• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN BAB I. Latar Belakang UMPTN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN BAB I. Latar Belakang UMPTN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar

Belakang

UMPTN

Pada jaman penjajahan Belanda, pendidikan di Indonesia sangatlah diskriminatif. ELS misalnya, adalah sekolah dasar yang hanya diperuntukkan bagi anak-anak dari orang Eropa yang sedang bertugas di Indonesia. Hanya orang pribumi yang berpangkat tinggi (paling rendah wedana) yang boleh menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Bagi anak-anak pejabat pribumi dengan pangkat di bawah wedana tersedia sekolah HIS, sekolah yang hanya boleh dirnasuki oleh anak dari orang-orang pribumi yang mempunyai jabatan terhormat di dalam pemerintah penjajah. Pegawai rendahan tidak diperkenankan mengirim anaknya ke sekolah tersebut. Untuk mereka clan tokoh-tokoh masyarakat yang kaya tersedia Sekolah Rakyat 5 tahun, yaitu sekolah untuk mendidik calon juru tulis rendahan. Sisanya, yaitu ralcyat kebanyakan, bila ingin menyekolahkan anaknya hanya tersedia Sekolah Ongko Loro, yaitu sekolah dasar 3 tahun yang fbngsinya tidak lebih dari kursus pemberantasan buta huruf. Sekolah menengah lanjutan hanya disediakan untuk lulusan ELS dm HIS. Dengan aturan seperti tersebut di atas, clan kenyataan bahwa saat itu hanya pribumi dari golongan ningrat yang dapat menduduki jabatan terhormat, maka praktis hanya anak kaum ningrat atau paling tidak diaku sebagai anak oleh kaum ningrat, yang bisa mengenyam pendidikan di sekolah lanjutan. Walaupun saat itu sudah ada pendidikan tinggi, seperti

(2)

Sekolah Tinggi Pertanian di Bogor, Sekolah Tinggi Teknik di Bandung, Sekolah Tinggi Hukum dan Sekolah Dokter di Jakarta, narnun sampai tahun 1945 orang Indonesia asli yang menjadi sarjana tidak lebih dari 100 orang. Itupun hampir semua berasal dari kaurn ningrat. Baru setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, kita melakukan revolusi besar- besaran dalam dunia pendidikan. Diskriminasi dalam pendidikan dihapuskan. Di dalam pasal 31 Undang Undang Dasar tahun 1945 yang disyahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Setiap warga negara, baik pria maupun wanita, kaya maupun miskin, ningrat maupun rakyat jelata, anak pejabat maupun buruh tani, asal mempunyai kemarnpuan akademik ymg sama, bisa duduk sama-sama dalam setiap jenjang pendidikan, dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dilakukan dengan menyertakan partisipasi seluruh lapisan masyarakat. Di desa-desa banyak sekali penduduk yang dengan sukarela meminjamkan pendopo rumahnya untuk ruang kelas, sambil menunggu pemerintah mampu membuat gedung sekolah. Kekurangan tenaga guru diatasi dengan pengad- guru model pesantren, yaitu siswa pada tingkat tertentu boleh menjadi guru untuk tingkat di bawahnya. Keadaan memaksa kita untuk lebih mementingkan kuantitas dari pada kualitas. Untuk memenuhi kebutuhan guru Sekolah Dasar 6 tahun (SD), hanya diperlukan tamatan SD plus

.

pendidikan Sekolah Guru Bantu 3 tahun (SGB). Lulusan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA) plus Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama

(PGSLP)

1 tahun dapat menjadi

p

Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP), d m SMTA plus Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Atas (PGSLA) 2 tahun dapat menjadi guru SMTA. Lulusan Perguruan Tinggi, tanpa pendidikan

