• Tidak ada hasil yang ditemukan

GRAND DESIGN PEMBIBITAN KERBAU NASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GRAND DESIGN PEMBIBITAN KERBAU NASIONAL"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

GRAND DESIGN PEMBIBITAN KERBAU NASIONAL

(Grand Design of National Buffalo Breeding Program)

CHALID TALIB1danM.NAIM2

1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16151 e-mail: criancht@yahoo.co.id

2 Balai Pembibitan Ternak Unggul Kerbau dan Babi Siborongborong, Jl. Sinur Siborongborong, Kotak Pos 22474, Tapanuli Utara 22474, Sumatera Utara

ABSTRACT

Recently, population of buffaloes is running in steady state by maintaining the number in 1.3 million individuals in Indonesia, since Year 1841. Furthermore, in 13 to 15 September 2012, the Government of Indonesia namely Directorate General of Livestock and Animal Health conducts seminar and workshop for building “The Grand Design of National Buffalo Breeding" at Bukittinggi, West Sumatera as the foundation for the development of Indonesian buffalo in the future. There are two types of buffaloes were developed in Indonesia as well as in the world ie. dairy buffalo and buff buffalo. In Indonesia, buff buffalo are developed namely swamp buffalo by use of local genetic resources, while dairy buffaloes are based on Murrah buffalo genetic improvement are already in Indonesia, through both individual farmers and groups and corporate farms. The long term goal is to provide breedingstocks of dairy buffalo and buff buffalo that going directly through the management improvement of tradisional buffalo keeping through recording, performance test of buff buffalo and progeny test for dairy buffalo, and the grand design could be used as a reference for buffalo sustainable development planning. Improvement of tradisional buffalo rearing will increase population gain and individual productivity through enhanced maintenance management, feed and feeding, and reproduction as temporary improvement and genetic improvement is to increase permanently productivity of individual buffalo which will run in parallel and synergistically with improved exisited management through the interaction between genetics and the environment to suit the needs of genetic performance improvements that have been achieved. National Grand Design of Buffalo Breeding can only be run if awakened of good cooperation between the parties (government, private sector and farmers) by following the phasing of the grand design outlined and adjustments will be made as needed in the implementation every year.

Key Words: Buffalo, Breeding, Grand Design, National ABSTRAK

Dalam seabad terakhir populasi kerbau berjalan di tempat yaitu pada angka 1,3 juta ekor di Indonesia, sejak tahun 1841. Namun pada tanggal 13 – 15 September 2012, Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan melaksanakan semiloka “membangun Grand Design Perbibitan Kerbau Nasional” di Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat sebagai landasan untuk pengembangan kerbau di masa mendatang. Ada dua tipe ternak kerbau yang dikembangkan di dunia yaitu kerbau perah (dairy buffalo) dan kerbau potong (buff buffalo). Di Indonesia, kerbau potong yang dikembangkan adalah kerbau lumpur/rawa (swamp buffalo) dengan memanfaatkan sumber daya genetik lokal, sedangkan kerbau perah adalah perbaikan genetik kerbau Murrah yang sudah berada di Indonesia, melalui peternak baik secara individual maupun kelompok dan perusahaan peternakan. Tujuan jangka panjang adalah menyediakan bibit kerbau potong dan kerbau perah dengan mengarahkan perbaikan manajemen budidaya ke arah pembibitan melalui rekording, uji performan kerbau potong dan uji zuriat kerbau perah dan sebagai acuan perencanaan pengembangan kerbau secara berkelanjutan. Perbaikan budidaya akan meningkatkan populasi dan produktifitas melalui perbaikan manajemen pemeliharaan, pakan dan reproduksi yang bersifat temporer, dan perbaikan genetik adalah untuk meningkatkan produktifitas individu kerbau secara permanen yang akan berjalan secara paralel dan sinergis dengan perbaikan budidaya melalui interaksi antara genetik dan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perbaikan kinerja genetik yang telah tercapai. Grand design kerbau nasional hanya dapat berjalan jika terbangun kerjasama yang baik antara para pihak (pemerintah, swasta dan peternak) dengan mengikuti pentahapan yang telah digariskan serta penyesuaian yang dilakukan sesuai kebutuhan dalam pelaksanaan setiap tahunnya.

(2)

PENDAHULUAN Latar belakang

Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) melaksanakan diskusi “Membangun Grand Design Perbibitan Kerbau Nasional” di Bukittinggi Provinsi Sumatera Barat, pada tanggal 13 – 15 September 2012. Kerbau atau Bubalus bubalis merupakan salah satu ternak yang mempunyai peran dan fungsi yang sangat strategis dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, antara lain sebagai 1). Komponen penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, 2). Penghasil daging yang merupakan komplemen atau substitusi daging sapi, 3). Komoditas komersial dalam penggemukan, 4). Bagian integral kegiatan usaha tani dalam mengolah lahan dan memanfaatkan limbah pertanian, penghasil kompos dan tenaga kerja, serta 5). Agrowisata dan olah raga.

Ada dua tipe ternak kerbau yang dikembangkan sekarang yaitu kerbau perah dan kerbau potong. Kerbau perah berkembang pesat di negara-negara Asia Selatan dan Mediterranian sedangkan kerbau potong berkembang pesat di negara Asia Tenggara, dengan tidak menutup peluang bahwa ada juga negara Asia Selatan yang mengembangkan kerbau potong dan sebaliknya ada juga negara di Asia Tenggara yang mengembangkan kerbau perah. Di Asia, kerbau perah paling banyak diternakan di India, Pakistan dan Bangladesh sedangkan kerbau potong di Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Thailand.

Kerbau potong yang dikembangkan di Indonesia adalah kerbau asli Indonesia yang dikenal sebagai kerbau lumpur (swamp

buffalo), dimana kerbau ini telah berkembang

sejak era domestikasi karena kerabat liarnya masih dipertahankan di Taman Nasional Baluran di Jawa Timur. Kerbau tersebut tersebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa mulai dari kawasan yang sangat kering sampai kawasan rawa dan hutan. Masyarakat umum menamakan kerbau-kerbau lokal tersebut berdasarkan tempat hidupnya maupun berdasarkan ciri khas yang dimilikinya. Dengan demikian dikenal kerbau Moa (Pulau Moa), kerbau Sumbawa (Pulau Sumbawa),

kerbau Toraya (Kabupaten Tana Toraja) yang dikenal juga sebagai kerbau Belang, kerbau Kalimantan (Pulau Kalimantan) yang dikenal juga sebagai kerbau Kalang, juga ada kerbau di Pulau Sumba dan di Provinsi Aceh, Banten, Sumatera Barat, Sumatera Selatan serta Jambi dengan ciri khas dan kegunaan serta produk yang dihasilkan tidak selalu sama.

Kelompok-kelompok ternak ini tetap bertahan hidup karena perannya yang tidak/belum tergantikan di daerah asalnya, seperti di Tana Toraja dan Sumba karena perannya dalam upacara adat/kepercayaan setempat, di Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan karena produk yang dihasilkan istimewa dalam pandangan masyarakat setempat baik produk olahan daging maupun susunya. Dipertahankannya ternak kerbau oleh kelompok-kelompok masyarakat tersebut di atas karena nilai produk yang dihasilkannya juga tidak kalah karena daging dan susu kerbau dalam beberapa hal lebih baik kualitasnya dari daging dan susu yang diproduksi oleh ternak sapi.

Pada era penjajahan, pemerintah saat itu menyebut kerbau sebagai de parel van Oost

Indie - mutiara dari Hindia Timur; Prof. Dr.

Wartomo Hardjosubroto dari UGM dalam orasi perpisahan memasuki masa purnabakti menyebut kerbau sebagai “Mutiara yang terpendam dalam lumpur” karena kurang mendapat perhatian di Indonesia. Dalam kenyataannya, di Indonesia semua pihak terkait peternakan, mengakui peranan kerbau yang signifikan dalam kehidupan masyarakat petani-ternak di pedesaan. Dalam dekade ke depan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen-PKH) meletakkan landasan utama untuk pengembangan pembibitan kerbau yang diawali dengan pembuatan dan sekaligus pelaksanaan grand design pembibitan kerbau nasional di Indonesia.

