• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Studi Magister Ilmu Farmasi Universitas Surabaya, Surabaya, Indonesia. Surabaya, Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Program Studi Magister Ilmu Farmasi Universitas Surabaya, Surabaya, Indonesia. Surabaya, Indonesia"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Efektivitas Biaya Antara Symbicort® Turbuhaler®

(Budesonide-Formoterol) dan Seretide® Diskus®

(Salmeterol-Fluticasone) pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Rawat Jalan

Monica Dyah Puspitasaria, Amelia Lorensiaa, Soedarsonob, Rivan Virlando Suryadinatac

a)

Program Studi Magister Ilmu Farmasi Universitas Surabaya, Surabaya, Indonesia

b)

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia

c)

Fakultas Kedokteran Universitas Surabaya, Surabaya, Indonesia

ABSTRAK

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari empat jenis penyakit tidak menular (PTM) terbesar di dunia, membutuhkan pengobatan jangka panjang dan rutin. Pengobatan dengan rute inhalasi salah satunya berbentuk Dry Powder Inhaler (DPI) yang mudah digunakan dan dibawa, serta merupakan perkembangan dari bentuk Metered Dose Inhaler (MDI) yang memiliki kekurangan dimana pasien kesulitan dalam mengkoordinasi tangan dan paru-paru. Kombinasi Inhaler Corticosteroid (ICS) dan Long-acting Beta-2 Agonist (LABA) dalam bentuk DPI yang tersedia di Indonesia adalah Symbicort® Turbuhaler® (budesonide-formoterol) dan Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui cost effective antara Symbicort® Turbuhaler® (budesonide-formoterol) dan Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone) dari segi fungsi paru dan gejala klinis menggunakan metode CEA (Cost Effectiveness Analysis). Dihasilkan ACER fungsi paru untuk Symbicort® Turbuhaler® (n: 20)= Rp 296.832/FEV1 (liter), Seretide® Diskus® (n: 18)= Rp 176.465/FEV1 (liter). ACER gejala klinis untuk Symbicort® Turbuhaler® (n: 20)= Rp 17.340/CAT, Seretide® Diskus® (n: 18)= Rp 16.283/CAT. Terapi yang lebih cost effective antara Symbicort® Turbuhaler® (budesonide-formoterol) dibanding Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone) dalam segi gejala klinis dengan kuesioner CAT dan dalam segi fungsi paru dengan pemeriksaan spirometri adalah Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone).

Kata kunci: PPOK, Symbicort® Turbuhaler®, Budesonide-Formoterol, Seretide® Diskus®,

(2)

ABSTRACT

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is one of the four largest types of non-communicable diseases in the world, requiring long-term and routine treatment. One of the treatments by inhalation route is in the form of Dry Powder Inhaler (DPI) which is easy to use and carry, and is a development of the Metered Dose Inhaler (MDI) which has a deficiency where patients have difficulty coordinating hands and lungs. The combination of Corticosteroid Inhaler (ICS) and Long-acting Beta-2 Agonist (LABA) in the form of DPI available in Indonesia is Symbicort® Turbuhaler® (budesonide-formoterol) and Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone). The study was conducted to see the cost-effectiveness of Symbicort® Turbuhaler® (budesonide-formoterol) and Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone) in terms of lung function and clinical symptoms using the CEA (Cost Effectiveness Analysis) method. Produced ACER lung function for Symbicort® Turbuhaler® (n: 20) = IDR 296,832 / FEV1 (liter), Seretide® Diskus® (n: 18) = IDR 176,465 / FEV1 (liter). ACER Clinically for Symbicort® Turbuhaler® (n: 20) = IDR 17,340 / CAT, Seretide® Diskus® (n: 18) = IDR 16,283 / CAT. A more cost-effective therapy between Symbicort® Turbuhaler® (budesonide-formoterol) versus Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone) in terms of clinical symptoms with the CAT questionnaire and in terms of lung function with spirometric examination is Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone).

Keywords: COPD, Symbicort® Turbuhaler®, Budesonide-Formoterol, Seretide® Diskus®, Salmeterol-Fluticasone, CEA

1. Pendahuluan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi dikarenakan bahan yang merugikan atau gas.1

PPOK merupakan penyakit sistemik yang mempunyai hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan molekuler genetik. Keterbatasan aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama yang berperan dalam keterbatasan aktivitas penderita PPOK. Inflamasi sitemik, penurunan berat badan, peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK.2 PPOK merupakan salah satu penyakit sistem pernapasan yang menjadi penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas di dunia.1

PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas hidup penderita, termasuk pasien yang berumur > 40 tahun akan menyebabkan disabilitas penderitanya. Padahal mereka masih dalam kelompok usia produktif namun tidak dapat bekerja maksimal karena sesak napas yang kronik. Komorbiditas PPOK akan menghasilkan penyakit kardiovaskuler, kanker bronchial,

(3)

infeksi paru-paru, trombo embolik disorder, keberadaan asma, hipertensi, osteoporosis, sakit sendi, depresi dan anxiety.3

Penyakit pernapasan kronis seperti asma dan PPOK merupakan salah satu dari empat jenis penyakit tidak menular (PTM) terbesar di dunia. Menurut Riskesdas (2013),4 asma dan PPOK menduduki tingkat teratas dari 12 PTM terbesar di Indonesia, yaitu dengan prevalensi masing-masing 4,5% dan 3,7%. Penyakit pernapasan seperti asma dan PPOK membutuhkan pengobatan jangka panjang dan rutin. Sebagian besar pengobatannya dengan rute pemberian obat secara inhalasi. Rute ini memiliki keuntungan karena (1) Memberikan efek secara langsung ke target organ di paru, dan (2) Menyebabkan efek samping yang cenderung lebih kecil dibandingkan rute lainnya, karena kerja obat secara topikal sehingga tidak membutuhkan dosis lebih besar seperti pada pemberian secara sistemik.

Pengobatan maintenance pada PPOK salah satunya adalah kombinasi antara LABA (long-acting beta-2 agonist) dan kortikosteroid dalam satu kemasan.6 Yang memiliki resiko adverse event lebih rendah dibandingkan ICS (inhaler corticosteroid) tunggal dosis tinggi, serta dapat berperan sebagai reliever saat terjadi serangan akut. Kombinasi tersebut dikembangkan pada fixed combination inhaler.7

Obat-obat inhalasi tersedia dalam MDI (Metered Dose Inhaler), DPI (Dry Powder Inhaler) dan nebulizer.7 Bentuk DPI menjadi inhaler yang sering digunakan untuk terapi asma karena mudah digunakan dan dibawa, serta merupakan perkembangan dari bentuk MDI yang memiliki kekurangan dimana pasien kesulitan dalam mengkoordinasi tangan dan paru-paru.7 DPI bahkan telah menjadi pilihan pertama dari perangkat inhalasi di negara-negara Eropa. Kombinasi ICS dan LABA dalam bentuk DPI yang tersedia di Indonesia adalah Diskus® (kombinasi budesonide-formoterol) dan Turbuhaler® (kombinasi salmeterol-fluticasone). Turbuhaler® dan Diskus® merupakan jenis DPI multidose yang popular di kalangan pasien asma dalam fixed combination inhaler yang hanya mengandalkan usaha aktuasi pasien saja.7

Data di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tahun 2000-2003 didapatkan 15% dari total kunjungan pasien rawat jalan (2368 pasien) didiagnosis PPOK. Peningkatannya dari tahun ke tahun sekitar 10%. Pada pasien PPOK akan terjadi penurunan kualitas dan kapasitas kerja dari fungsi paru yang bersifat kronik yang akan menyebabkan peningkatan biaya pada PPOK.15

(4)