(3)

tambahan, langsung dapat menjadi dosen Perguruan Tinggi. Setelah kuantitas terpenuhi, baru sedikit demi sedikit kualitas diperhatikan. Begitu jumlah guru SD sudah terpenuhi, persyaratan untuk menjadi guru SD ditingkatkan, SGB ditutup dan untuk menjadi guru SD harus lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang setingkat SMTA. Belakangan SPG juga ditutup dan untuk menjadi guru SD minimum harus lulusan SMTA ditambah program diploma 1 tahun (D-1). Begitu juga untuk menjadi guru Sekolah Menengah, lambat laun PGSLP dan PGSLA ditutup. Sekarang untuk menjadi guru SMTP minimum harus lulus SMTA ditambah program diploma 2 tahm (D-2) dan untuk menjadi guru SMTA minimum harus lulusan program diploma 3 tahun (D-3). Pada tingkat pendidikan tinggi, di beberapa universitas sudah mulai diberlakukan pemyaratan S2 untuk menjadi dosen. Saat ini, apabila dilihat dari persyaratan ijazah, kualitas tenaga pengajar pada tingkat SD dan SMTA kelihatannya tidak ada masalah. Pada tingkat SD, penataran atau pendidikan tambahan telah mampu meningkatkan sebagian besar lulusan SPG menjadi setingkat dengan kualifAasi D-2, sehingga jumlah guru SD dengan kualifikasi D-2 sudah cukup memadahi. Keadaan pada tingkat SMTA juga sudah cukup baik, karena lebih dari 90% guru SMTA mempunyai ijazah D-3 atau S1. Yang masih menyedihkan adalah pada tingkat SMTP dan universitas. Sekitar 75% guru SMTP hanya memiliki pendidikan PGSLP atau setingkat D-1. Sementara lebih dari 70% dosen perguruan tinggi negeri (dari 46,735) hanya memiliki ijazah Sl. Angka tersebut akan meningkat menjadi

.

79% (dari 91,846), bila digabung seluruh dosen baik negeri maupun swasta. Peningkatan mutu tenaga pengajar sedang digalakkan dengan merangsang mereka untuk meneruskan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Misalnya dengan diberlakukannya persyaratan untuk menduduki jabatan atau pangkat tertentu, seorang tenaga pengajar minimum hams memiliki ijazah pada jenjang tertentu.

(4)

Setelah perang kemerdekaan selesai sekitar tahun 1950, semua anak Indonesia mempunyai kesempatan clan kesadaran untuk sekolah. Hampir semua anak

umur antara 7 sampai 12 tahun berbondong-bondong mendatangi Sekolah Dasar untuk mendaftarkan diri. Oleh sebab itu jumlah anak-anak yang mulai sekolah pada dekade 50an meledak luar biasa, dan banyak di antara mereka yang berhasil tamat SMTA dan berminat untuk meneruskan ke pendidikan tinggi. Sejak pertengahan tahun 60an jumlah peminat ke perguruan tinggi begitu besarnya sehingga tidak semua bisa tertarnpung. Walaupun di setiap propinsi, kecuali propinsi termuda Timor Timur, sudah ada paling tidak satu perguruan tinggi negeri, namun jumlah perguruan tinggi tersebut masih terlalu sedikit untuk bisa menampung seluruh calon mahasiswa. Peningkatan daya tampung, baik berupa penambahan ruang kelas maupun pembukaan fakultas dan universitas baru, selalu kalah berpacu dengan makin meningkatnya jumlah lulusan SMTA yang berminat masuk ke perguruan tinggi. Itulah sebabnya, penggunaan ujian masuk atau alat seleksi lainnya untuk memilih calon mahasiswa baru yang mempunyai kemampuan akademik terbaik dan diharapkan dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan menjadi sangat penting.

Sampai tahun 1976, setiap universitaslinstitut di Indonesia mempunyai cara dan kriteria sendiri untuk memilih calon mahasiswanya. Masing-masing universitas/institut mengembangkan ujian masuk untuk keperluannya sendiri. Calon mahasiswa yang berniat masuk pada universitaslinstitut tertentu h m s secara fisik datang ke kampus di mana universitas/institut tersebut berada. Kalau calon mahasiswa mendafiar pada lebih dari satu universitas/institut, maka dia harus mondar-mandir dari satu kota ke kota yang lain, di mana masing-masing universitaslinstitut berada. Di masing-masing kota h m s tinggal paling tidak dua atau tiga hari untuk mengisi formulir pendafiaran dan

