• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pesantren pada Masa Kolonial dan Pasca Kemerdekaan Oleh: Ali Anwar *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pesantren pada Masa Kolonial dan Pasca Kemerdekaan Oleh: Ali Anwar *"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Ali Anwar Abstrak

Pembaruan pendidikan di berbagai kawasan kebanyakan menggusur sistem dan lembaga pendidikan tradisionalnya, setidak-tidaknya sistem dan lembaga yang disebutkan terakhir menyesuaikan diri dan sedikit banyak mengadopsi isi dan metodologi pendidikan modern. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan tradisional, merupakan lembaga yang mampu bertahan ketika dihadapkan dengan lembaga pendidikan yang lebih teratur dan modern.

Di samping disebabkan pengaruh sistem pendidikan kolonial dan pembaru, pembaruan pendidikan di pesantren juga dimaksudkan untuk memberikan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Pembaruan ini mengakibatkan pergeseran tata nilai, tradisi dan melunturnya beberapa prinsip yang dipegangi dalam sistem pendidikan pesantren dan memunculkan pola hidup dan orientasi belajar yang pragmatis. Belajar atau nyantri dengan target-target praktis tertentu, seperti orientasi ekonomi, kedudukan sosial, dan lain-lain. Maka dengan hal tersebut, prinsip keikhlasan dan pengabdian dalam sistem pendidikan pesantren mulai bergeser dari posisinya yang semula demikian kukuh.

Kata kunci: teori munculnya pesantren, perkembangan dan pembaruan pesantren

A. Pendahuluan

Pesantren, menurut Steenbrink, Dawan Rahardja, Ziemek, dan Madjid, ditransfer dari lembaga pendidikan pra-Islam.1 Menurut Madjid,

pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga identik dengan keaslian Indonesia (indigenous), sebab lembaga yang serupa dengan pesantren ini sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada.2

* Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri dan Asisten Direktur I Program Pascasarjana IAIT Kediri.

1 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, (Jakarta: LP3ES, 1986), pp. 20-21; M. Dawam Rahardjo, “Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan”, dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), pp. 32-33; Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terjemahan Butche B. Soendojo dari “Pesantren Islamische Bildung in Sozialen Wandel”, (Jakarta: P3M, 1983), p. 100; dan Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), p. 3.

(2)

Tesis ini ditentang oleh Martin van Brunissen. Dia mengemukakan terjadinya paradoks mengenai tradisi pesantren itu. Pada satu sisi ia berakar kuat di bumi Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam, pesantren berbeda dengan sekolah tradisional lainnya di dunia Islam. Pada sisi lainnya, pesantren berorientasi internasional dengan Mekah sebagai pusat orientasinya, jadi bukan Indonesia. Sedangkan tradisi kitab kuning jelas bukan berasal dari Indonesia.3

Tesis di atas juga mendapatkan sanggahan dari Mahmud Yunus. Asal-usul pendidikan individual yang dipergunakan di pesantren, serta pendidikan yang dimulai dengan pelajaran bahasa Arab, menurut Yunus, dapat diketemukan di Baghdad ketika menjadi pusat dan ibukota wilayah Islam.4 Azra juga menguatkan ini dengan mengajukan argumen bahwa

sistem pengajaran pada abad XIII-XIV jelas sudah banyak berkembang, seperti di Mekah, Madinah, Yaman, dan India. Khususnya di Haramain (Mekah dan Madinah) berkembang sistem pengajaran halaqah, demikian pula di sini telah ada model ribāt.5 Begitu juga kebiasaan para santri untuk

sering mengadakan perjalanan juga ditemukan dalam tradisi Islam. Adapun tradisi dan sistem nilai yang berkembang di lingkungan pendidikan pesantren adalah sangat dekat—untuk tidak mengatakan identik—dengan tradisi dan sistem nilai yang berkembang dan dipegangi di kalangan penganut tasawuf.6

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka kajian ini berusaha menjelaskan berbagai teori tentang kapan lembaga pesantren muncul dan tumbuh, perkembangan pesantren pada masa kolonial, dan pembaruan pesantren pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan. B. Teori-teori Awal Pertumbuhan Pesantren: Penilaian Ulang

Perdebatan tentang kapan lembaga pesantren itu muncul dan tumbuh memang sama pelik dan menariknya dengan perdebatan tentang asal-usul pesantren.7 Setidaknya ada tiga teori yang dapat dikemukakan

3 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung, Mizan, 1995), pp. 21-22.

4 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Muhammadiyah, 1960), p. 31.

5 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), pp. 79-81.

6 Baca kitab pegangan santri tentang tata cara penuntut ilmu dalam Zarnuji, Ta`līm al-Muta`allim, (Kudus: Menara Kudus, 1963). Bandingkan dengan kitab pegangan para sufi Sunni, Abd al-Wahhāb al-Sya`rānī, al-Anwār al-Qudsiyah fî Ma`rifati al-Sūfîyah, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th.)

7 Setidaknya ditemukan empat teori tentang asal kata santri, yaitu adaptasi dari Bahasa Sanskerta: santra dan sastri, Jawa: cantrik, Tamil: sattiri, dan India: shastra.

(3)

kapan pesantren mulai ada. Teori pertama mengatakan walau model pesantren dalam kriteria modern belum diketemukan sebelum abad ke-18, tetapi cikal bakalnya diperkirakan sudah ada pada masa permulaan datang dan masuknya Islam ke Indonesia, di mana pesantren yang dianggap tertua terletak di Aceh.8

Pada masa pra-Islam, menurut Steenbrink, terdapat desa-desa keagamaan yang penduduknya fanatik melaksanakan berbagai ketentuan. Setelah kedatangan Islam, mereka kebanyakan menjadi Muslim. Dengan demikian, desa-desa tersebut menjadi desa Muslim yang penduduknya taat memegang ajaran anutan mereka, para kyai. Para kyai tersebut biasanya mendapatkan harta wakaf dari penguasa atau orang-orang kaya dan memberikan kebebasan pajak. Daerah seperti ini belakangan terkenal dengan sebutan desa perdikan atau desa pemutihan.9

Sejalan dengan pendapat Steenbrink, beberapa pengarang seperti Fokkens dan Schrieke juga menganggap bahwa desa perdikan adalah sebagai sarana kesinambungan pesantren dengan lembaga keagamaan pra-Islam. Desa perdikan dibebaskan dari pajak dan kerja rodi tetapi penghasilannya harus dimanfaatkan untuk melaksanakan tugas sakral antara lain memelihara makam yang merupakan lembaga yang sudah tua.10

