• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Rehabilitasi Hutan dan Lahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Rehabilitasi Hutan dan Lahan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran sungai (DAS). RHL mengambil posisi dalam mengisi kesenjangan, ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi lahan. RHL juga sangat berperan dalam meningkatkan luas areal bertegakan hutan dan bangunan konservasi tanah; memulihkan fungsi hidrologi hutan dan lahan dalam DAS; memulihkan fungsi perlindungan tanah dan stabilitas iklim mikro; meningkatkan produksi Oksigen (O2) dan penyerap gas-gas pencemar udara; memulihkan dan melestarikan sumberdaya plasma nutfah; membuka peluang kesempatan berusaha dan kesejahteraan masyarakat; membuka peluang untuk pengembangan ekowisata; memulihkan citra negara, bangsa, pemerintah, dan masyarakat di mata dunia (WALHI 2004).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.20/Kpts-II/2001, RHL memiliki beberapa prinsip, di antaranya: (a) meminimumkan kegagalan kebijakan (policy failure), sebagai akibat kegagalan birokrasi (government failure) dan kegagagalan pasar (market failure). Arahnya adalah mewujudkan good policy, good implementation, good performance; (b) RHL harus menjadi kebutuhan masyarakat; (c) RHL menggunakan DAS sebagai unit analisis dalam perencanaan dan pengendalian; (d) adanya kejelasan wewenang dan tata hubungan kerja dalam RHL; (e) memanfaatkan potensi masyarakat lokal (f) tujuan RHL disesuaikan dengan fungsi utama kawasan yang menjadi sasaran rehabilitasi; (g) perlunya pemahaman yang baik terhadap status penguasaan/ kepemilikan lahan sasaran RHL agar potensi konflik dapat diantisipasi; (h) kontribusi biaya (cost sharing) antara pemerintah dan masyarakat; dan (i) adanya penguatan kelembagaan (Timpakul 2004). Upaya-upaya RHL yang telah dilakukan selama ini disajikan pada Tabel 1.

(2)

Tabel 1. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) selama Periode (1951 – 2004)

No Tahun Kegiatan

1 1951 – 1960 Penanaman karangkitri pada tanah-tanah pekarangan/tegalan melalui kegiatan Rencana Kesejahteraan Indonesia

2 1967-1970 Proyek Deptan 001 s/d 037 (penghijauan sektoral belum berbasis DAS)

3 1970-1976 Setelah banjir di Solo tahun 1966 telah dilaksanakan upaya Rehabilitasi Lahan Kritis berbantuan natura (pangan dan bibit tanaman) dari WFP/world food program ( hasil kurang memadai) 4 1973-1979 Proyek Upper Solo Watershed Management and Upland

Development /TA. INS/72/006 di Solo bantuan FAO/UNDP, mulai dilakukan uji coba model pengelolaan DAS dan teknik konservasi tanah dan air (hasilnya norma, kriteria dan standar)

5 1981-1989 Proyek Citanduy I dan II bantuan USAID di Panawangan-Ciamis (hasilnya norma, kriteria dan standar konservasi tanah dan air/ model farm.

6 1976/1977–

1996/1997

INPRES Reboisasi dan Penghijauan secara lintas sektor, perencanaan berbasis DAS dan pembinaan teknis oleh proyek2 di daerah (P3RPDAS), reboisasi dilaksanakan pemda propinsi dan penghijauan oleh pemda kabupaten (tingkat keberhasilan fisik: rendah – sedang

7 1990/1991–

1997/1998

Kredit Usahatani Konservasi DAS (KUK DAS) (keberhasilan: 57% realisasi pengembalian kredit)

8 2000 – 2004 RHL DAK DR (40%) di daerah penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota tanpa pembinaan teknis Dephut (keberhasilan : rendah/bermasalah)

9 2000–2004 RHL DR (60 %) di daerah non penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota dengan perencanaan/pembinaan teknis oleh Balai Pengelolaan DAS (keberhasilan : rendah-cukup)

10 2003–2007 GN-RHL di DAS-DAS prioritas, perencanaan dan pembinaan teknis oleh Ditjen RLPS dan UPT nya, penyediaan bibit oleh BP DAS, penanaman/ konservasi tanah oleh Pem. Kab/Kota dan BKSDA/BTN, penilaian bibit/kinerja oleh Perguruan Tinggi, pengendalian oleh Pem Prop/Pusat

Sumber : DEPHUT 2006

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2000-2005), pemerintah telah merehabilitasi hutan dan lahan dalam bentuk reboisasi seluas ± 469.256 ha, dan penghijauan, termasuk hutan rakyat seluas ± 1.785.149 ha. Selain itu, di tahun

(3)

tahun 2003 pemerintah melului Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) telah mentargetkan rehabilitasi kawasan hutan dan ekosistemnya seluas 3 juta ha, dengan sasaran DAS prioritas, hutan rusak dan lahan kritis, serta rawan bencana. Selain itu direncanakan pula pembangunan hutan tanaman seluas 5 juta ha dan hutan rakyat seluas 2 juta ha. Gerakan tersebut diproklamirkan oleh pemerintah di tahun 2002, dengan tema: ”Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan”, sebagai komitment bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan rakyat (WALHI 2004).

Lingkup kegiatan GN-RHL terdiri atas: (a) Kegiatan pencegahan perusakan lingkungan, meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan penegakan hukum; dan (b) Kegiatan penanaman hutan dan rehabilitasi, meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi, dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman dll) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali dan penahan (gully plug), pembuatan teras (terasering), sumur resapan (grass barrier), dll), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan (Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat 2003).

GN-RHL merupakan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta perbaikan lingkungan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan semua stakeholders melalui suatu perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi yang efektif dan efisien. Tugas Kementerian/ Departemen/Non-Departemen/Lembaga dilaksanakan dalam rangka mensukseskan penyelenggaraan GN-RHL (Hidayat 2003).

Secara garis besar peran masing-masing stakeholder adalah sebagai berikut :

(a) Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Koordinator Bidang perekonomian, dan Kementerian Bidang Politik dan Keamanan bertugas mengkoordinasikan penyelenggaraan GN-RHL.

(4)

(b) Departemen Kehutanan bertugas menyiapkan perencanaan dan pembibitan, pembinaan teknis dalam penanaman dan pemeliharaan, serta sebagai koordinator dalam pelaksanaan GN-RHL.

(c) Departemen Keuangan bertugas menyiapkan anggaran dan pendanaan bagi pelaksanaan GN-RHL.

(d) Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah bertugas memilih prioritas DAS yang kritis untuk ditangani dan menyiapkan peta DAS bagi dasar perencanaan.

(e) Departemen Pertanian bertugas pembinaan pemeliharaan tanaman pertanian/perkebunan yang ditanam dalam kegiatan GN-RHL.

(f) Departemen Dalam Negeri bertugas menggerakkan jajaran pemerintah daerah dan masyarakat untuk melaksanakan penanaman bibit dan pemeliharaan tanaman, serta melaksanakan sosialisasi.

(g) Departemen Pendidikan Nasional bertugas mengerahkan siswa/mahasiswa untuk terlibat aktif dalam upaya GN-RHL, dan meningkatkan kepedulian siswa/mahasiswa terhadap kelestarian lingkungan.

(h) Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia bertugas melaksanakan penegakan hukum terhadap perusakan lingkungan.

(i) Kementerian Lingkungan Hidup bertugas melakukan pemantauan pelaksanaan perkembangan perbaikan lingkungan serta sebagai koordinator dalam pencegahan perusakan lingkungan.

(j) Kementerian Riset dan Teknologi bertugas menyediakan informasi dan evaluasi tentang perbaikan kondisi lingkungan yang diperoleh dari citra satelit. (k) Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertugas menggerakkan personil/anggotanya untuk melaksanakan upaya-upaya penanaman bersama-sama masyarakat.

(l) Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) bertugas mengamankan pelaksanaan kegiatan GN-RHL.

(5)

Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bentuk Partisipasi

Partisipasi memiliki arti yang luas. Sebagian ahli mendefenisikan partisipasi sebagai keikutsertaan masyarakat, baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan terbentuk sebagai akibat dari terjalinnya interaksi sosial antar individu atau kelompok masyarakat yang lain (Wardoyo 1992). Demikian halnya Davis (1967) menyebutkan partisipasi sebagai keterlibatan mental, pemikiran, dan perasaan seseorang di dalam situasi kelompok, yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok tersebut dalam usaha mencapai tujuan bersama, dan turut bertanggung jawab terhadap usaha bersangkutan.

Mubyarto (1984) mengartikan partisipasi sebagai suatu bentuk kesediaan membantu berhasilnya setiap kegiatan, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap individu tanpa mengorbankan diri sendiri. Lebih jauh, Slamet (2003) memaknai partisipasi masyarakat sebagai wujud keikutsertaan masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Jadi, bukan hanya menyumbangkan input ke dalam pembangunan, namun lebih jauh ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.

Sementara itu, Oakley (1991) lebih memandang partisipasi sebagai wujud perbaikan sistem atau sebagai suatu proses, yang dimaksudkan untuk memberi penguatan pada kemampuan masyarakat desa, agar mereka berinisiatif terlibat secara langsung dalam pembangunan. Sejalan dengan itu, Soetrisno (1995) mengemukakan bahwa defenisi partisipasi adalah kerjasama antar rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan. Dalam konteks ini diasumsikan bahwa rakyat mempunyai aspirasi dan nilai budaya, yang perlu diakomodasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu kegiatan pembangunan.

Derajat Partisipasi

Tjokroamidjojo (1991) menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat meliputi tiga tahap, yakni (1) keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi, dan

(6)

kebijaksanaan pembangunan, (2) keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, dan (3) keterlibatan dalam memetik hasil dalam pembangunan secara berkeadilan. Lebih jauh, Ndraha (1987) mengemukakan enam tahapan partisipasi, di antaranya: (a) partisipasi dalam menerima dan memberikan informasi; (2) partisipasi dalam memberikan tanggapan dan saran terhadap informasi yang diterima, baik yang bersifat “mengiyakan“ atau yang menerima dengan syarat; (3) partisipasi dalam perencanaan pembangunan; (4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan; (5) partisipasi dalam menerima kembali hasil-hasil pembangunan dan (6) partisipasi dalam menilai pembangunan.

Terkait dengan partisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, Borrini-Feyerabend (2000) mengemukakan bahwa partisipasi efektif dapat dipandang sebagai sebuah kondisi di mana kearifan lokal, keterampilan, dan sumberdaya lainnya digerakkan dan dilaksanakan secara totalitas. Partisipasi berarti bahwa masyarakat lokal diberdayakan untuk menggerakkan kemampuan mereka menjadi aktor-aktor sosial dalam mengelola sumberdaya, membuat keputusan, dan mengontrol kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka (Cernea 1985).

Berkaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, Wilcox (1994) telah mengembangkan partisipasi ke dalam lima tahap yakni: informasi, konsultasi, keputusan bersama, bekerja sama, dan mendukung kepentingan masyarakat (lihat Gambar 1).

Degree of control Supporting Acting together Deciding together Consultation Information Substantial Participation

(7)

Menurut model Wilcox, tingkatan yang paling rendah dalam mengontrol sumber daya alam secara keseluruhan adalah tingkatan ”informasi”, di mana masyarakat diberitahu apa yang direncanakan dengan maksud untuk mendidik partisipan. Tingkatan selanjutnya dari partisipasi adalah ”konsultasi” yang berarti menawarkan beberapa opsi atau pilihan dan menerima masukan. Selanjutnya, ”keputusan bersama” berarti masyarakat didorong untuk memberikan beberapa ide, dan memutuskan bersama sebagai jalan terbaik ke depan. Tingkatan partisipasi yang lebih tinggi adalah ”bertindak secara bersama-sama”, untuk mencapai keputusan yang terbaik di antara kepentingan yang beragam atau berbeda kemudian melaksanakannya. Tahapan yang tertinggi dari kontrol adalah ketika masyarakat ”mendapatkan bantuan” berdasarkan apa yang mereka inginkan, berupa dukungan dari pemegang otoritas sumberdaya.

Secara lebih rinci, Nanang dan Devung (2004) mengembangkan konsep Wilcox menjadi beberapa item, di antaranya:

Tingkat 6: Mobilisasi dengan kemauan sendiri (self-mobilization): masyarakat mengambil inisiatif sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan pemanfaatan sumberdaya; pihak luar memfasilitasi mereka.

Tingkat 5. Kemitraan (partnership): masyarakat mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi kelayakan, perencanaan, implementasi, evaluasi, dll. Partisipasi merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai sesuatu Ini disebut “partisipasi interaktif.”

Tingkat 4. Plakasi/konsiliasi (Placation/Conciliation): masyarakat ikut dalam proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting. Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang, dll. Tingkat 3. Perundingan (consultation): pihak luar berkonsultasi dan berunding

dengan masyarakat melalui pertemuan atau public hearing dan sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan.

(8)

Tingkat 2. Pengumpulan informasi (information gathering): masyarakat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi searah dari masyarakat ke luar.

Tingkat 1. Pemberitahuan (informing): hasil yang diputuskan oleh orang luar (pakar, pejabat, dll.) diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat.

Tingkat-tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat untuk menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi

Peningkatan partisipasi merupakan salah satu upaya untuk memberdayakan dan mengembangkan kekuatan lokal. Partisipasi masyarakat dapat dipandang pula sebagai satu kekuatan penting dan menentukan keberhasilan proses pembangunan dan hal yang penting adalah pemberdayaan ataupun partisipasi masyarakat hendaknya berjalan dengan sukarela, tanpa paksaan (Mubyarto1994). Keuntungan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan hutan di antaranya: (a) sasaran-sasaran lokal, pengelolaan lokal dan keuntungan-keuntungan lokal. Penduduk akan lebih antusias, tentang suatu rencana seperti miliknya sendiri, dan mereka akan lebih berkeinginan berpartisipasi dalam pelaksanaan dan pengawasannya; (b) mereka akan lebih sadar akan permasalahan dan peluang-peluang penggunaan dan pengelolaan sumberdaya hutan; (c) rencana dapat memberikan perhatian yang dekat pada desakan-desakan lokal, meskipun ini dikaitkan dengan sumberdaya alam dan masalah-masalah sosial-ekonomi dan budaya; dan (d) informasi yang lebih baik akan memberi sumbangan pada tingkat perencanaan yang lebih tinggi (Pujo1998).

Ada dua sumber yang menyebabkan munculnya partisipasi, yaitu: partisipasi yang muncul dari dalam diri manusia itu sendiri dan partisipasi karena dorongan dari luar. Kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai kekuatan sendiri-sendiri yang saling mengisi. Partisipasi dari luar dapat berupa paksaan atau rangsangan dari luar. Masyarakat dengan kesadaran sendiri melaksanakan pembangunan (Koentjaraningrat 1980). Namun demikian, dalam pelaksanaannya di lapangan

(9)

sering dijumpai berbagai hambatan, di antaranya; pertama, belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencana dan pelaksanan pembangunan. Di lingkungan aparat perencana dan pelaksanaan pembangunan, partisipasi merupakan kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak kegiatan-kegiatan pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah. Hambatan kedua yang ditemukan di lapangan adalah lemahnya kemauan rakyat berpartisipasi dalam pembangunan berakar pada banyaknya peraturan/ perundang-undangan, yang meredam keinginan rakyat untuk berpartisipasi (Soetrisno 1995).

Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa status sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, pendapatan) berkaitan erat dengan tahapan partisipasi. Lapisan penduduk yang berstatus sosial lebih tinggi biasanya lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, kelasa sosial menegah lebih banyak terlibat dalam proses pelaksanaan, sedangkan kelasa sosial yang lebih rendah lebih banyak hanya dalam proses pemanfaatan.

Sallatang (1986), menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan atau pelaksanaan proyek, di antaranya:

(1) Proyek-proyek yang dilaksanakan sebelumnya tidak dibicarakan secara tuntas dengan masyarakat. Masyarakat merasakan sekedar diminta dan diharapkan menerima dan melaksanakan saja. Sehingga, proyek-proyek yang dilaksanakan tidak atau kurang merupakan hasil kesepakatan (commitment) di antara para pelaku. Karenanya, masyarakat kurang memiliki rasa tanggung jawab.

(2) Tidak atau kurang diikutsertakannya masyarakat berpartisipasi dalam tahap perencanaan sebagai tahap pertama dalam menyelenggarakan suatu proyek, yang justru dalam penilaiannya merupakan suatu rangkaian kegiatan penting dirasakan oleh masyarakat. Demikian, masyarakat kurang ikut serta dalam proyek atau sedikitnya mereka merasa tidak diperhatikan.

(3) Di antara proyek-proyek yang dilaksanakan, banyak yang dirasakan oleh masyarakat tidak atau kurang menyentuh kebutuhan terasa (felt need) nya.

(10)

(4) Para warga masyarakat sukar mengambil atau memainkan peranan dalam berbagai kegiatan proyek, karena mereka tidak atau kurang mengetahui aturan-aturan teknis operasional dan prosedurnya.

(5) Pengorbanan yang dilepaskan ataupun keuntungan yang diperoleh berkenaan dengan pelaksanaan proyek-proyek, acapkali kurang berimbang dan kurang memenuhi rasa keadilan khususnya di kalangan mereka yang terkena langsung oleh proyek-proyek yang bersangkutan.

Hal tersebut sejalan dengan Cohen dan Uphoff (1977) menyatakan bahwa setiap individu dapat mengalihkan partisipasinya dari suatu sistem ke sistem yang lain karena: (1) tingkat keuntungan (imbalan) yang diperoleh tidak ada atau rendah, (2) tidak adanya kesesuaian terhadap nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan dalam lingkungan kehidupan seseorang dan kelompok yang lebih mengandung harapan dan keuntungan lebih besar.

Partisipasi muncul diakibatkan oleh faktor di dalam diri seseorang itu yang disebut faktor intrinsik dan faktor dari luar diri disebut faktor lingkungan. Faktor intrinsik meliputi; umur, ukuran keluarga, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan (dari dalam dan luar kegiatan), luas lahan milik, kekosmopolitan, pendapatan rumah tangga, dan kepahaman kontrak. Sedangkan untuk faktor lingkungan meliputi; aksesibilitas lahan andil, peran pembinaan teknis, peran penyuluh, peran kelembagaan formal, peran kelembagaan informal, peran petugas lapangan dan luas lahan andil.

Slamet (1980) menyatakan bahwa dalam usaha menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi dipengaruhi beberapa hal yaitu: (1) adanya kesempatan untuk ikut dalam kegiatan, (2) ada kemauan untuk berpartisipasi dan (3) ada kemauan untuk memanfaatkan kesempatan. Iqbal (1988) dalam Sunartana (2003) menambahkan bahwa faktor-faktor yang termasuk dalam kesempatan yaitu peluang petani untuk menjadi peserta kegiatan, status keanggotaan, sedangkan faktor-faktor yang termasuk dalam kemampuan yaitu pendidikan formal dan non formal, pengalaman petani dalam berusaha tani, usia petani, dan luas lahan. Sementara untuk faktor yang termasuk dalam kemauan yaitu motivasi petani dan jarak tempat tinggal petani dengan lokasi kegiatan.

(11)

Tingkat partisipasi masyarakat juga dipengaruhi oleh dua faktor; yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup ciri-ciri atau karakter individu, meliputi; umur, tingkat pendidikan, luas lahan garapan, pendapatan, motivasi, persepsi, jumlah tenagah kerja, status petani, dan kekosmopolitan. Sementara itu, faktor eksternal yang merupakan faktor di luar karakteristik individu meliputi; ketersediaan saprodi, intensitas penyuluhan, dukungan pemerintah, dukungan lingkungan fisik, dukungan kelembagaan sosial, daya tarik kerjasama, kepadatan penduduk, dan jarak lahan garapan (Trison 2005). Demikian halnya Sunartana (2003) yang menjelaskan bahwa faktor internal meliputi: umur, tingkat pendidikan, status sosial, kekosmopolitan, pengalaman berorganisasi, pendapatan rumah tangga, motivasi, luas lahan garapan, dan persepsi. Untuk faktor eksternal meliputi; peran pendamping, peran pemerintah, kejelasan hak dan kewajiban, dan aspek sosial budaya masyarakat.

Analisis SWOT

Rangkuti (2005) menyatakan bahwa analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi suatu rencana kegiatan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknes) dan ancaman (Threats), sehingga proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan.

Menurut Pearce II dan Robinson (1991) yang diacu dalam Wijayanto (2001) kekuatan (Strengths) adalah sumberdaya, keterampilan atau keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar suatu perusahaan. Kelemahan (Weakness) merupakan keterbatasan dalam sumberdaya, keterampilan dan kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja suatu perusahaan. Peluang (Opportunities) merupakan situasi yang menguntungkan perusahaan, berbagai kecenderungan adalah salah satu peluang seperti peraturan-peraturan, dan perubahan teknologi. Sedangkan ancaman (Threaths) adalah situasi yang tidak menguntungkan, rintangan perusahaan seperti masuknya pesaing baru, perubahan teknologi dan peraturan baru atau perubahan yang direvisi. Analisis Swot

(12)

BERBAGAI PELUANG BERBAGAI ANCAMAN KELEMAHAN INTERNAL KEKUATAN INTERNAL 1. Mendukung strategi turnaround 2. Mendukung strategi defensif 3. Mendukung strategi agresif 4. Mendukung strategi diversivikasi

didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif memaksimumkan kekuatan dan peluang serta meminimumkan kelemahan dan ancaman kemudian dilakukan pembandingan antar unsur-unsur SWOT maka perlu diketahui nilai masing-masing unsur SWOT tersebut.

Diagram SWOT merupakan perpaduan antar perbandingan kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horizontal) dengan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif, sedangkan kelemahan dan ancaman diberi tanda negatif. Penempatan selisih nilai S (kekuatan) – W (kelemahan) pada sumbu (x) dan penempatan selisih nilai antara O (peluang) – T (ancaman) pada sumbu (y) maka ordinat (x,y) akan menempati salah satu sel diagram SWOT. Letak nilai S – W dan O – T dalam diagram SWOT akan menentukan arah strategi yang akan digunakan dalam pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL).

Gambar 2. Diagram SWOT (Rangkuti 2005)

Pada sel 1 (support an agresive strategy) merupakan situasi yang paling menguntungkan. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL memiliki peluang dan kekuatan. Jika rencana pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL pada sel 2 (support a diversification strategy), meskipun menghadapi berbagai macam ancaman, namun masih memiliki kekuatan. Apabila rencana pengembangan partisipasi masyarakat dalam

(13)

kegiatan GN-RHL berada pada sel 3 (support a turnaround oriented strategy) berarti rencana tersebut mempunyai peluang tetapi dihambat oleh adanya kelemahan-kelemahan internal. Sedangkan jika rencana pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL berada pada sel 4 (support a difensive strategy) berati rencana tersebut menghadapi situasi yang tidak menguntungkan, yakni mempunyai ancaman dan kelemahan internal. Setiap sel pada diagram SWOT memperlihatkan ciri yang berbeda suatu unit usaha, sehingga diperlukan strategi yang berbeda dalam penanganannya.

Selain menggunakan diagram SWOT, Rangkuti (2005) mengemukakan bahwa alat yang dapat dipakai untuk menyusun faktor-faktor perusahaan adalah matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Keunggulan matrik SWOT adalah dapat mempermudah dalam memformulasikan strategi berdasarkan gabungan antara faktor internal dan eksternal.

Gambar

Tabel  1.  Kegiatan  Rehabilitasi  Hutan  dan  Lahan  (RHL)  selama  Periode  (1951  –  2004)
Gambar 1.  Tahapan dari Partisipasi (Wilcox 1994:9).
Diagram  SWOT  merupakan  perpaduan  antar  perbandingan  kekuatan  dan  kelemahan  (diwakili  garis  horizontal)  dengan  peluang  dan  ancaman  (diwakili  garis  vertikal)

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat Penelitian ini adalah memperoleh perbandingan daya efektif, torsi, konsumsi bahan bakar dan tekanan efektif rata-rata dengan bahan bakar campuran bioethanol

Dari hasil penerapan asuhan kebidanan dimulai dengan pengkajian, identifikasi diagnosa, intervensi dan implementasi pada klien NY “R” Hamil dengan pre eklamsia

• Ketentuan LD akan tetap berlaku apabila Penjual tidak dapat mencapai COD pada jadwal yang telah disepakati, dengan perhitungan [[Tarif (Component A+B) atau BPP] x Kapasitas Kontrak

Berdasarkan hasil yang didapat jumlah udang yang paling banyak matang gonad berasal dari udang yang diberi perlakuan ablasi sebanyak 14 ekor (keberhasilan 93%),

Pemahaman tentang subyek-obyek, dominan-tidak dominan, superior-imperior serta pembagian peran-peran yang tidak seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki- laki)

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kebutuhan aplikasi mahasiswa IPB, mendapatkan padanan aplikasi serupa yang dapat berfungsi pada sistem operasi GNU/Linux, dan

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah perkembangan, fungsi, dan bentuk penyajian musik Tanjidor di Kecamatan Pemangkat yang dipaparkan oleh

Persamaan ini menunjukan bahwa hubungan kemampuan berpikir kritis dan konsep diri dengan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan kelas V di SD Negeri 01 Mempawah