• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN TINGKAT COMMUNICATION APPREHENSION PADA MAHASISWA AKTIVIS DAN YANG BUKAN AKTIVIS DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBEDAAN TINGKAT COMMUNICATION APPREHENSION PADA MAHASISWA AKTIVIS DAN YANG BUKAN AKTIVIS DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN TINGKAT COMMUNICATION APPREHENSION PADA MAHASISWA AKTIVIS DAN YANG BUKAN AKTIVIS DI

LINGKUNGAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Fajrin Husaini Thobagus Moh. Nu’man

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan komunikasi antara mahasiswa aktivis dan yang bukan aktivis. Hal ini berdasar pada asumsi bahwa mahasiswa aktivis memiliki tingkat kecemasan komunikasi yang lebih rendah daripada mahasiswa yang bukan aktivis. Semakin tinggi tingkat Communication Apprehension (CA) yang dimiliki seorang mahasiswa, semakin tinggi pula tingkat kecemasan dalam berkomunikasi.

Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) – Yogyakarta, baik mahasiswa aktivis maupun mahasiswa non-aktivis tanpa membedakan jenis kelamin.Mahasiswa non-aktivis diambil dari mahasiswa yang aktif di Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM), masing-masing Fakultas diambil 5 (lima) orang. Dengan demikian jumlah mahasiswa aktivis yang menjadi responden adalah 40 orang. Begitu juga mahasiswa non-aktivis diambil dari mahasiswa yang tidak aktif di organisasi kampus, masing-masing fakultas diambil 5 orang, yang menghasilkan jumlah responden mahasiswa non-aktivis menjadi 40 orang. Adapun skala yang digunakan adalah skala tingkat CA berdasarkan skala tingkat CA yang disusun oleh McCroskey (1984). Semakin tinggi skor pada skala communication apprehension yang diperoleh seseorang, maka semakin tinggi CA subyek tersebut, dan semakin rendah skor pada skala CA yang diperoleh subyek, maka semakin rendah juga CA subyek tersebut.

Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 12,0 untuk menguji apakah terdapat perbedaan tingkat CA pada mahasiswa aktivis maupun yang bukan aktivis. Analisa data yang dilakukan dengan menggunakan metode analisis Independent Sample T-Test tersebut menghasilkan p value sebesar 0,553 (>0,05 atau 5%), yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan Tingkat CA pada mahasiswa aktivis dan yang bukan aktivis. Dengan demikian hipotesis penelitian ditolak. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa perilaku komunikasi seseorang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang terhadap topik yang akan dibawakan, rasa suka atau tidak suka terhadap topik tersebut dan psikomotorik seseorang yaitu kemampuan fisik seseorang untuk melakukan komunikasi, bukan hanya dipengaruhi oleh aktivitas seseorang dalam organisasi saja.

Kata Kunci : Communicaton Apprehension (CA), Mahasiswa Aktivis, Mahasiswa Bukan Aktivis

(2)

PENGANTAR

Dalam kehidupan modern seperti sekarang komunikasi memegang peran yang sangat penting, karena justru dari cara komunikasi yang digunakan, maka orang dapat sukses, tetapi dari cara komunikasinya pula orang dapat gagal dalam mencapai tujuannya. Bagaimana orang berkomunikasi dalam kehidupan bersama itulah yang menjadi salah satu faktor yang sangat penting di dalam kehidupan bersama, baik di dalam organisasi ataupun kelompok (Soehardi Sigit, 2003:151).

Komunikasi merupakan suatu proses pertukaran pemikiran, pesan, atau informasi, baik melalui pembicaraan, sinyal, tulisan atau tingkah laku (http://education.yahoo.com/reference/dictionary/communication).Dari pengertian ini, komunikasi dapat dilakukan secara verbal melalui pembicaraan, dan non-verbal, melalui tulisan dan tingkah laku.

Besarnya peranan komunikasi dalam kehidupan manusia memancing timbulnya penelitian secara ilmiah untuk mengetahui jumlah waktu yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Hasil penelitian yang dilakukan Berlo tahun 1980 (Mariani, 1991) menunjukkan bahwa 70% waktu aktif manusia di Amerika Serikat digunakan untuk berkomunikasi. Perbedaan kultur antara Indonesia dengan Amerika tentunya akan membawa pengaruh yang berbeda dalam penggunaan waktu aktif untuk berkomunikasi.

Seiring perkembangan usia dan kognisi, kemampuan dan keterampilan komunikasi juga dituntut untuk makin berkembang. Pada jenjang pendidikan tinggi misalnya, seorang mahasiswa harus dapat mengungkapkan pernyataannya

(3)

secara verbal, seperti dalam melakukan diskusi dan presentasi baik di depan kelas atau dosen penguji. Keterampilan komunikasi menjadi cukup signifikan terlebih lagi pada mahasiswa yang memilih untuk mengikuti kegiatan organisasi didalam maupun diluar kampus atau yang biasanya disebut sebagai aktivis. Dalam kegiatan rapat organisasi, misalnya, seorang anggota harus dapat mengutarakan pendapat atau idenya.

Dengan demikian seorang aktivis organisasi membutuhkan keterampilan yang baik. Namun, ada kalanya terdapat hambatan dalam berkomunikasi, salah satunya adalah adanya kecemasan dalam berkomunikasi

Yang dimaksud dengan ”kecemasan dalam berkomunikasi” adalah tingkat ketakutan atau kecemasan individu yang diasosiasikan dengan komunikasi yang nyata atau yang diantisipasi dengan orang lain, baik secara oral, tertulis, atau keduanya. Dalam hal ini, penulis memfokuskan diri pada oral communication apprehension, yang selanjutnya akan disebut Communication Apprehension (CA). CA sebenarnya merupakan suatu bentuk perilaku yang normal bagi setiap orang (McCroskey, dalam De Vito, 2001; Hadi dkk, 1998). Meski demikian, CA merupakan masalah yang cukup serius karena mempengaruhi seluruh kategori dalam tehnik komunikasi (Robbins, 2001). Sebagai contoh, individu yang mengalami kecemasan komunikasi secara oral akan merasa sangat kesulitan untuk berbicara bertatap muka dengan orang lain atau akan sangat cemas bila harus berbicara menggunakan telepon. Akibatnya, mereka lebih mengandalkan memo atau mesin faks untuk menerima pesan (Robbins, 2001). Individu dengan tingkat CA yang tinggi akan mengalami tingkat kecemasan yang tinggi di hampir semua

(4)

komunikasi oral yang ditemuinya, baik yang secara rasional dapat dijelaskan maupun yang tidak dapat dijelaskan secara rasional (McCroskey, www.jamesmccroskey.com). Menurut survey yang dilakukan pada mahasiswa di Amerika, antara 10-20 persen mahasiswa mengalami CA yang tinggi, dan 20 persen lainnya mengalami CA pada derajat yang cukup menggangu proses komunikasi mereka (De Vito, 2001).

Penelitian lain menunjukkan bahwa CA bekorelasi positif dan signifikan dengan general anxiety, dan secara signifikan berkorelasi negatif dengan toleransi terhadap ambiguitas, kontrol diri, keberanian mengambil resiko, dan kematangan emosional. Huntley (dalam McCroskey, www.jamesmccroskey.com) menemukan korelasi positif antara CA dan introversi. Lustig (dalam McCroskey, www.jamesmccroskey.com) menemukan korelasi negatif antara CA dan self esteem dan self acceptance. Dari penelitian yang telah disebutkan, gambaran individu dengan tingkat CA yang tinggi cenderung negatif. Mereka cenderung memiliki harga diri yang rendah, resisten terhadap perubahan, memiliki toleransi yang rendah terhadap ambiguitas, dan kurang memiliki kontrol diri serta kematangan emosional. Sebaliknya, individu dengan tingkat CA yang rendah memiliki gambaran sifat yang lebih positif, yaitu berani mengambil resiko, percaya diri, matang secara emosional, memiliki self esteem yang tinggi, toleran terhadap ambiguitas, dan mau menerima perubahan dalam lingkungannya (dalam McCroskey, www.jamesmccroskey.com).

Pada penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti tentang Communication Apprehension (CA) di kalangan mahasiswa terutama pada mahasiswa aktivis dan

(5)

non aktivis. Yang dimaksud dengan mahasiswa aktivis adalah mahasiswa yang aktif mengikuti kegiatan organisasi baik yang terdapat didalam maupun diluar kampus. Sedangkan yang dimaksud dengan mahasiswa non aktivis adalah mahasiswa yang sehari-harinya tidak banyak melibatkan diri dalam kegiatan organisasi didalam maupun diluar kampus, hanya melakukan kegiatan yang berkaitan dengan masalah akademik seperti mengikuti kuliah, praktikum, dan lain sebagainya.

DASAR TEORI

Pengertian Communication Apprehension (CA). McCroskey (1984) mendefinisikan CA sebagai ”an individual level of fears or anxiety associated with either real or anticipated communication with another person or persons.” (McCroskey,1984). Pada perkembangan selanjutnya, McCroskey mendefinisi CA sebagai tingkatan atau level kecemasan atau ketakutan yang berhubungan dengan komunikasi langsung ataupun tidak langsung antara seseorang dengan orang lain (McCroskey, 1984). Definisi ini menjelaskan bahwa CA secara konseptual memiliki dua pendekatan, yakni pendekatan yang berfokus pada komunikasi oral, sementara pendekatan kedua memfokuskan bahwa CA merupakan dengan konseptualisasi dari sifat. Pada pendekatan kedua, CA dikemukakan sebagai ‘trait’ – sesuatu yang bersifat menetap dan merupakan bagian dari kepribadian seseorang, dan ‘state’ – sebagai suatu kondisi yang terlihat atau terjadi. Sedangkan Robbins (2001), memberi pengertian CA sebagai ”under tension and anxiety about oral communication, written communication, or both”. Pengertian

(6)

lain dikemukakan oleh Bippus & Daly (dalam De Vito, 2001) yang mengatakan bahwa CA adalah:

”... a state of fear or anxiety about communication interaction. People develop negative feelings and predict negative results as a function of engaging in communication interactions. They may fear making mistakes and being humiliated.”

Faktor-faktor yang menyebabkan Communication Apprehension. Menurut McCroskey (1984) penyebab CA berada pada kontinum antara traitlike CA dan situational CA.

CA traitlike terbentuk karena adanya pandangan bahwa setiap individu terlahir dengan predisposisi dan tendensi tertentu yang menyebabkan ia bereaksi secara berbeda pada lingkungan yang sama.

Penyebab Situational Communication Apprehension

Menurut Buss, yang dikutip oleh McCroskey (1984) elemen penting dalam situasional yang diyakini sebagai penyebab meningkatnya CA adalah: novelty, formality, subordinate status, conspicuosness, unfamiliarity, dissimilarity, dan degree of attention from others.

1) The novel situation

Bahwa individu secara tidak sengaja menjadi apprehensive pada situasi-situasi tertentu. Misalnya seseorang yang tidak pernah mengikuti wawancara akan melakukan wawancara perdananya. Maka individu ini akan berada dalam suatu novel situasi dimana dalam situasi yang serba baru tersebut individu tidak yakin pada apa yang

(7)

akan ia lakukan dan ada kebingungan bagaimana seharusnya ia bertingkah laku sehingga dari sini kemudian muncul CA.

2) Formal situation

Situasi formal disini cenderung diasosiasikan sebagai menentukan jenis perilaku yang layak pada situasi-situasi tertentu, dimana pada situsi-situasi umum jika perilaku tersebut dilanggar atau diabaikan tidak dianggap sebagai suatu penyimpangan. Orang yang memiliki sedikit pengalaman berada dalam situasi formal perilakunya menjadi tidak kaku dalam menerapkan bentuk-bentuk peraturan dan memiliki toleransi yang luas pada berbagai macam perilaku orang lain sebagai perilaku yang dapat diterima dalam situasi umum. CA akan muncul pada situasi formal karena pada situasi ini terjadi pembatasan yang sempit pada macam-macam perilaku yang dapat diterima.

3) Subordinate Status

CA dapat muncul pada situasi interaksi dalam posisi subordinat (biasanya antara atasan dan bawahan atau pemegang kekuasaan dan rakyat). Dalam beberapa situasi, suatu perilaku akan dianggap layak atau tidak ditentukan oleh orang yang memegang kekuasaan tertinggi. 4) Conspicuosness

Merasa menjadi pusat perhatian dalam lingkungannya dapat menjadi satu penyebab meningkatkan CA.

(8)

5) Unfamiliarity

Walaupun tidak semua orang akan menunjukkan reaksi yang sama pada orang yang tidak dikenal atau baru saja dikenalnya, tetapi kebanyakan orang akan merasa lebih nyaman pada saat berkomuniksi dengan orang yang ia kenal daripada orang lain yang tidak dikenalnya. 7) Degree of attention from others

Mendapatkan perhatian yang biasa-biasa saja dari orang lain adalah merupakan situasi paling nyaman pada kebanyakan orang. Mendapatkan perhatian yang berlebihan atau bahkan sebaliknya tidak diperhatikan atau diabaikan pada saat kita berkomunikasi dapat meningkatkan level CA kita secara tajam dan cepat.

Dampak Communication Apprehension. Efek CA dapat diobservasi dari perilaku keseharian dan pola kebiasaan menarik dari orang-orang yang diduga memiliki CA yang tinggi atau rendah. CA dapat memiliki dampak internal dan eksternal pada diri seseorang. Selain itu CA juga memiliki dampak pada perilaku komunikasinya.

HIPOTESIS PENELITIAN

Ada perbedaan tingkat communication apprehension antara mahasiswa aktivis dan yang bukan aktivis. Communication Apprehension mahasiswa aktivis lebih rendah dibandingkan dengan Communication Apprehension mahasiswa bukan aktivis.

(9)

METODE

Tingkat Communication Apprehension. Adalah tingkat ketakutan atau kecemasan individu yang diasosiasikan dengan komunikasi yang nyata atau yang diantisipasi dengan orang lain, baik secara oral, tertulis, atau keduanya. Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah oral communication apprehension, yang selanjutnya akan disebut CA.

Untuk mengukur tingkat CA digunakan skala tingkat CA berdasarkan skala tingkat CA yang disusun oleh McCroskey (1984). Semakin tinggi skor pada skala communication apprehension yang diperoleh seseorang, maka semakin tinggi CA subyek tersebut, dan semakin rendah skor pada skala CA yang diperoleh subyek, maka semakin rendah juga CA subyek tersebut.

Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode skala, yaitu Skala Tingkat CA. Aspek yang akan diungkap dalam Skala Tingkat CA adalah aspek Generalized Context dengan indikator-indikator berdasarkan definisi dari McCroskey (1984), yaitu:

1. Kecemasan atau ketakutan ketika berpidato di hadapan massa. 2. Kecemasan atau ketakutan ketika berbicara bertatap muka berdua 3. Kecemasan atau ketakutan ketika berbicara dalam diskusi kelompok 4. Kecemasan atau ketakutan ketika berbicara dalam suatu pertemuan

Penyajian skala ini diberikan dalam bentuk pilihan-pilihan jawaban. Bentuk penilaian skala ini menggunakan model skala empat jenjang, sehingga penilaiannya bergerak dari satu sampai empat. Setiap aspek dalam

(10)

skala ini memiliki aitem-aitem yang berupa pernyataan mendukung atau favorable dan aitem-aitem yang tidak mendukung atau unfavorable.

Berikut pada tabel 1 dapat dilihat distribusi aitem Skala Tingkat CA dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1

Distribusi Aitem Skala Tingkat Communication Apprehension Nomor Aitem Indikator Favorable Unfavorable Jumlah aitem Generalized Context: 1. Kecemasan atau ketakutan ketika berpidato di hadapan massa 2. Kecemasan atau ketakutan ketika bertatap muka berdua

3. Kecemasan atau ketakutan ketika berbicara dalam diskusi kelompok

4. Kecemasan atau ketakutan ketika berbicara dalam suatu pertemuan 19, 21, 23 14, 16,17 2,4,6 8,9,12 20,22,24 13,15,18 1,3,5 7,10,11 6 6 6 6 HASIL PENELITIAN

Hasil analisis data n dengan Independent Sample T-Test dari Program SPSS ver 12 for Windows. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:

(11)

Tabel 2

Hasil Uji Hipotesis

Variabel t p Keterangan

Tingkat CA 0,597 0,553 Ha Ditolak

Analisa data yang dilakukan dengan menggunakan metode analisis Independent Sample T-Test tersebut menghasilkan p value sebesar 0,553 (>0,05). Menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan Tingkat CA pada mahasiswa aktivis dan yang bukan aktivis.

Pembahasan

Hasil data penelitian menunjukkan bahwa hipotesis yang telah diajukan yakni ada perbedaan tingkat CA antara mahasiswa aktivis dengan mahasiswa non aktivis tidak dapat diterima atau ditolak. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai p value = 0,553, yang lebih besar dari 0,05. Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat CA antara mahasiswa aktivis dan mahasiswa non aktivis.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa seorang mahasiswa baik itu mahasiswa aktivis mapun mahasiswa non aktivis mempunyai tingkat CA yang tidak ada bedanya. Hal ini dapat diterangkan bahwa meskipun mahasiswa non aktivis tidak melakukan kegiatan yang sifatnya membutuhkan keterampilan berbicara di depan umum, namun sebagai mahasiswa merekapun juga pernah melakukan presentasi bahan kuliah, menerangkan program kerja, menghadap dosen pembimbing ataupun dosen pembimbing akademik, dan sebagainya, yang kegiatan tersebut juga memerlukan keberanian untuk berbicara dan tampil di depan. Sebaliknya, bagi mahasiswa aktivis, meskipun sudah terbiasa berbicara di

(12)

depan masa atau rapat, ataupun berorasi sekalipun, mereka masih juga mengalami kecemasan kalau hendak memulai kegiatan tersebut, atau yang lazim disebut dengan istilah “demam panggung”. Hal ini bisa terjadi pada siapa saja, baik mahasiswa aktivis maupun non aktivis.

Faktor lain yang dapat dipertimbangkan untuk menjelaskan keadaan tersebut antara lain bisa saja mahasiswa non aktivis pada waktu SMA-nya juga pernah menjadi aktivis, seperti misalnya aktif dalam kegiatan OSIS ataupun organisasi kepemudaan lain di luar sekolah. Pada waktu menjadi mahasiswa dia memutuskan untuk tidak aktif lagi dalam organisasi untuk berkonsentrasi terhadap kuliahnya agar cepat selesai. Jadi, sampel penelitian yang mahasiswa non aktivis tersebut di masa lalunya juga aktif di keorganisasian, sehingga tingkat CA-nyapun sudah terasah dengan baik. Sebaliknya untuk sampel mahasiswa aktivis, bisa jadi kegiatannya menjadi aktivis baru dimulai beberapa bulan yang lalu, sehingga tingkat CA-nya masih sama dengan mahasiswa non aktivis. Hal ini bisa terjadi karena penelitian ini tidak meneliti masa lalu dari masing-masing sampel, hanya mengambil sampel dengan membedakan mahasiswa aktivis dan mahasiswa non aktivis pada situasi sekarang ini.

Hal tersebut menjelaskan teori yang dikemukakan McCroskey(1984) yang menyatakan bahwa perilaku komunikasi seseorang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang terhadap topik yang akan dibawakan, rasa suka atau tidak suka terhadap topik tersebut dan psikomotorik seseorang yaitu kemampuan fisik seseorang untuk melakukan komunikasi.

(13)

Bila seseorang menguasai topik yang akan dikomunikasikan, maka tentunya orang tersebut tanpa melihat apakah yang bersangkutan mahasiswa aktivis atau bukan aktivis maka dia tidak akan mengalami hambatan dalam berkomunikasi, begitu juga apabila yang bersangkutan menyukai topik yang akan dibawakan maka dia tidak akan mengalami hambatan dalam berkounikasi. Sebaliknya bila yang bersangkutan tidak menguasai dan tidak menyukai topik yang dikomunikasikan, maka kecemasan atau tingkat CA yang bersangkutan akan meningkat.

Hal senada juga dikatakan oleh Cutlip (2006) bahwa keberanian seseorang dalam mempresentasikan suatu topik permasalahan tergantung pada kesiapan orang yang bersangkutan terhadap penguasaan atas topik tersebut. Ivy Naistadt (2006) menyatakan disamping atas pokok pembicaraan, rasa suka terhadap hal yang dipresentasikan juga membantu seseorang untuk berani tampil berbicara di depan umum.

Kelemahan penelitian ini tidak mempertimbangkan frekuensi dan berapa lama subjek aktif sebagai aktivis organisasi, dengan kata lain pengalaman subjek sebagai aktivis hanya dilihat berdasarkan kompetensi di lingkungan mahasiswa.

PENUTUP

Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat CA antara mahasiswa aktivis dan mahasiswa non aktivis. Hal ini disebabkan karena seorang mahasiswa non aktivis pun membutuhkan keberanian untuk berbicara di depan umum, meskipun yang bersangkutan tidak aktif dalam organisasi, juga seorang

(14)

mahasiswa non aktivis belum tentu mempunyai masa lalu yang tidak aktif dalam keorganisasian. Dalam penelitian ini tidak diungkap masa lalu masing-masing subjek penelitian.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

De Vito, Joseph A. 2001. The Interpersonal Communication Book. 9th ed. Addison Wesley Longman.

Mariani, K. 1991. Hubungan antara Sifat Pemantauan Diri dengan Kecemasan dalam Komunikasi Interpersonal pada Mahasiswa Psikologi dan Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM (tidak dipublikasikan).

McCroskey, James C. 1984. Avoiding Communication: Shyness, Reticence, and Communication Apprehension. California: Sage Publication, Inc.

Naistadt, I. 2006. Jangan Takut Ngomong, Strategi Agar berani Berbicara di Depan Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Robbins, Stephen P. 2001. Organizational Behavior. 9th ed. New Jersey: Prentice Hall.

Soehardi Sigit. 2003. Perilaku Organisasional. Yogyakarta: BPFE Universitas Satyawiyata Tamansiswa.

http://education.yahoo.com/reference/dictionary/entry/communication McCroskey. www.jamesmccroskey.com

Oral Communication Apprehension: A summary of recent theory and research. www.jamesmccroskey.com

Referensi

Dokumen terkait

 Materi analitika yang bersifat logika bertujuan untuk menguji potensi akademis (skolastik) peserta namun sedapat mungkin memiliki relevansi yang tinggi dengan

[r]

Intisari: Telah dilakukan oksidasi glukosa dengan molekul oksigen menggunakan katalis palladium (II) klorida, tem- baga (II) klorida dan asam format dalam pelarut aseton

Meskipun ketika Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedua pulau tersebut masuk ke dalam wilayah Malaysia dengan dasar Malaysia yang mengelola kedua pulau tersebut

Setelah kita mengetahui betapa tinggi perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan dan betapa Allah SWT mewajibkan kepada kaum muslimin untuk belajar dan terus belajar, maka Islampun

Pengajaran model adalah pengajaran yang dilakukan praktikan dengan cara mengamati guru pamong mengajar. Kegiatan ini juga dilakukan pada minggu pertama PPL II. Hal ini

Kegiatan pemanfaatan getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan: pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil1.  Pemungutan

Penggunaan Metode Index Card Match (ICM) Dengan Media Kartu Gambar Dalam Peningkatan Pembelajaran Bahasa Inggris Pada Siswa Kelas V SDN Pesalakan Tahun Ajaran 2013/2014. Pengantar