA (0 + 257,5) + ¼ LV = (0 + 257,5) + ¼ (40) = 0 + 247,5m
PPV = STA 0 + 257,5 = 0 + 257,5 m Titik antara PPV dan PTV
= STA (0 + 257,5) + ¼ LV = (0 +257,5) + ¼ (40) = 0 + 267,5m
PTV = PPV + ½.Lv = (0 + 257,5) + 20 = 0 + 277,5m
Mencari elevasi sumbu jalan pada setiap Sta:
Persamaan umum, lengkung vertikal : y =
200L
Ax2
Kedudukan titik di sepanjang lengkung vertikal dihitung sebagai berikut:
PLV, Sta 0 + 237,5 : x = 0 ; y = 0
Sta 0 + 247,5 : x = 10 ; y =
40 200
10 9 .
2 2
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 50
PPV, Sta 0 +257,5 : x = 20 ; y =
40 200
20 9 .
2 2
0,145 m
Sta 0 + 267,5 : x = 10 ; y =
40 200
10 9 .
2 2
0,036 m
PTV, Sta 0 + 277,5 : x = 0 ; y = 0
Elevasi sumbu jalan di lengkung vertikal cembung +211,7 m
Elevasi sumbu jalan PLV = 211,7 - (g1½.Lv)
= 211,7 - (0,0221 %20) - 0 = 211,258 m
Elevasi sumbu jalan titik antara PLV dan PPV = 211,7 - (g1¼ Lv)
= 211,7 - ( 0,0221 %10)–(0,036) = 211,443 m
Elevasi sumbu jalan PPV = 211,7 - Ev = 211,7 - 0,145 = 211,555 m
Elevasi sumbu jalan titik antara PPV dan PTV = 211,7 - (g2¼ Lv)
=211,7 - (0,0069 %10)–(0,0036) = 211.595 m
Elevasi sumbu jalan PTV = 211,7 - (g2½.Lv)
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 51
5.1.3 Lengkung vertikal cekung pada STA 0 + 720,00
Gambar 5.2 Lengkung Vertikal Cekung STA 0 + 720
g1 = -0,69 %
g2 = -0,37 %
A = | g1- g2| = -0,69% - (-0,37%) = -0,32 %
Berdasarkan nilai A = -0,32 % dan V = 60 km/jam, dari grafik V PPMJR diperoleh Lv = 40 m.
Ev =
800 Lv A
800 40 32 ,
0
= 0,016 m
Posisi titik di lengkung vertikal cekung sta 0 +720
PLV = PPV–½.Lv = (0 + 720)–20 = 0 + 700 Titik antara PLV dan PPV
= STA (0 + 720) - ¼ LV = (0 + 720) - ¼ (40) = 0 + 710
PLV
g1= -0.69 %PPV
2 g2= -0.37 %PTV
STA 0 + 700
STA 0 + 720
STA 0 + 740
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 52
PPV = STA 0 + 720 = 0 + 720
Titik antara PPV dan PTV
= STA (0 + 720) + ¼ LV
Mencari elevasi sumbu jalan pada setiap Sta:
Persamaan umum, lengkung vertikal : y =
200L
Ax2
Kedudukan titik di sepanjang lengkung vertikal dihitung sebagai berikut:
Elevasi sumbu jalan di lengkung vertikal cekung +208,5
Elevasi sumbu jalan PLV = 208,5 + (g1½.Lv)
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 53
Elevasi sumbu jalan titik antara PLV dan PPV = 208,5 + (g1¼ Lv)
= 208,5 + (0,0069 %10) +(0,004) = 208,573 m
Elevasi sumbu jalan PPV = 208,5 - Ev = 208,5 +(0,016) = 208,516 m
Elevasi sumbu jalan titik antara PPV dan PTV = 208,5 - (g2¼ Lv)
= 208,5 - (0,003710) +(0,004) = 208,467 m
Elevasi sumbu jalan PTV = 208,5 - (g2½.Lv)
= 208,5 - (0,003720) - 0 = 208,426 m
5.1.4 Lengkung vertikal cembung pada STA 1 + 018
Gambar 5.3 Lengkung Vertikal Cembung STA 1 + 018
g1= -0.37 % g2= -1.79 %
PLV
PPV
3PTV
STA 0 + 998
STA 1 + 018
STA 1 + 038
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 54
g1 = -0,37 %
g2 = -1,79 %
A =| g1- g2| = -0,37-(-1,79)
= 1,42 %
Berdasarkan nilai A = + 1,42 % dan V = 60 km/jam, dari grafik V PPMJR diperoleh Lv = 40 m.
Ev =
800 Lv A
800 40 42 ,
1
= 0,071 m
Posisi titik di lengkung vertikal cembung sta 1+018
PLV = PPV–½.Lv = (1+018)–20 = 0+998
Titik antara PLV dan PPV
= STA (1+018) + ¼ LV = (1+018+ ¼ (40) = 1 + 008
PPV = STA 1 + 018 = 1 + 018
Titik antara PPV dan PTV
= STA (1+018) + ¼ LV = (1 + 018) + ¼ (40) = 1 + 028
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 55
Mencari elevasi sumbu jalan pada setiap Sta:
Persamaan umum, lengkung vertikal : y =
200L
Ax2
Kedudukan titik di sepanjang lengkung vertikal dihitung sebagai berikut:
Elevasi sumbu jalan di lengkung vertikal cembung +207,4
Elevasi sumbu jalan PLV = 207,4 + (g1½.Lv)
= 207,4 + (0,003720) - 0 = 207,474 m
Elevasi sumbu jalan titik antara PLV dan PPV = 207,4 + (g1¼ Lv)
= 207,4 + ( 0,003710)–(-0,018) = 207,455 m
Elevasi sumbu jalan PPV = 207,4 - Ev = 207,4–0,071 = 207,329 m Elevasi sumbu jalan titik antara PPV dan PTV
= 207,4 - (g2¼ Lv)
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 56
Elevasi sumbu jalan PTV = 207,4 - (g2½.Lv)
= 207,4 - (0,017920) - 0 = 207,042 m
5.1.5 Lengkung vertikal cekung pada STA 1 + 420
Gambar 5.4 Lengkung Vertikal Cekung STA 1 + 420
g1 = -1,79 %
g2 = +0,17 %
A = | g1- g2| = -1,79% - 0,17% = -1,96 %
Berdasarkan nilai A = -1,96 % dan V = 60 km/jam, dari grafik V PPMJR diperoleh Lv = 40 m.
Ev =
800 Lv A
800 40 96 ,
1
= 0,098 m
Posisi titik di lengkung vertikal cekung sta 1 +420
PLV = PPV–½.Lv = (1 + 420)–20 = 1 + 400 Titik antara PLV dan PPV
= STA (1 + 420) + ¼ LV
PLV
g1= -1.79 %PPV
4 g2= 0.17 %PTV
STA 1 + 400
STA 1 + 420
STA 1 + 440
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 57
= (1 + 420) - ¼ (40) = 1 + 410
PPV = STA 1 + 420 = 1 + 420
Titik antara PPV dan PTV
= STA (1 + 420) + ¼ LV
Mencari elevasi sumbu jalan pada setiap Sta:
Persamaan umum, lengkung vertikal : y =
200L
Ax2
Kedudukan titik di sepanjang lengkung vertikal dihitung sebagai berikut:
Elevasi sumbu jalan di lengkung vertikal cekung +200,2
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 58
= 200,2 + (0,017920) - 0 = 200,558 m
Elevasi sumbu jalan titik antara PLV dan PPV = 200,2 + (g1¼ Lv)
= 200,2 + (0,017910) +(0,025) = 200,404 m
Elevasi sumbu jalan PPV = 200,2 + Ev = 200,2 + (0,098) = 200,298 m
Elevasi sumbu jalan titik antara PPV dan PTV = 200,2 + (g2¼ Lv)
= 200,2 + (0,001710) +(0,025) = 200,242 m
Elevasi sumbu jalan PTV = 200,2 + (g2½.Lv)
= 200 + (0,001720) - 0 =200,234 m
Rekapitulasi alinyemen vertikal
Lengkung Vertikal
g1 (%)
g2 (%)
A(g1-g2) (%)
V (km/jam)
Lv (m)
Ev (m)
Cembung I 2.21 -0.69 2,90 60 40 0,145
Cekung I -0.69 -0.37 -0.32 60 40 0,016
Cembung II -0.37 1.79 1.42 60 40 0,071
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 59
5.2 Perhitungan Jarak Pandangan
Jarak pandangan pada lengkung vertikal dapat ditentukan dengan menggunakan rumus-rumus yang diuraikan dalam perencanaan jalan ini, dari sketsa jalan diperoleh dua lengkung vertical cekung dan satu lengkung cembung. Oleh karena itu, perhitungan jarak pandangan dihitung berdasarkan jenis lengkung.
5.2.1 Lengkung Vertikal Cembung I
5.2.1.1 Jarak Pandangan Henti
L =
2 2
399 C A S
S
A
S = C A
L
S =
9 , 2 399
40
S = 0,186 m
(S < L)berarti tidak memenuhi Maka direncanakan S >L ;
= 2 399
2 =399+
=399 + ( . )2
=399 + (2,9 40)2 2,9
S = 88,793 m > 40 m, berarti memenuhi (S > L)
5.2.1.2 Jarak Pandangan Menyiap
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 60
L = 2
2
960 C A S
S
A
S =
A C
L
S =
9 , 2 960
40
S = 0,120 meter
= 0,120 < L = 40 m Berarti tidak memenuhi (S < L) Maka direncanakan S >L ;
= 2 960
2 =960+
=960 + ( . )2
=960 + (2,9 40)2 2,9
S = 185,517 > 40 m, berarti memenuhi (S > L)
5.2.2 Lengkung Vertikal Cekung I
Jarak pandangan pada lengkung vertikal dapat ditentukan dengan menggunakan rumus 2.44, perhitungan sebagai berikut:
Perencanaan S < L (L = 40 m), perhitungan sebagai berikut:
= 120 + 3,5×
AS2= 120L + 3,5 SL
0,32S2–140S–120 (40) = 0 0,32 S2–140S–4800 = 0
= ± 2 4
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 61
S1 = 469,452 m
2 = 2 4 = ( 140) ( 140)2(0,32)4(0,32)( 4800)
S2 = 31,952 m
(S < L)berarti tidak memenuhi Maka direncanakan S >L ;
= 2 120 + 3,5
= +120 + 3,52
2AS = AL + 120 + 3,5 S
3,5 S - 2 x 0,32 S + 0,32 x 40 = 0 3,5 S–0,64 S +120+ 12,8 = 0 2,86 S = 132,8
S = 46,434 m > 40 m, berarti memenuhi (S > L)
5.2.3 Lengkung Vertikal Cembung II
5.2.3.1 Jarak Pandangan Henti
L =
2 2
399 C A S
S
A
S = C A
L
S =
42 , 1 399
40
S = 0,266 meter
(S < L)berarti tidak memenuhi Maka direncanakan S >L ;
= 2 399
2 =399+
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 62
=399 + (1,42 40)2 1,42
S = 160,493 m > 40 m, berarti memenuhi (S > L)
5.2.3.2 Jarak Pandangan Menyiap
Jarak pandangan menyiap dapat ditentukan dengan menggunakan rumus 2.43, perhitungan sebagai berikut:
L = 2
2
960 C A S
S
A
S =
A C
L
S =
42 , 1 960
40
S = 0,171 meter
= 0,171 < L = 40 m Berarti tidak memenuhi (S < L) Maka direncanakan S >L ;
= 2 960
2 =960+
=960 + ( . )2
=960 + (1,42 40)2 1,42
S = 358,028 > 40 m, berarti memenuhi (S > L)
5.2.4 Lengkung Vertikal Cekung II
Jarak pandangan pada lengkung vertikal dapat ditentukan dengan menggunakan rumus 2.44, perhitungan sebagai berikut:
Perencanaan S < L (L = 40 m), perhitungan sebagai berikut:
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 63
AS2= 120L + 3,5 SL
1,96S2–140S–120 (40) = 0 1,96S2–140S–4800 = 0
= ± 2 4
1 = + 2 4 = ( 140) + ( 140)2(1,96)4(1,96)( 4800)
S1 = 96,743 m
2 = 2 4 = ( 140) ( 140)2(1,96)4(1,96)( 4800)
S2 = 25,314 m
(S < L)berarti tidak memenuhi
Maka direncanakan S >L ;
= 2 120 + 3,5
= +120 + 3,52
2AS = AL + 120 + 3,5 S
3,5 S - 2 x 1,96 S + 120 + 1,96x40 = 0 3,5 S–3,92 S + 198,4 = 0
0,42 S = 198,4
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 64
Tabel 5.1 Koordinasi Stasioning Horizontal dan Vertikal
Nomor Jalan (Sta) Panjang Horizontal Jalan
STA Y 0 + 000 m
STA PLV1 0 + 237,5 m
STA PPV1 0 + 257,5 m
STA PTV1 0 + 277,5 m
STA TS1 0+301,8207 m
STA SC1 0+361,8207 m
STA PI1 0+473,61 m
STA CS1 0+595,3993 m
STA TS1 0+645,3993 m
STA PLV2 0 + 700 m
STA PPV2 0 + 720 m
STA PTV2 0 + 740 m
STA TC2 0+853,223 m
STA PI2 0+959,40 m
STA PLV3 0 + 998 m
STA PPV3 1 + 018 m
STA PTV3 1 + 038 m
STA CT2 1+065,577 m
STA TC3 1+178,699 m
STA PI3 1+277,92 m
STA CT3 1+376,441 m
STA PLV4 1 + 400 m
STA PPV4 1 + 420 m
STA PTV4 1 + 440 m
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 65
BAB VI
PERHITUNGAN GALIAN (CUT) DAN TIMBUNAN (FILL)
Dari sketsa jalan, lampiran gambar halaman 1, dapat dilihat bagian jalan yang
terletak pada bagian galian dan timbunan. Pada jalan yang terletak pada bagian
umpamanya, bagian yang tersambung dapat dicari volumenya secara menyeluruh. Seperti
bagian antara titik awal (B) dengan titik perpotongannya muka tanah dengan rencana
lintasan jalan, dicari dulu luas – luas tampang melintang, volume adalah luas tampang
dikalikan jarak antara kedua penampang, apabila diantarai oleh dua luas tampang yang
tertentu maka harus dicari luas tampang melintang rata-rata dan dikalikan jarak antara
kedua penampang yang bersangkutan.
Lain halnya bila ruas yang harus dicari diantarai oleh dua tampang yang berbeda,
yang satu galian dan yang satu timbunan. Maka harus dicari titik potong muka tanah
dengan permukaan jalan, atau batas antara galian dan timbunan seperti pada gambar di
bawah ini.(gambar 5.1)
Gambar 5.1 batas antara galian dan timbunan
a : b = ( L- x ) ( a+b) x = b.L
ax = b.L - b.x x =
b a
bxL
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 66
0,066 0,081 0,134
1
Dengan demikian dapat diketahui panjang bagian galian dan timbunan, sehingga
dapat dicari volumenya.
Penampang jalan yang direncanakan diperlihatkan pada Gambar 6.2 di bawah ini.
1 2
Gambar 5.2 Potongan melintang jalan
Perencanaan:
Lebar Jalan = 2 x 3.75 meter
Kelandaian Perkerasan Jalan = 2%
Lebar bahu jalan = 2 x 1.5 meter
Kemiringan bahu Jalan = 4%
Lebar talud = 0.5 meter
Tinggi talud = 1 meter
Kemiringan Talud = 1: 2
6.1 Perhitungan Luas Tampang Galian dan Timbunan.
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 67
V = 0.066 x 3.75 = 0.124 m2 2
VI = 0.081 x 3.75 = 0.152 m2 2
VII = 0.081 + 0.134 x 1.5 = 0.161 m2 2
VIII = 0.134 + 1.135 x 0.5 = 0.317 m2 2
IX = 1.135 + 1.128 x 0.5 = 0.566 m2 2
X = 1.128 x 0.5 = 0.282 m2 2
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 68
0,268 0,227 0,316 0,388
1
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 69
0,468 0,427 0,516
0
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 70
0,268 0,227 0,316 0,388
1
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 71
0,362 0,323 0,416 0,486
1
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 72
Luas total galian = 0.997 m2
Timbunan :
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 73
Luas total galian = 2.017 m2
Timbunan :
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 74
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 75
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 76
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 77
53 207,791 207,731
206,731
Luas total galian = 3.619 m2
Timbunan :
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 78 0,152 0,5 0,354
X
Luas total galian = 1.094 m2
Timbunan :
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a I | 79
206,469 IV V
3,75