Pendukung teori ini memperkirakan bahwa fenomena pertumbuhan pesantren bisa diruntut semenjak adanya penetrasi Islam ke Nusantara ini. Pendidikan agama Islam sudah dimulai ketika penetrasi Islam ke Nusantara terjadi dan diperjuangkan oleh para pedagang dan dimantapkan oleh sufi. Para pedagang menyiarkan agama Islam kepada orang-orang yang mengelilinginya, yaitu mereka yang membeli barang dagangannya. Begitulah setiap ada kesempatan mereka memberikan pendidikan Islam, dan Islamisasi itu menemukan momentumnya ketika disebarluaskan oleh para sufi. H. J. de Graff dalam hal ini mengatakan bahwa penetrasi Islam ke Indonesia melalui tiga cara, perdagangan, tasawuf, dan kekuasaan.11

Setelah Agama Islam semakin tersebar luas dan para pemeluknya mulai merasakan perlunya peningkatan kwalitas keislamanannya, maka mulailah pendidikan agama Islam secara lebih intens. Segenap anggota keluarga berusaha mencari ilmu, utamanya anak-anak mereka disuruh pergi ke masjid untuk memperoleh pendidikan agama dari para guru.

8 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang: Kalima Sahada Press, 1993), p. 17.

9 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), p. 168.

10 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning..., p. 24.

11 H. J. de Graaf, ”Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke-18”, dalam Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), p. 2.

(4)

Dengan kata lain, para pemeluk Islam yang masih muallaf itu ingin mengetahui dengan lebih baik bagaimana ajaran Islam sebenarnya. Mereka berkemauan untuk dapat shalat dengan baik, pandai berdo`a, dan membaca al-Qur’an. Dari sinilah mulai tumbuh pendidikan agama Islam. Pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah ustadz dan masjid dan kemudian berkembang menjadi pesantren.12 Di pusat-pusat pendidikan itu, sejumlah murid berkumpul, baik besar maupun kecil, duduk di lantai atau tikar, menghadap sang guru untuk belajar mengaji. Pengajaran biasanya diberikan pada waktu petang hari atau malam hari, karena waktu siangnya anak-anak sibuk membantu orang tuanya bekerja di ladang atau di sawah, sementara gurunya bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan agama pada anak-anak itu tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari, baik bagi orang tua, anak-anak maupun guru sendiri. Itulah sebabnya, pelajaran agama dan latihan pelaksanaan beragama itu mendapat dukungan dari orang tua, guru, bahkan masyarakat kampung atau desa itu.13

Secara institusional, kebanyakan pesantren merupakan pengembangan pendidikan al-Qur`ān dan shalat yang dilaksanakan di masjid atau di rumah guru. Hal ini bisa terjadi karena keinginan santri untuk memperdalam ilmunya. Boleh jadi kedatangan santri dari berbagai penjuru daerah kepada kyai disebabkan kedalaman ilmu kyai dan syaikh tersebut.

Teori yang menjelaskan tentang kaitan antara desa perdikan dan pesantren ini dipermasalahkan oleh Bruinessen. Menurutnya, pesantren tidak ada kaitannya dengan desa perdikan ini. Dari 211 desa perdikan yang tercatat dalam survei akhir abad ke-19, hanya 4 yang sebagian penghasilannya secara eksplisit digunakan untuk pesantren.14 Pada tahun

1742, lembaga-lembaga pendidikan yang mirip pesantren dilaporkan terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo. Sedangkan di daerah lain tidak diketahui terdapat pendidikan resmi sama sekali, hanya pendidikan informal yang diberikan di rumah-rumah pribadi dan masjid.15

Martin van Bruinessen berpendapat bahwa pesantren belum muncul pada masa awal penyebaran Islam. Pada abad ke-16 dan 17 yang ada adalah guru yang mengajarkan agama Islam di masjid atau istana dan

12 Abdurrahman Shaleh, Penyelenggaraan Madrasah: Peraturan Perundangan, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1984), p. 14.

13 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900~1942, (Jakarta: LP3ES, 1995), p. 15.

14 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning..., p. 24. 15 Ibid.

(5)

ahli tasawuf atau magi yang tempat pengajarannya berpusat di tempat pertapaan atau di dekat makam keramat. Lembaga yang layak disebut pesantren belum berdiri pada abad ke-18. Sepanjang perhatian van Bruinessen, tidak diketemukan pesantren dalam bentuk abad ke-19 sebelum berdirinya Pesantren Tegalsari pada tahun 1742.16

Martin van Bruinessen, berdasarkan penelitiannya pada beberapa karya sastra lama, tidak menemukan istilah pesantren. Dalam Serat Centhini dijelaskan bahwa seorang tokoh pemeran dalam karya ini, seorang pertapa bernama Danadarma, mengaku telah belajar tiga tahun di Paguron Karang Banten, di bawah bimbingan Seh Kadir Jalena. Tokoh utama lainnya, Jayengresmi alias Among Raga, juga diceritakan bahwa ia belajar di Paguron Karang Banten di bawah bimbingan seorang guru berkebangsaan Arab bernama Syaikh Ibrāhīm bin Abī Bakar yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Ageng Karang. Dari Karang ia kemudian pergi ke Paguron Besar di desa Wanamarta, Jawa Timur. Dalam primbon Jawa dari Kabupaten Banyumas yang menceritakan seorang guru di Karang yang bernama Seh Bari yang mengajarkan Islam ortodoks juga tidak menyebutkan sebuah paguron, apalagi istilah pesantren.17

Kesimpulan yang diajukan van Bruinessen ini ditentang oleh Asrohah. Dengan menggunakan data dalam kronik Jawa Babad Tanah Jawi, Asrohah menunjukkan bahwa kata santri disebutkan beberapa kali. Diceritakan bahwa seorang ulama Makdum Ibrahim Asrama di negeri Campa mempunyai dua putra. Yang tua bernama Raden Rahmat dan yang muda bernama Raden Santri. Raden Rahmat meminta izin kepada ayahnya untuk pergi ke tanah Jawi. Mereka berangkat ke Jawa dan menghadap ke Raja Majapahit Brawijaya. Mereka tinggal di Majapahit selama setahun. Kemudian Raden Rahmat menikah dengan putri Tumenggung Wila-Tikta, Ki Gede Manila.18 Raden Rahmat kemudian tinggal di Ampel Denta

Surabaya; dan berikutnya ia dikenal dengan Sunan Ampel. Sedangkan Raden Santri menikah dengan putri Aria Teja19 dan kemudian tinggal di Gresik.20 Kata santri yang menjadi nama dari saudara kandung Raden

16 Ibid, p. 25.

17 Ibid.

18 H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeud, Kerajinan-kerajinan Islam pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan 16, terjemahan oleh pustaka utama Grafiti dan KITLV dari de Eerste Moslem Vorstendommen op Java: Studien over de Staatkundige Geschidenis van de 15 de en 16 de Eeuw, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), Cet III, p. 166. dalam kronik-kronik Jawa, Wila Tikta seringkali merujuk pada penguasa Tuban yang menjadi bawahan Maja karena penguasa-penguasa Tuban biasa memakai gelar Aria Wila Tikta.

