• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Typhoid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Typhoid"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

DEMAM TIFOID

Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Anak di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Klaten

Pembimbing:

dr. Vita Susianawati, M.Sc, Sp.A

Disusun Oleh : Vina Noviyanti H2A009048

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2014

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

Typhoid fever (Demam Tifoid) yang biasa juga disebut typhus atau types oleh orang awam, merupakan penyakit yang disebabkan bakteri Salmonella Enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi (S. Typhi) yang menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun orang dewasa. Tetapi demam tifoid lebih sering menyerang anak. Walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan daripada orang dewasa. Demam tifoid merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di daerah padat penduduk, sanitasi buruk dan angka urbanisasi yang tinggi. Dengan tersedianya air bersih dan sistem pembuangan kotoran yang bagus maka dapat menurunkan insiden demam typhoid disuatu daerah. Hingga saat ini insiden tertinggi penyakit ini terjadi di negara berkembang, yang umumnya memiliki kondisi sanitasi buruk.2

Diperkirakan terjadi 16 juta kasus baru demam tifoid di seluruh dunia setiap tahunnya dengan angka mortalitas mencapai 600.000 jiwa. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan kejadian 600.000 kasus kematian tiap tahun. Angka kejadian demam tifoid diketahui lebih tinggi pada negara berkembang khususnya di daerah tropis. Sehingga tak heran jika demam tifoid banyak ditemukan di Indonesia. Di Indonesia, demam tifoid merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan kejadian antara 350 - 810 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya. Hasil Riset Dasar Kesehatan tahun 2007 menunjukkan bahwa persentase penduduk yang terjangkit demam tifoid dibandingkan dengan seluruh penduduk (prevalensi) di Indonesia sebesar 1,6% .1,2

Penularan demam tifoid dapat melalui konsumsi makanan atau minuman yang sudah terkontaminasi dengan feses atau urin seseorang yang sudah terinfeksi oleh Salmonella enterica serotype typhi. Periode inkubasi demam typhoid umumnya 8-14 hari. Seseorang dapat menularkan bakteri tersebut melalui ekskresi feses atau urin yang umumnya diawali pada minggu pertama setelah munculnya gejala demam tifoid dan berlanjut sampai periode convalescence (periode penyembuhan), sekitar 10% kasus yang tidak diobati akan mengekskresikan bakteri selama 3 bulan setelah munculnya gejala demam tifoid. Gambaran

(3)

klinis demam tifoid sangat bervariasi dari hanya sebagai penyakit ringan yang tidak terdiagnosis sampai gambaran penyakit yang khas (pola panas step leader) dengan komplikasi dan kematian, sehingga sulit menegakkan diagnosis demam typhoid hanya berdasarkan gambaran klinis. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium mikrobiologi tetap diperlukan untuk memastikan penyebabnya.

Diagnosis klinik demam tifoid sulit ditegakkan karena manifestasi kliniknya tidak khas, maka diperlukan pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosis demam tifoid. Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan bila ditemukan isolat Salmonella typhi pada media kultur bahan pemeriksaan yang berasal dari penderita. Bahan pemeriksaan untuk kultur dapat menggunakan darah, aspirat sumsum tulang, feses, atau urine. Kultur darah masih digunakan sebagai standar baku emas karena prosedur pengambilan bahan pemeriksaan darah relatif kurang invasif dibandingkan dengan aspirasi sumsum tulang.

Sekarang ini demam tifoid masih merupakan masalah yang penting bagi anak dan masih menduduki masalah yang penting dalam prevalensi penyakit menular. Hal ini disebabkan faktor hygiene dan sanitasi yang kurang, masih memegang peranan yang tidak habis diatas satu tahun, maka memerlukan perawatan yang khusus karena anak ini masih dalam taraf perkembangan dan pertumbuhan.

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Saluran Pencernaan

Susunan saluran pencernaan terdiri dari : Oris, faring, esophagus, ventrikulus, intestinum minor, intestinum mayor, rektum dan anus. Pada kasus demam tifoid, salmonella typi berkembang biak di intestinum minor. Intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada caecum, panjangnya ± 6 m, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan yang terdiri dari : lapisan intestinum minor, lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (muskulus longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar).3

Intestinum minor terdiri dari duodenum (usus 12 jari), jejenum dan ileum. Duodenum memiliki panjang ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri pada lengkungan ini terdapat pankreas. Dari bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir yang membukit yang disebut papila vateri. Pada papila vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran pankreas (duktus wirsung/duktus pankreatikus). Dinding duodenum ini mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut kelenjar brunner yang berfungsi untuk memproduksi getah intestinum. Jejenum dan ileum mempunyai panjang sekitar ± 6 meter. Dua perlima bagian atas adalah jejenum dengan panjang ± 2 meter dari ileum dengan panjang 4 – 5 m. Lekukan jejenum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium. Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang arteri dan vena mesenterika superior, pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara 2 lapisan peritonium yang membentuk mesenterium. Sambungan antara jejenum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas. Ujung dibawah ileum berhubungan dengan caecum dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium ileocaekalis. Orifisium ini diperlukan oleh spinter ileocaekalis dan pada bagian initerdapat katup valvula caekalis atau valvula baukhim yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam asendens tidak masuk kembali ke dalam

(5)

ileum. Didalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel, termasuk banyak leukosit. Semua tempat terdapat beberapa nodula jaringan limfe, yang disebut kelenjar soliter. Di dalam ilium terdapat kelompok-kelompok nodula. Mereka membentuk tumpukan kelenjar peyer dan dapat berisis 20 sampai 30 kelenjar soliter yang panjangnya satu sentimeter sampai beberapa sentimeter. Kelenjar-kelenjar ini mempunyai fungsi melindungi dan merupakan tempat peradangan pada demam typhoid. Sel-sel Peyer’s adalah sel-sel dari jaringan limfe dalam membran mukosa. Sel tersebut lebih umum terdapat pada ileum dari pada jejenum. Absorbsi makanan yang sudah dicernakan seluruhnya berlangsung dalam intestinum minor melalui dua saluran, yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan saluran limfe di sebelah dalam permukaan vili usus. Sebuah vili berisi lakteal, pembuluh darah epitelium dan jaringan otot yang diikat bersama jaringan limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium.Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair dan lemak yang diabsorbsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena porta dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan.3

B. Demam Tifoid 1. Definisi

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.6

2. Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60ºC) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :

a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga

(6)

endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.6,7,8

3. Patogenesis

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.4

4. Manifestasi Klinis

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

(7)

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.4,6

b. Ganguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.6

c. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.4

Gejala berdasarkan waktu

a. Minggu Pertama (awal terinfeksi)

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yangberpanjangan yaitu setinggi 39ºc hingga 40ºc, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm,

(8)

berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.7

b. Minggu Kedua

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.7

c. Minggu Ketiga

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperature mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran

(9)

adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.7

d. Minggu keempat

Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.7

5. Diagnosis a. Anamnesis.

1) Demam lamanya lebih dari 1 minggu, sifatnya sore dan malam hari lebih tinggi daripada pagi dan siang hari.

2) Gangguan saluran cerna : mulut bau, perut kembung atau tegang dan nyeri pada perabaan, konstipasi atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa lendir atau tinja berwarna hitam, anoreksia, muntah.

3) Gangguan kesadaran : lamanya, sifatnya (apatis sampai somnolen) mengigau, halusinasi, dll.

4) Gejala lain : kejang, sesak nafas.4,5

b. Pemeriksaan fisik.

1) Demam, mulut bau, bibir kering dan pecah-pecah (rhagaden), lidah kotor (coated tongue) dengan ujung dan tepi kemerahan dan tremor, perut kembung, pembesaran hati dan limpa yang nyeri pada perabaan.

2) Tanda komplikasi di dalam saluran cerna : Perdarahan usus (tinja berdarah / melena), Perforasi usus (pekak hati hilang dengan atau tanpa tanda-tanda peritonitis, bising usus hilang), Peritonitis (nyeri perut hebat, dinding perut tegang dan nyeri tekan, bising usus melemah/hilang).

3) Tanda komplikasi di luar saluran cerna : Meningitis, kolesistitis, hepatitis, ensefalopati (kesadaran menurun), Bronkhopneumonia, dehidrasi dan asidosis.5,6

c. Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia

(10)

disebabkan oleh destruksi leukositoleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan myeloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.3,5

2) Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman

Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.9

Pemeriksaan mikrobiologi yang digunakan adalah Kultur (Gall culture/ Biakan empedu). Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Tifoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi.Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk

(11)

pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.

3) Diagnosis serologic

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigenspesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).7

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : a) Uji Widal

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uij Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat

(12)

selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :

- Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut

- Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi

- Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O agglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.7,8

b) Tes TUBEX

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan

(13)

dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibody IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama dinegara berkembang.

Ada 4 interpretasi hasil :

1) Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.

2) Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid 3) Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid8 c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat. Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum

(14)

tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.5,7

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.8,9

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.9 6. Penatalaksanaan

a. Perawatan umum 1) Tirah baring

Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Dulu, Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari namun sekarang pasien demam tifoid tidak harus melakukan tirah baring absolute. Pasien dapat melakukan mobilisasi namun tetap memeperhatikan kondisi tubuhnya. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu- waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.

(15)

2) Diet

Di masa lampau, pasien demam tifoid iberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini,yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.5

3) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.7,8

b. Medikamentosa

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan adalah :

1) Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien demam tifoid. Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intravena,sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat intramuskuler tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dengan kloramfenikol,demam pada demam tifoid dapat turun rata 5 hari. Dosis yang diberikan untuk anak-anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapatdiramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari.4,7

2) Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada kloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat turun rata-rata 5-6 hari. Dosis untuk anak-anak 20-30 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis, dapat ditingkatkan sampai 50 mg/kg/hari pada minggu pertama pengobatan.8,9

(16)

orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol). Demam rata-rata turun antara 5-6 hari. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.9

4) Ampislin dan Amoksisilin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam, efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan Amoksisilin dan Ampisilin, demam rata-rata turun 7-9 hari. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.8,9 5) Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa

sefalosporin generasi ketiga antara lain Sefoperazon, seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti. Sefalosporin merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaanPer oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.7,8

6) Fluorokinolon : Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan lama pemberian belum diketahui dengan pasti.

7. Komplikasi

(17)

a. Komplikasi pada usus halus 1) Perdarahan usus

Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda – tanda renjatan.

2) Perforasi usus

Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuatdalam keadaan tegak.

3) Peritonitis

Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,dan nyeri tekan.

b. Komplikasi diluar usus halus 1) Bronkitis dan bronkopneumonia

Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.

2) Kolesistitis

Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.

3) Typhoid ensefalopati

Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena. 4) Meningitis

Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella Havana dan Salmonella oranemburg

(18)

Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antaralain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia, supra ventrikular takikardi.

6) Infeksi saluran kemih

Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.

7) Karier kronik

Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin mengeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.6

8. Pencegahan

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.

Pencegahan primer yang dapat dilakukan adalah dengan mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.

(19)

Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin

tifoid, yaitu :

1) Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.6,7

2) Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama. 3) Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan

secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.7,8

Dari ketiga vaksin tersebut, yang ada dan tersedia di Indonesia adalah vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux.

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat

c. Pencegahan Tertier

Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.

(20)

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid

BAB III

KESIMPULAN

Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Pada saat anamnesis, pasien dengan demam tifoid biasanya sering mengeluhkan penurunan nafsu makan (anoreksia), mual, dan muntah, rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri otot (mialgia), gangguan perut (perut kembung dan sakit), serta diare atau konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya lidah kotor (tampak putih di bagian tengah dan kemerahan di tepi dan ujung), hepatomegali, splenomegali, distensi abdominal, tenderness, bradikardia relatif, hingga ruam makulopapular berwarna merah muda, berdiameter 2-3 mm yang disebut dengan rose spot. Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya penurunan kadar hemoglobin, trombositopenia, kenaikan

(21)

LED, aneosinofilia, limfopenia, leukopenia, leukosit normal, hingga leukositosis. Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur darah (biakan empedu) untuk Salmonella typhi. Pemeriksaan kultur darah biasanya akan memberikan hasil positif pada minggu pertama penyakit. Hal ini bahkan dapat ditemukan pada 80% pasien yang tidak diobati antibiotik. Pemeriksaan lain untuk demam tifoid adalah uji serologi Widal dan deteksi antibodi IgM Salmonella typhi dalam serum. Hingga saat ini, kloramfenikol masih menjadi drug of choice bagi pengobatan demam tifoid di Indonesia. Alternatif lain selain kloramfenikol, yaitu tiamfenikol, kotrimoksazol, ampisilin atau amoksisilin, golongan sefalosporin generasi III (seftriakson), dan golongan fluorokuinolon (ciprofloxcacin).

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Weekly Epidemiological Record. WHO Geneva No 6 halaman 49-60. 2008 2. Kementerian Kesehatan. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS

Indonesia Tahun 2007. Depkes, Jakarta. 2008

3. Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006

4. WHO. The Diagnosis, Treatment, and Prevention of Thypoid Fever. Geneva . 2003 5. Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V.Jakarta: Interna

Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

6. Antonius H. Pudjiadi, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, Nikmah Salamia Idris, Ellen P. Gandaputra, Eva Devita Harmoniati, penyunting. Diare Akut. Pedoman Pelayanan Medis– Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: jilid I. IDAI. 2010

7. http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20Desember %202009/DEMAM%20TIFOID.pdf diakses pada tanggal 5 Agustus 2014

(22)

8. I Made Tomik Nurya Wardana, Sianny Herawati, I Wayan Putu Sutirta Yasa. Diagnosis Demam Typhoid dengan Pemeriksaan Widal. Bagian/SMF Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. 2007

9. Rampengan, N, H. Antibiotik Terapi Demam Typhoid tanpa Komplikasi pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 14, No. 5. 2013

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melakukan 2 siklus penelitian pada pembelajaran Matematikadengan menggunakan pendekatan keterampilan proses yang dilakukan oleh peneliti selaku guru kelas

itu, namun Nabi Musa enggan meminumnya. Lantas Nabi Musa berkata; bahwa ia tidak akan berobat, sehingga ia merasakan rasa sakit dari Allah tanpa berobat. Biar Allah saja yang

Perpustakaan yang merupakan salahsatu sarana untuk mendapatkan informasi dalam dunia pendidikan yang dalam hal ini berarti antara pelayanan perpustakaan dengan kemajuan

larutan ekstrak daun pepaya mengandung kadar garam 0.33 mL, pada 100 mL larutan ekstrak semangka mengandung kadar garam 6.43 mL, dalam 100 mL larutan ekstrak daun jambu mengandung

Berdasarkan hasil yang ditemukan, untuk indeks kesukaran pada ujian nasional tahun pelajaran 2008/2009 tergolong dalam indeks kesukaran jelek, karena dari lima

Jika kita memperhatikan definisi ibadah yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, maka ibadah itu sangat luas tidak terbatas hanya shalat, zakat,  puasa, haji

Komunikasi dalam ertutur hanya dapat dilakukan dengan baik dan efektif jika sama-sama saling memiliki pengalaman maupun pemahaman yang sama mengenai komunikasi dalam konteks