• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kolom Edisi 039, Desember P r o j e c t CONVIVENCIA DI ANDALUSIA. i t a i g k a a n. Ihsan Ali-Fauzi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kolom Edisi 039, Desember P r o j e c t CONVIVENCIA DI ANDALUSIA. i t a i g k a a n. Ihsan Ali-Fauzi"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

“CONVIVENCIA”

DI ANDALUSIA

Ihsan Ali-Fauzi

(2)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

“Convivencia” di

Andalusia

K

einginan beberapa kalangan

muda Muslim untuk mendis-kusikan pengalaman kaum Mus-lim di Andalusia, Spanyol, sebagai sumber inspirasi untuk mengem-bangkan wawasan inklusif dan plural Islam sekarang di tanah air, mengingatkan saya akan satu kata: convivencia. Kata ini sekarang sering digunakan dalam penger-tian “koeksistensi” beberapa ke-lompok dalam satu komunitas politik. Tapi di situ sebenarnya juga terkandung konotasi inter-penetrasi antarkelompok,

(3)

seka-k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

ligus saling pinjam dan saling mempengaruhi secara kreatif.

Adalah Americo Castro, filolog dan sejarawan Spanyol, yang membuat kata itu terkenal. Ia menggunak-annya untuk menggambarkan bu-daya Iberia sebagai sebidang pen-galaman di mana terjadi interaksi antarberbagai unsur budaya yang berasal dari kelompok-kelompok agama yang berbeda yang, dalam karakterisasinya, berfungsi seperti kasta. Yang menjadi latar teoreti-sasinya adalah pengalaman kaum Muslim, Yahudi dan Kristen di Spanyol. Khususnya ketika kaum Muslim berkuasa di wilayah itu pada abad kedelapan hingga ke-limabelas.

Castro agak idealistik dan roman-tik dalam memandang pengala-man itu. Interaksi antarberbagai unsur budaya dalam kasus itu, baginya, hanya dapat dipandang bermakna jika ia disaring oleh

(4)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

adanya kesadaran kolektif pada ketiga “kasta” itu. Saringan itu sebagian besarnya bersifat etnis: ketiganya memiliki unsur-unsur dan nilai-nilai budaya yang idi-osinkretik, tapi juga semuanya harus bisa diaprosiasi oleh anggota “kasta” yang berbeda dan sebena-rnya saling berkompetisi itu. Bagi Castro, orang-orang hanya bisa menjadi aktor-aktor etnis kalau mereka secara kolektif memiliki rasa kesadaran-diri. Pada titik ini ia mendesakkan paham teleologis mengenai nasib, mengenai orang yang “menjadi sesuatu”: budaya yang diproyeksikan satu kelompok adalah sesuatu yang oleh kelom-pok itu harus dipandang bernilai. Dan akhirnya, kelompok budaya yang bersangkutan harus mampu mengekspresikan kesadaran-diri ini dalam bentuk budaya tinggi yang menjadi, karena itu, daya penggerak masyarakat.

(5)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

romantik seperti ini, bagaimana pengalaman Andalusia dijelaskan? Kata Castro, pengalaman

per-gumulan kaum Kristiani dengan kaum Yahudi dan Muslim berlang-sung di dalam konteks kesadaran mereka sebagai umat Kristiani – dan begitu juga sebaliknya, mu-tatis mutandis. Pada titik inilah convivencia memperoleh maknan-ya maknan-yang sesungguhnmaknan-ya: ia adalah koeksistensi ketiga kelompok itu, tetapi hanya sejauh jika ia berlang-sung secara kolektif dan sadar-diri di dalam satu di antara ketiganya. Saling pinjam dan pengaruh ter-jadi secara kreatif, asal-usul diri tidak hilang, nilai budaya tidak dikecilkan—dan pada tingkat “bu-daya tinggi,” yang menjadi ““bu-daya penggerak masyarakat,” asal-usul menjadi tak lagi penting.

Oleh rekan-rekan sejarawannya, pandangan idealistik dan roman-tik Castro sulit diterima. Ia dinilai kurang melihat dinamika sosial yang terjadi, termasuk ketegangan

(6)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

dan konflik di antara ketiga ke-lompok. Yang melulu dilihatnya adalah proses mental, kehendak untuk saling berbagi dan hidup damai. Ia melupakan kenyataan bahwa proses-proses itu dibentuk dan hingga tingkat tertentu diten-tukan oleh sebuah dinamika sosial. Tapi visinya mengenai Andalusia tetap didukung. Hanya saja, con-vivencia “diturunkan” maknanya agar lebih membumi dan historis, menjadi sekadar “koeksistensi.” Itu juga agar aspek-aspek negatif pergumulan itu bisa dideteksi dan dievaluasi.

Konteks dan dinamika sosial sepu-tar koeksistensi ini, atau conviven-cia, dengan sendirinya penting kita pelajari. Ada visi para khalifah Islam yang bijak di situ, tetapi ada juga keinginan untuk sama-sama menopang kepentingan yang wajar dan masuk akal.

