• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA

Konflik di pedesaan Saparua sejak awal kemerdekaan bersumber pada sengketa batas tanah antar warga satu negeri dan batas tanah antar negeri. Konflik batas tanah menyebabkan kerugian harta benda milik pribadi bahkan korban jiwa. Konflik tersebut sering terjadi antar negeri dengan agama yang sama. Terjadinya konflik di kota Ambon tahun 1999, menyebabkan arus migrasi kembali ke daerah asal mengikuti aliran migrasi untuk mencari pekerjaan dan melanjutkan pendidikan ke luar Saparua. Arus migrasi sekaligus menjadi sumber penyebaran informasi yang membentuk persepsi kelompok di aras negeri. Persepsi tersebut semakin menguat melalui dakwah elit masing-masing agama yang cenderung tidak menerima kehidupan keberagaman. Ternyata kemudian elit adat turut mendukung elit Agama, sehingga ikatan kekerabatan seperti pela dan gandong tidak berfungsi semestinya. Justru ikatan agama semakin menguat dan membentuk simpul-simpul di aras negeri yang seagama. Sehingga konflik terjadi di pedesaan Saparua yang melibatkan komunitas Salam dan Sarani. Proses terjadinya penyerangan terhadap tiga negeri yaitu Iha, Sirisori Sarani dan Pia melibatkan negeri-negeri seagama di Saparua. Bantuan masing-masing komunitas juga diberikan dalam bentuk bantuan tenaga dan bahan makanan. Bantuan tersebut selain berasal dari negeri-negeri di Saparua juga dari kerabat di Maluku dan di luar Maluku.

5.1. Keberadaan Konflik di Saparua

Sampai dengan pertengahan 1980-an sering terjadi perkelahian fisik antarnegeri berdekatan, yang melibatkan hampir seluruh penduduk di Pulau Saparua, Hal ini menyebabkan banyak korban berjatuhan, baik jiwa maupun harta benda. Orang mengalami penderitaan secara fisik dalam bentuk pingsan dan kematian, serta banyak harta benda menjadi rusak dan musnah. Perkelahian yang merupakan perilaku kekerasan terhadap orang dan harta benda, jelas dilarang karena tergolong perbuatan kejahatan kekerasan.

Perkelahian antarpenduduk negeri merupakan fenomena yang tidak asing lagi bagi mereka. Komunitas negeri yang saling berkelahi sudah bermusuhan sejak dahulu kala, saat mereka masih tinggal di negeri lama. Proses turun ke pesisir pantai yang dilakukan oleh penduduk dan struktur masyarakat yang kemudian dinamakan negeri sejak abad ke-17 saat VOC, dengan maksud mengamankan sistem monopoli perdagangan yang diterapkan mulai mencampuri kehidupan penduduk. Dalam kasus

(2)

tertentu pada pertengahan abad ke-17, sebagian besar penduduk negeri lama dipaksa pindah ke pesisir oleh penguasa-penguasa kolonial untuk memudahkan pengawasan dan mencegah perdagangan gelap dengan orang-orang Eropa lain, Bugis, dan sebagainya (Cooley, 1962).

Saat itu sering terjadi perang antar suku, antar keluarga, dan antar negeri untuk merebut kekuasaan dan wilayah. Pemerintah Kompeni (VOC) berusaha bertindak sebagai juru damai, tetapi tidak selalu membawa hasil. Politik yang dijalankan pemerintah kompeni malah memperkuat permasalahan di antara mereka, di samping memperlemah pusat-pusat perlawanan yang potensial. Perkelahian dapat saja berhenti, tetapi tidak demikian halnya dengan dendam permusuhan. Ada semacam janji atau sumpah bersifat sakral yang tetap dipegang teguh dan bermakna sampai dunia kiamat pun mereka tidak akan saling berdamai. Misalnya ada sumpah bahwa, “selama dunia masih ada, negeri Ullath tetap bermusuhan dengan negeri Sirisori, kecuali rumput rutu-rutu sudah tinggi ke langit dan ujungnya sapu awan, di sinilah baru ada perdamaian. Sumpah dan janji inilah yang merupakan salah satu falsafah budaya bersifat negatif yang membentuk karakter kekerasan seseorang. Karakter ini sering menjadi sumber rangsangan untuk melakukan tindakan kekerasan.

Penduduk Pulau Saparua mempunyai kultur yang homogen dengan sedikit variasi menurut agama yang dianut masing-masing penduduk. Sebelum “disuruh” pemerintah Belanda untuk menetap di pesisir pantai, mereka berdiam di lereng gunung. Saat mereka tinggal di negeri lama ini dan sewaktu dipindahkan ke pesisir pantai sering terjadi perkelahian antarkelompok, untuk memperebutkan tempat tinggal yang tetap atau untuk menetapkan batas territorial mereka. Bila ada kelompok lain yang ingin memperoleh sebagian atau memasuki territorial mereka, maka perkelahian pun tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan adanya hak-hak yang melekat pada daerah-daerah teritorial tersebut. Di atas tanah yang merupakan unsur keterikatan masyarakat adat, selain merupakan sumber kehidupan, juga tersimpan benda-benda suci milik mereka. Benda-benda ini memiliki nilai-nilai tertentu bagi mereka, sehingga gangguan terhadap benda-benda tersebut mengakibatkan gangguan terhadap struktur sosial genealogis masyarakat.

Sesudah mereka menempati daerah pesisir yang dinamakan negeri, maka tempat mereka semula (di pegunungan) dijadikan tanah usaha yang ditanami tanaman keras seperti cengkeh, pala, kenari, sagu dan sebagainya. Hasil tanaman dijadikan sumber penghidupan bagi mereka. Pemilikan tanah-tanah ini berdasarkan sistem

(3)

kekerabatan patrilineal yang berasal dari satu keluarga inti, yang kemudian beranak pinak. Tanah yang diusahakan secara turun temurun ini kemudian dinamakan tanah dati yang di atasnya berlaku hukum adat. Selain itu ada dusun perusahaan, yakni tanah yang diusahakan sendiri-sendiri oleh masing-masing keluarga.

Umumnya jarak antara pemukiman dan batas kedua desa yang bersengketa hanya dipisahkan oleh jalan raya sepanjang kurang lebih lima meter. Malahan sebagian pemukiman penduduk sebuah negeri, saling mengelilingi satu dengan yang lain. Tanah garapan atau dusun mereka saling bersilang. Misalnya, penduduk negeri Noloth bila hendak ke tanah usaha atau tanah garapan, harus melewati tanah-tanah garapan negeri Itawaka. Keadaan negeri-negeri yang demikian berdekatan, menyebabkan banyak rumah yang terbakar dan korban berjatuhan jika sengketa berubah menjadi konflik terbuka.

Menurut data yang terkumpul tentang sengketa antar negeri di Saparua yang berkembang menjadi konflik terbuka, terjadi antara penduduk negeri Ouw dengan negeri Ulath sebanyak enam kali sejak 1918. Kemudian terjadi lagi pada 1948, 1958, 1964, 1973 dan terakhir 1975. Konflik pada tahun 1973 mengakibatkan kerugian di pihak negeri Ouw dengan 60 rumah penduduk terbakar. Kerugian pihak lawan pada tahun 1975 yaitu, desa Ulath dengan 146 rumah terbakar selain korban jiwa, luka ringan dan luka parah. Konflik antara penduduk negeri Haria dengan penduduk negeri Porto yang menimbulkan kerugian, paling banyak terjadi pada tahun 1957, 1977, 1983 dan terakhir tahun 2002. Konflik antara penduduk negeri Itawaka dan negeri Noloth terjadi pada tahun 1957, 1967, 1970, 1982 dan terakhir 2001. Demikian pula antara Ihamahu dengan Noloth maupun Ihamahu dengan Mahu. Konflik ini juga mengakibatkan puluhan rumah terbakar, selain korban jiwa dan luka-luka.

Bahkan di akhir tahun 2006, kembali terjadi konflik bernuansa agraria antara negeri Itawaka dan negeri Ihamahu. Konflik tersebut muncul sebagai akibat, perselisihan batas antara masing-masing negeri teristimewa menyakut kepemilikan sumber air. Konflik dimaksud menyebabkan terjadinya penebangan dan pembakaran pohon cengkeh milik masyarakat Ihamahu sebanyak 500 pohon. Hal ini mengakibatkan hubungan antara kedua negeri menjadi tegang, namun kemudian pihak Muspida Kecamatan Saparua bersama-sama Latupati Saparua serta Pimpinan Gereja telah berupaya menyelesaikan masalah tersebut, namun sampai saat ini belum terselesaikan dengan baik akibat proses penegakan hukum terhadap pelaku-pelaku pembakaran belum juga dilaksanakan. Hal tersebut menunjukkan rentannya masyarakat untuk

(4)

berkonflik pada dasarnya akibat tidak jelasnya batas-batas antar negeri, atau dapat dikatakan sebagai konflik yang berbasis sumber-sumber agraria (agrarian based of conflict).

Konflik bernuansa agama muncul setelah pecah konflik Ambon tahun 1999. Konflik tersebut pada tahun 2000 diikuti dengan bergejolaknya Saparua melalui konflik terbuka antara negeri-negeri Salam dengan negeri-negeri Sarani. Menurut Kinseng (2007) berdasarkan pihak (aktor) yang berkonflik itu sendiri, maka konflik agama merupakan konflik yang terjadi antara dua atau lebih agama yang berbeda, seperti antara Islam dan Kristen atau Islam dan Hindu, misalnya.

Konflik yang terjadi melibatkan semua negeri bahkan warga Saparua yang ada di perantauan (khususnya Kepulauan Lease dan Seram). Nuansa agama yang muncul saat konflik menyebabkan Pulau Saparua terbelah menjadi dua yaitu negeri Sarani dan negeri Salam. Konflik di Saparua sendiri menyisakan tiga titik noda yaitu negeri Iha (Salam) di Jazirah Hatawano, negeri Sirisori (Sarani) di Jazirah Tenggara dan negeri Pia (Sarani) di Jazirah Pia-Kulor. Ketiga negeri tersebut diserang sehingga mengungsi ke berbagai tempat. Khususnya penduduk Iha, sampai saat penelitian dilakukan masih mendiami lokasi pengungsian di Negeri Liang (Pulau Ambon) dan negeri Sepa (Pulau Seram).

Sejak masa kemerdekaan persoalan agraria menjadi inti dalam fenomena konflik di Saparua (tabel 6). Tidak jelasnya batas tanah antar warga satu negeri, bahkan antar negeri yang berbatasan sering menjadi awal pecahnya konflik antar negeri. Persoalan agraria tidak terselesaikan secara baik karena, masing-masing negeri berpegang pada pengetahuan tata batas yang dimilikinya. Rujukan pada peta yang dikeluarkan sejak masa penjajahan Belanda, biasanya menjadi acuan penentuan batas antar warga maupun antar Negeri. Proses penyelesaian secara hukum yang memakan waktu lama dan berkepanjangan, menyebabkan persoalan tersebut merebak menjadi konflik terbuka antar warga satu negeri maupun antar negeri. Bahkan dalam situasi konflik bernuansa agama, konflik batas tanah antar negeri yang seagama masih berlangsung seperti antara negeri Porto dan Haria, antara negeri Itawaka dan Ihamahu, serta negeri Ulath dan Ouw.

