• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

Informed Consent Sebagai Upaya Preventif

Tindakan Malpraktek

disusun oleh: Santi Nastiti, 0906490411

Disusun Sebagai Tugas Makalah untuk Mata Kuliah Hukum Kesehatan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, 2012

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas berkah limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat waktu.

Makalah ini membahas mengenai “Informed Consent, Sebagai Upaya

Preventif Tindakan Malpraktek”. Makalah ini disusun selain dalam rangka menyelesaikan tugas akhir semester mata kuliah Hukum Kesehatan, juga untuk mengetahui lebih dalam bagaimana informed consent, sebagai upaya preventif tindakan malpraktek.

Dalam proses penulisan makalah ini, tentunya penulis mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang membantu penyelesaian makalah ini.

Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Begitu pula isi dari makalah ini. Penulis berharap para pembaca memberikan saran dan kritik yang membangun untuk kemajuan penulis di masa mendatang.

Depok, 14 Mei 2012

(3)

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii ABSTRAK ... 1 BAB I PENDAHULUAN ... 2

1.1. Latar Belakang Masalah ... 2

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penulisan Makalah ... 3

1.4. Metode Penelitian ... 4

BAB II PEMBAHASAN ... 5

2.1.Definisi Pasien, Dokter, dan Rumah Sakit ... 5

2.1.1. Definisi Pasien ... 5

2.1.2. Definisi Dokter ... 5

2.1.3. Definisi Rumah Sakit ... 8

2.2.Hubungan Hukum Antara Pasien dan Dokter ... 9

2.2.1. Berdasarkan Perjanjian (Ius contractu) ... 9

2.2.2. Berdasarkan Undang-Undang (Ius delicto) ... 10

2.3.Tinjauan Informed Consent ... 12

2.3.1. Informed Consent Sebagai Hak Pasien ... 12

2.3.2. Pengertian Informed Consent ... 15

2.3.3. Kode Etik Kedokteran dan Informed Consent ... 16

2.3.4. Aspek Perdata Informed Consent ... 18

2.3.5. Aspek Pidana Informed Consent ... 25

2.3.6. Aspek Administratif Informed Consent ... 27

2.3.7. Alasan-Alasan yang Mengecualikan Informed Consent ... 29

2.4.Malpraktek Kedokteran ... 32

(4)

2.4.2. Malpraktek dan Kaitannya dengan Pengertian Standar profesi

kedokteran ... 33

2.4.3. Jenis-Jenis Malpraktek ... 36

2.4.4. Penanggulangan Malpraktek Medis ... 38

2.4.4.1.Pada Bidang Kedokteran ... 38

2.4.4.2.Pada Bidang Hukum ... 39

2.5.Tanggung Jawab Perawat dan Rumah Sakit ... 40

2.5.1. Tanggung Jawab Perawat ... 40

2.5.2. Tanggung Jawab Rumah Sakit ... 41

BAB IV PENUTUP ... 43

4.1. Kesimpulan ... 43

4.2. Saran ... 45

(5)

ABSTRAK

Makalah ini membahas masalah Informed Consent, Sebagai Upaya Preventif Tindakan Malpraktek. Sebelumnya diuraikan terlebih dahulu bagaimana aspek etis dan aspek hukum informed consent, bilamana informed

consent dikesampingkan, bagaimana aspek hukum tindakan malpraktek, bagaimana tanggung jawab perawat dan rumah sakit dalam hal terjadi tindakan malpraktek, dan bagaimana informed consent sebagai upaya preventif tindakan malpraktek. Penulis menyarankan, agar dalam pemberian penjelasan terkait dengan informed consent seyogyanya disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh pasien. Selain itu, dalam hal menyikapi permasalahan-permasalahan di atas, perlulah kiranya upaya-upaya preventif, baik dari dokter maupun pasien. Data untuk makalah ini penulis peroleh dengan menggunakan metode studi kepustakaan.

(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pekerjaan dokter mempunyai ciri khusus, antara lain merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan pada kepercayaan. Pasien senantiasa harus percaya kepada kemampuan dokter yang menanganinya. Namun keadaan demikian lama-kelamaan mengalami perubahan, sehubungan dengan perkembangan yang terjadi dalam pelbagai bidang kehidupan. Dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab atas kesehatannya sendiri, maka kepercayaan yang semula tertuju pada kemampuan dokter secara pribadi, sekarang bergeser pada kemampuan ilmunya. Timbul kesadaran masyarakat untuk menuntut suatu hubungan yang seimbang dan tidak lagi sepenuhnya pasrah kepada dokter.1 Husein Kerbala mengatakan bahwa selain kepercayaan tidak lagi pada dokter secara pribadi, akan tetapi kepada kemampuan ilmu kedokteran, perubahan pola hubungan dokter-pasien terjadi karena:

a. ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan itu bukan lagi keadaan tanpa penyakit, akan tetapi berarti kesejahteraan fisik, mental dan sosial.

b. semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada pasien.

Dengan demikian terlihat hubungan dokter-pasien tidak hanya bersifat medis semata, tetapi juga bersifat sosial, yuridis dan ekonomis.2

1 Veronica Komalawati, “Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik

(Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien)”, cetakan ke-2, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hal 38-39.

2Husein Kerbala, “Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent”, cetakan ke-1, (Jakarta:

(7)

Di Indonesia, kasus Dokter Setyaningrum pada tahun 1980-an untuk pertama kalinya menggugah kesadaran masyarakat akan hubungan yang seimbang antara dokter dengan pasien. Sejak kasus itu mencuat, terjadi perubahan pola hubungan pasien-dokter dari paternalistik menjadi partnership.3 Pasien menjadi sadar akan hak-haknya, antara lain hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan yang umum disebut dengan informed consent.

Banyak kasus bermunculan setelah kasus dr. Setyaningrum, dimana pasien atau keluarga pasien menggugat dan menuntut tenaga medis dalam berbagai kasus malpraktek. Kasus-kasus seperti “Keluarga Bayi Jared-Jayden dan RS Omni” serta “Keluarga Bayi Ismi dan RS Borromeus” baru-baru ini merupakan contoh nyata fenomena ini. Dari sini terlihat, pemahaman Informed Consent yang memadai amat dibutuhkan sebagai upaya preventif tindakan malpraktek. Permasalahan ini yang hendak penulis angkat, apa dan bagaimana “Informed Consent,Sebagai Upaya Preventif Tindakan Malpraktek”.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang makalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan makalah ini sebagai berikut.

1. Bagaimana aspek etis dan aspek hukum informed consent? 2. Bilamana informed consent dikesampingkan?

3. Bagaimana aspek hukum tindakan malpraktek?

4. Bagaimana tanggung jawab perawat dan rumah sakit dalam hal terjadi tindakan malpraktek?

5. Bagaimana informed consent sebagai upaya preventif tindakan malpraktek?

1.3. Tujuan Penulisan Makalah

3 Tempo Online, “Vonis Bebas Untuk Profesi Dokter”, diakses dari

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/08/25/HK/mbm.19840825.HK41200.id.html, pada tanggal 7 April 2012 pukul 12.53 WIB.

(8)

Untuk lebih mengarahkan dalam pembahasan nantinya, perlu kiranya diketahui apa yang menjadi tujuan penulisan makalah ini. Yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui bagaimana aspek etis dan aspek hukum informed consent? 2. Mengetahui bilamana informed consent dikesampingkan?

3. Mengetahui bagaimana aspek hukum tindakan malpraktek?

4. Mengetahui bagaimana tanggung jawab perawat dan rumah sakit dalam hal terjadi tindakan malpraktek?

5. Mengetahui bagaimana informed consent sebagai upaya preventif tindakan malpraktek?

1.4. Metode Penelitian

Data penulisan makalah ini diperoleh dengan metode studi kepustakaan. Metode studi kepustakaan yaitu suatu metode dengan membaca telaah pustaka tentang “Informed Consent, Sebagai Upaya Preventif Tindakan Malpraktek”. Selain itu penulis juga memperoleh data dari internet.

(9)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Definisi Pasien, Dokter, dan Rumah Sakit 2.1.1. Definisi Pasien

Pasien adalah orang yang berdasarkan pemeriksaan dokter dinyatakan menderita penyakit mengidap penyakit baik di dalam tubuh maupun di dalam jiwanya.4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran membedakan pasien dengan menggunakan istilah “pasien yang kompeten” dan “pasien”. Berdasarkan Pasal 1 angka7 Permenkes ini, “pasien yang kompeten” adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas. Dalam kaitannya dengan informed consent, pasien yang kompeten ini berhak memberikan persetujuan tindakan kedokteran (Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008). Lebih lanjut mengenai ini akan dibahas dalam sub-bab “Aspek Perdata Informed Consent” dan sub-bab “Alasan-Alasan yang Mengecualikan Informed Consent”.

2.1.2. Definisi Dokter

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, “Tenaga Kesehatan” adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap

kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi 4Husein, op.cit., hal 36.

(10)

dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan menyatakan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari:

a. tenaga medis; b. tenaga keperawatan; c. tenaga kefarmasian;

d. tenaga kesehatan masyarakat; e. tenaga gizi;

f. tenaga keterapian fisik; g. tenaga keteknisian medis.

Tenaga medis menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini meliputi dokter dan dokter gigi. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran memberikan definisi dokter dan dokter gigi. Pasal 1 ayat (2) menjelaskan Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 35 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa; “Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki...” Apa itu surat tanda registrasi? Surat tanda registrasi didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 8 UU ini; “Surat tanda

registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil

Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah diregistrasi”. Menurut Pasal 1 Angka 5 UU ini, Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap

(11)

dokter dan dokter gigi yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk melakukan tindakan profesinya. Sertifikat kompetensi menurut Pasal 1 Angka 4 UU ini adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah

lulus uji kompetensi. Selain itu, dalam Pasal 36 ayat (1) UU ini disebutkan bahwa;

Setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki SIP”.SIP adalah akronim dari Surat Izin Praktik, yaitu bukti tertulis yang diberikan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada dokter dan dokter gigi yang telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik

kedokteran (Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007, Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran harus sesuai dengan kewenangan dan kompetensi yang dimiliki serta kewenangan lainnya yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran. Pasal 19 ayat (2) Permenkes ini menyebutkan ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) dapat disimpangi dokter dan dokter gigi dalam rangka gawat darurat guna penyelamatan jiwa atau pencegahan kecacatan pasien.

Apa makna dari surat tanda registrasi, Registrasi, Sertifikat kompetensi, dan SIP? Semua itu adalah bentuk pengakuan pemerintah bahwa seorang dokter atau dokter gigi mempunyai kewenangan untuk melakukan praktik kedokteran di Indonesia. Kewenangan tersebut pada asasnya terbatas pada apa yang tercantum dalam SIP. Meskipun demikian, peraturan perundang-undangan memungkinkan seorang dokter atau dokter gigi dapat melampaui kewenangannya manakala kondisi gawat darurat guna penyelamatan jiwa atau pencegahan kecacatan pasien.

Jadi, apa definisi dokter? Walaupun dalam peraturan perundang-undangan tidak diberikan definisi dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau pun dokter gigi spesialis, namun dari uraian di atas dapat disimpulkan, definisinya dalam konteks yuridis formal di Indonesia. Dokter tak hanya seseorang yang menjalani pendidikan di suatu fakultas kedokteran (dokter gigi: pendidikan di fakultas

(12)

kedokteran gigi; dokter spesialis: melanjutkan pendidikan spesialisasi tertentu) lalu mendapat ijazah untuk pendidikannya itu menurut peraturan hukum positif. Tetapi juga telah mendapat pengakuan pemerintah dalam hal kewenangan menyelenggarakan praktik kedokteran tertentu.

2.1.3. Definisi Rumah Sakit

Siregar dan Amalia menyatakan bahwa rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik.5

Definisi Rumah Sakit terdapat dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya disebut dengan UU Rumah Sakit) yang menyatakan: “Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Pasal 1

Angka 1)”.

Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memiliki izin, yang terdiri dari izin mendirikan dan izin operasional. Izin sebagaimana dimaksud itu diberikan setelah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini (Pasal 25 UU Rumah Sakit).

Adapun fungsi Rumah Sakit Menurut Pasal 5 UU Rumah Sakit yaitu: a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit;

5 Widi Hariyanti, “Analisis Teori Antrian Sebagai Penentu Optimalisasi Pelayanan

Konsumen Pada Intalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Klipang Di Semarang”, Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan, Vol. 2 Nomor 3 April 2009, Hal 248.

(13)

b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;

c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan

d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan;

2.2. Hubungan Hukum Antara Pasien dengan Dokter

Seperti yang telah dikemukakan di atas, hubungan dokter dengan pasien mempunyai aspek hukum di samping aspek-aspek lainnya. Salah satu aspek hukum yang penting adalah aspek hukum perikatan. Menurut KUHPerdata, perikatan dapat lahir dari “Perjanjian (Ius contractu)” dan “Undang-undang (Ius

delicto)”.

2.2.1. Berdasarkan Perjanjian (Ius contractu)

Timbulnya hubungan hukum antara dokter-pasien berdasarkan perjanjian mulai terjadi saat pasien datang ke tempat praktek dokter atau ke rumah sakit dan dimulainya anamnesa dan pemeriksaan oleh dokter. Dari seorang dokter harus dapat diharapkan bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkan pasiennya.6

Ada dua kategori perjanjian dalam hukum perdata, yakni sebagai berikut.7 1. Resultaatsverbintenis, yaitu perikatan berdasarkan hasil kerja (prestasinya

berupa hasil). Misalnya kontrak antara dokter gigi dengan pasiennya untuk membuat gigi palsu, juga dokter ahli kecantikan dan dokter spesialis bedah

6Veronica, Op.cit.

