• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN MALPRAKTEK DOKTER DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTEK DOKTER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN MALPRAKTEK DOKTER DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTEK DOKTER"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN

MALPRAKTEK DOKTER DI TINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004

TENTANG PRAKTEK DOKTER

ABSTRAK:

Malpraktek merupakan kesalahan dalam menjalankan profesi sebagai dokter,

dokter gigi, dokter hewan. Malpraktek adalah akibat dari sikap tidak peduli, kelalaian, atau

kurang keterampilan, kurang hati-hati dalam melaksanakan tugas profesi, berupa

pelanggaran yang disengaja, pelanggaran hukum atau pelanggaran etika.

Pada pasal 44 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang praktek Kedokteran

menyatakan “Dokter dan dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib

mengikuti standar pelayanan kedokteran”. Dalam menjalankan tugas profesi, soerang dokter

mempuunyai alasan yang mulia yaitu berusaha mempertahankan supaya kondisi tubuh

pasien tetap sehat serta berusaha semaksimal tenaga untuk membuat sehat tubuh pasien,

akan tetapi pelayanan kesehatan seorang dokter yang dilakukan kepada pasien tidak selama

berhasil dengan baik dan memuaskan, tetapi ada kalanya usaha tersebut mengalami

kegagalan, kerusahan organ tubuh, bahkan kematian pada pasien.Penelitian ini merupakan

penelitian hukum yang menggunakan pendekatan yuridis normatif. Menurut Soerjono

Soekanto penelitian yuridis normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum.

Pendekatan normatif dilakukan dalam membahas Perlindungan Hukum Pada Pasien

Terhadap Malpraktek Dokter Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang

Praktik Dokter agar dapat mencapai hasil yang signifikan dan relevan. Adapun data data

yang digunakan yakni data primer yang berasal dari Instansi Instansi yang berwenang

kemudian didukung dengan data sekunder yakni literatur relevan untuk memperkuat analisis

dari penelitian ini.Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa perlindungan hukum

bagi pasien terhadap malpraktek dokter dapat dilihat dalam Undang-Undang atau Kode etik

profesi kedokteran.

Selanjutnya untuk upaya hukum yang dapat ditempuh pasien adalah dengan jalur

mediasi, apabila dalam mediasi tidak terselesaikan, maka pasien dapat menggugat apoteker

pada pengadilan maupun di luar pengadilan.

Kata kunci: Perlindungan Hukum, Korban, Malpraktik

1.

Pendahuluan

Perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia di bidang kesehatan terlihat jelas masih sangat kurang. Satu demi satu terdapat beberapa contoh kasus yang terjadi terhadap seorang pasien yang tidak mendapatkan pelayanan semestinya, yang terburuk, dan kadangkadang akan berakhir dengan kematian. Kasus tindak pidana di bidang medis yang banyak terjadi dan diekspos di berbagai media hanya merupakan beberapa kasus yang menguap, sehingga dapat

Email:Agusst790@gmail.com

Agus Sutrisno, Hanuring Ayu, Hadi Mahmud

Fakultas Hukum Universitas Islam Batik Surakarta

(2)

dikatakan seperti gunung es (iceberg). Menguapnya kasus-kasus tindak pidana tersebut juga merupakan suatu pertanda kemajuan dalam masyarakat, atas kesadarannya akan hak-haknya yang berkenaan dengan kesehatan dan pelayanan medis, sekaligus kesadaran akan hakhaknya untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama di bidang kesehatan. Berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, memberi peluang bagi pengguna jasa atau barang untuk mengajukan gugatan/tuntutan hukum terhadap pelaku usaha apabila terjadi konflik antara pelanggan dengan pelaku usaha yang dianggap telah melanggar hak-haknya, terlambat melakukan / tidak melakukan/terlambat melakukan sesuatu yang menimbulkan kerugian bagi pengguna jasa/barang, baik kerugian harta benda atau cedera atau bisa juga kematian.