(5)

menempuh ujian masuk yang saling berbeda. Setiap akhir tahun ajaran, mobilitas Galon mahasiswa yang bergerak dari satu universitas ke universitas yang lain sangat tinggi. Secara nasional biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan penerimaan mahasiswa baru sangat besar. Pemerintah harus mengalokasikan dana yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan sarana transportasi dan akomodasi yang meledak pada setiap akhir tahun ajaran. Setiap universitaslinstitut harus menyediakan dana dan tenaga untuk pembuatan sod dan penyelenggaraan ujian masuk. Sementara masyarakat, terutarna orang tua calon mahasiswa, harus mengeluarkan b a y & uang untuk membayar uang ujian, biaya transportasi dan akomodasi selama calon mahasiswa tinggal di kota di mana universitaslinstitut pilihannya berada. Jelas ini merupakan pemborosan secara nasional yang harus segera ditanggulangi.

Persoalan daya tampung juga menimbulkan masalah yang tidak kalah seriusnya. Banyak calon mahasiswa yang dari segi akademik cukup potensial mendaftar diri pada beberapa program studi di beberapa universiWinstitut. Karena calon tersebut cukup potensial, maka ia akan diterima di beberapa beberapa program studi, atau bahkan di beberapa universitaslinstitut. Karena tidak mungkm seorang mahasiswa dapat mengikuti kuliah di beberapa tempat yang berlainan, &a tidak ada alternatif lain kecuali calon mahasiswa tersebut harus memilih salah satu, dm meninggalkan tempat yang lain tetap kosong. Padahal kalau calon mahasiswa tersebut tidak mendaftar, maka tempat kosong tadi bisa diisi oleh calon mahasiswa lain yang minatnya lebih serius, walaupun kemampuannya sedikit di bawahnya. Sementara pihak universitaslinstitut sudah tidak ada waktu lagi untuk mengadakan ujian susulan untuk mengisi tempat yang kosong tersebut. Sehingga tempat tersebut tetap dibiarkan kosong dan fasilitas yang telah disediakan menjadi mubadzir. Keadaan seperti ini jelas merugikan kepentingan nasional, yang masih memerlukan banyak tenaga

(6)

terdidik untuk mempercepat proses pembangunan. Sehingga tidak ada pilihm yang lebih baik kecuali harus menyederhanakan sistem penerimaan mahasiswa baru.

Pada tahun 1976 universitas/institut terkemuka di tanah air yang tergabung dalam paguyuban yang disebut Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas (SKALU), yaitu Universitas Indonesia di Jakarta, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, dan Universitas Airlangga di Surabaya, memutuskan untuk menyelenggarakan ujian masuk bersama. Ujian masuk tersebut dikenal dengan nama Ujian Masuk SKALU. Sistem pendaftaran dan pelaksanaan ujian benar-benar baru dan berbeda dengan sistem sebelumnya. Ujian dengan soal yang persis sama diselenggarakan pada waktu yang bersamaan di lima kota di mana kelima universitadinstitut anggota SKALU berada, yaitu Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Dokumen pendaftaran dan lembar jawaban dikumpulkan dan diolah di Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Sebanyak 75% peserta ujian dengan nilai terbaik dinyatakan lulus dan kepadanya diberikan kartu yang dapat dipakai untuk mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa di universitas/institut anggota SKALU. Sedang 25% sisanya dinyatakan gaga1 dan tidak diijinkan untuk mendaftar sebagai calon mahasiswa. Sistem baru ternyata hanya berhasil mengurangi beberapa masalah yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan ujian masuk. Antara lain dapat mengwangi mobilitas peserta ujian yang hams mondar-mandir dari satu kota ke kota lain untuk mengikuti ujian. Soal ujian bisa dibuat baku dan pengadaannya bisa lebih efisien, karena masing-masing universitas/institut tidak perlu membuat soal sendiri. Beban biaya secara nasional, baik dari sisi pemerintah maupun dari sisi masyarakat dapat dikurangi.

(7)

Walaupun sistem baru tersebut berhasil mengurangi beberapa masalah, tetapi sistem baru juga menimbulkan masalah baru. Banyak calon mahasiswa yang salah mengerti dan menganggap kartu yang diterimanya sebagai tanda bahwa dia telah diterirna menjadi mahasiswa. Setelah mengetahui bahwa k@ yang diterima belum merupakan jaminan bahwa yang bersangkutan diterima

sebagai mahasiswa, mereka menjadi resah. Persoalan lama tentang tempat kosong juga belum teratasi. Hampir semua peserta ujian yang dinyatakan lulus masih tetap mondar-mandir dari satu kota ke kota lain untuk mendaftarkan di universitaslinstitut pilihannya. Beberapa di antaranya ada yang mendaftar di lebih dari satu program studi atau universitas, bahkan ada yang mend& di kelima universitas/institut anggota SKALU. Masalah tempat kosong menjadi semakin parah. Karena setiap universitas/institut berusaha untuk menerima calon yang terbaik menurut acuan yang sama, yaitu hasil ujian yang persis sama, maka banyak calon mahasiswa dengan nilai ujian tinggi diterima di beberapa program studi, sementara mahasiswa dengan nilai ujian yang kurang baik tidak diterima di manapun. Karena calon mahasiswa yang diterima di beberapa tempat harus memilih salah satu, maka banyak tempat terutama pada program studi yang h a n g populer tetap kosong. Bahkan ada program studi yang tempat kosongnya mencapai 50%.

Pada tahun 1977 beberapa perbaikan dilakukan. Pada saat mengisi formulir pendaftarm, peserta ujian langsung menentukan dua program studi pilihannya, pilihan pertama dan pilihan kedua. Setelah diperoleh hasil ujian, peserta diurutkan menurut nilai ujiannya, dari yang tertinggi sampai yang terendah. Panitia mengalokasikan peserta ujian pada program studi pilihannya dengan ketentuan bahwa peserta dengan nilai yang lebih baik mendapat prioritas untuk dialokasikan lebih dahulu. Peserta ujian hanya bisa diterima di satu program studi pilihannya. Tidak mungkin peserta ujian diterima di

(8)

program studi atau universitas yang tidak dipilihnya. Jika masih ada tempat kosong pada program studi pilihan pertama, dia akan diterima di program studi pilihan pertama. Jika tempat pada program studi pertama sudah penuh, dan masih ada tempat pada program studi pilihan kedua, dia akan diterima di program studi pilihan kedua. Jika tempat pada program studi pilihan pertama dan kedua sudah penuh, maka peserta tersebut tidak diterima, walaupun nilainya mash cukup tinggi. Pemeriksaan hasil ujian dan proses pengalokasian dilakukan sepenuhnya dengan komputer di Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Dengan SKALU sistem bani, mobilitas peserta ujian masuk perguruan tinggi dapat ditekan. Calon mahasiswa hanya perlu datang ke salah satu tempat (Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta atau Surabaya) untuk mengisi formulir pendaftarm dan mengikuti ujian masuk. Mereka tidak perlu datang ke kampus di mana program studi pilihannya berada. Pengumuman hasil ujian juga dapat dilihat di tempat calon mahasiswa mengikuti ujian masuk. Karena setiap peserta ujian hanya bisa diterima di satu program studi, maka bangku kosong yang ditinggalkan oleh calon mahasiswa yang diterima di beberapa program studi juga hilang dengan sendirinya.

Karena keberhasilan SKALU dalam menyederhanakan sistem penerimaan mahasiswa b m , dan untuk memberi kesempatan yang lebih besar kepada lulusan SMTA di daerah lain, maka pada tahun 1979 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menawarkan kepada 6 universitas lain untuk bergabung dengan SKALU dalam penerimaan mahasiswa baru. Universitas Padjadjaran

di

Bandung, Universitas Diponegoro di Semarang, Universitas Brawijaya di Malang, Institut Teknologi Sepuluh Nopember di Surabaya, dan Universitas Sumatera Utara di Medan memutuskan untuk bergabung dengan SKALU. Sementara Universitas Hasannuddin di Ujung Pandang belum bersedia untuk bergabung. Sistem penerimaan mahasiswa baru yang

(9)

diselenggarakan oleh sepuluh universitas/institut tersebut di atas kemudian dikenal sebagai Proyek Perintis I (PPI). Di bawah pimpinan Institut Pertanian Bogor empat universitas terkemuka (IPB, UI, ITB dan UGM) juga melaksanakan sistem penerimaan mahasiswa baru tanpa ujian yang sejak tahun 1972 telah dikembangkan oleh IPB, yang dikenal sebagai Proyek Perintis I1 (PP2). PP2 menjaring calon mahasiswa baru melalui pemanduan bakat dan informasi yang diberikan oleh sekolah. Sekolah yang diikutsertakan dalam seleksi tersebut adalah sekolah-sekolah yang mempunyai sejarah yang baik, di antaranya adalah sekolah yang lulusannya mempunyai prestasi yang cukup baik di universitaslinstitut anggota PP2. Masing-masing SMTA biasanya diberi jatah tertentu untuk mencalonkan siswanya sebagai calon mahasiswa di perguruan tinggi tersebut. Sistem PP2 hanya dimanfaatkan untuk menjaring calon mahasiswa pada program studi yang kurang populer, seperti Pertanian, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sementara itu 23 universitas lainnya mengembangkan sistem penerirnaan mahasiswa baru yang lain lagi. Mereka menyelenggarakan ujian yang mirip dengan PP1. Sod ujiannya menggunakan acuan yang sudah dibakukan, tetapi memberi kesempatan kepada universitas anggotanya untuk menambahkan muatan lokal, yaitu soal-sod yang dianggap cocok dengan keadaan setempat. Sistem yang d i e oleh ke 23 universitas ini disebut Proyek Perintis I11 (PP3). Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) negeri yang jumlahnya ada 10 juga mengembangkan sistem penerimaan mahasiswa baru sendiri, yang disebut Proyek Perintis IV (PP4). Sistem PP4 hampir sarna dengan PPl, perbedaannya hanya pada sod-soalnya yang lebih menekankan pada soal untuk menggali kemampuan peserta ujian dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Keempat sistem tersebut (PP1, PP2, PP3 dan PP4) berlangsung sampai tahun 1983, ketika Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi memutuskan untuk

(10)

menggunakan sistem PP1 dan PP2 secara nasional. Sistem baru tersebut dinamakan Sistem Penerirnaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru), terdiri dari Ujian Tulis yang seratus persen sama dengan PP1 dan Penelusuran Minat Dan Kemampuan (PMDK) yang merupakan perluasan dari PP2. Perbedaan antara PP2 dan PMDK, adalah peserta PP2 hanya siswa terpandai dari SMTA yang terpilih, sedang PMDK menyertakan seluruh siswa dari seluruh SMTA yang ada di Indonesia.

Pada tahun 1989 PMDK ditiadakan dan Ujian Tulis Sipenmaru berganti nama menjadi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). UMPTN (juga Sipenmaru) di selenggarakan di setiap kota di mana ada perguruan tinggi negeri yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kecuali Institut Kesenian, di tambah beberapa lokasi yang dianggap strategis. Di setiap propinsi paling tidak ada satu lokasi ujian, bahkan untuk propinsi Maluku dan Irian Jaya di hampir setiap kabupaten ada lokasi ujian. Lulusan SMTA yang ingin melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri tidak perlu ujian di Perguruan Tinggi pilihannya. Mereka dapat mengikuti ujian di salah satu lokasi ujian yang menurutnya paling ekonomis.

Peserta ujian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Kelompok Ilmu Pengetah- Alam (IPA) dan Kelompok Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Peserta ujian dapat mengikuti kelompok IPA saja, atau kelompok IPS saja, atau mengikuti keduanya, kelompok IPA dan IPS. Peserta yang mengikuti satu kelompok ujian hanya boleh memilih dua program studi yang termasuk dalam kelompoknya, sedang peserta ujian yang mengikuti dua kelompok ujian boleh memilih tiga program studi dengan ketentuan dua kelompok IPA dan satu kelompok IPS atau dua kelompok IPS dan satu kelompok IPA. Ujian diselenggarakan dalam dua hari. Pada hari pertama semua peserta ujian mengikuti ujian pada waktu yang sama. Materi ujian hari pertama adalah

(11)

Pendidikan Moral Pancasila (15 sod), Bahasa Indonesia (40 soal) dan Matematika Dasar (30 soal). Hari kedua pagi hanya diperuntukan bagi peserta ujian kelompok IPA. Materi ujian terdiri atas Matematika Lanjut (10 soal), Biologi (15 soal), Kimia (15 soal), Fisika (15 soal) dan IPA Terpadu (20 sod). Ujian pada hari kedua siang diperuntukan bagi peserta kelompok IPS, dan terdiri dari Ilmu Pengetahuan Sosial(30 soal), Bahasa Inggris (30 sod) dan IPS Terpadu (20 sod).

Untuk memudahkan koordinasi, wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 Rayon : A, B dan C. Jawa Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan semua propinsi di pulau Sumatera tennasuk dalam Rayon A. Rayon B terdiri dari Jawa Tengah, Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah d m Kalimantan Tiinur. Sedang sisanya, yaitu Jawa Timur, Bali dan seluruh Kawasan Timur Indonesia termasuk dalam Rayon C. Semua dokumen pendafhran d m lembar jawaban dari Rayon A dikumpulkan dan dibaca di Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Dokumen dari Rayon B dikumpulkan dan dibaca di UPT Komputer UGM, dan dokumen dari Rayon C dikerjakan di UPT Komputer ITS. Validasi

data

peserta dan proses penilaian dilakukan di ketiga pusat pengolahan data tersebut.

Data peserta yang sudah bersih dan sudah dilengkapi dengan nilai mentah yang dihasilkan oleh ketiga pusat pengolahan data ini kemudian dikumpulkan di Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Di sini dilakukan pembakuan nilai menjadi nilai nasional. Berdasarkan nilai nasional tersebut peserta ujian diurutkan dari nilai tertinggi sampai terendah. Kemudian dialokasikan pada program studi pilihannya, dengan ketentuan peserta dengan nilai yang lebih baik mendapat prioritas untuk didokasikan lebih dahulu. Peserta hanya bisa diterima di satu program studi yang dipilihnya. Peserta ujian tidak mungkrn diterima pada program studi yang tidak dipilihnya. Program

(12)

studi hanya menerima sejumlah mahasiswa baru sesuai dengan daya tampungnya. Walaupun masih banyak calon dengan nilai sangat bak, kalau daya tampung sudah penuh maka alokasi untuk program studi bersangkutan akan ditutup. Sebaliknya kalau daya tampung belum penuh akan terus d i W a n alokasi, walaupun nilai dari peserta yang mendaftar sudah sangat rendah. Tidak ada nilai batas untuk menentukan diterima atau tidaknya peserta. Yang lebih menentukan adalah daya tampung dan jumlah peminat pada program studi yang bersangkutan.

Selama ini nilai UMPTN dipakai sebagai alat untuk memilih calon-calon mahasiswa perguruan tinggi negeri. Tetapi belum pernah ada penelitian yang komprehensif dengan data yang mewakili kondisi nasional, yang menunjukkan bahwa penggunaan nilai UMPTN sebagai alat seleksi penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri dapat dipertanggungjawabkan. Ada dugaan bahwa UMPTN lebih bersahabat dengan orang kota dan kurang rarnah terhadap siswa- siswa dari daerah terpencil. Untuk dapat mengikuti UMPTN, siswa dari daerah terpencil harus mengeluarkan tenaga dan biaya yang lebih besar dibanding dengan teman-teman mereka yang berasal dari kota besar.

Kecuali untuk keperluan seleksi, masyarakat secara tidak langsung juga menggunakan hasil UMPTN untuk menilai pendidikan di tingkat SMTA. Misalnya, kalau lulusan sekolah tertentu banyak yang di terima di perguruan a

tinggi negeri, maka pendapat umum akan setuju mengatakan bahwa sekolah tersebut lebih baik dari sekolah lain yang jumlah lulusannya yang diterima lebih sedikit. Atau jika rataan nilai UMPTN dari lulusan sekolah tertentu lebih tinggi

dari

sekolah lain, maka akan disimpulkan bahwa selokah tersebut lebih baik. Pembandingan seperti tersebut di atas sangatlah berbahaya, selama kehandalan dari nilai UMPTN sendiri belum dibuktikan.