(5)

Tabel 6. Historis Keberadaan Konflik di Saparua

No Basis Konflik Ciri-Ciri Keterangan

1 Ketertindasan Masyarakat bekerja paksa tanpa upah, menimbulkan kemarahan dan akhirnya pemberontakan

Masa VOC (1600-1945) 2 Agraria (batas

negeri)

Tidak ada batas yang jelas antar negeri, biasanya berpatokan pada peta tanah dari jaman Belanda, tidak ada lembaga khusus yang menanganinya secara tuntas, akhirnya terjadi konflik antar negeri yang masih mengandalkan kekuatan spiritualitas, korban harta benda

Masa Orde Lama (1945-1965)

3 Agraria (batas negeri dan batas tanah antar warga satu negeri)

Persaingan dalam menguasai tanah, pemerintah tidak mampu mengatur permasalahan tanah yang didasarkan pada adat, akhirnya terjadi konflik antar warga satu negeri juga antar negeri dimana kekuatan spiritual mulai memudar dan hanya bergantung pada senjata peralatan perang, pembakaran rumah, mulai ada korban jiwa selain harta benda

Masa Orde Baru (1966-1998)

4 Agama Masyarakat Pulau Saparua terbagi

menjadi dua yaitu Salam dan Sarani, imbas dari pesatnya penyebaran isu yang menyesatkan, menggunakan senjata api rakitan dan standar, tiga negeri dihancurkan termasuk pula beberapa bagian dari lahan usaha, korban jiwa bertambah terlebih korban harta benda, mengungsi ke luar negeri

Masa Reformasi (1999-2004)

Sumber : Data Hasil Penelitian (Diolah) Tahun 2006

5.1.1. Kilas Balilk Konflik Iha : titik api di Jazirah Hatawano

Gandong Iha – Ihamahu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyerangan oleh Negeri-negeri Sarani di Pulau Saparua ke Negeri Salam - Iha dilakukan sebanyak lima kali. Alasan penyerangan yaitu untuk memecahkan perhatian pihak Salam, sehingga rencana penyerangan pihak Salam ke dua negeri Sarani yaitu Sirisori Sarani dan Pia dapat dihindari. Jika diperoleh informasi akan ada penyerangan ke Sirisori Sarani maupun Pia, maka pihak Sarani melakukan serangan gangguan ke Iha. Saat penyerangan pertama dan kedua ke negeri Iha, negeri Ihamahu sebagai “gandong” negeri Iha tidak ikut terlibat karena kuatnya “ikatan gandong” dalam kehidupan masyarakat Ihamahu. Penyerangan dimaksud selalu megalami kegagalan mengingat, secara keyakinan adat-istiadat yang mengaitkan keberadaan Kerajaan Iha sebagai

(6)

asal-usul Negeri Iha dan Negeri Ihamahu maka sulit untuk masuk ke Negeri Iha tanpa dukungan Negeri Ihamahu. Selain itu, kelompok penyerang yang berasal dari Negeri-negeri sekitar Ihamahu (seperti Itawaka, Noloth, Tuhaha dan Mahu) tidak mengetahui dengan jelas situasi dan kondisi Negeri Iha.

Saat mendengar akan ada serangan dari pihak Salam ke Sirisori Sarani secara besar-besaran, maka negeri Ihamahu turut terlibat mengatur serangan ke Iha. Tujuan penyerangan saat itu untuk mengganggu kondisi negeri Iha, sehingga kelompok Salam yang berencana melakukan penyerangan ke Sirisori Sarani akan terpecah perhatiannya. Adanya penyerangan menyebabkan kelompok Salam harus membagi kekuatan dengan membantu dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya penyerangan ke negeri Iha. Kekuatan penuh pihak Salam yang semula diarahkan ke Sirisori Sarani, dengan sendirinya terbagi untuk membantu Iha sehingga kemungkinan penyerangan dan penghancuran Sirisori Sarani dapat dihindari. Hal demikian mendasari keterlibatan negeri Ihamahu dalam mengatur serangan dengan tujuan memecahkan perhatian kelompok Salam, bukan untuk membakar dan menghancurnya “gandong”-nya negeri Iha.

Keterlibatan negeri Ihamahu diputuskan juga dalam rapat negeri antara pimpinan negeri dengan Majelis Gereja Protestan Ihamahu. Rapat menghasilkan kesepakatan untuk melakukan pendekatan gandong dengan tokoh-tokoh adat di negeri Iha. Pendekatan dengan Raja Iha bertujuan agar segera mengirimkan utusan-utusannya ke negeri-negeri di jazirah Hatawano pada khususnya maupun Saparua pada umumnya. Langkah tersebut diikuti pula dengan desakan agar negeri Iha tidak menerima adanya masukan orang-orang dari Iha, sehingga situasi dan kondisi aman di jazirah Hatawano dapat dipertahankan. Selain itu, masuknya “orang asing” ke Iha akan mempengaruhi cara pandang bahkan juga dapat menimbulkan pikiran-pikiran yang mengarah pada perpecahan antara saudara sekandung.

Tokoh pemuda Negri Ihamahu (AL) menjelaskan bahwa :

sebelum terjadi penyerangan ke negeri Iha, maka pendekatan oleh Raja dan Tokoh Agama dari Ihamahu ditolak Raja Iha, dengan alasan bahwa konflik yang terjadi merupakan konflik agama, sehingga tidak mungkin ada persatuan lagi antara Iha dan Ihamahu yang berbeda agama walau pun memiliki “ikatan gandong”, apalagi dengan negeri-negeri lainnya.

Keputusan ini sangat dilandasi oleh turut campurnya pihak di luar keturunan Iha yang asli (bukan keturunan Iha, atau hasil perkawin campuran antara perempuan Iha dengan laki-laki dari negeri lain, atau kelompok Jihad yang sudah masuk dan menetap

(7)

dalam Iha), sehingga tidak ada lagi pemikiran untuk mempertahankan adat-istiadat dan berganti dengan pemikiran yang mengarah ke perbedaan akibat adanya perbedaan agama. Informasi yang berkembang di Ihamahu meyakinkan bahwa, di Iha saat itu sudah masuk begitu banyak pasukan Jihad selain pasukan militer yang ditempatkan secara resmi. Selain itu, di kedua ujung negeri Iha baik yang berbatasan dengan Negeri Noloth maupun yang berbatasan dengan Negeri Ihamahu terdapat masing-masing satu regu Brimob BKO (Laporan Klasis Gereja Protestan Maluku Pulau Saparua). Sementara pihak TNI (khususnya AD) ditempatkan di tengah-tengah negeri Iha. Masuknya orang luar ke dalam Iha, sangat mungkin dilakukan dengan menggunakan speedboat yang sering masuk dan ke luar Iha seminggu tiga kali.

AL juga menjelaskan krologis penghancuran Negeri Iha sebagai berikut :

Saat anak negeri Ihamahu yang berada di depan berhasil masuk sampai ke tengah-tengah negeri Iha, bahkan sampai ke Mesjid yang juga merupakan hasil karya dari anak-anak negeri Ihamahu sekaligus sebagai bukti nyata adanya ikatan segandong antara Iha-Ihamahu dan ikatan pela dengan Amahai, maka saat itu pula terndengar suara gemuruh seperti sekumpulan orang yang berada dalam kondisi ketakutan. Ternyata sebagian besar masyarakat Iha telah terperangkap dalam Mesjid, sementara pasukan bantuan yang tadinya hendak membantu justru telah melarikan diri dan mencari penyelamatan ke kapal perang TNI-AL yang sejak pagi berlabuh di pesisir pantai Jazirah Hatawano. Untung saja bukan warga negeri lain yang sampai duluan ke depan Mesjid, sebab kalau mereka yang sampai duluan maka tidak dapat dihindarkan lagi akan terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat Iha yang sudah terkurung dalam Mesjid.

Merujuk pada kondisi demikian maka, warga Ihamahu mengatur strategi dengan cara memberikan informasi kepada kelompok Sarani yang berasal dari negeri-negeri di luar Ihamahu bahwa masih ada “sniper (penembak jitu)”, sehingga hati-hati untuk masuk ke dalam Mesjid. Warga Ihamahu menambahkan pula mereka harus menunggu aba-aba dari pihak Ihamahu, jika situasi dan kondisi sudah jelas aman maka mereka segera masuk ke dalam mesjid Iha. Selain itu, pihak Ihamahu juga berupaya menahan masuknya kelompok Sarani (negeri lain di luar Ihamahu) dengan melemparkan bom ke halaman mesjid, sehingga mereka takut untuk masuk ke dalam Mesjid.

Strategi demikian menyebabkan semua masyarakat Iha (laki-laki maupun perempuan, serta dewasa maupun anak-anak) yang tadinya terkurung di dalam Mesjid, berhasil meloloskan diri dengan melompati jendela mesjid yang mengarah ke pantai. Setelah itu mereka kemudian menyelamatkan diri melalui perahu karet ke kapal perang TNI-AL yang berlabuh di pantai. Upaya ini didukung pula dengan tembakan dari kapal

(8)

perang yang diarahkan ke pesisir pantai negeri Ihamahu, Itawaka dan Noloth. Penembakan ini dilakukan untuk menghindari adanya penyerbuan dari kelompok Sarani ke arah pesisir Iha karena banyak warga Iha sedang menunggu perahu karet untuk menyelamatkan diri ke kapal perang.

Keadaan itu terjadi pada tanggal 22 September 2000, tepatnya pukul delapan malam. Adapun orang Iha terakhir yang meninggalkan mesjid adalah penabuh beduq, dimana sebelum meninggalkan mesjid masih sempat memukul beduq sebagai tanda bahwa negeri mereka telah jatuh. Selain itu, di antara masyarakat Iha masih tertinggal seorang nenek yang memang tidak mampu lagi menyelamatkan diri. Nenek ini kemudian oleh Raja Ihamahu segera diamankan di pastori Gereja Ihamahu, kemudian keesokan harinya dibawa ke Polsek Saparua untuk diungsikan ke Tulehu (Pulau Ambon) karena semua masyarakat Iha telah mengungsi ke negeri Tulehu (Laporan Krisis Centre Gereja Protestan Maluku dan Keuskupan Amboina).

Hal itu membuktikan bahwa sebenarnya tidak ada keinginan untuk melakukan penyerangan ke negeri Iha, apalagi sampai membakar rumah-rumah dan mesjid yang juga merupakan buah tangan warga Ihamahu. Namun situasi dan kondisi sangatlah tidak memungkinkan, juga ditunjang oleh keras kepalanya Raja Iha yang tidak mau menolak masuknya orang “luar Iha” ke dalam negerinya serta tidak mau menyepakati hal tersebut dengan Raja-raja di jazirah Hatawano dan Saparua pada umumnya. Sehingga saat semua masyarakat Iha telah meninggalkan negeri maka, warga negeri di luar Ihamahu mulai melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk serta akhirnya melakukan pembakaran terhadap Mesjid Iha.

Warga Iha sendiri banyak yang kecewa dengan saudara “gandong”-nya Ihamahu, karena menganggap bahwa sebagai saudara sekandung seharusnya orang Ihamahu mempertahankan Iha sekaligus melawan para penyerang yang hendak menghancurkan Iha. Ada juga warga Iha yang beranggapan bahwa, masuknya kelompok Jihad ke dalam Iha tidak dapat dipungkiri sebagai bagian dari upaya menghancurkan ikatan “gandong” antara Iha-Ihamahu. Namun, kenyataan demikianlah yang harus diterima bahwasannya ketahanan masyarakat dalam menghadapi situasi demikian tidak cukup kuat, sehingga dengan mudah dapat dipakai sebagai dasar untuk menggerakkan dan mengarahkan munculnya konflik yang salah satu akibatnya yakni kehancuran negeri Iha.

Kesadaran akan kerugian yang diderita akibat konflik, kemudian memunculkan semangat untuk memperkuat kembali ikatan kekerabatan antara Iha-Ihamahu. Oleh

(9)

karena itu dapat dikatakan bahwa, ikatan kekerabatan tersebut hanya luntur sesaat yakni saat konflik mencapai puncaknya di Saparua melalui penyerangan dan penghancuran harta benda bahkan nyawa pihak musuh. Fakta menunjukkan bahwa, setelah konflik dan situasi semakin kondusif ternyata ikatan kekerabatan tersebut muncul kembali. Sebagaimana dijelaskan informan negeri Ihamahu berikut ini :

Sekali waktu masyarakat Ihamahu diundang oleh “pela” negeri Amahai untuk mengerjakan perbaikan Gereja Amahai. Saat itu sempat terjadi pertemuan dengan saudara gandung Iha yang untuk sementara mengungsi di negeri Souhoku (tetangga negeri Amahai). Saat bertemu ada yang diundang ke rumah pengungsian mereka dan disuguhi makan dan minum. Sebagai saudara segandong walau pun masih ada keraguan, karena saat itu situasi belum aman seperti sekarang ini, namun mengingat ikatan kekerabatan maka beberapa anak negeri Ihamahu berketetapan untuk pergi mengunjungi mereka.

Saat itu terlihat bahwa mereka benar-benar mengalami kesulitan hidup, walau pun tetap berusaha memenuhi kebetuhan hidup dengan bertanam ubikayu dan keladi, serta mencari ikan, namun mereka belum memiliki tempat tinggal yang tetap atau masih menumpang di rumah saudara mereka di negeri Souhoku. Mereka ini merupakan bagian dari orang Iha yang mengungsi ke Sepa (sekitar 25 km dari Masohi – ibukota Kabupaten Maluku Tengah), kemudian mencari tempat tinggal lebih dekat ke kota Masohi agar memudahkan dalam berusaha untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga.

Kunjungan tersebut berlangsung selama tiga jam sampai hari sudah gelap. Saat akan pulang, orang Iha mengantar warga Ihamahu kembali ke Amahai dengan janji bahwa besok hari pagi-pagi orang Iha akan kembali untuk memberikan ikan hasil tangkapan mereka sebagi buah tangan uintuk dibawa pulang ke Ihamahu. Ternyata keesokan harinya mereka menepati janji, yaitu sekitar jam 5.30 pagi mereka telah menunggu di pelabuhan speedboat Namano (negeri Amahai) untuk memberikan sekantung plastk ikan komu (tuna kecil).

Warga Iha sendiri pernah kembali ke Saparua untuk melihat kondisi negeri mereka setelah hancur bersama-sama dengan penjabat Gubernur Maluku (Sinyo Sarundajang), namun mereka belum berani mengambil keputusan untuk kembali. Ada juga yang berjualan parang sampai ke Saparua. Sehingga sebagian besar masyarakat Iha yang berpendapat bahwa, tidak usah dipaksakan dan biarlah semuanya berjalan dari masyarakat bawah secara perlahan-lahan sehingga pada waktunya dipastikan warga Iha kembali ke Saparua. Saat “panas-gandong” (Ihamahu-Iha yang dibuat oleh negeri Ihamahu), negeri Iha di pengungsian (Liang – Pulau Ambon) mengutus enam orang warganya ke Ihamahu untuk menghadiri acara dimaksud selama dua hari. Justru masyarakat Iha yang mengungsi ke Sepa (Pulau seram) tidak mengirimkan utusan sama sekali.

Selain itu, saat memasuki bulan puasa masyarakat Iha yang telah mengungsi ke Liang (Pulau Ambon) menyempatkan diri untuk membersihkan kuburan orangtua dan

(10)

saudara mereka di Iha. Selain berkunjung ke saudara “gandong” di negeri Ihamahu, mereka sempat pula mengunjungi negeri-negeri tetangga seperti Noloth dan Itawaka. Mengingat sebelum kerusuhan antara negeri Iha dan Noloth maupun negeri Iha dengan Itawaka, hidup bersama secara damai terutama saat memetik cengkeh maupun mencari ikan.

Pertautan Negeri Itawaka dan Noloth dalam Konflik dengan Negeri Iha. Sebelum konflik terjadi di pedesaan Saparua tidak pernah ada permasalahan antara negeri Itawaka dengan Negeri Iha. Bahkan Itawaka selalu terlibat dalam pembangunan dan renovasi mesjid Iha. Itawaka pernah bermasalah dengan Noloth sehingga rumah-rumah warga Itawaka di perbatasan Noloth terbakar. Bahkan saat konflik tahun 1966 “baeleo (rumah adat)” Itawaka turut terbakar. Hal itu terjadi akibat permasalahan anak muda dan juga karena masalah batas tanah (konflik agraria). Walaupun demikian warga Itawaka juga berhasil membakar rumah-rumah Noloth yang saling berbatasan. Saat Noloth melakukan penyerangan, masyarakat Itawaka tidak mengetahuinya sehingga tidak mempersiapkan diri. Oleh karena itu, banyak rumah yang terbakar bahkan ada warga Itawaka yang meninggal.

Fakta tersebut merupakan kilas balik bahwasannya, setelah masa kolonial Belanda konflik yang sering terjadi sebenarnya bukan antara negeri yang berbeda Agama. Hal ini mengarahkan bahwa, agama bulanlah sumber utama konflik. Dengan kata lain, perbedaan Agama tidak menjadi dasar bagi munculnya konflik di Saparua. Namun kemudian penyebaran konflik bernuansa agama yang bermula dari Ambon, ternyata cukup mampu merubah pengalaman sejarah negeri-negeri di Saparua (yang tidak pernah ada konflik bernuansa agama) sampai kemudian memunculkan konflik agama yang berkepanjangan.

Kenyataan demikian menunjukkan kematangan masyarakat belum cukup kuat untuk menghadapi proses pematangan konflik melalui isu-isu maupun situasi yang memicu emosi dan dendam antara negeri yang berbeda agama di Saparua. Misalnya, ada informasi bahwa warga beragama tertentu dari salah satu negeri di Saparua meninggal sehingga harus melakukan pembalasan terhadap warga beragama lain di Saparua. Oleh karena itu, konflik di Saparua begitu mudah pecah namun proses penyelesaiannya juga berlangsung secara alami tanpa pengaturan dari pihak mana pun. Hal ini disebabkan oleh kesamaan adat istiadat antara negeri-negeri di Saparua, sehingga ikatan adat-istiadat antara negeri berbeda agama kemudian tumbuh kembali.

(11)

Berawal dari masyarakat tingkat bawah kemudian ditularkan ke masyarakat lainnya, sampai kemudian mengarah ke proses perdamaian antara seluruh negeri di Saparua.

Sebagai gambaran dijelaskan informan dari Itawaka bahwa, setelah Iha hancur pernah sehari sebelum Lebaran warga Iha datang untuk membersihkan kuburan keluarga mereka. Saat itu warga Itawaka turut membantu membersihkan Iha yang diatur oleh badan pemerintahan masing-masing negeri.

Memang saat konflik makin memanas masyarakat Itawaka turut merasakan kesulitan melakukan perjalanan darat ke kota Saparua. Saat itu warga Itawaka harus turun dari mobil dan berjalan kaki sepanjang Negeri Iha hingga sampai perbatasan dengan Negeri Ihamahu. Hal itu terjadi karena kelompok Jihad telah masuk dan mengusai serta mengatur Iha. Padahal semua warga Iha saling kenal dengan masyarakat Itawaka, karena jumlahnya sedikit. Selain itu ada hal yang menyulut emosi masyarakat Itawaka karena, jika melintasi pesisir pantai Ntegeri Iha menggunaan speedboat maka mereka diejek dan ditertawakan oleh warga Iha yang tidak dikenal (orang luar Iha). Warga luar Iha kemudian melakukan penembakan terhadap warga Ihamahu, Noloth dan Itawaka. Sehingga jika warga Itawaka tidak turut mendukung upaya menjatuhkan Iha maka dapat dipastikan Negeri-negeri Ihamahu, Noloth dan Itawaka yang terletak di ujung Hatawano yang akan hancur (Laporan Gereja Protestan Maluku Klasis Saparua)..

Warga Itawaka turut membantu dalam penyerangan dan pengahancuran Iha, bahkan penyerangan tersebut didukung pula oleh negeri-negeri Sarani lain di Saparua. Saat itu kelompok Salam yang berkedudukan di negeri Iha mulai memulai penyerangan dan pembakaran tujuh rumah warga Noloth. Serangan balasan pihak Sarani menyebabkan kelompok Salam yang berencana membantu Negeri Iha tidak semuanya berhasil masuk ke Iha. Kelompok yang tidak sempat masuk ke Iha kemudian menyerang Dusun Pia. Serangan tersebut diikuti dengan penghancuran dusun Pia sampai warganya mengungsi ke kota Saparua.

Saat Noloth terbakar pada tanggal 22 September 2000, Raja Noloth datang kepada Raja Itawaka untuk meminta bantuan warga Itawaka. Raja Itawaka masih berpikir untuk membantu, karena jika merujuk pada keturunan Kerajaan Iha maka warga Itawaka merupakan “adik”, sehingga tidak mudah bagi Itawaka untuk membantu penyerangan menghancurkan Iha hanya karena berbeda kepercayaan. Pendeta Noloth juga datang mengungkapkan hal yang sama kepada Raja Itawaka. Akhirnya Raja Itawaka masuk untuk berdoa yang kemudian bersama seorang warganya mulai

(12)

melakukan persiapan bantuan walaupun masih ada perbantahan dalam diri. Saat Raja Itawaka sampai di Negeri Noloth, ternyata warga Iha telah menyerang dan membakar tujuh rumah warga Noloth.