Hal Ini memberikan arti bahwa pasien selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan dapat menuntut/menggugat rumah sakit, dokter atau tenaga kesehatan lainnya jika terjadi konflik. Pada era global dewasa ini, tenaga medis merupakan salah satu profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat, karena sifat pengabdiannya kepada masyarakat sangat kompleks. Akhir-akhir ini, masyarakat banyak yang menyoroti kinerja tenaga medis, baik sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai induk organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui media cetak maupun media elektronik.

Kebanyakan orang kurang dapat memahami bahwa sebenarnya masih banyak faktor lain di luar kekuasaan tenaga medis yang dapat mempengaruhi hasil upaya medis, seperti misalnya stadium penyakit, kondisi fisik, daya tahan tubuh, kualitas obat dan juga kepatuhan pasien untuk mentaati nasehat dokter. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan upaya medis (yang terbaik sekali pun) menjadi tidak berarti apa-apa. Oleh sebab itu tidaklah salah jika kemudian dikatakan bahwa hasil suatu upaya medis penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik. Begitu pula halnya dengan proses diagnosis (mencari dan mendefinisikan gangguan kesehatan), yang pada hakikatnya merupakan bagian dari pekerjaan tenaga medis yang paling sulit.

Meskipun sudah banyak alat canggih yang diciptakan untuk mempermudah pekerjaan ini, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya tingkat kesalahan (perbedaan klinik dan diagnosis otopsi klinik) di berbagai rumah sakit di negara-negara maju. Sama halnya dengan tindakan terapi, hasil diagnosis yang salah juga tidak secara otomatis menimbulkan adanya tindak pidana. Harus dilakukan penelitian terlebih dahulu apakah tindakan malpraktek tersebut merupakan akibat tidak dilaksanakannya standar prosedur diagnosis. Penilaian pasien terhadap rumah sakit/tenaga medis yang dikeluhkan tersebut di atas, sudah barang tentu tidak seluruhnya benar dan bersifat subyektif. Namun keluhan tersebut secara faktual tidak dapat diabaikan begitu saja agar tidak menimbulkan konflik hukum yang berkepanjangan dan melelahkan. Tindakan malpraktek menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil di pihak pasien atau keluarga pasien sebagai korban.

(3)

Secara komprehensif Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran menjadi dasar bagi pengembangan kesehatan pasien secara keseluruhan, baik dalam pengembangan kualitas kesehatan masyarakat dalam aspek penyelenggaraan, pembiayaan maupun peningkatan kualitas profesi dokter. Secara konsisten Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran ini, yang secara khusus mengatur tentang arah pengembangan Sumber Daya Manusia praktiek dokter dalam penanganan pasien.

Perlindungan hukum merupakan hal terpenting dalam suatu negara hukum, karena perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara dan kewajiban dari negara sebagai penyelenggara perlindungan. Dalam pasal 3 Undang-undang No. 29 Tahun 2009 tentang praktik kedokteran menyebutkan: (a).Memberikan perlindungan kepada pasien,(b).Mempertahankan dan meningkatkan mutu peleyanan medis yang diberikan oleh dokter dan atau dokter gigi,(c).Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan atau dokter gigi.

Setiap penyelenggaraan praktek kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan yang harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etika dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang terus menerus wajib ditingkatkan mutu melalui pendidikan berkelanjutan serta pelatihan sesaui dengan perkembangan dan pengetahuan serta kode etik dokter.

Hubungan antara dokter dengan pasien bersifat sangat pribadi. Seluruh rahasia yang dimilikinya akan dibukakan kepada dokter, jika mendapat kehendak dari pasien. Dokter bekerja dalam suasana yang tidak pasti. Selain sifat-sifat tubuh manusia yang sangat bervariasi, dokter tidak dapat membuat seperti halnya profesi lain, contohnya montir yang boleh membongkar seleuruh isi obyek yang diperbaiki, hanya untuk memastikan letak sesuatu yang menjadi keluhan pasien. Msyarakat (pasien) menaruh harapan dan kepercayaan yang besar terhadap dokter, akan tetapi disisi lain juga sekaligus mencurigai terhadap dokter.

