THRESHOLD
SITI KOMARIYAH
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Flores Berdasarkan Metode Progressive Threshold. Dibimbing oleh TOTOK HESTIRIANOTO.
Metode multi target dapat digunakan untuk usaha peningkatan akurasi pendugaan target di suatu perairan. Hal ini diyakini karena target (baik ikan maupun plankton) di perairan cenderung akan membentuk kelompok sesuai jenisnya. Integrasi data hidroakustik dengan menggunakan progressive threshold mampu mengungkapkan kelompok target didalam satu satuan integrasi
hidroakustik atau ESDU (Hestirianoto 2008).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menduga sebaran dan mengetahui kelompok Sa di Laut Flores. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data echogram hasil survei yang dilakukan oleh BRPL (Balai Riset Perikanan Laut). Pengambilan data dilakukan pada tanggal 13 sampai 27 Oktober 2005 di Laut Jawa hingga Laut Flores, sedangkan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2011. Data yang diolah hanya pada wilayah Laut Flores. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Akustik, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB dan Laboratorium Akustik BRPL, Jakarta Utara. Data diolah menggunakan Echoview 4.0, Matlab dan Golden Software Surfer.
Berdasarkan hasil integrasi threshold data akustik di perairan Laut Flores terdapat 2 pucak nilai threshold yang paling dominan, yaitu yaitu -73,5 dB dan -60 dB. Sehingga range threshold yang digunakan untuk melihat sebaran Sa adalah -76,5 dB sampai -70,5 dB dan -63 dB sampai -57 dB. Sebaran Sa dilihat berdasarkan leg, sebaran Sa banyak menyebar pada leg 1, 2, 3, 5 dan 7. Pada leg 4 dan 6 jarang terlihat sebaran Sa. Berdasarkan grid kedalaman, sebaran Sa banyak menyebar dari kedalaman 6 – 30 m dan 80 – 130 m. Pada grid kedalaman 40 – 70 m dan 140 m sebaran Sa mulai berkurang dan pada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa sama sekali.
Kelompok Sa paling banyak ditemukan pada leg 1, leg 3, leg 4 dan leg 6, berturut-turut 9, 11, 7, dan 5 kelompok Sa. Pada leg 2 dan leg 5, hanya ditemukan 1 kelompok Sa. Pada umumnya panjang horizontal kelompok Sa lebih panjang dari pada panjang vertikalnya. Panjang horizontal kelompok Sa berkisar antara 309 - 5243 m, dan panjang vertikal Sa berkisar antara 3 – 40 m. Kisaran perbandingan antara panjang horizontal Sa dengan panjang ESDU adalah 293 – 8952 ℅. Artinya bahwa panjang horizontal Sa yang ditemukan pada setiap leg memiliki panjang 293 – 8952 kali lebih besar dari panjang ESDU.
THRESHOLD
SITI KOMARIYAH
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
PENENTUAN SEBARAN Sa (
Backscattering Area
) DI LAUT
FLORES BERDASARKAN METODE
PROGRESSIVE
THRESHOLD
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, November 2011
SITI KOMARIYAH C54070003
© Hak cipta milik Siti Komariyah, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
Judul Skripsi : PENENTUAN SEBARAN Sa (Backscattering Area) DI LAUT FLORES BERDASARKAN METODE
PROGRESSIVE THRESHOLD Nama Mahasiswa : Siti Komariyah
Nomor Pokok : C5407003
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc. NIP. 19620324 1986603 1 001
Mengetahui,
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 2 003
Skripsi ini berjudul “PenentuanSebaran Sa (Backscatteting Area) di Laut Flores Berdasarkan Metode Progerssive Threshold”. Penulis mengambil judul ini karena ingin mengetahui sebaran Sa yang terdapat di Laut Flores. Data yang Penulis gunakan berupa data sekunder yang diambil pada tahun 2005 oleh Balai Riset Perikanan Laut (BRPL), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Data tersebut diolah menggunakan Echoview yang nantinya akan diperoleh informasi berupa sebaran dan kelompok Sa di Laut Flores.
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar sarjana bidang kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak dalam
penyusunannya. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada para Dosen, terutama Dosen Pembimbing dan Dosen lainnya yang
bersedia melayani Penulis dalam diskusi. Kepada pihak BRPL yang mengizinkan Penulis menggunakan data serta sarana dan prasarana di BRPL sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada semua teman-teman atas kebersamaanya selama ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi Penulis pribadi dan pembaca.
Bogor, November 2011 Siti Komariyah
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan Penelitian ... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1. Metode Hidroakustik ... 3
2.1.1. Prinsip kerja metode hidroakustik ... 3
2.1.2 Split beam system ... 4
2.2. Progressive threshold ... 5
2.3. Area Backscattering Coefficients (Sa) ... 7
2.4. Volume Backscattering Strength (Sv) ... 8
2.5. Target Strength ... 9
2.6. Zooplankton ... 12
2.7.Ikan pelagis ... 13
2.8. Kondisi Umum Laut Flores ... 14
2.9. ARLINDO di Laut Flores ... 14
3. BAHAN DAN METODE ... 17
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 17
3.2. Desain Survei ... 17
3.3. Instrumen dan Peralatan Penelitian ... 19
3.4. Kapal Survei ... 19
3.5. Alat Pemrosesan Data ... 19
3.6. Pengolahan Data ... 20
3.6.1. Progressive threshold ... 20
3.6.2. Pengolahan data dengan Surfer dan Matlab ... 23
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
4.1. Integrasi Threshold ... 25
4.2. Sebaran Sa (Backscattering Area) ... 27
4.2.1. Sebaran Sa pada range threshold -76,5 dB sampai -70,5 dB ... 27
4.2.2. Sebaran Sa tiap grid kedalaman kelipatan 10 m ... 31
4.2.3. Sebaran Sa pada range threshold -63 dB sampai -57 dB 38
4.3. Kelompok Sa ... 38
5.1. Kesimpulan ... 42
5.2. Saran ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 44
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Target strength isada krill berdasarkan beberapa frekuensi ... 11
2. Ukuran dan nilai TS beberapa jenis zooplankton berdasarkan pada frekuensi 200 kHz ... 11
3. Hasil integrasi per ESDU untuk beragam level threshold ... 21
4. Laju pertambahan nilai ... 21
5. Hasil integrasi pada 50 file data dengan threshold berjenjang ... 25
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Prinsip kerja metode hidroakustik ... 4
2. Bentuk split beam dan fullbeam transduser ... 5
3. Fungsi integrator threshold pada tiga ukuran target yang berbeda ... 6
4. Diagram untuk menurunkan ekspresi untuk target strength ... 10
5. Grafik target strength krill ... 11
6. Arus Lintas Indonesia ... 15
7. Peta lokasi penelitian dan track sounding ... 18
8. Contoh kurva laju pertambahan nilai Sa beberapa ESDU ... 22
9. Diagram alir pengolahan data ... 23
10. Grafik frekuensi kemunculan puncak threshold semua file data ... 26
11. Sebaran Sa pada Leg 1 ... 27
12. Sebaran Sa pada Leg 2 ... 28
13. Sebaran Sa pada Leg 3 ... 28
14. Sebaran Sa pada Leg 4 ... 28
15. Sebaran Sa pada Leg 5 ... 29
16. Sebaran Sa pada Leg 6 ... 29
17. Sebaran Sa pada Leg 7 ... 30
18. Sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m ... 31
19. Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m ... 32
20. Sebaran Sa pada grid kedalaman 30 m ... 32
21. Sebaran Sa pada grid kedalaman 40 m ... 33
23. Sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m ... 34
24. Sebaran Sa pada grid kedalaman 70 m ... 34
25. Sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m ... 35
26. Sebaran Sa pada grid kedalaman 90 m ... 35
27. Sebaran Sa pada grid kedalaman 100 m ... 36
28. Sebaran Sa pada grid kedalaman 110 m ... 36
29. Sebaran Sa pada grid kedalaman 120 m ... 36
30. Sebaran Sa pada grid kedalaman 130 m ... 37
31. Sebaran Sa pada grid kedalaman 140 m ... 37
32. Sebaran Sa pada grid kedalaman 150 m ... 38
33. Grafik sebaran Sv keseluruhan di perairan Laut Flores (leg 1 – leg 7) depth 6 – 150 m ... ... 41
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Gambar dan spesifikasi kapal riset Bawal Putih Spesifikasi kapal riset Bawal Putih …. .... ... 47
2. Contoh Data Sa hasil eksport dongle pada grid kedalaman 7 – 20 m ... 48
3. Sebaran Sa setiap 1 grid kedalaman (6 – 150 m) ... 52
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Perairan laut merupakan habitat alam yang sangat kaya, di dalamnya terdapat berbagai jenis biota yang mendukung kehidupan manusia. Biota-biota tersebut misalnya adalah plankton, ikan dan lain sebagainya.