(7)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

Tahun 1992, Bernjamin Gampel, seorang sarjana Yahudi, mengisah-kan pergumulan itu dari sudut pandang umat Yahudi Sephardik. Ini menarik ditelusuri karena dua alasan. Pertama, kaum Yahudilah pihak paling lemah dalam pergu-mulan itu. Kedua, sejarah Andalu-sia di bawah kaum Muslim dipan-dang mereka, termasuk sejarawan Bernard Lewis, sebagai the golden age di mana umat Yahudi mem-peroleh perlakuan yang baik dan kontribusi mereka dihargai seting-gi-tingginya.

Kata Gampel, dan ia benar belaka, convivencia justru berawal dari ekspedisi militer, ketika pasukan Islam berhasil menduduki kepu-lauan Iberia pada 711. Dari sinilah kemudian muncul kategorisasi te-ologis oleh pasukan yang menang perang: kaum Yahudi dan umat Kristiani dipandang sebagai ahl al-dzimmah (warga negara yand dil-indungi). Sekalipun diperlakukan

(8)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

sebagai warga kelas dua, kelompok minoritas yang diproteksi, mereka tidak dipandang sebagai kaum pa-gan yang dalam konteks waktu itu dianggap halal darahnya.

Simbiose ketiga umat baru me-ningkat pesat di abad kesepuluh, ketika `Abd al-Rahman III, amir Bani Umayyah yang memerintah kepulauan itu dari Cordoba, me-nyatakan otonomi penuh pemerin-tahan dan daerahnya dari kekhali-fahan `Abbasiyah di Baghdad. Ia menggalakkan kebijakan inklusif-nya dalam hal agama dan etnisi-tas, untuk meredam pergolakan yang terjadi di dan menyatukan wilayahnya. Ia menopang kehidu-pan seni dan ilmu, dan mendo-rong kalangan minoritas untuk mengembangkan potensi intelek-tual dan budaya mereka.

Umat Kristiani, yang sebelumnya pernah berkuasa di wilayah itu, mulanya ogah-ogahan menerima

(9)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

posisi sebagai warga kelas dua. Beberapa gejolak terjadi di ka-wasan mereka tinggal. Kemudian mereka mendukung kebijakan inklusif itu. Sedang bagi umat Ya-hudi, tawaran ini kemajuan amat berarti dibanding sebelumnya, di abad keenam, ketika mereka dikejar-kejar oleh kaum Visigoth bangsa Aria.

Benih-benih convivencia sudah mulai tersebar saat itu. Tapi vitali-tas keagamaan semua umat tidak hanya berasal dari situ, sekalipun jelas ditopang oleh keterbukaan-nya pada dunia luar. Para sarjana dan pemikir Yahudi justru lebih banyak lagi mendulang inspirasi dan model dari wilayah Islam di sebelah timur, dari pusat kekhali-fahan `Abbasiyyah di Baghdad. Dari pusat kekuasaan politik dan gairah intelektual itu, mengalir se-gala temuan dalam studi-studi atas Alkitab dan Talmud, pengetahuan mengenai filsafat dan sains,

(10)

pen-P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

guasaan atas bahasa Ibrani dan kesusastraannya. Semuanya ber-kat keterbukaan Andalusia kepada pengaruh luar. Ini juga yang ke-mudian memungkinkan tersalur-kannya sumbangan umat Yahudi di Iberia kepada dunia luar.

Tapi itu saja belum mencirikan capaian tertinggi convivencia. Puncak the golden age ini ditandai oleh sikap kaum Muslim terhadap kelompok minoritas di sana. Seb-agai bagian dari kebijakannya agar semua kelompok etnis dan agama berpartisipasi dalam pemerintah-annya, `Abd al-Rahman meny-eleksi para pejabat pemerintahan di posisi tertinggi yang mewakili masing-masing kelompok minori-tas dan menjadikan mereka pe-mimpin efektif komunitas-komu-nitas itu. Orang-orang ini dipilih atas dasar kontribusinya bagi negara, dan bukan atas dasar tem-pat terhormatnya di komunitas bersangkutan karena

(11)

alasan-ala-k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

san teknis keagamaan, misalnya penguasaan atas kitab suci. Mere-ka biasanya berasal dari Mere-kalangan aristokrat, banyak di antaranya dokter, dan menguasai banyak bahasa: jenis orang yang bergaul baik dengan kalangan istana Bani Umayyah.

Oleh umat Yahudi, wakil yang dipilih `Abd al-Rahman ternyata juga dipandang sebagai wakil yang dapat memperjuangkan kepentin-gan mereka. Contoh terkenalnya adalah Hasdai ibn Shaprut. Ia keturunan aristokrat, mengerti bahasa Arab dan Latin, berprofesi sebagai dokter, dan pertama kali dikenal khalifah karena keahlian medisnya. Ia kemudian ditunjuk sebagai pengumpul pajak di be-berapa tempat. Sejak ia ditunjuk sebagai pemimpin masyarakat Yahudi, umat Yahudi pada giliran-nya memandanggiliran-nya sebagai nasi, putra mahkota mereka.

(12)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

Model Hasdai ini menjadi proto-tipe wakil Yahudi di istana sejak abad kesepuluh hingga akhir abad kelimabelas, ketika baik umat Yahudi maupun Islam diusir dari kepulauan itu oleh raja-raja Kris-ten yang berkuasa kemudian. Kewajiban dan tanggung jawab utama Hasdai, seperti juga semua wakil agama dan etnis, adalah menjadi pembantu yang setia di istana, siapa pun yang berkuasa di situ. Ada ketegangan struktural dalam realitas ini, khususnya yang kadang meletup antara wakil ini dengan wakil-wakil komunitas Yahudi yang resmi. Tinggallah bagaimana si wakil mengelola ketegangan-ketegangan itu den-gan baik.

Pada kasus Hasdai, ia dipandang berhasil menjadi jembatan an-tara kekhalifahan dan masyarakat Yahudi. Kadang ia juga menjadi jurubicara Yahudi di Iberia

(13)

den-k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

gan komunitas Yahudi di luar itu. Ia juga dengan percaya diri men-gambil contoh yang baik dari ko-munitas Muslim, khususnya mi-nat besar Khalifah pada ilmu dan kebudayaan: ia mengundang para sarjana, penyair, filsuf Yahudi ke Iberia. Dengan begitu Iberia juga menandai kebangkitan agama Ya-hudi, dengan tokoh-tokoh menon-jol seperti Maimonides.

***

Bagaimana kita melihat pengala-man convivencia ini? Saya men-catat sedikitnya tiga hal penting. Pertama, ada konteks kesejarahan di mana kaum Muslim berada di masa kejayaan. Ini topik besar yang berada di luar bahasan kita, yang masih harus dibicarakan apa dasar-dasar kesuksesannya, khu-susnya basis ekonominya. Yang pasti, telah tampil di tengah itu

(14)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

sebuah kekhalifahan yang berwa-wasan luas dan berkinerja baik. Kedua, ditopang oleh kejayaan itu, ada kesediaan untuk membuka diri baik kepada kalangan minori-tas di dalam maupun saingan di luar (kekhalifahan `Abbasiyah di Baghdad). Di bawah naungan institusi dzimmah, kekhalifahan dengan baik memanfaatkan po-tensi kalangan minoritas di dalam justru untuk memperkuat dirinya dalam persaingannya dengan saingan sesama Muslim di luar. Ketiga, yang terpenting dalam konteks kita, pelibatan kalangan minoritas berlangsung dalam suatu iklim pemerintahan yang boleh kita sebut sekular. Para pe-jabat, juga dari kalangan minori-tas, dipilih bukan karena keahl-ian agamanya, melainkan karena kemampuannya menjalankan pemerintahan. Bahwa kemudian

(15)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

ia, seperti Hasdai, memperoleh penghargaan tinggi dari komuni-tas agamanya, itu tambahan yang penting. Itu juga membuktikan bahwa sejenis sekularisasi justru bermanfaat besar bagi kemasla-hatan umat beragama.

Bayangan Castro mengenai con-vivencia di Andalusia mungkin memang terlalu idealistik dan romantik. Tetapi koeksistensi an-tara ketiga komunitas agama me-mang terjadi, yang ditandai oleh saling pinjam dan saling mempen-garuhi yang kreatif.[]

(16)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

© 2011

Kolom ini diterbitkan oleh Democracy Project,

Yayasan Abad Demokrasi. Untuk berlangganan, kunjungi www.abad-demokrasi.com Kode kolom: 038K-IAF012

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Allah Swt, karena atas rahmat dan ridho-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Teknik Relaksasi Autogenik terhadap

Hasil pembahasan menunjukkan bahwa Menurut Ibnu Qudamah, akad nikah yang dilakukan orang safih (dungu) adalah sah, baik dia memperoleh izin dari walinya atau tidak, hal

Di Indoesia maupun di negara asalnya punk dikategorikan sebagai bentuk wujud sebuah subkultur yang dimana subkultur memiliki nilai-nilai esensi yang

7 bahaya kesehatan lingkungan yang teridentifikasi adalah perilaku rumah tangga yaitu perilaku tidak sehat, yang mencakup perilaku tidak cuci tangan pakai sabun (CTPS), perilaku

Sistem vertiminaponik adalah penggabungan budidaya hortikultura dengan budidaya ikan dalam satu system pertanian hidroponik.

Sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai instansi yang melaksanakan perumusan, koordinasi, dan pelaksanaan kebijakan serta penerapan standar teknis di bidang

Jayapura-Elelim- Wamena (61,8 km) Waropko-Oksibil (41,3 km) Dekai-Oksibil (3 km) Kenyam-Dekai (167 km) Wamena-Mulia-Ilaga-Enarotali (127,2 km) Wagete-Timika (7,1

Renstra ini akan menjadi pedoman dan arahan bagi seluruh civitas akademika di Poltekkes Kemenkes Kupang dalam penyelenggraan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam