• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBUAH ULASAN : INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEBUAH ULASAN : INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) DI INDONESIA"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

SEBUAH ULASAN : INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR)

DI INDONESIA

PENDAHULUAN

IBR merupakan penyakit viral yang mani-festasi penyakitnya pada saluran pernafasan, gangguan pada penglihatan, gangguan pada sistem reproduksi, gangguan syaraf, gangguan

pencernaan dan kelainan pada kulit.

Penyakit ini secara serologik telah disidik di Indonesia dan merupakan penyakit viral penting yang mengganggu dalam sistem peternakan dan telah menyebar di beberapa propinsi di Indonesia . Kejadian outbreak yang menyertai diare ganas pada sapi ternyata secara serologi menunjukkan IBR sebagai agen penyebab yang dominan . Hal ini tentu perlu diwaspadai agar tidak terjadi lagi kasus serupa dimasa mendatang . Disamping itu adanya kasus balanopostitis yang menyerang seekor sapi di salah satu BIB (Balai Inseminasi Buatan) yang ada dan menunjukkan positif IBR, lebih menggam-barkan pada kita akan pentingnya penyakit ter-sebut.

Seperti diketahui IBR pada suatu lembaga seperti BIB yang memproduksi semen beku untuk didistribusikan keseluruh Indonesia sangat tabu adanya penyakit tersebut . Artinya BIB harus be-bas dari IBR, balk secara serologi maupun melalui isolasi agen penyebab penyakit . Karena dapat menularkan penyakit pada akseptor IB (inseminasi buatan) .

Tulisan ini bermaksud mengulas tentang peran penyakit IBR di Indonesia dan usaha penang-gulangannya berdasarkan sifat agen penyebab dan pengalaman negara-negara maju untuk me-ngatasi penyakit ini di negaranya.

DISTRIBUSI PENYAKIT

Penyakit ini dilaporkan kejadiannya pertama kali di benua Amerika, yaitu di negara-negara bagian Colorado dan California, Amerika Serikat. Pertama kali di identifikasi pada tahun 1950 pada sapi perah. Kini penyakit tersebut telah menyebar di seluruh Amerika Serikat (di 24 negara bagian), bahkan sampai di Canada. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada hewan menyerang pada sa-luran pernafasan, sesuai dengan namanya yang disebut penyakit "Infectious laryngotracheitis" . Akan tetapi gejala klinis penyakit ternyata tidak

Sudarisman

(Balai Penelitian Veteriner, Bogor)

hanya pada saluran pernafasan, selain itu ada juga pada saluran pencernaan, saluran reproduksi dan gejala syaraf berupa encephalitis, seperti halnya yang ditemui di Inggris .

Di benua Eropa pertama kali kejadiannya di Inggris dan dilaporkan pada tahun 1958. Di benua Australia pertama kali dilaporkan pada tahun 1962 dengan gejala encephalitis pada anak sapi dan di Selandia baru pada tahun 1959. Di benua Afrika pertama kali dilaporkan pada tahun 1961 dengan gejala kemajiran . Di Amerika Se-latan pertama kali dilaporkan pada tahun 1972, berupa kejadian abortus dan ocular carcinoma pada sapi di Argentina. Sedangkan di benua Asia laporan kejadian baru ada pada tahun 1972, yaitu di Jepang, tahun 1973 di Korea dan tahun 1974 di Iran .

Tabel 1 . Hasil uji serum netralisasi terhadap antibodi virus

Di Indonesia, dengan berkembangnya peter-nakan, ternyata perkembangan penyakit ikut juga mencuat . Hal ini terlihat dari semakin banyaknya jenis penyakit yang ditemukan pada akhir-akhir ini . Demikian pula IBR, telah disidik secara serologik

IBR dalam serum sapi dan kerbau Propinsi Jumlah

Serum Positif Jenis Ternak Jawa Barat 485 65 FH,PO,Kerbau Jawa Tengah 179 9 FH,PO,Kerbau D.I. Jogyakarta 28 14 Kerbau

Jawa Timur 112 21 PO,Kerbau, S.Madura NTB 328 31 S.Bali

Kupang 70 9 S .Bali Kalbar 74 54 S .Bali, S.Lokal Bali 46 1 S .Bali Sumut 85 14 FH, Kerbau Aceh 44 0 S . Lokal

BIB Lembang 70 22 FH,Brahman, 0ngole Kerbau, Limousine, Siemental,Brangus, Taurindicus BIB Singosari 23 13 Brahman,Brangus,

Taurindicus,Ongole S.Bali

Pet.Tri S. 57 18 FH,Brangus Jumlah 1601 256 15.99

(2)

dan reaksi positif tidak hanya terdapat pada he-wan asal import, tetapi terdapat juga pada hehe-wan asli Indonesia. Penyakit ini secara serologik telah ada pads sapi perah, sapi potong dan kerbau dari beberapa propinsi (Tabel 1) .

Kejadian abortus di Indonesia selama ini masih merupakan masalah dalam pelaporannya . Hal ini disebabkan masih belum banyak peternak yang menganggap penting arti sebuah laporan kasus . Banyak hal yang membuat peternak meng-abaikan masalah pelaporan . Padahal kejadian penyakit yang dini akan memudahkan penanggu-langan penyakit secara tuntas dan akan banyak mengurangi biaya penanggulangannya . Terutama pada penyakit-penyakit yang cepat menular. Se-bagai gambaran yang baik untuk pelaporan ke-jadian abortus, penulis dapatkan hasilnya dari seorang dokter hewan yang praktek di KUD, Lem-bang, Jawa Barat, pada tahun 1993 (Tabel 2) .

Tabel 2. Kejadian abortus pada sapi perah di kecamatan Lem-bang kabupaten Bandung, Jawa Barat, Tahun 1993. Bulan Jumlah hewan Abortus

Januari 17 Februari 13 Maret 17 April 14 Mei 17 Juni 18 Juli 33 Agustus 21 September 26 Oktober 23 November 24 Desember 22 Jumlah 245

Laporan kejadian abortus didapat setelah adanya kasus Brucellosis pada tahun 1992 di salah satu peternakan dan memberikan gambaran pada kita akan pentingnya penanggulangan ke-jadian abortus di Indonesia. Terutama, apabila kita melihat pertambahan populasi ternak tiap tahunnya masih sangat kecil (Tabel .3).

Tabel 3. Pertambahan populasi ternak besar di Indonesia (1988-1992) (x1000 ekor)

Sumber Buku Statistik Peternakan, 1992.

AGEN PENYEBAB PENYAKIT

IBR merupakan penyakit viral pada ruminansia yang disebabkan oleh virus herpes Alphaherpes-virinae dari type 1 (BHV-1) . Sebenarnya ada tiga strain penting dari BHV-1 yang manifestasi awal penyakitnya dibedakan dalam tiga bentuk yaitu IBR (Infectioous Bovine Rhinotracheitis), IPV (In-fectious Pustular vulvovaginitis) dan Bovine En-cephalitis .

Penggolongan bovine herpesvirus baru di-lakukan pada tahun 1973 . Komisi internasional taksonomi virus pernah bersidang pada tahun 1973 dan mengelompokkan bovine herpesvirus menjadi 4 type . Keempat type tersebut adalah Bovine Herpes Virus type 1 (BHV-1) adalah untuk IBR/IPV, BHV-2 untuk Bovine Herpes Mammilitis, BHV-3 untuk WA-MCF dan BHV-4 untuk Bovine Pulmonary Adenomatosis . Klasifikasi Bovine Herpes Virus lalu berkembang dan diusulkan penggolongan Herpesvirus dengan klasifikasi fa-mili menurut induk semangnya . Berdasarkan ketentuan ini WHO/FAO pads tahun 1976 meng-klasifikasikan bovine herpesvirus menjadi empat type yang berbeda dari sebelumnya, yaitu BHV-1 untuk IBR/IPV, BHV-2 untuk Bovine Mammilitis, BHV-3 untuk MCFdan BHV-4 untuk Movar-Group. BHV-1 memiliki G + C (guanosine plus cytosine) sebanyak 72 % molekul dan mirip dengan pseu-dorabies serta equid herpesvirus-1, bouyant den-sity sekitar 1 .730 g/cm 3, melting point sebesar 85 .60 C, berat molekul DNA sebesar 88 x 106 dalton, polipeptida spesifl'k sebanyak 48 macam dan 33 macam darinya berada dalam virion . Se-dangkan 11 macam dari polipeptida ini adalah glikosida . Satu dari glikoprotein "envelope" (pem-bungkus) memiliki berat molekul 71 .500 dan glik-oprotein ini penting dalam menentukan keganasan dari virus. Ada 4 macam glikopeptida dari BHV-1 pada envelop dengan berat molekul masing-mas-ing 77 .000 dalton; 82 .000 dalton; 69 .000 dal-ton ; dan 108 .000 daldal-ton . Keseluruhannya berperan dalam netralisasi kekebalan .

BHV-1 diekskresikan lewat lokasi yang sama dengan masuknya virus kedalam tubuh hewan . BHV-1 dapat memasuki sistem syaraf dan sangat suka pada mukosa trachea dan menginfeksi mu-kosa tersebut. Demikian pula mumu-kosa saluran pencernaan . BHV-1 dapat bersifat latent . Hal ini disebabkan oleh

1 . Lambatnya berkembang virus dalam tubuh dan tidak mampu merusak sel target,

2 . Terjadi penyakit yang kronis, berkembangnya lambat, infeksi bersifat sub klinis, dengan sedikit merusak organ, dan

Jenis ternak 1988 1989 1990 1991 1992 Sapi Perah 263 288 294 306 325 Sapi Potong 9.776 10.094 10.410 10.667 10.887 Kerbau 3.190 3.224 3.335 3.311 3.409

(3)

3. Virus tidak berkembang dab sulit dideteksi, karena perkembangannya sedikit demi sedikit dan tidak terus menerus .

BHV-1 merupakan virus dengan "double stranded" DNA, kapsid berbentuk ikosahedral yang terdiri dari 162 kapsomer. Envelopenya menutupi seluruh nukleokapsid. Virus sensitif ter-hadap ether, tidak tahan asam dan peka terter-hadap pangs. Nukleokapsid berkembang dalam inti dari sel induk semang . Virus memproduksi badan intra nuklear"cow dry type A" pada sel yang diinfeksi . Berat molekul virus adalah 54.000.000. Envelop terdiri dari dug membran yang secara morfologi mirip dengan membran sel induk semang . Diameternya lebih kurang 200 nanometer.

KEKEBALAN INDUK SEMANG TERHADAP PENYAKIT

Secara serologik zat kebal terhadap penyakit ini ada pada darah dari hewan yang sembuh dari penyakit. Sistem kekebalan telah dapat dideteksi 12 hari setelah terinfeksi oleh virus BHV-1 dab bertahan selama lebih kurang selama 14 bulan. Kenaikan titer kekebalan terus meningkat hingga 10 bulan setelah infeksi. Respons kekebalan se-benarnya dibagi kedalam dug katagori . Pertama adalah respons humoral/respons bentuk cair (hu-moral mediated immunity) dan kedua adalah re-spons selular/respo-ws bentuk . sel (cellular mediated immunity) . Respons selular pada induk semang yang terinfeksi oleh BHV-1 ternyata lebih berperan dalam status infeksi. Respons ini berupa respons blastogenik, direct cytotoxicity dan pro-duksi lymphokine . BHV-1 merangsang limfosit induk semang setelah lima hari terjadi infeksi dab mencapai puncaknya sekitar 8 - 10 hari setelah terjadi infeksi . Limfosit dapat menghambat per-banyakan dari virus BHV-1 . Produksi interferon sangat berperan dalam hambatan ini . Produksi lymphokine dihasilkan oleh gabungan antara mak-rofag dan sel T yang dirangsang oleh adanya virus BHV-1 .

Disamping itu sistem kekebalan terhadap in-feksi BHV-1 dapat pula dalam bentuk lokal (local immunity) . Sistem ini dapat berbentuk mekan isme non spesifik (bentuk anatomis, mukus/lendir, silia/bulu getar, interferon, dab makrofag) dab dapat pula berupa imunitas selular yang dipro-duksi secara lokal bekerja sama dengan imunitas humoral yang bekerja pada membran mukosa. Sistem kekebalan ini dapat dideteksi pada epitel saluran pernafasan dan saluran reproduksi .

WARTAZOA Vol. 4 No. 1-2, Pebruari 1995

Disamping merangsang kekebalan, ternyata BHV-1 juga menekan fungsi kekebalan yang meng-akibatkan kepekaan tubuh terhadap infeksi bakteri . BHV-1 juga menekan neutrofil, imunitas selular dan menekan limfosit terhadap rangsang-an mitogen . Terutama dari infeksi yrangsang-ang bersifat latent.

Pada prinsipnya respons kekebalan humoral terhadap BHV-1 dimulai dengan meningkatnya IgM pada serum induk semang dab IgG i . Res pons ini merupakan respons tahap pertama bila terjadi infeksi pada induk semang oleh BHV-1 . Respons tahap kedua adalah terbentuknya IgG~ dab IgG2. Respons tahap kedua ini juga terjadi pada keadaan penyakit yang bersifat latent yang dirangsang dengan preparat kortikosteroid . IgM juga dapat muncul sebagai respons tahap kedua dari kekebalan tubuh induk semang . Respons tahap kedua akan terjadi juga apabila terjadi abor-tus pada hewan induk semang yang terinfeksi.

Respons tahap pertama akan muncul 7 hari setelah hewan terinfeksi. IgG akan mencapai puncaknya 35 hari setelah hewan terinfeksi dab

14 hari pada hewan bunting .

DIAGNOSIS PENYAKIT

Diagnosis adanya penyakit IBR bukanlah merupakan problem, bila telah ada gejala yang jelas secara khas . Terutama didaerah dimana penyakit pernah terjadi dan berulang kali kejadian-nya.

Gejala klinis yang dikonfirmasi dengan uji se-rologis dan isolasi agen penyebab penyakit meru-pakan diagnosis yang pasti dalam menentukan terjadinya penyakit.

a . Gejala klinis : Secara umum akan terjadi kenaikan temperatur hingga 40- 420C, nafsu makan yang menurun, berat badan menurun dan produksi susu juga menurun . Kadar leukosit dalam darah meningkat serta respirasi menjadi cepat disertai batuk dan sesak nafas . Kejadian diare terkadang tidak muncul . Diare terjadi pada gejala klinis yang sangat parah. Gangguan saluran pencernaan pada hewan muda merupakan penye-bab dari kematian . Gejalanya sulit dibedakan dengan BVD (Bvine Viral Diarrhoea) dan sering merupakan infeksi campuran diantara keduanya. Secara lokal akan terjadi keratokonjungtifitis (pink eye), keluarnya cairan mata yang berlebih, rhinitis dan keluar ingus yang berlebih yang bersifat encer dan makin kental dengan berkembangnya pe-nyakit . Keluarnya saliva tanpa adanya gangguan pada rongga mulut . Larynx terkadang normal,

(4)

tetapi dapat juga terjadi laryngitis dan tracheitis. Paru-paru umumnya normal, demikian pula pleura . Tidak terlihat suatu predisposisi tertentu untuk terjadinya penyakit. Di daerah yang mem-punyai 4 musim akan lebih sering terlihat pada musim gugur dan musim dingin .

Morbid itasnya/tingkat penyebarannya rendah hanya kurang lebih 18%. Umur yang sering ter-serang mulai dari 6 bulan hingga dewasa. Mor talitasnya juga rendah, kurang lebih 3% . Ke-matian terjadi pada saat wabah dan biasanya terlihat adanya nekrose pada saluran pernafasan bagian depan dan pneumonia . Penularan bi-asanya melalui udara dan bekas muntah. Masa inkubasinya bervariasi dan biasanya 2 - 4 hari . Abortus dapat terjadi karena adanya kematian pada kandungan .

Pada pemeriksaan pasca kematian akan' ter-lihat rongga hidung terjadi rhinitis dan sinusitis. Demikian pula larynx dan Trakhea akan terlihat peradangan katarhalis hingga diphteritis .

Pada penyakit yang mengarah kepada sistem reproduksi, penyakit akan ditandai dengan granu-lar vulvovaginitis/radang vulva dan vagina mulai oedematous/penggembungan hingga hipere-mik/kemerahan dan nekrose focal . Pada sapi se-cara umum kejadiannya selalu pada hewan yang catatan reproduksinya sangat jelek . Abortus da-pat terjadi pada sapi clan kerbau biasanya pada umur 5 bulan kebuntingan. Pada hewan yang dilakukan inseminasi buatan dari semen yang ter-kontaminasi BHV-1 biasanya non return rate nya sangat rendah dan mencapai 13,4% . Kadar pro-gesteron pada hewan yang bunting menjadi ren-dah. Mastitis dapat juga terjadi pada hewan yang terinfeksi oleh BHV-1 .

b. Diagnosis Laboratorium : Penggunaan "pair sera" untuk tujuan diagnosis serologik sa-ngatlah dibutuhkan . Setelah adanya gejala klinis muncul/adanya outbreak sera diambil pada kelompok hewan tersebut dan pengambilan ulang dilakukan minimum empat minggu setelah pe-ngambilan pertama akan memudahkan diagnosis penyakit. Biasanya hasil titrasi dari serum yang ada akan memperlihatkan peningkatan.

Isolasi agen penyakit pada biakan sel melalui sampel yang diambil dari organ hewan yang ter-infeksi tentu membutuhkan teknik laboratorium yang baik dan dengan tenaga yang berpengala-man . Isolasi virus dapat dilakukan pada sel lestari maupun sel yang dibuat segar dari organ foetus sapi . Organ/sel yang baik untuk tujuan isolasi adalah sel ginjal, sel paru-paru, sel otak/ganglia, sel testis, dll . Sel segar (primary cell) merupakan

biakan sel yang terpilih untuk tujuan isolasi . Se-dangkan organ/sel yang digunakan sebagai sam-pel dari hewan yang sakit adalah mukosa hidung, sinus, mulut, vagina, semen, susu, otak/ganglia dan sel foetus dari hewan yang abortus .

Isolasi agen penyakit pada biakan sel akan memberikan perubahan berupa cytophatic effect (CPE) . BHV-1 akan memperlihatkan perubahan biakan sel dari bentuk pipih memanjang menjadi bundar serta membentuk buah anggur dan ak-hirnya mengelupas sehingga lapisan sel akan menjadi berlubang . Pewarnaan H & E (haema-toxylin dan Eosine) dari sel yang terinfeksi BHV-1 akan memperlihatkan "cow dry type A" pada inti selnya dan merupakan badan inklusi . Ini meru-pakan ciri khas dari BHV-1 .

Secara serologi di laboratorium dapat di-lakukan beberapa uji . Uji yang utama adalah serum netralisasi . Disamping itu uji serologi yang dapat digunakan adalah ELISA (enzyme linked immunosorbent assay), RIA (radio immuno assay), FAT (indirect fluorescence antibody technique), Tuberkulin type-skin test dan passive haemagglu-tination.

Uji serum netralisasi dapat menggunakan mikroplat dengan virus standard yang digunakan adalah isolat BHV-1 yang berasal dari penyakit gangguan pernafasan dan dapat pula isolat BHV-1 yang berasal dari penyakit gangguan reproduksi ataupun penyakit encephalomyelitis . Isolat ini dikembangkan pada sel lestari (cell line) berupa sel turbinate, sel MDBK, maupun sel VERO . Perkembangbiakan virus baru dipanen setelah CPE mencapai 80 %. Panen dilakukan dengan "freeze and thaw" sebanyak tiga kali dan virus disimpan pada ampul pada suhu - 70 0C ataupun pada nitrogen cair. Titrasi dilakukan sebelum uji de-ngan melihat titer virus tersebut pada biakan sel . Virus yang digunakan dalam uji adalah sebesar 100 TCID-50 . Serum yang diuji harus steril di-encerkan setengah kali dan diinaktifasi pada wa-terbath dengan suhu 60°C.

ELISA dapat dilakukan melalui prosedur yang dikembangkan oleh Collins dkk .(1984) . Demikian pula RIA (radio immuno assay). Uji serologi dengan RIA harus melengkapi laboratori-umnya dengan scintilation counter, karena meng-gunakan bahan radioaktif. " Passive haemag-glutination" dapat juga dikembangkan dengan merujuk kepada metoda yang diperkenalkan oleh Edwards dan Gitao (1987) . Uji ini perlu stan-dardisasi yang matang dengan butir darah merah asal domba . "Tuberkulin type-skin test" yang dikembangkan oleh Brown dkk . (1990) dapat juga sebagai alternatif untuk melakukan "screening"

(5)

terhadap kemungkinan kejadian infeksi oleh BHV 1 . Uji ini menggunakan suspensi virus sebanyak 166 pfu yang diinaktifasi melalui pemanasan. Penyuntikan dilakukan intradermal di bagian li-patan pangkal ekor dan pembacaan dilakukan setelah 24 jam inokulasi .

PENCEGAHAN DAN PENGAWASAN PENYAKIT Diagnosa yang sensitif dan mudah pelak-sanaannya merupakan kebutuhan untuk keber-hasilan pengawasan penyakit IBR. Uji serum netralilasi dan isolasi virus biasanya digunakan untuk mengetahui adanya hewan yang terinfeksi dan hewan yang bersifat pembawa penyakit. Akan tetapi kedua uji tersebut sangatlah muluk dan membutuhkan persyaratan laboratorium yang tinggi dengan peralatan memadai dan petugas yang telah terampil . Deteksi virus pada hewan yang terinfeksi secara latent, harus diawali dengan pemberian kortikosteroid agar hewan menjadi stress . Sehingga kita dapat melakukan isolasi virus dengan baik.

ELISA dan RIA merupakan cars uji yang prak-tis untuk digunakan pada sejumlah besar sampel . Walaupun spesifisitasnya lebih rendah, keuntung annya adalah sangat sensitif . Uji hipersensitifity mungkin sangat berguna untuk mendeteksi ada-nya infeksi latent dan sekali lagi hal ini masih bersifat percobaan. Keberhasilan pengawasan pe-nyakit akan dapat dicapai melalui beberapa tahap-an seperti berikut

1 . Hindarkan faktor resiko yang ada pada insemi-nasi buatan, pisahkan hewan yang positif dan yang negatif, hambat import hewan yang posi-tif, embryo dan semen yang telah terkontami-nasi virus BHV-1 .

2 . Pertahankan kelompok ternak yang bebas BHV-1, lakukan uji dua kali setahun, keluarkan hewan yang positif BHV-1 dan

3. Kelompok hewan yang positif dapat dilakukan vaksinasi terutama dengan vaksin mati guna mencegah infeksi laten. Hindarkan penggu naan vaksin hidup . Penggunaannya dapat di-lakukan bila ada outbreak pada beberapa kelompok hewan serta pengawasan hewan yang telah divaksinasi harus lebih ketat. 4 . Tidak mentolerir adanya pejantan yang serologi

positif terhadap BHV-1 pada Balai Inseminasi Buatan. Hal ini merupakan jaminan terhadap produksi semen beku yang dihasilkan . Repu-tasi Balai Inseminasi Buatan sangat tergantuno dari bebasnya pejantan dari penyakit menular . Ada dua jenis vaksin yang kini diproduksi di dunia, yaitu killed/inactivated vaccine,

meru-WARTAZOA Vol. 4 No. 1-2, Pebruari 1995

dan dapat juga dengan beta-propiolactone yang dikombinasi dengan alumunium hidroksida atau-pun saponin sebagai adjuvant. Vaksin yang dise-but kedua lebih efektif, karena campuran ini mengandung adjuvant . Vaksin jenis kedua adalah live/attenuated vaccine. Vaksin ini dibuat pada biakan sel ginjal sapi ataupun sel ginjal babi/an-jing . Vaksin ini avirulent untuk sapi dengan pem-berian intramuskular maupun intranasal (aerosol) dan dapat merangsang kekebalan dengan baik. Vaksin jenis ini pertama kali diproduksi tahun 1956 dan berhasil mengendalikan IBR pada .feed-lot di peternakan sapi di Amerika Serikat . Pada awalnya vaksin ini diberikan secara intramuskular saja dengan dosis MID 3.7 log TCID 50. Akhirnya berkembang menjadi MID 4.2 log TCID 50 per dosis untuk yang dipasarkan di Amerika Serikat. Pendekatan terakhir dan dengan berkembangnya IBR sebagai penyakit pernafasan maka vaksinasi dilakukan secara aerosol . Hal ini akan merang-sang immunitas lokal lebih baik, yaitu pada salur-an pernafassalur-an.

Program vaksinasi IBR ternyata harus mem-perhitungkan adanya antibodi bawaan dari kolos-trum . Hal ini disebabkan oleh adanya program vaksinasi pada anak . Oleh sebab itu program vaksinasi pada anak wajib memperhitungkan adanya titer antibodi anak terhadap BHV-1 . Se-baiknya dilakukan setelah titer antibodi anak ter-hadap BHV-1 menurun ataupun hilang. Dapat juga dilakukan program dengan metoda revaksi-nasi (vaksirevaksi-nasi ulang) pada anak. Revaksinasi dilakukan setelah dua minggu dari vaksinasi per-tama. Hal ini akan banyak meningkatkan respons kekebalan pada anak tersebut dimasa men-datang . Kejadian ini terlihat dengan meningkat-nya secara drastis titer antibodi terhadap BHV>1 pada anak yang mendapat vaksinasi ulang .

DAFTAR PUSTAKA

Brown, G.A., L. Patridge, H.J . Field, 1990 . Cell-mediated immunity in calves experimentally infected with BHV-1 . Vet.Reck127 :454-455 . Collins, J .K., G.A . Bulla, C.A . Riegel, and A.C . Butcher, 1984. A single dilution enzyme-linked immunosorbent assay for the qualita tive detection of antibodies to bovine herpesvirus type 1 . Vet.Microb. 10 :133-147. Edward, S., and G.C. Gitao, 1987 . Highly sensi-tive antigen detection procedures for the di-agnosis of infectious bovine rhinotracheitis : Amplified ELISA and Reverse Passive Hae-magglutination . Vet .Microb. 13 :135-141 .

Gambar

Tabel 1 . Hasil uji serum netralisasi terhadap antibodi virus
Tabel 3. Pertambahan populasi ternak besar di Indonesia (1988-1992) (x1000 ekor)

Referensi

Dokumen terkait

Menurut ahli sejarah Islam, semasa Saidina Umar dalam perjalanan untuk Menurut ahli sejarah Islam, semasa Saidina Umar dalam perjalanan untuk membunuh Rasulullah

Hasil penelitian Mualim (2009) menunjukkan bahwa K merupakan faktor pembatas produksi umbi (panjang, bobot basah, dan bobot kering) pada petak perlakuan saat

Akupresur untuk mengatasi mual dan muntah dapat dilakukan pemijatan pada lokasi yang letaknya 3 jari di atas pertengahan pergelangan tangan bagian dal am. Lokasi ya ng

Tujuan dari Memorandum Saling Pengertian (MSP) ini adalah untuk meningkatkan dan mempromosikan kerja sama antara Para Peserta , dalam rangka untuk mengembangkan

Pengendalian parkir di Pantai Sanur, di Pantai Segara dan Pantai Sindhu untuk memenuhi kebutuhan parkir diperlukan untuk menyediakan parkir diluar badan jalan

c) Memberi asuhan Memberi asuhan kebidanan kebidanan pada ibu pada ibu dalam masa dalam masa persalinan d persalinan dengan resiko engan resiko tinggi serta keadaan

Dengan demikian dapat disimpulkan dari hasil tes diketahui bahwa produk yang digunakan dapat membantu memfasilitasi proses pembelajaran dan efektif digunakan dalam

Tabel 2 dan tabel 3 masing-masing menunjukkan rugi- rugi daya saluran setelah terjadi resonansi akibat pemasangan kapasitor bank dan filter.. Tabel 1 sampai tabel 3