(13)

Seperti kita ketahui bahwa salah satu syarat untuk lulus SMTA, siswa harus mengikuti Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) yang diselenggarakan secara terpusat di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Materi yang diuji dalam Ebtanas tidak jauh berbeda dengan materi yang diuji dalam UMPTN. Untuk SMA kelompok IPA (jurusan A1 dan A2) yang diuji adalah Pendidikan Moral Pancasila, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi dan Kirnia. Sedang untuk SMA kelompok IPS yang diuji adalah Pendidikan Moral Pancasila, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ekonomi, Tata Negara dan Sosiologi/Antropologi. Dalam prakteknya, Ebtanas sebagai salah satu persyaratan untuk bisa lulus SMTA hanyalah persyaratan formal. Andil nilai Ebtanas dalam menentukan lulusltidaknya siswa sangat kecil. Kepala Sekolah biasanya mendapat tekanan (baik nyata maupun tersamar) untuk sedapat mungkin meluluskan semua siswanya. Hanya siswa yang sehari-harinya luar biasa bodohnya yang terpaksa tidak lulus SMTA. Biasanya Kepala Sekolah sudah dapat mengetahui siapa yang tidak lulus, sebelum Ebtanas diselenggarakan. Yang sangat ironis, untuk mengevaluasi kualitas SMTA, ada beberapa pejabat yang lebih percaya pada nilai UMPTN. Padahal mereka adalah pejabat yang bertanggung jawab pada pelaksanaan Ebtanas.

Baik Ebtanas maupun UMPTN merupakan uji sesaat yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak jauh berbeda, dan dengan materi ujian yang hampir sama. Ada dugaan bahwa kedua ujian tersebut akan menghasilkan ukuran yang tidak jauh berbeda. Sepintas terlihat adanya duplikasi atau turnpang-tindih antara Ebtanas dan UMPTN. Seandainya dugaan-dugaan tersebut di atas benar, berarti merupakan pemborosan sumber daya dan dana, baik yang ditanggung oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Yang paling dirugikan addah siswa dan orang tuanya. Siswa harus dua kali memeras tenaga

(14)

dan pikiran untuk mempersiapkan diri menghadapai kedua ujian tersebut, sementara orang tua harus mengeluarkan biaya dua kali lipat dari yang seharusnya apabila tidak terjadi duplikasi tersebut.

Pokok Permasalahan

Selama ini banyak pihak yang secara tidak langsung menggunakan hasil UMPTN untuk menilai pendidikan di tingkat SMTA. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan jumlah lulusan yang diterirna di Perguruan Tinggi Negeri atau rataan nilai UMPTN dari lulusan suatu sekolah untuk menilai kualitas dari sekolah yang bersangkutan. Penggunaan seperti ini bisa berbahanya, terutama apabila kehandalan dari nilai UMPTN sendiri belum dibuktikan. Panitia UMPTN belurn dapat menunjukkan bukti bahwa secara nasional prestasi mahasiswa baru dapat diduga secara tepat dengan nilai UMPTN, sehingga kita yakin bahwa penggunaan nilai UMPTN untuk memilih calon mahasiswa baru perguruan tinggi negeri adalah benar dan dapat dipertanggungiawabkan. Hal yang sama juga terjadi pada Ebtanas. Belum pernah ada laporan yang disajikan oleh penyelenggara Ebtanas yang membuktikan bahwa nilai Ebtanas cukup handal apabila digunakan untuk memilih calon mahasiswa baru di perguruan tinggi.

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa ada dugaan b&wa terjadi duplikasi antara Ebtanas dan UMPTN. Kalau dugaan ini benar, maka ha1 ini jelas suatu pemborosan pendidikan. Sehingga tirnbul pertanyaan : Mengapa tidak dipilih salah satu, Ebtanas saja atau UMPTN saja? Apa ruginya jika Ebtanas ditiadakan? Atau sebaliknya, apa ruginya jika UMPTN ditiadakan dan Ebtanas digunakan sebagai alat seleksi penerimaan mahasiswa baru di

(15)

perguruan tinggi? Tujuan dari disertasi ini adalah untuk meneliti bagaimana sebenamya hubungan antara nilai UMPTN dan nilai Ebtanas. Akan ditelaah seberapa besar kerugiannya apabila salah satu, UMPTN atau Ebtanas ditiadakan. Juga akan diselidiki apakah mata pelajaran yang diuji dalam UMPTN sudah optimal, atau masih bisa dilakukan penyederhanaan. Penelitian juga akan diarahkan untuk mengetahui berapa besar pemborosan pendidikan yang diakibatkan adanya peserta ujian yang cukup potensial tetapi tidak diterima di manapun, karena semua pilihannya merupakan program studi yang sangat ketat persaingannya. Sementara lada program studi yang terpaksa menerima calon mahasiswa yang nilainya sangat rendah, karena tidak ada peserta potensial yang memilihnya.

Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa merupakan masukan bagi pengambil kebijakan dalarn penyelenggaraan ujian dan penerimaan mahasiswa baru. Apakah penyelenggaraan Ebtanas dan UMPTN, seperti yang selama ini dilaksanakan, dengan segala kekurangan dan kelebihannya sudah merupakan keadaan yang terbaik dan tidak perlu ada perubahan apapun. Atau kita harus memilih salah satu, Ebtanas atau UMPTN, dengan mengadakan perbaikan- perbaikan seperlunya untuk bisa mencapai hasil yang maksimal. Atau kita tinggalkan era Ebtanas dan UMPTN dengan mencari alternatif lain yang mungkin lebih bisa dipertanggungiawabkan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar dari penelitian-penelitian selanjutnya. Di tingkat universitas/institut, penelitian semacam ini dengan data yang lebih menyeluruh dan mencerminkan kondisi lokal dari universitaslinstitut yang

(16)

perguruan tinggi? Tujuan dari disertasi ini adalah untuk meneliti bagaimana sebenarnya hubungan antara nilai UMPTN dan nilai Ebtanas. Akan ditelaah seberapa besar kerugiannya apabila salah satu, UMPTN atau Ebtanas ditiadakan. Juga akan diselidiki apakah mata pelajaran yang diuji dalam UMPTN sudah optimal, atau masih bisa dilakukan penyederhanaan. Penelitian juga akan diarahkan untuk mengetahui berapa besar pemborosan pendidikan yang diakibatkan adanya peserta ujian yang cukup potensial tetapi tidak diterima di manapun, karena semua pilihannya merupakan program studi yang sangat ketat persaingannya. Sementara lada program studi yang terpaksa menerima calon mahasiswa yang nilainya sangat rendah, karena tidak ada peserta potensial yang memilihnya.

Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa merupakan masukan bagi pengambil kebijakan dalam penyelenggaraan ujian dan penerimaan mahasiswa baru. Apakah penyelenggaraan Ebtanas dan UMPTN, seperti yang selama ini dilaksanakan, dengan segala kekurangan dan kelebihannya sudah merupakan keadaan yang terbaik dan tidak perlu ada perubahan apapun. Atau kita harus memilih salah satu, Ebtanas atau UMPTN, dengan mengadakan perbaikan- perbaikan seperlunya untuk bisa mencapai hasil yang maksimal. Atau kita tinggalkan era Ebtanas dan UMPTN dengan mencari alternatif lain yang munglun lebih bisa dipertanggungjawabkan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar dari penelitian-penelitian selanjutnya. Di tingkat universitaslinstitut, penelitian semacam ini dengan data yang lebih menyeluruh dan meneeminkan kondisi lokal dari universitas/institut yang

(17)

bersangkutan, akan merupakan masukan yang sangat berharga bagi pimpinan universitaslinstitut tersebut. Dari hasil penelitian tersebut, Rektor sebagai pemegang otonomi dalam penerimaan mahasiswa baru, dapat memilih alat seleksi yang paling baik dan cocok dengan kondisi lokal dari universitaslinstitut yang dipimpinnya.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Hasil penelitian ini (1) Penerapan model pembelajaran matematika Knisley untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa pada pokok bahasan bilangan pangkat kelas VII-B SMP Negeri 43

Dalam konstruksi berkelanjutan tidak cukup hanya tiga aspek tersebut, namun harus dipikirkan pula aspek lain yaitu sumberdaya yang digunakan dalam proyek konstruksi, emisi

Bukti yang disampaikan oleh suatu artikel tentang intervensi medis  perlu dinilai tidak hanya validitas (kebenaran)nya tetapi juga apakah intervensi tersebut memberikan informasi

Setelah itu teller akan memanggil dan nasabah akan memberikan sejumlah uang dan buku tabungan untuk meminta pencetakan transaksi setor tunai ke bank..

Kunci publik digunakan untuk proses enkripsi data sedangkan proses deskripsi menggunakan kunci yang biasa disebut dengan kunci rahasia ( private key ).. Algoritma yang memakai