Profesi dokter juga seperti manusia lainnya, yang mempunyai kelebihan dan kekuranfan, seorang dokter niscaya tidak akan luput dari kesalahan, baik yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari sebagai masyarakat, maupun kesalahan dalam menjalankan tugas profesinya sebagai seorang dokter. Berdasarkan fenomena di atas, maka menarik penulis untuk membahas lebih lanjut dalam bentuk skripsi atau suatu penulisan karya ilmiah hukum dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Korban Malpraktek Dokter Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Dokter”

2.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti berdasarkan data – data sekunder atau data kepustakaan. Dalam penelitian ini, penulis menitik beratkan pada aturan hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Dokter

(4)

3.

Hasil

3.1 Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh dokter

Akhir ini banyak kalangan hukum dan dokter banyak yang membahas mengenai ketentuan hukum yang mengatur hak, keawajiban perlindungan dan wewenang bagi profesi dokter dalam melaksanakan tugas profesinya maupun individu, serta masyarakat penerima jasa kesehatan dalam aspek-aspeknya.(BPHN,1985)

Seorang dokter dalam melaksanakan tugas profesinya selalu berhubungan dengan tubuh dan jiwa pasiennya. Oleh karena itu terdapat hal yang memungkinkan jiwa pasien tidak dapat diselamatkan atau kemungkinan hal lainnya adalah tubuh pasien mengalami luka yang berat, bahkan cacat. Perlu mendapat perhatian, bahwa pasien sebagaimana penerima jasa pelayanan kesehatan pada praktik kedokteran, mempunyai hak dan mendapat perlindungan hukum. Seperti dimuat pada pasal 52 Undang-undang Nomor 29 tahun 2004, sebagaimana berikut:

1 Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis 2 Meminta pendapat dokter atau dokter gigi

3 Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan 4 Menolak tindakan medis

5 Mendapatkan isi rekaman medis.

Dalam hal di atas peningkatan kesadaran hukum masyarakat, khususnya kesadaran hukum pasuen sudah sedemikian maju. Perkembangannya ilmu pengetahuan dan tekhnologi semakin cangkih di bidang kedokteran. Hal lain dalam pengkajian pada pengertian di atas, maka faktor yang menyebabkan terjadinya malpraktik yang dilakukan oleh dokter diantaranya adalah:

1. Standar profesi kedokteran

Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang ada dalam standar profesi, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata, dan ketelian umum.

2. Standar Prosedur Operasional (SPO)

Suatu perangkat intruksi / langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.

3. Kelalaian

Dalam hal ini yang dimaksud apabila berdampak kerugian. Maksudnya segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.

Setiap peristiwa yang termasuk dalam faktor penyebab di atas, maka dapat dinyatakan telah terjadi malpraktik. Dalam kaitanya malpraktik maka standar profesi kedokteran perlu diadakan pengujian untuk menentukan salah dan tindaknya pengobatan yang dilakukan oleh dokter.

(5)

Akibat dari tindakan tanpa persetujuan tersebut bukan membuat Pasien sembuh akan tetapi pada faktanya justru menimbulkan kerugian Sebagaimana diketahui dalam contoh Putusan Nomor 287/PDT.G/ 2011/P.JKT.PST dengan beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya malpraktek.

Pada tanggal 15 Februari 2009 ND dibawa ke Instalasi Gawat Darurat RSCM dengan keluhan tidak bisa buang air kecil dan buang air besar. ND diperiksa oleh 3 (tiga) dokter yaitu, dr. S, dr.N, dan dr. D sebagai pemeriksaan awal dan langsung dilakukan pemeriksaan Laboratorium dan Rontgen pada ND. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut ND didiagnossa menderita infeksi berat akibat sumbatan (Sepsis illius abstruktif). dan dokter yang memeriksa ND lalu meminta ijin Pengugat untuk memberi tindakan medis berupa obat berbentuk jel yang dimasukkan kelubang dubur ND dengan alasan untuk merangsang agar kotoran keluar. Pemberian obat jel kedalam dubur ND dilakukan sebanyak 4 (empat) kali oleh dokter yang memeriksa.