Saat itu masyarakat Itawaka mulai bersiaga, khususnya di negeri Ihamahu. Serangan dari arah Ihamahu selain memperkuat pertahanan juga untuk memecah perhatian kelompok penyerang agar tidak terkonsentrasi ke arah negeri Noloth. Raja Itawaka sebagai pimpinan negeri mengkoordinir masyarakat yang masuk angkatan kerja untuk membantu menjaga negeri Ihamahu. Raja sendiri masuk ke negeri Ihamahu dan bertemu dengan satu regu brimob yang bertugas di Ihamahu. Ada juga satu regu Brimob yang bertugas di Noloth, dan dua regu Brimob yang ditempatkan dalam negeri Iha. Selain itu dalam negeri Iha juga ada TNI yang ditugaskan resmi dari Kodim Maluku Tengah (Batalyon XXX). Mereka dilengkapi dengan senjata otomatis standart, sementara pihak Sarani hanya memiliki lima sampai delapan pucuk senjata standart serta selebihnya senjata rakitan dan dukungan moral yang kuat untuk membantu menjaga keamanan negeri Ihamahu. Menurut AL :

Penyerangan dari arah Negeri Ihamahu turut dibantu anggota Polsek Saparua yang Sarani, serta ditunjang dengan strategi perang yang dimiliki Raja Itawaka sebagai pensiunan Polri. Saat itu bom berjatuhan bersamaan dengan penembakan dari kapal perang TNI-AL yang berlabuh di pesisir pantai jazirah Hatawano, sehingga pihak Sarani lebih banyak mundur terutama di perbatasan negeri Noloth, sehingga tujuh rumah dapat dibom dan dibakar oleh kelompok penyerang. Sepertinya sudah ada kerjasama antara mereka yang ada di dalam Iha dengan kapal perang, sehingga penembakan dan pengeboman dapat dilakukan secara bersamaan.

Raja Ihamahu dan Raja Itawaka berpendapat langkah yang diambil warga Itawaka sudah tepat, karena kalau tidak melakukan penyerangan dan penghancuran negeri Iha maka dikhawatirkan Negeri-negeri Sarani di Jazirah Hatawano dapat dihancurkan. Tepat jam tujuh malam serangan balik oleh kelompok Sarani ke negeri Iha mulai dilakukan, sampai kemudian jam delapan malam negeri Iha berhasil dijatuhkan. Sebagian warga Iha kemudian naik perahu karet dan sebagian lagi berenang ke kapal perang TNI-AL untuk selanjutnya diungsikan ke Tulehu (Pulau Ambon). Setelah penyerangan warga Sarani menemukan dua jenasah yang kemudian dikuburkan, yaitu seorang Iha dan seorang lagi yang tidak diketahui identitasnya. Menurut Laporan Klasis GPM Pulau Saparua (2002), jika dilihat dari bentuk wajah serta warna kulit sepertinya jenazah tersebut bukan warga etnis Maluku. Sehingga mereka mensinyalir sebagai aparat TNI atau “kelompok Jihad” dari luar negeri Iha. Selain itu ditemukan pula jenasah

(13)

yang dibuang dalam sumur, kemudian ada juga sekeluarga warga Iha yang dibantai karena tidak mau mengikuti perintah untuk berperang dengan gandongnya negeri Ihamahu.

Selama penyerangan terhadap negeri Iha, tidak ada bantuan makanan yang diberikan karena sudah menjadi kebiasaan saat konfllik, negeri yang menerima bantuan harus menanggung kebutuhan makanan kelompok yang membantu. Oleh karena itu kebutuhan makanan kelompok yang membantu menjadi beban warga Ihamahu. Khusus untuk kelompok bantuan dari negeri sekitar Ihamahu seperti Itawaka dan Noloth, maka saat waktu makan mereka pulang ke negerinya masing-masing kemudian kembali lagi untuk berjaga di Ihamahu. Sebagian besar warga yang membantu lebih memilih untuk makan di Ihamahu sehingga tidak membuang waktu. Biasanya kelompok warga Itawaka yang masuk dalam kelompok pemberi bantuan berjumlah 30 orang. Kelompok ini masuk ke Ihamahu melalui belakang Iha, dengan penuh kehati-hatian karena telah ditempatkan ranjau berupa benda tajam. Demikian pula biasanya AL dan dua orang temannya mempersiapkan 30 orang jika diminta bantuan ke Ulath maupun Sirisori Sarani.

Setelah Iha mengungsi Raja Itawaka pernah beberapa kali berkunjung ke Tulehu untuk bertemu dengan masyarakat Iha. Bahkan bersama-sama dengan raja-raja Saparua lainnya yang tergabung dalam Latupati, berupaya untuk membujuk masyarakat Iha agar kembali. Masyarakat Iha berpendapat belum waktunya dengan alasan yang tidak diungkapkan. Kelihatannya warga Iha yang mengungsi di Liang berpeluang besar untuk kembali ke negerinya di Hatawano (Saparua). Sebaliknya warga Iha yang mengungsi ke Sepa (Pulau Seram) sulit untuk kembali ke Hatawano. Sampai sekarang pendekatan masih terus dilakukan, tetapi warga Iha berpendapat sekitar 25 – 30 tahun baru mereka kembali. Dasar pemikiran warga Iha yaitu, sejarah Saparua mencatat bahwa pengungsian saat ini adalah untuk ketiga kalinya mereka tergusur dari Saparua sehingga sulit untuk kembali.

Saat konflik memanas di Jazirah Hatawano, tidak ada warga dari luar Saparua yang datang membantu Itawaka. Seballiknya sejumlah 50 KK warga Itawaka yang berada di lokasi transmigrasi lokal di negeri Sepa (Pulau Seram) harus mengungsi ke Itawaka karena diserang kelompok Salam. Saat ini pengungsi yang tersisa di Itawaka hanyalah 40 KK. Mereka sulit kembali ke lokasi transmigrasi karena tanah mereka telah dikuasai oleh orang Sepa (beragam Salam). Diantara 40 KK yang kembali ke Itawaka, 20 KK di antaranya telah memperoleh bantuan rumah yang dibangun Pemda, namun 20 KK lainnya belum.

(14)

5.1.2. Kilas Balik Konflik Sirisori Sarani : titik api di Jazirah Tenggara

Gandong Sirisori Sarani – Sirisori Salam. Kehidupan sebelum konflik antara warga Sirisori Amalatu (Sarani) dengan Sirisori Amapati (Salam)5 sangat rukun dan aman tanpa permusuhan, karena kedua negeri merupakan adik-kakak (gandong). Konflik yang terjadi antara kedua negeri karena pengaruh konflik Ambon yang menyebar ke Saparua terlebih khusus Sirisori Salam. Selama konflik terjadi semua warga berupaya untuk terlibat dalam mempertahankan negeri. Upaya yang dilakukan ternyata memakan korban jiwa. Bantuan yang masuk dari ke negeri Sirisori Sarani berasal dari negeri-negeri di Saparua dan juga dari Ambon. Bantuan berupa tenaga pendukung dan bahan makanan. Bantuan tenaga tersebut diarahkan untuk mempertahankan negeri dari serangan kelompok Salam.

Laporan Klasis GPM Pulau Saparua menunjukkan bahwa :

Saat tanggal 23 Oktober 1999 sekitar jam 16.30, masyarakat Sirisori Sarani dikejutkan dengan serangan pihak Sirisori Salam secara beruntun dari berbagai arah (gunung maupun pesisir pantai). Serangan dibarengi dengan senjata organik ke arah pemukiman secara proradis. Kelompok penyerang juga menggunakan pakaian loreng yang menutupi kaos warna hitam. Akibat penyerangan besar-besaran serta lemahnya petugas Brimob yang menjadi pembatas antara Negeri Sirisori Salam dan Sirisori Sarani, maka pihak Sirisori Sarani mengalami kerugian besar, setelah rumah dan harta benda mereka dijarah dan menyisakan puing-puing bekas rumah maupun bangunan lain, seperti kantor negeri dan Gedung Gereja.

Terlihat dalam penyerangan ke Sirisori Sarani, negeri Sirisori Salam didukung pihak militer yang ditempatkan sebagai tenaga keamanan yang berjaga di kedua negeri. Ternyata saat penyerangan justru petugas militer yang bertugas turut melakukan penyerangan ke Sirisori Sarani. Selain dukungan tenaga Jihad dari negeri-negeri Salam di Pulau Haruku (Kailolo dan Pelauw) maupun dari Pulau Seram yang masuk menggunakan speed-boad. Sirisori Sarani tidak memperoleh bantuan dari pihak militer. Justru warga negeri Sirisori Sarani berusaha menyelamatkan anggota Brimob BKO yang tidak sanggup lagi mempertahankan situasi keamanan antara kedua negeri (Laporan Gereja Protestan Maluku Klasis Saparua).

Bahkan untuk memperkuat pertahanan Sirisori Sarani datang pula bantuan dari Ambon yaitu kelompok AGAS (masyarakat sipil dengan persenjataan lengkap ala militer dan umumnya berasal dari Kudamati Ambon). Dugaan berkembang setelah konflik ternyata pasukan AGAS memiliki keterkaitan dengan pasukan yang menyerang dari

5

(15)

Sirisori Salam. Hal ini diperkuat fakta saat penyerangan dilakukan kelompok AGAS kemudian berbalik menyerang bersama-sama secara sembunyi-sembunyi. Sebagaimana dijelaskan informan Negeri Sirisori Sarani berikut ini :

Hal tersebut baru diketahui kemudian setelah negeri Sirisori Amalatu dihancurkan kemudian anak-anak negeri berdiskusi tentang kronologis penyerangan. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa, saat pasukan Agas sudah berada dalam posisi mereka mengatakan harus menunggu perintah dari komandan mereka melalui HT, ternyata komandan mereka juga menunggu informasi kesiapan penyerangan dari komandan pasukan militer di Sirisori Salam, sehingga pasukan Agas ini berfungsi memperlambat pergerakan pasukan Sirisori Sarani beserta bantuan dari negeri-negeri lain.

Saat pasukan penyerangan sudah siap, justru pasukan bantuan mundur dengan alasan waktu belum tepat dan saat itu pasukan dari Sirisori Salam menyerang dengan dahsyat sementara pasukan AGAS justru melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk dari bagian belakang seakan-akan pihak penyerang telah menguasai seluruh negeri. Hal demikianlah menimbulkan kekacauan dan kepanikan masyarakat, untunglah koordinasi tokoh keamanan negeri Sirisori Sarani berjalan dengan baik sehingga dapat menekan jumlah korban jiwa, walau pun jumlah korban harta benda tidak dapat dihindari.