Tujuan

Tujuan pembuatan grand design ini adalah agar dalam jangka panjang mampu menyediakan bibit kerbau potong dan kerbau perah yang baik bagi pengembangan kerbau di Indonesia, melalui beberapa cara sebagai berikut:

(3)

1. Memperbaiki manajemen budidaya kerbau baik pada kerbau perah maupun kerbau potong ke arah pembibitan melalui pelaksanaan rekording.

2. Melaksanakan uji performan kerbau potong dan uji zuriat kerbau perah. 3. Meningkatkan jumlah dan mutu bibit

kerbau.

4. Sebagai acuan perencanaan pengembangan kerbau secara berkelanjutan.

Sasaran

Sasaran yang dituju adalah:

1. Aparatur pemerintah Pusat (Direktorat Perbibitan dan UPT-UPTnya) dan Daerah (provinsi dan kabupaten), serta institusi terkait lainnya sebagai para pihak yang paling bertanggung jawab atas perbibitan kerbau nasional.

2. Kelompok peternak budidaya yang bersedia menindak lanjuti usahanya ke arah pembibitan sebagai penangkar bibit. 3. Koperasi/Asosiasi/Pengusaha, lembaga non

pemerintah serta pihak lainnya yang ingin mengembangkan perbibitan kerbau.

Kerbau

Kerbau adalah ternak asli dari Benua Asia yang termasuk sebagai ternak ruminansia dalam keluarga (famili) bovidae dan bangsa (genus) Bubalus. Ketika masuk ke tingkat spesies, maka kerbau dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu kerbau liar, kerbau sungai (dairy buffalo) dan kerbau lumpur atau rawa (buff buffalo). Ketiga kelompok ini diakui sebagai spesies Bubalus bubalis, tetapi pandangan ini masih menjadi perdebatan dalam penamaan ilmiah ketika dimasukkan ke dalam sub spesies.

Kerbau liar ada dua kelompok yaitu

Bubalus arnee dan Anoa atau Bubalus depresicornis dan B. quarlesi. Bubalus arnee

terdapat pada banyak tempat di Asia yaitu Indonesia, Pakistan, India, Cina, Vietnam, Filipina dan Thailand. Di Indonesia terdapat pada kawasan Taman Nasional di Baluran-Jawa Timur. Kerbau inilah yang menjadi tetua ternak kerbau yang berkembang saat ini di dunia yaitu kerbau sungai dan kerbau lumpur. Sementara itu, Bubalus depresicornis (untuk

dataran rendah) dan Bubalus quarlesi (untuk dataran tinggi) adalah kerbau terkecil di dunia yang hanya terdapat di Indonesia yaitu di hutan-hutan di Pulau Sulawesi yang tersebar dari bagian tengah, Tenggara sampai ke Utara dan potensial untuk dikembangkan sebagai kerbau potong.

Kerbau sungai dan kerbau lumpur pada satu pihak disebut dengan Bubalus bubalis karena mempunyai satu tetua yaitu Bubalus arnee dan perkawinan keduanya menghasilkan keturunan yang subur. Sementara itu, pihak lainnya menyebut sebagai Bubalus bubalis bubalis untuk kerbau sungai dan Bubalus bubalis

carabenesis untuk kerbau lumpur karena

mempunyai jumlah kromosom yang berbeda, dimana kerbau sungai mempunyai 50 buah pasang dan kerbau lumpur 48 pasang kromosom. Menurut hemat kami, penamaan yang tepat bagi kerbau sungai dan kerbau lumpur adalah Bubalus bubalis saja karena penamaan Bubalus bubalis carabenesis yang lebih cenderung untuk penamaan kerbau lumpur di Filipina yang tidak berbeda dengan kerbau lumpur yang ada di tempat lain di Asia dan kerabat liarnya yang masih ada seperti di Indonesia maka penamaan sebagai Bubalus

bubalis sudah sangat tepat. Sebab kalau mau

dimasukkan ke dalam sub spesies seperti

Bubalus bubalis carabenesis untuk Filipina,

maka untuk Indonesia akan muncul berbagai sub spesies yaitu Bubalus bubalis sundaicus (untuk kerbau Moa dan kerbau Sumbawa) yang hidup di kawasan tidak berair, Bubalus bubalis

borneosis (untuk kerbau Kalimantan Selatan,

Kalimantan Timur serta kerbau Pampangan) yang hidup di kawasan rawa atau pasang surut dan Bubalus bubalis torayanesis untuk kerbau Belang dan sub spesies lainnya yang akan menyusul kemudian nantinya seiring dengan penetapan galur/rumpun kerbau di Indonesia.

PERKEMBANGAN KERBAU DI INDONESIA Penetapan galur/rumpun kerbau di Indonesia

Saat ini Indonesia telah menetapkan beberapa galur atau rumpun kerbau lokal yaitu kerbau Sumbawa, kerbau Moa, kerbau Kalimantan-Selatan, kerbau Kalimantan-Timur

(4)

dan kerbau Toraya sebagai milik Indonesia

(DITJEN PKH, 2011a). Berikut ini adalah

gambar-gambar kerbau potong yang telah ditetapkan sebagai bangsa kerbau di Indonesia (Gambar 1). Perlu diketahui bahwa masih

banyak kerbau lokal lainnya di Indonesia yang belum ditetapkan sebagai galur/rumpun seperti kerbau Aceh, Pampangan, Sumatera-Barat, Sumba dan lainya (TALIB, 2011a).

a. Kerbau Moa (Sumber: Pemda Maluku Tenggara)

b. Kerbau Sumbawa (kiri) (Sumber: Pemda Kabupaten Sumbawa) dan kerbau Toraya (kanan)

c. Kerbau Kalimantan (Sumber: Pemda Provinsi Kalimantan Timur/kiri dan Provinsi Kalimantan Selatan/kanan)

Gambar 1. Rumpun kerbau yang telah ditetapkan di Indonesia yaitu kerbau Moa, kerbau Sumbawa, kerbau Kalimantan-Selatan, kerbau Kalimantan-Timur dan kerbau Toraya

(5)

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa ada dua tipe kerbau yang dikembangkan di Indonesia yaitu kerbau perah dan kerbau potong. Selanjutnya yang akan dibahas dalam makalah ini hanyalah kerbau sungai yang selanjutnya disebut kerbau perah dan kerbau lumpur atau rawa yang selanjutnya disebut sebagai kerbau potong.

Kerbau perah yang dikembangkan di Indonesia adalah kerbau Murrah yang berasal dari India dan telah beradaptasi dengan baik pada kondisi Indonesia selama lebih dari 5 generasi hidup dalam lingkungan setempat. Tempat pengembangan kerbau perah ini adalah di Provinsi Sumatera Utara.

Sedangkan kerbau potong adalah ternak asli Indonesia yang menyebar merata ke seluruh wilayah Indonesia dan mampu beradaptasi pada berbagai ekosistem yang ada pada kawasan tempat hidupnya. Pemanfaatan sumber daya genetik (SDG) kerbau lokal secara arif dan penerapan program pemuliaan yang benar akan menghasilkan kerbau potong unggul yang sesuai dengan lingkungan di Indonesia.

Perkembangan populasi dan penyebaran kerbau

Ternak kerbau telah berada di Indonesia sejak zaman kuno nampak dari pencatatan yang ada berupa relief pada candi dan gua bahwa ternak kerbau telah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan ketika pendataan populasi dimulai pada tahun 1841 menunjukkan bahwa populasi sapi dan kerbau berjumlah sekitar 2 juta ekor dimana kerbau sebanyak 1,33 juta ekor, sapi 0,67 juta ekor dengan rasio 67%: 33%. Jumlah kerbau 2 kali lebih besar dari jumlah sapi di Indonesia, sehingga pemerintah pada waktu itu menyebut kerbau sebagai “de parel van Oost Indie – mutiara dari Hindia Timur.