Namun tindakan tersebut tidak membawakan hasil dan keadaannya semakin parah karena ND terus merintih kesakitan. Selanjutnya dr. R meminta izin kepada ayah Nina untuk memasang kateter dan sonde (selang untuk memasukan makanan kepada Pasien) kerongga mulut Pasien. Namun, setelah alat tersebut dipasang, dari sonde keluar cairan warna kecoklat-coklatan berubah menjadi biru dan lama-lama menjadi warna bening.

Pada tanggal 16 Februari 2009 diadakan diagnosa oleh dr. R yang telah berkonsultasi kepada dr. F (Konsulen/Ahli Bedah). Hasil dari diagnosa tersebut dikatakan bahwa ND menderita usus buntu (Appendix Perforasi) dan hal tersebut ditegaskan secara berulang-ulang oleh dr. F. Sekitar pukul 09.30 WIB Penggugat mendapat kabar bahwa ND harus menjalani pemeriksaan Ultrasonografi (USG), dan hasil dari USG tersebut menyatakan bahwa Ginjal dan buli-buli dalam batas normal.

Namun pada pukul 15.45 wib, Pengugat dikabarkan bahwa ND akan menjalani pembedahan. Padahal menurut ibu ND, ND terlihat sudah lebih baik. Pihak rumah sakit tidak pernah memberikan penjelasan dan meminta persetujuan kepada Penggugat ataupun ibu ND sebagai orang tuanya untuk melakukan bedah terhadap Pasien. hal tersebut secara jelas dan nyata telah menyalahi aturan yang terdapat pada pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran jo Pasal 3 Ayat 1 Permenkes No. 290/menkes/per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.( Desriza Ratman, 2019)

Sesampainya di ruang pembedahan Penggugat dan istrinya hanya dapat melihat pasien dari jarak 15 meter, karena pasien sudah berada di dalam ruangan steril (hanya Dokter dan Pasien yang akan dibedah yang boleh masuk), dan pasien sudah disejajarkan dengan beberapa pasien lain yang siap akan dibedah. Setelah selesai pembedahan dan terdapat diagnosa baru dinyatakan pada pembedahan berupa ruptur bllur barulah pihak rumah sakit meminta persetujuan Penggugat selaku pihak penanggungjawab ND.

(6)

Namun, ayah ND tidak mau menandatangani surat persetujuan pembedahan tersebut karena terdapat cacat permanen yang menyebabkan alat kencing ND tidak dapat kembali normal seperti sedia kala dan harus menggunakan keteter sebagai alat untuk buang air.

Oleh sebab itu, Penggugat melakukan gugatan terhadap Tergugat atas Dasar Perbuatan Melawan Hukum, yaitu Pasal 1365 KUH Perdata. Dengan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Tergugat telah melakukan kelalaian dan kekurang hati–hatian dalam menangani tindakan medis terhadap anak Pengugat yaitu Tim Dokter memberikan diagnosis yang berubah-ubah dimulai dari infeksi berat akibat sumbatan usus (Sepsis Illius Abstruktif), usus buntu (Appendix Perforasi), kebocoran kandung kemih (Ruptur bull). Serta Tim Dokter tidak meminta persetujuan tertulis (informed consent) kepada Pengugat dalam melaksanakan pembedahan;