PPOK di Amerika Serikat menyebabkan morbiditas dan kematian keempat dengan biaya medis langsung mencapai $24 miliar pada tahun 1993.16Di Eropa pada tahun 2007 biaya perawatan di rumah sakit untuk PPOK sekitar 2,9 miliar Euro setahun. Sementara di Singapura biaya perawatan rumah sakit untuk satu kasus PPOK kira-kira 856 dolar AS. Total biaya PPOK di Jepang mencapai 805,5 miliar yen per tahun.17

Di Indonesia total biaya pelayanan medis (rawat inap) penyakit yang terkait dengan tembakau (rokok) pada tahun 2005 mencapai hampir 2 trilyun rupiah, salah satunya disebabkan karena PPOK. Total biaya pelayanan medis PPOK mencapai 433 juta rupiah selama tahun 2005 dan beban nasional sebesar 937 ribu rupiah.18 Hasil penelitian dari Putri (2009) mengenai analisis biaya umum rata-rata pasien PPOK rawat inap Moewardi pada tahun 2008 sebesar Rp 1.573.057.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, lebih mengarah kepada biaya terapi pada pasien PPOK, namun belum banyak penelitian yang mengkaji tentang efektivitas dibandingkan biaya yang dikeluarkan pasien atau keluarga. Pelaksanaan kajian tersebut dapat memberikan kepercayaan kepada klinisi dalam memberikan terapi secara rasional (efektif dan efisien) serta menekan biaya yang dikeluarkan oleh pasien atau keluarganya.22

2. Metode

Jenis penelitian ini adalah observasional prospektif dengan desain penelitian cross sectional dengan melakukan studi perbandingan antara Symbicort® Turbuhaler® (budesonide-formoterol) dibanding Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone) pada pasien PPOK rawat jalan di rumah sakit X di Gresik. Penelitian ini menggunakan perspektif rumah sakit. Penelitian tersebut pada akhirnya akan diperoleh terapi yang lebih cost-effective antara Symbicort® Turbuhaler® (budesonide-formoterol) dibanding Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone). Responden yang digunakan sebagai penelitian adalah responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta mengisi Informed Consent.

2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Subyek pada penelitian ini adalah pasien PPOK yang mendapat terapi Symbicort® Turbuhaler® (budesonide-formoterol) dan Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone) di poli paru Rumah Sakit X di Gresik periode bulan Oktober 2019 hingga Januari 2020 yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi meliputi pasien PPOK dewasa usia > 40 tahun, pasien PPOK yang sudah pernah menggunakan Symbicort®

(5)

Turbuhaler® dan Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone) masih mendapatkan terapi tersebut dari dokter, pasien PPOK rawat jalan yang bersedia dilibatkan dalam penelitian, pasien PPOK yang mengerti dan bisa berbahasa Indonesia. Sedangkan kriteria eksklusi meliputi pasien PPOK yang baru pertama kali mendapatkan terapi Symbicort® Turbuhaler® (budesonide-formoterol) dan Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone), pasien dengan keterbatasan kemampuan membaca, menulis, atau mendengar, pasien PPOK yang tidak bersedia dilibatkan dalam penelitian.

2.2 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel secara purposive sampling dimana pengambilan sampel dengan cara menetapkan kriteria yang sesuai dengan tujuan penelitian. Sampel penelitian didapatkan setelah peneliti memberikan lembar persetujuan pasien atau lembar imformed consent yang telah ditandatangani oleh pasien. Penelitian ini telah mendapat ijin etik dari Institusi Komite Etik Universitas Surabaya dengan nomor 108/KE/XI/2019.

2.3 Pengambilan Data

Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan satu tahap. Yaitu saat pasien mendapatkan terapi Symbicort® Turbuhaler® (budesonide-formoterol) dan Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone) dari poli paru rawat jalan, dan sesuai dengan kriteria inklusi dan telah mengisi lembar informed consent, pasien akan mendapatkan lembar kuesioner CAT. Dimana kuesioner CAT terdiri dari 8 pertanyaan. Kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi paru di medical check up rumah sakit X Gresik dengan alat spirometri, dimana akan diketahui nilai KVP dn FEV1.