Metode hidroakustik dapat digunakan untuk menduga target yang terdapat di perairan laut, misalnya pendugaan sebaran plankton, ikan dan lain sebagainya. Metode hidroakustik dapat menduga sebaran target secara efektif dan real time. Menurut Thorne at al. (1987) in Wijopriono et al. (2001) beberapa keunggulan komparatif pendugaan sebaran ikan dengan metode hidroakustik adalah estimasi stock dapat dilakukan secara langsung, memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi, pendugaan terhadap daerah yang luas dengan waktu yang relatif singkat, pemrosesan data dapat dilakukan secara in-situ dan real time. Selain itu, pada metode ini menggunakan gelombang suara sehigga tidak berbahaya bagi kelestarian sumberdaya dan lingkungan.
Integrasi data hidroakustik saat ini hanya menggunakan suatu metode, yaitu untuk semua wilayah dan waktu studi hanya menggunakan level threshold maksimum dan minimum yang tetap (fixed threshold level) (Hestirianoto 2008). Padahal kita ketahui bahwa pada suatu perairan belum tentu memiliki
karakteristik yang sama. Metode multi target dapat digunakan untuk usaha peningkatan akurasi pendugaan target di suatu perairan. Hal ini diyakini karena target di perairan cenderung akan membentuk kelompok sesuai jenisnya. Integrasi hidroakustik dengan menggunakan progressive threshold mampu
mengungkapkan kelompok target didalam satu satuan integrasi hidroakustik atau ESDU (Hestirianoto 2008).
Potensi sumberdaya laut di perairan Laut Flores cukup tinggi, terutama ikan pelagis kecil. Menurut Mallawa (2008) potensi ikan pelagis kecil di perairan Selat Makasar dan Laut Flores sekitar 65,12% dari perkiraan potensi yang ada. Pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan Laut Flores terutama ikan pelagis belum banyak digali (under exploited), pemanfaatan ikan pelagis kecil masih dibawah 50% (Mallawa 2006). Hal ini diduga karena belum banyaknya informasi terkait sebaran ikan perairan Laut Flores.
Penelitian yang telah dilakukan terkait dengan progressive thresholding adalah membedakan larva insek (Chaoborus sp.) dengan juvenil ikan (Eckmann 1998), melihat sebaran spasio temporal volume backscetteing strength (Sv) ikan demersal menggunakan metode progressive thresholding (Prasetyo 2007) dan melihat kelimpahan ikan di pantai sumur Pandeglang dengan metode
progressive thresholding (Hestirianoto 2008).
1.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian adalah
1) Melihat sebaran Sa di perairan Laut Flores dengan menggunakan metode
progressive thresholding.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Metode Hidroakustik
2.1.1. Prinsip Kerja Metode Hidroakustik
Hidroakustik merupakan ilmu yang mempelajari gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium, dalam hal ini mediumnya adalah air. Data hidroakustik merupakan data hasil estimasi echo counting dan echo integration melalui proses pendeteksian bawah air, sehingga dalam akustik proses
pembentukan gelombang suara dan sifat-sifat perambatannya dibatasi oleh air. Berdasarkan pemancaran gelombang suara, sistem akustik dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu echosounder (sistem pancar vertikal) dan sonar (sistem pancar horizontal) (Burczynsky 1982).
Proses pendeteksian bawah air adalah sebagai berikut:
1) Transmitter menghasilkan listrik dengan frekuensi tertentu, kemudian disalurkan ke transduser.
2) Transduser akan mengubah energi listrik menjadi suara, kemudian suara
tersebut dalam berbentuk pulsa suara dipancarkan dengan satuan ping.
3) Suara yang dipancarkan tersebut akan mengenai objek, kemudian suara itu
akan dipantulkan kembali oleh obyek dalam bentuk echo dan kemudian diterima kembali oleh tranduser.
4) Echo yang diperoleh tersebut diubah kembali menjadi energi listrik di transduser kemudian diteruskan ke receiver.
5) Pemrosesan sinyal echo dengan menggunakan metode echo integration.
strength, scattering volume, densitas ikan, batimetri, panjang ikan, lapisan dasar perairan dan dapat diaplikasikan untuk kegiatan lainnya.
Prinsip kerja metode hidroakustik menggunakan echosounder dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Prinsip kerja metode hidroakustik (MacLennan dan Simmonds 2005).
2.1.2. Split Beam System
Split Beam System menggunakan receiving transducer yang dibagi dalam empat kuadran, yaitu fore, alf, port dan starboard transducer. Transmisi pulsa dilakukan oleh semua bagian transducer secara bersamaan. Proses penerimaan echo, jika nilai target yang terdeteksi terletak tepat pada pusat dari beam suara maka echo dari target akan dikembalikan dan diterima ke empat transduser secara bersamaan. Proses ini tidak berlaku jika nilai target yang terdeteksi tidak tepat pada pusat beam suara, maka echo yang kembali akan diterima terlebih dahulu oleh bagian transducer yang paling dekat.
Keempat kuadran transducer diberi label a sampai d. Sudut θ pada satu bidang diperoleh dari penjumlahan sinyal (a+c) dibandingkan dengan jumlah sinyal (b+d). Sedangkan sudut φ diperoleh dari beda fase antara (a+b) dan (c+d). Kedua sudut tersebut dapat membedakan arah target terhadap sumbu pusat dari pusat beam. Ilustrasi ini terlihat pada Gambar 2 (MacLennan dan Simmonds 2005).
Gambar 2. Bentuk split beam dan fullbeam transduser (MacLennan dan Simmonds 2005).
2.2. Progressive Threshold
Threshold merupakan suatu ambang nilai yang berfungsi untuk membatasi atau menapis pantulan suara yang terekam pada echogram. Progressive threshold mirip dengan proses penyaringan, yaitu menyaring nilai nilai-nilai yang ingin ditampilkan. Penggunaan beberapa threshold juga berfungsi untuk
menghilangkan reverberasi atau unwanted target. Jika ingin melihat ikan, maka yang termasuk reverberasi adalah plankton dan pertikel-partikel yang harus dihilangkan.
Menurut Ekcmann (1998) thresholding biasanya digunakan untuk menghilangkan kontribusi yang tidak diinginkan seperti noise pada integrator output. Sejak thresholding mendiskriminasikan target kecil, teknik ini tidak dapat digunakan untuk studi kuantitatif dari target kecil dalam cakupan yang lebih besar. Sehingga Ecmann melakukan pengalokasian untuk melihat kelimpahan target yang kecil. Ketika Sa diplotkan terhadap integrator threshold maka akan terlihat sebuah fungsi asymptotic Bertalanffy (Gambar 3). Jika kemiringan dari kurva yang dihasilkan menurun pada beberapa intermediate threshold level dan kemudian naik kembali sebelum dataran tinggi akhir tercapai, maka integrator output dapat dialokasikan untuk dua kelompok target sesuai dengan prinsip linearitas pada akustik. Nilai Sa maksimum untuk target yang lebih besar dan nilai Sa minimum utuk target yang lebih kecil (Ekcmann 1989).
Gambar 3. Fungsi integrator threshold pada tiga ukuran target yang berbeda (Ekcmann 1998).
2.3. Area Backscattering Coefficients (Sa)
Area Backscattering Coefficients (Sa) adalah ukuran energi yang dikembalikan dari lapisan antara dua kedalaman pada kolom perairan
(MacLennan dan Simmonds 1992). Sa didefinisikan sebagai integral dari Sv yang
dihubungkan dengan kedalaman yang melewati lapisan. Sa merupakan parameter penting dalam akustik perikanan karena sebagian besar dari echo-integrators menyediakan data integrasi dengan satu atau lebih lapisan, karena Sa adalah hasil dari Sv dan jarak, maka Sa tidak berdimensi. Hal ini yang membuat Sa sulit untuk memperlihatkan nilai numerik dengan jelas saat faktor skala yang berbeda diterapkan. Satuan Internasional (SI) unit dasar untuk Sa harus ditulis sebagai
(m2/m2) yang berarti integrasi σbs per meter kuadrat dari lapisan permukaan.
Banyak versi dari Sa yang biasa digunakan, khususnya Nautical Area Scattering Coefficient (NASC) untuk simbol Sa. Walaupun Sa tidak berdimensi, sangat penting sekali untuk menunjukkan skala saat mengutip nilai numeric (McLennan dan Simmonds 2005).
Area Backscattering Coefficient (ABC) dan Nautical Area Scattering Coefficient (NASC) adalah nilai scattering area pada scattering volume. Keduanya dihitung ketika mengintegrasikan suatu region, cell atau selection dan tersedia untuk eksport sebagai variabel analisis ketika diintegrasikan oleh region atau cell. NASC identik dengan sA seperti yang digunakan
oleh Simrad dan Area Backscattering Coefficient (ABC) diskalakan dengan 4π dan 1 mil laut persegi (MacLennan et al. 2002).
ABC (m2/m2) dihitung sebagai berikut:
- ……….. (1)
dimana Sv : Rata-rata volume backscattering strength dari domain
yang terintegrasi (dB re 1 m2/m3).
T : Rata-rata ketebalan dari domain yang terintegrasi (m)
NASC (m2/nmi2) dihitung sebagai berikut:
!"#$%
!"#$%
!"#$% ………..…… (2)
dimana 4π : Steradians dalam bola mengkonversi backscattering
cross-section menjadi scattering cross-section. 1852 : Meter per mil laut (m/nmi)
Sv : Volume hamburan balik kekuatan rata-rata dari domain
yang terintegrasi (dB re1 m2/m3).