2. Akibat dari kelalaian dan kekurang hati-hatian tersebut anak Pengugat mengalami sakit/cacat permanen dan harus memakai alat bantu kateter. hal tersebut diperparah dengan keadaan pasien yang mengalami gangguan kesehatan baik fisik maupun mental sebagaimana telah dinyatakan dalam surat periksa psikologi yang dilakukan oleh Psikolog FMH, yang mana dalam pemeriksaan tersebut juga dinyatakan bahwa pasien tidak dapat berbicara ataupun menulis. Dalam hal ini, Tergugat juga tidak menjalankan seluruh peraturan yang ada mengenai standar profesi medis, dimana sudah menjadi kewajiban bagi seorang dokter atau penyelenggara kesehatan untuk memberikan informasi penyakit pasien secara pasti, memberikan isi rekam medis pasien dan meminta persetujuan kepada Pengugat untuk melakukan pembedahan. 3. Tergugat juga telah melanggar PATITAH, yakni ketelitian, dan kehati-hatian dalam

melakukan tindakan medis yang seharusnya dilakukan Tergugat agar Pengugat mendapatkan kenyamanan dan kejelasan atas informasi.

Dalam Pasal 1367 KUH Perdata yang mengatur tentang pertanggung jawaban majikan atas perbuatan merugikan yang dilakukan oleh karyawannya. Majikan turut bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan karyawannya. Maka doktrin Vicarious Liability Let The Men Answer, in Casu dapat diterapkan dalam hubungan antara Tergugat dengan Tim Dokter. Dalam hal ini terlihat pada bentuk hukum antara Tergugat dengan Tim Dokter dapat dipandang sebagai suatu hubungan hukum antara majikan dengan karyawannya. Gugatan penggugat antara lain adalah (Primair):

1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat;

2. Menyatakan Tenggugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;

3. Menyatakan Tergugat bertanggung jawab atas semua tindakan praktik kedokteran berupa pembedahan terhadap pasien yang dilakukan oleh Tim Dokter Tergugat;

(7)

mendiagnosa penyakit Pasien sebanyak 4 (empat) kali berturut – turut bahkan setelah pembedahan masih juga berubah-ubah (tidak jelas sakit apa), dan melakukan pembedahan tanpa ijin bahkan membuat Pasien menjadi cacat selama hidupnya;

5. Memerintahkan tergugat mencabut izin praktik kedokteran semua Tim Dokter Tergugat; 6. Membayar ganti rugi untuk menganti semua biaya perawatan dan biaya pengobatan

medis pasien. Adapun ganti rugi yang harus dibayarkan oleh Tergugat sebesar Rp. 1.776.010.00,- (satu miliyar tujuh ratus tujuh puluh enam juta sepuluh ribu rupiah) dengan perincian sebagai berikut :

a. Kerugian Materil : Rp. 776.010.00,- (tujuh ratus tujuh puluh enam juta sepuluh ribu rupiah;

b. Kerugian immaterill : Rp. 1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah).

7. Menghukum tergugat untuk meminta maaf kepada Penggugat melalui 5 (lima) Media Cetak;

8. Membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap harinya atas keterlambatan memenuhi putusan terhitung sejak putusan ini dibacakan. 9.Putusan dapat dilaksanakan walaupun ada verzet, banding, dan kasasi.

Gugatan penggugat Subsidair: mohon keadilan seadil – adilnya (Ex Aequo Et Bono). 3.2 Perlindungan Hukum Pada Pasien Terhadap Malpraktik Dokter

Interaksi antara dokter dan pasien ada sebagian dari merka yang seringkali

mengatakan bahwa tidak pernah ada malpraktik dalam dunia kedokteran, alasan utama yang dikemukakan dokter adalah profesi dokter tidak akan pernah berniat untuk mencelakakan seorang pasien, selain itu hanya kalangan diluar profesi dokter misalnya malpraktik advokat, malpraktik profesi lain. Tentunya pernyataan seperti itu berasal dari dokter yang baik. Disisi lain bisa saja profesi dokter berniat mencelakakan pasiennya, contohnya rekayasa operasi caesar tanpa indikasi medis demi kepentingan materi, meskipun ada persetujuan medis. Namun demikian malpraktik terjadi bukan saja karena adanya faktor niat dari dokter dalam menangani pasien. Dalam hukum di samping niat atau sengaja, lalai juga termasuk unsur kesalahan, bahkan suatu perbuatan yang tidak patut dilakukan dalam menjalankan profesi dokter.