2.4 Perhitungan Data

Perhitungan data hasil penelitian dilakukan terhadap tiga penilaian, yaitu:

1. CAT (COPD Assessment Test), untuk penilaian fungsi paru. Terdiri dari 8 pertanyaan dengan skor 0-5 tiap pertanyaan (Nilai total berkisar antara 0 dan 40). Semakin besar skor seseorang makin tinggi dampak PPOK terhadap status kesehatan pasien.

2. Penilaian fungsi/faal paru dengan alat spirometri, nilai yang digunakan untuk mendeteksi gangguan fungsi/faal paru yaitu ditandai dengan penurunan Kapasitas Vital Paksa (KVP) dan FEV1.

(6)

3.) Rincian biaya pengobatan pasien dari poli paru rawat jalan untuk perhitungan analisis efektivitas biaya.

2.5 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan program SPSS 24. Untuk penilaian gejala dengan CAT dilakukan dengan uji shapiro-wilk dan uji chi square, penilaian fungsi paru dengan nilai FEV1 dilakukan dengan uji shapiro-wilk dan uji mann whitney, perhitungan efektivitas biaya menggunakan uji shapiro-wilk, uji mann whitney dan ACER (cost-effectiveness analysis)

Rumus ACER =

3. Hasil dan Pembahasan

Responden yang masuk ke dalam kriteria sampling berjumlah 42 pasien. Responden yang masuk ke dalam kriteria inklusi berjumlah 38 pasien, dikarenakan ada tiga responden yang tidak bersedia melakukan penelitian dan satu responden yang mengalami keterbatasan pendengaran sehingga masuk ke dalam kriteria eksklusi.

3.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, responden lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Pada kelompok Symbicort® Turbuhaler® responden laki-laki berjumlah 14 orang (70%) dan perempuan 6 orang (30%). Sedangkan untuk kelompok Seretide® Diskus® responden laki-laki berjumlah 17 orang (94,4%) dan perempuan 1 orang (5,6%). Data demografi jenis kelamin responden kedua kelompok menunjukkan varian data homogen dengan nilai P=0,052.

Karakteristik usia, jumlah responden terbanyak memiliki usia 61-70 tahun. Pada kelompok Symbicort® Turbuhaler® jumlah responden usia 61-70 tahun adalah 8 orang (40%), sedangkan untuk kelompok Seretide® Diskus® adalah 11 orang (61,1%). Data demografi usia responden kedua kelompok menunjukkan varian data homogen dengan nilai P=0,526. Dalam hal jenis pekerjaan, responden lebih banyak yang tidak bekerja atau sudah pensiun dengan keterangan lainnya pada tabel di atas. Untuk kelompok Symbicort® Turbuhaler® sebanyak 13 responden (65%) dan untuk kelompok Seretide® Diskus® sebanyak 10

Cost Effect

(7)

responden (55,6%). Data demografi jenis pekerjaan responden kedua kelompok menunjukkan varian data homogen dengan nilai P=0,441.

Untuk karakteristik riwayat merokok, responden paling banyak adalah yang sudah berhenti merokok, yaitu 7 responden (35%) untuk kelompok Symbicort® Turbuhaler® dan 13 responden (72,2%) untuk kelompok Seretide® Diskus®. Data demografi riwayat merokok kedua kelompok menunjukkan varian data homogen dengan nilai P=0,051. Sedangkan untuk karakteristik kejadian efek samping obat, untuk kedua kelompok tidak ditemukan efek samping atas pemakaian obat Symbicort® Turbuhaler® maupun Seretide® Diskus®.

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian

Karakteristik: Kelompok: Nilai P:

Symbicort® Turbuhaler® (n:20) Seretide® Diskus® (n:18)

Jenis Kelamin Laki-laki 14 17 P=0,052

Perempuan 6 1 Usia (tahun) 40-50 1 0 P=0,526 51-60 7 4 61-70 8 11 71-80 3 3 >80 1 0 Jenis Pekerjaan PNS 0 1 P=0,441 Karyawan Swasta 3 1 Wiraswasta 4 6 Lainnya 13 10 Riwayat Merokok Berhenti merokok 7 13 P=0,051 Merokok 2 0 Tidak merokok 11 5

(8)

3.2 Profil Outcome Responden

Outcome responden pada penelitian ini ada dua, yaitu fungsi paru dilihat dari nilai FEV1 (Forced Expiratory Volume In 1 Second) dan gejala klinis dilihat dari nilai CAT (COPD Assessment Test) yang ditampilkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. Profil Outcome Responden

Outcome Kelompok: Nilai P:

Symbicort® Turbuhaler® (n: 20) Seretide® Diskus® (n:18)

Fungsi Paru Total FEV1

(liter) 20,33 28,42

P=0,007

Rata-rata 1,0165 1.578889

Gejala Klinis Total CAT 348 308 P=0,880

Rata-rata 17,4 17,11111

Dari Tabel 2 di atas, untuk fungsi paru pada kedua kelompok Symbicort® Turbuhaler® dan Seretide® Diskus® dengan melihat nilai FEV1 diperoleh P=0,007 menjelaskan bahwa adanya perbedaan yang signifikan antara fungsi paru pada kedua kelompok Symbicort® Turbuhaler® dan Seretide® Diskus®. Sedangkan untuk gejala klinis dengan melihat skor CAT pasien diperoleh P=0,880 menjelaskan bahwaa adanya perbedaan yang tidak signifikan antara gejala klinis Symbicort® Turbuhaler® dan CAT Seretide® Diskus®.

3.3 Profil Biaya

Tabel 3. Profil Biaya

Biaya (dalam rupiah)

Kelompok: Nilai P: Symbicort® Turbuhaler® (n:20) Seretide® Diskus® (n:18)

(9)

Jenis Biaya

Rata-rata Biaya obat 154424 142737 P=0,069

Rata-rata Biaya obat lainnya 24094 12655

Biaya dokter 40000 40000

Biaya spirometri 58212 58212

Biaya administrasi rawat jalan 25000 25000

Rata-rata total biaya 301730 278604

Dari Tabel 4.3 di atas di ketahui untuk biaya kedua kelompok menghasilkan nilai P=0,069 > 0,05 menjelaskan bahwa ada perbedaan yang tidak signifikan antara biaya Symbicort® Turbuhaler® dan Seretide® Diskus®.

3.4 Hasil Perhitungan Analisis Efektivitas Biaya

Analisis biaya merupakan salah satu metode dalam studi farmakoekonomi yang mengevaluasi intervensi-intervensi biaya terapi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah CEA (Cost Effectiveness Analysis).

Tabel 4. Hasil Perhitungan Analisis Efektivitas Biaya Keterangan Perhitungan CEA Perhitungan: Kelompok: Symbicort® Turbuhaler® (n: 20) Seretide® Diskus® (n: 18) ACER Fungsi paru cost effect

Total rata-rata biaya kelompok obat

Rata-rata nilai FEV1 obat

= Rp 301.730 1,0165 =Rp 296.832/ FEV1 (liter) = Rp 278.604 1,5788 =Rp 176.465/ FEV1(liter) ACER gejala klinis cost effect

Total rata-rata biaya kelompok obat = Rp 301.730 17,4 = Rp 17.340/CAT = Rp 278.604 17,11 =Rp 16.283/CAT

(10)

Rata-rata nilai CAT obat

Berdasarkan Tabel 4. di atas, diperoleh perbedaan nilai ACER antara kedua kelompok. Kelompok Symbicort® Turbuhaler® diperoleh harga ACER lebih mahal dibandingkan Seretide® Diskus® baik dari fungsi paru maupun gejala klinis.

Dari hasil penelitian untuk fungsi paru pada kedua kelompok Symbicort® Turbuhaler® dan Seretide® Diskus® dengan melihat nilai FEV1 diperoleh P=0,007 menjelaskan bahwa adanya perbedaan yang signifikan antara fungsi paru pada kedua kelompok Symbicort® Turbuhaler® dan Seretide® Diskus®. Sedangkan untuk gejala klinis dengan melihat skor CAT pasien diperoleh P=0,880 menjelaskan bahwaa adanya perbedaan yang tidak signifikan antara gejala klinis Symbicort® Turbuhaler® dan CAT Seretide® Diskus®.

Analisis biaya merupakan salah satu metode dalam studi farmakoekonomi yang mengevaluasi intervensi-intervensi biaya terapi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode evaluasi CEA (Cost Effectiveness Analysis) atau analisis efektivitas biaya. Analisis efektivitas biaya adalah jenis analisis ekonomi yang membandingkan kedua hasil klinis dan biaya pilihan pengobatan baru untuk pilihan pengobatan.32 Suatu kelompok terapi dinyatakan paling cost effectiveness apabila mempunyai nilai ACER (Average Cost-Effectiveness Ratio) paling rendah dibandingkan nilai ACER pada kelompok terapi yang lain. Semakin kecil nilai ACER suatu kelompok terapi maka semakin cost effective.

Berdasarkan Tabel 4, diperoleh perbedaan nilai ACER antara kedua kelompok. Kelompok Symbicort® Turbuhaler® diperoleh harga ACER lebih mahal dibandingkan Seretide® Diskus® baik dari fungsi paru maupun gejala klinis. Hal ini menunjukkan bahwa terapi Seretide® Diskus® lebih cost effective atau memiliki biaya yang paling efektif dibandingkan dengan terapi Symbicort® Turbuhaler®. ACER menggambarkan total biaya dari suatu program atau alternative dibagi dengan outcome klinis, dipersentasikan sebagai berapa rupiah per outcome klinis spesifik yang dihasilkan tidak tergantung dari pembandingnya. Dengan perbandingan ini, maka dapat dipilih alternatif dengan biaya lebih rendah untuk setiap outcome yang diperoleh.32 ACER menunjukkan biaya rata-rata yang dibutuhan untuk mendapatkan outcome klinis. Berdasaran penelitian sebelumnya, perhitungan ACER pada dua Kelompok terapi Salbutamol dan Teofilin. Kelompok terapi salbutamol memiliki nilai ACER sebesar Rp 24.593,92. Sedangkan nilai ACER kelompok

(11)

terapi teofilin sebesar Rp 34.716,54. Hal ini menunjukkan bahwa terapi salbutamol lebih cost-effective atau memiliki biaya yang paling efektif dibandingkan dengan terapi teofilin.32

4. Keterbatasan Penelitian

Penelitian tentang Analisis Efektivitas Biaya Antara Symbicort® Turbuhaler® (Budesonide-Formoterol) dan Seretide® Diskus® (Salmeterol-Fluticasone) pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Rawat Jalan di Rumah Sakit X di Jawa Timur ini memiliki keterbatasan, antara lain:

1. Keterbatasan waktu pengambilan data penelitian yang hanya dilakukan selama kurang lebih 4 bulan sehingga jumlah sampel yang didapat hanya sedikit.

2. Melakukan penelitian dari sudut pandang rumah sakit dikarenakan bila dari sudut pandang pasien terlalu luas cakupannya.

5. Kesimpulan

1. Terapi yang lebih cost effective antara Symbicort® Turbuhaler® (budesonide-formoterol) dibanding Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone) dalam segi gejala klinis dengan kuesioner CAT adalah Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone) 2. Terapi yang lebih cost effective antara Symbicort® Turbuhaler®

(budesonide-formoterol) dibanding Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone) dalam segi fungsi paru dengan pemeriksaan spirometri adalah Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone)

3. Tidak ditemukan kejadian efek samping obat antara Symbicort® Turbuhaler® (budesonide-formoterol) dan Seretide® Diskus® (salmeterol-fluticasone)

Ucapan Terimakasih

Peneliti menyampaikan ucapan terima kasih kepada Rumah Sakit yang telah mengijinkan untuk melakukan penelitian hingga selesai.

(12)

Daftar Pustaka

1. GOLD. 2019. Global strategy for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. USA.

2. Heidy Agustin dan Faisal Yunus, Proses Metabolisme pada PPOK, J Respir Indo vol 28 no 3 Juli, 2008

3. Buist AS, Mc Burnie MA, Vollmer WM, Gillespie S, Burney P, Mannino DM, Menezes AM, Sullivan SD, Lee TA, Weiss KB, Jensen RL, Maks GB, Gulsvik A, Nizankowska-Mogilnicka E; BOLD Collaborative Research Group, International variation in the prevalence of COPD (the BOLD Study): a population based prevalence study. Lancet. 2007 Sep 1; 370 (9589): 741-50

4. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2013

5. Ochili VU, Okoribe CO. Assessment of Pharmacist’s Knowledge on correct inhale technique. Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences. 2010; 1 (3): 768-772

6. Lorensia, Amelia;, Suryadinata, Rivan Virlando. Panduan Lengkap Penggunaan Macam-macam Alat Inhaler pada Gangguang Pernafasan. Surabaya.

7. Asthma Foundation. Turbuhalers; 2014.

http://www.asthmaaustralia.org.au/Turbuhalers.aspx

8. Dipiro. JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York. 9. Ikalius., Yunus F., Suradi., Rachma, N, 2007, Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas

Fungsional Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis setelah REhabilitasi Paru, Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 57 (12).

10. Zhong, W., Wang, C., You, W., Chen, P., Kang, J., Huang, S., Chen, B., Wang, C., Ni, D., Zhou, Y., Liu, S., Wang, D., Lu, J., Zheng, J., Ran, P., 2001, Prevalence of Chronic Obstructive Pulmonary Disease in China, American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, Vol 176.

11. Viktor, 2007, Info Kesehatan : Perokok Perlu Kalori 10 Kali Lipat. http://infokes.net.id 12. Kosen, S, 2008, Dampak Kesehatan dan Ekonomi Perilaku Merokok Di Indonesia, Buletin

Penelitian Sistem Kesehatan, Vol 57 (12

13. Putri, Fadhila. Analisis biaya penyakit paru obstruksi kronis pasien rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta berdasarkan jenis pembiayaan periode tahun 2008.

14. Christine, Kelly H, Sorkness A and William. A Pharmacoterapy A Pathophysiologic Approach: Asma, 7th ed, McGraw-ill,USA; 2008.

15. Lavorini F. The Challenge of Delivering Therapeutic Aerosols to Asthma Patients. ISRN Allergy. p1-17; 2013.

16. David E, Geller MD. Comparing Clinical Features of the Nebulizer, Metered-Dose

Inhaler, and Dry Powder Inhaler; 2005.

http://www.rcjournal.com/contens/10.05/10.05.1313.pdf

17. Ibrahim M, Verma R, Garcia-Contretas L. Inhalation drug delivery devices: technology update. Medical Devices: Evidence and Research. 2015;8:131-139.

18. Lavorini F, Pistolesi M, Usmani OS. Recent advances in capsule-based dry powder inhaler technology. Multidisciplinary Respiratory Medicine. 2017;12(11):1-7.

19. Sims MW. Aerosol therapy for Obstructive lung Disease. Chest. 2011;140(3):781-8. 20. Chystyn H, Price d. Not all asthma inhalers are the same: factors to consider when

prescribing an inhaler. Prim Care Respir J J Gen Pract Airw Group. 2009;18(4):243-9. 21. National Asthma Council Australia (NACA). Inhaler Technique in Adults with Asthma or

(13)

22. Beaucage D, Nesbittt S. Using Inhalation Device, in Bourbeau, Nault, Borycki, comprehensive Management of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, BC Decker Inc., Canada, p.83-107; 2002.

23. Dailymed. Spiriva®HandiHaler® (tiotropium bromide inhalation powder); 2009. https://dailymed.nlm.mih.gov/dailymed/archives/fdaDrugInfo.cfm?archiveid=10358 24. University of Michigan. Breathing Problems: Using a Dry Powder Inhaler; 2017.

http://www.oufmhealth.org/health-library/uz2083

25. Chrystyn H & Azouz W. Clarifying the dilemmas about inhalation technique for dry powder inhalers: integrating science with clinical practice. PCRS : 208-213; 2012.

26. Bisgaard H, Klug B. Sumbu B, Burnell P. Fine particle mass from the diskus inhaler and Turbuhaler inhaler in children with astma. Eur. Respr. J. 1998;11:1111-1115.

27. GINA. Accuhaler (Diskus); 2014. http://www.ginastma.org/inhalers/l.

28. Osman A, Hassan ISA, Ibrahim MIM. Are Sudanese community pharmacists capable to prescribe and demonstrate asthma inhaler devices to patrons? A mystery patient study. Pharmacy Practice.2012;10(2):110-115.

29. Asthma Foundation. Turbuhalers; 2014.

http://www.asthmaaustralia.org.au/Turbuhalers.aspx 30. GINA. Turbohaler; 2014://www.ginasthma.org/inhalers/19

31. Hananian NA, Sharma G. COPD in the Elderly Patient, Semin Respir Crit Care Med, 2010; 31 (5):596-606

32. Tridoso Sapto A, Neni Probosiwi, Uswatun Hasanah. Analisa Biaya dan Efektivitas Penggunaan Bronkodilator pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit X Mojokerto

33. P Yin, CQ Jiang, KK Cheng. Passive Smoking Exposure and Risk of COPD among Adult in China. The Lancet 2007:370;p.751-757

34. World Health Organization. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). 2013 35. Mueller DH., Medical Nutrition Therapy for Pulmonary Disease, in: Krause’s Food,

Nutrition, and Diet Therapy, 11th ed., Mahan LK and Escott-Stump S. Saunders Elsevier, USA, 2004:945-948

36. Lorensia, Amelia. Menghadapi Tingginya Lonjakan Biaya Pengobatan yang Mengancam Kestabilan Perekonomian. 2018

37. Anonim. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; 2013. 96

38. Mokoagow M, Uyainah A, Subardi S, Rumende C. Amin Z. Peran skor COPD Assessment Test (CAT) Sebagai Prediktor Kejadian Eksaserbasi Akut Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pada Jemaah Haji Provinsi DKI Tahun 2012. Indonesian Journal of Chest.2016; 2(1): 56-65

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian
Tabel 2. Profil Outcome Responden
Tabel 4. Hasil Perhitungan Analisis Efektivitas Biaya  Keterangan  Perhitungan  CEA  Perhitungan:  Kelompok:  Symbicort®  Turbuhaler® (n: 20)  Seretide®  Diskus® (n: 18)  ACER  Fungsi paru         cost        effect

Referensi

Dokumen terkait

Panitia Penilai Usulan Penelitian Tesis terdiri atas 5 (lima) orang tenaga akademik, termasuk Tim Pembimbing yang diusulkan oleh Pembimbing Ketua kepada KPS dan

Ü Magister Farmasi Sains dan Teknologi, bertujuan menghasilkan lulusan yang menguasai kompetensi dalam penemuan obat dan khasiatnya, baik obat alam maupun obat sintetik,

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil penggunaan obat-obat kardiovaskular untuk pasien rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta (RSPKUMY)

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas dari biosistem tanaman yang terjadi pada proses degradasi Rhodamin B dan kemampuannya dalam menurunkan konsentrasi

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan cara analisis finansial terhadap data yang berkaitan dengan biaya operasional, pendapatan dan tarif,

Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif yaitu penelitian kembali dengan menggunakan data sekunder untuk melihat apakah ada hubungan atau tidak antara

Dari hasil penelitian Ike Imaningsih tentang analisis efektivitas-biaya antidiabetik oral pada pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan di RSUD Wirosaban Yogyakarta tahun

Asian Games 2018 dapat menjadi symbol pesan dalam komunikasi internasional antara entitas negara, penelitian komunikasi internasional kontemporer menjadikan olahraga