T : Rata-rata ketebalan dari domain yang terintegrasi.
ABC : Luas hamburan balik Koefisien (m2/m2).
2.4. Volume backscattering strength (Sv)
Volume backscattering strength (Sv) dalam bentuk linier diperlihatkan padapersamaan berikut :
Sv = n.Ts ……… (3)
dimana : Sv : Nilai linier dari backscttering volume
n : Densitas
Ts : Target strength.
ping menggambarkan densitas dari kawanan ikan yang sebenarnya. Namun, untuk beberapa kawanan ikan yang berada dalam satu lintasan survei yang di kenai pancaran beam, Sv yang diperoleh tidak selalu menggambarkan secara langsung densitas beberapa kawanan ikan tersebut. Hal ini disebabkan karena didalam beam terdapat ruang kosong (tidak terdapat kawanan ikan) untuk menggambarkan kawanan besar ikan. Akibat ketidakmenentuan ini, Sv yang diperoleh setiap 1 ping sering disebut juga backscattering volume mentah
(raw Sv) (Kang et al. 2002).
Permasalahan ini dapat dikurangi dengan metode integrasi echo dimana setiap Sv beberapa kawanan ikan dirata-ratakan untuk mendapatkan mean volume backscattering strength (MVBS) atau rata-rata Sv . MVBS akan menggambarkan densitas rata-rata kawanan ikan dari beberapa kawanan besar ikan dalam bentuk integrasi sel (Kang et al. 2002).
2.5. Target Strenght
Target strength (TS) merupakan faktor penting dalam pendugaan stok ikan dengan metode akustik. Menurut Kinsler et al. (2000) ketika sebuah
gelombang akustik mengenai sebuah target dengan intensitas I (r), maka akan berhamburan ke segala arah, sebagian akan di kirim ke receiver. Sejauh receiver yang bersangkutan, target yang telah dihasilkan (walaupun oleh refleksi) oleh sinyal akustik dengan sumber kekuatan yang oleh ekstrapolasi sinyal yang tersebar kembali dengan jarak r' = 1 m dari pusat target akustik (Gambar 4).
Target strength suatu objek ditentukan terutama oleh ukuran, bentuk, konstruksi, orientasi yang berkaitan dengan sumber dan penerima, serta frekuensi incident sound (Kinsler et al. 2000).
Gambar 4. Diagram untuk menurunkan ekspresi untuk target strength
TS didefinisikan sebagai rasio antara intensitas gelombang yang mengenai
target (Ii ) dan intensitas gelombang yang dihamburbalikkan (Ir) pada jarak 1
meter (Sawada et al. 1999). TS dapat diformulasikan menjadi persamaan: Ti = Ir / Ii , r = 1 m ... (4)
dimana TSi : Intensitas target strength (dB)
I r : Intensitas suara yang dipantulkan diukur pada jarak 1
meter dari target.
I i : Intensitas suara yang dipancarkan mengenai target
Menurut MacLennan dan Simmonds (2005) TS merupakan backscattering cross-section dari target yang mengembalikan sinyal dan diformulasikan dalam
persamaan:
TS = 10 log10(σbs)
= 10 log ( σps / 4π ) ... ... (5)
Setiap target yang dikenai sinyal akustik akan memberikan hamburan yang berbeda-beda, sehingga nilai TSnya juga berbeda. Menurut Mitson (1983) nilai
target strength dipengaruhi oleh ukuran, struktur dan anatomi, serta bentuk tubuh. Tabel 1 dan 2 serta Gambar 5 merupakan nilai target strength krill dari
beberapa para penelitian.
Tabel 1. Target strength isada krill berdasarkan beberapa frekuensi.
Frequensi TSmax (dB) TShovering (dB) TStotal (dB) 50 kHz -88,6 -96,4 -93,6 120 kHz -74,7 -89,5 -83,3 200 kHz -68,4 -88,5 -79,2
Sumber: Miyashita et al. (1998).
Tabel 2. Ukuran dan nilai TS beberapa jenis zooplankton berdasarkan pada frekuensi 200 kHz Spesies name L (mm) TS (dB) Ka Neocolamus cristatus 7,0 -75,0 0,49 Neomysis kadiakensis 18,5 -77,1 0,61 Heptacarpus stylus 20,2 -80,7 0,96 Cragon alba 15,1 -60,4 0,85
Sumber: Demer dan Martin (1995).
Berdasarkan penelitian Arnaya (2005) di Samudra Hindia khususnya di perairan Jawa, Bali dan Lombok, nilai target strength ikan pelagis berkisar antara -57 dB sampai -34 dB. Nilai target strength ikan pelagis di perairan Selat Sunda berkisar antara -50 dB sampai -32 dB (Moniharapon 2009).
2.6. Zooplankton
Zooplankton merupakan konsumen pertama yang memanfaatkan produksi primer yang dihasilkan fitoplankton. Peranan zooplankton sebagai mata rantai antara produsen primer dengan karnivora besar dan kecil dapat mempengaruhi kompleksitas rantai makanan dalam ekosistem perairan. Zooplankton seperti halnya organisme lain hanya dapat hidup dan berkembang dengan baik pada kondisi perairan yang sesuai seperti perairan laut.
Dominansi zooplankton digolongkan menjadi 2, yaitu mikro zooplankton
(40 – 200 µm) dan makro zooplankton (lebih dari 200 µm). Contoh mikro
zooplankton adalah naupalus dan rotifer sedangkan contoh makro zooplankton adalah cladocera dan copepod. Cladocera mendominasi hampir 60% dari total zooplankton (Hwang dan Health 1999).
Caleonoid copepod dan euphausid (krill) secara umum mendominasi produksi sekunder perairan laut di dunia (Martin 1998). Menurut Steel (1976) in Lytle dan Maxwell (1983) densitas numerik zooplankton umumnya terdistribusi tidak homogen dalam mediumnya, baik secara horizontal maupun vertikal. Akibat tidak homogennya distribusi zooplankton inilah secara umum dikatakan sebagai bagian-bagian yang terpisah.
Biomassa krill sebagian besar terkonsentrasi di atas 150 m. Miller dan Hampton (1989) in Hewitt dan Demer (1996) memperkirakan bahwa 40%
mungkin terkonsentrasi di 5 m teratas di malam hari.
2.7. Ikan Pelagis
Ikan pelagis adalah organisme yang mampu berenang melawan arus di perairan terbuka. Pada umumnya ikan ini hidup bergerombol. Densitas ikan pelagis dekat permukaan lebih besar daripada di perairan yang lebih dalam,
kecuali pada daerah yang kaya zat hara akibat upwelling (Amin at al 1989).
Sebaran ikan pelagis dipengaruhi oleh lingkungan, ikan ini suka hidup di daerah yang masih mendapat sinar matahari (daerah eufotik) dengan kisaran suhu
antara 28 oC – 30 oC. Jika intensitas cahaya tinggi (siang hari), ikan turun sampai
kedalaman 12 – 22 m. Namun pada malam hari ikan menyebar merata di kolom air (Laevastu dan Hayes 1981).
Ikan pelagis dibagi dalam dua kelompok, yaitu ikan pelagis besar dan pelagis kecil. Jenis ikan pelagis besar yang terdapat di perairan Indonesia antara lain: mandidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), ikan pedang (Xipias gladius), ikan layaran (Istiophorus platyterus), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), dan lain-lain. Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya neritik yang penyebarannya terutama di perairan dekat pantai, didaerah terjadinya proses upwelling dan poorly behaved karena makanan utamanya adalah plankton sehingga kelimpahannya sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar sehingga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpa di perairan Indonesia. Penyebaran ikan pelagis kecil meliputi seluruh wilayah perairan Indonesia, namun dominasi ikan pelagis tertentu pada perairan tertentu
dapat terjadi (Mallawa 2006).
2.8. Kondisi Umum Laut Flores
Laut Flores adalah laut yang terdapat di sebelah utara Pulau Flores. Laut ini juga menjadi batas alami antara Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Provinsi Sulawesi Selatan. Sebelah utara Laut Flores terdapat gugusan pulau-pulau kecil, diantaranya Kepulau-pulauan Bonerate dan Pulau Kalaotoa. Laut Flores memiliki kedalaman hingga 5.123 m. Laut Flores mencakup 93.000 mil persegi (240.000 km²) air di Indonesia. Potensi sumberdaya ikan di perairan Laut Flores cukup tinggi dan didominasi oleh potensi ikan pelagis kecil yaitu sekitar 65,12% dari perkiraan potensi yang ada (Mallawa 2006).
Menurut Ilahude (1996) suhu permukaan Laut Flores saat MT (musim
timur) di bawah 28°C, yaitu berkisar antara 26,8 – 27,5°C. Smax Laut Flores
berkisar antara 34,6 – 34,66 psu pada kedalaman 80 – 150 m (Ilahude dan Gordon 1996).