7Fred Ameln, “Kapita Selekta Hukum Kedokteran”, cet. ke-1, Grafikatama Jaya, 1991,

(14)

plastik dengan pasiennya, serta dokter ahli orthopedi yang membuat prothesa kaki untuk pasiennya.

2. Inspanningsverbintenis, yaitu perikatan berdasarkan daya upaya/usaha yang

maksimal. Di sini dokter tidak menjanjikan kesembuhan, tetapi berjanji berdaya upaya maksimal untuk kesembuhan pasien. Contohnya kontrak

terapuetik8dokter-pasien.

Di samping bentuk Resultaatsverbintenis dan Inspanningsverbintenis, menurut Husein Kerbala, ada perjanjian yang merupakan bentuk antara keduanya. Suatu operasi usus buntu yang dilakukan di kota besar dengan rumah sakit yang relatif lengkap dan modern peralatannya dengan dokter-dokter spesialisasi yang cukup berpengalaman, maka operasi itu dapat dimasukkan dalam

Resultaatsverbintenis. Namun bila operasi usus buntu itu dilakukan di sebuah

puskesmas atau di rumah sakit di kota kecil yang serba terbatas peralatan dan tenaga medisnya, maka tidak dapat dikategorikan dalam Resultaatsverbintenis, tetapi tepat dimasukkan Inspanningsverbintenis.9

2.2.2. Berdasarkan Undang-Undang (Ius delicto)10

8

Menurut Husein Kerbala, kontrak terapeutik yang disebut juga dengan transaksi

terapeutik adalah suatu perjanjian antara dokter dengan pasien untuk melakukan tindakan

terapeutik atau pengobatan. Lihat, Husein Kerbala, op.cit., hal 38. Terhadap hubungan hukum yang terjadi antara pasien dengan dokter menurut beliau lebih tepat digunakan istilah perjanjian medis atau kontrak medis yaitu suatu hubungan hukum antara dokter dengan pasiennya mengenai hal-hal yang menyangkut medis. Istilah perjanjian medis ini lebih luas dari kontrak terapeutik, karena perjanjian medis ini dapat mencakup sampai tindakan terapi. Terminologi tersebut di atas juga dipakai dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Pasal 1 angka 3 Permenkes ini menyebutkan tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Permenkes sepakat dengan Husein Kerbala bahwa definisi tindakan terapeutik lebih sempit cakupannya daripada tindakan medis.

9Ibid., Husein, hal 39.

10J. Guwandi, “Dokter, Pasien, dan Hukum”, (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

(15)

Di Indonesia hal ini diatur di dalam KUHPerdata pasal 1365 tentang perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang berbunyi:

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang yang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 telah merumuskan perbuatan melanggar hukum “sebagai suatu tindakan atau non-tindakan yang atau bertentangan dengan kewajiban si pelaku, atau bertentangan dengan susila baik, atau kurang hati-hati dan ketelitian yang seharusnya dilakukan di dalam masyarakat terhadap seseorang atau barang orang lain”.

Jika seorang dokter tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di atas, maka ia dapat dianggap telah melakukan pelanggaran hukum. Melanggar ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang karena tindakannya bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dapat diharapkan daripadanya dalam pergaulan sesama warga masyarakat.

Jika dikaitkan dengan Hukum Kedokteran, maka masih timbul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan “kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian” itu? Jawabannya adalah standar-standar dan prosedur profesi medik di dalam melakukan suatu tindakan medik tertentu. Namun Standar-standar tersebut juga bukan sesuatu yang tetap karena pada waktu-waktu tertentu terhadapnya haruslah diadakan evaluasi untuk dapat memgikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun tidak saja terhadap suatu perbuatan yang dilakukan, tetapi juga terhadap suatu kelalaian yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain dapat pula dimintakan penggantian kerugian. Hal ini dirumuskan di dalam pasal 1366 KUHPerdata yang berbunyi:

Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.

(16)

Selain itu seseorang juga bertanggung-jawab terhadap tindakan atau kelalaian/kurang hati-hati dari orang yang berada di bawah perintahnya. Hal ini dirumuskan di dalam pasal 1367 KUHPerdata yang berbunyi:

Seseorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

2.3. Tinjauan Informed Consent

2.3.1. Informed Consent Sebagai Hak Pasien

Perikatan medis yang lahir dari perjanjian medis merupakan hubungan hukum yang bersifat timbal balik. Sebagai hubungan hukum yang bersifat timbal balik, perjanjian medis selalu mempunyai dua segi yang isinya hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lainnya. Dengan lain perkataan bahwa hak pihak pertama merupakan kewajiban pihak kedua dan sebaliknya kewajiban pihak pertama itu merupakan hak bagi pihak kedua. Demikian juga dengan hubungan hukum antara dokter dengan pasiennya pun terdapat hak dan kewajiban.

Pada literatur hukum kesehatan terdapat beberapa hak pasien antara lain:11 a) Hak atas informasi

b) Hak memberikan persetujuan c) Hak memilih dokter

d) Hak memilih sarana kesehatan (Rumah Sakit) e) Hak atas rahasia kedokteran

f) Hak menolak pengobatan/perawatan g) Hak menolak suatu tindakan medis tertentu

h) Hak untuk menghentikan pengobatan/perawatan (di Rumah Sakit tersedia formulir keluar paksa)

i) Hak atas second opinion (pendapat kedua)

j) Hak melihat rekam medis/hak “inzage” rekam medis 11Fred, op.cit., hal 40.

(17)

Butir a dan b dinamakan “informed consent”.

Berkaitan dengan informed consent sebagai hak pasien di satu sisi, di sisi lain lain pasien juga mempunyai kewajiban memberikan penjelasan lengkap, sebanyak mungkin tentang penyakitnya. Kewajiban pasien ini dapat dikaitkan dengan hak dokter atas “itikad baik” pasien.12

Informed Consent diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, salah satunya Pasal 8 yang menyebutkan Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan menyebutkan kewajiban dari tenaga kesehatan antara lain adalah memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan serta meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan. Selain itu dalam pasal 22 ayat (1) ini juga disebutkan tenaga kesehatan diwajibkan untuk menghormati hak-hak pasien, yang dalam penjelasan pasal Peraturan Pemerintah ini dikatakan hak-hak pasien itu meliputi hak atas informasi dan hak untuk memberikan/menolak persetujuan. Informed Consent juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Berikut beberapa pasal yang mengatur mengenai informed consent.

Pasal 2

Ayat (1): Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

Ayat (3): Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.

Pasal 7

(18)

(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta. (2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan

diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.

(3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya mencakup:

a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. f. Perkiraan pembiayaan.

Pasal 8

(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi : a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;

b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurangkurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding;

c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran;

d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.