Beberapa tokoh adat negeri Sirisori Sarani seperti Kepala Soa sangat berperan dalam mengkoordinir warga menghadapi serangan negeri Sirisori Salam. Peran kepala Soa sangat dominan terutama untuk mempertahankan keberadaan negeri dari serangan musuh. Kepala Soa turut menghimpun anak-anak Soa guna membentuk pertahanan yang kuat dalam menghalau serangan Sirisori Salam. Bantuan yang masuk terutama berupa bantuan tenaga dan bantuan makanan. Sejak beredar isu-isu penyerangan ke Sirisori Sarani maka bantuan terus berdatangan terutama untuk memperkuat pertahanan. Bantuan makanan yang diberikan negeri-negeri tetangga berupa makanan yang sudah diolah, maupun makanan mentah berupa pisang dan keladi sebagai makanan tradisional.

Setelah Sirisori Sarani diserang dan dihancurkan warganya mengungsi ke lokasi perkebunan negeri – dusun negeri. Setelah mengungsi negeri Sirisori Sarani selalu menghalangi keinginan negeri-negeri lain di Saparua untuk melakukan penyerangan balasan ke Sirisori Salam. Saat mengungsi banyak bantuan dari berbagai pihak seperti, bantuan beras oleh pemerintah, bahan makanan mentah dan yang siap dimakan dari negeri-negeri Sarani di Saparua.

Menurut informan (Bapak MS) serta Laporan Klasis Gereja Protestan Maluku Pulau Saparua menunjukkan bahwa, penyerangan yang dilakukan kelompok Salam sebanyak dua kali yang kemudian diikuti dengan pembakaran sebagian besar sarana

(16)

dan prasarana negeri Sirisori Sarani. Penyerangan kelompok Salam mengindikasikan adanya keterlibatan pihak “militer”. Indikasi tersebut semakin diperkuat dengan adanya keterlibatan militer yang memang ditugaskan secara resmi di perbatasan Sirisori Sarani dan Sirisori Salam. Pihak militer yang berbalik menyerang Sirisori Sarani dengan senjata-senjata otomatis, bahkan ditemukan pula mortir yang ditembakkan oleh penyerang dari arah Sirisori Salam. Sebelum penyerangan terjadi, warga Sirisori Sarani sempat melakukan pemantauan situasi dan mendapati bahwa banyak speedboat yang masuk ke Sirisori Salam. Speedboat tersebut yang diduga membawa masuk Laskar Jihad sebagaimana isu-isu yang berkembang saat itu.

Konflik antara Sirisori Salam dan Sirisori Sarani tidak pernah melibatkan tokoh-tokoh negeri baik yang ada di Jakarta maupun Belanda. Justru tokoh-tokoh-tokoh-tokoh masyarakat yang berada di luar Maluku banyak memberikan bantuan makanan dan uang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setelah konflik berkepanjangan. Sebenarnya Sirisori Sarani berencana untuk membalas dengan dukungan tenaga dari berbagai negeri di Saparua dan sekitarnya, namun kemudian tokoh-tokoh adat negeri Sirisori Sarani sendiri melarang dan menolak rencana penyerangan tersebut.

Sebelum kerusuhan kehidupan kedua negeri Sirisori Salam dan Sarani sangatlah erat. Bahkan ada kerjasama dalam melaksanakan berbagai kegiatan usaha seperti halnya saat mencari ikan. Jika salah satu negeri Sirisori melaksanakan sasi, maka mejadi kewajiban bagi mereka untuk memberikan ikan (ikan umpan maupun ikan untuk makan) jika diperlukan warga Sirisori yang tidak melaksanakan sasi. Hal ini sudah merupakan adat istiadat sejak dahulu antara adik kakak Sirisori Salam dan Sirisori Sarani.

Sebelum konflik, masyarakat Sirisori baik Salam maupun Sarani banyak berusaha sebagai pedagang, petani serta nelayan. Usaha tersebut berjalan dengan lancar. Saat konflik usaha yang dimiliki tidak berjalan dengan baik, karena menghadapi kendala keamanan saat ke kebun maupun saat mencari ikan di laut.

Menurut Kepala Soa Sirisori Salam (MK) upaya penyerangan selalu diambil oleh Sirisori Sarani, sehingga sesuai dengan falsafah yang kedua negeri anut bahwa sapa bale batu maka batu bale dia terbukti. Penyerangan yang menjadi inisiatif Sirisori Sarani dalam arti mereka yang membalik batu, sehingga mereka sendiri harus dibalik oleh batu berupa kebakaran dan kehancuran negeri mereka sendiri. Terjadi empat sampai lima kali penyerangan dari Sirisori Sarani terhadap Sirisori Salam. Namun, Sirisori Salam melakukan dua kali serangan balik yang pertama berhasil membakar rumah-rumah

(17)

Sirisori Sarani yang berbatasan dengan Sirisori Salam, kemudian yang kedua menghancurkan dan membakar 80 persen rumah dan sarana serta prasarana lainnya termasuk Rumah Adat (Baeleo) dan Gereja Sirisori Sarani.

Saat konflik sedang berlangsung di Saparua, dilakukan upaya untuk memperkuat kembali ikatan adat untuk meredam konflik yang berkepanjangan. Negeri Tamilow di Pulau Seram mengundang negeri Sirisori Sarani ke negeri Tamilou (sebagai gandong) untuk memperkuat kembali ikatan gandong. Ternyata negeri Sirisori Salam tidak diundang. Padahal negeri Sirisori Sarani dan Sirisori Salam harusnya diundang sebagai bagian dari ikatan gandong. Hal tersebut mengherankan tokoh-tokoh adat negeri Sirisori Salam. Tidak diundangnya negeri Sirisori Salam menyebabkan tokoh-tokoh adatnya mengganggap bahwa mereka tidak memiliki hubungan gandong dengan negeri Tamilow. Hal ini merupakan suatu pengingkaran terhadap adat, dan saat ini kedua Sirisori berusaha meluruskan permasalah dimaksud dengan masing-masing gandong.

Konflik Negeri Sirisori Salam dan Negeri Ulath serta Negeri Ouw. Mendengar terjadinya kontak senjata antara Sirisori Salam dengan Sirisori Sarani pada tanggal 21 Oktober 1999, maka negeri Ulath dan Ouw berusaha melakukan tekanan ke arah Sirisori Salam untuk mengurangi tekanan pihak Salam ke Negeri Sirisori Sarani. Sekitar 8 (delapan) warga Negeri Ulath dan Ouw melakukan serangan gangguan dari arah timur negeri Sirisori Salam. Serangan tersebut berlangsung sampai jam 17.00. Menurut Laporan Klasis GMP Pulau Saparua, saat penyerangan kedelapan warga melihat keterlibatan aparat militer (TNI dan POLRI) yang bertugas di Sirisori Salam. Keterlibatan aparat sangat nyata dengan melakukan penembakan terhadap warga Sirisori Sarani, Ulath dan Ouw. Bahkan sejak jam 17.00, tekanan oleh kelompok penyerang dari Sirisori Salam yang didukung aparat keamanan (Batalyon XXX dan Brimob XXX) sebagai satuan yang bertugas di perbatasan Sirisori Salam terus berlangsung sampai malam hari. Aparat Brimob yang bertugas di Sirisori Sarani lebih bersifat pasif, bahkan tidak sedikitpun melakukan tembakan balasan untuk menghalau kelompok penyerang.

Negeri Ulath cukup merasakan dampak akibat penyerangan oleh Sirisori Salam yaitu terdapat 18 rumah yang terbakar di perbatasan Ulath – Sirisori Salam. Beberapa rumah di hutan sebagai tempat menyimpan barang turut dibakar. Selain itu masyarakat Ulath sulit melaksanakan aktiiftas melaut karena takut ditembak oleh penembak gelap, sementara untuk ke hutan harus hati-hati karena dusun Ulath berbatasan dengan dusun

(18)

Sirisori Salam. Situasi demikian menyebabkan banyak warga Ulath kemudian mengungsi sementara ke luar Saparua untuk mencari tempat yang lebih aman.

Masyarakat yang berasal dari Ulath yang mengikuti program transmigrasi lolal di Sepa (Pulau Seram) turut mengungsi kembali ke negeri Ulath. Mereka sampai sekarang ini belum kembali ke daerah asal karena keamanan tidak terjamin selain bahwa tanah-tanah mereka yang ditanami tanaman tahunan sudah diambil alih oleh masyarakat sekitar Sepa. Saat konflik negeri Ulath sendiri waktu itu mendapat bantuan dari berbagai negeri sarani di Saparua dan Nusalaut. Hal itu terjadi karena mereka melihat situasi Ulath yang cukup kritis, sementara situasi di Sirisori Sarani juga demikian. Oleh karena itu bantuan dibagi sebagian ke Ulath, dan sebagian lagi ke Sirisori Sarani. Harapan pemberi bantuan diarahkan untuk menahan serangan negeri Sirisori Salam. Serangan pihak Sirisori Salam sendiri menurut Raja Ulath (pensiunan POLRI) merupakan serangan oleh pihak militer jika dilihat dari pola, strategi, peralatan/bunyi tembakan, serta bukti adanya mortir yang tidak meledak.

5.1.3. Kilas Balik Konflik Dusun Pia : korban terjepitnya Iha Penyebab terjadinya penyerangan ke dusun Pia karena :

1. Adanya orang luar (Jihad) umumnya berasal dari negeri-negeri salam di Pulau Haruku (Negeri-negeri Pelauw, Kailolo dan Rohomoni), dari Pulau Seram (Negeri Latu) dan Pulau ambon (Negeri Hitu, Liang dan Tulehu) yang masuk ke negeri Kulor yang kemudian memprovokasi dan memaksa masyarakat untuk melakukan penyerangan.

2. Adanya keterlibatan aparat keamanan yang mendukung dan memberanikan masyarakat, hal ini terlihat dari penggunaan senjata organik serta seragam militer oleh kelompok penyerang, bahkan menurut Brimob yang bertugas di negeri Kulor mereka juga disandera dan dipaksa untuk bersama-sama menyerang.

Penyerangan yang dilakukan negeri Kulor diketahui saat seorang anak dusun Pia hendak mengambil ternak sapi yang dikandangkan di kebun. Saat itu terlihat sekelompok orang berpakaian loreng dan bersenjata lengkap telah berada dalam kawasan dusun Pia. Melihat hal itu, anak negeri ini berusaha menembak dengan senjata rakitan miliknya namun tidak mengenai sasaran. Saat yang sama kelompok penyerang melakukan penembakan diikuti dengan serangan yang menghancurkan sebagian besar sarana dan prasarana termasuk bangunan Sekolah Dasar, Gedung Gereja serta sebagian besar rumah-rumah penduduk. Selain itu, pohon-pohon cengkeh

(19)

milik masyarakat Pia tidak luput dari perusakan oleh kelompok penyerang dengan cara menguliti batang pohon cengkeh hingga beberapa minggu kemudian mengalami kekeringan sampai mati.

Tembakan terhadap peternak sapi mengagetkan masyarakat dan menyadari kalau dusun Pia telah diserang. Peternak sapi tersebut berhasil lolos masuk dalam pemukiman karena mengetahui dengan baik kondisi negerinya dan kemudian memberitahukan apa yang dilihatnya kepada teman-teman yang lain.

