• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI,

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1.Tinjauan Pustaka

Kopi Arabika di Indonesia dengan luasan hanya 3,6% dari luas areal kopi, sedang ditinjau letak geografisnya adalah merupakan daerah potensi tanaman Kopi Robusta dan Arabika. Produktivitas kopi rata-rata masih rendah, yaitu sekitar 564 Kg/Ha. Selain itu kopi Indonesia umumnya dikenal mempunyai cita rasa yang rendah. Peningkatan produksi kopi dapat dilakukan melalui intensifikasi pengelolaan kebun yang sudah ada, konversi dari komoditas lain menjadi kopi, serta pengembangan kopi di lahan baru. Upaya tersebut perlu didasari dengan pengetahuan persyaratan lahan, teknis budidaya, maupun cara pengolahan yang tepat agar diperoleh mutu hasil yang baik, sehingga pekebun dapat memperoleh harga yang tinggi (Anonimus1, 2012).

Jenis kopi yang tumbuh di sebagian besar Provinsi Sumatera Utara adalah Arabika. Kabupaten penghasil Kopi Arabika terbaik dari Indonesia berada di Kabupaten Tapanuli Utara – Kopi Lintong, Kabupaten Mandailing-Kopi Mandailing, dan Kabupaten Gayo-Kopi Gayo. Dari hasil pengamatan penulis terdapat dua kabupaten yang banyak mengalami perluasan areal perkebunan kopi yaitu Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Samosir. Pada tahun 2006 luas areal perkebunan kopi di Sumatera Utara sekitar 51.044 hektar dengan jumlah produksi mencapai 41.709 ton/tahun (Panggabean, 2011).

(2)

Dalam Najiyati (2008), Lebih dari 90% tanaman kopi di Indonesia diusahakan oleh rakyat. Umumnya, tanaman kopi rakyat sudah berumur cukup tua sehingga tidak produktif lagi. Penerapan teknologi pun masih sederhana. Sehingga produksi dan mutunya rendah. Untuk mengatasi hal ini maka langkah yang perlu ditempuh oleh petani sebagai berikut:

1. Mengembangkan varietas Kopi Arabika unggul pada lahan yang sesuai.

2. Mengganti tanaman tua dengan tanaman muda varietas unggul yang dianjurkan (peremajaan)

3. Menerapkan teknik budidaya yang benar, baik sistem penanaman, pemangkasan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, maupun pengaturan naungan

4. Menerapkan sistem pemanenan dan pengolahan yang benar, baik cara pemetikan, pengolahan, pengeringan maupun sortasi.

Perbedaan antara Kopi Robusta dan Arabika adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Perbedaan Kopi Arabika dan Kopi Robusta

Perbedaan Kopi Arabika Kopi Robusta

Tahun Ditemukan 1753 1895

Kromosom (2n) 44 22

Waktu dari berbunga sampai berbuah

9 bulan 10-11 bulan

Berbunga Setelah hujan Tidak tetap

Buah Matang Jatuh Dipohon

Akar Dalam Dangkal

Temperatur optimal(rata-rata/tahun)

(3)

Curah Hujan optimal 1500-2000mm 2000-3000 mm

Kandungan Kafein 0,8-1,4% 1,7-4,0%

Bentuk Biji Datar Oval

Karakter Rebusan Asam Pahit

Sumber: ICO, 2008

Tercatat, panen kopi 2011 turun menjadi 633.991 ton dibanding panen 2010 yang mencapai 686.921 ton. Angka panen itu akan mempengaruhi produktivitas lahan pada 2011 yang hanya memproduksi 672 kilogram per hektar. Padahal pada 2010 mencapai 780 kilogram per hektare. Sesuai data Direktorat Jenderal Perkebunan melengkapi pencapaian panen pada 2011 sebanyak 487.230 adalah kopi jenis Robusta. Sementara sisanya jenis Arabika. Kopi Arabika mengalami pertumbuhan yang lebih signifikan dibanding Robusta. Jenis Arabika mampu tumbuh 9,93% per tahun sedangkan Robusta hanya 3,58% (Purwo,2012).

