• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI KEAGENAN DAN IMPLEMENTASI CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEORI KEAGENAN DAN IMPLEMENTASI CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI KEAGENAN DAN IMPLEMENTASI CORPORATE

GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA

N

N

U

U

R

R

A

A

L

L

I

I

M

M

I

I

N

N

A

A

Z

Z

I

I

S

S

S STTIIEE--YYPPUUPPMMaakkaassssaarr

A

A

B

B

S

S

T

T

R

R

A

A

K

K

Makalah ini akan memberikan paparan deskriptif tentang teori keagenan dan

bagaimana implemantasi corporate governance terhadap manajemen laba. Dalam

teori keagenan

(agency theory)

, hubungan agensi muncul ketika satu orang atau

lebih (prinsipal) memperkerjakan orang lain (agen) untuk memberikan suatu jasa

dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent

tersebut. Hubungan antara prinsipal dan agen dapat mengarah pada kondisi

ketidakseimbangan informasi

(asymmetrical information)

karena agen berada

pada posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan

dibandingkan dengan prinsipal, sehingga mendorong agen berperilaku

opportunistik untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui

oleh prinsipal, yang menyebabkan agen dapat merubah angka-angka akuntansi

yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.

Salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan

membatasi perilaku

opportunistic

manajemen adalah

corporate governance

.

Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu diperhatikan untuk

terselenggaranya praktik

good corporate governance

adalah; transparansi,

akuntabilitas, keadilan dan responsibilitas.

Corporate governance

diarahkan untuk

mengurangi asimetri informasi antara principal dan agen yang pada akhirnya

diharapkan dapat meminimalkan tindakan manajemen laba.

Kata-Kata kunci:

Agen dan prinsipal,

corporate governance,

Manajemen laba.

PENDAHULUAN

Dalam sebuah entitas ekonomi (bahkan institusi publik sekalipun),

manajemen (atau pemerintah) merupakan agen dari pemilik modal (rakyatnya)

yang memiliki tugas utama untuk meningkatkan nilai mereka

(maximizing

shareholders value).

Segala tindakan dari sebuah manajemen adalah dalam rangka

meningkatkan nilai pemegang sahamnya. Dalam konteks sebuah perusahaan,

manajer sebagai pengelola perusahaan bertanggung jawab untuk mengoptimalkan

keuntungan para pemilik (

principal

), namun disisi yang lain manajer juga

mempunyai kepentingan memaksimumkan kesejahteraan mereka. Sehingga ada

kemungkinan besar,

agent

tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik

principal

(Jensen dan Meckling, 1976). Sebagai pengelola perusahaan, manajer

lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang

akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai

pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi

perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui

pengungkapan informasi akuntansi sepserti laporan keuangan. Akan tetapi

informasi yang disampaikan terkadang tidak sesuai dengan kondisi perusahaan

sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau

asimetri informasi (

information asymetric

). Asimetri informasi terjadi karena

(2)

manajer lebih superior dalam menguasai informasi dibanding pihak lain (pemilik

atau pemegang saham).

Asimetri antara manajemen

(agent)

dengan pemilik

(principal)

berpotensi

adanya perilaku oportunis yang dilakukan oleh manajer, yaitu memperoleh

keuntungan pribadi sehingga dalam hal pelaporan keuangan, manajer dapat

melakukan manajemen laba (yang bersifat negatif) untuk menyesatkan pemilik

(pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan.

TEORI KEAGENAN

Hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih

(principal)

mempekerjakan orang lain

(agent)

untuk memberikan suatu jasa dan kemudian

mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut.

Hubungan keagenan in merupakan hubungan antara dua pihak dimana salah satu

pihak menjadi

agent

dan pihak yang lain bertindak sebagai

principal

(Hendriksen

dan Van Breda, 2000). Lebih lanjut dikatakan oleh Ross, 1973, agen bertugas

mengambil keputusan dan mewakili kepentingan pihak yang menunjuk yang

disebut para prinsipal

(principals)

dengan pihak lain yang secara umum

berhubungan dengan pemecahan suatu masalah. Agar agen dapat mengerjakan

tugas-tugasnya, prinsipal mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan

sampai batas tertentu kepada agen.

Demikian pula yang disampaikan oleh Brigham dan Houston (2001:22)

yaitu; hubungan keagenan muncul ketika satu orang individu atau lebih yang

disebut pemilik

mempekerjakan individu lain atau organisasi yang disebut agen

untuk melaksanakan pekerjaaan dan kemudian mendelegasikan otorisasi

pengambilan keputusan kepada agen tersebut. Manajer sebagai

agent

dan

pemegang saham sebagai

principal

.

Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna

menjelaskan tentang teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya

mementingkan diri sendiri

(self interest),

(2) manusia memiliki daya pikir terbatas

mengenai persepsi masa mendatang

(bounded rationality),

dan (3) manusia selalu

menghindari risiko

(risk averse).

Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut,

manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat

opportunistic,

yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya.

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan adanya konflik kepentingan

dalam hubungan keagenan. Terjadinya konflik kepentingan antara pemilik dan

agen karena kemungkinan agen bertindak tidak sesuai dengan kepentingan

prinsipal, sehingga memicu biaya keagenan

(agency cost)

. Teori Agensi mampu

menjelaskan potensi konflik kepentingan diantara berbagai pihak yang

berkepentingan dalam perusahaan tersebut.

Sebagai agen, manajer bertanggung jawab secara moral untuk

mengoptimalkan keuntungan para pemilik

(principal),

namun demikian manajer

juga menginginkan untuk selalu memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak.

Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan

dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan

tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Ali, 2002)

(3)

Asimetri antara manajemen (

agent

) dengan pemilik (

principal

)

memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak oportunis, yaitu

memperoleh keuntungan pribadi. Dalam hal pelaporan keuangan, manajer dapat

melakukan manajemen laba (

earnings management

) untuk menyesatkan pemilik

(pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Tindakan

earnings

management

telah memunculkan dalam beberapa kasus skandal pelaporan

akuntansi yang secara luas diketahui, antara lain Enron, Merck, WorldCom dan

mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat (Cornett

et al

, 2006). Dalam kasus

Enron misalnya, satu dampak yang sangat jelas yaitu kerugian yang ditanggung

para investor dari ambruknya nilai saham yang sangat dramatis dari harga per

saham US$30 menjadi hanya US$10 dalam waktu dua minggu. Pertanyaan yang

kemudian muncul adalah mengapa suatu perusahaan kelas dunia dapat mengalami

hal yang sangat tragis dengan mendeklarasikan bangkrut justru setelah hasil audit

keuangan perusahaannya dinyatakan “wajar tanpa syarat” (Alijoyo, 2003).

Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT. Lippo Tbk dan PT. Kimia

Farma Tbk juga melibatkan pelaporan keuangan (

financial reporting

) yang

berawal dari terdeteksi adanya manipulasi (Gideon, 2005).

Dari kasus tersebut di atas menunjukkna bahwa asimetri informasi dimana

manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal

dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik

(pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban

memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Akan tetapi

informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi

perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris

atau asimetri informasi (Hendriksen dan Van Breda, 2000). Asimetri informasi

antara manajemen

(agent)

dengan pemilik

(principal)

dapat memberikan

kesempatan kepada manajer untuk melakukan tindakan oportunis seperti

manajemen laba

(earnings management)

mengenai kinerja ekonomi perusahaan

sehingga dapat merugikan pemilik (pemegang saham). Manajer akan berusaha

melakukan hal tersebut untuk memaksimalkan kepentingan pribadinya tanpa

persetujuan pemilik atau pemegang saham. Penelitian Richardson (1998),

menunjukkan adanya hubungan positif antara asimetri informasi dengan

manajemen laba. Dalam hal ini berarti apabila manajer memiliki informasi yang

lebih banyak dibandingkan dengan pemegang saham maka kecenderungan

manajer untuk berbuat curang dengan praktik manjemen laba demi kepentingan

pribadi akan semakin tinggi. Dengan adanya masalah agensi yang disebabkan

karena konflik kepentingan dan asimetri informasi ini, maka perusahaan harus

menanggung biaya keagenan

(agency cost).

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan biaya keagenan dalam tiga jenis

yaitu:

1.

Biaya Monitoring

(monitoring cost),

merupakan biaya yang dikeluarkan

untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan

oleh agen.

2.