Sebenarnya informasi penyerangan oleh negeri Kulor tersebut telah diperoleh warga Pia jam 12 malam tangga 22 September 1999. Namun penanggungjawab keamanan dusun Pia berpikir tidak mungkin ada penyerangan karena dalam dusun Pia ditempatkan satu regu Brimob BKO oleh Kapolda Maluku guna meredam penyebaran konflik di Saparua sekaligus menjaga situasi dan kondisi aman antara dusun Pia dan negeri Kulor. Saat penyerangan dilakukan oleh kelompok Salam ke dusun Pia tanggal 23 September 1999 ternyata satu regu brimob yang ditempatkan di Desa Kulor telah “disandera” oleh kelompok penyerang, sehingga secara tidak langsung juga dipaksa untuk melakukan penyerangan ke Dusun Pia (Laporan Crisis Centre Keuskupan Amboina). Hal itu terlihat oleh koordinator keamanan yang selalu berkoordinasi dengan pihak Brimob yang ditempatkan di Dusun Pia, sehingga saat warga Pia yang berjaga di depan dapat melihat adanya pasukan Brimob BKO yang ditempatkan di Kulor telah tergabung dalam kelompok penyerang. Hal ini menyebabkan pasukan Brimob yang ada di negeri Pia tidak berani mengambil tindakan tegas terhadap penyerang.

Selain itu pihak Brimob BKO yang telah mengetahui informasi penyerangan justru tertidur saat kelompok penyerang memasuki dusun Pia. Bahkan petugas keamanan sempat menanyakan apakah yang masuk itu kawan atau musuh, padahal jelas-jelas bahwa penembakan telah dilakukan mengarah pada masyarakat Pia termasuk ke arah pasukan Brimob yang ditugaskan di Pia. Akhirnya pasukan Brimob yang bertugas di Pia tidak mampu menggunakan senjata mereka, sehingga beberapa dari mereka menyerahkan senjata organiknya kepada masyarakat Pia untuk digunakan mengahalau penyerang.

Bantuan yang masuk setelah Pia diserang berasal dari berbagai negeri Sarani di Saparua yaitu :

1. Bantuan makanan siap santap berupa (nasi, sayur, ikan, pisang, keladi, ubi kayu yang sudah dimasak);

(20)

2. Bantuan personil untuk menambah kekuatan masyarakat Pia agar mampu melawan serangan negeri Kulor dengan peralatan parang, tombak, panah dan senjata rakitan namun sudah terlambat karena saat mereka datang sebagian besar sarana dan prasarana warga masyarakat telah terbakar sampai ke batas gedung gereja Pia. 3. Kondisi demikian terjadi karena pada saat yang sama di jasirah Hatawano juga

tengah bergejolak dimana pasukan Jihad dan personal aparat TNI yang masuk ke Negeri Iha telah melakukan penyerangan terutama ke Noloth sehingga bantuan juga diarahkan ke Hatawano tanpa pernah berpikir bahwa sebenarnya di saat yang sama Pia juga menjadi sasaran oleh kelompok penyerang.

4. Sementara di jazirah tenggara juga tersebar isu akan ada penyerangan terhadap Negeri Sirisori Sarani serta negeri Ulath oleh kelompok dari negeri Sirisori Salam, padahal serangan tersebut baru dilakukan beberapa hari setelah negeri Pia dan Iha jatuh.

Setelah Dusun Pia diserang dan dihancurkan maka warga masyarakatnya melakukan pengungsian ke tempat lain yaitu :

1. Sesaat setelah penyerangan usai saat jam 13.00 (siang) maka anak-anak dan kaum perempuan mulai mengungsi ke Baeleo Tiouw pada tanggal 24 September 2000. 2. Tanggal 29 September 2000 pindah mengungsi ke Asrama Polisi Saparua di

Batubakar serta kantor KUD Sampanrua.

Adapun upaya yang dilakukan untuk meredam konflik tersebut antara lain : 1. Diawali dengan upaya pembangunan gereja Pia yaitu jemaat Pia memohon bantuan

dari LSM dan saudara-saudara di Belanda, namun pihak pemberi bantuan tidak mau mengambil resiko kalau memberikan bantuan kemudian terbakar lagi. Oleh karena itu harus ada kesepakatan damai dulu antara negeri Pia dan Kulor, sehingga melalui Raja Kulor (yang lama disebut bapa raja tua) dan Kepala Dusun Pia dilakukanlah pertemuan pertama saat bulan Oktober 2004. Prosesnya dimulai dengan pengiriman surat oleh Kepala Dusun Pia ke Raja Kulor untuk meminta waktu mengadakan diskusi tentang hal dimaksud.

2. Kemudian disepakati bahwa masyarakat Kulor akan aktif membantu Pia dalam melaksanakan pembangunan Gereja, sehingga warga Kulor terlibat dalam Panitia Pembangunan Gereja, selain akan terlibat secara aktif dalam pelaksananaanya. 3. Ketika perundingan perdamaian disepakati yang akan diwali dengan kerjasama

(21)

kuat bagi kedua warga negeri Pia dan Kulor untuk bersama-sama menjalani kehidupan ke depan, bahkan perjanjian perdamaian serta kesepakatan dimaksud turut dihadiri oleh Ketua MUI Maluku dan Ketua Sinode GPM Maluku.

Konflik dusun Pia dan negeri Kulor tidak melibatkan tokoh-tokoh masyarakat Pia baik yang ada di Ambon, Masohi, Jakarta maupun Belanda. Bahkan mereka yang sangat berperan memberi bantuan berupa makanan, pakaian bekas layak lakai serta uang saat mengungsi ke Saparua selama dua tahun. Jadi selayaknya masyarakat Pia berterimakasih kepada mereka, karena bantuan tersebut sangatlah membantu saat berada di lokasi pengungsian. Selain itu, saat kembali warga Pia di Belanda melalui LSM di Ambon memberikan bantuan air bersih yang menggunakan tenaga matahari. Air bersih tersebut masih berfungsi sampai saat ini dan sangat membantu kekurangan air yang dialami warga. Oleh karena itu, bantuan air bersih diarahkan kepada warga yang berada di perbatasan mengarah ke Kulor dengan dibangunnya dua bak penampung yang dilengkapi keran air yang dapat digunakan secara bergiliran sejak pagi hingga sore hari.

5.2. Migrasi Anak Negeri Saparua

5.2.1. Tuntutan Pendidikan dan Pekerjaan

Jauh sebelum konflik merebak di Maluku, orang Saparua telah lama mendiami kota Ambon dengan berbagai tujuan. Orang Saparua lebih mudah memperoleh pendidikan sebagai “hadiah” karena memeluk agama Sarani yang disebarkan oleh Belanda bersamaan dengan politik perdagangan rempah-rempah. Hal ini juga dinikmati sebagian kecil komunitas Salam terutama mereka yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat, seperti keluarga Raja dan Tokoh Adat.

Anak negeri Saparua yang telah menyelesaikan pendidikan dasarnya, berpindah ke Ambon untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi. Saat itu tingkat pendidikan lanjutan termasuk Sekolah Guru hanya berada di kota Ambon. Perpindahan ini kemudian menyebabkan mereka menetap di kota Ambon, setelah memperoleh pekerjaan yang layak sebagai pegawai pemerintahan. Arus migrasi ini kemudian membentuk sejumlah besar masyarakat asal Saparua baik Salam maupun Sarani di kota Ambon. Selain itu ada yang menyebar ke wilayah lain di Maluku dan kemudian memilih menetap secara permanen seperti di Pulau Seram, Pulau Banda, Pulau Kei dan Pulau Tanimbar sebagai Guru maupun sebagai Guru Agama (dulunya disebut Guru

(22)

Zending). Penempatan saat bekerja menyebabkan ada yang menetap di wilayah mayoritas Salam atau mayoritas Sarani. Saat konflik merebak akibat perbedaan agama ada yang kembali ke Saparua karena rumah mereka hancur dan mengalami kehilangan harta benda yang telah diupayakan selama puluhan tahun.

Selain ke wilayah lain di Maluku ada pula anak negeri Saparua yang menyebar sampai ke Papua. Keturunan mereka tersebar di berbagai wilayah di Papua sampai saat ini. Keberadaan orang Saparua di luar Maluku menjadi sumber ikatan baru ketika konflik merebak di Ambon. Oleh karena itu, Papua merupakan salah satu wilayah tujuan pengungsian komunitas Salam dan Sarani.

Selain melanjutkan ke Ambon, orang Saparua juga melanjutkan penidikan ke tingkat Perguruan Tinggi ke Makasar dan Manado. Sebagian dari mereka ada yang kembali untuk mengabdikan diri di daerah asal (Maluku). Sebagian lagi menetap di Makasar dan Manado. Keberadaan orang Saparua di Manado dan Makasar juga menjadi sumber ikatan kekerabatan yang menarik arus pengungsian saat konflik.

Banyak juga orang Saparua yang merantau sampai ke Pulau Jawa untuk melakukan berbagai pekerjaan. Beberapa orang Saparua kemudian berhasil memperoleh pekerjaan yang layak dan digolongkan sebagai tokoh masyarakat Saparua di perantauan. Orang Saparua yang di perantauan turut berperan penting meringankan beban pengungsi saat konflik melalui bantuan baik moril maupun materiil tanpa melihat perbedaan agama yang dianut. Bahkan mereka cenderung menyalahkan kondisi masyarakat Saparua yang harus terpecah menjadi kelompok Salam dan Sarani.

Selain aliran migrasi anak negeri ke luar Saparua ada pula etnis lain yang masuk ke Saparua. Etnis Buton datang ke Saparua untuk menjadi petani penggarap tanah. Etnis Bugis dan Padang menjadi pedagang sekaligus pedagang pengumpul kecamatan dan jejaring perdagangan rempah-rempah dengan etnis Cina sebagai pedagang besar di Ambon. Etnis Jawa sebagai pedagang keliling maupun pekerjaan jasa di sektor informal lainnya. Keberadaan etnis Cina di Saparua mendominasi perdagangan sebagai pedagang pengecer bagi pedagang kecil di pedesaan Saparua.

5.2.2. Arus Migrasi Sebagai Pengungsi di Saparua

Konflik Ambon menyebabkan orang Saparua yang menetap di Ambon maupun wilayah lain di Maluku kembali ke Saparua. Aliran migrasi sebagai pengungsi menjadi sumber-sumber informasi yang akurat bagi masyarakat Saparua. Informasi tentang konflik terbaru beserta akibat-akibatnya menjadi bahan pembicaraan dan membentuk

(23)

persepsi yang sama di aras negeri. Penyebaran informasi meluas ke negeri-negeri lain dan membentuk persepsi antara komunitas seagama. Persepsi dimaksud kemudian berubah menjadi keinginan untuk membalaskan kehancuran terhadap komunitas yang berbeda agama. Padahal komunitas berbeda agama di luar Saparua yang menyebabkan kerugian bahkan kematian anggota komunitas tertentu di Saparua. Kenyataan demikian disebut sebagai rasionalitas idiologi.

Rasionalitas idiologi yaitu rasional yang hanya didasarkan pada kebenaran idiologinya sendiri. Idiologi pihak lain tidak pernah diperhitungkan apalagi dibenarkan. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya konflik antara Salam dan Sarani di pedesaan Saparua. Konflik yang terjadi memutuskan jejaring ekonomi (hubungan dagang), jejaring politik (aliansi separtai politik), jejaring adat/budaya (kekerabatan pela dan gandong). Jejaring yang tetap dipertahankan hanyalah ikatan seagama. Oleh karena itu sesama Sarani membentuk komunitas negeri-negeri Sarani, sedangkan sesama Salam membentuk komunitas negeri-negeri Salam.

Intensitas konflik meningkat saat anak-anak negeri yang tersebar di luar Saparua dilibatkan sebagai upaya mempertahankan negeri. Upaya mempertahankan negeri dilakukan dengan dua cara yaitu, membentuk pertahanan untuk mengantisipasi serangan pihak lain dan melakukan penyerangan ke negeri yang berbeda agama. Keterlibatan dimaksud berupa bantuan tenaga yang disertai peralatan (senjata rakitan maupun standart) yang diperoleh dengan berbagai cara. Pemilikan senjata standart terbukti melalui penyerahan senjata oleh anak negeri di Saparua seperti di Ulath, Sirisori Sarani, Sirisori Salam, Noloth dan Itawaka kepada pihak berwenang (Kepolisian dan TNI).

Ikut sertanya anak negeri dari luar Saparua memperparah situasi dan kondisi konflik di Saparua. Keterlibatan anak negeri Saparua di kota Ambon dan sekitarnya saat konflik berlangsung, menjadi ikatan dalam jejaring sosial seagama sebagai sumber-sumber bantuan utama untuk menjaga kondisi keamanan negeri maupun mengupayakan serangan ke negeri yang berbeda idiologi.

Saat konflik terjadi di Saparua, etnis Buton, Bugis dan Padang mengungsi ke luar Saparua karena tempat tinggal mereka berada di antara mayoritas Sarani. Keberadaan etnis-etnis tersebut semakin terdesak saat terjadi penyerangan pihak Salam yang menghancurkan negeri Kariu di Pulau Haruku yang beragama Sarani. Penghancuran tersebut menimbulkan emosional komunitas Sarani di Saparua yang dimanifestasikan dengan keinginan membalaskan dendam melalui pembakaran dan

(24)

penghancuran rumah komunitas Salam dari etnis Buton, Bugis dan Padang yang tinggal dalam wilayah mayoritas komunitas Sarani. Padahal etnis Buton, Bugis dan Padang di Saparua bukan penyebab hancurnya negeri Kariu. Kesamaan agama menjadi alasan pembenaran tindakan pembalasan tersebut. Hal yang sama dialami anak negeri Saparua yang bertempat tinggal di antara mayoritas komunitas Salam di Saparua. Berbeda dengan komunitas Salam dan Sarani asal Saparua di luar Maluku yang tetap mempertahankan keberagaman kehidupan bermasyarakat.

Keberadaan anak-anak negeri Saparua di luar Maluku seperti di Papua, Makasar, Manado dan Pulau Jawa menjadi sumber-sumber bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidup saudaranya di Saparua. Para perantau asal Saparua memberikan bantuan baik makanan, pakaian dan uang tunai kepada anak negerinya yang seagama maupun berbeda agama. Hal ini dimungkinkan karena di perantauan tidak ada konflik antara sesama anak negeri Saparua yang berbeda agama. Masing-masing pihak saling meminta dan menerima bantuan, jika ada permintaan bantuan untuk pembangunan rumah ibadah di Saparua. Bahkan saat konflik, bantuan dari tokoh masyarakat negeri Ihamahu di Pulau Jawa banyak disalurkan ke negeri Iha yang menjadi korban konflik.

Sementara mereka yang bermukim di Belanda, banyak memberikan bantuan dana untuk membeli senjata standart guna mempertahankan keberadaan negeri asal di Saparua. Namun ada yang tidak menyetujui hal dimaksud dan menyarankan untuk dilakukan rekonsiliasi secara merata di wilayah Saparua. Setelah konflik mulai mereda rekonsiliasi tersebut dikonkritkan dengan terbentuknya Panitia Pembangunan Gereja Sirisori Sarani yang didukung oleh Sirisori Salam. Juga membentuk Panitia Pembangunan Gereja Pia yang didukung oleh negeri Kulor. Hal-hal tersebut kemudian menjadi dasar dalam proses keberlanjutan resolusi konflik di Saparua.

5.2.3. Arus Migrasi Ke Luar Maluku Untuk Mencari Ikatan Kekerabatan

Selain kembali ke Saparua, banyak pula anak negeri Saparua yang memilih ke luar Maluku dengan alasan keamanan. Umumnya lokasi yang dipilih lebih didasarkan adanya ikatan kekerabatan. Misalnya, jika ada kerabat yang berdiam di Papua maka dipastikan Papua menjadi tujuan mereka menyelamatkan diri karena Papua menjadi lokasi yang lebih aman dibandingkan Maluku. Selain itu peluang kerja lebih terasa lebih mudah didapatkan di Papua dibandingkan wilayah lain seperti di Sulawesi maupun Pulau Jawa. Pemilihan Papua juga terkait dengan jejaring ekonomi khususnya pemasaran sagu dengan produk turunannya oleh kaum perempuan papalele.

(25)

Saat konflik banyak yang bermigrasi ke luar Maluku untuk mencari suasana aman sekaligus melanjutkan pendidikan. Anggota komunitas Sarani lebih memilih Manado sebagai tempat tujuan perpindahan pendidikan anak-anak mereka, karena mayoritas penduduk di Manado beragama Sarani. Kebalikannya dengan yang Salam lebih memilih Makasar maupun Kendari sebagai tujuan perpindahan pendidikan anak-anak mereka, karena kedua kota tersebut pendudukanya mayoritas beragama Salam. Fakta ini memperkuat bahwasannya dampak konflik yang bernuansa agama memunculkan pemikaran bahwa, keamanan itu lebih terjamin jika tinggal dengan komunitas yang seagama. Hal tersebut mempersulit tercapainya resolusi konflik di Saparua pada tataran mikro, serta di Ambon pada tataran meso.

5.3. Peran Elit Agama Dalam Konflik di Pedesaan Saparua

Ciri SARA dalam masyarakat saat kolonial Belanda berkuasa, selalu diperkuat dengan kebijakan penguasa yang hanya merekrut tentara dari golongan etnis tertentu yaitu Ambon dan Manado. Jelas ini adalah bagian dari kebijakan penguasa kolonial yang dikenal sebagai “devide et impera”. Agama juga menjadi perhatian besar pemerintah kolonial. Banyak perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang diilhami oleh ajaran agama dan dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Ekonomi dan politik kolonial yang menempatkan golongan pedagang/pengusaha Tionghoa bersaing dengan pedagang pribumi yang umumnya Salam, membuat konflik ekonomi ini berdimensi ras dan agama.

Dengan demikian, conflict of interest yang umumnya berada pada lapisan strategic elite, tampak berlangsung terutama dengan memanfaatkan kekuatan massa (umat). Aspek kognitif dan afektif rakyat (umat) yang sebelumnya sudah terkondisi dengan ideologi aliran dan kemudian ideologi kelompok, dimanipulasi sebagai kekuatan pendukung yang efektif. Sosialisasi berbagai isu yang merangsang menguatnya sentimen dan solidaritas kelompok pada grassroot level, terutama yang bernuansa agama dimainkan oleh orang atau kelompok tertentu, sehingga suasana batin kelompok masyarakat lapisan bawah terkondisi dalam format yang sangat eksklusif. Akibatnya, bukan budaya politik partisipatif atau demokratis yang menonjol; sebaliknya budaya politik yang sarat dengan muatan nilai-nilai parokial dan subjektif.

Pada prinsipnya, pandangan bahwa agama sebagai bagian dari konflik di pedesaan Saparua tidak bisa dielakkan. Motif utama konflik di pedesaan Saparua haruslah dipandang bahwa "agama-agama di Saparua telah dieksploitasi dan dipolitisasi

(26)

untuk melahirkan dan melegitimasi konflik kekerasan massa". Dengan demikian, sumber konflik tidak terletak pada pluralitas agama di Saparua melainkan pada design kerusuhan yang memperalat (1) sensitivitas dan sikap fanatik masyarakat Saparua terhadap agama sebagai motor aksi kekerasan (2) kecemasan dan ketidak-berdayaan masyarakat membendung eskalasi pertikaian. Kelanggengan konflik terpelihara oleh adanya sikap bias elit agama saat melakukan dakwah yang cenderung menjelek-jelekkan agama lain sehingga memelihara rasa persaingan antar umat beragama di Saparua. Selain tindakan aparat keamanan yang seringkali bias dalam pelaksanaan prosedur pengamanan, juga diikuti dengan beredarnya senjata dan amunisi ilegal di kalangan masyarakat, provokasi-provokasi dari dalam dan luar masyarakat, serta adanya ketidak-mampuan pemerintah menyelesaikan konflik.

Pengendapan dan eskalasi aksi kekerasan dalam kehidupan masyarakat semakin menyulitkan posisi dan peran masyarakat Saparua untuk mengatasi konflik kekerasan dalam dirinya. Padahal sejarah masa silam Saparua menunjukkan bahwa tatanan sosial-budaya Saparua cukup menghormati pluralitas dan toleran. Adanya jurang kenyataan antara suasana kehidupan masyarakat Saparua masa lalu dan masa kini menunjukkan bahwa dua kelompok masyarakat Saparua yang bertikai terkondisikan untuk tidak mampu menyelesaikan konfliknya sendiri.

Perangkat budaya dan agama yang semestinya mampu menjembatani kembali konflik dan perbedaan ternyata lumpuh. Berbagai proses penanganan konflik yang terjadi selama ini baik oleh pihak pemerintah, aparat keamanan hingga media massa, tidak menghasilkan kemampuan masyarakat untuk mengendalikan kerusuhan dan mengkondisikan diri dalam perdamaian. Justru yang terjadi yaitu semua pendekatan yang telah dilakukan, entah itu pendekatan keamanan, pendekatan dialogis maupun penanganan korban dan pengungsi kerusuhan, berakhir dengan peruncingan emosi dan suasana konflik itu sendiri.