2.9. ARLINDO di Laut Flores
ARLINDO telah diketahui mengangkut massa dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melewati laut dan selat-selat peraira Indonesia (Gambar 6), bersama massa air tersebut terangkut pula massa air bersalinitas maksimum, bahang dan nutrient. Di laut angin musim mempengaruhi muka laut sehingga menghasilkan arus permukaan yang disebut Arus Musom Indonesia
(ARMONDO). Massa air bersalinitas rendah saat musim barat dari Laut Jawa akan merambat ke arah timur sampai Laut Flores, sebaliknya massa air
1988 in Hadikusumah 2009), Laut Flores merambat sampai ke Laut Jawa. Di Laut Jawa stratifikasi massa air parameter suhu dingin dan salinitas tinggi saat musim peraliha dua (MP-II) di poros tengah Laut Jawa hampir homogen dan ini diduga kuat salinitas besar dari Laut Flores. Dalam musin barat (MB) massa air melewati Laut Flores akan tersebar ke arah timur sampai Laut Banda.
Bulan Mei 2005 di Laut Flores sudah menunjukkan musim peralihan satu (MP-I), yaitu pola angin peralihan dari pola angin musim barat bergerak ke musim timur. Kecepatan arus maksimum 90 cm/det, sedangkan arah arus di bagian permukaan sampai kedalaman 60 m dominan bergerak ke arah barat dan barat laut, antara 60 – 400 m di sebelah utara dominan ke arah barat daya dan sebelah selatan, arus dominan ke arah barat sampai barat laut. Rata-rata lapisan permukaan ~57 m, ketebalan termoklin antara ~57 m sampai 360 m
(Hadikusumah 2009).
Karakteristik massa air di Laut Flores adalah massa air bersalinitas rendah di bagian permukaan (massa air lokal Laut Flores), massa air bersalinitas
maksimum 34,5636 psu pada lapisan dangkal antara kedalaman 150 – 240 m (North Pasific Subtropical Water), massa air bersalinitas minimum 34, 4692 psu antara kedalaman 225 – 395 m (North Pasific Intermediae Water), massa air bersalinitas maksimum 34,6169 psu pada kedalaman ~430 - 4719 m (Antarctic Intermadiate Water). Rata-rata kedalaman (~60 m) dari nilai klorofil-a
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2011, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada tanggal tanggal 13 sampai 27 Oktober 2005 di perairan Laut Jawa sampai Laut Flores, namun data yang digunakan dalam penelitian ini hanya pada Laut Flores. Lokasi survei data yang digunakan pada penelitian ini berada pada posisi koordinat 7° LS sampai 9° LS dan 117° sampai 122° BT (Gambar 6).
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data echogram hasil survei yang dilakukan oleh BRPL. Data yang diolah pada penelitian ini berjumlah 60 file. Lokasi pengolahan data akustik dilakukan di Laboratorium Akustik Ilmu dan Teknologi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Akustik BRPL Jakarta Utara.
3.2. Desain Survei
Desain survei yang digunakan pada penelitian ini adalah systematic parallel transect (Gambar 7). Tujuannya adalah agar dapat mencakup daerah yang luas yang mewakili perairan yang disurvei dengan waktu yang terbatas. Kedalaman pada survei ini dari permukaan sampai dengan kolom perairan, yaitu 3 – 150 m. Desain survei dibagi menjadi 7 leg (Gambar 6). Leg 1 terletak pada koordinat 7°59’57,12” sampai 8°0,62’ LS dan 117°39,45’ sampai 117°59’57,48” BT. Leg 2 Leg 1 terletak pada koordinat 7°30’ sampai 8°6’51,48´ LS dan
S u m be r: P et a D ish id ro s G am ba r 7 . P et a l o k asi p en el it ia n d an tra ck s o u n d in g
7°30,08´ LS dan 118°56’38,76” sampai 118°59’38,4” BT. Leg 4 terletak pada koordinat 7°29’58,67” sampai 7°57´52,24 LS dan 118°59’58,2” sampai 119°0.02’ BT. Leg 5 terletak pada koordinat 7°57’55,22” sampai 8°16,14´ LS dan
118°59’57,84” sampai 119°58.2’ BT. Leg 6 terletak pada koordinat 7°46,59’ sampai 8°16,16´ LS dan 119°59’58,92” sampai 120°0.39’ BT. Leg 7 terletak pada koordinat 7°46’58,51 sampai 7°47,08´ LS dan 120°28’49,44” sampai 120°43.21’ BT.
3.3. Instrumen dan Peralatan Penelitian
Perangkat hidroakustik yang digunakan dalam pengambilan data penelitian ini adalah SIMRAD EK60 Scientific Echosounder System. Selama perekaman data akustik, perangkat SIMRAD EK60 Scientific Echosounder System diset sebagai berikut:
Frekuensi : 120 kHz
TVG : 27 dB
Kecepatan suara : 1546,55 m/s
Durasi pulsa : 0,512 ms
3.4. Kapal Survei
Kapal yang digunakan dalam pengambilan data penelitian ini adalah Kapal Riset Bawal Putih 188 GT (Lampiran 1).
3.5. Alat Pemrosesan Data
Alat yang digunakan untuk pengolahan data adalah sebagai berikut: 1) Personal Computer (PC) atau Laptop dan Dongle
2) Perangkat Keras (Hardware)
(1) Microsoft Office 2007 (2) Microsoft Excell 2007 (3) Software Echoview 4.0 (4) Golden Software Surfer 8.0 (5) Software Matlab R2008b
3.6. Pengolahan Data
Sebaran Sa diolah menggunakan Echoview 4.0. Pada pengolahannya diperlukan proses perekaman data ulang menggunakan perangkat lunak
BI60/ER60 sehingga didapatkan file dalam bentuk *deg. ESDU yang digunakan pada penelitian ini adalah 100 ping, dengan grid kedalaman 1. Data yang diolah berada pada grid kedalaman 6 - 150 m. Pengolahan data dimulai pada grid kedalaman 6 m karena dianggap data yang berada di atas 6 m masih dipengaruhi oleh noise dari kapal dan noise-noise lainnya.
3.6.1. Progressive Threshold
Progessive threshold dilakukan dengan mengintegrasi pada setiap ESDU dengan menggunakan level threshold maksimum dan minimum tertentu (dalam penelitian ini: threshold maksimum -30 dB dan minimum -90 dB). Kemudian dilakukan integrasi berikutnya pada ESDU yang sama menggunakan threshold yang ditingkatkan dengan jeda 1,5 dB (misal: threshold maksimum -30 dB dan minimum -88,5 dB). Prasetyo (2007) dan Hestirianoto (2008) melakukan integrasi dengan peningkatan jeda 3 dB. Integrasi dilakukan hingga level
threshold minimum dan level threshold maksimum atau tidak ada lagi target pada echogram (nilai Sa-nya sampai -9999). Hasil integrasi dimasukkan kedalam
tabulasi (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil integrasi per ESDU untuk beragam level threshold
Threshold -90 88.5 -87 -85.5 -84 … -54 -52.5 -51
Sa 211.5844 211.2723 210.7097 209.7425 208.0766 … 114.8421 53.98427 20.79673
Setelah itu hitung laju perubahan nilai (dalam nilai mutlak) untuk setiap
penambahan batas minimum threshold sehingga diperoleh rangkaian nilai seperti dalam Tabel 4.
Tabel 4. Laju pertambahan nilai
Threshold -90 88.5 -87 -85.5 -84 … -54 -52.5 -51
Sa 0 0.31 0.56 0.97 1.67 … 11.92 60.86 33.19
Jika hasil pengkuran pada Tabel 2 diplotkan dalam bentuk grafik, maka akan terlihat kurva yang memiliki beberapa puncak (Gambar 8). Setiap file data dilakukan pengolahan progressive threshold sebanyak 10 ESDU, dari 10 ESDU tersebut diambil nilai-nilai puncak threshold yang sering muncul. Nilai-nilai puncak threshold pada tiap file dibandingkan dengan file-file yang lainnya. Nilai-nilai puncak dari Nilai-nilai threshold semua file yang diolah, dipilih Nilai-nilai threshold yang frekuensi kemunculannya paling dominan.
Pada penelitian ini puncak threshold yang digunakan untuk melihat sebaran Sa adalah puncak threshold yang memiliki frekuensi kemunculan lebih dari 15 kali (paling dominan). Puncak threshold yang paling dominan tersebut ditambah batas atas dan bawah masing-masing 3 dB, sehingga diperoleh range threshold untuk melihat sebaran Sa.
Gambar 8. Contoh kurva laju pertambahan nilai Sa beberapa ESDU 0 5 10 15 20 -90 -85.5 -81 -76.5 -72 -67.5 -63 -58.5 -54 L a ju P en a m b a h a n N il a i S a Threshold 0 5 10 15 20 -90 -85 -80 -75 -70 -65 -60 -55 -50 L a ju P en a m b a h a n N il a i S a Threshold 0 5 10 15 20 -90 -85.5 -81 -76.5 -72 -67.5 -63 -58.5 -54 L a ju P e n a m b a h a n N il a i S a Threshold 0 5 10 15 20 -90 -85.5 -81 -76.5 -72 -67.5 -63 -58.5 -54 L a ju P e n a m b a h a n N il a i S a Threshold 0 5 10 15 20 -90 -85.5 -81 -76.5 -72 -67.5 -63 -58.5 -54 L a ju P e n a m b a h a n N il a i S a Threshold
3.6.2 Pengolahan data dengan Surfer dan Matlab
Sebaran kelompok target dilihat dari sebaran nilai backscaterring area-nya (Sa). Nilai Sa diplotkan terhadap lintang dan bujur untuk melihat sebaran
Sasetiap grid kedalaman 1 m dengan mengunakan Golden Software Surfer 8 dan melihat sebaran target setiap leg dengan menggunakan Matlab R2008b. Sebelum diplotkan nilai Sa dikonversi dari satuan mil kedalam satuan meter. Proses pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Diagram alir pengolahan data Difilter dengan -9 dB Kelompok target Panjang horizontal dan vertikal kelompok target Threshold yang sering muncul Sa (dB), Lintang dan Bujur Microsoft Excel Surfer 8 (2D) dan Matlab (3D) Sebaran Sa Echogram Echoview Variable Properties ESDU dan Kalibrasi Progressive Thresholding Sa (dB) Laju penambahan nilai Puncak – puncak nilai Threshold Raw Data ER 60 .deg file
Kelompok Sa dilihat dengan memfilter data terlebih dahulu sampai -9 dB. Kemudian kelompok Sa dihitung panjang horiziontal dan vertikalnya. Panjang horizontal dilihat dari lintang dan bujur dimana terdapat kelompok Sa, sedangkan panjang vertikal kelompok target dilihat dari kedalaman kelompok Sa tersebut terdeteksi.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Integrasi Threshold
Integrasi file-file data memperlihatkan jumlah kohort atau kelompok yang beragam (Tabel 5), dalam satu file data ada yang memiliki hingga 3 sampai 4 kohort.
Tabel 5. Hasil integrasi pada 60 file data dengan threshold berjenjang
Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu wilayah perairan memiliki karakteristik akustik yang berbeda. Sehingga dalam menentukkan range threshold untuk melihat sebaran Sa di suatu perairan perlu dilakukan pengintegrasian threshold
File Kohort Threshold File Kohort Threshold
1 4 -79.5/-73.5/-67.5/-60 31 2 -67.5/-57 2 2 -73.5/-57 32 2 -70.5/-57 3 3 -75/-61.5/-55.5 33 2 -72/-60 4 3 -75/-61.5/-55.5 34 2 -69/-60 5 2 -73.5/-61,5 35 2 -70.5/-60 6 1 -67.5 36 2 -70.5/-54 7 1 -69 37 2 -70.5/-55.5 8 1 -67.5 38 2 -70.5/57 9 1 -67.5 39 2 -70.5/-60 10 1 -69 40 2 -72/-55.5 11 3 -75/-64.5/-60 41 2 -72/-63 12 2 -73.5/-61.5 42 2 -73.5/-60 13 2 -73.5/-55.5 43 2 -70.5/-55.5 14 2 -76.5/-66 44 2 -70.5/-57 15 2 -73.5/-58.5 45 3 -73.5/-61/-55.5 16 2 -72/-57 46 2 -73.5/-60 17 2 -76.5/-60 47 2 -73.5/57 18 2 -73.5/-58.5 48 2 -72/-66 19 2 -73.5/-60 49 2 -75/-60 20 3 -73.5/-61.5 50 2 -70.5/-60 21 3 -72/-70.5 51 4 -73.5/-64.5/-60/-55.5 22 1 -70.5 52 2 -73.5/-60 23 2 -70.5/-57 53 1 -72 24 2 -69/-55.5 54 2 -70.5/-61.5 25 2 -67.5/-55.5 55 1 -73.5 26 2 -73.5/-60 56 1 -58.5 27 1 -60 57 0 - 28 1 -70.5 58 1 -63 29 1 -72 59 1 -63 30 1 -61.5 60 0 -
terlebih dahulu. Kohort
yang lain) ini yang nantinya akan digunakan untuk melihat sebaran Sadi Laut Flores. Frekuensi kemunculan kohort yang dominan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Grafik frekuensi kemunculan puncak
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat terdapat dua puncak yang paling dominan (frekuensi kemunculan >
yaitu 73,5 dB dan
-Setelah dilakukan penambahan batas atas dan bawah masing akan diperoleh range threshold
sampai -57 dB. Range threshold sebaran Sa di perairan Laut Flores.
Puncak threshold tercover oleh puncak
dan bawah. Puncak-puncak
kurang dari 15 kali tidak digunakan untuk melihat sebaran Sa di perairan Laut Flores. 0 4 8 12 16 -79.5 -76.5 -75 F re k u en si K em u n cu la n
terlebih dahulu. Kohort-kohort yang dominan (sering muncul pada
yang lain) ini yang nantinya akan digunakan untuk melihat sebaran Sadi Laut uensi kemunculan kohort yang dominan dapat dilihat pada Gambar
Gambar 10. Grafik frekuensi kemunculan puncak threshold semua
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat terdapat dua puncak
yang paling dominan (frekuensi kemunculan >15 kali). Kedua puncak tersebut -60 dB yang memiliki frekuensi kemunculan sebesar 16 kali. Setelah dilakukan penambahan batas atas dan bawah masing-masing 3 dB, maka
range threshold masing -76,5 dB sampai -70,5 dB, dan
Range threshold tersebut yang akan digunakan untuk melihat sebaran Sa di perairan Laut Flores.
threshold -70,5 dB yang memiliki nilai kemunculan 14 kali akan oleh puncak threshold -73,5 dB setelah dilakukan penambahan batas atas
puncak threshold yang memiliki frekuensi kemunculan kurang dari 15 kali tidak digunakan untuk melihat sebaran Sa di perairan Laut
-73.5 -72 -70.5 -69 -67.5 -66 -64.5 -63 -61.5 -60
Threshold
kohort yang dominan (sering muncul pada file-file data yang lain) ini yang nantinya akan digunakan untuk melihat sebaran Sadi Laut
uensi kemunculan kohort yang dominan dapat dilihat pada Gambar
semua file data
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat terdapat dua puncak threshold 15 kali). Kedua puncak tersebut 60 dB yang memiliki frekuensi kemunculan sebesar 16 kali.
masing 3 dB, maka 70,5 dB, dan -63 dB tersebut yang akan digunakan untuk melihat
70,5 dB yang memiliki nilai kemunculan 14 kali akan 73,5 dB setelah dilakukan penambahan batas atas
yang memiliki frekuensi kemunculan kurang dari 15 kali tidak digunakan untuk melihat sebaran Sa di perairan Laut
4.2. Sebaran Sa (Backscattering Area)
Sebaran Sa di perairan Laut Flores dilihat berdasarkan leg, dimana terdapat 7 leg. Leg 1 sampai leg 4 terletak di perairan NTB dan leg 6 sampai 7 terletak di perairan NTT, sedangkan leg 5 terletak diperbatasan antara perairan NTB dan NTT (Gambar 6).
4.2.1. Sebaran Sa pada range threshold -76,5 dB sampai -70,5 dB
Sebaran Sa pada leg 1 dan leg 2 menyebar secara kontinu. Sa banyak tersebar di permukaan perairan dan bagian dasar kolom, namun Sa yang paling banyak tersebar pada dasar kolom perairan. Sebaran Sa pada kedua leg tersebut membentuk suatu pola, pada pertengahan kolom perairan tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 11 dan Gambar 12). Sa tidak ditemukan pada kolom perairan, diduga pada kolom tersebut terdapat internal wave atau pelapisan massa air. Sebaran Sa pada leg 2, pertengahan kolom perairan yang tidak ditemukan adanya Sa kurang lebih berada pada kedalaman 27 – 73 m.
Gambar 12. Sebaran Sa pada Leg 2
Gambar 13. Sebaran Sa pada Leg 3
Sebaran Sa pada leg 3 dan leg 4 tidak terlalu banyak, terutama pada leg 4 hampir tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 14). Sebaran Sa pada leg 3
masih terlihat adanya Sa yang bergerombol (Gambar 13).
Gambar 15. Sebaran Sa pada Leg 5
Sebaran pada leg 5, Sa menyebar hampir diseluruh perairan. Hanya terdapat sedikit celah-celah kosong perairan yang tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 15).
Gambar 16. Sebaran Sa pada Leg 6
Sebaran Sa pada leg 6 hanya terlihat gerombolan-gerombolan kecil, yaitu pada bagian dasar kolom. Sa tidak tersebar merata di perairan, pada bagian permukaan terlihat tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 16). Sa yang menyebar pada leg 6 adalah Sa yang memiliki nilai besar. Sedangkan pada leg 7 sebaran Sa lebih banyak dari pada leg 6. Pada leg 7 ukuran gerombolan Sa lebih besar dari
pada leg 6 (Gambar 17).
