PENYEGARAN HUKUM ISLAM
Oleh : Zamroni Ishaq, Lc., M.Pd.I1Abstract ;
Perubahan dan perkembangan yang terjadi di masyaakat merupakan sebuah keniscayaan. Hal itu terjadi karena kehidupan yang ada di muka bumi ini selalu bergerak dan berubah-ubah, tumbuh dan berkembang sepanjang masa.
Perubahan yang terjadi di masyarakat sebagaimana dikatakan oleh para ahli sosiologi itu adakalanya terjadi tanpa diusahakan, tanpa dikehendaki, dan tanpa direncanakan oleh manusia. Perubahan yang demikian disebut dengan “unplanned change” Ada pula perubahan yang terjadi di masyaakat kaena memang diusahakn dan dibuat oleh manusia yang disebut dengan “intended change”. 2
Hukum Islam yang merupakan payung sandaran bagi umat islam dalam mengaplikasikan segala bentuk tindakan nyata dalam kesahariannya, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sumber rujukannya sudah baku ada di dalam al-Quran dan Hadis serta hasil ijtihad para ulama yang berupa fikih sudah terdokumentasikan dalam buku-buku mereka, sedangkan perubahan dan perkembangan masyarakat terus bergerak, agar mampu berpartisipasi aktif dalam mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat yang selalu berubah-ubah itu apakah perlu untuk menyegarkan kembali hukum-hukum Islam?
Keywords; tajdi>d, hukum Islam, Syari>’ah, Fiqh,. a. Pendahuluan
Fikih3 dan ijtihad fikih merupakan format syariat4 atas realitas, realitas individu,
kelompok, negara, institusi, dan lembaga. Apa yang dihasilkan fikih dan fuqaha>
1 Penulis adalah dosen tetap Program Studi Ahwal al-Syakhsyiyah pada Institut Pesantren
Sunan Drajat (INSUD) Lamongan
2 Soejono Soekonato, Sosiologi Suatu Pengantar, (Yogyakarta; Rajawali, 1986), hlm:
281-282.
3 Dalam arti istilah menurut satu pendapat fikih didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum
syara’ yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil yang rinci. Merupakan wacana intelektual dangan menggunakan cara berpikir tertentu, tentang penataan kehidupan manusia. Namun apabila diartikan sebagai kumpulan hukum tentang hal yang bersifat praktis yang digali dari dalil yang rinci, ia merupakan kumpulan hukum atau sebagai salah satu dimensi hukum Islam, yakni produk pemikiran fuqaha> yang dijadikan salah satu patokan dalam penataan kehidupan manusia. Lihat, Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam
Dan Pranata Social, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 40
4 Syari>’ah menurut bahasa berarti, jalan lurus dan sumber air. Sedangkan menurut istilah, Syari>’ah adalah aneka macam hukum yang disyariatkan oleh Allah untuk hambanya.
Hukum-hukum tersebut dinamakan syariat karena kelurusan dan keserupaannya dengan sumber air. Dengan hukum-hukum tersebut jiwa dan akal akan hidup, sebagaimana tubuh juga akan hidup dengan sumber air. Jadi Syari>’ah Isla>miyah adalah segala macam hukum yang terdapat di dalam al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saw.
(ahli-ahli fikih) berjalan seiringan dan saling mempengaruhi terhadap realitas dari perkembangan dan kemajuan masyarakat. Fikih dan realitas bagaikan jalinan tali yang terbentuk dari dua buhul yang terus berputar dari awal hingga akhir. Jika realitas merujuk pada fikih atas segala problematika, tuntunan dan pertanyaan, maka fikih merujuk pada realitas atas segala ijtihad, fatwa dan panangananya. Kehidupan terus berputar memberi kekuatan dan melengkapi, jika realitas menjauh dari fikih, maka fikih menjauh dari realitas, yang kemudian mengakibatkan lenyapnya jalinan tersebut dan hilang pula kekuatannya..5
Suatu peradaban akan berangsur-angsur memudar cahayanya bila pengunanya
hanya meniru dan mempertahankannya tanpa upaya melengkapi dan
meyesuaikannya dengan perkembangan yang lahir di tengah masyarakat. Masa merupakan arus deras dan melaju tanpa dapat dibendung. Perubahan adalah keniscayaan. Manusia hanya mempunyai dua pilihan menyangkut arus itu, mandek hingga tergilas olehnya dan mati atau maju bersamanya tanpa melepaskan pelampung yang melindunginya dari kebinasaan.6
Fakta sejarah pun menunjukkan bahwa perubahan social menuntut perlunya perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat. Tradisi akan selalu berhadapan dengan perubahan situasi dan konteks social. Pada wilayah hukum pun tidak bisa menghindar dari keniscayaan terjadinya perubahan, seiring dengan terjadinya perubahan zaman dan masyarakatnya. Berkaitan dengan hal itu, para ulama juga
Dengan definisi ini, Syari>’ah adalah satu makna denga di>n dan millah, yaitu hukum-hukum yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya. Hukum-hukum-hukum ini disebut Syari>’ah dilihat dari penetapan, penerangan dan kelurusannya. Disebut di>n dilihat dari ketundukan manusia kepadanya dan karena sebagai sarana yang digunakan dalam beribadat kepada Allah. Sedangkan disebut millah ditinjau karena ia didektekan kepada manusia.
Syariat Islam mempunyai beberapa karakteristik di antaranya: Pertama, syariat Islam bersumber dari Allah swt. Syariat merupakan wahyu Allah yang disampaikan kepada Rasul-Nya, baik berupa al-Quran ataupun al-Sunnah. Atas dasar ini syariat Islam berbeda dengan hukum wadl’i>y, prinsip-prinsip syariat Islam terlepas dari segala bentuk kezaliman, ketidakadilan, kekurangan dan hawa nafsu. Karena diciptakan oleh Allah swt. Lain daripada itu, hukum-hukum syarit Islam ini memiliki pengaruh kuat dalam diri kaum mukminin, baik penguasa ataupun rakyat, karena bersumber dari Allah. Kedua, balasan dalam syariat Islam terdiri dari balasan duniawi dan ukhrawi. Ketiga, syariat Islam bersifat universal dan abadi, oleh karena syariat Islam ini abadi dan tidak bisa dinasakh atau diganti, maka kaidah-kaidahnya merealisir maslahat manusia sepanjang zaman dan di mana saja berada, serta memenuhi kebutuhan mereka di bidang perundang-undangan atau lainnya. Keempat,
syumu>liyyat al-syari>’ah (bersifat komprehensif dan mencakup semua aspek kehidupan
manusia,- baik amaliyah, ibadah dan akhlak), berbeda dengan fikih yang sifatnya hanya membahas hukum-hukum amaliya (oprasional), yaitu hukum ibadat dan muamalat saja. Lihat, Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal li Dirasa>t al-Shari>’ah al-Isla>miyah, (Lebanon, Muassasah Al-Risa>lah, 2003), hlm.34-35. dan Ahmad Satori Ismail, Fiqh Perempuan dan Feminism, dalam Mansour Fakih….. (et al.), Membincnagn Feminism; Diskursus Gender
Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 130-131.
5Ahmad Raysuny dan Muhammad Jamal Barut, Ijtiha>d: Nas, Wa>qi’iy, al-Mas{lahah, terj. Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdzar, (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm.38-39. 6M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Jilid 2, (Jakarta, Lentera Hati, 2011), hlm. 457
telah merumuskan suatu kaidah, “la yunkar taghayyur ahka>m bi taghayyur
al-zama>n 7.
Oleh sebab itu perlu kiranya melakukan tajdi>d atau penyegaran dalam hukum Islam, agar nantinya dapat menghidupkan dan memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang muncul di masyarakat.
b. Penyegaran Hukum Islam
tajdi>d/penyegaran, dalam arti luas sebagaimana menurut menurut Quraish
Shihab, bukan saja dalam arti mengembalikan ajaran agama sebagaimana keadaannya pada maas salaf, sebagaimana dikemukakan oleh Sahl al-Sa’luki, atau penyebarluasan ilmu, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal, tetapi lebih luas dari itu. Tajdid dapat mencakup penjelasan ulang dalam bentuk kemasan yang lebih baik dan sesuai menyangkut ajaran-ajaran agama yang pernah diungkap oleh para pendahulu dan masih tetap relevan hingga kini, namun disalahpahami oleh masyarakat. Tajdid juga berarti mempersembahkan sesuatu yang benar-benar baru, baik karena belum dikenal pada masa lalu maupun telah dibahas pada masa lalu, tetapi yang lalu tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.8
Adapun tajdid dalam arti khusus terkait hukum Islam9 adalah menempatkan
hukum-hukum yang ada di dalam syariat Islam sebagai sandaran dan solusi atas masalah dan kejadian yang sedang terjadi10. Oleh sebab itu ijtihad11 yang merupakan
7Ali Ahmad al-Nadwy, al-Qawa>id Fiqhiyyah Mafhu>muha>, Nashatuha>, Tat{awwuruha>, Dira>sat Muallifatuha>, Adillatuha>, Muhimmathuha>, Tatbi>qatuha>,
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1991), hlm. 123.
8M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Jilid 2, hlm. 458.
9 Hukum Islam yang terdiri dari rangkaian kata “hukum” dan “Islam” secara tegas tidak
terdapat dalam al-quran. Kata “hukum” baik dalam bentuk ma’rifah maupun nakirah, disebutkan di 24 ayat dalam al-Quran, namun tidak satu pun dari ayat-ayat tersebut yang mengungkapkan rangkaian kata “hukum Islam”. Dalam al-Quran menggunakan istilah syari>ah dalam arti al-di>n, dengan pengertian jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi manusia. Dalam perkembangannya kata tersebut diartikan dengan cara atau pedoman hidup manusia berdasarkan ketentuan Allah.
Sedangkan secara istilah, oleh para ulama, hukum Islam diartikan sebagai firman (tuntunan) Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukallaf, dalam bentuk perintah, larangan, anjuran atau hubungan sesuatu dengan yang lain, yang untuk selanjutnya tuntunan-tuntunan tersebut diolah oleh para ulama sehingga akhirnya ada yang tetap dalam bentuk sifat syariat (tetap) atau fikih (dapat beruba). Lihat, Badri Kaheruman, Hukum Islam dalam
Perubahan Sosial, (Bandung, Pustaka Setia, 2010), hlm: 19-20.
10 Adnan Muhammad Amanah, al-Tajdi>d fi al-Fikr al-Isla>miy, ( Da>r Ibn Jauziy, tp, tt),
hlm, 18.
11 Ijtihad adakanya dilakukan secara individual, atau dilakukan secara kolektif. Ijtihad
kolektif merupakan proses penggalian hukum yang dilakukan oleh sekelompok pakar, baik pakar dalam satu bidang ilmu, seperti sekelompok ulama ushul fikih, atau pakar dari berbagai disipilin keilmuan, seperti gabungan beberapa ulama fikih dengan pakar ilmu lainnya seperti kedokteran, ekonomi, politik dan lain-lain. Model ijtihad kolektif dinilai lebih efektif dan tepat untuk diterapkan saat ini, menginggat semakin kopleksnya pranata sosial dan entitas
usaha untuk menghasilkan sebuah hukum dari sumbernya menjadi suatu keharusan, menggingat kompleksitas masalah yang dihadapi oleh umat manusia selalu beruba dan berganti sepanjang masa.
Di Indonesia, khususnya warga Nahdltul Ulama (NU) yang menjadi golongan organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, yang di dalamnya terdapat berbagai macam corak aliran pemikiran baik terkait dengan masalah social kemasyarakat, hak-hak kemanusian, gender dan lain sebagainya. Terkait dengan wacana penyegaran hukum Islam, sebagaimana dirumuskan oleh Ahamd Arifi terdapat tiga kelompok besar yang saling memperngaruhi;
Pertama, kelompok konservatif, mereka menerima apa yang telah dihasilkan oleh para ulama terdahulu berupa pendapat-pendapat yang terdokumentasikan dalam tulisan mereka (fikih) sebagai suatu kebenaran yang final. Warisan ulama klasik itu menjadi sumber solusi bagi problem-problem masyarakat masa kini, sehingga mereka tidak perlu lagi melakukan perubahan. Pemikiran-pemikiran ulama madzhab yang ada terbukti telah teruji oleh sejarah dan tetap eksis sampai sekarang. Konsekwensi pola bermadzhab mengharuskan mereka untuk mengikuti apa yang telah digariskan oleh ulama-ulama madzhab.
Kedua, kelompok moderat, mereka menerima pendapat ulama madzhab sebagai suatu kebenaran yang masih dapat digunakan sebagai solusi bagi problem-problem masyarakat masa kini, akan tetapi perlu dikontekstualisasikan dan disegarkan kembali dengan mengacu kepada kemaslahatan masyarakat.
Ketiga, kelompok progresif, mereka memandang pendapat ulama madzhab sebagai sesuatu yang sudah out of date (ketinggalan zaman) dan telah kehilangan konteksnya, sehingga tidak perlu lagi dijadikan sebagai rujukan untuk menjawab berbagai persoalan kekinian yang semakin kompleks. Mereka menghendaki perubahan secara radikal untuk membebaskan diri dari “ketergantungan” tradisi bermadzhab, mengingat fikih madzhab merupakan produk pemikiran manusia yang tidak memiliki sifat keabadian (relative kebenaranya) yang dipengaruhi dan dibatasi oleh ruang, waktu dan kondisi kultur masyarakat tertentu. Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah berijtihad sendiri berdasarkan kemaslahatan umat. 12
Dari tiga model pemikiran di atas, model pemikiran yang kedua kiranya lebih tepat untuk digunakan dalam kehidupan saat ini. Karena upaya mempertahankan yang lama-yang sudah usang dan tidak sesuai- serupa dengan upaya merekatkan
kehidupan umat manusia, serta sulitnya mencari ulama yang menguasai semua cabang ilmu yang berkaitan dengan persoalan kontemporer yang dihadapinya.
Di abad ini, ijtihad kolektif sudah terlembaga atau terbentuk suatu forum oleh institusi-institusi Islam terkemua, diantaranya: pertama, Majma’ al-Buhu>sts al-Isl>amiyyah yang berdiri pada tahun 1381 H./1961 M, bertempat di al-Azhar Mesir. Kedua, al-Majma’ al-Fiqhi yang diprakarsai oleh Liga Dunia Islam (Ra>bithah al-‘a>lam al-Isl>ami) yang berada di Makkah didirikan pada tahun 1398 H. Ketiga, naungan OKI (Organisasi Konferensi Islam) atau Munadzama>t al-Mu’tamar al-Isl>ami yang bersekretariat di Jeddah, berdiri setelah Mu’tamar al-Qi>mmah al-Islamiyyah pada tahun 1401 H./1981 M. Lihat, Sya’ban Muhammad Ismail, al-Ijtiha>d al-Jama>’i Daur al-Maja>m’i al-Fiqhiyyah fi Tathbi>qihi (Beirut: Da>r al-Basya>ir al-Isl>amiyyah, t.th.) hlm, 137.
12Ahmmad Arifi, Pergulatan Pemikiran Fiqih Tradisi Pola Mazhab, (Yogyakarta, eLSAQ
kembali daun-daun yang telah rapuh agar bertahan pada dahannya masing-masing atau mengecat daun-daun yang telah layu menguning dengan warna hijau agar terlihat segar, padahal tidak demikian itu hakikatnya. Semestinya, setiap daun yang telah tua dibiarkan rontok agar menucul daun baru yang lebih segar dan menarik. Dengan demikian, pohon tetap tumbuh subur, akarnya menghujam ke tanah, dan pucuknya menghasilkan buah tanpa terlepas dari akar-akarnya. Begitu pula mengabaikan dan melupakan apa yang telah oleh para ulama hasilkan dari hasil ijtihan dan teori-teori yang mereka susun, adalah seperti memutus mata rantai keilmuan, yang itu berarti memulai dari nol, dan ini bertentangan dengan sifat ilmu pengetahuan, bahkan menghambat kemajuannya.
Oleh karenanya model yang keduan itulah yang hendaknya tetap dijaga dan digunakan dalam rangka menggembangkan dan menyegarkan kembali hukum Islam agar dapat selalu menjawab berbagai problem dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam masa kini, baik dengan mengunakan pendekatan ijtiha>d intiqa>’i dan
insya>i.
Menurut Sa’id Ramadlan al-Buty ijtiha>d Intiqa>’i dilakukan oleh mujtahid kontemporer dengan cara mengadakan studi komparatif dan menyeleksi salah satu dari pendapat-pendapat ulama klasik yang terdapat pada warisan fikih Islam dengan mempertimbangkan pendapat yang paling kuat dari segi dalilnya, atau paling relevan dengan kondisi zamannya.13
Adapun ijtiha>d Insya>i adalah pengambilan kesimpulan baru dari suatu persoalan, dimana persoalan tersebut belum pernah dikemukakan ulama-ulama terdahulu, baik berupa persoalan lama maupun baru. Artinya, ijtihad Insya>i adalah mungkin meliputi sebagian persoalan lama, yang kemudian memunculkan pendapat baru dari seorang mujtahid kontemporer yang sebelumnya belum dinukil dari para ulama salaf.14
Oleh karena perlunya tajdid atau penyegaran dalam hukum Islam, baik dalam bentuk ijtihad intiqa>’i dan insya>i, maka al-Quran berulang-ulang menekankan perlunya berpikir, merenung, mengingat, mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu dan sebagainya.
c. Kesimpulan :
Dari penjabaran di atas, penyegaran hukum Islam merupakan suatu keharusan untuk menjawab beragmnya masalah yang ada dan terus berkembang sepanjang masa, dengan melakukan ijtiha>d infira>di (individu) atau ijtiha>d jama’>iy (kolektif). Penyegaran tersebut tentunnya harus dilakukan secara proposional oleh mereka yang berkompeten dalam bidang tersebut, dengan mengunakan kerangka umum yang ditetapkan oleh para ulama, baik dengan cara melakukan ijtiha>d jama>iy
/infira>di Intiqa>’iy atau ijtiha>d jama’>iy /infira>di Insya>i.
13Muhammad Sa’id Ramadlan al-Bu>ty, Qadla>ya Fiqhiyyah Mu’a>s{irah, (Damaskus:
Da>r Fara>bi lil ma’a>rif, 2009), hlm. 346, dan Yusuf Qardlwy, Ijtih>ad fi
al-Shari>’ah al-Isla>miyyah, (Kuwait: Da>r Qalam, 1996) hlm. 142-143. 14Yusuf al-Qardlwy, al-Ijtih>ad fi al-Shari>’ah al-Isla>miyyah, hlm. 157.
DAFTAR PUSTAKA:
Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal li Dirasa>t al-Shari>’ah al-Isla>miyah, (Lebanon, Muassasah Al-Risa>lah, 2003)
Adnan Muhammad Amanah, al-Tajdi>d fi al-Fikr al-Isla>miy, ( Da>r Ibn Jauziy, tp, tt).
Ahmad al-Raysuny dan Muhammad Jamal Barut, al-Ijtiha>d: al-Nas, al-Wa>qi’iy,
al-Mas{lahah, terj. Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdzar, (Jakarta: Erlangga,
2002)
Ahmad Satori Ismail, Fiqh Perempuan dan Feminism, dalam Mansour Fakih….. (et al.), Membincnagn Feminism; Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996)
Ahmmad Arifi, Pergulatan Pemikiran Fiqih Tradisi Pola Mazhab, (Yogyakarta, eLSAQ Press, 2010)
Ali Ahmad al-Nadwy, al-Qawa>id Fiqhiyyah Mafhu>muha>, Nashatuha>,
Tat{awwuruha>, Dira>sat Muallifatuha>, Adillatuha>, Muhimmathuha>, Tatbi>qatuha>, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1991).
Badri Kaheruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, (Bandung, Pustaka Setia, 2010)
Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam Dan Pranata Social, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004)
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Jilid 2, (Jakarta, Lentera Hati, 2011) Muhammad Sa’id Ramadlan al-Bu>ty, Qadla>ya Fiqhiyyah Mu’a>s{irah,
(Damaskus: Da>r al-Fara>bi lil ma’a>rif, 2009)
Soejono Soekonato, Sosiologi Suatu Pengantar, (Yogyakarta; Rajawali, 1986) Sya’ban Muhammad Ismail, al-Ijtiha>d al-Jama>’i Daur al-Maja>m’i al-Fiqhiyyah fi
Tathbi>qihi (Beirut: Da>r al-Basya>ir al-Isl>amiyyah, t.th.)
Yusuf al-Qardlwy, al-Ijtih>ad fi al-Shari>’ah al-Isla>miyyah, (Kuwait: Da>r Qalam, 1996)