Ketepatan waktu panen sangat berpengaruh terhadap mutu kopi yang dihasilkan. Oleh sebab itu kopi harus dipanen pada tingkat kematangan yang tepat. Tingkat kematangan yang tepat ditandai dengan buah yang telah berwarna merah terang. Iklim dan jenis kopi mempengaruhi masa pembungaan sehingga waktu panen juga dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).

Menurut Nurul (2008), untuk menghasilkan produk yang baik maka diperlukan tenaga kerja wanita untuk melakukan grading yaitu memilih kopi tersebut sesuai dengan kelasnya. Untuk grading Kopi Arabika dengan kadar kering 13 % berdasarkan kualitas di Sumatera (Sumatera Utara dan Dataran Tinggi Gayo NAD)adalahsebagai berikut :

(4)

Tabel 4. Grade Kopi Arabika di Sumatera Grade Nilai 1 0-11 2 12-25 3 26-44 4a 45-60 4b 61-80 5 81-150 6 151-225

Sumber: Tim Karya Tani Mandiri, 2010

Dalam buku Tim Karya Mandiri (2011), yang berjudul Pedoman Budidaya Tanaman Kopi dijelaskan bahwa standar mutu diperlukan sebagai tolak ukur dalam pengawasan mutu dan merupakan perangkat pemasaran dalam menghadapi klaim dari konsumen dan dalam memberikan umpan balik ke bagian pabrik dan bagian kebun. Standar ini harus dipenuhi agar kopi yang telah diolah oleh pabrik dapat diterima oleh konsumen dan sebagai tolak ukur apakah sudah memenuhi kriteria yang telah ditentukan atau belum. Standar nasional Indonesia biji kopi menurut SNI No 01-2907-1999 adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Spesifikasi Persyaratan Mutu Biji Kopi

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Kadar air (b/b) % Masksimum 12

2 Kadar kotoran berupa ranting, batu, tanah dan benda-benda asing lainnya

% Masksimum 0,5

3 Serangga hidup - Bebas

(5)

5 Biji ukuran besar, tidak lolos ayakan lubang bulat ukuran diameter 7.5 mm (b/b)

% Maksimum lulus 2.5

6 Biji ukuran sedang lolos ayakan lubang bulat ukuran diameter 7.5 mm,tidak lolos ayakan lubang bulat ukuran diameter 6.5 mm (b/b)

% Maksimum lulus 2.5

7 Biji ukuran kecil, lolos ayakan lubang bulat ukuran diameter 6.5 mm, tidak lolos ayakan lubang bulat ukuran diameter 5,5 mm (b/b)

% Maksimum lulus 2.5

Sumber: Star Farm, 2009

Dalam penentuan harga maka kelas mutu adalah salah satu faktor yang mempengaruhi harga , semakin sedikit jumlah biji kopi yang cacat maka harganya pun semakin tinggi dan sebaliknya semakin banyak cacat kopi maka harganya semakin rendah. Pada dasarnya kelas mutu satu dan dua adalah sebagai komoditi ekspor ke luar negeri (Saragih, 2007).

Dengan pertimbangan harga jual yang lebih mahal dibanding Kopi Robusta dan dengan melihat minat yang tinggi di pasaran, pengembangan Kopi Arabika dinilai sangat menguntungkan. Di daerah Sumatera Utara banyak lahan yang cocok untuk ditanami Kopi Arabika. Sebaiknya pemerintah di masing- masing daerah sentra kopi melirik peluang tersebut. Jika luas areal pertanaman Arabika dikembangkan sejalan dengan peremajaan Kopi Robusta, maka produksi kopi dalam negeri akan banyak. Dengan kemampuan untuk memproduksi kopi yang meningkat maka akan memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil kopi (Silalahi, 2012).

