• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN HYPNOTEACHING DALAM PEMBELAJARAN DEKLINASI ADJEKTIVA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN HYPNOTEACHING DALAM PEMBELAJARAN DEKLINASI ADJEKTIVA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

*) Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman FPBS UPI Bandung

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN HYPNOTEACHING

DALAM PEMBELAJARAN DEKLINASI ADJEKTIVA

Syifa Nursyamsiah, Lucky Herliawan Y A, Azis Mahfuddin

Abstrak

Dalam rangka pembelajaran bahasa Jerman, pemahaman Grammatik merupakan salah satu hal terpenting. Salah satu unsur Grammatik yang dipelajari oleh siswa SMA adalah Adjektivdeklination. Berdasarkan pengamatan, Adjektivdeklination tersebut dianggap sulit oleh kebanyakan siswa. Hal ini terjadiantara lain karena penggunaan adjektiva dalam bahasa Jerman berbeda dengan bahasa Indonesia. Selain hal di atas, pada umumnya proses pembelajaran di kelas masih menggunakan model belajar konvensional, yang siswanya berperan sebagai objek. Hal tersebut biasanya menyebabkan siswa merasa bosan dan jenuh untuk mengikuti proses pembelajaran. Berdasarkan hal yang telah dipaparkan di atas penulis melakukan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran hypnoteaching dalam pembelajaran deklinasi adjektiva. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1) mengetahui penguasaan deklinasi adjektiva siswa sebelum dan sesudah menggunakan model pembelajaran hypnoteaching, 2) mengetahui efektivitas penggunaan model pembelajaran hypnoteaching. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperimen (eksperimen semu) degnan pola penelitian pretest, treatment dan possttest. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 19 Bandung yang belajar bahasa Jerman. Sampel pada penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 pada semester genap tahun ajaran 2012/2013 sebanyak 30 orang. Penelitian ini menggunakan uji signifikansi dalam pengujian hipotesis. Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian dapat diperoleh hasil bahwa: terdapat peningkatan hasil belajar siswa yang signifikan, ditunjukkan dengan meningkatnya nilai rata pretest dari 51,8 menjadi 85,9 pada nilai rata-rata posttest. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa model pembelajaran hypnoteaching efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa dalam deklinasi adjektiva. Berdasarkan hal tersebut, penulis menyarankan, bahwa model pembelajaran hypnoteaching dapat digunakan dalam pembelajaran deklinasi adjektiva.

(2)

Pendahuluan

Bahasa Jerman merupakan salah satu bahasa asing yang dipelajari di sekolah tingkat menengah (SMA). Bagi para siswa kebanyakan, tentunya bahasa Jerman adalah bahasa yang sama sekali belum pernah mereka pelajari sebelumnya di tingkat pendidikan yang lebih rendah. Oleh karena itu, bahasa Jerman sering dianggap sulit oleh para siswa. Terlebih lagi tata bahasa bahasa Jerman atau yang disebut dengan Grammatik berbeda dengan tata bahasa bahasa Indonesia.

Berdasarkan pengamatan penulis di SMAN 19 Bandung, salah satu unsur

Grammatik yang dianggap sulit oleh para siswa adalah deklinasi kata sifat atau Adjektivdeklination. Terdapat tiga jenis deklinasi yaitu schwache Deklination, gemischte Deklination, dan Adjektiv ohne Artikel. Selain banyaknya jenis deklinasi

yang telah disebutkan di atas, terdapat pula aturan mendeklinasikan kata sifat yang berbeda, sesuai Kasus dan Genus. Aturan penggunaan kata sifat sebagai atribut dalam bahasa Jerman berbeda dengan bahasa Indonesia. Sebagai contoh: buku yang berwarna kuning dalam bahasa Jerman adalah das gelbe Buch. Kondisi seperti inilah yang dianggap rumit oleh siswa.

Dalam survey ke lapangan tersebut dan diskusi dengan guru bahasa Jerman di SMAN 19 Bandung, dapat dikatakan bahwa hasil belajar siswa pada

Adjektivdeklination masih rendah. Selain itu kebanyakan siswa juga masih merasa

kebingungan dalam memahami Adjektivdeklination tersebut.

Diduga kesulitan belajar yang umumnya siswa rasakan tidak diimbangi oleh pemilihan model pembelajaran atau metode pembelajaran yang tepat oleh guru mata pelajaran. Dengan demikian sering kali kesulitan belajar pada mata pelajaran ini tidak terpecahkan dan membuat siswa menjadi enggan untuk mempelajarinya lebih lanjut.

Kebanyakan guru yang mengajar di sekolah-sekolah, masih menggunakan model belajar konvensional. Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai objek yang berperan secara pasif, sehingga hal tersebut menyebabkan suasana kelas sering menjadi tidak menyenangkan dan mudah membuat siswa merasa bosan atau jenuh dalam

(3)

melaksanakan proses pembelajaran. Hal ini terjadi karena mereka tidak difasilitasi untuk ikut serta dalam proses pembelajaran tersebut. Kegiatan belajar pun dirasa menjadi kurang kondusif. Akibatnya, hasil belajar siswa pun menjadi rendah.

Hal di atas tentunya bertentangan dengan kurikulum yang sedang diterapkan saat ini, yaitu KTSP, yang merupakan kependekan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. KTSP menuntut siswa agar berperan lebih aktif dalam suatu proses pembelajaran. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan adanya inovasi dalam proses pembelajaran, sehingga tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dapat tercapai. Salah satu inovasi yang dapat dikembangkan adalah inovasi dalam model pembelajaran yang diterapkan di kelas oleh guru.

Saat ini banyak sekali model pembelajaran yang dapat dipilih untuk diterapkan dalam proses belajar mengajar. Salah satunya adalah model pembelajaran

hypnoteaching. Hypnoteaching berasal dari kata ‘hypnosis’ yang berarti sugesti dan ‘teaching’ yang berarti mengajar. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa hypnoteaching merupakan model pembelajaran dengan jalan memberikan sugesti

untuk memudahkan proses belajar siswa.

Hypnoteaching merupakan gabungan dari lima model pembelajaran yaitu Quantum Learning, Accelerate Learning, Power Teaching, Neuro Linguistic Programming (NLP) dan Hypnosis. Hypnoteaching menekankan pada komunikasi

alam bawah sadar siswa dengan jalan sugesti atau imajinasi. Hal ini terjadi karena alam bawah sadar manusia jauh lebih besar dominasinya terhadap kerja otak. Oleh karena itulah sesuatu yang terjadi di alam bawah sadar akan lebih lama tinggal dalam memori manusia karena 88% otak manusia bekerja di alam bawah sadar.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang diungkapkan di atas, yakni 1) pemahaman siswa akan deklinasi adjektiva yang masih rendah, 2) adeklinasi adjektiva dianggap sulit oleh siswa, 3) siswa berperan pasif dalam kebanyakan model pembelajaran yang diterapkan di kelas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai pengaruh hypnoteaching terhadap hasil belajar siswa dalam

(4)

mendeklinasikan ajektiva dengan judul penelitian Efektivitas Model Pembelajaran

Hypnoteaching dalam Pembelajaran Deklinasi Adjektiva.

Tinjauan Pustaka

Hypnoteaching berasal dari kata ‘hypnosis’ yang berati sugesti dan ‘teaching’

yang berati mengajar. Hypnosis atau sugesti berarti ujaran atau perbuatan yang disampaikan dengan cara tertentu yang dapat mempengaruhi alam bawah sadar. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hajar (2011:45) bahwa “sugesti berarti kondisi psikologis, di mana seseorang membimbing pikiran, perasaan atau perilaku orang lain dengan kata-kata.

Teaching atau mengajar adalah menyampaikan informasi kepada peserta didik

dengan tujuan perubahan perilaku. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Joyce & Shower dalam Mahfuddin (2008:13) menyatakan bahwa “mengajar (teaching) pada hakekatnya adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh guru untuk membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan dan cara berpikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar”.

Hypnoteaching, menurut Noer (2010:118) adalah proses pengajaran yang

dapat memberikan sugesti terhadap siswa. Hypnoteaching merupakan model pembelajaran dengan melibatkan pikiran bawah sadar siswa. Model pembelajaran ini juga merupakan paduan dari lima metode belajar-mengajar yaitu Quantum Learning,

Accelerate Learning, Power Teaching, Neuro Linguistic Programm (NLP) dan Hypnosis.

Dengan demikian dapat disampaikan bahwa materi disampaikan pada model ini yaitu dengan cara induktif yang kreatif dan imajinatif. Sebelum belajar, siswa dikondisikan untuk siap menerima materi yang akan diberikan. Dalam pendekatannya, guru masuk ke dunia siswa terlebih dahulu membiarkan siswa berimajinasi tentang apa yang sebetulnya akan disampaikan saat itu. Susunan pikiran

(5)

manusia yang pikiran bawah sadarnya lebih dominan membuat sugesti terus terngiang dalam pikirannya. Sesuatu yang masuk ke alam bawah sadar akan lebih lama tersimpan dalam memori manusia.

Hypnoteaching berfokus pada kekuatan vibrasi, metafora, dan edifikasi.

Kekuatan vibrasi adalah sesuatu yang muncul karena pikiran yang dibangun, sedangkan metafora adalah motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan yang diungkapkan kepada orang lain. Edifikasi adalah kekuatan yang muncul karena ceritera positif.

Berdasarkan penjelasan tentang model pembelajaran hypnoteaching di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hypnoteaching merupakan model pembelajaran yang melibatkan alam bawah sadar dengan menggunakan kata-kata sugestif. Model pembelajaran hypnoteaching berfokus pada pikiran-pikiran positif yang dibangun lewat cerita-cerita positif dan motivasi untuk mencapai tujuan tertentu.

Langkah-langkah melaksanakan model hypnoteaching di kelas yaitu dengan cara:

1. Pacing

Pacing adalah menyamakan gelombang otak guru dengan siswa dengan

cara menyamakan gerak tubuh, bahasa dan kedudukan guru dengan siswa. Inilah yang dimaksud dengan mengantarkan dunia siswa ke dunia guru. Hal ini penting dilakukan untuk menyamakan gelombang otak siswa dengan gurunya.

Secara naluriah, manusia merasa senang dan nyaman berkumpul atau berinteraksi dengan orang yang memiliki kesamaaan dengan dirinya, misalnya kesamaan hobi atau kesamaan masa lalu. Kesamaaan ini juga berarti kesamaan gelombang otak. Dengan kesamaan gelombang otak yang membuat rasa nyaman inilah setiap pesan yang disampaikan dari seseorang ke orang lain dapat diterima dengan baik.

Pacing dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa yang mudah

(6)

begitu, secara tidak sadar gelombang otak guru dengan siswa sudah sama, sehingga mereka merasa nyaman untuk melakukan kegiatan selanjutnya. Pacing dapat dilakukan dengan cara menceritakan anekdot-anekdot, cerita motivasi, tebak-tebakan, atau membahas hal-hal yang sedang menjadi trend remaja saat itu.

Aplikasi kegiatan pacing untuk menyamakan kedudukan siswa dengan guru di dalam kelas dapat dilakukan dengan menyamakan hak dan kewajiban siswa dan guru. Misalnya dalam penerapan tata tertib di kelas, jika siswa terlambat masuk kelas 15 menit maka pada saat jam istirahat, siswa harus menulis karangan sebanyak 500 kata yang akan ditempel di mading kelas. Begitu pula untuk guru. Jika guru terlambat masuk kelas, maka guru akan mendapat

punishment yang sama. Dengan begitu kedudukan siswa dengan guru akan sama

dan siswa tidak berperan sebagai objek guru.

2. Leading

Leading berarti memimpin atau memberi arahan. Setelah melakukan pacing kondisi siswa sudah merasa nyaman dengan gurunya, sehingga apapun

yang akan ditugaskan oleh gurunya, siswa akan mengerjakannya dengan senang hati tanpa terpaksa.

Saat proses leading inilah materi pelajaran mulai diberikan. Serumit apapun materi yang disampaikan, namun dengan hati yang senang dan nyaman apapun yang dilakukan akan terasa ringan. Dalam menyampaikan materi, guru dapat juga menggunakan media bantu seperti kartu berwarna untuk menyampaikan materi tentang Adjektivdeklination untuk memperjelas perbedaan akhiran pada setiap kasus dan genus. Setelah siswa mengamati isi kartu tersebut, guru dapat menjelaskan apa yang ada dalam kartu tersebut. Cara lain yang dapat digunakan yaitu dengan sebuah teks yang banyak terdapat deklinasi adjektiva, lalu siswa menggarisbawahi setiap adjektiva yang ditemukan dalam teks tersebut.

Setelah menjelaskan materi, hal yang biasa dilakukan adalah latihan. Dalam kegiatan ini arahan-arahan yang diberikan guru kepada siswa diberikan. Misalnya guru meminta siswa mengerjakan soal latihan yang ada dalam modul

(7)

dengan durasi tertentu. Maka siswa biasanya akan mengerjakannya dengan senang hati dan menganggap hal tersebut bukanlah suatu paksaan. Contoh lainnya adalah guru meminta siswa mendeskripsikan dirinya atau mendeskripsikan gambar dengan menggunakan Adjektivdeklination. Untuk menarik perhatian siswa, gambar yang disediakan dapat berupa tokoh-tokoh idola siswa kebanyakan.

Dalam proses leading ini dapat terlihat kondisi siswa yang sudah terhipnotis. Kondisi yang dimaksud tadi adalah ketika fokus perhatian siswa hanya tertuju pada guru atau media bantu. Hal tersebut dapat dilihat dari gerak mata siswa yang biasanya akan selalu mengikuti arah gerak guru atau media tersebut sebagai pusat pikirannya.

3. Gunakan kata-kata positif

Pikiran manusia, termasuk pikiran bawah sadar pada faktanya tidak dapat menerima kata-kata negatif seperti ‘tidak’, ‘jangan’, ‘takut’ dan sebagainya. Pikiran manusia akan merekam kata positifnya saja. Contohnya kata “Jangan ribut!”, pikiran manusia akan merekam ‘ribut’ sebagai kata positifnya. Maka yang mendengarkan perintah tersebut pun akan tetap ribut. Sebagai gantinya, sampaikan apa yang menjadi keinginan guru terhadap siswanya. Saat mengatakan jangan ribut, yang guru inginkan ketenangan. Maka sampaikanlah, “Mohon tenang! Ruhe, bitte!” maka yang direkam dan dilakukan adalah tenang (ruhig). 4. Memberikan pujian

Reward and punishment adalah salah satu hal yang juga penting dalam

pembelajaran. Reward and punishment harus dilaksanakan secara konsisten.

Reward yang diberikan akan membuat siswa bersemangat melakukan

kebaikan-kebaikan lainnya.

Reward yang diberikan tidak mesti benda berwujud, tapi dapat juga

berupa pujian. Pujian akan meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri siswa. Sekecil apapun kebaikan atau prestasi siswa, memberikan pujian yang tulus akan mendorong siswa untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sebelumnya.

(8)

Bentuk reward yang paling sederhana adalah dengan berterimakasih jika siswa telah mengerjakan atau melakukan sesuatu, misalnya menjawab pertanyaan, menuliskan jawaban di papan tulis atau menghapus papan tulis yang kotor. Setelah melakukan hal tersebut, siswa berhak mendapat reward. “Danke.

Das ist sehr nett von dir”. Reward semacam itu juga bisa diberikan saat siswa

mengajukan pertanyaan, guru dapat memberinya pujian, seperti “Danke. Das ist

eine gute Frage.”. Dengan mendapat pujian seperti itu maka siswa akan merasa

dihargai, kepercayaan dirinya meningkat dan akan menjadi lebih semangat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran.

Jika siswa melakukan kesalahan bukan berarti punishment yang ia peroleh harus merendahkan harga dirinya apalagi dengan mengolok-oloknya di depan teman-temannya. Jika hal ini terjadi maka siswa akan merasa kapok untuk belajar.

Cara terbaik untuk memberikan punishment misalnya dengan menggabungkan kritik dan saran. Contohnya “kamu sebetulnya anak yang pandai, dan itu akan lebih baik lagi jika kamu mengerjakan semua PR yang diberikan oleh gurumu”.

5. Modeling

Modeling adalah memberikan teladan atau contoh yang baik, baik dengan

ucapan atau perilaku yang dilakukan dengan konsisten. Dengan nyamannya siswa terhadap gurunya, maka ia pun akan menjadikan gurunya sebagai panutan, sehingga apapun yang dilakukan gurunya akan ia ikuti. Jika gurunya melakukan kesalahan, maka siswa pun akan merasa kecewa dan gurunya menjadi figur yang tidak dapat dipercaya.

Teladan yang baik atau proses modeling bisa dilakukan dengan cara tetap menjaga sikap, kesopanan dan melakukan segala hak baik yang telah disampaikan kepada siswa. Misalnya guru pernah bercerita tentang pentingnya

(9)

melawan kemalasan, maka guru harus konsisten menjaga semangatnya, jangan sampai memperlihatkan kemalasannya di depan siswanya.

Hypnoteaching dapat dikatakan sebagai solusi alternatif dan sebuah inovasi

model pembelajaran yang selama ini berkembang. Hal ini terjadi karena

hypnoteaching merupakan gabungan dari lima model pembelajaran yang telah ada,

yaitu Quantum Learning, Accelerated Learning, Power Teaching, Neuro Linguistic

Programming (NLP) dan hypnosis.

Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan hypnoteaching, pengajaran dilakukan dengan jalan memberikan sugesti yang dapat memudahkan proses belajar siswa. Pada model pembelajaran tersebut, pengajaran dapat dilakukan dengan melalui permainan, ceritera positif dan bentuk lainnya agar proses pembelajaran menjadi menyenangkan, sehingga siswa merasa tertarik untuk belajar. Dalam kondisi nyaman dan memiliki ketertarikan untuk belajar, maka siswa akan lebih mudah untuk menerima pengajaran. Kondisi nyaman dan memiliki ketertarikan belajar itulah yang disebut kondisi siswa terhipnotis.

Siswa yang memiliki antusiasme tinggi untuk belajar dan berada dalam kondisi nyaman dapat dilihat dari peran sertanya di dalam proses pembelajaran. Misalnya dengan berkontribusi aktif dan tidak ragu untuk mengajukan pertanyaan atau pun dengan sukarela menjawab pertanyaan. Kondisi terhipnotis ini juga dapat dinilai dari tatapan matanya yang selalu mengikuti kemana arah guru atau media bantu bergerak.

Hal-hal di atas tersebut biasanya tidak akan terjadi apabila siswa tidak memiliki antusiasme dan kenyamanan untuk belajar. Siswa terkadang enggan untuk mengajukan pertanyaan, apalagi untuk menjawab pertanyaan karena siswa merasa tidak nyaman, bosan atau jenuh. Tatapan mata siswa pun akan menghindari guru atau media bantu pelajaran.

Dengan demikian, sesuatu yang dianggap sulit seperti materi mendeklinasikan adjektiva akan dirasa menjadi lebih mudah jika kondisi belajar dibuat nyaman dan

(10)

adanya ketertarikan akan hal tersebut. Hal itulah yang dihadirkan dalam pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran hypnoteaching.

Melalui model pembelajaran hypnoteaching, siswa diharapkan mampu mengikuti proses pembelajaran dengan kesan yang lebih menyenangkan sehingga minat dan motivasi belajar siswa menjadi lebih tinggi. Dengan demikian siswa dapat meningkatkan hasil belajar dan pemahamannya terhadap materi mendeklinasikan adjektiva.

Metode Penelitian

Penelitian mengenai aplikasi hypnoteaching dalam pembelajaran deklinasi adjektiva ini dilaksanakan selama bulan Mei tahun 2013 di kelas XI IPA 1 SMA Negeri 19 Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah metode quasi eksperimen dengan model penelitian one-group-pretest-posttest-design, yang berarti bahwa desain penelitian ini terdiri atas pretest (tes awal) dan posttest (tes akhir) pada satu kelas eksperimen dalam jangka waktu tertentu. Tes awal dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam mendeklinaskan adjektiva. Setelah perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran hypnoteaching, diselenggarakan posttest untuk mengukur kemampuan akhir siswa.

Subjek penelitian, yaitu siswa kelas XI di SMA Negeri 19 Bandung diambil menggunakan teknik purpose random sampling, artinya pemilihan sampel penelitian dilakukan secara acak dengan tujuan mendapatkan sampel yang memenuhi kriteria pemilihan, yaitu sampel yang mengikuti keseluruhan kegiatan penelitian mulai dari

pretest, treatment dan posttest.

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi perencanaan pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk dua kali treatment. Perangkat tes mengenai mendeklinasikan adjektiva bahasa Jerman berupa teks rumpang yang terdiri dari 17 soal diambil dari buku Deutsch Üben (2010:48), kartu berwarna dan teks sebagai media bantu pembelajaran.

(11)

Setelah data mengenai hasil belajar siswa dalam mendeklinasikan adjektiva terkumpul, kemudian dilakukan pengujian statistik dalam rangka mengukur efektivitas model pembelajaran tersebut. Pengujian statistik yang dilakukan meliputi uji homogenitas dan uji normalitas, sebagai salah satu syarat dalam pengujian kuantitatif. Kemudian dilakukan uji-t untuk mengukur signifikansi perbedaan hasil rata-rata pretest dan posttest.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data telah terbukti bahwa penggunaan model pembelajaran hypnoteaching dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam deklinasi adjektiva. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan hasil belajar siswa setelah

treatment, dengan nilai rata-rata sebesar 51,8 pada saat pretest dan nilai rata-rata posttest sebesar 85,9. Berdasarkan klasifikasi tingkat penguasaan menurut Arikunto

(2009:245), kategori penguasaan deklinasi adjektiva siswa terlihat mengalami peningkatan dari kurang menjadi baik. Selain itu, hal ini didukung dengan analisis pengujian hipotesis dengan teknik uji-t atau uji signifikansi, diperoleh nilai Thitung

yang lebih besar daripada Ttabel yaitu sebesar 12,63, sedangkan Ttabel sebesar 1,70.

Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pretest dan posttest. Dengan demikian hipotesis nol (H0) yang

berbunyi “hasil posttest sama dengan hasil pretest, artinya tidak terdapat

peningkatan hasil belajar siswa dalam deklinasi adjektiva setelah mendapat

perlakuan” ditolak, sebaliknya hipotesis alternatif (H1) diterima dan dapat

disimpulkan bahwa “terdapat peningkatan hasil belajar siswa dalam deklinasi

adjektiva setelah perlakuan”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa penggunaan

model pembelajaran hypnoteaching efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran deklinasi adjektiva.

Hal ini terjadi karena keadaan siswa pada saat proses pembelajaran dalam kondisi yang nyaman, sehingga apapun yang guru sampaikan dapat dengan mudah

(12)

diserap dalam memori bawah sadarnya. Sesuatu yang berada dalam memori bawah sadar akan tersimpan lebih lama dalam pikiran.

Sejalan dengan hal tersebut, Hajar (2011:82) mengemukakan bahwa salah satu kelebihan hypnoteaching yang dapat membuat hasil belajar siswa meningkat adalah siswa belajar dengan senang hati atau nyaman dan materi pelajaran diserap dengan lebih cepat serta dapat diingat lebih lama.

Dalam pembelajaran deklinasi adjektiva, salah satu kemampuan yang dibutuhkan adalah daya ingat yang kuat. Hal tersebut terjadi karena dalam mendeklinasikan adjektiva terdapat banyak aturan untuk mendeklinasikannya. Maka dengan demikian melaui penggunaan model pembelajaran hypnoteaching aturan untuk mendeklinasikan adjektiva akan tersimpan lama dalam memori bawah sadarnya.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa model pembelajaran

hypnoteaching sesuai digunakan dalam pembelajaran bahasa khususnya dalam

pemahaman Grammatik, misalnya dalam deklinasi adjektiva. Dengan model pembelajaran hypnoteaching, maka pembelajaran dilaksanakan dengan cara-cara yang menyenangkan atau melibatkan emosi yang positif juga efektif misalnya permainan. Dengan begitu siswa diharapkan akan semakin menyukai pembelajaran, sehingga hasil belajar siswa pun meningkat karenanya. Seperti yang diungkapkan oleh Markowitsch dalam Dauvillier dan Lévy-Hillerich (2004:5), yakni:

“Wir sind heute jedoch in der glücklichen Lage, persönliche positive Erfahrungen von Unterrichtenden, die Spiele im Unterricht eingesetz haben, wissenschaftlich zu untermauern. Lerntheorien und Erkentnisse aus der Hinforschung und Gedächtnisforschung zeigen, dass Emotionen, die ein wesentliches Charakteristikum von Spielen sind, bei der der Informationverarbeitung eine extreme wichtige Rolle spielen”.

Dikatakannya bahwa ‘saat ini pembelajar berada dalam posisi yang diuntungkan, karena pakar ilmiah mendukung penerapan permainan dalam proses

(13)

pembelajaran di kelas sebagai pengalaman yang positif. Penelitian terhadap otak dan memori manusia menunjukkan bahwa emosi memiliki peran penting dalam pengolahan informasi’.

Meskipun model pembelajaran hypnoteaching tersebut sudah dikatakan sesuai digunakan dalam pembelajarana, khususnya pembelajaran deklinasi adjektiva, namun

hypnoteaching juga memiliki beberapa kekurangan dalam pelaksanaannya. Dikutip

dari situs http://bdkpadang.kemenag.go.id/ /index.php?option=com_ content&view= article&id= 469: penggunaan -model-pembelajaran-hypnoteaching-dalam-mata-pelajaran-aqidah-akhlak&catid= 41: top - headlines kekurangan dari model pembelajaran hypnoteaching adalah banyaknya peserta didik di ruang kelas menyebabkan kurangnya waktu dari pendidik untuk memberi perhatian satu per satu kepada siswa. Selain itu, sebelum melakukan proses pembelajaran pendidik perlu berlatih terus menerus hingga lancar melakukan pembelajaran mengunakan model pembelajaran tersebut, misalnya berlatih hingga lancar menggunakan kata-kata sugestif . Dengan kata lain, pada awal mula melakukan pembelajaran dengan model ini pendidik perlu mendapatkan pelatihan khusus, tidak dapat secara spontan menggunakan model pembelajaran ini.

Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil pengolahan data dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa adanya peningkatan yang signifikan terhadap nilai rata-rata siswa setelah treatment dengan menggunakan model pembelajaran

hypnoteaching dalam pembelajaran deklinasi adjektiva, dilihat dari kemampuan awal

siswa yang tergolong rendah lalu meningkat menjadi baik pada tes akhir. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran hypnoteaching efektif dalam meningkatkan pemahaman siswa mengenai deklinasi adjektiva.

Mengingat akan adanya suatu hal positif yang didapatkan dari model pembelajaran tersebut, maka penulis menyarankan bahwa model pembelajaran

(14)

sekolah. Dengan demikian, model pembelajaran yang digunakan di dalam kelas akan variatif sehingga suasana belajar di kelas tidak monoton.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. (2009). PROSEDUR PENELITIAN SUATU PENDEKATAN

PRAKTIK. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Dauvillier, Christa., dan Dorothea Lévy-Hillerich. (2004). Spiele im Deutschunterricht. München: Goethe-Institut.

Hajar, Ibnu. (2011). Hypnoteaching “Memaksimalkan Hasil Proses Belajar

Mengajar dengan Hipnoterapi”. Yogyakarta: DIVA Press.

Mahfuddin, Azis. (2008). Pengembangan Model Pembelajaran Bahasa Jerman. Bahan Ajar Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran di Jurusan Pend. Bahasa Jerman UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Noer, Muhammad. 2010. Hypnoteaching for Success Learning. Yogyakarta: Pedagogia.

Umar, Zaimah. (2012). Artikel Ilmiah: Penggunaan Model Pembelajaran

Hypnoteaching dalam Mata Pelajaran Aqidah Akhlak. Tersedia:

http://bdkpadang.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&i d= 469:penggunaan -model-pembelajaran- hypnoteaching- dalam-mata-pelajaran-aqidah-akhlak&catid=41:top-headlines (Diakses pada 9 Agustus 2013).

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan Bahasa Jerman. Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni UPI. Kosakata merupakan unsur penting dalam empat keterampilan berbahasa. Keempat keterampilan tersebut adalah

Banuarea, Hanna. “Efektivitas Penggunaan Media Spiel Tabu dalam Pembelajaran Kosakata Bahasa Jerman”. Bandung: Departemen Pendidikan Bahasa Jerman. Fakultas

Siswa”. Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Universitas Pendidikan Indonesia. Penguasaan kosakata pada pembelajaran bahasa Jerman memegang

Berdasarkan alasan tersebut dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui: (1) Hasil pembelajaran siswa dalam menulis karangan deskripsi bahasa Jerman

Judul : Penyusunan Modul Pembelajaran Keterampilan Membaca Pemahaman Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pembelajaran Bahasa Jerman Di SMA. Zamzani Yati

Bahasa Jerman merupakan salah satu mata pelajaran yang ada pada struktur kurikulum 2013, oleh sebab itu penilaian hasil belajar Bahasa Jerman harus dikembangkan

Bahasa China merupakan salah satu bahasa Internasional, yang sekarang mulai dicari banyak orang untuk dipelajari. Maka tidak heran lagi jika akhir-akhir ini bahasa

Penerapan pengembangan model pembelajaran Teams-Games-Tournament TGT dalam pem- belajaran kosakata bahasa Jerman Wortschatz Di SMA kota Makassar, memenuhi kriteria efektif, karena