Kelalaian dan perbuatan tidak patut bisa saja menjadi pelanggaran hukum, baik pidana, adminstrasi, maupun perdata apabila memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kelalaian yang dilakukan dokter berbentuk sekecil apapun dapat menjadikan hal yang sangat fatal terhadap organ tubuh pasien setelah melakukan kegiatan praktek. Disamping itu pula, hampir semua dokter sering mengatakan bahwa tidak pernah ada malpraktik sepanjang mereka telah menjalankan prosedur dan setiap kali penulis tanyakan apa yang mereka maksudkan dengan prosedur, selalu dijawab bahwa yang dimaksud dengan prosedur adalah tahapan dalam melakukan tindakan medis atau protap (prosedur tetap) medis. Memang alasan

(8)

tersebut tidak sepenuhnya salah tetapi hanya belum sempurna karena menurut hemat penulis dokter dikatakan tidak malpraktik, meskipun ada kerugian di pihak pasien, apabila dokter telah menghormati hak-hak pasien dan menjalankan profesinya.

Bagaimanapun, terlepas dari kemungkinan diatas, yang jelas, apabila seseorang telah dirugikan, maka tentunya harus ada pihak lain yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga dalam konteks dokter pasien, apabila pasien dirugikan maka dokter dapat dipertanggungjawabkan. Setiap penyimpangan tindakan medik yang dilakukan oleh dokter mengakibatkan konsekuensi dalam bentuk sanksi hukum baik sanksi perdata, pidana dan sanksi administrasi sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pasien yang telah dirugikannya tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka sanksi pidana, perdata dan administrasi dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pasien korban malpraktik. Profesi harus memberikan pelayanan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SOP) dan itu telah dibuktikan dengan adanya Rekam Medik dan kasus tersebut juga telah diselesaikan dengan melalui mediasi. Hal tersebut sudah sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 29 UU No.36 Tahun 2009: Dalam Hal tenaga kesehatan diduga melalukan kelalaiandalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

Dalam sengketa medik pihak rumah sakit atau dokter atau pasien merasa diri benar dan yang lain harus bertanggung jawab. Posisi demikian tidak menguntungkan semua pihak karena akan memancing pihak luar terlibat dalam sengketa tersebut. Maka bijaksana jika setiap sengketa diselesaikan dengan baik. Adapun alternatif penyelesaian sengketa medik di luar jalur pengadilan dapat ditempuh antara pihak pasien dengan tenaga medis sebagai berikut:

1. Lumping it, yaitu membiarkan sengketa tidak perludiperpanjang. 2. Avoidance, memilih tidak berkontak lagi dengan pihakyang merugikan. 3. Coercion, salah satu pihak memaksa pihak lainmelalui orang ketiga. 4. Negotiation, para pihak berunding untuk mengambil keputusan.

5. Mediation, para pihak berunding dengan memakai jasa orang ketiga sebagai edukator, resource person, catalisator, translator.

6. Arbiration, para pihak yang bersengketa menyerahkan kepada pihak ketiga/arbitrator untuk mengambil keputusan.

7. Adjudication, melibatkan pihak ketiga yaitu pengadilan yang memiliki wewenang memberikan vonis dan exsekusi.

Apabila seorang dokter telah terbukti dan dinyatakan telah melakukan tindakan malpraktik maka dia akan dikenai sanksi hukum Pasal 79 UU No. 29 Tahun 2004:

(9)

Ayat (1):

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sehubungan dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi Pasal tersebut telah mengalami revisi, dimana salah satu keputusan dari Mahkamah Konstitusi adalah ketentuan ancaman pidana penjara kurungan badan yang tercantum dalam Pasal 75, 76, 79, huruf a dan c dihapuskan. Namun mengenai sanksi pidana denda tetap diberlakukan.

Ayat (2):

Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat

dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter dan dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia.

Ayat (3):

Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja. Surat tanda registrasi yang dimaksud adalah melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyakRp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Proses Perlindungan Hukum pada Pasien Terhadap Malpraktik Dokter Dokter adalah pihak yang karena pengetahuan dan keterampilan yang

dimilikinya berdasarkan pendidikan dan latihan dalam memberikan pelayanan jasa pengobatan, sehingga berada dalam posisi yang dominan dan mempunyai kewibawaan pada profesi dokter. Hal yang menjadikan masyarakat khususnya pasien berpandangan untuk menempatkan dokter pada kedudukan yang sangat tinggi adalah rasa hormat yang dilakukan oleh pasien kepada dokter adalah atas pelayanan kesehatan yang diterima oleh pasien sendiri yaitu menyembuhkan penyakitnya. Sehingga profesi dokter akan semakin dihormati oleh masyarakat khususnya pasien yang telah sembuh akibat mendapatkan pelayanan jasa kesehatan tersebut, namun apabila pasien gagal, maka akan dipandang sebagai nasib yang harus diterima.

Hal yang terjadi pada pasien dan dokter terlihat adanya perubahan masyarakat yang memandang dan menilai profesi dokter akhir-akhir ini adalah timbul reaksi sehubungan

(10)

dengan tindakan-tindakan dokter yang dianggap menimbulkan kerugian pada pasien atas pelayan jasa kesehatan yang diterima oleh pasien. Dokter sebagai manusia biasa hanya menjalankan tugas profesi sesuai denga kode etik profesinya, pasti melakukan kesalahan, peristiwa ini disebut dengan istilah malpraktek. Terjadinya malpraktek yang membuka kemungkinan terjadinya kerugian bagi pasien. Hanya reaksi yang timbul baru belakangan ini. (R. Abdoel Djamali, 1998). Malpraktik dapat menimbulkan kerugian bagi pasien, yang akhirnya berdampak pada penilaian kepada profesi dokter.

Malpraktek yang dilakukan oleh dokter akhirnya berpuncak pada munculnya tuntutan masyarakat terhadap pertanggung jawaban pidana para profesi dokter, yaitu perbuatan yang melanggar Undang-undang atau bertentangan dengan kode etik profesi dokter. Hukuman dapat dijatuhkan kepada pelaku perbuatan yang melanggar undangundang atau bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat, dimana seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana dan dijatuhkan sanksi atau hukuman kalau orang tersebut jelas-jelas dapat dibuktikan kesalahannya sesuai dengan doktrin yang menyatakan: GeenStraf Zonder Schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan), tentunya hal ini membawa perkembangan yang memerlukan suatu pemikiran di bidang hukum, dan ini dapat terlihat dengan adanya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Apabila pasien atau keluarga pasien mengalami kerugian dapat mengadukan dokter telah melakukan malpraktek kepada kepolisian, Jaksa, Dinas Kesehatan atau Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) secara tertulis atau lisan dan dapat menggugat secara perdata ke pengadilan Negeri setempat, berdasarkan Pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata dan secara pidana dapat dituntut dengan Pasal 359 KUHPidana dan Pasal 190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.( Amri Amir dan M. Yusuf Hanafiah,2008)

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka setiap pasien yang dirugikan akibat malpraktek atau kesalahan dalam menjalankan standar profesional kedokteran yang melanggar hukum, maka penyelesaiannya dapat diajukan melalui organisasi Ikatan Dokter Indonesia atau Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) atau Majelis Kehormatan Etika Kedokteran juga melalui pengadilan negeri apabila berbentuk pidana dengan menyertai bukti fisik dari korban malpraktek. Penyelesaian yang dapat dilakukan:

1. Penyelesaian secara pidana 2. Penyelesaian secara perdata

3. Penyelesaian melalui Kode Etik Kedokteran

(11)

4.

Kesimpulan, Implikasi, dan Keterbatasan

4.1 Faktor penyebab terjadinya malpraktik medik oleh dokter yaitu disebabkan karena standar profesi kedokteraan yang terdiri atas kewenangan, kemampuan rata-rata, dan ketelitian yang umum. kemudian faktor kedua yaitu Standar Prosedur Operasional (SOP) yaitu suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Adapun faktor terakhir yang diperoleh penulis dari hasil penelitian ini yaitu kelalaian dalam hal ini yang dimaksud dengan kelalaian apabila tindakan tersebut berdampak kerugian.

4.2 Perlindungan hukum terhadap pasien korban malpraktek dokter dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan perlindungan melalui pemberian sanksi dari segi perdata, pidana maupun administrasi yang dipertanggung jawabkan terhadap dokter yang bersangkutan. Di Indonesia masalah pertanggungjawaban hukum pidana seorang dokter dalam KUH Pidana yang mencakup tanggung jawab hukum yang ditimbulkan oleh kesengajaan maupun kealpaan/ kelalaian, diatur dalam Pasal 267, 299, 304, 322, 344, 346, 347, 348, 349 KUH Pidana mencakup kesalahan yang didasarkan pada kesengajaan. Sedangkan dasar kealpaan / kelalaian Pasal 267 KUH Pidana. Lebih khusus sanksi pidana yang dapat dikenakan bagi dokter yang terbukti melakukan malpraktik medik diatur dalam Pasal 75, 76, 77, 78 dan 79 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Dapat dilihat bahwa upaya pemerintah dalam memberikan perlidungan terhadap korban malpraktik medik sudah cukup besar dengan melahirkan berbagai aturan yang dapat menjadi pertimbangan bagi setiap dokter sebelum bertindak, hanya saja dalam masalah pengaplikasiannya kurang efektif terbukti dengan masih banyaknyaa kasus malpraktik yang terjadi dan tidak mendapatkan penanggulangan lebih lanjut oleh aparat hukum terkait.

Referensi

Amri Amir dan M. Yusuf Hanafiah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2008.

Ari Yunanto, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Penerbit Andi, Yogyakarta 2010. Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, PT. Grafikatama Jaya,Jakarta, 1991. J. Guwandi, Etika dm Huh Kedokteran ( I ) ,(Jakarta: FKUI, 1998)

Ninik Mariyanti, MaIprakrek Kedokteran Darz Segi Hukum Pidana dan Perdata (Jakarta:Bina Aksara, 1989')

Undang – Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran . Undang – Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya web untuk sebuah dealer sepeda motor suzuki maka semua proses pemesanan kendaraan yang terjadi didalam sebuah dealer sepeda motor akan menjadi lebih efisien dan

(2003) dalam penelitiannya menemukan bahwa Koefisien Respon Laba perusahaan yang diaudit oleh KAP besar dengan spesialisasi industri lebih tinggi dari pada perusahaan yang

Diketahui proses dalam pelaksanaan yang meliputi strategi dan promosi kesehatan dalam dan luar gedung Jargon “CERDIK” di wilayah kerja Puskesmas Jua Gaek

Selesai mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami konsep dasar praktek industri di bidang usaha kriya tekstil, dapat menjelaskan tujuan dan manfaat,

Untuk merancang unsur-unsur pengendalian intern yang diterapkan dalam sistem penjualan kredit, unsur pokok pengendalian intern yang terdiri dari organisasi, sistem

Peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian: (a) informasi obat dilakukan pada saat penyerahan obat resep kepada pasien, sebelum pelayanan puskesmas dimulai, dan

1) Kerja sama Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian dan TP-PKK Pusat dalam melakukan penilaian pemanfaatan TOGA. 2) Kesepakatan Negara anggota WHO SEARO, dalam

Penelitian ini bertujuan untuk menda- patkan nilai dan kecenderungan nilai tangkapan per unit upaya ( trend CPUE) baku selama sepuluh tahun terakhir, serta proporsi