(6)

Pakpahan, et.al (1993) dalam Munir (2008), membagi faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung.

1. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, petumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang.

2. Faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi yang memadai telah membuka wawasan penduduk pedesaan terhadap dunia baru di luar lingkungannnya.

Dari hasil penelitian Tarwyati (1991), yang berjudul” Evaluasi Proyek Konversi Tanaman Kopi Menjadi Tanaman Teh” dijelaskan pada proyek konversi tanaman kopi menjadi tanaman teh menunjukan penggantian atau pembongkaran areal tanaman kopi dan diganti dengan penanaman tanaman teh. Hal ini disebabkan siklus produksi tanaman kopi sudah mencapai tahap penurunan dengan bertambahnya waktu, dengan kata lain umur tanaman kopi telah tua sehingga produktivitas tanaman menurun. Penurunan produktivitas kopi akan menurunkan pendapatan dari usaha tanaman kopi sedangkan pendapatan dari tanaman kopi akan meningkat sejalan dengan peningkatan produktivitas tanaman (cateris paribus). Usaha peremajaan atau konversi tanaman dengan tanaman lain dianggap lebih menguntungkan dalam hal ini adalah tanaman teh.

Berdasarkan hasil penelitian Hutasoit (2010) yang berjudul “ Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Petani Mengganti Tanaman Coklat Ke Tanaman Sawit di Desa

(7)

Blok X Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai” bahwa faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah modal dan cara kerja, harga sawit yang terus meningkat dan akibat pengaruh adanya masyarakat yang telah menanam sehingga ada keinginan untuk mengikutinya.

Dalam penelitian Purba (2009), yang berjudul” Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun” faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dari teh menjadi kelapa sawit yaitu harga teh, yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alih fungsi lahan. Berarti penurunan harga teh mengakibatkan peningkatan alih fungsi lahan. Dan pengaruh harga TBS berpengaruh positif dan signifikan terhadap alih fungsi lahan dan faktor selanjutnya adalah jumlah tenaga kerja. Dimana perubahan alih fungsi lahan secara langsung merespon ketiga variabel tersebut.

Dari hasil penelitian Supriadi (2010) di Desa Kubu, Kecamatan Lawe Alas Kabupaten Aceh Tenggara, diketahui bahwa faktor penyebab yang paling dominan menjadi faktor penyebab adalah harga, yang selanjutnya pendapatan yang lebih tinggi, modal, pengetahuan dan pendidikan petani itu sendiri.

Pada hasil penelitian Aprianita (2011) “Alih Fungsi Lahan Tebu Menjadi Lahan Kelapa sawitdi PTPN II Unit Kebun Tandem”bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi kebun kelapa sawit diganti menjadi tanaman kelapa sawit di PTPN II unit tandem adalah pengaruh tingkat pendapatan. Dimana pendapatan dipengaruhi oleh rendemen. Dalam hal ini rendemen tebu mengalami penurunan

(8)

(6%) sedangkan kelapa sawit rendemennya sekitar 22% untu CPO dan PKO sekitar 4%.

Pada dasarnya adanya konversi tanaman Kopi Robusta ke Kopi Arabika dilakukan dengan berbagai pertimbangan antara lain adanya perbedaan harga kopi dimana harga Kopi Arabika lebih tinggi dibandingkan Kopi Robusta secara khusus di pasar dunia. Pada dasarnya secara global komposisi kopi dunia masih didominasi oleh Kopi Robusta, sedangkan Kopi Arabika hanya mencapai 6 persen. Banyak lahan yang ditanami Kopi Robusta yang sebenarnya sesuai syarat kesesuain lahan lebih cocok untuk pertanaman Kopi Arabika. Tanaman Kopi Arabika yang merupakan hasil konversi dengan proses penyambungan dapat menghasilkan lebih awal dibandingkan dengan tanaman kopi yang dihasilkan dari penanaman biji. Harapannya Kopi Arabika dapat mencapai 30 persen dari produksi kopi nasional. Diasumsikan produksi kopi nasional saat ini 450.000 ton per tahun, dan diharapkan terjadi peningkatan sekitar 30 persen per tahun pada produksi Kopi Arabika serta selisih harga nominal antara Kopi Robusta dan Kopi Arabika minimal US$ 1, dengan demikian diharapkan adanya peningkatan devisa hingga mencapai US$ 67.500 juta atau sekitar Rp 141.750 milyar. Pendapatan petani juga akan meningkat dengan penanaman Kopi Arabika dibandingkan jika petani menanam Kopi Robusta (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).

Untuk peningkatan nilai ekspor komoditi kopi, pemerintah sedang menggalakkan program pengembangan Kopi Arabika yang dikaitkan dengan tanaman Kopi Robusta. Yaitu dengan melihat lahan areal pertanaman Kopi Robusta yang sesuai untuk pertanaman Kopi Arabika. Dalam artian akan dilakukan perluasan areal

(9)

pertanamanan Kopi Arabika dengan pemanfaatan lahan yang digunakan sebelumnya untuk pertanaman Kopi Robusta.Dimana areal yang sesuai untuk pertanaman Kopi Arabika yaitu daerah yang memiliki ketinggian tempat 700 m dpl atau lebih. Dimana aspek budidaya Kopi Arabika meliputi pemilihan bahan tanam, persiapan lahan, penanaman pohon penaung, dan teknik pemangkasan tanaman kopi (Anonimus2, 2012).

Menurut Muljana (2010), bahwa 80% terdiri dari Kopi Arabika dan 20% jenis Kopi Robusta. Sebenarnya memang ada lagi jenis Kopi Liberika, akan tetapi jenis ini sekarang tidak lagi banyak ditanam oleh orang karena banyak mengandung rasa asam hingga tidak begitu disukai. Kopi yang banyak ditanam di Indonesia adalah jenis dari Arabika dan Robusta. Akan tetapi sebenarnya jenis kopi tersebut bukanlah merupakan tanaman asli Indonesia. Asal dari kopi tersebut dari Benua Afrika.

Utomo dkk (1992), mendefinisikan alih fungsi lahan adalah adanya perubahan pada fungsi lahan dari fungsi sebelumnya baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian dari lahan menjadi fungsi lain yang akan memberikan dampak negatif baik pada lingkungan maupun pada potensi lahan itu sendiri. Sehingga dilakukan dua pendekatan yang dapat ditempuh untuk tindakan pengendalian proses alih fungsi lahan yaitu pendekatan secara kelembagaan dan pendekatan secara ekonomi. Adapun pendekatan kelembagaan menyangkut pembuatan larangan alih fungsi lahan untuk jenis lahan tertentu, sedangkan untuk pendekatan secara ekonomi menyangkut tindakan pemberian insentif bagi petani sehingga petani tidak menjual lahan mereka kepada para investor.

(10)

Adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran lahan akan memacu terjadinya alih fungsi lahan dimana permintaan lahan tidak terbatas sedangkan penawaran lahan terbatas. Menurut Barlowe ( 1978), faktor- faktor yang mempengaruhi penawaran lahan adalah karakteristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor- faktor yang mempengaruhi permintaan lahan adalah adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai – nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia.

Perkembangan luas lahan Kopi Robusta yang semakin menurun 5 tahun terakhir di daerah penelitian disebabkan oleh beralihnya petani menanam Kopi Arabika karena pengaruh harga Kopi Arabika lebih tinggi, umur tanaman yang singkat. Dan kebanyakan tanaman Kopi Robusta sudah lebih tua dan tidak ada yang menanamnya lagi hanya melakukan perawatan terhadap tanaman yang masih ada dan banyak tanaman Kopi Robusta yang ditebang karena tidak produktif (Sinaga, 2008).

2.2.Landasan Teori

Alih fungsi lahan atau yang lazimnya disebut konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi yang lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/ penyesuaian, peruntukan penggunaan disebabkan oleh faktor-faktor

(11)

yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Ningrum, 2011).

Menurut Nasution dan Winoto (1996) dalam Alamsyah (2010) dikatakan bahwa secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh faktor: sistem kelembagaan yang dikembangkan masyarakat dan pemerintah dan faktor non lembaga yang berkembang secara alami di masyarakat.

Menurut Suwandi (2002) dalam Prakarsa (2010), bahwa alih fungsi itu pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan situasi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi mengakibatkan penggunaan lahan yang lebih luas. Hal ini disebabkan nilai land rent dari aktivitas yang baru lebih tinggi daripada aktivitas sebelumnya.

I’adjarajani (2001), menjelaskan bahwa alih fungsi lahan pertanian diakibatkan perubahan kondisi sosial rumah tangga petani tersebut, yang diidentifikasikan dari adanya: (1) perubahan jenis mata pencaharian pokok di bidang pertanian, (2) penurunan konsumsi kebutuhan pokok sehari-hari keluarga, (3) Penurunan kemampuan pemenuhan kebutuhan kesehatan keluarga (4) Penurunan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal keluarga, (5) Penurunan kemampuan pengembangan pendidikan keluarga, (6) Penurunan kemampuan mobilitas.

Wahyunto et al, (2001) dalam Purba (2009) menyatakan bahwa pada dasarnya perubahan penggunaan lahan tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan pembangunan. Perubahan tersebut dapat diakibatkan oleh dua hal. Yang pertama untuk memenuhi kebutuhan hidup dan yang kedua untuk memenuhi tuntutan

(12)

kehidupan yang lebih baik. Dan pendapat para ahli menyatakan bahwa perubahan itu cenderung diakibatkan oleh keinginan dan kebutuhan manusia.

Menurut Lestari (2009) dalam Prakarsa (2010) menyatakan bahwa alih fungsi yang merupakan perubahan fungsi seluruh atau sebagian lahan menjadi fungsi yang lain. Perubahan fungsi ini disebabkan oleh faktor- faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin bertambah dan hidup yang lebih baik.

Dalam kegiatan usaha tani keputusan petani dipengaruhi karakteristik sosial ekonomi. Pada dasarnya produksi dan pendapatan petani merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Untuk peningkatan pendapatan petani kopi maka diperlukan suatu tindakan pengelolaan sehingga kegiatan usaha tani dapat dilakukan secara efisien dengan biaya yang diminimalisir. Jika pengelolaan usaha tani kopi sudah dilakukan dengan benar maka usaha tani kopi akan layak dilakukan secara finansial (Rahma, 2012).

Pokok persoalan ekonomi yang dihadapi produsen adalah bagaimana dengan sumberdaya yang terbatas dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya. Produsen dikatakan berhasil secara ekonomi apabila usahanya itu rendabel atau menghasilkan laba. Untuk mencapai hasil seperti yang diharapkan seorang produsen harus bertindak secara ekonomis, artinya mesti mempertimbangkan hasil dan pengorbanan. Hasil yaitu produk ( barang/jasa) yang dihasilkan yang dinilai dengan uang menurut harga pasar menimbulkan penerimaan. Pengorbanan yaitu faktor-faktor produksi yang digunakan: bahan tenaga kerja, mesin dan

(13)

peralatan dan sebagainya yang dinilai dalam uang yang menurut harga pasar adalah biaya (Gilarso, 2003).