19 Ibid., Aria Teja dikenal oleh Graaf sebagai Abdurohman, seorang ulama keturunan Arab yang berhasil meyakinkan raja Tuban, Arab Dikara, untuk masuk Islam.

(6)

Rahmat, mungkin bukan nama sebenarnya, bisa jadi menunjukkan arti akan kedalaman ilmu agamanya.

Pada halaman berikutnya, menurut Asrohah, juga dijelaskan tentang cerita Sunan Giri yang berguru kepada Sunan Ampel di Ampel Denta. Dalam belajar agama Sunan Giri berkawan dengan anak Sunan Ampel bernama Bonang. Kedua murid Sunan Ampel ini diberi sebutan santri Giri dan santri Bonang.21 Sebutan santri dalam kronik ini jelas

mengandung arti orang yang mendalami ilmu agama. Data ini menunjukkan bahwa pada masa perdagangan antara Jawa dengan dunia Islam lainnya, istilah santri telah dikenal dan sampai dituliskannya kronik Babad Tanah Jawi oleh pujangga dari kerajaan Mataram, istilah ini terus menjadi istilah umum. Pada abad ke-19, ketika Berg melakukan penelitian terhadap lembaga pendidikan tradisional Islam di Jawa; dan hasil penelitiannya tersebut dimuat di jurnal berbahasa Belanda TBG pada 1886, istilah pesantren telah dipakai untuk merujuk kepada lembaga pendidikan Islam di Jawa.22

Sedangkan teori lain menyebutkan bahwa sejarah pesantren di Jawa dimulai semenjak datangnya wali yang menyebarkan Agama Islam. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Gujarat, dianggap sebagai peletak dasar berdirinya lembaga pesantren. Pesantrenya mempunyai fungsi sebagai media pendidikan dan penyiaran Agama Islam di wilayah Gresik dan sekitarnya.

Para santri Malik Ibrahim yang telah menyelesaikan pendidikannya pulang ke daerahnya dan mengembangkan pendidikan dan menyebarkan agama antara lain dengan mendirikan pesantren-pesantren baru.23

Sedangkan tokoh yang dianggap berhasil mendidik ulama dan mengembangkan pondok pesantren adalah Sunan Ampel. Ia mendirikan pesantren di Kembang Kuning, Surabaya. Pada waktu pertama kali didirikan, ia hanya memiliki tiga orang santri, Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning.24 Selanjutnya Sunan Ampel mendirikan Pesantren Ampel Denta. Misi Sunan Ampel menyiarkan Agama Islam mencapai sukses dan pesantrennya semakin berpengaruh di seantero Jawa

21 Ibid., p. 21.

22 Hanun Asrohah, Pelembagaan Pesantren: Asal-usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa, (Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Informasi Penelitian dan Diklat Keagamaan, 2004), pp. 33-35 dan L.W.C. van den Berg, “Het Mohammedaansche Godsdienstonderwijs op java en Modera en de Daarbij Gebruikte Arabische Boeken” dalam TBG, XXXI, 1886, p. 520.

23 Mustafa Syarif, Administrasi Pesantren, (Jakarta: Daryu Barkah, 1984), p. 5. 24 Marwan Saridjo dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. (Jakarta: Darma Bhakti, 1983), p. 25.

(7)

Timur. Alumni Sunan Ampel mendirikan pesantren-pesantren baru di berbagai daerah, seperti Giri, Tuban, Lamongan, dan Demak.25

Di antara santri Sunan Ampel, Raden Fatahillah termasuk salah satu yang secara khusus meningkatkan usaha pendidikan dan pengajaran agama. Pada tahun 1476, ia membentuk Bhayangkare Islah, yaitu Angkatan pelopor perbaikan pendidikan dan pengajaran. Organisasi Bayangkare Islah sendiri sebenarnya sudah dirintis oleh Sunan Ampel dalam proses pengkaderan ulama. Namun organisasi ini baru berlangsung formal dan terencana sebagai wadah pendidikan dengan berbagai taktis dan strateginya setelah diwujudkan oleh Raden Patah tahun 1476.26

Pada tahun 1500, setelah berdirinya Kerajaan Demak, program kerja organisasi ini lebih disempurnakan, dengan mendirikan masjid di setiap daerah yang strategis sebagai tempat pendidikan Islam. Lembaga pendidikan baru ini dipercayakan penguasannya kepada seorang badal.27

Rencana Kerja Bhayangkare Islah, menurut Mahmud Yunus, adalah sebagai berikut.

1. Tanah Jawa-Madura dibagi atas beberapa bagian untuk lapangan pekerjaan bagi pendidikan dan pengajaran. Pimpinan pekerjaan di tiap-tiap bagian dikepalai oleh seorang wali dan badal-badalnya.

2. Supaya mudah difahami dan diterima oleh masyarakat, maka pendidikan dan ajaran Islam harus diberikan dengan melalui jalan kebudayaan yang hidup di masyarakat itu, asal tiada menyalahi hukum syara.

3. Para wali dan para badal. selain harus pandai dalam ilmu agama, harus pula memelihara budi pekerti diri sendiri dan berakhlak mulia, supaya menjadi suri tauladan bagi masyarakat sekelilingnya.

4. Di Demak Bintara harus segera didirikan sebuah masjid Agung untuk menjadi sumber ilmu dan pusat kegiatan usaha pendidikan dan pengajaran Islam.28

Pada masa kerajaan Demak, pendidikan masjid dan pesantren mendapat subsidi dari penguasa dan pembesar kerajaan. Begitu juga setelah terjadi pemindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang. Usaha memajukan masjid dan pesantren tetap berjalan terus. Setelah pusat kerajaan Islam berpindah dari Pajang ke Mataram, pada tahun 1586, perhatian untuk memajukan pondok pesantren semakin besar, terlebih

25 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai..., p. 17.

26 Agus Sunyoto, “Ajaran Tasawuf dan Pembinaan Sikap Hidup Santri Pesantren Nurul Haq Surabaya: Studi Kasus", Tesis tidak dipublikasikan, (Malang: FPS IKIP, 1989), p. 18.

27 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam..., pp. 217-219. 28 Ibid.

(8)

pada masa pemerintahan Sultan Agung.29 Tokoh ini mencurahkan perhatiannya untuk membangun negara seperti meningkatkan mutu pertanian, kebudayaan, dan pendidikan. Pada masa inilah, kemajuan pendidikan dan pengajaran mencapai masa keemasan.30

Adapun organisasi pendidikan dan pengajaran Islam pada zaman Mataram adalah sebagai berikut:

1. Tingkat pengajian al-Qur’an yang terdapat dalam setiap desa. Tingkat ini mengajarkan huruf hijaiyah, membaca al-Qur’an, rukun iman, rukun Islam. Sedangkan guru yang menangani ini ada Modin.

2. Tingkat pengajian kitab bagi santri yang telah khatam al-Qur’an. Guru tingkat ini adalah modin yang terpandai di desa itu dan ada juga yang didatangkan dari desa-desa lain. Guru tingkat ini biasa disebut Kyai Anom. Kitab-kitab yang dipelajari mula-mula dengan Usul 6 Bis, yaitu sejilid kitab tulisan tangan berisi 6 kitab dengan 6 tulisan basmalah, kemudian diteruskan dengan matan Taqrîb dan Bidāyat al-Hidāyat. 3. Tingkat pesantren besar. Guru tingkat ini diberi gelar Kyai Sepuh atau

Kanjeng Kyai. Pada umumnya pelajarannya diberikan dalam bentuk sharah.

4. Tingkat keahlian. Pelajaran pada tingkat ini bersifat mendalam dan membahas sesuatu kajian tertentu.31

Berangkat dari data di atas dapat disimpulkan bahwa pesantren dalam bentuk yang sederhana, seperti tipologi pertama pesantren menurut Ziemek yang terdiri dari masjid dan rumah kyai32, telah ada sebelum abad

ke-18. Di samping itu, karena fenomena pesantren adalah penyebutan lembaga tradisional Islam di Jawa, maka teori terakhir yang berpendapat bahwa pesantren sudah mulai ada sejak zaman Maulana Malik Ibrahim mendekati kebenaran. Pesantren yang dirintis Sunan Ampel ternyata mempunyai pengaruh dan membawa kemajuan pendidikan dan pengajaran Islam pada masa Mataram.

C. Perkembangan Pesantren pada Masa Kolonial

Kemajuan pendidikan dan pengajaran Islam yang mengakar di tengah masyarakat Jawa sejak zaman Mataram rupanya telah mengkhawatirkan Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh sebab itu, sejak terjadinya Perjanjian Gianti yang membelah Mataram menjadi dua pada

29 HJ de Graff, Islam di Asia Tenggara..., 270-276 dan Azhumardi Azra, Jaringan Ulama..., p. 55.

30 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam..., pp. 18-22. 31 Ibid., pp. 221-222.

(9)

1755, Pemerintah Kolonial Belanda selalu berusaha menghasut dan mengadu-domba kedua kerajaan tersebut. Di dalam proses adu domba itulah pemerintah kolonial Belanda secara terencana berusaha melumpuhkan kekuatan Islam, di mana pemerintah kolonial Belanda pada gilirannya menghapuskan tanah-tanah lungguh, yang merupakan tanah ganjaran yang sejak zaman Mataram diberikan kepada penghulu, naib, kyai anom, dan kyai sepuh untuk dijadikan tanah gobernemen.33

Kehadiran Belanda dan keterikatan keraton dengan Pemerintah Belanda memperkecil kemungkinan keraton untuk berbuat apa yang mungkin diijinkan untuk menemukan kembali keutuhan wilayah Jawa, di mana Islam merupakan komponen utama. Pengaruh yang diberikan kekuatan asing terhadap gaya hidup keraton menyebabkan ulama dan pesantren menjauhkan diri.34

Di samping itu, setelah Diponegoro ditaklukkan, Belanda memperluas tekanannya terhadap Islam. Organisasi pendidikan dan pengajaran Islam yang berlaku pada masa kerajaan Mataram dihapuskan. Dalam keadaan seperti ini, pesantren ternyata mampu survive dan mampu menghadapi gelombang pendidikan ala barat.35

Pendidikan Barat yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menghancurkan pendidikan Islam telah menjadi bumerang. Tuntutan mereka terhadap kebudayaan menjelma menjadi protes terhadap feodal dan kolonial yang menekan rakyat Indonesia. Manifestasi kebencian kalangan pesantren terhadap pemerintah Belanda dapat terlihat dalam tiga fase.

1. Mengadakan uzlah. Mereka menyingkir ke desa atau tempat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan suasana kolonial dan menutup diri dari pengaruhnya.

2. Bersikap non-kooperatif dan sering mengadakan perlawanan secara diam-diam. Di samping mengaji kitab, para santri digembleng untuk menumbuhkan semangat jihad untuk membela agama dan tanah air. 3. Memberontak dan mengadakan perlawanan secara fisik terhadap

kolonial.

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, kalangan pesantren telah menunjukkan eksistensinya dengan mengadakan perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad melawan penjajah dari bumi pertiwi. Antara

33 Taufik Abdullah, ”Dialog dan Integrasi: Pesantren dalam Perspektif Sejarah,” dalam Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987), p. 145 dan Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, p. 227.

34 Taufik Abdullah, "Dialog dan Integrasi"..., p. 145. 35 Marwan Saridjo dkk., Sejarah Pondok..., p. 41.

(10)

tahun 1820-1903 telah terjadi pemberontakan santri yang penting antara lain:

1. Pemberontakan Pangeran Diponegoro 1826-1830. 2. Pemberontakan di Pantai Laut Jawa Banten. 3. Pemberontakan di Aceh 1873-1903.

Untuk menghindari pemberontakan dari para santri, pada tahun 1882, Belanda telah membentuk priesterraden yang bertugas mengawasi perkembangan pesantren.36 Kurang lebih dua dasawarsa kemudian,

tepatnya tahun 1905, Badan di atas menyarankan untuk dikeluarkannya ordonansi yang bertugas mengawasi pesantren dan mengatur izin bagi guru-guru agama yang akan mengajar. Tahun 1925 keluar aturan yang membatasi lingkaran lembaga pendidikan agama yang dikelola kyai dengan Wilde School Ordonantie. Ordonansi ini berupaya memberantas serta menutup madrasah yang tidak ada izinnya atau memberi pelajaran yang tidak disukai pemerintah.37 Sedangkan isi ordonansi guru 1925 adalah

sebagai berikut:

1. Setiap guru agama harus mampu menunjukkan bukti tanda terima pemberitahuan.

2. la harus mengisi daftar murid dan daftar pelajaran yang sewaktu-waktu bisa diperiksa oleh pejabat yang berwenang.

3. Pengawasan dinilai perlu demi memelihara ketertiban dan keamanan umum.

4. Bukti kelayakan bisa dicabut, bila guru yang bersangkutan aktif memperbanyak murid dengan maksud yang bisa dinilai sebagai mencari uang.

5. Guru agama Islam bisa dihukum maksimum enam hari kurungan atau denda maksimum f.25 bila mengajar tanpa surat tanda terima laporan, tidak benar keterangannya atau lupa dalam mengisi daftar.

6. Juga bisa dihukum maksimum sebulan kurungan atau denda f.2000 bila masih mengajar setelah dicabut haknya.

7. Ordonansi Guru tahun 1925 berlaku sejak 1 Juni 1925, dan Ordonansi Guru tahun 1905 dicabut.38

Sebelumnya, tepatnya pada tahun 1901 ada perubahan kebijakan kolonial dari politik eksploitasi kepada politik etis. Politik Etis yang berintikan peningkatan pendidikan dan emansipasi bangsa Indonesia secara berangsur dan diusahakan untuk mencapai kesejahteraan melalui

36 Taufik Abdullah, “Dialog dan Integrasi...”, p. 153.

37 Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jakarta: Mulia Offset, 1989), p. 47., dan Sutari Imam Barnadib, Sejarah Pendidikan, (Yogjakarta: Andi Offset, 1983), p. 24.

(11)

irigasi, transmigrasi, reformasi, pendewasaan, perwakilan, dan ditumpukan kepada pendidikan39 ternyata tidak memperhatikan pendidikan agama. Sekolah yang berlabelkan agama dibiarkan hidup sendiri, tanpa pengakuan apa-apa kecuali dicurigai dan dikekang. Pesantren dibiarkan hidup tanpa bantuan.40

Ketidakpedulian pemerintah kolonial terhadap pendidikan agama menjadikan umat Islam terutama ulamanya anti terhadap pendidikan pemerintah dan berusaha mempertahankan lembaga pendidikan Islam. Pendidikan yang diciptakan pemerintah untuk anak pribumi hanyalah untuk memperoleh tenaga kerja yang dapat dibayar murah. Keadaan yang seperti ini mengakibatkan adanya jurang pemisah yang semakin dalam, di mana pemerintah hanya menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi kepada intelektual, sementara umat Islam kebanyakan menyelenggarakan yang berorientasi keakhiratan.41

Kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda tersebut ternyata tidak mampu menghambat laju pertumbuhan pesantren. Dengan mengadakan perubahan dan pembaruan, walau sangat terbatas,42 dan tantangan yang tidak kecil dari kolonial, jumlah pesantren dan santrinya, pada tahun 1930-an, meningkat tajam.43

Sebagai gambaran umum tentang perkembangan beberapa pesantren di Indonesia dapat dipresentasikan menurut laporan pemerintah Hindia Belanda ketika hendak menerapkan politik etisnya pada awal abad ke-19. Jumlah lembaga pendidikan, baik pengajian maupun pesantren sebanyak 1.853 buah. Sedangkan menurut laporan van den Berg, pada tahun 1885, jumlah pengajian dan pesantren di Jawa dan Madura sebanyak 14.929 dengan jumlah santri 22.663 orang. Dari jumlah tersebut, terdapat sekitar 3.000 pesantren yang memberikan pendidikan menengah dan 300 daripadanya digolongkan sebagai pesantren yang mengajarkan pendidikan tingkat tinggi mengenai kitab-kitab kuning.44

39 S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), p. 18. 40 Abdurrahman Shaleh, Penyelenggaraan Madrasah…, p. 14

41 Elizabeth E. Graves, The Minangkabau Respone to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century, (New York: Cornell University, 1981), p. 16.

42 Perubahan di pesantren yang hanya bersifat terbatas ini setidak-tidaknya disebabkan dua hal; pertama, para Kyai masih harus mempertahankan dasar dan tujuan pendidikan pesantren, yaitu mempertahankan dan menyiarkan Islam, dan kedua, pesantren belum memiliki staf khusus sesuai dengan kebutuhan pembaruan untuk mengajarkan cabang-cabang pengetahuan umum. Untuk elaborasi baca Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1983), p. 39.

43 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai..., p. 22. 44 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, pp. 35-36.

(12)

D. Pembaruan Pesantren pada Masa Pra dan Pasca Kemerdekaan Sebelum penjajahan, pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan Islam di Jawa. Dengan datangnya penjajahan, pesantren, di samping berfungsi sebagai penjaga nilai-nilai keagamaan dan semangat independen, juga merupakan alternatif terhadap pendidikan yang diciptakan kolonial. Pertumbuhan madrasah dan sekolah sebagai hasil pembaruan merupakan upaya penyesuaian terhadap tradisi persekolahan yang dikembangkan oleh kolonial.

Di samping pengaruh dari corak dan model pendidikan Belanda, menurut Abuddin Nata, pembaruan pendidikan Islam di Indonesia juga dipengaruhi oleh gerakan yang berkembang di Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Mesir, dan Turki. Pengaruh ini terjadi karena adanya hubungan yang kuat antara ulama yang ada di kepulauan Nusantara ini dengan ulama di Timur Tengah.45 Senada dengan Nata, Maksum juga berpendapat bahwa pembaruan pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian dari gerakan pembaruan Islam, yang memiliki kontak cukup intensif dengan pembaruan di Timur Tengah. Sebagai agama yang universal, Islam membawa peradabannya sendiri termasuk pendidikan yang berakar pada tradisi yang panjang sejak Rasulullah. Ketika bersentuhan dengan situasi lokal dan partikular, peradaban Islam walau tetap mempertahankan esensinya tetapi secara instrumental menampakkan bentuk yang kondisional.46

Di samping disebabkan pengaruh sistem pendidikan kolonial dan pembaru, pembaruan pendidikan di pesantren juga dimaksudkan untuk memberikan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Pembaruan ini dipelopori oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Moh. Ilyas, dan KH. A. Wahid Hasyim, ketiganya dari Jombang, Jawa Timur, serta KH. Abd. Halim dari Majalengka Jawa Barat. Tokoh-tokoh tersebut semuanya adalah alumni pendidikan di Mekah. KH. Wahab Hasbullah dan KH. Abd. Halim adalah tokoh ulama dan teman seangkatan dengan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

KH. Abd. Wahab Hasbullah adalah tokoh pertama yang mendirikan lembaga pendidikan di kalangan pesantren dengan sistem sekolah Barat (klasikal). Pada tahun 1914, setelah kedatangannya dari belajar di Mekah, ia mendirikan Jam`iyyah Nahdlatul Wathan, bersama KH. Mas Mansur. Organisasi ini bertujuan untuk memperbaiki pendidikan agama, dengan suatu sistem yang tersusun lebih baik, antara lain dengan sistem klasikal.

45 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), p. 4.

(13)

Maka, mulai saat itu berkembanglah sistem klasikal di kalangan pendidikan tradisional, termasuk pengaruh ini adalah berdirinya Madrasah Salafiyah di Tebuireng yang didirikan pada tahun 1916.47

KH. Abd. Halim dari Majalengka adalah seorang tokoh pendidikan dari Jawa Barat. Ia juga seorang ulama tradisional yang mempelopori pembaruan pendidikan di dunia pesantren, walaupun pada perkembangan berikutnya ia lebih dekat dengan kaum modernis. Pada tahun 1916 ia mendirikan madrasah dengan sistem klasikal. Madrasah tersebut dari segi kurikulum dan materi pelajarannya masih murni di bidang-bidang keagamaan, sebagaimana adanya di pesantren. Tetapi pada tahun 1932, ia mendirikan pesantren yang telah mempergunakan sistem kombinasi.48 Ia

mendirikan pesantren dengan kurikulum yang khas sebagai antitesa terhadap sistem pendidikan kolonial dan sekaligus pendidikan pesantren yang tradisional. Maka, ia membuat kurikulum pesantren dengan tiga materi pokok; pengetahuan agama, umum, dan ketrampilan.49 Inilah

bentuk pendidikan pesantren sistem kombinasi pertama.

Pembaruan sistem pendidikan pesantren selanjutnya dipelopori oleh KH. Moh. Ilyas dari Surabaya. Ia adalah seorang ulama pesantren yang sekaligus pernah belajar di sekolah kolonial, yaitu HIS. Berangkat dari pengalamannya di HIS, ia mengadakan pembaruan di HIS, ia mengadakan pembaruan-pembaruan sistem pendidikan di pondok pesantren. Pada tahun 1929 ia diserahi tugas oleh KH. Hasyim Asy`ari untuk memimpin Madrasah Salafiyah (sistem klasikal) di pondok pesantren Tebuireng.50

Selanjutnya dengan persetujuan dari KH. Hasyim Asy`ari ia mengadakan beberapa pembaruan yang sempat menimbulkan reaksi yang cukup hebat di kalangan pesantren.51 Moh. Ilyas memasukkan mata pelajaran umum seperti membaca dan menulis huruf latin, ilmu bumi, sejarah, dan bahasa Melayu. Semenjak itu juga surat kabar berbahasa Melayu diizinkan masuk pesantren. Ia juga merubah sistem pengajaran

47 Biografi KH. Wahab Hasbullah selengkapnya dapat dibaca dalam Dhofier, Tradisi Pesantren, p. 24-27; Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah..., p. 65-69.

48 Kombinasi adalah pendidikan yang menekankan adanya penyatuan beberapa kurikulum dalam satu sistem pendidikan, yaitu antara pendidikan agama, umum, dan ketrampilan.

49 Prakarsa KH. Abd Halim ini diwujudkan dalam bentuk santri asrama yang didirikan pada tahun 1932. Lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah...., p. 74.

50 Tebuireng pada sekitar tahun 1920 sampai 1930-an merupakan pesantren termasyhur di Indonesia, dengan santri kurang lebih 6000 orang. Baca J. Benda, the Cresent and the Rising Sun, (Bandung: the Hague, 1958), p. 245.

51 Di antara bentuk protes kalangan pesantren adalah banyaknya orang tua santri yang memindahkan anaknya ke pesantren lain karena Tebuireng dinilai sudah terlalu modern. Lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah..., p. 71.

(14)

bahasa Arab, dari sistem pengajaran dengan buku yang sulit dan berbentuk nazhaman, seperti `Imrītī dan Alfiyah Ibn Mālik, sistem pengajaran bahasa Belanda, dengan Direct Method.52 Dengan wibawa KH.

Hasyim Asy`ari sebagai pimpinan NU, maka pembaruan pendidikan di pesantrennya ini berpengaruh besar terhadap pembaruan di pesantren di seluruh pelosok Indonesia, khususnya di Jawa dan Madura.

Tahap yang ketiga dalam pembaruan sistem pendidikan di pesantren adalah atas prakarsa KH. Wahid Hasyim. Ia adalah putra KH. Hasyim Asy`ari. Pada waktu menjabat Menteri Agama, tahun-tahun pertama setelah 1945, ia mengambil keputusan untuk menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan Barat. Cara yang ditempuh untuk melaksanakan keputusan ini antara lain dengan propaganda untuk memasukkan pendidikan umum ke madrasah-madrasah. Dengan gerakan ini, maka keterbukaan dunia pesantren terhadap budaya Barat, khususnya model pendidikannya—terutama sistem klasikal—semakin merata di dunia pesantren.53 Wujud dari pembaruan ini adalah berdirinya

madrasah-madrasah baik yang sudah mengajarkan pelajaran umum maupun yang masih hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama.

Setelah sistem klasikal ala Barat memasuki dunia pesantren dengan berdirinya madrasah-madrasah, maka bentuk pembaruan berikutnya adalah formulasi kurikulum. Berdirinya banyak madrasah adalah suatu kontribusi terhadap khazanah pendidikan umat Islam Indonesia. Karena secara historis biasanya madrasah ini berdiri di atas dua sistem otoritas yang berbeda, otoritas kyai sebagai pendiri dan otoritas masyarakat di sekitar pesantren. Hal ini mengakibatkan munculnya pendidikan berbentuk madrasah, berarti bertambahlah jumlah dan jenis lembaga pendidikan Islam.54

Karena kewenangan pesantren berikut madrasah-madrasahnya sepenuhnya berada di tangan kyai, maka sebenarnya masalah kurikulum dan semua jenis manajemennya sangat tergantung pada selera kyainya.55 Akan tetapi karena tujuan pesantren dan antisipasi masa depan, serta budaya global, maka dalam hal kurikulum di dunia pesantren juga banyak

52 Sedangkan Direct Method sistem pengajaran Bahasa Belanda ini adalah cara mempelajari bahasa dengan menggunakan sistem langsung untuk percakapan. Baru setelah secara lisan dikuasai, selanjutnya mempelajari grammar, dan tahun terakhir menulis. Lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah..., p. 71.

53 Ibid. p. 72 dan Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai..., pp. 81-87.

54 Dengan berdirinya madrasah-madrasah itu, maka kita sekarang mengenal madrasah dengan tingkatan-tingkatannya seperti yang kita ikuti sekarang yaitu MI/MIN, MTs/MTsN, MA/MAN, PTAIS/IAIN yang berada di luar sistem pesantren, sedangkan pesantren dan madrasahnya tetap eksis dengan bentuk-bentuk pembaruannya sendiri.