Gambar 17. Sebaran Sa pada Leg 7
Berdasarkan gambar sebaran Sa setiap leg di atas, Sa banyak tersebar pada leg 1, 2, 3, 5 dan 7. Sebaran Sa pada leg 4 dan 6 hanya sedikit yang ditemukan. Hal ini diduga karena pengaruh dari ARLINDO. Laut Flores
merupakan salah satu perairan Indonesia yang dilintasi oleh ARLINDO, sehingga sebaran target (ikan, zooplankton, dll) di Laut Flores dipengaruhi oleh massa air yang diangkut dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Bersama massa air tersebut juga terangkut massa air bersalinitas maksimum, bahang dan nutrient. Ketiga unsur ini sangat mempengaruhi kelimpahan suatu target, baik ikan, plankton maupun organisme laut lainnya.
Pengambilan data akustik yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober, pada bulan tersebut merupakan musim peralihan dua (MP-II), yaitu pola angin peralihan dari pola angin musim timur bergerak ke musim barat. Pada MP-II ini diduga salinitas di Laut Flores tinggi (Hadikusumah 2009). Selama musim timur, dibeberapa bagian dari perairan Indonesia seperti Selat Makassar, Laut Banda, dan beberapa perairan lainnya mengalami upwelling dan
percampuran massa air yang mengakibatkan terjadinya pengkayaan nutrient pada lapisan permukaan tercampur dan mengakibatkan tingginya produktivitas
primer perairan bila dibandingkan dengan musim barat (Hadikusumah 2009).
4.2.2. Sebaran Sa tiap grid kedalaman kelipatan 10 m
Sebaran Sa di perairan Laut Flores dilihat mulai dari grid kedalaman 6 - 150 m. Sebaran Sayang dibahas dalam bab ini hanya pada grid kedalaman kelipatan 10 m. Hal ini dianggap sudah mewakili grid kedalaman yang
Gambar sebaran Sapada grid kedalaman yang lainnya dapat dilihat pada 3.
Sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m Sa bergerombol pada leg 1, leg 2, leg 5 dan sedikit pada leg 7, sedangkan pada leg yang lainnya tidak ditemukan gerombolan Sa (Gambar 18).
Gambar 18. Sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m
Nilai Sa pada grid kedalaman 10 m sedikit beragam. Sebaran Sa lebih banyak terdapat pada wilayah laut Nusa Tenggara Barat (NTB) dari pada wilayah laut Nusa Tenggara Timur (NTT). Sa juga
perbatasan antara NTB dan NTT.
percampuran massa air yang mengakibatkan terjadinya pengkayaan nutrient pada lapisan permukaan tercampur dan mengakibatkan tingginya produktivitas
primer perairan bila dibandingkan dengan musim barat (Hadikusumah 2009).
tiap grid kedalaman kelipatan 10 m
Sebaran Sa di perairan Laut Flores dilihat mulai dari grid kedalaman 150 m. Sebaran Sayang dibahas dalam bab ini hanya pada grid kedalaman kelipatan 10 m. Hal ini dianggap sudah mewakili grid kedalaman yang
Gambar sebaran Sapada grid kedalaman yang lainnya dapat dilihat pada
Sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m Sa bergerombol pada leg 1, leg 2, leg 5 dan sedikit pada leg 7, sedangkan pada leg yang lainnya tidak ditemukan
a (Gambar 18).
Gambar 18. Sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m
Nilai Sa pada grid kedalaman 10 m sedikit beragam. Sebaran Sa lebih banyak terdapat pada wilayah laut Nusa Tenggara Barat (NTB) dari pada wilayah laut Nusa Tenggara Timur (NTT). Sa juga banyak terdapat pada wilayah laut perbatasan antara NTB dan NTT.
percampuran massa air yang mengakibatkan terjadinya pengkayaan nutrient pada lapisan permukaan tercampur dan mengakibatkan tingginya produktivitas
primer perairan bila dibandingkan dengan musim barat (Hadikusumah 2009).
Sebaran Sa di perairan Laut Flores dilihat mulai dari grid kedalaman 150 m. Sebaran Sayang dibahas dalam bab ini hanya pada grid kedalaman kelipatan 10 m. Hal ini dianggap sudah mewakili grid kedalaman yang lainnya. Gambar sebaran Sapada grid kedalaman yang lainnya dapat dilihat pada Lampiran
Sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m Sa bergerombol pada leg 1, leg 2, leg 5 dan sedikit pada leg 7, sedangkan pada leg yang lainnya tidak ditemukan
Gambar 18. Sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m
Nilai Sa pada grid kedalaman 10 m sedikit beragam. Sebaran Sa lebih banyak terdapat pada wilayah laut Nusa Tenggara Barat (NTB) dari pada wilayah
Gambar 19. Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m semakin berkurang jika
dibandingkan dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m. Hal ini dapat dilihat dari jumlah nilai Sa pada leg 1 dan leg 2 yang berkurang (Gambar 19). Sebaran Sa pada leg 7 terdapat sedikit pena
sebelumnya. Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m pada leg 7 sedikit lebih banyak dari pada grid kedalaman 10 m. Sebaran Sa pada leg 5 terlihat tidak berubah.
Gambar 20. Sebaran Sa pada grid kedalaman 30 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 30 m terlihat semakin sedikit jika dibandingkan dengan grid kedalaman sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari
Gambar 19. Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m semakin berkurang jika
dibandingkan dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m. Hal ini dapat dilihat dari jumlah nilai Sa pada leg 1 dan leg 2 yang berkurang (Gambar 19). Sebaran Sa pada leg 7 terdapat sedikit penambahan Sa dari pada grid kedalaman
sebelumnya. Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m pada leg 7 sedikit lebih banyak dari pada grid kedalaman 10 m. Sebaran Sa pada leg 5 terlihat tidak
Gambar 20. Sebaran Sa pada grid kedalaman 30 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 30 m terlihat semakin sedikit jika dibandingkan dengan grid kedalaman sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari
Gambar 19. Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m semakin berkurang jika
dibandingkan dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m. Hal ini dapat dilihat dari jumlah nilai Sa pada leg 1 dan leg 2 yang berkurang (Gambar 19). Sebaran
mbahan Sa dari pada grid kedalaman sebelumnya. Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m pada leg 7 sedikit lebih banyak dari pada grid kedalaman 10 m. Sebaran Sa pada leg 5 terlihat tidak
Gambar 20. Sebaran Sa pada grid kedalaman 30 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 30 m terlihat semakin sedikit jika dibandingkan dengan grid kedalaman sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya sebaran Sa yang semakin berkurang (Gambar 20). Menurunnya sebaran Sa pada grid kedalaman ini terjadi pada
dan leg 7), namun sebaran Sa paling banyak berada pada leg 5.
Gambar 21. Sebaran Sa pada grid kedalaman 40 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 40 m jauh lebih sedikit dari pada sebaran Sapada grid kedalaman sebelumnya. Bahk
ditemukan adanya sebaran Sa. Gerombolan Sa terlihat pada leg 5 dan sedikit pada leg 7 (Gambar 21).
Gambar 22. Sebaran Sa pada grid kedalaman 50 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 50 m sama dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 40 m. Tidak ditemukan adanya Sa pada leg 2 dan sedikit pada banyaknya sebaran Sa yang semakin berkurang (Gambar 20). Menurunnya sebaran Sa pada grid kedalaman ini terjadi pada semua leg (leg 1, leg 2, leg 5 dan leg 7), namun sebaran Sa paling banyak berada pada leg 5.
Gambar 21. Sebaran Sa pada grid kedalaman 40 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 40 m jauh lebih sedikit dari pada sebaran Sapada grid kedalaman sebelumnya. Bahkan pada leg 1 dan 2 hampir tidak ditemukan adanya sebaran Sa. Gerombolan Sa terlihat pada leg 5 dan sedikit pada
Gambar 22. Sebaran Sa pada grid kedalaman 50 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 50 m sama dengan sebaran Sa pada grid alaman 40 m. Tidak ditemukan adanya Sa pada leg 2 dan sedikit pada banyaknya sebaran Sa yang semakin berkurang (Gambar 20). Menurunnya
semua leg (leg 1, leg 2, leg 5
Gambar 21. Sebaran Sa pada grid kedalaman 40 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 40 m jauh lebih sedikit dari pada sebaran an pada leg 1 dan 2 hampir tidak ditemukan adanya sebaran Sa. Gerombolan Sa terlihat pada leg 5 dan sedikit pada
Gambar 22. Sebaran Sa pada grid kedalaman 50 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 50 m sama dengan sebaran Sa pada grid alaman 40 m. Tidak ditemukan adanya Sa pada leg 2 dan sedikit pada
leg 1. Gerombolan Sa terlihat pada leg 5 dan leg 7 (Gambar 22).
Gambar 23. Sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m, gerombolan Sa banyak ditemukan pada leg 5. Sebaran Sa pada leg 1 dan leg 3 hanya terlihat sedikit sekali target, sedangkan pada leg-leg yang lain tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 23).
Gambar 24. Sebaran Sa pada grid kedalaman 70 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 70 m, gerombolan Sa
ditemukan pada leg 5 (Gambar 24). Pada leg 1, leg 2 dan leg 3 hanya terlihat sedikit sekali target, tetapi jika dibandingkan dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m jumlah Sa pada leg 1 dan leg 3 lebih banyak. Tidak ditemukan adanya Sa pa
leg 1. Gerombolan Sa terlihat pada leg 5 dan leg 7 (Gambar 22).
Gambar 23. Sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m, gerombolan Sa banyak ditemukan da leg 5. Sebaran Sa pada leg 1 dan leg 3 hanya terlihat sedikit sekali target,
leg yang lain tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 23).
Gambar 24. Sebaran Sa pada grid kedalaman 70 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 70 m, gerombolan Sa juga banyak ditemukan pada leg 5 (Gambar 24). Pada leg 1, leg 2 dan leg 3 hanya terlihat sedikit sekali target, tetapi jika dibandingkan dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m jumlah Sa pada leg 1 dan leg 3 lebih banyak. Tidak ditemukan adanya Sa pada leg-leg yang lain.
Gambar 23. Sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m, gerombolan Sa banyak ditemukan da leg 5. Sebaran Sa pada leg 1 dan leg 3 hanya terlihat sedikit sekali target,
leg yang lain tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 23).
Gambar 24. Sebaran Sa pada grid kedalaman 70 m
juga banyak ditemukan pada leg 5 (Gambar 24). Pada leg 1, leg 2 dan leg 3 hanya terlihat sedikit sekali target, tetapi jika dibandingkan dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m jumlah Sa pada leg 1 dan leg 3 lebih banyak. Tidak
Gambar 25. Sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m, Sa ditemukan pada pada sepanjang leg 5 dan leg 2 (Gambar 25). Sebaran Sa pada leg 1, leg 3 dan leg 7 hanya terlihat sedikit target. jumlah Sa pada leg 3 lebih banyak dari pada leg 1 dan leg 7.
Gambar 26. Sebaran
Sebaran Sa pada grid kedalaman 90 m sama dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m. Gerombolan Sa juga banyak ditemukan pada leg 5 dan leg 2 (Gambar 26). Sebaran Sa pada leg 1, leg 3 dan leg 7 terlihat lebih banyak jika dibandingkan dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m.
Gambar 25. Sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m, Sa ditemukan pada pada sepanjang leg 5 dan leg 2 (Gambar 25). Sebaran Sa pada leg 1, leg 3 dan leg 7 hanya terlihat sedikit target. jumlah Sa pada leg 3 lebih banyak dari pada leg 1 dan leg 7.
Gambar 26. Sebaran Sa pada grid kedalaman 90 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 90 m sama dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m. Gerombolan Sa juga banyak ditemukan pada leg 5 dan leg 2 (Gambar 26). Sebaran Sa pada leg 1, leg 3 dan leg 7 terlihat lebih banyak jika dibandingkan dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m.
Gambar 25. Sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m, Sa ditemukan pada pada sepanjang leg 5 dan leg 2 (Gambar 25). Sebaran Sa pada leg 1, leg 3 dan leg 7 hanya terlihat sedikit target. jumlah Sa pada leg 3 lebih banyak dari pada leg 1 dan leg 7.
Sa pada grid kedalaman 90 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 90 m sama dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m. Gerombolan Sa juga banyak ditemukan pada leg 5 dan leg 2 (Gambar 26). Sebaran Sa pada leg 1, leg 3 dan leg 7 terlihat lebih banyak
Gambar 27. Sebaran Sapada grid kedalaman 100 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 100 m sama seperti sebaran Sa pada grid kedalaman 90 meter, yang berbeda adalah besarnya nilai Sa (Gambar 27). Sa pada grid kedalaman 100 m lebih kecil dari pada nilai Sa pada grid kedalaman 90 m.
Gambar 28. Sebaran Sa pada grid kedalaman 110 m
Gambar 29. Sebaran Sa pada grid kedalaman 120 m Gambar 27. Sebaran Sapada grid kedalaman 100 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 100 m sama seperti sebaran Sa pada grid kedalaman 90 meter, yang berbeda adalah besarnya nilai Sa (Gambar 27). Sa pada grid kedalaman 100 m lebih kecil dari pada nilai Sa pada grid kedalaman
Gambar 28. Sebaran Sa pada grid kedalaman 110 m
Gambar 29. Sebaran Sa pada grid kedalaman 120 m Gambar 27. Sebaran Sapada grid kedalaman 100 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 100 m sama seperti sebaran Sa pada grid kedalaman 90 meter, yang berbeda adalah besarnya nilai Sa (Gambar 27). Nilai Sa pada grid kedalaman 100 m lebih kecil dari pada nilai Sa pada grid kedalaman
Gambar 28. Sebaran Sa pada grid kedalaman 110 m
Gambar 30. Sebaran Sa pada grid kedalaman 130 m
Sebaran Sa pa
jika dibandingkan dengan grid kedalaman yang lainnya. Sebaran Sa terdapat pada leg 1, leg 2, leg 3, leg 5 dan leg 7 (Gambar 28, Gambar 29 dan Gambar 30). Sebaran Sa pada leg 3 hanya sedikit dan se
dibandingkan dengan sebaran pada grid kedalaman sebelunya.
Gambar 31. Sebaran Sapada grid kedalaman 140 m
Pada grid kedalaman 140 m sebaran Sa hanya ditemukan pada 3 leg, yaitu leg 1, leg 5 dan leg 7. Namun han
pada leg – leg tersebut (Gambar 31).
Gambar 30. Sebaran Sa pada grid kedalaman 130 m
Sebaran Sa pada grid kedalaman 110, 120 dan 130 m terlihat lebih padat jika dibandingkan dengan grid kedalaman yang lainnya. Sebaran Sa terdapat pada leg 1, leg 2, leg 3, leg 5 dan leg 7 (Gambar 28, Gambar 29 dan Gambar 30). Sebaran Sa pada leg 3 hanya sedikit dan sebaran Sa pada leg 7 lebih banyak jika dibandingkan dengan sebaran pada grid kedalaman sebelunya.
Gambar 31. Sebaran Sapada grid kedalaman 140 m
Pada grid kedalaman 140 m sebaran Sa hanya ditemukan pada 3 leg, yaitu leg 1, leg 5 dan leg 7. Namun hanya sedikit sekali ditemukan Sa
leg tersebut (Gambar 31).
Gambar 30. Sebaran Sa pada grid kedalaman 130 m
da grid kedalaman 110, 120 dan 130 m terlihat lebih padat jika dibandingkan dengan grid kedalaman yang lainnya. Sebaran Sa terdapat pada leg 1, leg 2, leg 3, leg 5 dan leg 7 (Gambar 28, Gambar 29 dan Gambar 30).
baran Sa pada leg 7 lebih banyak jika
Gambar 31. Sebaran Sapada grid kedalaman 140 m
Gambar 32. Sebaran Sa pada grid kedalaman 150 m
Pada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa (Gambar 32). Berdasarkan
gambar-6 – 30 m dan 70 – 130 m. Sebaran Sa berkurang pada grid kedalaman 40 dan 140 m dan pada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa sama sekali.
4.2.3. Sebaran Sa pada Nilai Sa pada
range threshold -76,5 dB sampai
dikonversi dari satuan mil ke satuan meter hasilnya semua nol. Sehingga tidak dilakukan pengeplotan data.
4.3. Kelompok Sa
Kelompok Sa di perairan Laut Flores terlihat pada sampai -57 dB. Pada
bersifat kontinu (Gambar 9
kelompok Sa. Kelompok Sa di perai
kecuali leg 7. Pada leg 7 Sa yang terekam bersifat kontinu dan tidak membentuk kelompok.
Gambar 32. Sebaran Sa pada grid kedalaman 150 m
Pada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa (Gambar 32).
-gambar diatas, sebaran Sa banyak menyebar dari kedalaman 130 m. Sebaran Sa berkurang pada grid kedalaman 40
dan 140 m dan pada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa sama sekali.
4.2.3. Sebaran Sa pada Range Threshold -63 dB sampai -57
Nilai Sa pada range threshold -63 dB sampai -57 dB tidak sebanyak pada 76,5 dB sampai -70,5 dB. Sa pada range threshold
dikonversi dari satuan mil ke satuan meter hasilnya semua nol. Sehingga tidak dilakukan pengeplotan data.