(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :

a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif.

b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.

c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.

(19)

e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.

(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:

a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum

b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan

c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya (unforeseeable)

(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:

a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam); b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam); c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam) 2.3.2. Pengertian Informed Consent

Pada dasarnya, hubungan dokter dengan pasien yang dikenal dengan kontrak terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak manusia, yaitu:

a. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination/TROS) b. Hak atas informasi (the right to information)

Dengan kedua hak dasar itu dokter dan pasien bersama-sama menemukan terapi (cara penyembuhan) yang paling tepat akan diterapkan pada diri pasien. Dari sini pangkal informed consent lahir.13

Berikut beberapa pendapat yang pernah disampaikan mengenai definisi informed consent.

a. Secara harfiah, informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan consent. Informed berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan atau 13 Husein, op.cit., hal 56-57, mengutip Hermien K., “Hukum kedokteran di Dunia

(20)

informasi. Sedangkan consent itu berarti suatu persetujuan atau mengizinkan. Dengan demikian informed consent itu berarti suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi (informed).14

b. D. Veronica Komalawati merumuskan pengertian informed consent sebagai:15 “...suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan menolong dirinya disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.”

c. Di dalam Patient Bill of Rights atau American Hospital Assosiation, informed

consent dirumuskan sebagai:

“The patient has the right to receive from his physician information

necessary to give. Informed Consent prior to the start of any procedure

and/or treatment.”16

d. Menurut Black’s Law Dictionary maka dikatakan bahwa informed consent adalah: A person's agreement to allow something to happen, made with full

knowledge of the risks involved and the alternatives. For the legal profession, informed consent is defined in Model Rule of Professional Conduct l.O(e). 2. A patient's knowing choice about a medical treatment or procedure, made after a physician or other healthcare provider discloses whatever information a reasonably prudent provider in the medical community would give to a patient regarding the risks involved in the proposed treatment or procedure. -Also termed knowing consent.17

2.3.3. Kode Etik Kedokteran dan Informed Consent

14

Ibid., hal 57.

15

Ibid.,mengutip Veronica Komalawati, “Hukum dan Etika dalam Praktek Kedokteran”,

(Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal 86.

16Ibid.,mengutip Fred Ameln, “Informed Consent: Pada Perjanjian Medis Dokter/Dokter

Gigi, Beberapa Aspek Yuridis dan Etis”, disampaikan pada Seminar Informed Consent di RSPP

Jakarta, 30 Agustus 1991, hal 21.

17 Bryan A. Garner, Ed., “Black's Law Dictionary 9th ed., (St. Paul Min: West Group,

(21)

Dari segi etik, penerapan informed consent dianggap sebagai upaya dokter untuk membuktikan kesungguhannya dalam mematuhi primum non nocere (yang paling diutamakan adalah untuk tidak mencelakakan pasien), serta prinsip mengutamakan kepentingan pasien. Dokter yang memegang prinsip

primum non nocere akan selalu menerima apa pun yang diputuskan oleh

pasiennya. Sehingga dapat dikatakan bahwa aspek etik dari informed consent sangatlah luas dan besar dan menjadi landasan moral bagi kalangan tenaga kesehatan, khususnya para dokter.18

Dalam profesi kedokteran, dikenal adanya suatu kode etik yang disusun berdasarkan asas etik. Dasar etik tersebut berlaku sejak zaman Hippocrates dan merupakan asas yang tidak pernah berubah, yang secara universal dipakai di seluruh dunia. Jika dijabarkan terdapat enam asas dalam profesi kedokteran yakni:19

1. Asas menghormati otonomi pasien

Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh dokter serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri sehingga kepadanya perlu diberikan informasi yang cukup. Pasien berhak untuk dihormati pendapat dan keputusannya, dan tidak boleh dipaksa. Untuk itu maka perlu adanya informed consent.

2. Asas kejujuran

Dokter hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya secara jujur akan apa yang terjadi , apa yang akan dilakukan, serta akibat/risiko yang dapat terjadi.

3. Asas tidak merugikan

Dokter berpedoman pada primum non nocere, tidak melakukan tindakan yang tidak perlu, dan mengutamakan tindakan yang tidak merugikan pasien, serta mengupayakan risiko fisik, risiko psikologis, maupun risiko sosial akibat tindakan tersebut seminimal mungkin. 18 Husein, op.cit., hlm. 90.

19 Ari Yunanto dan Helmi, “Hukum Pidana Malpraktik Medik”, (Yogyakarta: Andi

(22)

4. Asas manfaat

Semua tindakan dokter yang dilakukan terhadap pasien harus bermanfaat bagi pasien guna mengurangi penderitaan atau memperpanjang hidupnya. Untuk itu dokter wajib membuat rencana perawatan/tindakan yang berlandaskan pada pengetahuan yang sahih dan dapat berlaku secara umum.

5. Asas kerahasiaan

Dokter harus menghormati kerahasiaan pasien, meskipun pasien tersebut sudah meninggal dunia.

6. Asas keadilan

Dokter harus berlaku adil, tidak memandang kedudukan atau kepangkatan, tidak memandang kekayaan, dan tidak berat sebelah dalam merawat pasien.

Dari asas tersebut kemudian disusun peraturan kode etik kedokteran Indonesia yang menjadi landasan bagi setiap dokter untuk mengambil keputusan etik dalam melakukan tugas profesinya sebagai seorang dokter. Kode etik kedokteran yang berlaku sekarang dinyatakan mulai berlaku pertama kali dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Men. Kes/Sk/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) bagi para dokter di seluruh Indonesia, baik yang menjadi anggota IDI maupun yang tidak menjadi anggota IDI. Kodeki berisi tentang kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap penderita, kewajiban dokter terhadap teman sejawat, dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.20

2.3.4. Aspek Perdata Informed Consent

Telah dijelaskan di muka bahwa informed consent merupakan hubungan hukum yang lahir dari perjanjian medis. Perjanjian medis yang termasuk perikatan medis merupakan perikatan pada umumnya yang berlaku ketentuan-ketentuan umum hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan demikian, syarat sahnya perjanjian medis juga kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien haruslah memenuhi ketentuan

(23)

dalam KUHPerdata Buku III Bab II Bagian Kedua Tentang Syarat-Syarat yang Diperlukan Untuk Sahnya Suatu Perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian dalam pasal 1320 Buku III Bab II Bagian Kedua KUHPerdata disebutkan ada empat, yaitu:

1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sehingga dapat dimintakan pembatalannya pada pengadilan manakala syarat subjektif ini tidak terpenuhi. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Syarat objektif ini apabila tidak terpenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum.21

Ad. 1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya

Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa kesepakatan harus diberikan tanpa adanya kekhilafan, atau diperolehnya tidak dengan dengan paksaan atau penipuan. Subekti menjelaskan dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju, seiya-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki pihak satu, juga dikehendaki pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik.22

Paksaan terjadi, jika seseorang memberikan persetujuannya karena takut suatu ancaman. Misalnya rahasianya akan dibuka jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancam harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang undang-21Subekti (a), “Hukum Perjanjian”, cet. ke-12, (Jakarta: Penerbit Intermasa, 2002), hal

17.

(24)

undang. Jikalau yang diancam itu suatu perbuatan yang diizinkan oleh undang-undang, misalnnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan hakim dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan.23

Kekhilafan dapat terjadi, baik menyangkut subjek maupun objeknya.24 Misalnya, seseorang yang ingin mengobati penyakitnya datang ke seorang dokter. Sebenarnya ia ingin berobat kepada seorang dokter spesialis, tetapi karena ketidaktahuannya ia datang ke dokter umum. Sebaliknya dokter umum itu mengira bahwa calon pasien itu tahu bahwa dirinya memang hanya seorang dokter umum dan sungguh ingin berobat kepadanya.25 Kekhilafan mengenai objeknya, terjadi jika hal yang dijadikan objek perjanjian itu sesungguhnya bukan yang dimaksudkan oleh pihak-pihak.26

Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.27

Adapun dalam menyatakan persesuaian kehendak itu, dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara tegas (expressed contract) mapun diam-diam (implied contract). Dalam bentuk Expressed Contract sifat atau luas jangkauan pemberian pelayanan pengobatan sudah ditawarkan oleh sang dokter yang dilakukan secara nyata dan jelas, baik secara tertulis maupun secara lisan. Dalam bentuk Implied Contract adanya kontrak disimpulkan dari tindakan-tindakan para pihak. Timbulnya bukan karena adanya persetujuan, tetapi dianggap ada oleh

23

Subekti (b), “Pokok-Pokok Hukum Perdata”, cet. ke-31, (Jakarta: PT Intermasa, 2003), hal 135.

24Ibid.

25 Agus Sardjono, “Buku Ajar (Buku A) Hukum Dagang”, (Depok: Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2004), hal 13.

26Ibid.

(25)

hukum berdasarkan akal sehat dan keadilan. Maka jika seorang pasien datang ke suatu klinik medis dan sang dokter mengambil riwayat penyakitnya, memeriksa keadaan fisik pasien dan memberikan pengobatan yang diperlukan, maka dianggap tersirat sudah ada hubungan kontrak antara pasien dan dokter.28

Menurut Veronica Komalawati, jika dihubungkan dengan perjanjian medis (Veronica menyebutnya dengan transaksi terapeutik) sebagai hubungan interpersonal, maka yang disebut informed consent untuk dilakukan tindakan medis merupakan konstruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan baik oleh dokter maupun pasien setelah masing-masing menyatakan kehendaknya sehingga masing-masing telah mendapatkan informasi secara bertimbal balik. Oleh karena itu, informed consent diartikan sebagai persetujuan setelah informasi.29

Bentuk informed consent tidak harus tertulis, tetapi bisa secara lisan. Ketentuan mengenai ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang bunyinya: “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.”Namun untuk tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan (Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008). Berikut Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Pasal 3

(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

28J. Guwandi, op.cit., hal 20. 29Veronica, op.cit., hal 156.

(26)

(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.

(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.

(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis. Ad 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pada dasarnya orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Cakap menurut hukum maksudnya orang tersebut mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap (Pasal 1329 KUHPerdata). Tak cakap membuat suatu perjanjian adalah (Pasal 1330 KUHPerdata):

a. Orang-orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka istri telah dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

Selain kecakapan berlandaskan faktor usia, kecakapan juga ditentukan berdasarkan faktor kesehatan mental.30 Kecakapan juga ditentukan oleh

undang-30 Agus Sardjono, op.cit., hal 14, mengutip J. David Reitzel, et al., “Contemporary

(27)

undang.31 Misalnya, seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medis haruslah tenaga kesehatan yang telah memperoleh Surat Izin Praktek dan tindakan medis tersebut adalah sebatas tindakan (wewenang) yang memang ditulis dalam Surat Izin Praktek Tenaga Kesehatan itu dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seringkali ditemui kasus dimana seorang tenaga kesehatan melampaui wewenangnya, misalnya kasus seorang dokter gigi yang membuka klinik kecantikan untuk operasi plastik padahal ia hanya mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) sebagai dokter gigi yanbg tentu saja wewenangnya sebatas tindakan medis oleh dokter gigi yang tercantum dalam SIP itu. Lebih lanjut mengenai SIP akan dibahas dalam sub-bab “Aspek Administratif Informed Consent”.

Ad 3) Suatu hal tertentu

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.32Barang yang dimaksud paling sedikit ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata). Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata).

Menurut Veronica Komalawati, dihubungkan dengan objek dalam perjanjian medis, maka urusan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang perlu

ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus

dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerja sama yang didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Oleh karena upaya penyembuhan yang akan dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan adanya standar pelayanan medik.33

31Ibid.

32Subekti (a), op.cit., hal 18. 33Veronica, op.cit., hal 164.

(28)

Dengan demikian, dapat terlihat bahwa ketentuan mengenai objek

perjanjian ini erat kaitannya dengan masalah: (1) pelaksanaan upaya medik sesuai

dengan standar pelayanan medik yang meliputi standar pelayanan penyakit dan standar pelayanan penunjang; serta (2) masalah infomasi yang diberikan harus tidak melebihi dari yang dibutuhkan oleh pasien. Jadi jika dokter tidak dapat menentukan dan menjelaskan, atau memberikan informasi mengenai upaya medik yang akan dilakukannya, maka berarti syarat ini tidak terpenuhi.34

Ad 4) Suatu sebab yang halal

Syarat terakhir adalah sebab yang halal. Sebab yang halal maksudnya adalah isi dari suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang di sini adalah undang-undang yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar akan membahayakan kepentingan umum.35 Misalnya, menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menentukan bahwa tindakan pengguguran kandungan merupakan perjanjian dengan sebab terlarang, kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang ini (Pasal 75 dan Pasal 76).

Lalu bagaimana bila perjanjian terapeutik dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam rangka melakukan pekerjaan di bawah Rumah Sakit? Dalam kaitan dengan tanggung jawab Rumah Sakit, maka pada prinsipnya Rumah Sakit bertanggung-jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu, Rumah

34Ibid., hal 165.

35Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, “Mengenal Hukum Perdata”, ed. ke-1,

cet. ke-1, (Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008), hal 132, mengutip Hardijan Rusli, “Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law”, cet. ke-2, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal 99.

(29)

Sakit bertanggung jawab atas wanprestasi dan melawan hukum (1243, 1370, 1371, dan 1365 KUHPerdata) bila tindakan itu dilakukan pegawainya.36

2.3.5. Aspek Pidana Informed Consent

Telah dibahas bahwa sebelum tindakan medik dilakukan diperlukan persetujuan pasien. Mengapa seorang pasien harus memberikan persetujuan itu; misalnya suatu operasi? Dilihat dari aspek pidananya, hal ini dikaitkan dengan Pasal 351 KUHP dimana diatur hal penganiayaan. Jika seseorang menusukkan pisau ke dalam badan seseorang lain.yang menimbulkan luka, perbuatan ini merupakan penganiayaan. Jika seseorang membius orang lain, ini pun termasuk

penganiayaan. Jika seseorang yang membius tersebut kebetulan seorang dokter,

maka tindakan itu tetap penganiayaan.37

Tindakan-tindakan itu bukan suatu penganiayaan menurut Hukum Pidana manakala:38

a. orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan;

b. tindakan medik itu berdasarkan suatu indikasi medik, dan ditujukan pada suatu tujuan yang konkrit; serta

c. tindakan medik itu dilakukan sesuai ilmu kedokteran. Ad. a. Orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan

Telah dikemukakan di muka bahwa keharusan memberikan persetujuan disyaratkan adanya pemberian informasi terlebih dahulu. Telah dijelaskan pula bahwa hanya dalam keadaan-keadaan tertentu, persetujuan seperti itu tidak disyaratkan, misalnya pasien tidak mampu mengucapkan keinginannya atau dalam keadaan darurat. Dalam hal yang terakhir itu, bukan menjadi masalah teori mana yang akan dipergunakan yakni berkenaan dengan permasalahan apakah tindakan

36Fred, op.cit., hal. 71. 37Fred, op.cit., hal 43-44.

38 H.J.J Leenen, Pelayanan Kesehatan dan Hukum”, Eds., A.F. Lamintang, (Bandung:

(30)

medis itu merupakan suatu penganiayaan atau tidak, khususnya tentang bagaimana caranya tindakan tersebut jangan sampai termasuk dalam pengertiannya. Jika adanya persetujuan itu pada umumnya tidak dapat membenarkan adanya suatu penyimpangan terhadap standar profesional medis, maka hanya dalam satu hal adanya suatu persetujuan itu dapat membuat suatu tindakan medis yang tidak diindikasikan menjadi suatu tindakan yang dapat dibenarkan, yakni jika tindakan tersebut sifanya tidak terlarang secara etis.

Ad. b. tindakan medik itu berdasarkan suatu indikasi medik, dan ditujukan pada suatu tujuan yang konkrit

Itu berarti bahwa perawatan medis sesuai dengan standar profesional secara medis yang berlaku, harus ditujukan pada tujuan ilmu kedokteran. Tindakan itu juga harus dibenarkan secara etis. Selanjutnya cara yang dipakai itu harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, instrumen-instrumen yang dipakai itu memang diperlukan, dan terdapat keseimbangan antara cara yang dipakai dengan tujuan yang ingin dicapai. Kegunaan secara intrumental itu dianggap tidak ada misalnya: jika suatu tindakna medis yang sifatnya beray itu telah diterapkan pada suatu perasaan sakit yang ringan; jika dilakukan suatu tindakan medis yang sifatnya tidak perlu; jika kepada pasien telah tidak diberikan “pencegah rasa sakit” dalam jumlah yang memadai dan lain-lain. Suatu penanganan yang tidak dapat dipertangungjawabkan secara intrumental atau menurut tujuan itu harus diberikan kualifikasi sebagai suatu penganiayaan. Sebagai suatu kekecualian dapat terjadi bahwa bagi seorang pasien itu terdapat perbedaan antara tujuan dengan pelayanan, misalnya pada percobaan-percobaan pada manusia, tetapi jika orang menginginkan agar tindakan tersebut tidak dapat disebut sebagai suatu tindakan yan sifatnya melawan hukum secara material, maka tindakan itu harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan bagi suatu percobaan.

Ad. c. tindakan medik itu dilakukan sesuai ilmu kedokteran.

Masalahnya di sini adalah berkenaan dengan ketelitian melakukan tindakan medis, baik pada waktu melakukan pemeriksaan untuk membuat

(31)

diagnosa maupun pada waktu melakukan terapi, dan berkenaan dengan ketelitian memberikan sarana pencegah rasa sakit dan memberikan pelayanan.

Syarat-syarat yang disebutkan dalam huruf b dan huruf c di atas juga dapat disebut dengan “bertindak lege artis” (bertindak menurut standar profesional medis). Dengan demikian, menurut Leenen, maka suatu pembedahan yang dilakukan dengan hati-hati dan didasarkan pada indikasi yang baik itu, jika karena suatu hal ternyata gagal, tidaklah bersifat melawan hukum.39

Jika dokter memenuhi ketiga syarat itu, maka ia tidak dapat dikenakan pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Ketiga syarat itu harus semua dipenuhi. Satu sama lain saling berhubungan. Upaya ini menurut Leenen meniadakan “de materieele wederechtelykheid”, yaitu menghilangkan sifat yang bertentangan dengan hukum. Fred Ameln menyebutnya dengan “Buitenwettelyke schuld-uitsluitingsgrond” atau dasar peniadaan culpa di luar undang-undang. Selain itu juga dikenal prinsip AVAS yang berarti “afwezighyd van alle schuld”, tidak terdapat suatu kelalaian sama sekali.40

2.3.6. Aspek Administratif Informed Consent

Dalam hukum administratif, masalah kualifikasi yuridis berkenaan antara lain dengan kewenangan yuridis untuk melakukan tindakan medis. Kewenangan yuridis untuk melakukan tindakan medis salah satu wujudnya adalah Surat Izin Praktek yang diberikan aparatur negara yang berwenang kepada tenaga kesehatan. Dalam Surat Izin Praktek dituliskan Ruang Lingkup kewenangan tenaga kesehatan.

Dasar hukum Surat Izin Praktek adalah Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan) sebagai berikut.

39Ibid.

(32)

ayat (1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

ayat (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.

ayat (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.

Penjelasan Pasal 23 ayat (1) menyatakan “kewenangan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kewenangan yang diberikan berdasarkan pendidikannya setelah melalui proses registrasi dan pemberian izin dari pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Selain dalam UU Kesehatan, mengenai surat izin praktek juga diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

Pasal 4

(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.

(2) Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi tenaga kesehatan masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 5

(1) Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan adaptasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

(33)

Surat Izin Praktek diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri Kesehatan, sebagai berikut.

(1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

(2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/149/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan

(3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat

2.3.7. Alasan-Alasan yang Mengecualikan Informed Consent

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran menyebutkan dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Hal ini berarti ada keadaan dimana informed consent tak harus dipenuhi. Di samping ketentuan dalam Permenkes itu, juga terdapat doktrin mengenai keadaan-keadaan yang dapat menjadi alasan dikesampingkannya informed consent. Alasan-alasan yang dapat mengecualikan informed consent adalah sebagai berikut.41

a. Pasien yang akan menjalani pengobatan dengan “placebo” (sugestif therapeuticum)42

Kadangkala ada orang yang datang kepada dokter mengungkapkan keluhan-keluhan penyakitnya (pusing, sakit kepala, dan lain-lain). Tetapi hasil pemeriksaan dan diagnosa dokter menyatakan orang ini secara medis tidak mengidap suatu penyakit apa pun. Mengapa demikian? Mereka ini hanya “merasa” saja sakit. Perasaan ini terus dipupuk dan diikuti sehingga perasaan sakitnya makin parah.

41Ibid., hal 46.

(34)

Terhadap pasien yang demikian dokter akan mengobatinya dengan cara

placebo, yakni diberi suatu obat yang sebenarnya bukan obat (hanya kembang

gula, vitamin) tetapi diberi aturan minum seperti obat pada umumnya. Jadi terapi yang digunakan juga harus berbentuk sugesti “sugestif-therapeuticum”. Karena timbulnya penyakit yang dirasakan itu dari sugesti. Kepada pasien yang demikian, dokter tidak mungkin menyampaikan diagnosa dan terapi yang dilakukan. Penyampaian informasi itu justru akan merusak rencana terapi dan proses penyembuhan.

b. Pasien yang akan merasa dirugikan bila mendengar informasi tersebut43

Bila keadaan pasien sudah sangat parah dan labil, misalnya berpenyakit lemah jantung yang sudah akut, maka dokter dapat menyampingkan hak pasien tersebut atas informasi. Bila hasil diagnosa menunjukkan pasien mengalami komplikasi dengan penyakit lever, dan lain-lain maka informasi tentang ini dapat disampaikan kepada keluarga pasien yang berwenang.

c. Pasien yang sakit jiwa44

Dapat dipahami jika pasien ini dapat dikesampingkan hak informasinya karena ia tidak akan mampu memahami informasi dokter, terutama pasien yang sakitnya telah parah sehingga sama sekali tidak dapat berkomunikasi lagi.

d. Pasien yang belum dewasa45

Tentang kelompok pasien belum dewasa, Prof Leenen membedakannya ke dalam dua kelompok, yakni: (1) Grup A: yang masih anak (de

jongereminderjarige); dan (2) Grup B: yang sudah mendekati kedewasaan (de Oudere minderjarige). Sukar untuk menarik suatu batas umur antara Grup A dan

Grup B dan di sini dapat dipakai “The Major-Minor Rule” yaitu orang yang

43Ibid.

44Ibid.

(35)

belum dewasa dapat dikategorikan grup B jika mereka oleh dokter dinilai cukup matang untuk menerima infomasi tentang penyakitnya.

Secara hukum perdata, seseorang dinyatakan dewasa pada umur 21 tahun (Pasal 330 KUHPerdata). Walaupun demikian, banyak contoh bahwa orang yang belum dewasa sudah dianggap mampu bertindak menurut hukum tanpa izin orang tua. Hal ini disebut terobosan umur dewasa di dalam hukum. Misalnya untuk hukum perdata membuat testamen 18 tahun. Misalnya untuk hukum pidana: - Pada umur 16 tahun seseorang diberlakukan hukum pidana untuk orang

dewasa (Pasal 45 KUHPidana).

- Mengajukan pengaduan pada delik aduan (klachtdelichten) 16 tahun.

Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan mengenai kesehatan yang mengatur batas dewasa dalam melakukan perjanjian terapeutik.

e. Pasien Tidak Sadar

Pada literatur Leenen, dikemukakan adanya suatu “fiksi yuridis”. Fiksi yuridis menyatakan bahwa seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa yang pada umumnya disetujui oleh pasien yang berada dalam keadaan sadar pada situasi dan kondisi sakit yang sama. Fred Ameln menyebutnya dengan “presumed consent”. Prof. W. Van der Mijn mengatakan bahwa hal paien yang dalam kondisi tidak sadar dapat dikaitkan pula dengan pasal 1354 KUHPerdata yag mengatur “Zaakwaarneming” atau perwakilan sukarela, yaitu suatu sikap tindak yang pada dasarnya pengambil-alih tanggung jawab dengan bertindak menolong pasien dan bila pasien telah sadardokter bisa bertanya apakah perawatan diteruskan atau ingin tukar dokter atau ingin memperoleh second

opinion. Selain itu, jikalau dokter harus melakukan tindakan medis untuk

menyelamatkan jiwa (life saving) seorang pasien yang tidak sadar, maka ia tidak memerlukan informed consent dari siapa pun. Ini juga disebut oleh Fred Ameln sebagai“presumed consent”.

Oleh karena itu, persetujuan untuk pasien yang tidak sadar, tergantung dokter:

(36)

(1) Bisa menunggu sampai keluarganya datang atau sampai siuman, tanpa membahayakan jiwa pasien.

(2) Segera melakukan tindakan medik atas dasar:

a. Live-saving

b. Fiksi hukum (Leenen)

c. Zaakwaarneming (van der Mijn)

2.4. Malpraktek Kedokteran

2.4.1. Definisi Malpraktek Kedokteran

Menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English by Hornby Cs. 2-nd edition, Oxford University Press, London Malpraktek dalam bahasa Inggris disebut “malpractice” yang berarti “wrongdoing” atau “neglect of duty”. Dalam Coughlin’s Dictionary ofLaw terdapat perumusan malpractice yang dikaitkan dengan kesalahan profesi: Malpractice is Professional misconduct on

the part of a professional person, such as a physician, dentist, veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties; intentional wrongdoing; or illegal or unethical practice. Jika pengertian ini diterapkan di bidang kedokteran maka

dapat dikatakan seorang dokter melakukan malpraktek jika ia melakukan suatu tindakan medik yang salah (wrong doing) atau ia tidak atau tidak cukup mengurus pengobatan/perawatan pasien (neglect the patient by giving not enough care to the

patient).46 Black’s Law Dictionary Ed. ke-9 menggunakan istilah medical

malpractice, yaitu“A doctor's failure to exercise the degree of care and skill that a physician or surgeon of the same medical specialty would use under similar circumstances”.47

Malpraktek menurut Ninik Mariyanti, SH, dapat diuraikan sebagai berikut:48

46Fred, op.cit., hal 83-84. 47Bryan, op.cit., hal 1073.

48 Ninik Mariyanti, “Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata”,

(37)

a. Dalam arti umum, malpraktek merupakan suatu praktek (khususnya praktek dokter)yang buruk dan tidak memenuhi standar yang telah dilakukan oleh profesi.

b. Dalam arti khusus, dilihat dari pasien malpraktek dapat terjadi dalam:

 Menentukan diagnosis, misalnya diagnosisnya sakit maag tapi ternyata pasien sakit lever.

 Menjalankan operasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi mata sebelah kanan tetapi yang dilakukan pada mata kiri.

 Selama menjalankan perawatan.

 Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan Menurut Antonius P.S. Wibowo, SH Medical Malpractice diartikan sebagai kesalahan dalam melaksanakan profesi medis berdasarkan standar profesi medis. Dengan banyaknya kasus malpraktek yang terjadi, barangkali menandakan bahwa aparat kesehatan masih kurang profesional. Atau merupakan bukti bahwa pelayanan kesehatan masih belum memadai.49

2.4.2. Malpraktek dan Kaitannya dengan Pengertian Standar profesi kedokteran50

Tentang standar profesi kedokteran ada berbagai perumusan dari beberapa ahli hukum, antara lain Leenen dan tentang tanggung gugat (liability) seorang dokter dari “Supreme Court” Canada. Keputusan Supreme Court of Canada 1956 tentang “Principle of Liability of a Doctor” menyatakan: “The doctor has to possess the skill, knowledge, and judgement of the average of the group of technicians to which he belong”. Unsur skill dan average dalam keputusan Supreme Court of Canada ini ditemui pula dalam perumusan Leenen mengenai standar profesi kedokteran , yaitu: “Berbuat secara teliti atau seksama menurut ukuran medik, sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata (average) dibanding dengan dokter dari kategori keahlian medik yang sama, 49 Antonius P.S. Wibowo, “Kumpulan Karangan Ilmiah Populer di Media Cetak”,

(Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma jaya,1998), hlm.21.

(38)

dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana upaya (middelen) yang sebanding atau proposional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medik tersebut”.

Unsur standar profesi kedokteran yang terdapat dalam rumusan Leenen: a) Berbuat secara teliti atau seksama (zorgvuldig handelen) dikaitkan dengan

culpa atau kelalaian. Bila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteg”, tidak teliti, tidak berhati-hati maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia sangat tidak berhati-hati ia memenuhi culpa lata.

b) Sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standaard).

c) Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medik yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie).

d) Situasi dan Kondisi yang sama (gelijke omstandigheden).

e) Sarana upaya (middelen) yang sebanding atau proposional (asas proposionalitas) dengan tujuan konkret tindakan atau perbuatan medik tersebut.

Kelima unsur dari standar ini harus dipakai untuk menguji apakah suatu perbuatan medik merupakan malpraktek atau tidak. Ternyata unsur perumusan Standar profesi kedokteran menurut Leenen yang paling lengkap dan memiliki lebih banyak unsur yang sangat relevan.

Terdapat beberapa pengertian pada perumusan Leenen yang memerlukan penjelasan:

a. Ukuran Medis

Ukuran medis merupakan unsur yang paling penting dari Standar profesi kedokteran . Tiap perbuatan medis seorang dokter harus sesuai ukuran medis yang berlaku. Pengertian ukuran medis menurut Leenen dapat dirumuskan sebagai: “suatu cara melakukan tindakan medis dalam suatu kasus yang konkret menurut suatu ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu medik dan pengalaman.

Harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberikan kriterium yang eksak untuk dipakai pada tiap tindakan medik karena perbedaan situasi kondisi dan pula fisik pasien yang berbeda-beda yang dapat menghasilkan reaksi yang berbeda pula walaupun diberikan terapi yang sama.

(39)

b. Tujuan Medik

Tindakan para tenaga kesehatan harus ditujukan pada perbaikan situasi pasien. Menurut Leenen, tujuan ilmu kedokteran dapat dirumuskan sebagai berikut :

i. Menyembuhkan dan mencegah penyakit; ii. Meringankan penderitaan;

iii. Mengantar pasien (comforting) termasuk mengantar menghadapi akhir hidup; dan

iv. Asas keseimbangan.

Ketentuan mengenai Standar Profesi ini telah termuat dalam undang-undang. Pasal 24 ayat (1) UU Kesehatan mengatakan bahwa Tenaga kesehatan yang telah memperoleh Surat Izin Praktek harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Menurut Pasal 24 ayat (2) UU Kesehatan tersebut, ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi. Di dalam pasal 51 huruf a Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (selanjutnya disebut UU Praktek Kedokteran) yang menyatakan bahwa Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban salah satunya memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

Apa yang dimaksud standar profesi dan standar prosedur operasional? Penjelasan Pasal 50 UU Praktek Kedokteran memberikan batasan definisinya, yakni: “Yang dimaksud dengan “standar profesi” adalah batasan kemampuan

(knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Yang dimaksud

dengan “standar prosedur operasional” adalah suatu perangkat

instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional memberikan langkah yang

(40)

benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi”.

2.4.3. Jenis-Jenis Malpraktek51

Malpraktek terdiri dari dua bentuk, yaitu malpraktek etika dan malpraktek yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.

a. Malpraktek Etika

Yang dimaksud dengan malpraktek etika adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Di Indonesia, terdapat Kode Etik Kedokteran (KODEKI) yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), berisikan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter. Mengenai KODEKI ini telah dibahas pada awal tulisan ini.

Malpraktek etika sering terjadi seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran yang makin canggih, cepat dan mempermudah tenaga medis dalam melakukan tindakan medis. Contohnya adalah pemeriksaan laboratorium. Sering ada kasus di mana pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak diperlukan asalkan dokter yang bersangkutan mau memeriksa dengan teliti. Namun dokter tetap mengirimkan pasiennya ke laboratorium karena pihak laboratorium berjanji memberikan ‘hadiah’ pada sang dokter. Contoh lain adalah di pemberian obat. Banyak perusahaan obat yang memberi berbagai janji pada dokter agar obat tersebut disertakan dalam resep.

Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat pedoman bagi para dokter untuk mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral, yakni :

 Menentukan indikasi medisnya.

 Mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati.

Referensi

Dokumen terkait

Mobilisasi: Mobilisasi: ……….... Mobilisasi:

Apabila kita didalam perjalanan atau kita mendapatkan air ataupun sedang sakit yang menurut dokter tidak boleh menggunakan air, maka sebagai pangganti wudlu' atau mandi kita

Dalam hal ini, nilai RMSE digunakan untuk mengevaluasi keakuratan hasil peramalan dibandingkan dengan data aktual, sedang nilai Dstat digunakan untuk mengevaluasi arah pergerakan

Energi yang berasal dari tumbuhan atau lemak binatang ini dapat digunakan, baik secara murni atau dicampur dengan bahan bakar lain.. Sifatnya yang ramah lingkungan,

Hasil perbandingan rerata empiris dan hipotetis terhadap tiga variabel pada tabel di atas menunjukkan, secara keseluruhan rerata empiris kesehatan mental yang

)an!!apan Responden terhadap $ata$ata yan! terdapat dalam /arian $endari Pos en!enai $elan!kaan Pakan )ernak Ayam Petelur di "esa Puosu #aya $e%amatan $onda $abupaten

Berdasarkan uji efikasi yang dilakukan pada skala semi lapang dengan perlakuan berbagai konsentrasi menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi cendawan dan semakin lama waktu