Dalam keputusan memproduksi suatu barang masyarakat selalu dihadapkan pada masalah yang harus dipecahkan. Masyarakat ekonomi dihadapkan pada pilihan diakibatkan sumberdaya untuk memproduksi suatu barang bersifat terbatas atau langka. Dengan adanya kendala ataupun keterbatasan ini maka masyarakat harus mempertimbangkan barang atau jasa yang akan diproduksi. Dan tidak hanya jenis barang atau jasa apa saja yang menjadi pertimbangan bagi masyarakat, tetapi juga menyangkut jumlah yang akan di produksi. Pada kenyataannnya tidak ada perekonomian yang mampu memproduksi sejumlah yang diinginkan masyarakat. Jika terjadi penambahan jumlah yang diproduksi pada suatu barang/ jasa maka akan terjadi pengurangan jumlah pada barang/ jasa yang lain. Hal ini lah yang menjadi pertimbangan bagi masyarakat dalam mengambil keputusan barang apa yang akan diproduksi dan berapa jumlah barang tersebut (Salvatore, 2006).

Menurut Suwandi (2002) dalam Matondang (2011), model klasik dari alokasi lahan adalah model Ricardo (Ricardian Rent). Menurut model ini, alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) yang lebih tinggi, yang tergantung pada derajat kualitas lahan yang ditentukan oleh kesuburannya serta kelangkaan lahan.

Dalam model Ricardian rent dijelaskan bahwa adanya alokasi penggunaan lahan ke penggunaan lain dikarenakan adanya perbedaan land rent yang memberikan penggunaan lebih menguntungkan. Oleh karena itu adanya alih fungsi komoditi

(14)

yang secara ekonomis dianggap lebih menguntungkan.Dalam model ini dijelaskan adanya alokasi penggunaan lahan dikarenakan adanya perbedaan land rent yang menghasilkan keuntungan lebih. Dan hal ini adalah pemicu alih fungsi lahan komoditi yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomis.

Menurut Winoto (2005) dalam Prakarsa (2010), hubungan antara land rent yang dapat dikatakan surplus ekonomi merupakan kelebihan produksi diatas biaya total dan alokasi sumberdaya lahan memiliki hubungan yang sangat erat dikarenakan adanya kompetisi antara berbagai sektor yang strategis. Jika sektor tersebut memiliki nilai komersial yang tinggi sektor tersebut dikatakan memiliki land rent

yang tinggi dan pada keadaan stategis, sedangkan apabila sektor tersebut memiliki nilai komersial yang rendah dikatakan memiliki land rent yang kecil.

(15)

2.3.Kerangka Pemikiran

Gbr 2. Skema Kerangka Pemikiran

ALIH FUNGSI TIDAK ALIH

FUNGSI

Faktor Pendorong dan Penarik 1. Umur Panen I 2. Intensitas Panen 3. Perbedaan Harga Jual 4. Waktu Pengerjan Usaha Tani 5. Perbedaan Produktivitas 6. Waktu pengeringan 7. Jam Kerja Pasca Panen 8. Biaya Pupuk 9. Pengalaman Usahatani 10.Luas Lahan 11.Umur Petani 12.Umur Tanaman

Faktor Pendorong dan Penarik 1. Umur Panen I 2. Intensitas Panen 3. Perbedaan Harga Jual 4. Waktu Pengerjan Usaha Tani 5. Perbedaan Produktivitas 6. Waktu pengeringan 7. Jam Kerja Pasca Panen 8. Biaya Pupuk 9. Pengalaman Usaha Tani 10.Luas Lahan 11.Umur Petani 12.Umur Tanaman

(16)

Dalam mempertahankan hidupnya penduduk menggunakan lahan sebagai sumberdaya baik dalam pertanian, peternakan, kehutanan, pertambanagan, perindustrian dan perdagangan, dan lain sebagainya. Sehingga sering terjadi perubahan bentuk penggunaan lahan pertanian yang dilakukan oleh penduduk.

Lahan merupakan input produksi yang sering mengalami konflik diakibatkan ketersediaan yang terbatas sedangkan kepentingan atau kebutuhan akan lahan yang meningkat dari tahun ke tahun. Lahan merupakan suatu input produksi yang sangat berpengaruh pada keberlanjutan produksi pertanian . Lahan Kopi Robusta yang luas sangat penting untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal. Namun seiring dengan alih fungsi lahan Kopi Robusta menjadi lahan Kopi Arabika yang terjadi maka luas lahan Kopi Robusta semakin menurun. Dan hal ini akan mengakibatkan penurunan produksi Kopi Robusta yang harus diperhitungkan sebagai dampak negatif alih fungsi Kopi Robusta menjadi Kopi Arabika.