Keterlibatan Institusi Agama jelas dengan membeli amunisi yang digunakan untuk mempertahankan masing-masing kawasan yang diserang, sehingga tidak lagi berfungsi mendamaikan tetapi justru memperparah situasi dan kondisi keamanan. Secara tidak langsung dapat dikatakan pihak Lembaga Agama terlibat mengobarkan konflik walau mungkin bermaksud untuk mempertahankan entitas masing-masing kelompok saat tertekan. Tindakan demikian menunjukkan kekerdilan penguasaan pengetahuan beragama, sehingga terlibat mengarahkan konflik melalui upaya mempertahankan masing-masing wilayah yang diserang. Kuatnya pengaruh agama

(27)

dalam konflik Saparua sebenarnya tidak sekuat berkembangnya isu-isu kelompok penghancur dari masing-masing pihak. Faktanya hasil wawancara dengan responden di negeri-negeri Jazirah Hatawano Saparua berikut ini :

Diawali dengan adanya informasi bahwa, di Iha sudah masuk Jihad yang dipimpin oleh Jihad dari luar (negeri Geser, Sepa, Tamilou dan Hatuhaha) yang dipimpin kapitan Negeri Geser “Mukadar”. Hari jumat tanggal 6 Oktober 2000, mulailah Iha melakukan penyerangan ke Noloth dan membakar 12 rumah pendudukan serta satu negeri muhabeth, sementara akibat bunyi tembakan seorang tua kena serangan jantung dan meninggal. Saat itu juga Raja Noloth sempat berdialog dengan Kapolda Firman Gani, dan meyakinkan bahwa masyarakat Negeri Noloth dapat mempertahankan kondisi keamanan, karena masyarakat Noloth sendiri tidak mempersiapkan apapun juga selain berjaga-jaga. Justru masyarakat negeri Iha melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap beberapa rumah milik negeri Noloth akibat hasutan orang dari luar, sehingga konflik pecah di jazirah Hatawano. Masyarakat mulai dikumpulkan untuk berupaya mempertahankan negerinya. Saat itu Noloth diserang dengan senjata otomatis didukung oleh tembakan dari kapal perang. Oleh karena itu, Raja Noloth berkesimpulan bahwa ada keterlibatan aparat TNI dalam berbagai bentuk, karena mungkin saja secara tidak langsung tetapi dengan meminjamkan senjata dan amunisi bagi mereka. Namun dengan bersusah payah akhirnya masyarakat Noloth mampu mempertahankan keberadaan negerinya dengan bantuan dari negeri-negeri sekitar (Itawaka, Ihamahu, Mahu dan Tuhaha).

5.4. Pergeseran Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua

Berbagai temuan menyebutkan bahwa Selama 30 tahun masa orde baru pranata-pranata lokal ini telah mengalami marjinalisasi, modifikasi, dan disorganisasi dalam konteks pengintegrasian pranata lokal ke dalam struktur pemerintahan daerah berdasarkan UU No 5/1974. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali berbagai permasalahan yang terjadi sebagai acuan untuk menghindari berulangnya kesalahan, mengangkat kembali potensi yang ada, serta mengulas bagaimana dan sejauhmana pendinamisan dan pemberdayaan kembali pranata-pranata lokal itu dapat dilaksanakan untuk menunjang otonomi daerah. Isu-isu yang relevan perlu dikaji secara cermat untuk kepentingan-kepentingan penelitian, penetapan kebijakan dan pendampingan, agar pelaksanaan otonomi daerah tidak lagi mengabaikan pranata-pranata dan budaya lokal. Selanjutnya, diharapkan dapat diwujudkan pemerintah daerah yang demokratis, bernafaskan kerakyatan, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya setempat dalam mencapai masyarakat lokal yang tangguh.

Penerapan UU No. 5/1974 di Maluku, telah merengut kemerdekaan dan kemampuan pemerintahan adat sebagai pelaksana sistem pemerintahan desa yang selalu diwariskan secara turun temurun. Pewarisan sistem pemerintahan adat bukanlah

(28)

suatu hegemoni buta, tetapi lebih didasarkan pada kekuatannya untuk mempertahankan kearifan lokal yang ada dalam kehidupan masyarakat. Struktur pemerintahan adat di Maluku memberlakukan tiga fungsi negara secara umum yaitu, pertama, Raja (kepala desa) beserta pembantu-pembantunya yang berfungsi menjalankan pemerintahan; kedua, Saniri Negeri yaitu kepala-kepala soa (kumpulan mata rumah – keluarga) yang berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan; ketiga, Kewang (polisi) yang berfungsi mengawasi jalannya peraturan dalam masyarakat, termasuk pelanggaran kearifan lokal yaitu sistem pemilikan (dusung) dan pelanggaran usaha pelestarian lingkungan (sasi). Dengan demikian dalam sistem pemerintahan adat di Maluku, telah dibedakan antara fungsi pemerintahan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Maluku cukup beragam. Namun keragaman tersebut menjadi tidak berarti, karena tanpa keberadaan pemerintahan adat tidak mungkin dapat dijalankan secara baik. Beberapa gambaran yang khas dari sistem pemerintahan adat antara lain, adanya sistem pemilikan komunal yang tidak memungkinkan pemilikan pribadi dengan sertifikasi. Hal ini bukanlah pelanggaran hak pribadi, tetapi lebih didasarkan pada usaha pewarisan milik tersebut secara tetap dan kontinu bagi generasi selanjutnya. Oleh karena itu hak milik yang dikatakan pribadi, tidak dapat dijual secara bebas.

Modernisasi pertanian sebagai model pembangunan yang berdasarkan pendekatan top-down ternyata memerlukan biaya yang tinggi. Model seperti ini juga semakin lama, menurunkan kualitas lingkungan sekaligus merusakkan lingkungan. Hal ini dilihat pula dengan perpanjangan tangan pemerintah pusat, yang turut dirasakan oleh masyarakat pedesaan di Maluku melalui kepala desa (pemimpin desa). Kedudukan kepala desa sebagai pemimpin negeri di Maluku, selama ini menjadi perdebatan sengit. Namun “hegemoni” UU No 5/1974, ternyata sulit dihadapi dan berakhir dengan terkooptasinya masyarakat ke dalam pelaksanaan UU tersebut yang dikatakan penuh nuansa demokrasi. Padahal dalam penerapannya sudah kelihatan “ketidak demokrasiannya”, karena rakyat tidak pernah ditanyakan pendapatnya seperti rakyat di Maluku yang masih menjalankan sistem pemerintahan adat.

Melalui UU No 5/1974, mulailah diterapkan kebebasan dalam memilih secara demokratis pemimpin desa beserta aparat pembantunya (walaupun sebenarnya sering sudah diatur oleh pemimpin di atasnya demi kepentingan politiknya). Penerapan UU tesebut menyebabkan posisi kepala desa bisa diduduki oleh siapa saja termasuk oleh orang yang berasal dari luar desa (tanpa memperhitungkan keturunan seperti halnya

(29)

dalam pemerintahan adat). Oleh karena itu pengetahuan lokal pemimpin desa seringkali tidak ada sama sekali. Kemudian dibentuk LKMD menggantikan Badan Saniri Negeri, yang biasanya diisi oleh pegawai negeri sipil yang kebetulan bertugas dalam desa tersebut (mantri, bidan, guru) sehingga pemahaman tentang masyarakat setempat belum memadai. Selain itu, tidak diakomodasikan lembaga kewang (yudikatif) dalam sistem pemerintahan desa yang baru semakin memperuncing potensi konflik antara elit lokal formal dengan informal.

Elit lokal formal yang memegang kekuasaan saat ini, ingin mempertahankan kekuasaan yang sudah dipegangnya selama ini. Pada sisi lain, elit lokal informal masih menganggap dirinya sebagai pemegang kekuasaan (karena secara adat masih melekat pada dirinya). Potensi konflik yang sudah lama terpendam ini, memungkinkan diarahkan menjadi konflik terbuka antara elit lokal formal dan informal beserta pengikutnya masing-masing. Oleh karena itu, sering terjadi dalam pelaksanaan pembangunan di suatu desa yang dipimpin kepala desa (bukan dari elit lokal informal), biasanya tidak mendapat dukungan dari elit lokal informal beserta kelompoknya.

Masing-masing elit (baik elit lokal formal maupun informal) dapat mempengaruhi pengikutnya untuk mengikuti harapan masing-masing elit. Oleh karena itu, kedudukan elit lokal sangat penting dalam mewarnai konflik yang terjadi. Kekuatan dan potensi berkembangnya konflik, sangat tergantung pada masing-masing elit lokal yang berkonflik. Masing-masing elit lokal dapat mempengaruhi pengikutnya untuk melanggengkan konflik atau untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara mereka.

Pola pembangunan di Indonesia yang lebih berorientasi pada kota dan mengabaikan desa, mengakibatkan hajat hidup masyarakat desa yang lebih banyak disisihkan dibandingkan dengan masyarakat kota. Perhatian pembangunan kota dibandingkan dengan desa tersebut, merupakan akibat awal terciptanya kota sebagai primadona serta memiliki daya tarik (pull factors) yang kuat bagi masyarakat desa dibandingkan dengan daya dorong (push factors) masyarakat desa pergi ke kota. Gemerlap kota tanpa memperhatikan keseimbangannya dengan pembangunan di desa, menyebabkan masyarakat desa berbondong-bondong menuju ke kota. Sebaliknya, desa yang pada dasarnya memiliki sumberdaya alam untuk dieksploitasi namun tidak sebanding dengan daya dukung sumberdaya manusia yang tersisa serta kurangnya perhatian pemerintah turut mendukung terciptanya desa dengan embel-embel kehidupan yang kurang gizi. Bahkan, desa-desa yang miskin ini dibiarkan begitu saja, sehingga desa itu sendiri harus lenyap akibat intervensi ekonomi perkotaan.

Gambar

Tabel  6.  Historis Keberadaan Konflik di Saparua

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi kemudahan penggunaan memiliki pengaruh positif dansignifikan terhadap niat penggunaan,persepsi kegunaan memiliki pengaruh positif dan

kan terima Icas Ih , atas bantuan semua pihak dalam pcrvusun-.. an dan penyelesaian Laporan peneiitian yang

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasikan tingkat kemiskinan petani yang menjadi penyedia jasa lingkungan di kawasan hutan lindung; (2) Menganalisa dampak

Walaupun terdapat berbagai macam metode statistik dalam mendeskripsikan suatu kladogram, tetapi pada umumnya dan yang sering digunakan adalah deskripsi yang dapat

Karena proses menciptakan, menyimpan, memodifikasi ataupun menghapus arsip sangat mudah dan bisa dilakukan dengan berbagai cara, maka muncullah kemungkinan arsip

Bagi investor yang sudah memiliki Rekening Dana Nasabah dan sudah memiliki Kartu AKSes, otomatis bila log in ke Fasilitas AKSes melalui internet browser ataupun

Salah satu cara yang paling efektif untuk menambah kemampuan pengamatan dan kesanggupan membeda-bedakan hal-hal yang penting dan yang tidak penting adalah dengan selalu

kembali. Pada bagian ini akan ditampilkan hasil gambar yang telah diujikan terhadap system. Akan ditampilkan juga gambar asli sebagai perbandingan yang dapat dilihat secara