• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I STATUS PENGAKUAN (RECOGNITION) TERHADAP PEMERINTAHAN BARU HASIL KUDETA MILITER MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS KUDETA MILITER MESIR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I STATUS PENGAKUAN (RECOGNITION) TERHADAP PEMERINTAHAN BARU HASIL KUDETA MILITER MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS KUDETA MILITER MESIR)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

STATUS PENGAKUAN (RECOGNITION) TERHADAP

PEMERINTAHAN BARU HASIL KUDETA MILITER

MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS

KUDETA MILITER MESIR)

A. LATAR BELAKANG

Pengakuan merupakan salah satu topik yang sangat sulit dalam hukum internasional. Karena pengakuan merupakan percampuran yang cukup membingungkan antara politik, hukum internasional dan hukum lokal. Unsur hukum dan politik tidak dapat dilepas ketika pemberian atau penahanan suatu pengakuan. Terdapat beberapa negara yang lebih dipengaruhi oleh pertimbangan politik daripada pertimbangan hukum ketika akan memberi atau menolak pengakuan, tetapi tindakan pengakuan yang mereka lakukan memiliki konsekuensi hukum.1

Setelah pengakuan terjadi, situasi baru dianggap berlaku terhadap negara yang mengakui, itu berarti bahwa konsekuensi hukum negara yang bersangkutan akan terjadi. Dengan demikian, pengakuan

1

Peter Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction To International Law (Seventh Revised Edition), Routledge, New York, 2002, Hlm. 82

(2)

merupakan partisipasi dalam proses hukum internasional secara umum, juga menjadi penting dalam konteks hubungan bilateral.2

Dalam hukum internasional, dikenal pengakuan terhadap negara dan pemerintahan.Terdapat perbedaan yang jelas antara pengakuan terhadap negara dan pengakuan pemerintah.Pengakuan negara adalah mengakui bahwa suatu kesatuan telah memenuhi kriteria kenegaraan. Pengakuan dari pemerintah menunjukkan bahwa rezim yang dimaksud mempunyai kontrol yang efektif dalam sebuah negara. Perbedaan mendasar adalah bahwa pengakuan dari pemerintah tentu memiliki konsekuensi menerima suatu kesatuan kenegaraan dimana rezim tersebut memerintah, sedangkan pengakuan negara dapat diberikan tanpa menerima bahwa rezim tertentu adalah pemerintahan negara tersebut.3

Di samping pengakuan terhadap negara dan pemerintah, ada juga pengakuan terhadap klaim teritorial, pengakuan terhadap Belligeren atau pemberontak, pengakuan nasional gerakan pembebasan, seperti Organisasi Pembebasan Palestina, atau pengakuan terhadap tindakan legislatif dan administratif asing.4

Pengakuan pemerintahan ialah suatu pernyataan dari suatu negara bahwa negara tersebut telah siap dan bersedia berhubungan dengan

2

Malcolm N. Shaw Qc, International Law (Fifth Edition), Cambridge University Press, UK, 2003, Hlm. 363

3

Peter Malanczuk, Loc.,Cit. 4

(3)

pemerintahan baru yang diakui sebagai suatu kesatuandan bertindak untuk dan atas nama negaranya.5Pengakuan pemerintahan baru ini merupakan masalah aktual yang kerap kali muncul. Pemerintah (penguasa) dalam suatu negara akan dan pasti akan berganti-ganti. Semua perubahan ini sebetulnya tidak memerlukan pengakuan dari negara lain,6 Keadaan seperti ini terjadi khususnya manakala pergantian pemerintahan tersebut dilakukan menurut cara-cara konstitusional, yaitu cara-cara yang sah, cara-cara yang terjadi secara normal sesuai dengan kehidupan politik negara yang bersangkutan, baik itu dilakukan melalui pemilihan umum, ataupun yang lainnya.7

Pergantian suatu pemerintahan yang didalamnya terkait soal pengakuan yang menjadi masalah adalah jika pemerintahan tersebut terjadi karena cara-cara yang tidak konstitusional.8Cara-cara tersebut dapat dilakukan dengan jalan revolusioner atau melalui cara-cara yang extra yuridik, misalnya coup d’etat (Kudeta), revolusi, insurrection (pemberontakan), dan lain-lain.9Masalah pengakuan terhadap pemerintahan baru karenanya menjadi sangat penting.

Terdapat beberapa contoh kasus yang terjadi mengenai pengakuan terhadap pemerintahan baru.Kasus yang terjadi di negara Haiti pada

5

Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), Alumni, Jakarta, 2005, Hlm. 72

6

Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, Hlm. 73

7

Huala Adolf, idem, Hlm. 74 8

Huala Adolf, Ibid. 9

(4)

masa pemerintahan Presiden Jean Bertrand Aristide, yang digulingkan melalui kudeta yang dilakukan oleh militer tahun 1991.Dalam kasus ini masyarakat internasional lebih memilih mengakui pemerintahan Aristide yang berada di pengasingan dibanding pemerintahan militer yang memegang kontrol penuh atas Haiti.Namun pada tahun 1994 OAS (Organizations of American States) dan PBB mengembalikan kembali pemerintahan Haiti kepada presiden terpilih Aristide hingga akhir masa jabatannya.10 Pemerintah Soviet yang berkuasa di tahun 1919 tidak diakui oleh negara Inggris sampai tahun 1924 dan oleh negara Amerika Serikat sampai tahun 1933.11

Baru-baru ini, kasus tentang pergantian kekuasaan yang menjadi perhatian dunia internasional juga terjadi di Mesir pada tahun 2013, militer Mesir mengkudeta Presiden terpilih Mesir Dr. Muhammad Mursi serta menggulingkan Mursi dari jabatannya sebagai Presiden Mesir yang sah. Presiden Mursi terpilih menjadi presiden adalah melalui sistem pemilu, di mana rakyat yang memilih pemimpinnya sendiri, tapi secara tiba-tiba Mursi digulingkan melalui kudeta militer.Padahal, Mursi adalah presiden yang terpilih secara demokratis.Kudeta militer itu sekaligus mengkhianati revolusi yang tengah dirintis rakyat Mesir menuju peta jalan demokrasi.12

10

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, PT. Reflika Aditama, Bandung, 2006, Hlm. 112

11

Huala Adolf, Ibid.

12Ridwansyah Yusuf Ahmad, “Atas Nama Demokrasi, Perlukah Mesir Bersimbah Darah?” <http://news.detik.com/read/2013/08/06/092308/2324856/103/atas-nama-demokrasi-perlukah-mesir-bersimbah-darah> [21/01/2014]

(5)

Dalam aksinya, apa yang dilakukan oleh rezim militer Mesir sudah melampaui batas. Pertama, melakukan kudeta terhadap pemerintahan sah, yang dipilih melalui proses demokrasi.Kedua, melakukan pembunuhan masal terhadap rakyat yang juga menyampaikan aspirasi secara demokratis.Ketiga, melarang media-media yang menyampaikan fakta sesungguhnya yang terjadi di Mesir.13

Selain itu, kudeta militer di Mesir mengakibatkan banyak negara di dunia tidak mengakui kudeta militer dan pemerintahan hasil kudeta di negara tersebut. Diantara negara-negara yang tidak mengakui adalah Turki, Uni Afrika, Tunisia, Brazil, Norwegia, Ekuador, Inggris, Iran, Uni Eropa, Afrika Selatan. Turki tidak mengakui pemerintahan hasil kudeta Mesir yang dinyatakan oleh Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan.14Afrika Selatan pun demikian, Pemerintah Afrika Selatan menyatakankan menolak kehadiran delegasi pemerintahan kudeta militer di Mesir, dalam upacara peringatan kematian Nelson Mandela di Stadion sepak bola Johannesburg, Afrika Selatan.

Uni Afrika memutuskan untuk membekukan keanggotaan Mesir dan menangguhkan partisipasinya dalam semua kegiatan Uni Afrika sampai mengembalikan legitimasi kepada pemimpin yang sah, ini sebagai bentuk

13Heri Ruslan, “Pembantaian di Mesir Kejahatan Demokrasi Terburuk Sepanjang Sejarah” <http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur- tengah/13/07/28/mqneqq-pembantaian-di-mesir-kejahatan-demokrasi-terburuk-sepanjang-sejarah/ [21/01/2014]

14 “Erdogan, Saya Tidak Akan Mengakui Pemerintahan Kudeta”

http://www.eramuslim.com/berita/palestina/erdogan-saya-tidak-akan-mengakui-pemerintahan-kudeta.htm#.Ut93bNLTlH0/ [21/01/2013]

(6)

penolakan Uni Afrika dalam menanggapi kudeta militer pada Presiden terpilih Muhammad Mursi. Begitupun dengan Uni Eropa yang menolak kudeta militer di Mesir.15

Disamping itu, ada sebagian negara yang tetap mengakui pemerintahan Mesir hasil kudeta militer, salah satunya adalah negara Yordania.Raja Yordania (Raja Abdullah II) mengunjungi mesir dan menemui presiden Mesir sementara Aldy Mansour. Raja itu termasuk di antara para pemimpin pertama mengucapkan selamat kepada Mesir setelah militer menggulingkan presiden Muhammad Mursi setelah protes-protes massa menyeru ia mundur. Abdullah dan Mansour sepakat memperkuat hubungan-hubungan bilateral dalam kunjungan singkat itu.16

Pemerintah Indonesia melaui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan bahwa penggulingan Presiden Mesir Muhamad Mursi oleh militer, sebagai prahara politik dalam transisi politik di negeri itu. Presiden SBY mendoakan semoga prahara politik yang terjadi di Mesir bisa diakhiri dan transisi politik yang terjadi di negeri itu bisa berlangsung secara damai, demokratis dan berdasarkan kehendak rakyat mesir sendiri.Dalam

15

Wahyu Dwi Anggoro, “ Uni Eropa Tolak Kudeta Morsi”

http://international.okezone.com/read/2013/10/31/414/890090/uni-eropa-tolak-kudeta-morsi/> [21/01/2014]

16

Heri Ruslan, Pascakudeta Mursi, Raja Yordania Kunjungi Mesir, <http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/07/20/mq8rt7-pascakudeta-mursi-raja-yordania-kunjungi-mesir> [24/03/2014]

(7)

hal ini pemerintah Indonesia mengakui pemerintahan hasil kudeta mmiliter di Mesir walaupun secara diam-diam.17

Dari uraian diatas, diakui atau tidaknya pemerintahan baru hasil kudeta militer yang tidak konstitusional merupakan suatu masalah yang yang kerap kali terjadi dalam hukum internasional. Pengakuan sebuah pemerintahan bukan hanya aspek politik saja yang harus di pertimbangkan, tetapi juga aspek-aspek hukum penting untuk di pertimbangkan khususnya mengenai asas-asas, prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional yang berkaitan dengan pengakuan.18

Maka dari itu, penulis tertarik untuk melakukan pembahasan mengenai status pengakuan terhadap pemerintahan baru hasil kudeta militer menurut hukum internasional khususnya yang terjadi di Mesir melalui penulisan yang berjudul :

“STATUS PENGAKUAN (RECOGNITION) TERHADAP PEMERINTAHAN BARU HASIL KUDETA MILITER MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS KUDETA MILITER MESIR)”.

17

Mahfudz Siddiq: SBY Diam-diam Dukung Kudeta Militer di Mesir,

<http://www.tribunnews.com/nasional/2013/08/14/komisi-i-dpr-sby-diam-diam-dukung-kudeta-militer-di-mesir>, [06/06/2014]

18

J. G. Starke, An introduction to international law (8th edition), Butterworths, London, 1972 , Hlm. 153

(8)

B. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bagaimanakah hakikat pengakuan pemerintahan hasil kudeta militer dalam hukum internasional?

2. Bagaimanakah status pengakuan terhadap pemerintahan baru hasil kudeta militer di Mesir menurut hukum internasional?

C. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memenuhi tugas akhir dalam rangka memperoleh gelar sarjana hukum. Sedangkan tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui, mengakaji dan menganalisis hakikat pengakuan negara menurut hukum internasional.

2. Untuk mengkaji status pengakuan terhadap pemerintahan baru hasil kudeta militer menurut hukum internasional.

D. KEGUNAAN PENELITIAN

Melalui penulisan skripsi ini, penulis berharap dapat memberikan manfaat kegunaan baik secara teoritis maupun praktis :

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum, khususnya hukum internasional.

(9)

2. Kegunaan Praktis

a. Penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan masukan baik kepada praktisi hukum, kepada pemerintah serta masyarakat luas untuk tercipta suatu tatanan pemerintahan yang demokratis sesuai dengan keinginan rakyat dan diakui oleh dunia internasional.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada para pembaca khususnya para mahasiswa mengenai status pengakuan terhadap pemerintahan baru hasil kudeta militer menurut hukum internasional.

E. KERANGKA PEMIKIRAN

Negara merupakan aktor utama dalam hukum internasional, baik ditinjau secara historis maupun secara faktual.19Peranan negara lama-kelamaan juga semakin dominan oleh karena bagian terbesar dari hubungan-hubungan internasional yang dapat melahirkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional dilakukan oleh negara-negara.Bahkan hukum internasional itu sendiri boleh dikatakan sebagian terbesar terdiri atas hubungan hukum antara negara dengan negara.20Dalam pembentukannya, sebuah negara membutuhkan

19

T. May Rudy, Hukum Internasional 1, Reflika Aditama, Bandung, 2002, Hlm. 21 20

(10)

kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain (capacity to enter into relations with the other states).21

Telah diutarakan dalam Konvensi Montevideo tahun 1933(Convention On Rights and Duties Of States)22 menetapkan bahwa negara sebagai person hukum internasional harus mempunyai kualifikasi, antara lain, adanya penduduk yang tetap, mempunyai wilayah, mempunyai pemerintahan, dan mempunyai kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain.23Kualifikasi ini menunjukan bahwa negara tersebut adalah negara berdaulat.24

Negara sebagai pribadi internasional yang membutukan hubungan dengan negara lain, maka diperlukan pengakuan untuk mengadakan hubungan yang akan melahirkan hak dan kewajiban internasional yang harus dilaksanakan pada level internasional.25Yang dimaksud dengan pengakuan ialah perbuatan bebas suatu negara yang membenarkan terbentuknya suatu organisasi dan menerima organisasi kekuasaan itu sebagai anggota masyarakat internasional.26Pengakuan dapat diberikan

21

T. May Rudy, Idem, Hlm.25 22

This treaty was signed at the International Conference of American States in Montevideo, Uruguay on December 26, 1933. It entered into force on December 26, 1934.

Article 1

The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.

23

Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1994, Hlm. 22-23

24

Sugeng Istanto, Ibid. 25

T. May Rudy, Op., Cit. Hlm. 69 26

(11)

kepada negara, pemerintahan negara atau kesatuan bukan negara “belligerent”.27

Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang dinamis, berubah dari waktu ke waktu.28 Adanya negara baru yang lahir, negara yang takluk dan dikuasai negara lain atau pemerintahan lama terguling. Pemerintah/negara tersebut lahir melalui cara-cara damai atau kekerasan.Dengan adanya perubahan-perubahan ini, anggota masyarakat internasional dihadapkan pada dua pilihan, menyetujui atau menolak.Dalam menghadapi pilihan-pilihan tersebut, lembaga pengakuan mulai memainkan perannya.29

Pegakuan menurut praktek negara modern bukan sekedar mengetahui (cognition), atau lebih daripada suatu pernyataan mengetahui bahwa suatu negara atau pemerintah memenuhi syarat untuk diakui.30Ketentuan mengenai pengakuan tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (Pasal 3-4)31 yang menunjuk kepada izin

27

Sugeng Istanto, Ibid. 28

Huala Adolf, Op., Cit., Hlm. 55 29

Huala Adolf, Ibid. 30

J.G. Starke, Op.Cit, Hlm. 152 31

Charter of the United Nations : Article 3

The original Members of the United Nations shall be the states which, having participated in the United Nations Conference on International Organization at San Francisco, or having previously signed the Declaration by United Nations of 1 January 1942, sign the present Charter and ratify it in accordance with Article 110.

Article 4

1. Membership in the United Nations is open to all other peace-loving states which accept the obligations contained in the present Charter and, in the judgment of the Organization, are able and willing to carry out these obligations.

2. The admission of any such state to membership in the United Nations will be effected by a decision of the General Assembly upon the recommendation of the Security Council.

(12)

terhadap negara-negara untuk menjadi anggota organisasi tersebut, yang mana hal ini secara insidental boleh dianggap sebagai suatu sertifikat status kenegaraan.32

Peranan lembaga pengakuan sangat penting bagi lahirnya suatu anggota baru masyarakat internasional. Tanpa mendapatkan pengakuan ini, negara tersebut sedikit banyak akan mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan negara lainnya. Suatu negara yang belum diakui dapat memberi kesan dapat memberi kesan kepada negara lain bahwa negara tersebut “tidak mampu” menjalankan kewajiban-kewajiban internasional.33Karenanya pengakuan ini perlu dan penting bagi suatu negara baru.

Pengakuan pada umumnya ialah perbuatan bebas suatu negara yang membenarkan terbentuknya suatu organisasi dan menerima organisasi kekuasaan itu sebagai anggota masyarakat internasional.34 Dalam hukum internasional, dikenal pengakuan terhadap negara dan pemerintahan. Terdapat perbedaan yang jelas antara pengakuan terhadap negara dan pengakuan pemerintah.

Oppenheim berpendapat bahwa pengakuan merupakan suatu pernyataan kemampuan suatu negara baru.Bagi negara dengan pemerintah yang baru, lahir melalui atau cara-cara kekerasan, pengakuan

32

J.G. Starke, Idem, Hlm.151 33

Huala Adolf, Ibid. 34

(13)

ini terutama dari negara yang mendudukunya bahkan lebih penting sekali peranannya dan pengaruhnya bagi negara atau pemerintah yang bersangkutan.35 Bagi negara baru yang lahir melalui cara-cara damai atau melalui proses konstitusional, ia tidak begitu mengalami kesulitan dalam mendapatkan pengakuan dari dunia luar. Sebaliknya, negara baru yang lahir secara sepihak, non-konstitusional atau revolusi, keadaan menjadi lain dan pengakuan karenanya menjadi sangat penting.36

Kebanyakan negara dalam memberikan pengakuan hanya mempertimbangkan aspek-aspek politik saja dari pada hukum, tetapi pengakuan menimbulkan konsekuensi hukum.Sebagai contoh, Amerika Serikat menolak selama bertahun-tahun untuk mengakui baik itu Republik Rakyat China atau Korea Utara, AS menolak bukan karena tidak menerima kenyataan bahwa negara-negara tersebut melakukan pengendalian efektif atas wilayah masing-masing, melainkan karena tidak berharap efek hukum pengakuan akan timbul. Ini merupakan murni keputusan politik, meskipun telah dibungkus dengan peristilahan hukum.37

Selain itu, terdapat berbagai pilihan terbuka suatu entitas dapat diakui. Entitas tersebut mungkin, misalnya, diakui sebagai negara yang berdaulat penuh, atau sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan

35

Huala Adolf, Idem, Hlm. 56 36

Huala Adolf, Ibid. 37

Malcolm N. Shaw Qc, International Law (Sixth Edition), Cambridge University Press, UK, 2008, Hlm. 445

(14)

yang efektif dalam area tertentu atau sebagai otoritas negara bagian dibawah kendali negara lain.38

Dalam sejarahnya, pengakuan terhadap pemerintahan mempunyai sejarah yang yang panjang, pada abad ke 19 Aliansi Suci di bawah pengaruh pangeran Metternich, menolak untuk mengakui para pemerintah yang telah memperoleh kekuasaan melalui tindakan radikal atau revolusioner.39Namun, sikap kerajaan Inggris lebih pragmatis.cenderung memusatkan perhatian pada apakah pemerintah dalam kontrol yang efektif dari wilayah atau tidak. ini sebagian disebabkan oleh kecenderungan untuk mendukung gerakan reformasi leberal di Eropa yang juga tercermin dalam undang-undang liberal dalam suaka politik dan juga berasal dari fakta bahwa Inggris tidak tunduk pada pemerintahan monarki absolut seperti Austria, Prussia dan Rusia.40

Terdapat beberapa Doktrin dalam hukum internasional yang berkaitan dengan pengakuan terhadap pemerintahan, diantaranya adalah:

1. Doktrin Stimson adalah doktrin yang menolak diakuinya suatu keadaan yang lahir sebagai akibat penggunaan kekerasan atau pelanggaran-pelanggaran terhadap perjanjian yang ada.Henri Stimson adalah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang mengirim nota ke Jepang dan Cina pada tanggal 7 Januari 1932

38

Malcolm N. Shaw Qc, Ibid.

39 John O’Brien, International Law, Covendish Publishing Limited, London, 2001, Hlm. 173

(15)

yang menolak pembentukan negara Manchukuo oleh Jepang, propinsi Cina yang diduduki negara tersebut.41

2. Doktrin Tobar ini berkenaan pula dengan perlu tidaknya pemberian pengakuan terhadap pemerintahan baru, doktrin ini lahir pada tahun 1907, tertuang dalam suatu perjanjian internasional yang terdiri dari 5 negara-negara Amerika Tengah (termasuk Amerika Serikat). Ke lima negara ini sepakat bahwa untuk pemerintahan yang telah menggulingkan pemerintahan yang sah dengan cara yang tidak konstitusional atau cara-cara yang abnormal tidak akan diakui.42

3. Pada tahun 1930, Menteri luar negeri meksiko, Estrada, menyatakan bahwa pemerintahannya tidak akan mengeluarkan deklarasi-deklarasi mengengenai pemberian pengakuan karena cara out merupakan suatu praktek penghinaan dan melanggar kedaulatan negara-negara lain. Kebijaksanaan yang dinyatakan ini, yang umumnya dikenal dengan sebutan Doktrin Estrada.43 Dalam rancangan deklarasi tentang hak-hak dan kewajiban negara yang disusun oleh Komisi Hukum Internasional (ILC) PBB pada tahun 1949 (Draft Declaration on Rights and Duties of States) yang menekankan

41

Boer Mauna, Op., Cit. Hlm. 75-76 42

Boer Mauna, Idem, Hlm. 74 43

(16)

agar wilayah yang diperoleh melalui kekerasan atau upaya-upaya yang bertentangan dengan hukum internasional supaya tidak diakui.44

Disamping itu, Komunitas Eropa dalam praktek pengakuan (recognition)melibatkan unsurHak Asasi Manusia (HAM) sebagai salah satu pertimbangannya.Menariknya, mereka menuntut tidak hanya legal formal, tapi juga dalam prakteknya.45Ini, misal, ditunjukannya dalam kaitannya dengan Serbia-Montenegro walau telah melakukan penerimaan atas traktat-traktat HAM yang sebelumnya dibebankan pada Yugoslavia (negara sebelumnya.Dalam kaitannya dengan hak atas pemerintahan yang demokratis, para penulis saat ini telah diakui eksistensinya sebagai Lex Lata.46

Pengakuan terhadap suatu pemerintahan menjadi sangat relevan dalam hal terjadinya perubahan pemerintahan yang inkonstitusional. Pada masa sebelumnya, sejak masa dimulainya sistem hukum internasional modern, yang mendasarka pada sistem perjanjian Westphalia, pengakuan terhadap sebuah pemerintahan oleh negara lain adalah dengan menggunakan syarat-syarat tradisional sebagaimana yang dicantumkan oleh Konvensi Montevideo 1933.47 Dengan kata lain hukum internasional tidak memiliki urusan dengan persoalan internal dari suatu negara. Profesor Thomas M. Franck dalam artikelnya memberikan pemahaman

44

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op., Cit. Hlm. 139 45

Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional (Sebuah pengantar Kontekstual), IMR Press, Cianjur, 2010. Hlm. 76

46

Pranoto Iskandar, Idem, Hlm. 77 47

(17)

baru dalam kaitannya dengan pengakuan dan persoalan internal dari suatu negara yang berdaulat.

Thomas berkeyakinan hak atas pemerintahan demokratis tidak hanya di jamin oleh konstitusi masing-masing negara tetapi juga oleh hukum internasional.bahkan pada tahun 1992 Thomas telah menyatakan:48

“Hak untuk demokrasi dalam hukum internasional telah melalui evolusi kebiasaan maupun normative, ia telah berkembang baik melalui sistem aturan ataupun melalui praktek negara-negara dan organisasi-organisasi internasional.Evolusi ini terjadi dalam tiga tingkat.Pertama, pengakuan normatif atas hak untuk menentukan nasib sendiri.Kemudian muncul pengakuan normative atas kebebasan berekspresi sebagai bagian dari HAM. Sekarang kita lihat kemunculan pengakuan normatif bagi proses pemungutan suara partisipatif.”

Contoh yang ia berikan, misalnya ketika terjadi coup kepada presiden sah Haiti Jean-Bertrand Aristide oleh militer, komunitas internasional lebih memilih pemerintahan Aristide yang berada di pengasingan dibanding pemerintahan militer yang efektif di Haiti.49

Kudeta militer (coup d’etat) merupakan salah satu cara pergantian kekuasaan pemerintahan yang tidak konstitusional.50 Hal ini karena kudeta militer merupakan cara pergantian pemerintahan yang salah satunya adalah karena tidak menggunakan hak rakyat untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara (hak atas demokrasi).

48

Pranoto Iskandar, Lop., Cit. 49

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Idem, Hlm. 142 50

(18)

Pengakuan mengenai hak rakyat suatu negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan publiknya (hak atas demokrasi) dalam hukum internasional pertama kali tercantum dlam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) Pasal 21 (1)51 yang memberikan “The Right to take part in

the government of [one’s] country”.52

Kemudian dalam Kovenan Internasional Mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (1966) memberikan hak-hak untuk terlibat dalam politik yang serupa yang dicantumkan dalam pasal 25.53

Kudeta militer yang terjadi di Mesir pada tahun 2013 mengakibatkan kecaman dari berbagai negara di dunia. Negara-negara di Afrika yang tergabung dalam Organosasi Uni Afrika (African Union) menangguhkan Negara Mesir darikeanggotaan Uni Afrika karena Uni Afrika tidak mengakui pemerintahan negara Mesir hasil kudeta militer yang tidak melaksanakan demokrasi sampai pemerintahan negara tersebut

51

Article 21of the Universal Declaration of Human Rights States:

1. Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives.

2. Everyone has the right to equal access to public service in his country.

3. The will of the people shall be the basis of the authority of government; this will shall be expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent free voting procedures.

52

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op., Cit., Hlm. 142 53

Article 25 in ICCPR

Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions:

a) To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely chosen representatives;

b) To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will

(19)

dikembalikan kepada rakyat Mesir yang sesuai dengan demokrasi.54 Hak atas demokrasi juga tercantum dalam African Charter On Human and

Peoples Rights (ACHPR) pasal 13.55

Dalam kaitannya dengan intervensi, hukum internasional melarang intervensi apabila : a) merupakan campur tangan yang berkaitan engan masalah-masalah dimana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas (misalnya mengenai sistem politik, ekonomi, atau politik luar negerinya sendiri). b) campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa khususnya kekerasan.56 Menurut doktrin Estrada, pengakuan terhadap pemerintahan baru merupakan intervensi terhadap kedaulatan dalam negeri negara tersebut.Piagam PBB memberikan ketentuan tentang prinsip non-intervensi yang terdapat dalam pasal 2 ayat 7.57

54

"African Union Suspends Egypt", <http://www.voanews.com/content/african-union-suspends-egypt/1695646.html> [19/02/2014]

55

Article 13 of the African Charter On Human and Peoples Rights (ACHPR)

1. Every citizen shall have the right to participate freely in the government of his country, either directly or through freely chosen representatives in accordance with the provisions of the law.

2. Every citizen shall have the right of equal access to the public service of his country.

3. Every individual shall have the right of access to public property and services in strict equality of all persons before the law.

56J.G. Starke, Op.Cit., Hlm. 114

57

Article 2 (7) UN Charter

Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter VII.

(20)

F. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Dalam hal ini, metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yang digunakan untuk membahas suatu permasalahan dengan cara meneliti, mengolah data, menganalisis, menginterpretasikan hal yang ditulis dengan pembahasan yang teratur dan sistematis, ditutup dengan kesimpulan dan pemberian saran sesuai dengan kebutuhan.

2. Metode Pendekatan

Penulisan skripsi ini dibuat dengan menggunakan metode pendekatan yang bersifat yuridis normatif, yang difokuskan pada penggunaan data sekunder, baik berupa peraturan-peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, konvensi, prinsip-prinsip dan asas-asas hukum.

3. Tahap Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan yaitu suatu upaya pengumpulan data sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Data sekunder terdiri dari :58

58

Soerjono Soekanto, Penelitian hukum Normatif: suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13

(21)

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan bahan hukum yang mengikat misalnya berupa peraturan perundang-undangan, perjanjian internasional, dan lain-lain.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, yang meliputi: hasil karya ilmiah atau buku-buku, hasil penelitian, artikel, jurnal, media massa, media elektronik.

3) Bahan hukum tersier, yaitu merupakan bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang meliputi: ensiklopedia, kamus.

4. Teknik Pengumpulan data a. Studi Dokumen

Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data dari peraturan perundang-undangan dan dokumen-dokumen pelengkap kepustakaan yang terkait.

5. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh melalui penelitian ini diolah dan dianalisis dengan mempergunakan metode analisis normative kualitatif.Kualitatif, karena merupakan analisis data yang berasal dari informasi-informasi sedangkan normatif karena penelitian

(22)

ini dilakukan dengan bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai hukum positif.Dengan demikian metode analisis normatif kualitatif merupakan analisis data tanpa mempergunakan rumus dan angka-angka.

6. Lokasi Penelitian

a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran b. Perpustakaan Universitas Padjadjaran

Referensi

Dokumen terkait

Basset, Jacka dan Logan (Mulyani Sumantri dan Johan Permana [10]) mengemukakan karakteristik anak usia Sekolah Dasar secara umum, yaitu: a) Mereka secara alamiah memiliki

Alim, Muhammad (2006) Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim Bandung: PT Remaja Rosdakarya.. Al- Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sinar

Lalu masyarakat sebagai pihak yang dianggap paling dekat dengan dengan dampak langsung akibat dari kebakaran hutan diharapkan mampu untuk membuka suatu gagasan

Tujuan kajian ini adalah untuk mengenal pasti tahap ciri-ciri k-worker pelajar Politeknik METrO Johor Bahru berdasarkan perspektif majikan dari aspek kemahiran

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan suatu kerangka yang digunakan dalam pembelajaran

Konflik di tempat kerja,pemberian kerja yang terlalu berlebihan terhadap karyawan dapat menimbulkan stress yang berkepanjangan, yaitu kondisi atau keadaan yang tidak

Pengajaran dengan menggunakan media internet dan e-learning dapat digunakan oleh para guru sebagai media pembelajaran alternatif untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada

(13) Candi Gelung /Kurung atau Kori Agung di pembatas antara wilayah Utama Mandala dengan Madya Mandala yang berfungsi sebagai tempat keluar masuk para dewa dari