• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. kurikulum (Suparlan, 2006). Ketiga aspek ini adalah syarat mutlak (conditio sine

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. kurikulum (Suparlan, 2006). Ketiga aspek ini adalah syarat mutlak (conditio sine"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Dalam dunia pendidikan terdapat tiga aspek penting, yaitu guru, siswa dan kurikulum (Suparlan, 2006). Ketiga aspek ini adalah syarat mutlak (conditio sine quanon) dalam pendidikan sekolah. Guru adalah jembatan antara kurikulum dan siswa sehingga dipandang sebagai aspek yang paling utama (Suparlan, 2006). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen bab I pasal 1 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 41 tahun 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen bab I pasal 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Guru sebagai pendidik diharapkan mampu memahami norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat sehingga dapat menjadi panutan bagi siswa dan lingkungannya. Selain itu, tugas guru sebagai pengajar diharapkan mampu membantu siswa untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya. Sebagai pembimbing, guru bertugas untuk merumuskan tujuan dan metode dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan siswa. Selain itu, guru yang memiliki peran sebagai informator harus mampu memberikan informasi pengembangan ilmu dan teknologi. Sebagai evaluator, guru dituntut untuk tidak hanya berfokus pada hasil pengajaran, tetapi juga pada prosesnya.

(2)

Sebagai korektor, seorang guru diharapkan mampu membedakan nilai yang baik dan buruk untuk dijadikan sebagai contoh bagi siswa (Mulyasa, 2005).

Banyak dan kompleksnya tugas dan tanggungjawab guru, maka keberadaan guru dianggap vital dalam dunia pendidikan. Keberadaan guru menjadi sorotan utama yang harus mendapat perhatian dan dukungan dengan harapan guru dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal dan professional. Dengan demikian, para guru mampu menjadi agen pendidikan yang mampu meraih perhatian dan memotivasi siswa sehingga berhasrat mempelajari materi yang diberikan serta menentukan posisi siswa terkait dengan level pembelajaran dan perkembangan siswa. Ormrod (2008) menegaskan bahwa guru harus mampu mengakomodasi keberagaman latar belakang siswa, agama, kondisi keluarga, kondisi fisik, kognitif dan perilaku siswa.

Di samping itu, kesejahteraan guru menjadi perhatian banyak kalangan dengan harapan guru mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Pemerintah telah melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan guru seperti sertifikasi guru. Hal ini merupakan salah satu wujud implementasi dari undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Tujuan sertifikasi guru dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 16 disebutkan bahwa dengan adanya peningkatan kesejahteraan guru diharapkan akan terjadi peningkatan mutu pendidikan nasional dari segi proses yang berupa layanan dan hasil yang berupa luaran pendidikan. Sebaliknya, bila kesejahteraan guru tidak terpenuhi maka guru sebagai komponen penting dalam dunia pendidikan akan bermasalah dengan tugas dan fungsinya.

Meskipun pemerintah telah memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan para guru, namun para guru tidak berarti lepas dari tantangan dan

(3)

permasalahan yang dihadapi selama proses menjalankan tugas dan tanggungjawab mereka. Dalam konteks proses pembelajaran, guru tidak jarang dihadapkan pada situasi yang membuat guru stress. Hal ini ditegaskan oleh Holmes (2005) yang menyebutkan bahwa mengajar itu sering dialami sebagai sebuah stressful profession dimana pengajaran adalah sebuah fenomena kompleks yang memperhitungkan karakteristik pribadi, profesionalitas, keterampilan dan basis pengetahuan khusus. Dalam konteks yang lebih luas, Sofa (2008) menyebutkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh para guru di Indonesia adalah masalah kualitas atau mutu guru, kesejahteraan guru, distribusi guru dan jumlah guru yang dirasakan masih belum mencukupi. Hal ini dipertegas oleh Baswedan (2013) yang menyebutkan bahwa distribusi penempatan dan kualitas guru belum merata dan kesejahteraan guru yang belum memadai.

Permasalahan lain yang dihadapi para guru dan menjadi perhatian dari banyak kalangan saat ini adalah dijadikannya guru sebagai instrumen dan tumbal politik. Praktek mutasi guru dan penurunan jabatan kepala sekolah seringkali dijumpai pasca pemilukada. Misalnya, di kabupaten Lebak (JPNN, 2013) dan di Sawahlunto (Pratikno, 2014) terjadi mutasi guru pegawai negeri sipil (PNS) secara besar-besaran. Permasalahan yang sama juga dihadapi oleh para guru PNS di Kerinci, Jambi. Efendi (Mediakerinci, 2014), dosen STIA-NUSA dan pemerhati masalah sosial, menyebutkan bahwa kebijakan mutasi guru PNS yang dilakukan di Kerinci telah meresahkan para guru PNS. Kebijakan mutasi guru PNS ini dianggap tidak etis karena dilaksanakan pada masa berakhirnya jabatan bupati. Sulistyo, selaku ketua umum pengurus besar PGRI, dalam JPNN (2013) menyebutkan bahwa kasus mutasi guru yang seringkali terjadi adalah imbas dari pertarungan kepala daerah. Sulistyo juga menambahkan bahwa mutasi guru

(4)

harus mempertimbangkan jarak tempat mutasi dan biaya yang harus dikeluarkan oleh guru yang dimutasi, sehingga mereka dapat mengajar dengan tenang.

Pada penelitian ini, peneliti akan fokus pada permasalahan yang sedang dihadapi oleh para guru PNS di kecamatan Andam Dewi. Pasca dilselenggarakannya pemilukada di kabupaten Tapanuli Tengah, praktek mutasi guru dan penurunan jabatan kepala sekolah terjadi secara besar-besaran termasuk di kecamatan Andam Dewi. Berdasarkan hasil laporan Awi (Mediamegapolitan, 2013) menyebutkan bahwa terjadi praktek mutasi guru dan penurunan jabatan kepala sekolah sebanyak 96 kepala sekolah. Bagi beberapa kalangan, praktek mutasi ini dipandang sebagai tindakan yang tidak manusiawi. Sinaga (2012), selaku direktur eksekutif Civil Education Society (CES), menyebutkan bahwa perilaku pemimpin dan pejabat pemkab Tapanuli Tengah yang memutasi guru dan kepala sekolah memprihatinkan karena ada kebijakan yang tidak memperhatikan nurani dan akal sehat.

Untuk mendalami permasalahan yang sedang dihadapi oleh para guru di kecamatan Andam Dewi, peneliti melakukan preliminary study pada tanggal 25-29 Desember 2013. Studi awal ini dilakukan dengan observasi dan wawancara terhadap empat guru SD yang berstatus PNS di kecamatan Andam Dewi.

Observasi dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan respon masyarakat kecamatan Andam Dewi mengenai keberadaan para guru PNS di kecamatan Andam Dewi. Dari hasil observasi, peneliti menemukan bahwa banyak masyarakat di kecamatan Andam Dewi yang memiliki persepsi negatif terhadap para guru PNS. Masyarakat menganggap bahwa para guru PNS adalah budak-budak bupati lama yang nota bene tidak disukai oleh sebagian besar

(5)

masyarakat. Hal ini ditegaskan oleh subjek HM yang pernah mendapatkan komentar yang sama dari beberapa tetangganya.

Selain itu, peneliti juga melakukan obeservasi terhadap para guru PNS di sekolah-sekolah dasar negeri di kecamatan Andam Dewi. Selama melakukan observasi, peneliti menemukan bahwa banyak guru yang datang ke sekolah tidak tepat waktu. Namun dalam observasi, peneliti juga menemukan beberapa guru yang tetap melaksanakan dan menjalankan tugas-tugas mereka sesuai dengan aturan-aturan yang ada di sekolah tempat mereka mengajar. Keadaan ini mendorong peneliti untuk menggali informasi mengapa sebagian guru dapat tetap menjalankan tugas-tugas mereka sesuai aturan-aturan yang ada di sekolah tempat mereka bekerja. Kemudian peneliti mewawancarai empat orang dari para guru tersebut. Para guru itu menyebutkan bahwa mereka yakin bahwa situasi yang sedang mereka hadapi akan berlalu. Mereka juga menyebutkan bahwa mereka yakin mampu menghadapi situasi tersebut dengan tetap berfokus pada tugas dan tanggungjawab mereka sebagai guru.

Tuntutan bupati yang mengharuskan para guru untuk mendukung dan mentaati kemauannya menimbulkan dilema bagi sebagian besar guru di kecamatan Andam Dewi. Subjek NR menyebutkan bahwa mereka berada pada pilihan yang serba salah. Bila mereka tidak berada di pihak bupati, maka mereka akan mendapatkan sanksi, yaitu dimutasi ke daerah perbatasan kabupaten atau diturunkan dari jabatannya. Sebaliknya, bila mereka mengikuti kemauan bupati, maka mereka ditolak oleh masyarakat yang anti dengan kepemimpinan bupati lama. Peristiwa ini berdampak pada semangat dan keseriusan para guru PNS dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai agen pendidikan. Dari hasil wawancara dengan subjek S menyebutkan bahwa peristiwa mutasi guru ini

(6)

membuat banyak guru kurang bersemangat dan tidak fokus melaksanakan tugasnya.

“sega hian do karejo on, ma marsak roha mangulahon, asal na pinangulahon nama namangajar on (rusak kerjaan ini, sudah tidak semangat lagi, asal dikerjakan sajalah pekerjaan (mengajar) ini)”

Hal ini juga ditegaskan subjek NR yang menyebutkan bahwa banyak para guru yang dimutasi harus meninggalkan keluarganya karena jarak tempat kerja yang jauh dan mereka juga harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk transportasi mereka sehingga mereka malas atau mangkir dari pekerjaan mereka.

“banyak rekan-rekan kami guru harus meninggalkan anak dan istirinya, mengeluarkan banyak hepeng (uang). Akibatnya, mereka malas dan tidak masuk mengajar”

Selain itu, peneliti juga mendapatkan informasi bahwa para guru PNS yang ikut menjadi anggota kepengurusan gereja dikeluarkan dari kepengurusan. Hal ditegaskan oleh subjek NR dan SD yang menyebutkan bahwa beberapa di antara para guru PNS yang menjadi anggota kepengurusan gereja dikeluarkan dari kepengurusan karena para pemimpin gereja setempat menganggap para guru PNS sebagai budak-budak bupati lama. Hal ini menjadi pukulan yang berat bagi para guru di kecamatan Andam Dewi. Bagaimanapun, tindakan pemimpin dan pemkab Tapanuli Tengah telah merusak hubungan para guru PNS dengan para tokoh agama, keluarga mereka, teman, siswa dan orangtua siswa.

Pengangkatan dan memutasi guru PNS di daerah sudah menjadi bahan perdebatan dari banyak kalangan. Sebelumnya, wewenang pengangkatan dan mutasi PNS di daerah dikelurkan dari kewenangan kepala daerah. Namun saat ini wewenang tersebut dikembalikan sesuai dengan Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN). Hal ini ditegaskan oleh Prasojo (Wartadaerah,

(7)

2013) selaku wakil menteri pendayagunaan aparatur sipil Negara dan reformasi birokrasi (Wamen PAN-RB) yang menyebutkan bahwa kepala daerah tetap diberi kuasa untuk merotasi jajarannya. Di samping itu, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, bab IV pasal 21 mengenai hak dan kewajiban daerah, pasal 25 tentang tugas dan wewenang serta kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah menyebutkan bahwa daerah memiliki hak untuk mengurus pemerintahannya dan kepala daerah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam memutasi guru PNS, hak-hak inilah yang sering digunakan kepala daerah untuk memuluskan tindakannya meskipun seringkali terlihat sangat janggal.

Berdasarkan hasil preliminary study, peneliti ingin mengetahui keadaan psychological well-being (PWB) para guru di kecamatan Andam Dewi yang dihadapkan pada tantangan dan situasi yang diprediksi dapat menghambat terpenuhinya psychological well-being mereka. Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai sebuah keadaan psikologis seseorang yang sehat sehingga berpengaruh secara positif terhadap kehidupannya. Sebagai agen pendidikan, guru sangat membutuhkan psychological well-being yang baik dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Psychological well-being berkorelasi dengan tingkat motivasi kerja dan komitmen terhadap pekerjaan (Wright & Cropanzano, 2000; Rathi, 2011). Oleh sebab itu, tidak terpenuhinya psychological well-being guru dapat berakibat pada menurunnya tingkat motivasi dan komitmen kerja guru. Holmes (2005) juga menyebutkan bahwa kesejahteraan guru berhubungan dengan pengembangan karier. Sementara hasil penelitian Bartram dan Boniwell (2007) menunjukkan bahwa psychological

(8)

well-being menuntun individu untuk menjadi lebih kreatif dan memahami apa yang sedang dilakukannya.

Penelitian terhadap psychological well-being guru adalah hal yang sangat penting dilakukan secara khusus karena keberadaan guru sebagai komponen penting dalam dunia pendidikan. Mengetahui tingkat psychological well-being para guru, maka dapat dilakukan usaha-usaha untuk meningkatkan dan mempertahankan tingkat psychological well-being para guru. Dengan demikian, mereka dapat berfungsi secara optimal dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka dengan baik. Hasil penelitian Carnicer dan Garrido (2013) menunjukkan bahwa guru yang memiliki psychological well-being yang lebih tinggi akan lebih mampu dan berhasil dalam memenuhi tuntutan situasional dan menghadapi tekanan-tekanan yang ada. Sisask, Varnik, Varnik, Apter, Balazs, Balint, Bobes, Brunner, Corcoran, Cosman, Feldman, Haring, Kahn, Postuvan, Tubiana, Sarchiapone, Wasserman, Carli, Hoven dan Wasserman (2013) menyebutkan bahwa tingkat psychological well-being guru berhubungan dengan kesiapan (readiness) guru untuk membantu siswa yang bermasalah. Guru yang memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi lebih siap berhadapan dengan siswa-siswa yang bermasalah. Sementara hasil penelitian Daniels dan Harris (2000) menemukan bahwa psychological well-being berkorelasi positif dengan tingkat performansi kerja dari seseorang. Individu yang memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi, memiliki tingkat performansi kerja yang tinggi pula. Performansi kerja dalam konteks ini dipahami sebagai perilaku pekerja yang berkontribusi terhadap tujuan-tujuan organisasi.

Psychological well-being dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah efikasi diri (Mabekoje, 2003; Salami, 2010; Kuswardani, 2010; Williams,

(9)

Wissing, Rothmann & Temane, 2010) dan dukungan sosial (Mabekoje, 2003; Buchanan & Bowen, 2008; Sumule, 2008; Asante, 2012).

Efikasi diri (self-efficacy) guru dapat memprediksi psychological well-being guru. Efikasi diri dalam penelitian ini adalah faktor internal yang dapat mempengaruhi psychological well-being guru. Efikasi diri adalah keyakinan individu akan kemampuannya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu (Bandura, 1997). Tingkat efikasi diri berbeda-beda pada diri setiap orang (Bandura, 1997). Oleh sebab itu, efikasi diri individu dapat ditingkatkan dengan memperhatikan sumber-sumber efikasi diri. Dalam penelitian ini efikasi diri dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi psychological well-being guru di kecamatan Andam Dewi, secara khusus para guru di Sekolah Dasar (SD). Berdasarkan hasil preliminary study yang dilakukan, peneliti menemukan bahwa terdapat beberapa guru yang tetap tenang dan yakin mampu menghadapi masalah yang sedang terjadi sehingga mereka melaksanakan tugas dan tanggungjawab mereka seperti biasanya. Sementara sebagian guru yang lain merasa terbebani dengan peristiwa yang sedang mereka hadapi, sehingga mereka kurang bersemangat dalam melakukan tugas dan tanggungjawab mereka sebagai tenaga pendidik.

Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi melihat tantangan sebagai masalah yang harus dipecahkan, sangat menikmati hidup dan yakin dengan segala kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Efikasi diri memiliki hubungan positif dengan psychological well-being. Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Salami (2010) dan Raihana (2012) menunjukkan bahwa efikasi diri berkorelasi positif dengan psychological well-being seseorang. Hasil penelitian Castro, Ponciano, Meneghetti, Kreling dan

(10)

Chem (2012) menunjukkan bahwa efikasi diri secara signifikan berkorelasi dengan psychological well-being. Ajala (2013) juga menegaskan dalam penelitiannya bahwa pekerja yang memiliki tingkat efikasi diri yang lebih tinggi memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik daripada pekerja yang memiliki tingkat efikasi diri yang rendah.

Faktor lain yang dapat meningkatkan psychological well-being adalah dukungan sosial (Asante, 2012). Sarafino dan Smith (2002) menjelaskan bahwa feedback positif dan penghargaan yang diberikan atasan merupakan bagian dari jenis atau bentuk dukungan sosial. Dukungan sosial adalah bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok lain di sekitarnya yang membuat individu tersebut merasa nyaman, diperhatikan, dicintai dan dihargai (Sarafino & Smith, 2006). Dukungan sosial berbeda dengan kepemimpinan. Draft (1999) mengartikan kepemimpinan sebagai sebuah hubungan yang mempengaruhi antara pemimpin dan bawahan yang dimaksudkan untuk perubahan-perubahan riil demi tujuan-tujuan mereka. Dengan kata lain, kepemimpinan dimengerti sebagai proses pengarahan dan pemberian pengaruh kepada bawahan yang didasarkan pada kemampuan seorang pemimpin dalam mengarahkan bawahannya untuk mencapai tujuan dari organisasi.

Dalam penelitian ini dukungan sosial bersumber dari atasan, yaitu kepala sekolah. Dukungan sosial adalah faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pencapaian psychological well-being seseorang. Dalam penelitian ini, dukungan sosial atasan (kepala sekolah) dianggap sebagai faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being guru di kecamatan Andam Dewi. Berdasarkan hasil wawancara dengan subjek NR yang menyebutkan bahwa pergantian kepala sekolah yang sering terjadi membuat para guru kewalahan

(11)

mengikuti kemauan kepala sekolah mereka. Di samping itu, kepala sekolah sibuk dengan pekerjaan barunya sehingga guru kurang mendapatkan perhatian yang cukup dari kepala sekolah mereka.

Pada umumnya, individu yang memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi adalah individu yang memperoleh dukungan sosial yang baik (Asante, 2012). Penelitian Sumule (2008) menemukan bahwa dukungan sosial secara langsung dapat meningkatkan being, mengurangi akibat stres terhadap well-being dan mengatasi gangguan psikologis akibat dari pengalaman yang menekan. Buchanan dan Bowen (2008) juga menegaskan bahwa dukungan sosial memiliki kontribusi terhadap psychological well-being seseorang. Hasil penelitian Mabekoje (2003) juga menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki kontribusi yang tinggi pada psychological well-being guru di Nigeria.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan hasil preliminary study menunjukkan bahwa para guru di kecematan Andam Dewi dihadapkan pada tantangan dan situasi dimana mereka dijadikan sebagai instrumen politik. Situasi ini membuat mereka merasa terbebani sehingga mereka kurang bersemangat dan tidak fokus dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab mereka. Permasalahan yang dihadapi oleh para guru di kecamatan Andam Dewi dapat menghambat pemenuhan psychological well-being para guru. Psychological well-being guru di kecamatan Andam Dewi diprediksi dipengaruhi oleh faktor internal (efikasi diri) dan eksternal (dukungan sosial atasan). Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah efikasi diri (self-efficacy) dan

(12)

dukungan sosial atasan dapat memprediksi psychological well-being pada guru di kecamatan Andam Dewi.

C. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah self-efficacy (efikasi diri) dan dukungan sosial atasan dapat memprediksi psychological well-being guru di kecamatan Andam Dewi. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah dan memperkaya referensi ilmiah bagi ilmu psikologi, khususnya yang berkaitan dengan psychological well-being guru. Secara praktis, penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yaitu:

1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para guru, secara khusus para guru di kecamatan Andam Dewi, mengenai gambaran dan tingkat psychological well-being mereka. Dengan demikian, mereka dapat mengembangkan efikasi diri mereka sebagai salah satu faktor yang berkontribusi terhadap tingkat psychological well-being mereka.

2. Melalui hasil penelitian ini, para pimpinan atau atasan dan pejabat daerah, secara khusus pejabat pemkab Tapanuli Tengah dapat mengetahui tingkat psychological well-being para guru di kecamatan Andam Dewi. Dengan demikian, mereka dapat berusaha meningkatkan efikasi diri para guru dan dukungan sosial, secara khusus dukungan atasan untuk meningkatkan tingkat psychological well-being para guru demi kemajuan pendidikan.

(13)

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber dan pendukung bagi para peneliti, secara khusus bagi mereka yang tertarik dengan penelitian mengenai psychological well-being.

D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang kesejahteraan psikologis (psychological well-being) telah banyak diteliti, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Fransisca (2005) dengan judul penelitian: Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Dewasa Muda Ditinjau dari Pola Attachment. Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada persepsi individu dewasa muda terkait dengan pola attachement yang diterimanya dari orangtua dan bagaimana pengaruhnya pada kesejahteraan psikologisnya. Perbedaan penelitian Fransisca dengan penelitian ini sangat tampak jelas dari variabel prediktor yang digunakan. Pada penelitian ini, variabel prediktor yang akan memprediksi psychological well-being adalah efikasi diri dan dukungan sosial atasan. Disamping itu, subjek yang digunakan juga berbeda.

Penelitian Salami (2010) dengan judul penelitian: Emotional intelligence, Self-Efficacy, Psychological Well-Being and Students’ Attitudes: Implications for Quality Education. Dalam penelitian ini, peneliti menyertakan 242 mahasiswa dari salah satu universitas di Negeria yang dipilih secara random. Dalam penelitian Salami, psychological well-being dijadikan sebagai variabel prediktor, sementara pada penelitian ini psychological well-being adalah variabel tergantung. Disamping itu, variabel emotional intelegence tidak disertakan dalam penelitian ini. Subjek yang digunakan dalam penelitian Salami berbeda dengan subjek yang disertakan dalam penelitian ini.

(14)

Penelitian Green dan Elliott (2010) dengan judul: Religion, Health, and

Psychological Well-Being. Data diperoleh dari General Social Survey (GSS)

tahun 2006. Peneliti hendak menilai hubungan dari religiusitas pada kesehatan dan kesejahteraan dengan mengontrol kepuasan kerja, kebahagiaan pernikahan dan status ekonomi. Penelitian Green dan Elliott ini berbeda dengan penelitian ini. Perbedaannya tampak dari variabel prediktor yang digunakan.

Penelitian Carnicer dan Calderon (2012) dengan judul penelitian: Coping strategies and psychological well-being among teacher education students. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara strategi koping dan kesejahteraan psikologis mahasiswa pendidikan guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan strategi koping yang berfokus pada problem solving pada mahasiswa pendidikan guru memiliki manfaat pada gejala-gejala depresi, kecemasan dan semua level dari penderitaan psikologis. Sebaliknya, cognitive avoidance coping dihubungkan dengan kehadiran gejala-gejala psikologis yang lebih tinggi yang mengindikasikan tekanan-tekanan. Strategi behavioural avoidance berhubungan negatif dengan kesejahateraan psikologis. Perbedaan penelitian ini adalah variabel prediktor yang digunakan.

Raihana (2012) dengan judul tesisnya: Kesejahteraan psikologis ditinjau dari efikasi diri dan kecerdasan emosi remaja awal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi efikasi diri dan kecerdasan emosi terhadap kesejahteraan psikologis. Jumlah subjek yang disertakan dalam penelitian ini sebanyak 90 remaja awal siswa SMP N X RSBI di Surakarta. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif efikasi diri dan kecerdasan emosi terhadap kesejahteraan psikologis pada remaja awal. Perbedaan penelitian ini adalah variabel prediktor (kecerdasan emosi) dan subjek yang digunakan.

(15)

Rini (2013) dengan judul tesis: Kesejahteraan Psikologis Guru Yang Mendapatkan Sertifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengapa seseorang tertarik menjadi seorang guru dan bagaimana gambaran kesejahteraan psikologis seorang guru sebelum dan sesudah mendapatkan sertifikasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Berdasarkan keseluruhan hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan subjek satu dan dua sebelum dan sesudah sertifikasi cukup baik dilihat dari dimensi-dimensi yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis mereka yang meliputi aspek otonom, penerimaan diri, penguasaan lingkungan, hubungan positif, keterarahan hidup dan pertumbuhan pribadi. Perbedaan penelitian ini adalah metode yang digunakan.

Penelitian Indrawati (2013) dengan judul: Peran Kecerdasan Emosi Dan

Dukungan Sosial Terhadap Kesejahteraan Psikologis Pada Siswa SMP Terbuka.

Perbedaan penelitian yang dilakukan Indrawati dengan penelitian ini adalah variabel kecerdasan emosi dan sumber dukungan sosial serta subjek yang disertakan dalam penelitian ini. Sumber dukungan sosial yang digunakan juga berbeda, yaitu dari orang tua. Sementara pada penelitian ini, dukungan sosial bersumber dari atasan (kepala sekolah).

Dari beberapa penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini tidak memiliki kesamaan persis dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Oleh sebab itu, penelitian ini dapat dipastikan keasliannya.

Referensi

Dokumen terkait

Semen Padang terus berupaya untuk memperkuat budaya kerja unggul, pengelolaan sumber daya manusia yang difokuskan pada program - program peningkatan kapabilitas

Untuk mengetahui keanekaragaman digunakan perhitungan nilai kerapatan jenis dan kerapatan relatif, frekuensi dan frekuensi relatif, penutupan jenis dan penutupan relatif

Dengan penjelasan yang terda- pat di dalam dokumen UKL-UPL mengenai kegiatan usaha dan dampak yang ditimbul- kan, maka pencemaran dan bahaya yang muncul terhadap

Apabila S tidak kompak, dan karena S  merupakan koleksi semua himpunan titik limit di dalam S , maka berdasarkan Teorema 23 S kompak sekuensial, dan sekali lagi menurut

Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh informasih mutu kesegaran ikan roa atau julung-julung yang digunakan sebagai bahan baku ikan asap.. METODE PENELITIAN Tempat

(1) wajib Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi tidak dapat membayar Retribusi sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Wajib

tindakan dari Pemrakarsa dan pemrintah yang berwenang melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan dan oleh karenanya proses penyusunan

Fokus penelitian tesis ini adalah Strategi Kontra Radikalisme Di Kalangan Kaum Muda Muslim Dalam Program Positive & Peace Cyber Activism, yang mana penelitian