(15)

mengalami pembaruan. Ada yang memegangi prinsip kombinasi, yaitu dengan memadukan mata pelajaran umum dan agama. Bahkan ada yang menggabungkan tiga pelajaran pokok; umum, agama, dan ketrampilan atau keahlian-keahlian khusus.56 Tetapi sampai sekarangpun masih ada

yang tetap konsisten dengan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dari kitab klasik, dengan kurikulum, sistem, dan teknik pengajaran sebagaimana pesantren kuno.57

Dari pengaruh prinsip kombinasi, maka muncul ragam spesialisasi pendidikan di dunia pesantren. Ada yang menekankan pendidikan agama dengan penambahan materi umum. Ada yang menekankan pendidikan umum dengan tambahan pelajaran agama di malam hari,58 dan ada juga

yang menerapkan secara bersama antara dua disiplin, masing-masing dengan manajemen yang terpisah.59

Pada dekade 1970-an, telah terjadi perubahan yang cukup besar. Jika sebelumnya sistem pesantren kebanyakan hanya merupakan bentuk pendidikan non-klasikal (sekolah), maka mulai tahun-tahun tersebut muncul bentuk-bentuk pendidikan klasikal di dunia pesantren, mulai madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, SLTP/SMTA umum, perguruan tinggi agama, bahkan perguruan tinggi umum.

Pembaruan juga memasuki bidang-bidang yang menyangkut sarana dan prasarana fisik. Dengan adanya sistem pendidikan klasikal terpaksa dibutuhkan banyak ruang kelas (lokal), untuk pengajaran masing-masing tingkat pelajaran. Maka, dibangunlah gedung-gedung pembelajaran dan sekaligus perkantoran untuk para ustadznya. Pengajaran tidak mungkin lagi dilakukan oleh kyai seorang diri, sebagaimana pesantren zaman dahulu tetapi membutuhkan banyak guru dengan berbagai spesialisasi. Demi

56 Sistem kombinasi inilah yang paling banyak muncul dari pesantren-pesantren yang ada, walaupun banyak yang tetap membawa penekanan pada pendalaman ilmu agama. Misalnya pondok pesantren Nurul Jadid Paiton Propolinggo Jawa Timur, dengan santrinya yang sangat besar kurang lebih 10.000 orang. Sistem pendidikan yang diselenggarakannya adalah sistem klasikal dan kombinasi. Penjelasan Imam Amruzi Jailani (Alumni 1988), pada tanggal 8 Mei 1997.

57 Di daerah Kediri masih banyak pesantren yang menggunakan sistem salaf murni, terutama daerah-daerah pinggiran kota dan pedesaan yang rata-rata jumlah santri kurang dari 100.

58 Pemberian materi ilmu pengetahuan umum di dalam sistem pesantren diberikan dalam sistem tersendiri di madrasahnya dan tidak bercampur dengan sistem pengajaran kitab kuning.

59 Model-model pendidikan kombinasi khususnya yang menekankan penambahan disiplin dan ketrampilan khusus ini dipelopori oleh para cendekiawan modernis. Baca M. Dawam Rahardjo, “Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan”..., p. 18.

(16)

efektifitas pengajaran dan efisiensi tenaga terpaksa ada beberapa pesantren yang mencampurkan antara pria dan wanita dalam satu kelas pengajaran.60 Dari banyaknya tuntutan kehidupan modern dan pengaruh budaya lokal, maka, di pesantren sudah banyak berdiri koperasi santri, kantin, poliklinik, dan tempat-tempat khusus untuk latihan ketrampilan,61tidak terlewatkan juga pengaruh pembaruan adalah terjadinya pergeseran tata nilai, tradisi, dan melunturnya beberapa prinsip yang dipegangi dalam sistem pendidikan pesantren. Dengan banyaknya model pendidikan kombinasi, maka, mata pelajaran yang dihadapi santri menjadi semakin banyak. Konsekuensinya santri kehabisan waktu untuk dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dapat melatih hidup sederhana, mandiri, dan kesetiakawanan; seperti memasak makanan, makan bersama-sama, mencuci pakaian dan menyeterikannya sekaligus.62

Demikian pula adanya pembaruan memunculkan pola hidup dan orientasi belajar yang pragmatis. Belajar atau nyantri dengan target-target praktis tertentu, seperti orientasi ekonomi, kedudukan sosial, dan lain-lain. Maka, dengan hal tersebut, prinsip keikhlasan dan pengabdian dalam sistem pendidikan pesantren mulai bergeser dari posisinya yang semula demikian kukuh.

Di samping beberapa perubahan tersebut, pembaruan di dunia pesantren juga menyebabkan pergeseran dalam sistem penilaian. Penilaian terhadap kemapanan seorang kyai tidak hanya terbatas kepada kesalehan dan kedalaman ilmu agamanya, tetapi turut juga mempengaruhi pada penilaian masyarakat, bahwa kebesaran kyai juga dilihat dari sisi keberhasilan duniawinya; seperti kekayaan dan banyaknya santri yang diasuh maupun jabatan-jabatan sosial yang dipercayakan kepadanya. Demikian juga dalam sistem kepemimpinannya, yang semula prioritas pemilihan kyai karena keturunan, kesalehan, baru keilmuan; setelah terjadinya pembaruan di pesantren, seorang kyai dipilih dan dihargai

60 Di pondok pesantren Tebuireng Jawa Timur —pondok pesantren yang menjadi pioner pembaruan— telah menggabungkan santri putri dan santri putra dalam satu kelas pengajaran yaitu pada masa kepemimpinan KH. Syamsuri Badhawi dan KH. Yusuf Hasyim dengan dibukanya Universitas Hasyim Asy`ari (UNHAS). Baca Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren..., p. 125.

61 Khusus adanya bentuk pengembangan ketrampilan santri biasanya hanya ada di pesantren-pesantren yang telah menerapkan sistem kombinasi. Sementara di pedesaan-pedesaan yang masih murni hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, modernisasi di bidang ini tidak ada.

62 Sekarang sudah banyak santri dan alumni pesantren yang tidak pandai memasak, karena selama di pesantren mereka tidak pernah memasak sendiri, karena mereka kebutuhan makannya diorganisir oleh pesantren dengan sistem kost (pajak makan).

(17)

dengan prioritas yang sebaliknya, yaitu keahlian dalam ilmunya, kesalehan, dan baru kemudian masalah keturunannya.63

Berbagai pembaruan pendidikan di pesantren setelah kemerdekaan disinyalir sebagai dampak dari kebijakan pemerintah mengembangkan sekolah umum seluas-luasnya dan memberikan fasilitas bagi bangsa Indonesia yang terdidik pada sekolah umum untuk menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan.64 Bahkan, Soekarno, Presiden pertama RI,

pernah mengkritik bahwa pesantren sebagai lembaga yang ketinggalan zaman dan menutup diri. Pesantren, menurutnya, harus merubah sikap itu. Sejak itu, masyarakat mulai mengaitkan sekolah dengan lapangan kerja. Oleh karenanya, jumlah generasi muda yang tertarik memasuki pesantren semakin menurun. Hal ini mengakibatkan kebanyakan pesantren kecil pada masa 1950-an mati. Mereka yang berkeinginan untuk survive biasanya memadukan lembaga pendidikan umum dalam lingkungan pesantren.65

Demikianlah, pesantren yang telah mengemban pendidikan dan pengajaran Islam yang sudah berjaya sejak zaman Mataram itu mengalami kemerosotan justru di zaman pemerintahan Indonesia merdeka di mana pesantren pada gilirannya diasumsikan sebagai simbol keterbelakangan. E. Penutup

Berangkat dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Pesantren dalam bentuk yang sederhana telah ada sebelum abad ke-18. Karena fenomena pesantren adalah penyebutan lembaga tradisional Islam di Jawa, maka teori yang berpendapat bahwa pesantren sudah mulai ada sejak zaman Maulana Malik Ibrahim mendekati kebenaran. 2. Kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda, berupa priesterraden yang

bertugas mengawasi perkembangan pesantren, ordonansi tahun 1905 yang bertugas mengawasi pesantren dan mengatur izin bagi guru-guru agama yang akan mengajar, dan ordonansi guru tahun 1925 yang membatasi lingkaran lembaga pendidikan agama yang dikelola kyai dengan Wilde School Ordonantie ternyata tidak mampu menghambat laju pertumbuhan pesantren.

3. Pembaruan pendidikan di pesantren dilakukan dengan cara mengadopsi isi dan metodologi pendidikan yang dikembangkan oleh kolonial dan kaum pembaru. Dengan cara ini pesantren ternyata dapat survive dan berkembang hingga kini.

63 Prinsip-prinsip tersebut pada dataran praktisnya melahirkan sikap patuh dan taat sepenuhnya kepada Kyai. Selanjutnya pembelaan terhadap sikap ini bisa dibaca pada Zubaidi Habibullah Asy`ari, Moralitas Pendidikan Pesantren, (Yogjakarta: PT. Kurnia Alam Semesta, 1996), pp. 32-33.

64 Ibid., p. 41.

(18)

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik, ”Dialog dan Integrasi: Pesantren dalam Perspektif Sejarah,” dalam Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987.

Arifin, Imron, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng Malang: Kalima Sahada Press, 1993.

Asrohah, Hanun, Pelembagaan Pesantren: Asal-usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa, Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Informasi Penelitian dan Diklat Keagamaan, 2004.

Asy`ari, Zubaidi Habibullah, Moralitas Pendidikan Pesantren, Yogjakarta: PT. Kurnia Alam Semesta, 1996.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1995.

Barnadib, Sutari Imam, Sejarah Pendidikan, Yogyakarta: Andi Offset, 1983. Benda, J., The Cresent and the Rising Sun, the Hague-Bandung, 1958.

Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1995.

Berg, L.W.C. van den, “Het Mohammedaansche Godsdienstonderwijs op java en Modera en de Daarbij Gebruikte Arabische Boeken” dalam TBG, XXXI, 1886.

Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,Jakarta: LP3ES, 1983.

Graaf H.J. de, dan Th. G. Th. Pigeud, Kerajinan-kerajinan Islam pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan 16, terjemahan oleh pustaka utama Grafiti dan KITLV dari de Eerste Moslem Vorstendommen op Java: Studien over de staatkundige geschidenis van de 15 de en 16 de Eeuw, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.

_______,”Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke-18,” dalam Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.

Graves, Elizabeth E., The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century, New York: Cornell University, 1981.

Hamzah, Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jakarta: Mulia Offset, 1989.

(19)

Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.

Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos, 1999. Nasution, S., Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES,

1995.

Rahardjo, M. Dawam, “Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan”, dalam M. Dawam Rahardjo Ed., Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1995.

Ras, J.J., Babad Tanah Jawi, Dordrecht: zforis Publications, 1987.

Saridjo, Marwan, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Darma Bhakti, 1983.

Shaleh, Abdurrahman, Penyelenggaraan Madrasah: Peraturan Perundangan, Jakarta: Dharma Bhakti, 1984.

Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

_______, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, Jakarta: LP3ES, 1986.

Sunyoto, Agus, “Ajaran Tasawuf dan Pembinaan Sikap Hidup Santri Pesantren Nurul Haq Surabaya: Studi Kasus, Tesis tidak dipublikasikan, Malang: FPS IKIP, 1989.

Sya`rānī, Abd al-Wahhāb al-, al-Anwār al-Qudsiyah fî Ma`rifati al-Sūfîyah, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th.

Syarif, Mustafa, Administrasi Pesantren, Jakarta: Daryu Barkah, 1984.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Muhammadiyah, 1960.

Zarnuji, Ta`līm al-Muta`allim, Kudus: Menara Kudus, 1963.

Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terjemahan Butche B. Soendojo dari ”Pesantren Islamische Bildung in Sozialen Wandel”, Jakarta: P3M, 1983.

Referensi

Dokumen terkait

dengan judul “ Analisis Pengaruh Free Cash Flow, Investment Opportunity Set, dan Sales Growth terhadap Dividend Policy pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek

Kegiatan PkM ini merupakan hasil kerjasama antara UNUSA dengan pihak sekolah SMA Negeri 1 Gresik dalam rangka meningkatkan kualitas siswa dan para Guru

Dengan merujuk kepada buku yang disusun dari sumber relevan, mahasiswa PGMI dapat terhindar dari kesalahan yang sering terjadi ketika kebanyakan orang membaca huruf tipis pada

Skripsi dari Ihwan jurusan Syariah dan Ilmu Hukum Studi Ekonomi Islam Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau tahun 2013 yang berjudul “IMPLEMENTASI AKAD

Kendala ekstern yaitu suatu hambatan yang dihadapi oleh orangtua karena pengaruh dari luar seperti pesatnya arus globalisasi seperti adanya tayangan TV berupa film

Penentuan jarak elektroda dilakukan untuk mengetahui jarak elektroda yang optimal pada proses eksitasi unsur-unsur pengotor, sehingga diperoleh intensitas garis spektrum

Contoh dibagi kedalam 3 kelompok perlakuan yang masing- masing kelompok diberi suplemen yang berbeda yakni kelompok dosis tinggi (DT): diberi suplemen kapsul minyak iodium dosis 200

• Dari tulisannya tersebut kita melihat bahwa pada awal abad pertama setelah masehi, Pliny berhasil mengidentifikasi adanya bahaya debu di tempat kerja dan menuliskan