Sepuluh tahun kemudian yaitu pada tahun 1931 jumlah sapi dan kerbau sebesar 4,7 juta ekor dengan jumlah kerbau 2,1 juta dan sapi 2,6 juta ekor dengan rasio kerbau : sapi yang cukup seimbang yaitu 45%: 55%. Pertumbuhan populasi sapi lebih cepat dari kerbau sehingga mencapai proporsi yang hampir sama tetapi populasi sapi mulai melebihi jumlah kerbau.

Pada tahun 1991 jumlah populasi sapi dan kerbau sebesar 13,8 juta ekor dengan rasio kerbau : sapi = 24% : 76% (TALIB, 1988). Dan hasil sensus tahun 2011 menunjukkan jumlah kerbau dan sapi sebesar 16,7 juta ekor dengan jumlah kerbau 1,3 juta dan sapi 15,4 juta ekor atau 8% : 92%. Rasio keseimbangan antara jumlah kerbau dengan sapi nampak sekali dari tahun ke tahun jumlah sapi yang terus bertambah (DITJEN PKH, 2011b).

Perbandingan angka perkembangan populasi kerbau dan sapi tersebut menunjukkan bahwa jika sebuah kebijakan nasional diberlakukan dengan keberpihakan pada sebagian dan meninggalkan yang lainnya maka hasil yang diperoleh juga akan seperti itu. Di sini terlihat bahwa keberpihakan kebijakan pada sapi mengakibatkan pertumbuhan populasi sapi sangat pesat yaitu sebesar 31 kali lipat sedangkan kerbau tidak menunjukkan pertumbuhan populasi dalam kurun waktu 170 tahun di Indonesia. Populasi kerbau pada tahun 1841 sama dengan populasi kerbau pada tahun 2011 (TALIB, 2011b).

Walaupun jumlah kerbau tidak bertambah selama 17 dekade tetapi penyebarannya tetap eksis pada hampir seluruh Tanah Air. Eksistensi kerbau tetap bertahan karena keterikatan masyarakat setempat dengan ternak kerbau itu sendiri baik melalui produk khas yang berasal dari kulit, daging dan susu kerbau yang tidak tergantikan oleh ternak lainnya sampai pada upacara ritual kepercayaan (TIESNAMURTI dan TALIB, 2011). Traditional

knowledge inilah yang perlu ditingkatkan

pemanfaatannya ke arah pembibitan yang memiliki nilai komersial yang berhubungan langsung dengan program nasional pada Kementerian Pertanian yaitu swasembada daging sapi dan kerbau pada tahun 2014, yaitu kerbau unggul untuk menghasilkan bibit unggul kerbau potong dengan bobot potong optimal ketika disembelih dan bibit unggul kerbau perah Indonesia dengan produksi susu yang juga optimal pada berbagai iklim mikro di Indonesia. Populasi dan struktur populasi kerbau di Indonesia tercantum pada Tabel 1.

Dari data pada Tabel 1 terlihat bahwa perkawinan jantan dan betina pada sistem kawin alam seharusnya terpenuhi karena setiap 5 – 6 ekor kerbau betina dilayani oleh seekor jantan dewasa. Jumlah pedet betina sampai umur setahun masih rendah yaitu berjumlah

(6)

18,18% dari jumlah induk melahirkan menunjukkan bahwa kinerja reproduksi induk dan jumlah kematian pedet di bawah umur setahun harus menjadi perhatian utama untuk meningkatkan populasi. Kalau diperkirakan angka kelahiran 56% per tahun maka sebenarnya telah terjadi kematian sebelum umur setahun sebesar 18%. Selanjutnya pemeliharaan kerbau betina pada umur 1 – 3 tahun ternyata juga memiliki angka kematian/kehilangan yang cukup tinggi yaitu sebesar 25% per dua tahun. Jika kematian bisa

ditekan maksimal 10% per tahun dalam 3 tahun pertama maka peningkatan populasi minimal 5% per tahun pada kerbau dapat diharapkan.

Penyebaran kerbau pada negara Kepulauan Republik Indonesia ini adalah di Sumatra sejumlah 39,3%, Jawa 27,8%, Nusa Tenggara 19,7%, Sulawesi 8,5%, Kalimantan 3,2% dan Irian 1,2% (PSPK2011, 2011), sedangkan penyebaran ternak kerbau berdasarkan provinsi dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 1. Struktur populasi kerbau berdasarkan umur di Indonesia tahun 2011 (ekor) Ternak Jantan (> 4 tahun) Betina (>3 – 6 tahun) Betina (< 1 tahun) Betina >1 – 3 tahun Total Kerbau 108.447 557.501 104.532 235.294 1.305.013 Sumber: PSPK2011 (2011) NAD (2) SUMUT (5) SUMBAR (7) SULSEL (8) JATENG (9) JABAR (3) NTB (6) NTT (1) BANTEN (4) JAMBI (10) Tahun 2011 KALSEL (15)

Gambar 2. Ranking penyebaran ternak kerbau berdasarkan provinsi di Indonesia

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa populasi kerbau terpadat adalah di Provinsi NTT diikuti NAD dan Jawa Barat, sedangkan yang paling sedikit jumlahnya adalah pada semua provinsi di Pulau Kalimantan dan Irian. Artinya dalam pengembangan ke depan maka hendaknya kedua pulau terbesar di Indonesia ini perlu mendapat perhatian yang lebih besar untuk pengembangan kerbau karena agroekosistemnya yang cukup menunjang

terutama dari segi ketersediaan pakan yang berlimpah dan kesesuaian agro-ekosistem.

Kinerja reproduksi kerbau

Aktivitas reproduksi kerbau sangat dipengaruhi oleh jumlah dan nilai gizi pakan yang dikonsumsi. Pada pemeliharaan dengan pertambahan bobot badan 0,6 kg/ekor/hari

(7)

maka kerbau akan menunjukkan gejala estrus ketika mencapai umur 20 bulan atau bobot badan minimal 375 kg. Perkawinan yang berakhir dengan kebuntingan dilaksanakan pada umur 22 bulan sehingga kelahiran terjadi sebelum heifer berusia 36 bulan (BHORGHESE, 2011). Kinerja reporoduksi kerbau ditampilkan pada Tabel 2. Kinerja reproduksi pada Tabel 2 hanya dapat tercapai bahkan bisa lebih baik jika pakan yang dikonsumsi cukup dan perkawinan dilaksanakan tepat waktu. Pada pemeliharaan dengan kondisi kekurangan pakan maka kerbau akan menunjukkan sifat lambat dewasa, dan lambat untuk kawin kembali sesudah beranak. Kerbau menunjukkan gejala estrus yang kurang jelas, dan perkawinan sering dilakukan pada malam hari sehingga akan menyulitkan pengontrolan dari pemiliknya. Pada kondisi seperti ini maka dampak akhirnya adalah angka reproduksi yang rendah. Jadi kinerja reproduksi yang tampil rendah selama ini pada pemeliharaan tradisional, bukanlah karena salah kerbaunya, tetapi manajemen pemeliharaan dan perkawinan yang masih kurang tepat.

Pada pemeliharaan yang baik, kerbau ternyata cukup sensitif dengan penyerentakan estrus menggunakan progesterone release

intravaginal device (PRID), pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) dan

prostaglandin (PGF2α) maupun Ovsynch

(GnRH) protocols (BARILY, 2004). Oleh karena itu, jika sinkronisasi dapat diterapkan pada kerbau potong yang dikombinasikan dengan kecukupan pakan baik jumlah maupun nilai gizinya maka diharapkan angka kebuntingan dan kelahiran kerbau potong dapat

ditingkatkan sehingga peningkatan populasi kerbau di Indonesia dapat berjalan dengan cukup cepat. Perbaikan genetik melalui kegiatan pemuliaan akan berjalan dengan lebih baik karena ternak yang akan diseleksi menjadi lebih banyak dengan performan reproduksi dan produksi yang lebih baik.

Kinerja produksi

Performan produksi kerbau potong di Indonesia cukup bervariasi karena memang lingkungan tempat hidupnya yang berbeda satu dengan lainnya yang berdampak pada jumlah pakan yang tersedia, yang dikonsumsi dan adaptasi dari generasi ke generasi pada lingkungan tersebut. Walaupun demikian dari berbagai laporan dan hasil penelitian, rataan bobot badan pada berbagai umur seperti yang tercantum pada Tabel 3.

Dari Tabel 3 terlihat bahwa rataan pertumbuhan sampai umur 2 tahun sebesar 0,34 kg/ekor/hari. Umur ketika mencapai bobot potong 375 kg adalah 34 bulan dengan persentase karkas sebesar 46%. Pada penggemukan dengan bobot badan awal 275 kg atau umur 2 tahun, maka akan diperoleh bobot potong minimal 375 hari pada penggemukan 100 hari, dan diperoleh persentase karkas minimal 50 (PASHA, 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa penggemukan kerbau bakalan merupakan sebuah peluang bisnis yang perlu dikembangkan di Indonesia, yang selama ini masih jarang sekali perusahaan yang menerapkan penggemukan pada ternak kerbau.

Tabel 2. Kinerja reproduksi kerbau lumpur, kerbau sungai dan crossbred

Kriteria Kerbau lumpur Crossbred Kerbau sungai

Kawin pertama (bulan) 30 37 23*)

Beranak pertama (bulan) 45 48 36*)

Kebuntingan (hari) 310**) 310 300

Jarak beranak (hari) 550 540 510

Siklus estrus (hari) Kawin postpartum (bulan)

21 5 22 5 22 5 Sumber: *)BORGHESE (2008); **)KEMAN (2006)

(8)

Tabel 3. Performan produksi kerbau potong di Indonesia Parameter Ukuran Bobot lahir (kg) 30 Bobot sapih (kg) 110 Berat setahun (kg) 150 Berat 2 tahun (kg) 275

Berat dewasa jantan/betina (kg) 425/375

Berat potong (kg) 375

ADG (kg) 0,34

Karkas (%) 46

Produksi susu (kg/270 hari laktasi)

Kerbau lumpur 700

Kerbau sungai 2270

Untuk mendapatkan bakalan yang baik pertumbuhan dan bobot badannya agar responsif pada penggemukan maka tentunya dibutuhkan tetua yang juga baik bobot badannya pada umur tertentu terutama bobot sapih, setahun, 18 bulan dan dua tahun. Maka pada kerbau potong tujuan dari seleksi adalah pada bobot potong pada umur tertentu. Seleksi pada bobot potong tersebut di atas akan dengan sendirinya mengangkat perbaikan pada

mothering ability induk kerbau dan meningkatkan kinerja reproduksi baik pada induk maupun pejantan. Maka jika perbaikan genetik dapat dilakukan untuk menghasilkan pejantan unggul terseleksi (proven bulls) melalui uji performan akan sangat baik. Pemanfaatan keunggulan pejantan tersebut untuk meningkatkan perbaikan genetik pada populasi kerbau potong akan berlangsung relatif cepat.

Demikian pula untuk kerbau perah, seleksi pada kerbau perah ditujukan untuk menghasilkan produksi susu yang tertinggi dalam masa laktasi 270 hari pada laktasi pertama. Karena produksi susu berhubungan erat secara positif dengan bobot badan, maka seleksi bobot badan akan dengan sendirinya juga meningkatkan produksi susu. Karena pejantan pada kerbau perah tidak menghasilkan susu maka pengujian untuk mendapatkan pejantan unggul diukur dari kinerja produksi anak betinanya (daughter cows) melalui uji zuriat (progeny test).

Pada persilangan antara kerbau potong dan kerbau sungai akan terbentuk 2 tipe genetik yaitu yang mengandung kromosom 50 pasang dan 49 pasang. Pada kerbau yang memiliki 49 pasangan kromosom mempunyai kinerja reproduksi yang lebih rendah dari kerbau yang memilki jumlah kromosom 50 pasang (DE

CRUZ, 2010). Berdasarkan hal tersebut maka untuk Indonesia, sebaiknya persilangan pada kerbau tidak diterapkan untuk membangun bangsa baru, tetapi yang dilakukan adalah seleksi pada kerbau perah untuk peningkatan produksi susu dan pada kerbau potong untuk peningkatan bobot badan.

Membentuk kerbau potong melalui

outcrossing antar sub spesies kerbau di

Indonesia dapat dilakukan karena Indonesia memiliki cukup banyak sumber daya genetik kerbau dengan kemampuan keunggulan adaptasi yang bervariasi antar ekosistem di Indonesia.

DESAIN PERBIBITAN KERBAU POTONG DAN KERBAU PERAH Desain perbibitan kerbau di Indonesia dapat dibentuk dengan membangun berbagai aktifitas baik berupa langkah pokok dan operasional sebagaimana tercantum pada Tabel 4.

Dari Tabel 4, jelas bahwa identifikasi kawasan sumber bibit, calon peternak dan ternak sangat penting untuk dilakukan agar pengujian dapat dilakukan di dalam kawasan-kawasan tersebut. Kemudian dilakukan identifikasi calon penangkar bibit, diikuti dengan sosialisasi pengujian yang akan dilakukan baik uji performan pada kerbau potong maupun uji zuriat pada kerbau perah, pada peternak/kelompok peternak yang akan berpartisipasi pada kegiatan pembibitan.

Selanjutnya pada participated farmers, diarahkan untuk menjadi penangkar bibit dan bersatu di dalam Village Breeding Centre (VBC) di setiap kawasan sumber bibit melalui penerapan penguatan kelembagaan penangkar bibit. Agar semua dapat berjalan baik maka perlu dilaksanakan pendampingan/pengawalan dengan melibatkan pakar-pakar pemuliaan.

(9)

Tabel 4. Matrik kegiatan pembibitan kerbau

Pokok Operasional

Kawasan sumber bibit Identifikasi dan penetapan wilayah/kawasan sumber bibit dan peternak khusus pembibitan serta sosialisasi dengan calon penangkar bibit

Pengembangan infrastruktur penunjang pembibitan Pengembangan infrastruktur agribisnis benih dan bibit Penguatan kelembagaan SDM kelompok penangkar bibit Pengembangan pola usaha kerbau penghasil bibit Program uji performan kerbau

potong dan uji zuriat kerbau perah (Lihat pada Gambar 3, 4)

Seleksi pejantan dan betina

Pengaturan perkawinan agar inbreeding minimal Produksi bibit tahap I, II, ... dstnya

Pengembangan perbibitan ke kelompok calon penangkar/VBC Program pengembangan Village

Breeding Centre (VBC) di setiap

wilayah/kawasan sumber bibit

Penetapan kelompok VBC/Koperasi/Pengusaha ternak bibit Penyusunan SOP dan pelatihan VBC dll.

Penilaian lokasi dan kelompok berdasarkan kriteria VBC, dll Seleksi pejantan dan betina

Pengaturan perkawinan agar inbreeding minimal Produksi bibit tahap I, II, ... dstnya

Penilaian kinerja VBC/Koperasi/Pengusaha ternak bibit Program penguatan kelembagaan

penangkar bibit

Pelatihan breeding, feeding dan manajemen pemibitan Pelatihan manajemen kelembagaan

Pelatihan pembukuan dan keuangan

Program pendampingan/pengawalan Perbaikan teknis dan manajemen perbibitan yang ditetapkan melalui diskusi dengan anggota kelompok penangkar Pelatihan kewirausahaan produksi dan penjualan benih dan bibit

Monitoring, evaluasi dan konsultasi

Program penyediaan pakan Pelatihan pengawetan pakan dan teknis pemberian Pelatihan manajemen pastura dan rumput potong

Penetapan bibit HPT/TPT unggul pastura dan rumput potong Pencegahan dan penanggulangan

penyakit

Sanitasi dan pengeluaran limbah/kotoran ternak Pemberian obat cacing

Pemberian vaksin dan pengobatan sesuai kebutuhan Program pelepasan (benih dan) bibit

ternak unggul teruji

Seleksi bibit ternak jantan unggul teruji yang boleh dilepaskan Pelepasan bibit betina pada setiap kelompok umur (1 hari, 205 hari, 1 tahun, 1,5 tahun, 2 tahun ... dstnya