Biaya Bonding

(bonding cost),

merupakan biaya untuk menjamin bahwa agen

tidak akan bertindak merugikan prinsipal, atau dengan kata lain untuk

meyakinkan agen, bahwa prinsipal akan memberikan kompensasi jika agen

benar-benar melakukan tindakan tersebut.

(4)

3.

Biaya kerugian residual

(residual loss),

merupakan nilai uang yang ekuivalen

dengan pengurangan kemakmuran yang dialami oleh principal akibat dari

perbedaan kepentingan.

Adanya asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi

antara

principal

dan

agent

untuk saling mencoba memanfatkan pihak lain untuk

kepentingan sendiri. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar

manusia yaitu: (1) manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (

self

interest

), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa

mendatang (

bounded rationality

), dan (3) manusia selalu menghindari risiko

(risk

adverse).

Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa

informasi yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan

reliabilitasnya dan dapat dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan.

MANAJEMEN LABA

Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi

dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan

sengaja untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Fischer dan Rosenzweig

(1995) mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan seorang manajer dengan

menyajikan laporan yang menaikan (menurunkan) laba periode berjalan dari unit

usaha yang menjadi tanggungjawabnya, tanpa menimbulkan kenaikan

(penurunan) profitabilitas ekonomi unit tersebut dalam jangka panjang.

Sedangkan menurut Healy dan Wahlen (1999), manajemen laba terjadi ketika

manajer menggunakan pertimbangan (

judgment

) dalam pelaporan keuangan dan

penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk

memanipulasi besaran (

magnitude

) laba kepada beberapa

stakeholders

tentang

kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak)

yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.

Healy dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen laba

mengandung beberapa aspek. Pertama intervensi manajemen laba terhadap

pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan

judgment

, misalnya

judgment

yang dibutuhkan dalam mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi di

masa depan untuk ditunjukan dalam laporan keuangan, seperti perkiraan umur

ekonomis dan nilai residu aktiva tetap, tanggungjawab untuk pensiun, pajak yang

ditangguhkan, kerugian piutang dan penurunan nilai

asset

. Disamping itu manajer

memiliki pilihan untuk metode akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode

biaya. Kedua, tujuan manajemen laba untuk menyesatkan

stakeholders

mengenai

kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini muncul ketika manajemen memiliki akses

terhadap informasi yang tidak dapat diakses oleh pihak luar.

Pola Manajemen Laba

Scott 2012, mengemukalan pola manajemen laba dapat diuraikan sebagai

berikut yaitu:

1.

Taking a bath

(pencucian). Hal ini dapat terjadi selama periode tekanan

organisasi berkaitan dengan pengorganisasian kembali/reorganisasi, termasuk

mempekerjakan CEO baru.s jika perusahaan harus melaporkan kerugian,

maka manajemen merasa terpaksa untuk melaporkan kerugian dalam jumlah

besar – sehingga mereka melaporkan sedikit kerugian pada poin ini.

Konsekuensinya mereka akan menangguhkan aset, menyediakan biaya yang

(5)

dapat diperkirakan di masa depan, dan secara umum “pembersihan meja”.

Hal ini akan memperkuat kemungkinan profit dimasa mendatang. Healy juga

menyebutkan bahwa manajer yang income bersihnya dibawah bogey dari

rencana bonus, maka mereka akan melakukan take a bath atau pencucian,

untuk alasan yang serupa - hal ini akan memperkuat probabilitas bonus di

masa mendatang. Sebagai akibatnya, pencatatan penangguhan yang besar

akan menempatkan earning mendatang “dalam bank”.

2.

Minimalisasi

Income.

Hal ini serupa dengan taking a bath/pencucian, tetapi

kurang ekstrim. Pola ini mungkin dipilih oleh perusahaan yang secara politis

terlihat selama periode profitabilitas yang tinggi. Kebijakan yang menyatakan

minimalisasi income mencakup penangguhan aset modal dan aset tidak

berwujud secara cepat, membebankan pengeluaran periklanan dan

pengeluaran R&D, akuntansi usaha yang sukses untuk biaya eksplorasi

minyak dan gas, dan seterusnya.

3.

Maksimisasi

income

. Seperti yang kita lihat dalam studi Healy, manajer

mungkin terlibat dalam pola maksimisasi income bersih yang dilaporkan

untuk tujuan bonus, menyediakan hal ini tidak berarti menempatkan mereka

diatas cap. Perusahaan yang mendekati pelanggaran perjanjian hutang juga

dapat memaksimalkan income.

4.

Smoothing/

Pemulusan

Income

. Hal ini mungkin merupakan pola manajemen

earning yang paling menarik. Kami melihat dari Healy bahwa manajer

mempunyai insentif untuk memuluskan income sehingga mereka paling tidak

tetap berada diantara bogey dan cap. Sebaliknya, earning mungkin dapat

hilang secara temporer atau permanen dari tujuan bonus. Lebih lanjut, jika

manajer adalah penentang resiko, maka mereka lebih menyukai aliran bonus

yang kurang variabel sehingga perlu mempermulus income bersih.

Motivasi Manajemen Laba

Ada berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba.

Teori akuntansi positif

(positif accounting theory)

oleh Watts dan Zimmerman,

1986, mengusulkan tiga hipotesis motivasi manajemen laba, yaitu: (1) hipotesis

program bonus

(the bonus plan hypotesis)

, (2) hipotesis perjanjian hutang

(the

debt covenant hypotesis)

, dan (3) hipotesis biaya politik

(the political cost

hypotesis)

Motivasi kontrak muncul karena perjanjian antara manajer dan pemilik

perusahaan berbasis pada kompensasi manajerial dan perjanjian hutang

(debt

covenant)

. Semakin tinggi rasio hutang/ekuitas suatu perusahaan, yang ekuivalen

dengan semakin dekatnya (yaitu semakin ketat) perusahaan terhadap

kendala-kendala dalam perjanjian hutang dan semakin besar probabilitas pelanggaran

perjanjian, semakin mungkin manajer untuk menggunakan metode-metode

akuntansi yang meningkatkan

income

(Belkaoui, 2000)

.

Motivasi bonus merupakan dorongan manajer perusahaan dalam

melaporkan laba yang diperolehnya untuk memperoleh bonus yang dihitung atas

dasar laba tersebut. Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih mungkin

menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan

income

yang

dilaporkan pada periode berjalan. Alasanya adalah tindakan seperti itu mungkin

akan meningkatkan persentase nilai bonus jika tidak ada penyesuaian untuk

metode yang dipilih (Belkaoui, 2000). Penelitian Healy (1985) menggunakan

pendekatan program bonus manajemen, yaitu bahwa manajer akan memperoleh

(6)

bonus secara positif ketika laba berada di antara batas bawah

(bogey)

dan batas

atas

(cap)

. Ketika laba berada di bawah

bogey

manajer tidak mendapatkan bonus,

dan ketika laba berada diatas

cap

manajer hanya mendapatkan bonus tetap.

Motivasi regulasi politik merupakan motivasi manajemen dalam

mensiasati berbagai regulasi pemerintah. Perusahaan yang terbukti menjalankan

praktik pelanggaran terhadap regulasi

anti trust

dan anti monopoli, manajernya

melakukan manipulasi laba dengan menurunkan laba yang dilaporkan (Cahan,

1992; Jogiyanto dan Ainun, 1998). Perusahaan juga melakukan manajemen laba

untuk menurunkan laba dengan tujuan untuk mempengaruhi keputusan pengadilan

terhadap perusahaan yang mengalami

damage award

(Hall dan Stammerjohan,

1997). Selain itu

Income taxation

juga merupakan motivasi dalam manajemen

laba (Lilis, 2001). Pemilihan metode akuntansi dalam pelaporan laba akan

memberikan hasil yang berbeda terhadap laba yang dipakai sebagai dasar

perhitungan pajak.

Sedangkan motivasi manajemen laba menurut Scott (2009) disebabkan

oleh beberapa hal, yaitu:

1.

Bonus Purposes;

Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih

perusahaan akan bertindak secara oportunistik untuk melakukan manajemen

laba dengan memaksimalkan laba saat ini (Healy, 1985 dalam Rahmawati

dkk, (2006).

2.

Motivasi Kontrak Pinjaman; kontrak peminjaman jangka panjang, yang pada

dasarnya mengandung perjanjian utang untuk melindungi pemberi pinjaman

terhadap tindakan manajer untuk kepentingan terbaik dari pemberi pinjaman,

seperti kelebihan dividen, peminjaman tambahan, atau membiarkan modal

kerja atau ekuitas pemegang saham jatuh dibawah level yang ditentukan,

semuanya memperkecil sekuritas pemberi pinjaman yang telah ada.

3.

Political Motivation;

Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba

yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi

laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan

pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.

4.

Taxation Motivation;

Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi

manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan

dengan tujuan untuk penghematan pajak pendapatan.

5.

Pergantian CEO; CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung

menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja

perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak

diberhentikan.

6.

Initial Public Offering (IPO);

Perusahaan yang akan

go public

belum

memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan

go

public

melakukan manajemen laba dengan harapan dapat menaikkan harga

saham perusahaan.

7.

Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor; Informasi mengenai kinerja

perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu

disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja

yang baik.

(7)

Good Corporate Governance

(GCG) adalah seperangkat sistem yang

mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah bagi

stakeholder

. GCG memacu terbentuknya pola manajemen yang profesional,

transparan, bersih dan berkelanjutan. Ada dua prinsip utama dalam GCG.

Pertama, kejelasan hak pemegang saham untuk memperoleh informasi yang benar

(akurat) dan tepat waktu. Kedua, itikad perusahaan untuk melakukan

pengungkapan

(disclosure)

secara akurat, tepat waktu dan transparan terhadap

semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan

stakeholder

.

Aspek-aspek penting dari GCG yang perlu dipahami oleh kalangan dunia

bisnis, antara lain (Priambodo dan Supriyatno, 2007):

1.

Adanya keseimbangan hubungan antara organ-organ perusahaan diantaranya

Dewan Komisaris, Direksi, RUPS. Keseimbangan yang dimaksud adalah

dalam hal aktivitas yang berkaitan dengan struktur kelembagaan dan

mekanisme operasional masing-masing organ tersebut (keseimbangan

internal)

2.

Adanya tanggung jawab perusahaan kepada

stakeholders

, yang meliputi

hal-hal yang terkait dengan pengaturan hubungan antara perusahaan dengan

stakeholders

, meliputi tanggung jawab pengelola perusahaan, manajemen,

pengawasan kepada pemegang saham dan

stakeholders

lainnya.

3.

Adanya hak-hak pemegang saham untuk mendapatkan: (a) informasi yang

tepat dan benar mengenai perusahaan, (b) peranserta dalam pengambilan

keputusan mengenai perkembangan strategis dan perubahan mendasar di

perusahaan, (c) keuntungan yang diperoleh perusahaan.

4.

Adanya perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham (tidak

terkecuali pemegang saham minoritas), berupa: (a) keterbukaan informasi

yang material dan relevan, (b) penyampaian informasi untuk semua pihak,

tidak hanya untuk pihak tertentu saja yang dapat menguntungkan orang dalam

(

insider information for insider trading

).

Penerapan GCG mempunyai lima macam tujuan utama yang dapat

memberikan benefit bagi perusahaan (Priambodo dan Supriyatno, 2007) yaitu:

1.

Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham

2.

Melindungi hak dan kepentingan para anggota

the stakeholders

non

pemegang saham.

3.

Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham

4.

Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja dewan pengurus atau manajemen

puncak dan manajemen perusahaan

5.

Meningkatkan mutu hubungan manajemen puncak dengan manajemen senior

perusahaan.

Selain itu, terdapat manfaat yang dapat dipetik dari penerapan GCG secara

teknis aktivitas keseharian perusahaan, antara lain:

1.

Mengurangi

agency cost

, biaya yang timbul karena penyalahgunaan

wewenang (

wrong doing

), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul

untuk mencegah terjadinya masalah.

2.

Mengurangi biaya modal (

cost of capital

) yang timbul dari manajemen yang

baik, yang mampu meminimalkan / mencegah risiko.

3.

Meningkatkan nilai saham perusahaan, sehingga dapat meningkatkan citra

perusahaan di mata publik dalam jangka waktu yang lama.

(8)

Pedoman Umum

Good Corporate Governance

Indonesia tahun 2006 yang

disusun oleh KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) menyebut lima

asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta

kewajaran dan kesetaraan. Ulasan kelima asas tersebut sebagai berikut:

1.

Transparansi

(

Transparancy

)

Artinya sebuah perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan

relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh

stakeholders

.

Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya

masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan melainkan

juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham,

kreditor dan

stakeholder

lainnya.

2.

Akuntabilitas (

Accountability

)

Artinya sebuah perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya

secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara

benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap

memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan

stakeholder

lain.

Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja

perusahaan yang berkesinambungan.

3.

Responsibilitas

(Responsibility)

Artinya sebuah perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan

serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan

sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan

mendapat pengakuan sebagai

good corporate citizen

.

4.

Independensi (

Independency

)

Artinya sebuah perusahaan dikelola secara independen sehingga

masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat

diintervensi oleh pihak lain sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan

secara obyektif.

5.

Kewajaran dan Kesetaraan (

Fairness

)

Artinya sebuah perusahaan dalam melaksanakan kegiatannya harus

senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan stakeholder

lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

Teori Agensi dan

Corporate Governance

Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk

memahami

corporate governance

. Konsep

corporate governance

timbul sebagai

upaya untuk mengendalikan atau mengatasi perilaku manajemen yang

mementingkan diri sendiri terutama yang terkait dengan hak pengendali residual

(

residual control right

).

Corporate Governance

sebagai mekanisme pengendali

yang lebih efektif untuk menyelaraskan kepentingan pemegang saham dengan

kepentingan manajemen.

Corporate governance

merupakan serangkaian mekanisme yang dapat

melindungi pihak-pihak minoritas

(outsider investor atau minority shareholders)

dari ekspropriasi yang dilakukan oleh para manajer dan pemegang saham

pengendali dengan penekanan pada mekanisme legal (Shleifer dan Vishny, 1997

dalam Darmawati, dkk., 2005).

Filosofi dasar yang dipegang oleh para pemegang saham adalah

mendapatkan keuntungan yang maksimal atas investasi yang ditanamkan dalam

(9)

sebuah perusahaan. Hal tersebut dapat diperoleh melalui manajemen perusahaan

yang efektif dan efisien. Para pemegang saham juga mengharapkan keberlanjutan

usaha perusahaan atau

corporate sustainability,

terutama investor jangka panjang.

Bagi para pemegang saham, kepentingan mendasar selain mendapat

keuntungan adalah mendapat perlakuan dan perlindungan yang seimbang dari

perusahaan baik pemegang saham mayoritas maupun pemegang saham minoritas,

domestik maupun asing. Perlindungan dan persamaan ini terutama diperlukan

oleh pemegang saham minoritas. Kedudukan pemegang saham minoritas

seringkali berada dalam posisi lemah dan oleh karenanya perlu dilindungi.

Permasalahan yang cukup krusial dalam memenuhi kepentingan akan

perlakuan yang adil adalah masalah kontrol perusahaan dari para pemegang

saham mayoritas.

Pemenuhan prinsip transparansi bagi pemegang saham adalah

mendapatkan keterbukaan informasi material perusahaan. Perusahaan harus

menerapkan prinsip transparansi untuk memudahkan dan memberikan bahan

pertimbangan yang cukup lengkap bagi para pemegang saham atau calon investor

dalam menentukan apakah perusahaan tersebut layak utnuk menerima modalnya.

Penerapan prinsip transparansi akan memudahkan pengawasan bagi

tindakan-tindakan yang diambil oleh para anggota direksi dan komisaris sehingga

mereduksi penyalahgunaan wewenang direksi dan komisaris. Perusahaan terikat

kewajiban untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan

kinerjanya selama ini.

Efektivitas implementasi prinsip transparansi harus didukung oleh

keaktifan para pemegang saham dalam menjalankan haknya. Selain itu,

perusahaan harus memiliki kemauan untuk memberikan informasi material yang

penting sebagai sarana bagi para pemegang saham dalam mengambil keputusan

berinvestasi. Para pemegang saham juga diharapkan benar-benar mempelajari

informasi tersebut agar tidak sia-sia.

Implementasi

Corporate Governance

terhadap Manajemen Laba

Corporate governanace

merupakan salah satu elemen kunci dalam

meningkatkan efesiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian hubungan antara

manajemen perusahaan, dewan direksi, para pemegang saham dan

stakeholders

lainnya (OECD, 1999).

Corporate governance

juga memberikan suatu struktur

yang memfasilitasi penentuan sasaran-sasaran dari suatu perusahaan, dan sebagai

sarana untuk menentukan teknik monitoring kinerja. Watts (2003), menyatakan

bahwa salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan

membatasi perilaku

opportunistic

manajemen adalah

corporate governance

.

Prinsip-prinsip pokok

corporate governance

yang perlu diperhatikan

untuk terselenggaranya praktik

good corporate governance

adalah; transparansi

(

transparency

),

akuntabilitas

(

accountability

),

keadilan

(

fairness

),

dan

responsibilitas (

responsibility

).

Transparency,

dengan meningkatkan kualitas

keterbukaan informasi tentang “

performance

” perusahaan

secara akurat dan tepat

waktu.

Accountability,

dengan

mendorong optimalisasi peran dewan direksi dan

dewan komisaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional.

Praktik audit yang sehat dan independen mutlak diperlukan untuk menunjang

akuntabilitas perusahaan. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan

mengefektikan komite audit.

Fairness,

dengan memaksimalkan upaya

(10)

perlindungan hak dan perlakuan adil kepada seluruh

shareholders

tanpa kecuali.

Dan

responsibility

, dengan mendorong optimalisasi peran

stakeholders

dalam

mendukung program-program perusahaan (Baridwan, 2003)

Hal tersebut menunjukkan bahwa

corporate governance

mengatur pola

hubungan antara komisaris, direksi dan manajemen agar terjadi

chek and balances

dalam pengelolaan organisasi dan dengan adanya

corporate governance

yang baik

maka keputusan-keputusan penting perusahaan tidak lagi hanya ditetapkan oleh

satu pihak yang dominan misalnya direksi, tetapi ditetapkan setelah mendapat

masukan dari dan dengan mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak yang

berkepentingan

(stakeholder).

KESIMPULAN

Asimetri informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam menguasai

informasi dibanding pihak lain (pemilik atau pemegang saham). Dengan asumsi

bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri

sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong

agent

untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui

principal.

Sehingga dengan adanya asimetri antara manajemen (

agent

) dengan pemilik

(

principal

) memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan

manajemen laba (

earnings management

) dalam rangka memaksimumkan

utility

nya.

Salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan

membatasi perilaku

opportunistic

manajemen adalah

corporate governance

(Watts, 2003). Prinsip-prinsip pokok

corporate governance

yang perlu

diperhatikan untuk terselenggaranya praktik

good corporate governance

adalah;

transparansi (

transparency

), akuntabilitas (

accountability

), keadilan (

fairness

),

dan responsibilitas (

responsibility

).

Berkaitan dengan masalah keagenan,

corporate governance

yang

merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa

berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa

mereka akan menerima

return

atas dana yang telah mereka investasikan. Dengan

kata lain

corporate governance

diarahkan untuk mengurangi asimetri informasi

antara

principal

dan

agent

yang pada akhirnya dapat menurunkan tindakan

manajemen laba.

D

D

A

A

F

F

T

T

A

A

R

R

P

P

U

U

S

S

T

T

A

A

K

K

A

A

Ali, Irfan (2002).

Pelaporan Keuangan dan Asimetri Informasi dalam Hubungan

Agensi

. Lintasan Ekonomi Vol. XIX. No.2. Juli 2002

Alijoyo, F.A. 2003.

Trilogy of Governance,

(online), http://www.fcgi.or.id

Baridwan, Anis (2003).

“Good Corporate Governance: Aturan-aturan dalam

Governing Mechanism”.

Seminar Sehari: Issues Application & Research

In Corporate Governance Dalam Rangka Launching Pusat Studi Corporate

Governance FE UTY.

Belkoui dan Ahmed Riahi. (2000).

Accounting theory,

4th Edition, Thomson

Learning.

Brigham, Eugene F. and Joel F. Houston, 2001.

Fundamentals of Financial

Management

, Ninth Edition, Horcourt College, United States of America

(11)

Cahan, S.F. (1992). The Effect A Antitrust Investigations on Discretionary

Accruals A Refined Test of the Political Cost Hipotesis.

The Accounting

Review

. Vol. 67 No. 1. January, hal. 77-95.

Cornett M. M, J. Marcuss, Saunders dan Tehranian H. (2006).

Earnings

Management, Corporate Governance, and True Financial Performance.

Darmawati, Deni.; Khomsiyah dan Rika Gelar Rahayu, 2005, “Hubungan

Corporate governance dan Kinerja Perusahaan”,

Jurnal Riset Akuntansi

Indonesia, Vol. 8, No. 1, Januari.

Eisenhardt, Kathleen M. 1989.

Theory Agency:

An Assessment and Review. The

Academy of Management Review, Vol. 14, No. 1. Pp 57-74.

Fisher, Marilyn, dan Kenneth Rosenzweigh. (1995). Attitudes of Students and

accounting Practitioners Concerning the Ethical Acceptability of Earnings

Management.

Journal of Business Ethics

, Volume 14, hal. 443-444

Gideon SB Boediono. (2005). Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme

Corporate Governace

dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan

Analisis Jalur.

Simposium Nasional Akuntansi VIII,

IAI, 2005

.

Hall, Steven C. dan Wiliam W. Stammerjohan, (1997). Damage awards and

Earnings Management in The Oil Industry.

The Accounting Review. 72 (1),

Januari.

Healy, Paul M. and J.M. Wahlen. (1999). A Review Of The Earnings

Management Literature And Its Implications For Standard Setting.

Accounting Horizons 13, 365-383.

Hendriksen, E. and M.Van Breda, 1992.

Accounting Theory, 5 th edition.

Irwin

Homewood IL.Jogiyanto Hartono dan Ainun Na’im. (1998). The Effect of

A legal Process on Management of Accruals: Further Evidences on

Management of Earnings. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 13 (2)

Jensen, Michael C. dan W.H. Meckling. (1976). Theory of The Firm: Managerial

Behavior, Agency Cost and Ownership Structure.

Journal of Financial

Economics 3. hal. 305-360.

OECD. 1999.

OECD Principles of Corporate Governance.

Priambodo, R. Ervin A; Eko Supriyatno, 2007,

Penerapan

Good Corporate

Governance Sebagai Landasan Kinerja Perbankan Nasional

,

Usahawan,

No.05. Tahun XXXVI. Mei.

Richardson, Vernon J. (1998).

Information Asymmetry an Earnings Management:

SomeEvidence. Working Paper, 30 Maret.

Ross, A. S. 1973. “The Economic Theory of Agency: The Principal’s Problem”.

American Economic Association.

Volume. 63. N

o

.2.

Schipper, Katherine. (1989). Comentary Katherine on Earnings Management.

Accounting Horizon.

Scott, W. R. 2009.

Financial Accounting Theory

. 5

th

Edition. Prentice-Hall,

Toronto, Canada.

Scott, W.R. 2012.

Financial Accounting Theory

. Six Edition. Prentice-Hall,

Toronto, Canada.

Watts, Ross L. dan Jerold L. Zimmerman. (1986).

Positive Accounting Theory

.

New Jersey: Prentice Hall International Inc.

Watts, Ross L. (2003). Conservatism in Accounting Part I: Explanations and

Implications.

Accounting Horizon,

Vol. 17: 207-221.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang muncul pada tanggung jawab. masa purna penempatan adalah TKI

fasilitas umum pada setiap kecamatan di Kab. Aceh Besar yang dimiliki, maka dapat disusun wilayah agropolitan setiap kecamatan pada Tabel 6. Dari Tabel analisis potensi lahan

Metode pembelajaran memiliki peran yang sangat penting dan sebagai penunjang utama berhasil tidaknya seorang guru dalam mengajar. 37 Salah satu metode

Dari penelitian yang dilakukan penulis berjudul “Pembelajaran Tahfidz Juz ‘Amma di TPQ Ath-Thohiriyyah Parakanonje Karangsalam Kidul Kedungbanteng Banyumas”, dapat

Mengingat bahwa perairan Indonesia masih luas dan potensi lestari yang masih berada sangat jauh di atas hasil produksi tangkapan tuna saat ini, maka peluang untuk meningkatkan

Model sistem dinamika yang ada diharapkan dapat menggambarkan hubungan antara suku bunga Bank Indonesia dengan rupiah terhadap dollar Amerika, sehingga data yang

Untuk itu disarankan beberapa hal (1) guru dapat menggunakan benda tiruan sebagai salah satu alternatif media pembelajaran dalam meningkatkan aktivitas belajar dan hasil

menciptakan mode dan menganggap bahwa seni berbusana adalah kebututran untuk mengekspresikan jati diri seseorang, hal ini dapat dilihat dengan citra