Daerah Kecamatan Raya adalah daerah yang produktif untuk usaha tani Kopi Robusta tetapi saat ini pertanian Robusta mengalami alih fungsi lahan menjadi komoditi Kopi Arabika. Pada daerah ini petani yang pada awalnya menggunakan lahan nya untuk pertanaman Kopi Robusta kini mengubah fungsi lahan tersebut menjadi areal penananaman Kopi Arabika. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, maka dalam penelitian ini diduga bahwa ada faktor-faktor yang menjadi penarik dan pendorong petani melakukan alih fungsi lahan. Faktor-faktor tersebut adalah Umur panen I, Intensitas Panen, Perbedaan Harga Jual, Waktu Pengerjaan Usaha Tani, Perbedaan Produktivitas, Waktu Pengeringan ,

(17)

Jam Kerja Pasca Panen, Biaya Pupuk, Pengalaman Usaha Tani, Luas Lahan, Umur Petani, dan Umur Tanman antara Kopi Robusta dan Kopi Arabika.

Dari hal tersebut perlu adanya usaha pemilihan jenis kopi yang mempunyai nilai ekonomis dan rasa yang relatif baik serta yang tahan terhadap penyakit karat daun. Usaha untuk merebut peluang pasar kopi antara lain dengan pengembangan tanaman Kopi Arabika melalui kegiatan peremajaan, peluasan dan rehabilitasi tanaman kopi dari Kopi Robusta menjadi Kopi Arabika.

2.4.Hipotesis Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah dan kerangka pemikiran maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan umur panen 1, intensitas panen, perbedaan harga jual, jam kerja usaha tani, perbedaan produktivitas, waktu pengeringan, jam kerja pasca panen, biaya pupuk, pengalaman usaha tani, luas lahan, umur petani dan umur tanaman pada usaha tani Kopi Robusta dan Kopi Arabika.

Gambar

Tabel 3. Perbedaan Kopi Arabika dan Kopi Robusta
Tabel  5. Spesifikasi Persyaratan  Mutu Biji  Kopi

Referensi

Dokumen terkait

Analisis SWOT memang terlihat sederhana tetapi dapat juga menimbulkan masalah, misalnya dalam menentukan ukuran ada tidaknya suatu kekuatan yang dimiliki perusahaan, begitu

Suatu rencana usahatani dalam azasnya harus mengandung hal-hal berikut: jenis dan nilai input, jumlah dan harga input yang akan digunakan, jumlah uang/kredit yang diperlukan

Tinggi rendahnya penerapan teknologi nilam (adopsi teknologi) di pengaruhi oleh beberapa faktor sosial ekonomi petani seperti umur, tingkat pendidikan, pengalaman bertani,

Skema kerangka pemikiran KUD Faktor Eksternal Faktor Internal Strenght -Memiliki badan hukum -Struktur organisasi yang sesuai dengan eksistensi koperasi. -

Pada kebijaksanaan ini kepada petani dijamin suatu harga dasar tetapi karena komoditas tersebut merupakan bahan makanan yang penting sekali untuk kehidupan

Pemupukan tanaman umur 3 tahun keatas, kalau pertumbuhan tanaman kurang sempurna, terutama terlihat pada pertumbuhan tuas hasil pemangkasan raning, berarti selain TSP dan NPK

Selain adanya rantai tataniaga, adanya penetapan harga yang ditentukan oleh setiap rantai tataniaga, sistem pembayaran dan lain sebagainya dapat dilihat bagaimana sikap yang

Penerimaan diperoleh dari hasil perkalian penjualan hasil produksi (TBS) dengan harga yang berlaku, sedangkan biaya produksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam