• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Hukum / Konflik Norma? 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konflik Hukum / Konflik Norma? 1"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Konflik Hukum / Konflik Norma ?1

Hukum / Norma ?

Asas prefrensi, orang hukum mana yang tidak mengetahui asas ini. Asas hukum yang kerap kali digunakan bagi para yuris dalam menyelesaikan suatu konflik antara norma ini bak

senapan bagi seorang pemburu, merupakan primary weapon bagi seorang yuris. Ketika

menemukan antinomi dalam suatu aturan hukum, umumnya tanpa berpikir panjang seorang yuris akan menggunakan senjata bernama asas preferensi ini. Ketika suatu norma bertentangan (, ketika norma tersebut kosong, dan ketika norma tersebut kabur merupakan , merupakan pertanda bahwa senjata bernama asas preferensi ini akan dikeluarkan oleh seorang yuris.

Jika ditelaah, memang banyak sekali literatur yang seolah “mengawinkan” asas preferensi dengan konflik norma. Seolah ketika terdapat suatu konflik dalam norma pasangan dari hal itu adalah asas preferensi. Contoh dalam buku yang ditulis oleh Jan Gijssels dan mark van Hoecke

berjudul Wat is Rechsteorie2, tertulis bahwa asas preferensi digunakan dalam hal terjadinya

geschild van norm atau norma bertentangan , leemten van norm atau norma tersebut kosong, dan vague of norm untuk kondisi ketika norma tersebut kosong. Dari penggunan frase “norm” tersebut, dapat dipahami secara gramatikal, bahwa maksud dari Jan Gijssels dan mark van Hoecke tersebut adalah asas preferensi digunakan dalam menghadapi konflik norma, bukan yang lainnya.

Begitu pula dalam tulisan Sudikno Mertokusumo dalam bukunya yang berjudul Mengenal

Hukum tertulis bahwa dalam menghadapi konflik anatr norma hukum, maka berlakulah asas -asas penyelesaian konflik (-asas preferensi) yang terdiri dari Lex superiori derogat legi inferiori, Lex specialis derogat legi generali, Lex posteriori derogat legi priori.3 Dari pendapat Sudikno Mertokusumo ini, jelas sekali bahwa asas preferensi digunakan untuk menghadapi masalah konflik norma bukan yang lainnya.

1 Tulisan ini merupakan hasil Kajian Divisi Kajian & Pengembangan Hukum BSO KOMAHI FH UNAIR, yang

ditulis oleh Xavier Nugraha, Ketua Divisi Kajian & Pengembangan Hukum BSO KOMAHI FH UNAIR

2 Jan Gijssels dan mark van Hoecke, Wat is Rechsteorie, (terjemahan B. Arief Sidharta) , Universitas

Katholik Parahyangan, Bandung, 2001, h. 102.

(2)

Ahmad Rifai menuliskan bahwa dalam aturan hukum sering kali ditemui keadaan aturan

hukum tertentu yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum

(antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas. 4 Dalam

menghadapi konflik antar norma hukum seperti itu, menurut Ahmad Rifai maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas-asas preverensi). Jika diperhatikan sekilas memang seolah tidak ada perbedaan yang mencolok dengan dua pendapat sebelumnya. Namun jika diaamati lebih teliti,

maka terdapat perbedaan dalam penggunaan istilah kekosongan hukum (leemten in het recht) ,

dengan leemten van norm atau norma tersebut kosong. Terdapat perbedaan dalam hal recht

dengan norm. Apakah memang maksud dari Ahmad Rifai ini menunjuk kepada recht yang

berarti hukum atau sebenarnya menunjuk norm yang berarti norma? Melihat frase selanjutnya

adalah konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau

norma tidak jelas bisa dikatakan bahwa Ahmad Rifai ini seolah inkonsisten dengan term yang

dipilih antara norm dengan recht. Mungkin juga Ahmad Rifai menganggap recht dan norm ini

merupakan kata yang memiliki makna sama sehingga menurutnya tidak masalah menggunakan salah satu sitilah tersebut.

Di telinga seorang yuris umumnya konflik norma, norma kabur, penormaan adalah istilah yang sering didengar daripada konflik hukum, hukum kabur, penuangan dalam hukum. Namun apakah hukum dan norma sejatinya memiliki makna yang berbeda ? Apakah antara norma dan hukum itu memang sama ? Atau sebenarnya tidak ada implikasi apa-apa dalam penyebutan konflik hukum atau konflik norma ? Berdasarkan hal inilah penulis tertarik untuk membahas hal ini dalam essay berjudul Konflik Hukum / Konflik Norma ?

Letak Ilmu Hukum dalam Ilmu Pengetahuan

Pada tahun 1970-an, UNESCO, salah satu lembaga PBB membedakan ilmu menjadi 3 golongan besar yaitu ilmu alamiah, ilmu sosial, dan ilmu humaniora. Berdasarkan klasifikasi tersebut kemudian dibuatlah sebuah pohon pengetahuan. Pada tahun 1980an kemudian juga diadakan sebuah konsorsium ilmu hukum untuk membahas letak ilmu hukum dalam pohon pengetahuan itu, untuk mengidentifikasikan letak ilmu hukum dalam pohon pengetahuan

(3)

tersebut.5 Bagaimana dengan ilmu hukum ? Tentu dia bukan termasuk ilmu alamiah yang menjelaskan tentang gejala-gejala dalam alam semesta. Apakah termasuk ke dalam ilmu sosial karena melihat wujud ilmu hukum yang tidak bisa terlepas dari manusia, sesuai dengan adagium ubi societas ubi ius (di mana ada masyrakat, di situ ada hukum)? Ataukah masuk dalam ilmu humaniora meningat hukum terkait erat dengan bagian dari filosofis , khusunya keadilan. Di mana tidak bisa dipungkiri bahwa keadilan merupakan suatu hal yang esensialia dalam ilmu

hukum, seperti adagium equum et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya

hukum).

Mengacu pada pendapat Prof Peter terhadap klasifikasi itu dapat dianalogikan seperti seseorang mempunyai sepatu tetapi sepatu itu tidak cukup, maka orang tersebut memiliki dua alternatif, yaitu apakah sepatu itu tidak akan digunakan atau kedua kakinya dipotong sehingga

sepatu tersebut muat di kakinya.6 Tentu jika menggunakan akal sehat jawaban dari hal tersebut

adalah pilihan pertama, di mana orang tersebut tidak akan menggunakan sepatu tersebut, dan berusaha mencoba mencari sepatu lain yang ukurannya cocok. Begitu pula dengan ilmu hukum dalam klasifikasi yang dibuat oleh UNESCO.

Ilmu hukum sebagai suatu ilmu yang bersifat preskriptif tentu tidak dapat masuk ke dalam klasifikasi sosial. Hal ini melihat kenyataan bahwa Sifat khas dari pada ilmu sosial tidak pernah mempermasalahkan benar atau salahnya sebuah kenyataan, oleh karena memang sudah demikian adanya, hal ini meningat teori kebenaran yang dianut dalam ilmu sosial adalah teori kebenaran korespodensi sesuai yang dikemukakan oleh John Struat Mill. Sementara ilmu hukum sendiri tidak berhenti pada kenyataan semata, tetapi akan mereduksi kenyataan sebagai kaidah yang patut dipertahankan ataukah harus dihilangkan sebagian unsur kaidah primernya karena tidak

sesuai dengan kekekalan nilai kebaikan yang terdapat dalam ratioan sich.7 Selain itu ilmu

hukum yang objek kajiannya tentang hukum, tidak dapat diklasifikasikan ke dalam ilmu sosial yang bidang kajiannya empiris. Ilmu sosial yang hanya melihat ketaatan individu terhadap suatu

5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2014, h.

43

6Ibid.

7Damang S.H., M.H., “Sosiologi Hukum Bukan Ilmu Hukum”, www.negarahukum.com, 31 Maret 2015, h. 2,

dikunjungi pada tanggal 2 Maret 2018. http://www.negarahukum.com/hukum/sosiologi-hukum-bukan-ilmu-hukum.html

(4)

aturan hukum tertentu juga tidak dapat memberikan ruang untuk melahirkan konsep hukum yang baru.

Dalam ilmu humaniora hukum pun tidak mendapat tempat yang tepat.Jika dalam ilmu sosial tidak dapat memberikan ruang untuk melahirkan konsep hukum, maka dalam ilmu humaniora tidak dapat memberikan ruang untuk mempelajari hukum sebagai aturan tingkah laku sosial. Dalam studi humaniora, hukum hanya dipandang sebagai ilmu yang mempelajari etika dan moralitas semata. Memang tidak dapat dinafikan bahwa keadilan merupakan isu dalam filsafat dan keadilan merupakan suatu hal yang penting dalam hukum.Namun, ilmu hukum juga bukan berarti hanya bertalian terus menerus dengan nilai-nilai dan filofis semata. Merupakan tugas ilmu hukum untuk membahas hukum dari semua aspek. Sehingga pembahasan ilmu hukum tidak hanya keadilan dan filsafat, melaikan juga harus dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak mungkin masuk ke dalam kategori ilmu humaniora.

Baik ilmu sosial maupun ilmu humaniora hanya melihat hukum dari segi keilmuannya saja. Oleh karena itu tidaklah tepat untuk memasukan ilmu hukum ke dalam ilmu sosial ataupun ilmu humaniora. Dari titik tolak ketidakcocokan ilmu hukum dalam ilmu sosial ataupun ilmu humaniora, melihat pandangan Meuwissen mengenai ilmu hukum adalah jawabannya Muiwissen

mencoba melihat ilmu hukum dari menempatkan ilmu hukum sebagai sesuatu yang bersifat sui

generis yang dalam bahasa Latin memiliki arti satu untuk jenisnya sendiri. Artinya tidak ada

bentuk ilmu lain yang dapat dibandingkan dengan ilmu hukum.8 Apa yang disampaikan

Meuwissen ini berarti ilmu hukum bukan bagian dari ilmu sosial ataupun ilmu humaniora,

melainkan suatu ilmu tersendiri, sui generis.

Eror in Opinion Antara Norma Hukum dengan Hukum Positif

Jika kita telaah lebih jauh sejatinya kekeliruan mengenai letak ilmu hukum ini dimulai ketika orang-orang belum bisa membedakan antara normatif dan positivis. Positifis merupakan pandangan yang di inisiasi oleh John Austin. Dalam pandangan Austin, ilmu hukum tidak lain

hanya hukum positif.9 Hukum positif menurut Austin adalah aturan umum yang dibuat oleh

8 P. van Dijk, Van Apeldoorn’s Indleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht, Tjeenk-Willinjk, 1985,h.

448

(5)

mereka yang mempunyai kedudukan politis lebih tinggi untuk mereka yang mempunyai

kedudukan politis lebih rendah.10 Dengan demikian menurut Austin hukum positif adalah

perintah penguasa.11 Dari pendefinisian demikian bisa dilihat bahwa Austin bermaksud

memisahkan hukum dengan moral, kebiasaan, dan unsur-unsur lain yang tidak dapat

ditentukan.12

Selain John Austin, terdapat tokoh lain yang berusaha membebaskan hukum dari kabut metafisika yang telah menutupinya dengan melakukan spekulasi tentang keadilan melalui doktrin ius naturae atau dikenal sebagai hukum alam. Tokoh tersebut adalah Hans Kelsen yang

merupakan pelopor aliran hukum positif yang murni yang terkenal dengan kata-katanya yaitu the

fundamental form of the law of nature is the law of causality (Bentuk dasar dari hukum alam adalah hukum kausalitas ). Bagi Kelsen yang terpenting adalah apakah perbuatan seseorang berdasarkan atau tidak berdasarkan hukum positif. Sehingga adil atau tidak adilnya suatu perbuatan tertentu semata-mata dilihat dari sudut hukum itu sendiri, bukan berdasarkan pada pertimbangan etis, sosiologis maupun politis, tetapi menurut pertimbangan hukum. Hal ini sesuai

dengan pendapat Kelsen yang menyatakan: “the statement that the behavior of an individual is

“just” or “unjust” in the sense of “legal” or “illegal” means that the behavior corresponds or does not correspond to a legal norm which is presupposed as valid by the judging subject because this norm belongs to a positive legal order.”13 Karena hal inilah ajaran dari Hans Kelsen

disebut sebagai Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre).Dapat disimpulkan Hans Kelsen

melihat bahwa hukum tetaplah hukum meski tidaklah adil. Oleh karena itu, apabila pandangan

Kelsen ini diikuti, maka ilmu hukum hanya studi formal tentang hukum semata.14

Dapat disimpulkan Baik Austin maupun Kelsen menyamakan hukum dengan aturan yang dibuat oleh penguasa. Hal ini dilandasai karena hukum merupakan normal sosial dan berarti norma hukum hanyalah aturan yang dapat dibuat oleh penguasa. Adapun aturan yang dibuat penguasa merupakan wujud dari hukum positif. Kemudian lahirlah asumsi bahwa norma yang dipahami secara umum sebagai ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya merupakan hukum positif meningat hukum

10Ibid. 11Ibid

12 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., h. 46.

13 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel, 1973, h. 14. 14Ibid

(6)

positif adalah hukum yang dibuat oleh penguasa. Sehingga mereka melihat norma sama dengan hukum positif dan membuat anggapan bahwa normatif dan positif dianggap sama. Hal inilah yang melatarbelakangi penggunaan nomenklatur norma (norma hukum) dan hukum (hukum positif) seolah sama dan tidak ada perbedaan. Contohnya ada yang menggunakan konflik norma,

namun dianggap yang bertentangan adalah hukumnya,vice versa.

Oleh karena itu perlu dikemukakan perbedaan antara norma hukum dan aturan hukum

(hukum positif). Alf Ross, salah seorang Scandinavian Realist, mengemukakan bahwa a norm

has two aspects (a) directive to do or not to do something; and (b) the correspondence of the directive to some social facts.15 Dalam hal ini, norma berisi perintah kepada setiap orang untuk bertingkah laku sebagaimana yang diinginkan oleh norma tersebut. Adapun untuk yang kedua, ia memberi contoh dilarang mencuri milik orang lain. Pada dasar sebenarnya seseorang tidak ingin mencuri barang milik orang lain. Oleh karena itu dalam norma ini terdapat perintah untuk memegang kewajiban itu atau alrangan untuk melanggar sesuatu yang secara mendasar tidak

boleh dan tidak ingin dilakukan oleh setiap orang.16

Jika dikaji secara etimologis, kata norma yang dipakai oleh Alf Ross dan juga Hans Kelsen

memiliki kemiripan yaitu sama-sama berasal dari bahasa Latin yang artinya dalam bahasa

Inggris adalah standart of behavior atau perdoman perilaku yang oleh K. Prent et al. dalam

Kamus Latin-Indonesia diterjemahkan sebagai kaidah.17 Hanya bedanya Alf Ross sebagai

seorang realis memandang norma bukan hanya dari yang tertulis belaka. Sebaliknya Hans

Kelsen sebagai seorang positivis (meningat dia sebagai penemu ajaran hukum murni ), memandang norma hanya sebagai apa yang tertulis sehingga terdapat hirarki norma. Dengan

demikian, Kelsen mempersamakan antara norma dengan aturan

Pandangan Kelsen yang mempersamakan antara norma dengan aturan ini kemudian mulai

diikuti oleh banyak yuris yang terlihat dari banyaknya istilah “penormaan”, “norma kabur”, “konflik norma”. Padahal jika kita telaah penggunan istilah tersebut tidaklah tepat dan tidak

sesuai dengan makna kata norma tersebut. Norma yang dalam kamus Latin-Indonesia

diterjemahkan kaidah, atau dalam Latin & English Dictionary diterjemahkan sebagai standart of

15 Suri Ratnapala, Jurisprudence, Cambridge University Press, Cambridge, 2009, h. 114. 16 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., h. 48.

(7)

behavior tidak harus dibuat oleh penguasa, sehingga tidak ada istilah “penormaan” tersebut.18 Selain itu jika melihat sifat norma hukum dalam peraturan perundang undangan yang terdiri

dari19 perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinan (toestemming), dan pembebasan

(vrijstelling) yang berarti tidak mungkin kabur dan berkonflik. Contoh-contoh norma : hargai kehormatan orang lain, jangan membunuh dan lain-lain.

Mengacu pada pendapay Geoffrey Samuel yang mengemukakan bahwa “ The legal norm

is not in fact something of which one can have an immediate and direct perception …,20 norma

harus dijabarkan ke dalam aturan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Jadi dari norma-norma itu haruslah dituangankan ke dalam aturan hukum agar memiliki kekuatan hukum mengikat. Contoh norma “ hargai kehormatan orang lain” dituangkan ke dalam pasal 310 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik, pasal 362 KUHP tentang pencurian. Oleh karena itu tidak ada istilah “penormaan”, “norma kabur”, “konflik norma” . Istilah yang benar adalah “penuangan ke dalam aturan”, “aturan yang kabur”, dan “konflik aturan”.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dijabarakn di atas, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat dirumuskan:

1. Positivisme dan Normatif merupakan dua hal yang berbeda

2. Istilah “penormaan”, “norma kabur”, “konflik norma” merupakan istilah yang salah

3. Istilah yang benar adalah “penuangan ke dalam aturan”, “aturan yang kabur”, dan

“konflik aturan”

Setiap Kata Punya Arti, Setiap Jiwa Punya Hati

-Xavier Nugraha-

18Ibid, h. 51

19 Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta, Kanisius, 2007,

h. 37.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini orang bugis sangat lah menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan yang melekat pada karakter orang bugis itu sendiri sehingga mengimplementasikan nya ke rumah

5) pembahasan perubahan-perubahan yang diperlukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c) Rakor POP/K Triwulan III dan Triwulan IV Tingkat Kabupaten materinya yaitu

Bagian ini akan menjelaskan mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan dalam perancangan Sistem Pendukung Keputusan Pemenuhan Gizi pada Penderita Penyakit Jantung

Biaya perolehan awal hak atas properti yang dikuasai dengan cara sewa dan diklasifikasikan sebagai properti investasi yang dicatat sebagai sewa pembiayaan seperti

BARITO SELATAN 041759001 MARIA FRANSISKA EKA SRIWIDARTI IPEM4111 Pengantar Ilmu Pemerintahan 62051 KAB... BARITO SELATAN 041759001 MARIA FRANSISKA EKA SRIWIDARTI IPEM4541

Jika dia bisa melihat banyak huruf dengan baik maka akan masuk ke kotak 16 dan digolongkan buta warna penuh monokromat sel kerucut, jika tidak berarti akan masuk ke

Pada program Program perbaikan gizi masyarakat, Cerita Perubahan Paling Bermakna bertujuan menangkap kisah- kisah nyata tentang perubahan-perubahan yang dialami oleh mereka