Kelompok Sa di perairan Laut Flores terlihat pada range threshold 57 dB. Pada range threshold -76,5 dB samapi -70,5 dB sebaran data bersifat kontinu (Gambar 9 – Gambar 15), sehingga tidak ditemukan adanya kelompok Sa. Kelompok Sa di perairan Laut Flores ditemukan pada semua leg kecuali leg 7. Pada leg 7 Sa yang terekam bersifat kontinu dan tidak membentuk
Gambar 32. Sebaran Sa pada grid kedalaman 150 m
Pada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa (Gambar 32).
gambar diatas, sebaran Sa banyak menyebar dari kedalaman 130 m. Sebaran Sa berkurang pada grid kedalaman 40 – 70 m dan 140 m dan pada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa sama sekali.
dB tidak sebanyak pada range threshold ini saat dikonversi dari satuan mil ke satuan meter hasilnya semua nol. Sehingga
range threshold -63 dB 70,5 dB sebaran data Gambar 15), sehingga tidak ditemukan adanya
ran Laut Flores ditemukan pada semua leg kecuali leg 7. Pada leg 7 Sa yang terekam bersifat kontinu dan tidak membentuk
Kelompok Sa banyak ditemukan pada leg 1, leg 3, leg 4 dan leg 6, berturut-turut 9, 11, 7, dan 5 kelompok target. Pada leg 2 dan leg 5, hanya ditemukan 1 kelompok target, pada leg tersebut data banyak bersifat kontinu dari pada membentuk kelompok. Pada umumnya panjang horizontal kelompok Sa lebih panjang dari pada panjang vertikalnya. Panjang horizontal kelompok Saberkisar antara 309 - 5243 m, dan panjang vertikal Saberkisar antara 3 – 40 m. Tabel 6. Panjang horizontal dan vertikal kelompok Sa setiap leg
Leg Kelompok Horizontal (m) Panjang Esdu (m) Persentase (℅) Vertikal (m) 1 1 1349 74 1821 9 2 1373 1854 5 3 1040 1403 6 4 1117 1507 5 5 1057 1427 9 6 762 1029 10 7 668 901 6 8 1255 1695 30 9 866 1169 7 2 1 1890 94 2001 34 3 1 2621 74 3538 9 2 1250 1688 10 3 1414 1909 9 4 4905 6621 13 5 1293 1746 4 6 1874 2530 6 7 220 297 3 8 1678 2265 6 9 2031 2741 18 10 3777 5099 18 11 2927 3951 9 4 1 3033 93 3276 40 2 503 543 7 3 1242 1341 12 4 309 333 23 5 1585 1712 9 6 540 583 4 7 2753 2973 6 5 1 5243 59 8952 17 6 1 2284 76 2991 7 2 2448 3206 6 3 493 646 4 4 1189 1557 13 5 2209 2893 5
Setiap leg memiliki panjang ESDU berbeda-beda. ESDU terpanjang ditemukan pada leg 2, yaitu sebesar 94 m. sedangkan panjang ESDU terkecil
ditemukan pada leg 5, yaitu sebesar 59 m. Jika panjang horizontal Sa
dibandingkan dengan panjang ESDU maka diperoleh kisaran persentase antara 293 – 8952 ℅. Kisaran persentase 293 – 8952 ℅ diartikan bahwa panjang horizontal Sa yang ditemukan pada setiap leg memiliki panjang 293 – 8952 kali lebih besar dari panjang ESDU. Persentase terendah berada pada leg 3,
sedangkan persentase tertinggi berada pada leg 5.
Secara horizontal kelompok Sa terpanjang ditemukan pada leg 5 dan terpendek ditemukan pada leg 4 kelompok ke-4. Secara vertikal kelompok Saterpanjang ditemukan pada leg 4 kelompok ke-1 dan terpendek pada leg 3 kelompok ke-7 (Tabel 6).
Mengutip dari pernyataan Steel (1976) in Lytle dan Maxwell (1983) bahwa densitas zooplankton umumnya terdistribusi tidak homogen atau dikatakan sebagai bagian-bagian yang terpisah, maka Sa yang terdeteksi di perairan Laut Flores diduga sebagai nilai Sa dari zooplankton (krill). Kelompok Sa yang ditemukan di perairan Laut Flores ini dianggap sebagai bagian-bagian dari distribusi zooplankton yang terpisah.
Selain itu jika dilihat dari sebaran nilai Sv (Backscettering volume strength) yang diperoleh yaitu berkisar antara -81 dB sampai -63 dB, namun Sv yang paling banyak berkisar antara -81 dB sampai -71 dB (Gambar 33).
Mengutip dari hasil penelitian Duror (2004) menyebutkan bahwa kisaran nilai backscattering volume zooplankton (krill) pada kedalaman 5 - 200 m untuk frekuensi 120 kHz berkisar antara -92,75 dB sampai -73,49 dB, sementara untuk frekuensi 38 kHz antara -86,75 dB sampai dengan -62,64 dB. Penelitian ini menggunakan frekuensi 120 kHz. Kisaran Sv yang diperoleh pada penelitian ini
masuk dalam kisaran Sv krill pada penelitian Duron (2004), sehingga dapat disimpulkan Sayang terdeteksi pada range threshold -63 dB sampai -57 dB adalah krill.
Gambar 33. Grafik sebaran Sv keseluruhan di perairan Laut Flores (leg 1 – leg 7) depth 6 – 150 m. 0 500 1000 1500 -81 -80 -79 -78 -77 -76 -75 -74 -73 -72 -71 -70 -69 -68 -67 -66 -65 -64 -63 F re k u en si K ej ad ian Sv (dB)
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil integrasi thresholding data akustik di perairan Laut Flores terdapat 3 pucak nilai threshold, yaitu yaitu -73,5 dB dan -60 dB.
Sehingga rangethreshold yang digunakan untuk melihat sebaran Saadalah -76,5
dB sampai -70,5 dB dan -63 dB sampai -57 dB.
Rangethreshold 76,5 dB sampai -70,5 dB hanya digunakan untuk melihat sebaran Sa saja karena pola sebaran dari Sa pada range threshold ini tidak
menggambarkan pola sebaran suatu individu perairan, baik plankton maupun ikan. Sebaran Sa di perairan NTB lebih banyak jika dibandingkan dengan sebaran Sa di perairan NTT. Sebaran Sa banyak menyebar pada leg 1, 2, 3, 5 dan 7. Pada leg 4 dan 6 jarang terlihat sebaran Sa. Berdasarkan grid kedalaman, sebaran Sa banyak menyebar dari kedalaman 6 – 30 m dan 80 – 130 m. Pada grid kedalaman 40 – 70 m dan 140 m sebaran Sa mulai berkurang dan pada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa sama sekali.
Sebaran Sa pada range threshold -63 dB sampai -57 dB diduga adalah krill. Hal ini dlihat dari distribusinya yang terpisah-pisah dan sebaran nilai volume backscattering strength yang berkisar antara -81 dB sampai -63 dB. Sebaran Sa pada range threshold -63 dB sampai -57 dB membentuk kelompok target. Kelompok Sa paling banyak ditemukan pada leg 1, leg 3, leg 4 dan leg 6, berturut-turut 9, 11, 7, dan 5 kelompok target. Pada leg 2 dan leg 5, hanya
ditemukan 1 kelompok Sa. Pada umumnya panjang horizontal kelompok Sa lebih panjang dari pada panjang vertikalnya. Panjang horizontal kelompok Sa berkisar antara 309 - 5243 m, dan panjang vertikal Saberkisar antara 3 – 40 m. Kisaran
perbandingan antara panjang horizontal Sa dengan panjang ESDU adalah 293 – 8952 ℅. Artinya bahwa panjang horizontal Sa yang ditemukan pada setiap leg memiliki panjang 293 – 8952 kali lebih besar dari panjang ESDU.
5.2. Saran
1) Melakukan ground check dan sampling biota dengan menangkap Sa(ikan
atau palnkton) yang terdeteksi dengan echosounder dan membandingkan dengan data biota secara in situ.
2) Perlu adanya analisis data oseanografi pada lokasi penelitian seperti arus,
DAFTAR PUSTAKA
Amin, E.M., Widodo, J dan Baron, T.A.,1989. Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil. Direktorat Jendral Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. Arnaya, I. N. 2005. The Assesment of Pelagic Fish Stock and Its Distribution in
Indian Ocean by Split Beam Acoustic System. IJReSES, 2: 80 – 85. Burcynski, J.J. 1982. Introduction to the Use of Sonar System Estimating Fish
Biomass. FAO. Fisheries Technical Paper No. 191 Revision 1. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome.
Chu, D., Foote, K.G. dan Stanton, K.T. 1993. Further Analysis of Target Strength Measurements of Antartic Krill at 38 and 120 kHz. J. Acoust. Soc. Am. 93(5): 2985 – 2989.
Demer, D.A dan Martin, L.V. 1995. Zooplankton Target Strength: Volumetric or Areal Dependens. Acoust. Soc. Am. 98(2): 1111 – 1118.
Duror, M. B. 2004. Pendugaan Sebaran Zooplankton dengan Metode Hidroakustik di Perairan Pesisir Barat Sumatera. (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Ekcmann, R. 1998. Allocation of Echo Integrator Output io Small Larval Insect (Chaoborus sp.) and Medium-Sized (Juvenis Fish) Targets. Fisheries Research, 53: 107 – 113.
Gordon, A, L,. 2005. Oceanography of The Indonesian Seas and Their Troughflow. Oceanography. 18 (4): 14 – 27.
Hestirianoto, T. 2008. Pendugaan Kelimpahan Ikan di Pantai Sumur Pandeglang dengan Metode Progressive Thresholding. Seminar Nasional Purna Bhakti Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.sc, 29 Oktober 2008, IPB ICC-Bogor, Bogor.
Hewitt, R. P. and Demer, D. A. 1996. Lateral Target strength of Antarctic krill. ICES J.Mar.Sci, 53: 297–302.
Hwang, S dan Health, H. 1999. Zooplankton Bacterivory at Coastal and Offshore Sites of Lake Erie. Journal of Plankton Research. 21(4): 699-719.
Laevastu, T dan Hayes. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News Books Ltd. London.
Lytle, D.W dan Maxwell, D.R. 1983. Hydroacoustic Assessment in High Density Fish School. FAO Fish. Rep., 300. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome.