JUKEMA
Vol. 6, No. 1, Februari 2020: 43-48
43
DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
PENYAKIT TUBERKULOSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
PIDIE KABUPATEN PIDIE TAHUN 2019
Determinants that are Related to the Events of Tuberculosis Disease in the Pidie
Health Center of Pidie District, Pidie District, 2019
Farrah Fahdhienie
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh, Aceh 23245 farrah.fahdhienie@gmail.com
Received: 1 February 2020/ Accepted: 29 February 2020 ABSTRAK
Latar Belakang: Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang dapat menyerang berbagai organ, termasuk paru-paru. Dimana dampaknya dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis di wilyah kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie tahun 2019. Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dilakukan dengan menggunakan desain case control. Dimana penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie, dengan jumlah sampel
menggunakan perbadingan 1:1 yaitu sebanyak 26 responden. Data dianalisis dengan analisis univariat dan bivariat menggunakan uji logistic regresi. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kejadian tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Pidie sebanyak 26 responden (50%). Pada analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelembaban (p value 0.015) dan jenis kelamin (p value 0.015) dengan
kejadian tuberkulosis. Kesimpulan: Peneliti dapat memberikan kesimpulan bahwa faktor risiko yang memiliki hubungan terhadap kejadian tuberkulosis pada variable kelembaban.
Kata Kunci: Tuberkulosis, Kelembaban, Jenis Kelamin
ABSTRACT
Background: Tuberculosis is an infectious disease that can attack various organs, including the lungs. Where the impact can increase mortality and morbidity. The purpose of this study was to determine the factors associated with the incidence of tuberculosis in the area of Pidie Health Center in Pidie District in 2019. Method: This research was analytic descriptive conducted using a case control design. Where the research was conducted in the working area of Pidie District Health Center, the number of samples used a 1:1 comparison of 26 respondents. Data were analyzed by univariate and bivariate analysis using the logistic regresion tests. Results: The results showed that the percentage of tuberculosis events in the working area of Pidie Community Health Center was 26 respondents (50%). The bivariate analysis showed that there was is a relationship between humidity (p value 0.015) and gender (p value 0.015) with the incidence of tuberculosis. Conclusion: Researcher can conclude that risk factors have an association with the incidence of tuberculosis in humidity variables.
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis,
yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru. TB Paru dapat menularkan melalui udara (percikan dahak pasien TB). Saat seseorang penderita TB Paru batuk, bersin, berbicara atau meludah, akan memercikkan kuman TB atau bacilli ke udara. Orang dapat terkena paparan TB hanya dengan menghirup udara yang mengandung sejumlah kuman TB (Kemenkes RI, 2015).
TB paru memberikan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Mortalitas dan morbiditas meningkat sesuai dengan umur, pada orang dewasa lebih tinggi pada laki-laki. Morbiditas TB lebih tinggi diantara penduduk miskin dan daerah perkotaan jika dibandingkan dengan pedesaan (Chin, 2000). Sejak tahun 1995 program pemberantasan TB paru dilaksanakan secara koordinasi dalam suatu program yang disebut strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) (Kemenkes, 2011).
Laporan WHO tentang kondisi TB Paru di dunia tahun 2018 di Indonesia menunjukkan 301 orang meninggal akibat TB Paru setiap harinya. Setiap tahunnya estimasi kasus TB Paru mencapai 842 ribu namun yang terlaporkan hanya 446.732 kasus. Sementara perkiraan jumlah penderita TB Paru yang resisten obat yaitu sebanyak 12 ribu, namun yang dilaporkan hanya 5.070 kasus. Banyaknya kasus yang
tidak dilaporkan, dinilai akan
mempercepat penyebaran atau penularan penyakit TB ini. Laporan itu juga mencatat penderita TB pada anak-anak mencapai 4.900, sementara tingkat keberhasilan pengobatan mencapai 86% (WHO, 2018).
Seseorang yang terdiagnosis TB Paru dengan status TB Basil Tahan Asam (BTA) positif dapat menularkan sekurang- kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap
tahunnya dan sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB (Kemenkes RI, 2013). Lebih dari 10 juta kasus TB Paru di dunia yang tercatat setiap tahun. TB Paru (penyakit paru kronis) bisa dicegah dan umumnya bisa diobati jika diketahui secara dini.
Data Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie tercatat terdapat kenaikan kasus TB Paru selama 4 (empat) tahun terakhir. Prevalensi TB Paru Kabupaten Pidie tahun 2015 tercatat sebanyak 462 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, 2015). Pada tahun 2016, Kabupaten Pidie terjadi kenaikan kasus TB Paru sebanyak 1 kasus menjadi 463 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, 2016). Di tahun berikutnya kasus TB Paru meningkat menjadi 482 kasus, terjadi kenaikan sebanyak 19 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, 2017). Di tahun 2018 jumlah kasus TB Paru terjadi lagi kenaikan menjadi 512 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, 2018).
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan menggunakan metode deskriptif analitik
dengan desain case control. Penelitian ini
dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie, menggunakan data primer.
Pengumpulan data dilakukan pada Bulan September 2019. Dimana data yang
dikumpulkan tersebut, kemudian
dilakukan analisis univariat dan bivariat dengan uji regresi logistik menggunakan STATA 12.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita penyakit TB Paru BTA (+) yang tercatat (berobat) pada
Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie
sebanyak 26 orang berdasarkan data Januari – Desember 2018. Dimana sampel yang diambil menggunakan total sampling dengan menggunakan perbandingan 1 : 1. Sehingga yang dijadikan sampel dalam penelitian sebesar 26 responden.
JUKEMA
Vol. 6, No. 1, Februari 2020: 43-48
45
HASIL
Karakteristik Responden
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tuberkulosis dan Faktor Risiko Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2019
No. Variabel Kasus Kontrol
n % n %
1. Tuberkulosis 26 50 26 50
Faktor Risiko 2. Kelembaban
Memenuhi Syarat 9 34.62 18 69.23
Tidak Memenuhi Syarat 17 65.38 8 30.77
3. Kepadatan Hunian
Memenuhi Syarat 26 50 26 50
4. Riwayat Kontak Serumah
Tidak Ada 22 84.62 22 84.62 Ada 4 15.38 4 15.38 5. Pendapatan UMR 13 50 15 57.69 Tidak UMR 13 50 11 42.31 6. Jenis Kelamin Perempuan 9 34.62 18 69.23 Laki-laki 17 65.38 8 30.77 7. Umur Kurang Berisiko 7 26.92 8 30.77 Berisiko 19 73.08 18 69.23 Karakteristik Responden 8. Status Kepemilikan Rumah
Rumah Sendiri 4 15.38 8 30.77
Rumah Sewa 9 34.62 12 46.15
Rumah Keluarga 13 50 6 23.08
9. Jumlah Anggota Rumah Tangga
Sedikit 10 38.46 14 53.85
Banyak 16 61.54 12 46.15
10. Status Pekerjaan
Bekerja 22 84.62 12 46.15
Tidak Bekerja 4 15.38 14 53.85
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa proporsi responden mengalami tuberculosis (TB) sebesar 50%. Jika dilihat berdasarkan faktor risiko terjadinya TB, pada kelompok kasus lebih dominan pada tingkat kelembaban yang tidak memenuhi syarat sebesar 65.38%, kepadatan hunian yang memenuhi syarat sebesar 50%, tidak ada riwayat kontak serumah sebesar 84.62%, pendapatan tidak sesuai UMR sebesar 50%, jenis kelamin laki-laki
sebesar 65.38%, dan umur berisiko sebesar 73.08%.
Jika dilihat berdasarkan karakteristik responden, responden pada kelompok kasus memiliki status kepemilikan rumah sewa sebesar 34.62% dengan jumlah anggota rumah tangga pada kategori banyak sebesar 61.54%. Sedangkan status pekerjaan responden lebih banyak yang bekerja sebesar 84.62%.
46
Tabel 2. Hubungan Kelembaban, Kepadatan Hunian, Riwayat Kontak Serumah, Pendapatan, Jenis Kelamin, dan Umur dengan Kejadian Tuberkulosis
di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2019
No. Faktor Risiko
Tuberkulosis Total P Value OR (95% CI) Kontrol Kasus N % N % N % 1. Kelembaban Memenuhi Syarat 18 69.23 9 34.62 27 51.92 0.015 ( 1.33-13.56) 4.25 Tidak Memenuhi Syarat 8 30.77 17 65.38 25 48.08
2. Kepadatan Hunian
Memenuhi Syarat 26 50 26 50 52 100
- -
Tidak Memenuhi Syarat - - - -
3. Riwayat Kontak Serumah
Tidak Ada 22 84.62 22 84.62 44 84.62 1 (0.22-4.51) 1 Ada 4 15.38 4 15.38 8 15.38 4. Pendapatan UMR 15 57.69 13 50 28 53.85 0.578 (0.45-4.07) 1.36 Tidak UMR 11 42.31 13 50 24 46.15 5. Jenis Kelamin Perempuan 18 69.23 9 34.62 27 51.92 0.015 (1.33-13.56) 4.24 Laki-laki 8 30.77 17 65.38 25 48.08 6. Umur Kurang Berisiko 8 30.77 7 26.92 15 28.85 0.760 (0.36-4.01) 1.20 Berisiko 18 69.23 19 73.08 37 71.15
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis ada pada kelembaban dengan nilai p value 0.015,
dengan nilai OR 4.25. Artinya, responden yang memiliki rumah dengan tingkat kelembaban tidak memenuhi syarat memiliki risiko 4.25 kali lebih besar mengalami tuberkulosis dibandingkan dengan responden yang memiliki rumah dengan tingkat kelembaban yang memenuhi syarat. Jika dilihat berdasarkan persentasenya, responden yang pernah mengalami tuberkulosis dengan tingkat kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat lebih tinggi (65.38%) dibandingkan
dengan responden dengan tingkat
kelembabapan yang memenuhi syarat (34.62%).
Selain itu, jenis kelamin juga memiliki hubungan terhadap kejadian tuberkulosis dengan nilai p value 0.015, dengan nilai OR 4.24. Artinya, responden berjenis kelamin laki-laki memiliki risiko 4.24 kali lebih besar mengalami tuberkulosis dibandingkan
dengan responden berjenis kelamin perempuan. Jika dilihat berdasarkan persentasnya, responden yang mengalami tuberkulosis lebih banyak berjenis kelamin
laki-laki (65.38%) dibandingkan
perempuan (34.62%). Sedangkan faktor risiko lainnya tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian tuberkulosis.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian tuberkulosis dengan p value 0.015.
Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Novita dkk. (2016) menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat kelembaban dengan kejadian tuberkulosis dengan nilai p value 0.039.
Jika dilihat berdasarkan nilai odd ratio
dengan nilai 3.801 dengan demikian rumah tinggal dengan kelembaban tinggi berisiko 3.8 kali bagi penghuninya terkena TB paru.
JUKEMA
Vol. 6, No. 1, Februari 2020: 43-48 menyebabkan kelembaban di dalam rumah
yang tinggi. Lingkungan dengan
kelembaban yang tidak memenuhi syarat merupakan media yang baik bagi pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis
(Kemenkes, 2011).
Komponen yang harus dimiliki oleh rumah sehat salah satunya adalah dinding rumah yang kedap air yang berfungsi untuk menyangga dan menahan atap, menahan air dan air hujan, melindungi panas dan debu dari luar, serta menjaga kerahasiaan penghuninya (Keman, 2005).
Menurut asumsi peneliti, kelembaban rumah memiliki hubungan dengan kejadian tuberkulosis karena keadaan rumah yang kurang baik dan hunian ada yang tidak sesuai dengan luas ruangan. Sehingga hal tersebut memicu untuk terjadinya kejadian tuberkulosis.
Jika dilihat berdasarkan variable jenis kelamin memiliki hubungan dengan kejadian tuberkulosis dengan p value 0.015.
Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Jendra dkk. (2015) menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian penyakit TB paru di Desa Wori Kecamatan Wori.
Menurut asumsi peneliti laki-laki berisiko lebih besar untuk terkena penyakit TB paru di bandingkan dengan perempuan. Dimana laki-laki lebih banyak yang merokok dibandingkan dengan perempuan. Merokok dapat menurunkan imunitas tubuh sehingga lebih mudah terkena penyakit TB paru.
Sedangkan hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa, variable lain seperti status hunian rumah, kepadatan hunian, dan riwayat kontak serumah tidak memiliki hubungan terhadap kejadian tuberkulosis. Menurut asumsi peneliti hal tersebut disebabkan oleh kebanyakan penderita tuberkulosis tidak disebabkan oleh faktor tersebut. Sehingga status hunian rumah, kepadatan hunian, dan riwayat kontak serumah tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian tuberkulosis.
Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Anggie (2013) menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian ruang tidur dengan kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang.
Menurut asumsi peneliti, tiap kamar rata-rata dihuni oleh 2 orang dengan luas kamar yang sebagian besar sudah memenuhi syarat yaitu 8 m2 atau lebih.
Dengan demikian subjek kasus maupun pembanding mempunyai peluang yang sama untuk terpapar dan menderita TB paru.
Selain itu, hal yang sama juga ditunjukkan pada variable riwayat kontak serumah yang dilakukan oleh Ratih (2015) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian TB anak, hal tersebut disebabkan karena adanya kebiasaan hidup sehat yang sudah ditanamkan dalam keluarga.
Menurut asumsi peneliti, riwayat kontak serumah tidak memiliki hubungan terhadap kejadian tuberkulosis karena sebagian besar responden tidak ada keluarga yang tinggal dengan rumah yang sama dengan status terjangkit penyakit tuberkulosis. Sehingga tuberkulosis yang terjadi, tidak secara langsung disebabkan oleh riwayat kontak serumah dengan keluarga penderita.
Status hunian juga tidak memiliki hubungan terhadap tuberkulosis karena responden yang menjadi kasus dalam penelitian kebanyakan tinggal di rumah sendiri, memiliki pendapatan sesuai dengan UMR, dan jumlah anggota yang sedikit. Sehingga dalam penelitian ini, status hunian tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadi tuberkulosis.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Kejadian tuberkulosis banyak
disebabkan oleh berbagai faktor risiko. Dalam penelitian yang dilakukan, faktor risiko yang berhubungan terhadap kejadian tuberkulosis pada variabel kelembaban dan jenis kelamin. Sedangkan variabel lainnya
48 tidak memiliki hubungan yang signifikan.
Saran
Bagi masyarakat agar memperhatikan tingkat kelembaban rumah agar memenuhi syarat misalnya dengan membuat fentilasi yang sesuai dengan ukuran ruangan, sehingga udara dan pencahayaan yang masuk cukup dan sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, perlu adanya dukungan dari petugas kesehatan dan stakeholder terkait
agar memberikan pengetahuan yang cukup terkait kelembaban yang memenuhi syarat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anggie, M. R., Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru, Unnes Jurnal of Public Health; 2013, Vol. 2,
No. 1, p.p. 1-9.
2. Chin, J., Manual Pemberantasan Penyakit Menular ed 17, Jakarta:
Infomedia; 2000.
3. Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie,
Laporan Tahunan Kasus
Tuberkulosis, Pidie: Dinas Kesehatan;
2016.
4. Jendra, F. J. D., Margareth, R. S., dan Grace, D. K., Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis Kelamin, dan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Penyakit TB Paru di Desa Wori Kecamatan Wori, Jurnal Kedokteran Komunitas dan Topik; 2015, Vol. 3,
No. 2, p.p. 57-65.
5. Keman, S., Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Permukiman, Jurnal Kesehatan Perumahan UNAIR;
2005, Vol. 2, No. 1, p.p. 29–43.
6. Kemenkes, RI., Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,
Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011.
7. Kemenkes RI., Profil kesehatan Indonesia 2014, Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI; 2013.
8. Kemenkes RI., Tuberkulosis:
Temukan, Obati Sampai Sembuh,
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015.
9. Novita, I., Nor, I., dan Choirol, A.,
Hubungan Tingkat Kelembaban Rumah Tinggal dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kecamatan Tulis Kabupaten Batang, Unnes Jurnal of Public Health; 2016,
Vol. 5, No. 3, p.p. 214-220.
10. Puspitasari, R. A., Saraswati, D. L., dan Hestiningsih, R., Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Anak (Studi di Balai Kesehatan Paru Masyarakat), J Kesehatan Masyarakat; 2015, [cited
2017 Apr 24]; Vol. 3, No. 1, p.p. 2356–
3346. Available from:
http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/ jkm.
11. Word Health Organization (WHO),