• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. nomor empat di dunia. PPOK merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. nomor empat di dunia. PPOK merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan,"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Penyakit paru obtruksi kronis (PPOK) merupakan penyebab kematian nomor empat di dunia. PPOK merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi pengobatan dapat mencegah timbulnya keparahan penyakit. PPOK merupakan penyakit yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas di dunia, banyak orang menderita penyakit ini selama bertahun-tahun dan meninggal dunia karena komplikasi yang dialami. Menurut Global Burden of Desease Study, PPOK akan menjadi penyebab kematian ketiga di dunia pada tahun 2020 dan pada tahun 2030, PPOK diproyeksikan akan menjadi penyebab kematian keempat di dunia (GOLD, 2015).

WHO memperkirakan pada tahun 2005 terdapat lebih dari 3 juta orang meninggal akibat PPOK. Jumlah tersebut merupakan 5% dari jumlah kematian global. Pada tahun 2012 jumlah kematian akibat PPOK sebanyak lebih dari 6% dari jumlah kematian global. Lebih dari 90% kasus kematian terjadi di negara berkembang. Jumlah kematian akibat PPOK diproyeksikan meningkat lebih dari 30% dalam 10 tahun ke depan kecuali tindakan segera diambil untuk mengurangi faktor risiko yang mendasari, terutama penggunaan tembakau. Estimasi menunjukkan bahwa PPOK pada tahun 2030 akan menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia (WHO, 2016).

(2)

Di Amerika, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan penyebab kematian terbesar ke-4, dibawah penyakit kanker, penyakit jantung, dan penyakit serebrovaskuler. Pada tahun 2000, lebih dari 119.000 kematian di Amerika Serikat dan sekitar 2,74 juta kematian di seluruh dunia disebabkan oleh PPOK. Penyakit ini merupakan satu-satunya penyebab kematian yang terus meningkat dalam 30 tahun terakhir dan diperkirakan akan menjadi penyebab kematian ketiga pada tahun 2020. Di Asia Tenggara diperkirakan prevalensi PPOK sebesar 6,3% dengan prevalensi tertinggi ada di negara Vietnam (6,7%) dan RRC (6,5%) (Oemiati, 2013). Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (Anonim, 2003).

PPOK eksaserbasi akut berkonstribusi pada tingginya angka kematian yang terkait dengan penyakit. Sebuah penelitian percobaan menunjukkan efektivitas beberapa intervensi. Langkah pertama dalam manajemen rawat jalan harus meningkatkan dosis inhalasi short-acting bronkodilator. Menggabungkan ipratropium dan albuterol yang bermanfaat dalam mengurangi dyspnea. Kortikosteroid oral mungkin bermanfaat, terutama untuk pasien dengan sputum purulen. Penggunaan antibiotik dapat mengurangi risiko kegagalan pengobatan dan kematian. Pasien rawat inap dengan eksaserbasi harus menerima short-acting bronkodilator, oksigen terus menerus, antibiotik, dan kortikosteroid sistemik (Evensen, 2010).

(3)

Kompleksitas terapi farmakologi pada pasien PPOK dapat memicu terjadinya DRPs. Drug related problems (DRPs) merupakan suatu permasalahan dalam terapi menggunakan obat. DRPs memerlukan perhatian khusus dari tenaga kesehatan terutama farmasis. DRPs dapat berpengaruh negatif terhadap outcome klinik yang menyebabkan meningkatnya kunjungan ke unit gawat darurat (Baena et al.,2006) dan penyebab kematian yang tinggi. Dilihat dari segi ekonomi, DRPs merupakan permasalahan yang memiliki dampak ekonomi sangat besar. Dampak ekonomi terkait DRPs yang terjadi pada semua umur baik di rumah sakit, rumah perawatan (nursing home), maupun komunitas mencapai $85 milyar per tahun, dengan jumlah terbesar ($76,6 milyar) terjadi pada komunitas, sementara biaya langsung terkait DRPs di rumah sakit dan rumah perawatan masing-masing sebesar $4 milyar (Besdine et al., 2003).

DRPs yang sering terjadi pada pasien PPOK adalah dosis yang terlalu rendah (George et al., 2005). Pasien PPOK yang mengalami DRPs kategori dosis terlalu rendah lebih beresiko terjadinya morbiditas. Jenis DRPs kedua yang sering terjadi pada pasien PPOK adalah terapi tanpa indikasi . Terapi tanpa indikasi sering terjadi pada pasien PPOK yang berusia lebih dari 65 tahun yang memperoleh obat dua atau lebih (Steinman et al., 2006).

Pasien PPOK mendapatkan terapi farmakologi yang kompleks. Lebih dari 77% pasien PPOK menerima 2 atau lebih obat peroral. Satu per tiga dari pasien tersebut menerima 2 atau lebih obat inhalasi. Rata-rata peresepan obat peroral dan obat inhalasi adalah 3,53 dan 1,17 . Sebanyak 30% pasien mendapatkan terapi obat peroral yang digunakan secara pro renata dan 17% pasien mendapatkan

(4)

terapi obat inhalasi yang digunakan secara pro renata. Obat yang digunakan memiliki jadwal pemakaian yang berbeda-beda. Sangat umum bagi pasien PPOK menggunakan kombinasi 5-8 obat oral dan inhalasi, dengan dosis dan waktu pemakaian yang berbeda (Restrepo et al., 2008).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah gambaran terapi pasien PPOK yang menjalani rawat inap ? 2. Seperti apa jenis DRPs yang terjadi dan berapa persentase kejadian DRPs

pada peresepan pasien PPOK rawat inap ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui gambaran terapi pada pasien PPOK yang menjalani rawat inap. 2. Mengetahui jenis DRPs dan persentase kejadian DRPs pada peresepan pasien

PPOK rawat inap.

D. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi dan gambaran kejadian yang tidak diinginkan pada terapi pasien PPOK rawat inap.

2. Memberikan peluang farmasis di rumah sakit untuk berperan aktif dalam identifikasi DRPs sehingga dapat memberi dampak positif pada pasien yaitu meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK dengan mengurangi kejadian DRPs.

(5)

E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

a. Definisi

Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), sebuah penyakit yang dapat dicegah dan diobati,ditandai dengan keterbatasan aliran udara bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi dalam saluran udara dan paru-paru untuk partikel atau gas yang berbahaya. Karakteristik keterbatasan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh obtructive bronkiolitis dan emfisema (GOLD, 2015). Bronkitis kronik diartikan sebagai kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,disertai kerusakan dinding alveoli (Anonim, 2003).

Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik yang mempunyai hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan molekuler genetik. Keterbatasan aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama yang berperan dalam keterbatasan aktivitas penderita PPOK. Inflamasi sistemik, penurunan berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK (Oemiati, 2013).

b. Patologi, Patogenesis dan Patofisiologi Penyakit

PPOK dikarakterisasi adanya inflamasi kronik yang menyebabkan kerusakan dan mempersempit saluran nafas. Proses tersebut tidak hanya terjadi

(6)

pada saluran pernafasan, tetapi juga meluas ke sistem pembuluh pulmonar dan parenkim paru. Sel inflamasi yang berperan tidak hanya neutrofil, tetapi juga makrofag dan limfosit CD 8+. Sel-sel inflamasi tersebut akan melepaskan berbagai mediator kimia, meliputi leukotrien B4 (LTB4), interleukin 8 (IL-8), dan tumor necrosis faktor α (TNF-α) yang dapat merusak struktur paru. Proses lain yang ikut berperan penting dalam patogenesis PPOK, yaitu adanya stress oksidatif dan ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase dalam paru-paru (Bourdet & Williams, 2005).

Bronkitis kronik umumnya disebabkan oleh paparan polutan udara seperti asap rokok. Di permukaan epitelial bronkus terdapat silia yang berfungsi untuk membersihkan bronkus dari mukus dan iritan. Asap rokok dan polutan yang terhirup menghambat pembersihan mukus oleh silia di permukaan epitelial (mucociliary clearance), mengakibatkan iritan tidak dapat dikeluarkan dari bronkus. Hal ini menyebabkan bronkiolitis, yang selanjutnya menyebabkan hiperplasia, hipertrofi, proliferasi kelenjar mukus. Akibatnya terjadi hipersekresi mukus dan lebih lanjut menyebabkan obstruksi pada bronkus. Karena adanya mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan silia membersihkan mukus maka pasien dapat menderita infeksi berulang. Bakteri yang dapat menyerangnya yaitu Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae (Ikawati,2007).

Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang bertanggung jawab untuk pertukaran gas. Pada emfisema terjadi kerusakan dinding dalam asinus sehingga permukaan untuk pertukaran gas berkurang. Rusaknya daerah permukaan untuk pertukaran gas dalam asinus berakibat pada

(7)

hilangnya elastisitas pengempisan (recoil). Hilangnya dinding alveolar berakibat pada hilangnya jaringan kapiler yang penting untuk perfusi yang cukup. Akibatnya terjadi penurunan ventilasi dan perfusi, sehingga rasio V/Q dipertahankan dengan lebih baik daripada pada bronkitis kronik. Oleh karena itu, pada pasien emfisema lebih banyak mengalami dispnea (sesak nafas) daripada pasien bronkitis (Ikawati, 2007).

c. Faktor Risiko

Ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya PPOK, yaitu: 1) Pejanan dari partikel antara lain:

a) Merokok

Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang (Mangunegoro, 2011). Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan ada hubungan antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok (Hwang et al., 2011). Studi di China menghasilkan risiko relatif merokok 2,47 (95% CI : 1,91-2,94). Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-paru ( Yin et al., 2007).

b) Polusi indoor

Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang

(8)

mudah menguap dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta perokok pasip (Oemiati, 2013).

c) Polusi outdoor

Di Meksiko, peningkatan materi partikel 10μg / m3 dikaitkan dengan peningkatan penyakit saluran napas 2,9% (95% CI 0,9 - 4,9) dan kematian PPOK 4,1% (95% CI 1,3 - 6,9) (Oemiati, 2013).

d) Genetik (Defisiensi α1 antitripsin (AAT) )

Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan paru-paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif. Pada keadaan normal faktor protektif AAT menghambat enzim proteolitik sehingga mencegah kerusakan. Kekurangan AAT menyebabkan berkurangnya faktor proteksi terhadap kerusakan paru (Ikawati, 2007). e) Adanya gangguan atau infeksi saluran pernafasan.

Adanya gangguan fungsi paru merupakan faktor risiko, misalnyadefisiensi imunoglobin A (Ig A/hypogammaglobulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronchiectasis. Individu dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap berkembangnya PPOK (Ikawati, 2007). Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.

(9)

f) Usia

Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1 antitripsin (Ikawati, 2007). g) Jenis kelamin

Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok pada laki-laki (Ikawati, 2007).

d. Gambaran Klinis 1) Dispnea

Dispnea atau sesak nafas merupakan penyebab utama kecacatan terkait dengan penyakit PPOK. Bersifat progresif sepanjang waktu, terjadi setiap hari, memburuk jika berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernafasan (Ikawati,2007).

2) Batuk

Batuk kronis, seringkali menjadi gejala pertama dari PPOK. Terjadi berselang atau setiap hari, dan sering kali terjadi sepanjang hari (GOLD 2015).

3) Produksi sputum

Semua pola produksi sputum dapat mengindikasikan adanya PPOK (Ikawati,2007).

Sedangkan gejala eksaserbasi akut adalah : peningkatan volume sputum, perburukan pernafasan secara akut, dada terasa berat (Chesttightness), peningkatan kebutuhan bronkodilator, lelah, lesu, dan penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah dan terengah-engah) (Ikawati, 2007).

(10)

e. Diagnosa

Diagnosis klinis PPOK sebaiknya dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami gejala-gejala meliputi batuk, produksi sputum, dispnea, atau pada orang yang tidak mengalami gejala tersebut tetapi memiliki riwayat paparan suatu faktor risiko. Tanda terjadinya PPOK yaitu nilai rasio FEV1/FVC <70% yang mengindikasikan terjadinya obstruksi saluran nafas dan nilai FEV1 <80% prediksi yang menunjukkan bahwa obstruksi tersebut bersifat irreversible (Bourdet & Williams, 2005).

FVC (Forced Vital Capacity) atau kapasitas vital paksa adalah pengukuran kapasitas vital yang didapat dari ekspirasi yang sekuat dan secepat mungkin. Sedangkan FEV (Forced Expiratory Volume) volume ekspirasi paksa yaitu volume udara yang dapat diekspirasi kuat-kuat dalam waktu standar. Biasanya FEV diukur selama detik pertama ekspirasi yang dipaksakan dan disebut FEV1. Pada umumnya, orang dewasa muda yang sehat akan memiliki FVC sebanyak 4-5 liter dan FEV1 sedikitnya 75% dari volume tersebut. Pada kondisi normal tersebut, perbandingan antara FEV1/FVC (disebut forced expiratory ratio) akan bernilai sedikitnya 0,75. Pada penyakit obstruktif, terjadi pengurangan nilai FEV1 yang lebih besar dibanding FVC-nya sehingga rasio FEV1/FVC bisa kurang dari 0,75 (Ikawati, 2007).

(11)

f. Klasifikasi

PPOK diklasifikasikan menjadi 4 seperti yang terlihat pada tabel I. Tabel I. Derajat Keparahan PPOK

Derajat Karakteristik

I Ringan

Ditandai dengan keterbatasan aliran udara ringan (FEV1/ FVC < 70%, FEV1 > 80%). Umumnya, tapi tidak selalu, ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini, pasien biasanya bahkan belum merasa bahwa paru-parunya bermasalah.

II Sedang

Ditandai dengan semakin memburuknya hambatan aliran udara (FEV1/FVC <70%; 50%<FEV1<80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Pada tahap ini pasien mulai mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau serangan penyakit.

III Berat

Ditandai dengan keterbatasan/hambatan aliran udara yang semakin memburuk (FEV1/FVC <70%; 30%<FEV1<50%). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.

IV Sangat

Berat

Ditandai dengan keterbatasan/hambatan aliran udara yang berat (FEV1/FVC <70%; FEV1<30% atau <50%) ditambah dengan adanya gagal nafas kronik.

(GOLD, 2010) g. Penatalaksanaan

Tujuan terapi PPOK dapat dibedakan menjadi terapi untuk pemeliharaan pada PPOK stabil dan pada terapi eksaserbasi akut. Tujuan terapi padabPPOK stabil adalah memperbaiki keadaan obtruksi kronik, mengatasi dan mencegah ekserbasi akut, menurunkan kecepatan peningkatan penyakit, meningkatkan keadaan fisik dan psikologik pasien sehingga pasien dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari, menurunkan hari-hari tidak bekerja, menurunkan jumlah hari tinggal di rumah sakit, dan menurunkan jumlah kematian. Tujuan terapi pada PPOK eksaserbasi akut adalah untuk memelihara fungsi pernapasan dan memperpanjang survival (Ikawati, 2007).

(12)

Untuk mencapai tujuan terapi pada PPOK harus mempertimbangkan beberapa aspek yaitu tingkat gejala penyakit pada pasien, keparahan dari kelainan spirometri, resiko eksaserbasi, dan penyakit komorbid. Menurut WHO, penatalaksanaan PPOK terdiri dari 4 komponen utama, yaitu pemantauan dan assessment penyakit, mengurangi faktor risiko, penatalaksanaan PPOK stabil, dan penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut. Penatalaksanaan terapi PPOK dilakukan dengan tindakan non farmakologi maupun farmakologi. Pemantauan dan assessment penyakit, serta mengurangi faktor risiko termasuk dalam penatalaksaan farmakologi. Sedangkan penatalaksanaan PPOK stabil, dan penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut termasuk dalam penatalaksaan farmakologi (WHO, 2016).

I:Ringan II:Sedang III:Berat IV:Sangat berat

FEV1/FVC<0.70 FEV1≥80% prediksi FEV1/FVC<0.70 50%≤FEV1<80% Prediksi FEV1/FVC<0.70 30%≤FEV1<50% Prediksi FEV1/FVC< 0.70 FEV1 < 30% prediksi atau FEV1 <50%prediksi plus

gagal nafas kronik Penghindaran faktor risiko; vaksinasi influenza

Tambahkan bronkodilator aksi pendek (jika diperlukan)

Tambahkan pengobatan reguler dengan satu atau lebih

bronkodilator aksi panjang (jika diperlukan); tambahkan terapi rehabilitasi

Tambahkan inhalasi kortikosteroid jika terjadi eksaserbasi berulang

Tambahkan oksigen jangka panjang jika terjadi kegagalan pernafasan kronis

(13)

1) Terapi non-farmakologi a) Berhenti merokok

Berhenti merokok memberikan pengaruh besar bagi penderita PPOK. Tenaga kesehatan dapat memberikan edukasi dan konseling kepada pasien PPOK untuk menghentikan kebiasaan merokok. Selain dengan usaha penerangan dan penyuluhan, dapat dilakukan dengan farmakoterapi yaitu terapi penggantian nikotin (nicotine replacement therapy). Terapi penggantian nikotin berupa pemberian nikotin dalam berbagai bentuk seperti gum, inhaler, spray, transdermal patch, tablet sublingual, atau lozenges. Bupropion dan nortriptilin juga dapat digunakan untuk mengatasi ketergantungan merokok (GOLD, 2015).

b) Rehabilitasi

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai simptom pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat dan kualitas hidup yang menurun. Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan (Anonim, 2003).

c) Oksigen

Pemberian oksigen (>15 jam sehari) pada pasien dengan kegagalan respirasi kronik menunjukkan peningkatan harapan hidup, selain itu juga memberikan

(14)

keuntungan pada status hemodinamik, hematologik, kapasitas latihan, mekanik paru, dan status mental. Terapi oksigen jangka panjang ini ditujukan untuk pasien PPOK stage IV (sangat parah) terutama jika : (1) PaO2 ≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia; atau (2) PaO2 7,3 kPa-8,0 kPa (55-60 mmHg) atau SaO2 88% tetapi terdapat tanda hipertensi pulmonar, edema periferal yang menunjukkan gagal jantung kongestif, atau polisitemia (hematokrit > 55%) (GOLD, 2015).

d) Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah (Anonim ,2003). e) Pembedahan

Terapi pembedahan bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan mekanik paru, meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi, serta memperbaiki kualitas hidup pasien. Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu: (1) bulektomi; (2) Bedah Reduksi Volume Paru (BRVP)/Lung Volume Reduction Surgery (LVRS); atau (3) transplantasi paru (Anonim, 2003).

2) Terapi Farmakologi a) Bronkodilator

Penggunaan bronkodilator merupakan terapi utama untuk menatalaksana gejala PPOK, bisa diberikan bila perlu atau secara reguler, tergantung pada kondisi

(15)

pasien (Ikawati,2007). Pada pasien PPOK, manfaat klinis penggunaan bronkodilator meliputi: peningkatan kemampuan beraktivitas, menurunkan air trapping pada paru-paru, dan mengurangi gejala seperti dispnea (Bourdet & Williams, 2005). Obat bronchodilator sangat penting bagi manajemen PPOK. Terapi inhalasi lebih diutamakan. Pilihan obat bronkodilator antara lain antara beta2 -agonis, antikolinergik, metilsantin, terapi kombinasi atau tergantung pada ketersediaan dan respon pasien individual dalam penanganan gejala dan efek samping. Bronchodilator diresepkan sesuai kebutuhan untuk mencegah atau mengurangi gejala. Bronkodilator inhalasi yang bersifat long acting lebih efektif dalam terapi pemeliharaan PPOK. Menggabungkan bronkodilator dapat meningkatkan khasiat dan mengurangi risiko efek samping dibandingkan dengan peningkatan dosis satu bronkodilator tunggal. Meningkatkan dosis beta-2agonis atau antikolinergik, dapat memberikan manfaat pada pasien PPOK eksaserbasi akut tetapi belum tentu bermanfaat dalam manajemen PPOK stabil (GOLD,2015).

Berikut bronkodilator yang sering digunakan dalam terapi PPOK: (1) Antikolinergik

Apabila diberikan secara inhalasi, antikolinergik seperti ipratropium dan atropine menyebabkan efek bronkodilatasi, yaitu melalui penghambatan secara kompetitif terhadap reseptor kolinergik yang ada di otot polos bronkus. Aktivitas tersebut akan menghambat asetilkolin, yang selanjutnya berefek pada pengurangan cyclic Guanosine Mono Phosphate (cGMP), dimana cGMP ini secara normal berperan pada konstriksi otot polos bronkus (Bourdet & Williams, 2005). Pada penanganan PPOK stabil, long acting

(16)

antikolinergik lebih disukai. Long acting antikolinergik dapat digunakan sebagai terapi pemeliharaan pada PPOK stabil dan dapat mencegah kekambuhan eksaserbasi. Sedangkan pada manajemen PPOK eksaserbasi akut lebih dipilih antikolinergik yang bersifat short acting yang memiliki efek lebih cepat (GOLD, 2015).

(2) β2 agonis

Golongan β2 agonis bekerja dengan mengaktivasi adenilat siklase sehingga meningkatkan pembentukan cyclic Adenosine Mono Phosphate (cAMP) yang bertanggung jawab memperantarai terjadinya relaksasi otot polos bronkus (GOLD,2015). Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat (Anonim,2003).

Pada penanganan PPOK stabil, long acting beta-2 agonis lebih disukai. Long acting beta-2 agonis dapat digunakan sebagai terapi pemeliharaan pada PPOK stabil dan dapat mencegah kekambuhan eksaserbasi. Sedangkan pada manajemen PPOK eksaserbasi akut lebih dipilih beta-2 agonis yang bersifat short acting yang memiliki efek lebih cepat (GOLD, 2015).

(3) Kombinasi simpatomimetik dengan antikolinergik

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu

(17)

penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita (Anonim, 2003). Kombinasi bronkodilator dengan mekanisme aksi yang berbeda memberikan kemungkinan efektifitas dalam penggunaan dosis dan menurunkan potensial efek samping dari masing-masing obat (Bourdet & Williams, 2005). Penggunaan kombinasi beta-2 agonis dan antikolinergik baik yang bersifat long acting maupun short acting dapat dipertimbangkan jika gejala tidak membaik dengan agen tunggal (GOLD, 2015).

(4) Metilsantin

Metilsantin menghasilkan efek bronkodilatasi melalui beberapa mekanisme yaitu penghambatan fosfodiesterase sehingga meningkatkan level cAMP, penghambatan influx ion kalsium ke dalam sel otot polos, antagonis prostaglandin, stimulasi katekolamin endogen, antagonis reseptor adenosin, serta penghambatan pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit (Bourdet & Williams, 2005).

b) Kortikosteroid

Pada penatalaksanaan terapi PPOK, penggunaan kortikosteroid sebagai antiinflamasi memberikan keuntungan yaitu mereduksi permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan menghambat prostaglandin (Bourdet & Williams,2005). Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator

(18)

meningkat > 20% dan minimal 250 mg (Anonim, 2003). Pengobatan jangka panjang dengan inhalasi kortikosteroid dianjurkan untuk pasien dengan berat parah dan sangat parah serta sering eksaserbasi yang tidak terkontrol dengan baik oleh long acting bronkodilator. Monoterapi jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak dianjurkan. Monoterapi jangka panjang dengan inhalasi kortikosteroid tidak direkomendasikan pada PPOK karena kurang efektif dibandingkan dengan kombinasi inhalasi kortikosteroid dengan long acting beta-2 agonis (GOLD, 2015).

c) Kombinasi bronkodilator dan inhalasi kortikosteroid

Terapi kombinasi antara bronkodilator masa kerja panjang dengan inhalasi kortikosteroid menunjukkan manfaat yang lebih besar dibanding pemberian obatnya dalam bentuk tunggal (Bourdet & Williams, 2005). Pengobatan jangka panjang dengan inhalasi kortikosteroid ditambahkan pada long acting bronkodilator dianjurkan untuk pasien berisiko tinggi mengalami eksaserbasi. Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan long acting beta-2agonis lebih efektif daripada komponen individual dalam memperbaiki fungsi paru-paru dan status kesehatan serta mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan kanker sedang sampai berat (GOLD, 2015).

d) Antibiotik

Sebuah studi metaanalisis menyimpulkan bahwa antibiotik bermanfaat dan harus dimulai jika pasien memperlihatkan minimal 2 dari 3 gejala berikut: peningkatan dispnea, peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi sputum (Bourdet & Williams, 2005).

(19)

e) Terapi pengganti AAT (α1 antitripsin)

Pasien dengan defisiensi α1 antitripsin secara genetik, selain dilakukanterapi yang terfokus pada pengurangan faktor risiko dan gejala dengan pemberian bronkodilator, dapat juga ditambahkan terapi untuk penggantian AAT (Bourdet & Williams, 2005).

3) Manajemen Terapi Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut pada PPOK dapat diartikan timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi. Terdapat beberapa gejalayang menjadi tanda terjadinya eksaserbasi yaitu sesak bertambah, produksi sputum meningkat, dan perubahan warna sputum (Anonim,2003). Terapi yang diberikan pada pasien PPOK eksaserbasi akut adalah:

a) Oksigen

Oksigen diberikan pada pasien hipoksemia pasien dengan target saturasi oksigen sebesar 88-92% (GOLD, 2015).

b) Bronkodilator

Short-acting beta2-agonis dengan atau tanpa short-acting anticolinergic, merupakan bronkodilator yang lebih dianjurkan untuk terapi eksaserbasi (GOLD, 2015).

(20)

Kortikosteroid dengan aksi sistemik dapat mempersingkat waktu pemulihan, meningkatkan fungsi paru-paru dan hipoksemia arteri, dan mengurangi risiko kambuh, kegagalan terapi, dan lama tinggal di rumah sakit. Prednison dengan dosis 40mg per hari selama 5 hari merupakan terapi yang direkomendasikan (GOLD, 2015).

d) Antibiotik

Antibiotik harus diberikan pada pasien dengan tiga gejala utama yaitu:

(1) Peningkatan dyspnea, peningkatan volume sputum, peningkatan purulensi sputum.

(2) Peningkatan purulensi sputum dan satu gejala kardinal lain. (3) Pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis.

(GOLD, 2015). e) Terapi tambahan

Tergantung pada kondisi klinis pasien, keseimbangan cairan yang tepat dengan diuretik, antikoagulan, pengobatan komorbid, dan aspek gizi harus dipertimbangkan. Pasien rawat inap karena eksaserbasi PPOK berada pada peningkatan risiko trombosis vena dan emboli paru; tindakan thromboprophylatic harus ditingkatkan (GOLD, 2015).

2. Drug Related Problems

DRPs merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien akibat terapi obat, sehingga secara aktual maupun potensial dapat mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan (Cipolle et al., 1998). Tujuan mengidentifikasi DRPs adalah membantu pasien untuk mendapatkan

(21)

tujuan terapi dan dapat mewujudkan hasil terbaik dari terapi obat. DRPs dapat berupa masalah aktual maupun potensial. DRPs aktual adalah problem atau masalah yang sudah terjadi pada pasien, dan farmasis harus berusaha menyelesaikannya. Sedangkan DRPs potensial adalah suatu masalah yang mungkin terjadi, suatu risiko yang dapat berkembang pada pasien jika farmasis tidak melakukan suatu tindakan untuk mencegahnya.

Terdapat tiga komponen primer yang terjadi pada pasien yang mengalami DRPs yaitu:

a. Pasien mengalami keadaan yang tidak diharapkan. Dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosa, penyakit, kesakitan, cacat, nilai laboratorium yang abnormal, atau sindrom dan dapat berakibat psikologis, fisiologis, sosial bahkan kondidi ekonomi.

b. Terapi obat yang digunakan meliputi produk atau regimen dosis.

c. Adanya kecurigaan terhadap hubungan keadaan yang tidak diinginkan pada pasien dengan terapi obatnya.

(Cipolle et al., 2004) Terdapat terbagi dalam tujuh kategori Drug Related Problemsmenurut Cipolle yaitu:

a. Terapi obat yang tidak perlu

Terapi obat yang tidak perlu meliputi :

1) Tidak adanya indikasi untuk terapi obat tersebut pada saat itu.

2) Penggunaan multiple drug pada kondisi yang dapat diterapi dengan single drug teraphy.

(22)

3) Kondisi yang masih dapat ditangani dengan terapi nonfamakologi. 4) Pasien memperoleh efek obat untuk mengatasi efek samping dari obat

lain yang seharusnya dapat digunakan obat yang lebih minimal efek sampingnya.

5) Pasien dengan masalah pengobatan yang berkaitan dengan penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol dan rokok.

(Cipolle et al., 2004) Terapi obat yang tidak perlu, selain menempatkan pasien pada risiko efek samping atau toksisitas obat, juga meningkatkan biaya dari terapi itu sendiri. Terapi obat dianggap tidak perlu untuk pasien jika tidak terdapat indikasi yang jelas untuk obat tersebut. Namun demikian, harus tetap diingat bahwa obat digunakan untuk beberapa alasan, tidak hanya untuk mengobati penyakit maupun mengurangi gejala, namun juga untuk profilaksis dan pencegahan dan untuk proses diagnosis (Cipolle et al., 1998).

b. Indikasi yang tidak diterapi

Terapi yang termasuk indikasi yang tidak diterapi yaitu: 1) Pasien membutuhkan terapi obat baru.

2) Pasien menderita penyakit kronis sehingga membutuhkan terapi obat lanjutan.

3) Kondisi pasien membutuhkan kombinasi obat.

4) Pasien berisiko mengalami komplikasi yang dapat dicegah dengan terapi profilaksis.

(23)

c. Obat yang tidak efektif (obat salah)

1) Bukan obat yang paling efektif untuk penyakitnya.

2) Obat yang digunakan tidak bisa menyembuhkan kondisi pasien. 3) Bentuk sediaan yang tidak sesuai.

4) Produk obat yang digunakan bukan produk yang efektif untuk indikasi penyakit pasien.

Suatu terapi dapat dikatakan tidak tepat atau salah apabila pasien tidak memperoleh atau kemungkinan besar tidak akan memperoleh outcome terapi yang diinginkan. Efektivitas dan toksisitas obat harus menjadi pertimbangan farmasis pada saat menentukan terapi yang tepat untuk pasien. Adanya keseimbangan antara keduanya akan meningkatkan kenyamanan dan kualitas hidup pasien. Terapi obat bersifat individual untuk masing-masing pasien. Suatu regimen dikatakan sebagai obat yang salah untuk pasien tertentu belum tentu halnya demikian untuk pasien yang lainnya. Secara garis besar, pemilihan terapi obat jarang yang bersifat 100% benar, namun juga jarang 100% salah (Cipolle et al., 1998).

d. Dosis terlalu rendah

Secara garis besar, regimen dosis obat yang dianggap sebagai dosis subterapi apabila pasien telah diterapi sesuai dengan indikasinya, tidak mengalami efek samping akibat obat, akan tetapi tidak memperoleh manfaat terapi yang diinginkan (Cipolle et al., 1998). Dikatakan dosis

(24)

kurang atau dosis terlalu rendah adalah apabila dosis yang diterima pasien berada dibawah 20% dari rentang dosis terapi yang seharusnya diterima pasien. FDA menetapkan kriteria bioekuivalensi obat adalah sebesar 80- 125% pada 90% interval Area Under Curve (AUC) dan konsentrasi obat dalam darah maksimum (Cmax). Kriteria ini digunakan pada obat baik yang variabilitasnya rendah maupun tinggi (Food and Drug Administration, 2004).

Beberapa penyebab terapi dengan dosis terlalu rendah meliputi: 1) Dosis terlalu rendah untuk memberikan respon yang diinginkan. 2) Interval dosis jarang untuk menghasilkan respon yang diinginkan. 3) Interaksi obat mengurangi jumlah zat aktif yang tersedia

4) Durasi terapi obat terlalu pendek untuk menghasilkan respon yang diinginkan.

e. Adverse Drug Reaction (ADR)

Reaksi yang tidak diinginkan meliputi:

1) Obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak tergantung dosis.

2) Produk obat yang aman diperlukan karena adanya faktor resiko.

3) Adanya interaksi obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan terjadi dan tidak tergantung dosis.

4) Regimen dosis diberikan atau diubah terlalau cepat. 5) Produk obat menyebabkan reaksi alergi.

(25)

f. Dosis terlalu tinggi

Menurut FDA, dikatakan dosis berlebih atau dosis terlalu tinggi adalah apabila dosis yang diterima pasien berada 25% di atas dosis standar yang seharusnya diterima (Food and Drug Administration, 2004).

Dosis terlalu tinggi dapat terjadi karena peningkatan level obat dalam tubuh akibat beberapa hal berikut ini :

1) Dosis terlalu tinggi untuk pasien. 2) Frekuensi dosis terlalu pendek. 3) Durasi terapi obat terlalu lama.

4) Adanya interaksi obat menghasilkan reaksi toksik pada produk obat. 5) Dosis yang diberikan terlalu cepat.

g. Ketidakpatuhan

DRPs katergori ketidakpatuhan meliputi:

1) Pasien tidak mengerti dengan instruksi yang diberikan. 2) Pasien memilih untuk tidak minum obat.

3) Pasien lupa minum obat

4) Obat terlalu mahal untuk pasien

5) Pasien tidak dapat menelan atau menggunakan sendiri obat yang dipakai secara tepat

(26)

F. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

G. Keterangan Empiris

Pasien yang menjalani terapi farmakologi membutuhkan terapi yang sesuai, efektif, aman dan rasional sehingga outcome terapi dapat tercapai secara optimal. Terkait dengan hal tersebut, farmasis melalui farmasi klinik dengan praktik pharmaceutical care memiliki kewajiban mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat (Drug Related Problems). Penelitian ini dapat memberikan gambaran terapi, jenis dan jumlah kejadian DRPs pada pasien PPOK rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Gamping pada tahun periode 2015 dan 2016.

Pasien PPOK menjalani rawat inap yang memenuhi kriteria inklusi.

Parameter Drug Related Problems (DRPs)

1. Indikasi tanpa terapi 2. Terapi tanpa indikasi 3. Dosis terlalu tinggi 4. Dosis terlalu rendah 5. Adverse Drug Reaction 6. Interaksi obat

Gambaran terapi penggunaan obat PPOK

1. Bronkodilator

2. Sistemik kortikosteroid 3. Antibiotik

(27)

Gambar

Tabel I. Derajat Keparahan PPOK
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pada uji kualitatif isolat resisten menunjukkan bahwa isolat P5 lebih tahan dibanding isolat P3 yang ditunjukkan dengan pembentukan zona bening yang mengindikasikan

Nilai signifikansi tersebut kurang dari 0,05 yang berarti

Mengetahui ada atau tidaknya pengaruh insider ownership terhadap hubungan dari rasio operating capacity dengan financial distress pada perusahaan perbankan yang terdaftar

Press.. mengkelompokkan SK dan KD yang memiliki keterkaitan dengan satu sama lainnya, baik dalam satu mata pelajaran ataupun antar mata pelajaran. Setelah kegiatan

Upaya-upaya untuk mempertahankan ketinggian air antara lain membuat water zoning, memasang piezzometer, pintu air, over flow gate, pintu air parit tengah, pembuatan emergency

Menurut Carlson (2005), vitamin C yang dikonsumsi berperan sebagai kofaktor sintesis neurotransmiter dan antioksidan.. yang digunakan sebagai nutrisi otak dan mempengaruhi

Dalam pembelajaran yang terjadi ada beberapa kegiatan yang dapat membangun pemahaman peserta didik tidak terlaksana seperti konflik kognitif pada pembelajaran ke-1dan

Merupakan protokol yang digunakan untuk membuat koneksi Packet-Switched dengan performa yang tinggi dan dapat digunakan di atas berbagai macam interface jaringan.. Untuk