Pengeluaran semen serta bibit jantan

Pengeluaran ternak jantan dan induk afkir sebagai bakalan untuk penggemukan

Dalam melaksanakan seleksi untuk produktivitas optimal maka perlu diikuti dengan kecukupan dalam penyediaan pakan, penerapan biosekuriti dan pencegahan serta

penanggulangan penyakit. Hasil akhir dari pengujian adalah pengakuan dan pelepasan bibit ternak unggul teruji baik ternak jantan maupun betina. Khusus untuk pejantan teruji

(10)

(proven bulls) harus menjadi prioritas utama karena dibutuhkan lebih sedikit tetapi akan memberikan dampak yang lebih besar pada perbaikan genetik melalui perubahan frekuensi gen sifat unggul di dalam populasi kerbau di Indonesia. Hal ini disebabkan seekor pejantan dapat menghasilkan sejumlah 25 – 30 ribu

straw per tahun untuk dikawinkan pada ternak

betina, sedangkan seekor sapi betina hanya dapat menghasilkan 75 – 100 embrio per tahun. Selanjutnya kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan secara bertahap dimana setelah wilayah/kawasan ditentukan dan selanjutnya kelompok peternak/peternak serta ternak peserta telah dipastikan dan instansi pemerintah terkait menyetujuinya maka kegiatan uji performan dapat dimulai. Hasil akhir dari uji performan adalah dihasilkannya produk bibit ternak unggul.

UJI PERFOMAN UNTUK PEMBENTUKAN KERBAU POTONG

DAN UJI ZURIAT KERBAU PERAH Program pemuliaan pada ternak kerbau pada dasarnya adalah pelaksanaan serangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada kelompok-kelompok ternak kerbau dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan peningkatan bobot badan pada umur tertentu melalui seleksi di wilayah-wilayah pembibitan di Indonesia. Target yang ingin dicapai adalah menghasilkan bibit kerbau unggul dengan bobot badan terbaik pada umur sapih, setahun dan 18 bulan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan frekuensi gen sifat unggul pertumbuhan cepat yang dikehendaki dalam populasi kerbau potong di Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut maka dilakukan uji performan.

Uji performan adalah metode pengujian untuk memilih ternak bibit berdasarkan sifat kualitatif dan kuantitatif meliputi pengukuran, penimbangan dan penilaian serta silsilah. Dalam penerapannya maka dibutuhkan pelaksanaan seleksi yang merupakan kegiatan memilih tetua terbaik untuk menghasilkan keturunannya melalui pemeriksaan dan/atau pengujian berdasarkan kriteria dan tujuan untuk cepat tumbuh dalam mencapai usia sapih, setahun dan 18 bulan. Tujuan akan dapat dicapai jika diikuti oleh rekording/pencatatan

secara individual yang diawali dengan pemberian identitas atau nomor telinga diikuti pengukuran ternak, penilaian ternak, silsilah tetua dan perhitungan produktivitas sebagai ternak layak bibit, yang kelak akan disahkan sebagai kerbau potong bibit unggul. Kegiatan uji performan ini dilaksanakan seperti yang disederhanakan dalam Gambar 3.

Uji Zuriat merupakan pengujian untuk mengetahui potensi genetik calon pejantan kerbau perah melalui produksi susu anak betinanya (daughter cow/DC) dan dilakukan untuk menghasilkan bibit pejantan unggul yang cocok dengan kondisi agroklimat di Indonesia. Kegiatan uji zuriat dilaksanakan seperti yang tercantum dalam Gambar 4.

Dari Gambar 3 dan Gambar 4 terlihat bahwa kelompok ternak kerbau yang berada pada kelompok peternak/peternak partisipatif dianggap sebagai populasi dasar. Pengukuran/ penimbangan pada ternak-ternak tersebut berdasarkan performan produksi bobot badan maupun produksi susu membuat kita dapat membuat ranking pada ternak-ternak kerbau tersebut. Ternak yang memiliki ukuran lebih besar dari rata-rata dapat digolongkan sebagai bibit angkatan pertama yang akan menghasilkan keturunan bagi generasi berikutnya.

Pengaturan perkawinan antar ternak unggul dilakukan dengan mencatat individu yang kawin (sire/bapak dan dam/induk) sehingga pedet yang lahir dari perkawinan tersebut memiliki silsilah tetuanya. Pedet-pedet tersebut diukur/ditimbang selama minimal 18 bulan untuk kerbau potong dan sampai selesai laktasi pertama untuk kerbau perah. Semua kerbau diranking kinerja produktifitasnya berdasarkan performan produksi dan nilai genetiknya. Kerbau-kerbau yang kinerja produksinya lebih besar dari rataan dapat dijadikan bibit untuk generasi berikutnya dan digolongkan sebagai bibit angkatan II. Pada setiap perkawinan dijaga agar level inbreedingnya tetap berada dalam kisaran rendah. Kegiatan seperti ini dilakukan terus menerus secara berulang sehingga bibit dari generasi yang akan datang (III) selalu memiliki produktivitas yang lebih baik dari generasi sekarang (II) dan seterusnya.

Agar pengujian dapat berlangsung dengan baik maka perlu diikuti tahapan-tahapan pelaksanaannya sampai selesai.

(11)

Populasi dasar (wilayah/kawasan sumber bibit)

1. Kelompok peternak/peternak/VBC/ pengusaha/koperasi dll) 2. Kelompok peternak/peternak/VBC/ pengusaha/koperasi dll) 3. Kelompok peternak/peternak/VBC/ pengusaha/koperasi dll)

Seleksi kerbau jantan dan betina di atas rataan dengan identitas pasti

Ranking kelas I (di atas 3 SD) Ranking kelas I (di atas 3 SD) Ranking kelas I (di atas 3 SD)

Pengaturan perkawinan (beda kelompok atau outbreeding) PRODUKSI BIBIT I

Antara kelas I (INT) atau pejantan outbreeding

Antara kelas II (INT) atau pejantan outbreeding

Antara kelas III (INT) atau pejantan outbreeding

PRODUKSI BIBIT II

Seleksi pedet jantan dan betina di atas rataan dengan identitas pasti

Ranking kelas I (di atas 3 SD) Ranking kelas II (di atas 2 SD) Ranking kelas III (di atas 1 SD)

PRODUKSI BIBIT III

Dan seterusnya (perhatikan perkawinan agar inbreeding minimal)

(12)

Gambar 4. Kegiatan uji zuriat kerbau perah Populasi dasar

(wilayah/kawasan sumber bibit)

2. Kelompok peternak/peternak/VBC/ pengusaha/koperasi dll) 2. Kelompok peternak/peternak/VBC/ pengusaha/koperasi dll) 2. Kelompok peternak/peternak/VBC/ pengusaha/koperasi dll)

Seleksi kerbau jantan dan betina di atas rataan dengan identitas pasti

Ranking kelas I (di atas 3 SD) Ranking kelas II (di atas 2 SD) Ranking kelas III (di atas 1 SD)

PRODUKSI BIBIT I

Seleksi pedet jantan dan betina di atas rataan dengan identitas pasti Pengaturan perkawinan (beda

kelompok atau outbreeding)

Antara kelas I (INT) atau pejantan outbreeding

Antara kelas II (INT) atau pejantan outbreeding

Antara kelas III (INT) atau pejantan outbreeding

PRODUKSI BIBIT II

Ranking kelas I (di atas 3 SD) Ranking kelas II (di atas 3 SD) Ranking kelas III (di atas 3 SD)

PRODUKSI BIBIT III

(13)

Tahapan pelaksanaan uji performan pada kerbau potong dan uji zuriat pada kerbau perah

Pada dasarnya uji performan pada kerbau potong adalah sama dengan uji zuriat pada kerbau perah, hanya bedanya adalah pada kerbau potong pengukuran/penimbangan bobot badan dapat dilakukan secara langsung pada ternak terkait, tetapi pada kerbau perah pengukuran/penimbangan bobot susu hanya dapat dilakukan pada ternak betina setelah melahirkan sampai selesai produksi susu pada laktasi pertama dalam periode laktasi 270 hari. Pengujian terdiri atas lima tahap yaitu persiapan (identifikasi lokasi, peternak dan kerbau), penyiapan pejantan dan induk, pelaksanaan perkawinan, pencatatan dan seleksi calon pejantan dan calon induk, serta pengujian.

Tahap I: Persiapan (Identifikasi lokasi, peternak dan kerbau)

Syarat lokasi

1. Padat ternak kerbau yang tersentralisir dalam satu wilayah yang memiliki agroekosistem yang serupa dan tidak dibatasi oleh wilayah administratif pemerintahan serta mempunyai potensi untuk pengembangan bibit kerbau.

2. Dalam satu wilayah memiliki beberapa kawasan di mana setiap kawasan memiliki populasi kerbau betina produktif tidak kurang dari 200 ekor.

3. Dalam satu wilayah ditetapkan satu Stasiun Uji Performan (SUP) dan disesuaikan dengan kondisi daerah.

4. Membentuk populasi dasar dengan ketentuan terdiri atas 4-5 kawasan dalam satu wilayah, sehingga dalam satu wilayah terdapat sapi betina produktif sejumlah 800-1.000 ekor dan memiliki petugas lapangan terutama rekorder.

Syarat peserta

1. Bersedia mengikuti dan melakukan kegiatan Uji Performan yang telah ditetapkan dan dibuktikan dengan surat pernyataan. 2. Peternak bergabung dalam kelompok dan

masing-masing peternak memiliki ternak

minimal 2 ekor betina produktif dan ditetapkan melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh kepala dinas provinsi dengan sepengetahuan dinas kabupaten/ kota.

Syarat ternak

1. Ternak adalah rumpun kerbau potong asli atau lokal Indonesia.

2. Ternak yang dipilih adalah kerbau betina produktif yang memenuhi kriteria sesuai dengan rumpun dan diberi identitas. 3. Seleksi ternak betina produktif dan pejantan

peserta Uji Performan dilakukan oleh dinas kabupaten/kota bersama dinas provinsi.

Tahap II: Penyiapan pejantan dan induk Syarat semen beku untuk Inseminasi Buatan:

1. Semen diambil dari BBIB Singosari atau BIB Lembang atau BIB Daerah yang produknya telah diuji pada laboratorium uji yang terakreditasi.

2. Khusus untuk kerbau Toraya, semen yang digunakan dari kerbau Toraya.

3. Penentuan sumber semen, menggunakan semen dari pejantan yang tidak berhubungan keluarga dengan induk yang di IB agar inbreeding minimal.

Syarat pejantan untuk kawin alam

1. Memenuhi persyaratan pejantan sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI); kalau tidak ada digunakan pejantan terbaik dari kelompok ternak berbeda.

2. Sudah melalui uji performan reproduksi.

Syarat betina produktif

1. Seleksi awal dilakukan berdasarkan performan dan kesehatan hewan, selanjutnya disertakan silsilah setelah rekording dilakukan. Kerbau betina yang lebih baik dari rataan pada kelompok ternak tersebut.

2. Identifikasi ternak yang dilengkapi dengan

eartag, nama pemilik, alamat dan lembaga/kelompok.

(14)

Tahap III: Pelaksanaan Perkawinan

Inseminasi Buatan

1. Kualitas semen beku yang akan digunakan sesuai SNI.

2. Pelaksanaan penanganan IB dilakukan oleh inseminator yang ditunjuk.

3. Service per conception (S/C) maksimal 2 (dua).

Kawin alam

1. Sebelum perkawinan dilakukan pendataan pada kerbau dara/induk.

2. Tanggal kawin, pejantan, dan akseptor dicatat dalam kartu catatan.

Pemeriksaan kebuntingan (PKB)

1. Setelah 90 hari perkawinan dilakukan PKB oleh petugas berwenang.

2. Jika tidak menunjukkan kebuntingan dilaporkan ke petugas tersebut.

Tahap IV: Pencatatan dan seleksi calon pejantan dan induk

Pada saat kelahiran

Identifikasi: setiap pedet yang lahir diberi nomor dengan ear tag dan dicatat tanggal lahir, jenis kelamin, hasil dari kawin alam/IB/ET, identitas bapak (kode semen), identitas induk, nama dan alamat peternak

Bobot lahir: penimbangan bobot lahir dilakukan pada hari lahir atau selambat-lambatnya tiga hari setelah lahir, kelahiran tunggal/kembar dan jika ada cacat, tinggi gumba/pundak, lingkar dada, panjang badan, pemeliharaan pedet di peternak, diamati pertumbuhannya. Pencatatan ditulis dalam kartu kelahiran.

Umur sapih

Bobot sapih (205 hari): penimbangan dilakukan pada saat pedet berumur 6 – 8 bulan dan distandarisasi pada umur 205 hari, dengan beberapa faktor koreksi, tanggal pengukuran, tinggi gumba/pundak, lingkar dada, panjang badan.

Seleksi calon pejantan: dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali (karena kelahiran tidak serentak), dipilih 50% terbaik berdasarkan bobot sapih 205 hari, pedet jantan yang terpilih tetap dipelihara dan diberi identitas untuk dilakukan pengamatan dan pencatatan sampai umur 1 (satu) tahun. Pedet jantan afkir dikeluarkan dari Uji Performan. Seleksi dilakukan oleh petugas, dan dicatat pada Kartu Calon Pejantan.

Seleksi calon induk: dilakukan setiap 3 bulan (karena kelahiran tidak serentak), dipilih 90% terbaik berdasarkan bobot sapih 205 hari, Pedet betina afkir dikeluarkan dari uji performan, pedet betina terpilih diberi identitas, tetap dipelihara peternak/dijaring pemerintah, diamati sampai umur 365 hari dan dicatat pada Kartu Calon Induk. Seleksi dilakukan oleh petugas.

Umur setahun

Bobot umur 1 (satu) tahun : penimbangan dilakukan pada umur 11 – 13 bulan dan distandarisasi pada umur 365 hari, pengukuran tinggi gumba/pundak, lingkar dada, panjang badan.

Data terkumpul setahun: dikirim ke BPTU Siborong-borong sebagai SUP (stasiun uji performan) diolah, dianalisa dan untuk digunakan dalam seleksi dengan cara disusun berdasarkan jenjang prestasi, pedet jantan yang diseleksi untuk mengikuti Uji Performan di SUP atau seleksi selanjutnya adalah 5% dari pedet jantan terbaik.

Pedet jantan terseleksi: dijaring ke SUP/UPT dengan cara dibeli. Pelaksanaan penjaringan dilakukan oleh SUP/UPT bekerja sama dengan dinas provinsi atau kabupaten/kota setempat. Pejantan-pejantan yang terpilih dicatat pada Kartu Calon Pejantan. Penimbangan dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali dengan menggunakan alat timbangan ternak. Pencatatan dilakukan oleh rekorder sesuai dengan wilayah kerjanya masing-masing. Petugas yang ditunjuk untuk melakukan pencatatan adalah petugas yang telah mengikuti pelatihan rekorder, atau petugas teknis yang memahami tentang rekording yang ditunjuk oleh pimpinan unit kerja.

(15)

Pedet betina terbaik: dijaring oleh UPT/UPT Daerah sesuai kebutuhan dan kemampuan.

Manajemen Pemeliharaan: pemberian pakan meliputi pakan hijauan (rumput, legum), pakan penguat/konsentrat, vitamin dan mineral. Hal paling penting dalam pakan adalah pakan harus memenuhi persyaratan standar kebutuhan nutrisi dan jumlah sesuai umur dan bobot badan serta status fisiologis. Pemeliharaan kesehatan hewan merupakan hal yang penting karena setiap ternak yang ikut kegiatan uji performan harus memenuhi persyaratan kesehatan hewan, agar ketika terpilih sebagai ternak unggul seperti pejantan unggul maka keunggulan tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif. Memang manajemen pemeliharaan tidak langsung berhubungan dengan perbaikan genetik, tetapi tanpa manajemen yang baik maka akan sulit bagi ternak untuk menampilkan performan secara optimal sehingga sulit untuk menerapkan seleksi dengan baik.

Tahap V: Pengujian

Kerbau yang diuji adalah yang berumur 1 tahun yang lulus seleksi yang dijaring dari daerah sumber bibit dan dilakukan pemeriksaan terhadap penyakit yang ditularkan melalui saluran reproduksi dan penyakit spesifik yang telah dikenal di lokasi tersebut. Kerbau-kerbau tersebut dikarantina untuk observasi kesehatan, vaksinasi dan pengobatan cacing dan diberi waktu untuk beradaptasi kurang lebih 20 hari dengan lingkungan SUP. Kerbau-kerbau yang akan mengikuti uji performan dipelihara dengan diberi perlakuan dan kondisi yang sama sehingga perbedaan yang tampak dapat mencerminkan perbedaan mutu genetiknya. Diberi pakan hijauan atau konsentrat yang memenuhi persyaratan standar kebutuhan kualitas dan kuantitas berdasarkan umur dan bobot badan sesuai jenis kelamin dan tahapan fisiologisnya.

Ketentuan-ketentuan untuk kerbau calon pejantan: pada saat masuk SUP, kerbau harus ditimbang dan diukur ukuran tubuhnya serta tanggal pengukuran, penimbangan selanjutnya dilakukan pada umur 18 bulan dengan jarak waktu penimbangan minimal 140 hari. Bobot umur 18 bulan (1,5 tahun) adalah

bobot pada umur 17 – 19 bulan dan distandarisasi pada umur 550 hari. Selain itu juga diamati libido, kualitas sperma, ukuran skrotum, data hasil pencatatan maupun pengamatan, selanjutnya diolah dan dianalisa serta disusun berdasarkan jenjang prestasinya, lima persen (5%) calon pejantan pada jenjang atas dipilih dan akan dilakukan uji zuriat secara terbatas di SUP, sepuluh persen (10%) pada jenjang di bawahnya dikirim kembali ke unit populasi dasar untuk dipakai sebagai pejantan, delapan puluh lima persen (85%) dikirim ke wilayah pengembangan produksi. Analisa data untuk memilih 5% calon pejantan terbaik didasarkan atas analisa EBV atau EPD, lama penggunaan pejantan di setiap unit 2,5 tahun untuk menghindari terjadinya perkawinan silang dalam.

Ketentuan-ketentuan untuk kerbau betina: kerbau betina yang masuk SUP dilakukan pencatatan dan pengukuran pada saat berumur 18 bulan. Seleksi kerbau betina untuk BET dapat diperoleh dari kerbau-kerbau induk jenjang teratas (> 3 standar deviasi) di SUP. Untuk seleksi kerbau betina di SUP yang menangani fungsi perbibitan di pusat dan daerah: induk yang dikeluarkan sebanyak 20% per tahun dan akan digantikan dari pedet terbaik. Sisanya disebarkan sebagai bibit untuk pengembangan di tempat lain. Analisa data untuk memilih induk terbaik didasarkan atas analisa daya produksi induk Most Probably

Producing Ability (MPPA) serta disusun

berdasarkan jenjang prestasinya. Setiap calon bibit ternak yang telah memenuhi persyaratan mutu, harus dilakukan pemeriksaan kesehatan hewan.

Pengorganisasian

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan: bertugas untuk memberikan arahan kebijakan, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan, menyusun pedoman pelaksanaan, memberikan informasi/sosialisasi kegiatan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah, menetapkan komisi pertimbangan dan tim pelaksana lainnya, melaksanakan pertemuan teknis dengan semua pihak terkait, melaksanakan monitoring dan evaluasi serta menyampaikan hasil pelaksanaan uji

(16)

performan dan zuriat tersebut kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Komisi Pertimbangan: menetapkan rancangan dan metode pelaksanaan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah, membuat kriteria/persyaratan pejantan yang akan diuji, menyusun pedoman pengolahan data rekording dan sistem informasi terkait, memberikan pertimbangan atau saran dan solusi dalam pelaksanaan pengujian dan melakukan evaluasi dan analisa hasil pelaksanaan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah.

Balai Pembibitan Ternak (BPTU) Siborongborong: dijadikan pusat data base dan koordinator uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah, sebagai stasiun uji performan (SUP), memberikan informasi/ sosialisasi kegiatan uji, memberikan bimbingan teknis atau pembinaan kepada peternak, melakukan penjaringan ternak di unit/lokasi untuk dilakukan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah, memelihara dan melaksanakan proses kegiatan pengujian terhadap calon kerbau potong dan perah unggul, menyiapkan tenaga rekording dan melakukan rekording, melaksanakan pertemuan teknis dengan pihak terkait, melaksanakan monitoring dan evaluasi, mengumpulkan dan mengolah data rekording, melakukan evaluasi dan pengujian bersama Komisi Pertimbangan serta menyampaikan hasil pelaksanaan uji performan kerbau potong dan zuriat kerbau perah tersebut kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Balai (Besar) Inseminasi Buatan: memproduksi dan mendistribusikan semen beku pejantan hasil Uji Performan dan Zuriat, memberikan bimbingan/pelatihan kepada petugas lapangan, melaksanakan pertemuan teknis dengan pihak terkait, memberikan informasi/sosialisasi kegiatan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah, menjaring sapi pejantan unggul hasil uji dari SUP atau pusat pembibitan ternak berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan serta dinas provinsi atau kabupaten/kota, melaksanakan uji reproduksi terhadap ternak-ternak jantan terseleksi.

Balai Embrio Ternak: melaksanakan

sterility control terhadap ternak-ternak betina

terseleksi, memberikan bimbingan/pelatihan

kepada petugas lapangan, melaksanakan monitoring dan evaluasi, melaksanakan pertemuan teknis dengan pihak terkait, memberikan informasi/sosialisasi kegiatan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah, menjaring kerbau induk yang menduduki ranking teratas dan melaksanakan perbanyakan bibit kerbau unggul melalui embrio transfer.

BPTU Sapi Aceh Indrapuri, BPTU Sapi Potong Padang Mangatas, dan BPTU Sapi Dwiguna dan Ayam Sembawa: sebagai Stasiun Uji Performan (SUP), memberikan informasi/sosialisasi kegiatan uji tersebut, memberikan bimbingan teknis atau pembinaan kepada peternak, melakukan penjaringan ternak di unit/lokasi untuk dilakukan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah, memelihara dan melaksanakan proses kegiatan pengujian terhadap calon kerbau potong dan perah unggul, menyiapkan tenaga rekording dan melakukan rekording, melaksanakan pertemuan teknis dengan pihak terkait, melaksanakan monitoring dan evaluasi, melakukan evaluasi data uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah bersama Komisi Pertimbangan serta menyampaikan hasil pelaksanaan uji performan dan zuriat tersebut kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Dinas Provinsi: menetapkan Tim Pelaksana uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah tingkat provinsi, menetapkan UPTD/BIBD sebagai SUP, berkoordinasi dengan SUP dalam menjaring/membeli kerbau-kerbau hasil seleksi untuk dimasukkan ke SUP, memberikan informasi/sosialisasi kegiatan uji tersebut, menetapkan lokasi kegiatan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah berdasarkan petunjuk dari Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, melakukan seleksi ternak bersama dengan dinas kabupaten/kota, menyiapkan tenaga pencatat/rekorder, memonitor pelaksanaan pencatatan dan pengukuran ternak yang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk, melakukan distribusi semen beku, melakukan pengadaan pejantan untuk kawin alam, melaksanakan monitoring dan evaluasi serta menyampaikan hasil pelaksanaan uji performan dan zuriat tersebut kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Dinas Kabupaten/Kota: menetapakan Tim Pelaksana uji performan dan zuriat kerbau

(17)

tingkat kabupaten/kota, melakukan identifikasi ternak peserta uji, menetapkan peternak yang mengikuti kegiatan uji dan mengusulkan kepada dinas provinsi, melakukan seleksi ternak untuk kegiatan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah yang berkoordinasi dengan dinas provinsi dan menyampaikan hasil pelaksanaan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah kepada kepala dinas provinsi. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD/ BIBD): sebagai Stasiun Uji Performan (SUP), memberikan informasi/sosialisasi kegiatan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah, melakukan penjaringan ternak di unit/lokasi untuk dilakukan Uji Performan berkoordinasi dengan dinas provinsi, memelihara dan melaksanakan proses kegiatan pengujian terhadap kerbau terseleksi, menyiapkan tenaga rekording dan melakukan rekording, serta menyampaikan hasil pelaksanaan Uji Performan kepada kepala dinas provinsi, kabupaten/kota dan BPTU Siborongborong.

Monitoring dan pengawasan

Monitoring dan pengawasan pelaksanaan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah dilakukan secara berkala di kabupaten/kota, provinsi dan stasiun uji performan (SUP). Monitoring dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang dan pengawasan pelaksanaan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah dilakukan oleh Pejabat Fungsional Pengawas Bibit Ternak baik di pusat maupun dinas provinsi atau kabupaten/kota. Apabila belum ada Pejabat Fungsional Pengawas Bibit Ternak maka pengawasan dapat dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Surat Keterangan Bibit Unggul kerbau potong dan perah dapat dikeluarkan oleh BPTU Siborong-borong sebagai koordinator kegiatan uji performan dan zuriat kerbau potong dan perah sebelum lembaga sertifikasi yang telah dibentuk terakreditasi.

Lokasi

Lokasi yang direncanakan untuk pelaksanaan kegiatan uji performan kerbau

potong dan uji zuriat kerbau perah meliputi beberapa kabupaten/provinsi yang telah memberikan prioritas dalam pengembangan kerbau di daerahnya masing-masing.

KESIMPULAN

1. Uji performan pada kerbau potong dan uji zuriat pada kerbau perah dapat dilaksanakan pada beberapa kabupaten/ provinsi yang memprioritaskan pengembangan kerbau pada daerahnya masing-masing.

2. Disadari bahwa akan banyak kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan baik pada tingkat peternak, SUP maupun dalam komunikasi serta pengukuran ternak, koleksi data dan pengiriman data dari kabupaten/provinsi untuk sampai ke BPTU Siborongborong.

3. Perlu melakukan koordinasi yang lebih intensif dalam pelaksanaan pengujian ini karena membutuhkan waktu yang panjang untuk sampai menghasilkan kerbau unggul baik jantan maupun betina.

4. Walaupun sulit tetapi kegiatan ini dibutuhkan oleh Indonesia untuk meningkatkan produktivitas kerbau potong maupun kerbau perah dalam mendukung swasembada daging sapi dan kerbau serta meningkatkan produksi susu dalam negeri melalui kerbau perah.

DAFTAR PUSTAKA

AALFS, H.G. 1934. De Rundeveeteelt op het Eiland Bali. Proefschrift, SMITH H.J. (ed.), Utrecht. p. 12.

BARILE,V.L.,C.PACELLI,G.DE SANTIS,L.PENNA, C.VELOCCIA,S.ALLEGRINI,R.LOMOLINO,O. BARBATO and A.BORGHESE. 2004. Fixed time artificial insemination in buffalo using two different hormonal schedule for oestrus synchronization. Preliminary results. Proc. 7th

World Buffalo Congress, Manila, Philippine, October 20 – 23. II: 585 – 587.

BORGHESE, A. 2005. Buffalo Production and Research. FAO Ed. REU Technical Series 67: 1 – 315.

BORGHESE, A. 2008. The main factors influencing buffalo development. Paper dipresentasikan dalam Semiloka Kerbau di Tana Toraja. (Unpublished).

(18)

BORGHESE, A. 2010. Development and perspective of buffalo and buffalo market in Europe and Near East. Proc. 9th World Buffalo Congress, Buenos Aires, 25 – 28 April. pp. suppl. 1: 20 – 31.

BORGHESE, A., G.M. TERZANO, V. L. BARILE, G. ANNICCHIARICO and A. PARMEGGIANI. 1993. Onset of puberty in Italian buffalo heifers. Note II – Influence of bull exposure on age at puberty. Proc. International Symposium “Prospect of Buffalo Production in the Mediterranean and in the Middle East”, Cairo, Egypt, 9 – 12 November 1992. EAAP Publication, Pudoc, Wageningen. pp. 62: 370 – 373.

DE CRUZ,L.C. 2010. Transforming swamp buffaloes to producers of milk and meat through crossbreeding and backcrossing. Wartazoa 19(3): 103 – 116.

DITJEN PKH. 2011a. Penetapan Rumpun/Galur Ternak Indonesia Tahun 2010 – 2011. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Jakarta.

DITJEN PKH. 2011b. Statistik Peternakan Indonesia Tahun 2010. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Jakarta.

KEMAN, S. 2006. Reproduksi ternak kerbau. Menyongsong rencana kecukupan daging tahun 2010. Pros. Orasi dan Seminar Pelepasan dosen purna tugas 2006. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

PASHA,T.N.2011. Contribution on buffalo in milk and meat production in Pakistan. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau, Lebak, 2 – 4 November 2010. Dinas Peternakan Provinsi Banten, Dinas Peternakan Kabupaten Lebak, Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 246 – 251.

PSPK2011. 2011. Hasil rilis terakhir sensus peternakan di Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

TALIB, C. 1988. Performan Sapi Peranakan Ongole di Indonesia. Thesis. Magister Sains. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

TALIB, C. 2011a. Perkembangan sapi dan kerbau berdasarkan hasil sensus tahun 2011. Paper dipresentasikan dalam workshop strategis penerapan PSDSK berdasarkan hasil sensus ternak Tahun 2011. Taman Safari, Cisarua, Bogor 10 September 2011. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Jakarta. TALIB, C. 2011b. Penerapan sistem pembibitan

kerbau pada kelompok peternak. Pros. Seminar dan Lokarya Nasional Kerbau, Samarinda 21 – 22 Juni 2011. Dinas Peternakan Kotamadya Samarinda, Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, Direktorat Perbibitan – Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 31 – 38.

TIESNAMURTI, B. dan C. TALIB. 2011. Inovasi teknologi dalam pengembangan perbibitan dan budidaya kerbau lumpur. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau. Samarinda, 21 – 22 Juni 2011. Dinas Peternakan Kotamadya Samarinda, Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, Direktorat Perbibitan – Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 14 – 22.

Gambar

Gambar 1.  Rumpun kerbau yang telah ditetapkan di Indonesia yaitu kerbau Moa, kerbau Sumbawa, kerbau  Kalimantan-Selatan, kerbau Kalimantan-Timur dan kerbau Toraya
Gambar 2. Ranking penyebaran ternak kerbau berdasarkan provinsi di Indonesia
Tabel 2. Kinerja reproduksi kerbau lumpur, kerbau sungai dan crossbred
Tabel 3.  Performan  produksi  kerbau  potong  di  Indonesia  Parameter  Ukuran  Bobot lahir (kg)  30  Bobot sapih (kg)  110  Berat setahun (kg)  150  Berat 2 tahun (kg)  275
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian pada kelas kontrol kemampuan membaca pemahaman siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Talamau Kabupaten Pasaman Barat tanpa menggunakan strategi POINT, berdasarkan

melebihi kapasitas, sehingga para pengunjung merasa kurang nyaman waktu pertunjukan sedang berlangsung (ruangan panas, view yang buruk), hal ini terjadi karena konsep

1) Populasi Kelurahan Sragen Tengah adalah sebesar 7.376 jiwa terdiri dari 16 RW yang terbagi lagi sebanyak 52 RT dan 2.113 KK. 2) Sebaran area yang dipakai untuk samplingnya

sistem kenegaraan yang di atur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut, baik yang di

karena shalat dan haji merupakan kewajiban bagi orang yang disewa. g) Obyek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah, mobil, dan hewan tungganga. Oleh

Syukur Alhamdulillaahi rabbil ‘alamin terucap ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat-Nya sehingga dengan segala keterbatasan waktu, tenaga, pikiran dan keberuntungan

Analisis Efisiensi Penghimpunan Dana Pihak Ketiga Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional di Indonesia dengan Metode Data Envelopment Analysis Periode 2010-20146. ISI

Adapun kekurangan yang ada pada perusahaan ini adalah terjadinya rangkap jabatan yang setiap fungsi hanya dilakukan oleh satu manajer, tidak adanya pelatihan karyawan, tidak