• Tidak ada hasil yang ditemukan

Umi Athijah, Liza Pristianty, Ekarina Ratna H, Soemiati, Yunita Nita, Bibi Sukendra, Dyah Pratiwi Indriani, Fetty Riyantiningrum, Pipit Ermawita.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Umi Athijah, Liza Pristianty, Ekarina Ratna H, Soemiati, Yunita Nita, Bibi Sukendra, Dyah Pratiwi Indriani, Fetty Riyantiningrum, Pipit Ermawita."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Profil Peresepan Obat Generik di Beberapa Apotek Wilayah Surabaya.

Umi Athijah, Liza Pristianty, Ekarina Ratna H, Soemiati, Yunita Nita, Bibi Sukendra, Dyah Pratiwi Indriani, Fetty Riyantiningrum, Pipit Ermawita.

Departemen Farmasi Komunitas, Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga

Study about the profile of generic drug prescribing at several pharmacies in Surabaya was done to obtain the profile of therapeutic class, dosage form, and patient age, from the prescription which contain generic drugs at 43 pharmacies in Surabaya.

This was a descriptive-retrospective study. The result were: 64.173 from 89.089 prescription contains generic drug therapeutic classes were: otonomic nervous system (10.79%), central nervous system (38.05%), cardiovascular (7.49%), gastrointestinal tracts (3.24%), antimicrobial agent (22.23%), parasitic chemotherapy (0.93%), hormones and antagonist (5.94%), dermatologic (4.11%), ophtamologic (0.29%) vitamin and metabolic (7.03%). Dosage forms were: tablet (48.16%), capsule (17.88%), oral liquid (2.83%), pulv (26.82%), drop (0.26%), injection (0.28%), semisolide (3.77%). Patient age were: baby (4.72%), children (16.79%), adult (52.59%), not identified (25.90%).

From the study, we can conclude that generic drug prescribing in Surabaya was less than the brandname. It need more socialization about generic drugs benefit and its contribution in medication to increase the used of generic drug.

Key words: generic drug, profile of therapeutic classes, dosage forms, descriptive-retrospective methode

PENDAHULUAN

Sistem kesehatan menurut WHO adalah kumpulan dari berbagai faktor yang kompleks dan saling berhubungan yang terdapat dalam suatu negara, yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan

kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok,

dan/ataupun masyarakat pada setiap saat yang dibutuhkan (Azwar, 2003). Sistem kesehatan tersebut terdiri dari banyak sub sistem, yang secara umum dapat dibedakan atas dua sub sistem utama. Pertama, sub sistem pelayanan kesehatan (health delivery sub system) yakni yang menunjuk pada kesatuan yang utuh dan terpadu dari struktur dan fungsi jaringan pelayanan kesehatan yang diterapkan di suatu negara. Kedua, sub sistem pembiayaan kesehatan (health financing sub system) yakni yang menunjuk pada kesatuan yang utuh dan terpadu dari kebijakan dan mekanisme pembiayaan kesehatan yang diterapkan di suatu negara (Azwar, 2003).

Obat merupakan komponen yang besar dari biaya pelayanan kesehatan di Indonesia (Thabrany, 2003). Meskipun jumlah konsumsi obat di Indonesia relatif kecil, akan tetapi harga obat di Indonesia seringkali dikeluhkan sebagai yang termahal. Menurut Satriabudi, mengutip sebuah laporan penelitian sebelum krisis ekonomi di Indonesia terhadap harga 22 jenis obat yang banyak digunakan di 29 negara asia pasifik tahun 1995 menunjukkan bahwa harga obat di Indonesia merupakan yang termahal di Asia (Thabrany, 2003). Terlebih adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia, mengakibatkan harga obat paten meningkat (Brahim, 2002). Dengan menuliskan resep obat generik, diharapkan tujuan perluasan cakupan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dapat lebih mudah dicapai (Departemen Kesehatan RI, 1996).

Menurut de Vries, penulisan nama obat dengan nama generik sangat dianjurkan karena lebih mendidik dan informatif. Penulisan nama obat dengan nama

generik juga merupakan cara termudah untuk

menghemat biaya pengobatan. Selain itu penulisan nama generik dalam resep menunjukkan bahwa dokter penulis resep tidak berpihak kepada suatu nama dagang yang mungkin mahal bagi penderita. Bagi pihak apotek akan menguntungkan karena tidak perlu menyediakan terlalu banyak obat dan memungkinkannya memberikan obat yang lebih murah (Rahmawati, 2002).

Dalam rangka mencapai salah satu tujuan

pembangunan di bidang obat yaitu meningkatkan pemerataan penyediaan obat dan keterjangkauan harga

obat oleh masyarakat luas, pemerintah telah

mencanangkan program Obat Generik Berlogo. Untuk mendukung pemanfaatan program obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, Menteri

Kesehatan telah mengeluarkan Surat Keputusan

N0.085/MenKes/Per/I/1989 tentang kewajiban menulis resep dan/atau menggunakan obat generik di rumah sakit pemerintah dan ditindaklanjuti dengan keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen

Kesehatan Republik Indonesia No.0428/Yanmed/

RSKS/SK/1989, tentang kewajiban menulis resep dan/atau menggunakan obat generik di rumah sakit pemerintah (Brahim, 2002). Pengaturan produksi obat generik juga sudah ditetapkan, yakni melalui kebijakan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik), pemilihan bahan baku bermutu yang memenuhi syarat stabilitas

dan bioavailabilitas (ketersediaan hayati), dan

mengaktifkan kegiatan monitoring efek samping obat (MESO) bagi kalangan dokter dan pasien, sehingga mutu obat generik dapat diandalkan (Brahim, 2002).

Sejak dikeluarkannya Surat Keputusan No.085/ MenKes/Per/I/1989 yang mewajibkan fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah mempergunakan obat generik, omset penjualan obat generik terus meningkat di tanah air (Azwar, 2003). Pemakaian obat generik pada saat ini telah masuk dalam pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh

(2)

berbagai fasilitas pelayanan kesehatan swasta, termasuk praktek dokter swasta. Terjadinya lonjakan ini harus disertai dengan pemanfaatan obat generik dan pemantauan ketersediaan obat generik baik di sarana produksi maupun di sarana distribusi. Dengan tersedianya data-data tentang produksi, distribusi, dan penggunaan obat generik, maka

dapat dilihat gambaran mengenai kecenderungan

penggunaan dan ketersediaan obat generik (Brahim, 2002). Berdasarkan hasil survei Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan nilai penjualan obat generik di apotek selama 3 bulan rata-rata hanya 30% dari resep umum, dan bila dilihat dari segi pemanfaatan obat generik pada pasien hanya ada 26 orang yang mendapat obat generik dalam tiap bulan di tiap apotek dari 19 apotek yang dipilih secara acak di 5 propinsi: Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tenggara (Brahim, 2002). Selain itu berdasarkan hasil penelitian Kevauver menyatakan bahwa sering dokter tidak mau menuliskan resep obat generik disebabkan karena sukar mengingat atau menghafal nama generik, kurangnya promosi obat generik, dan ada beberapa yang meragukan efektifitasnya (Azis, 1997).

Hasil survey deskriptif Puslitbang Farmasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia terhadap resep-resep di apotek di Banjarmasin (14 apotek) dan Jakarta (32 apotek) pada tahun 1986 menunjukkan bahwa: probabilitas untuk mendapatkan obat generik dari satu lembar resep di Jakarta sebesar 0,1635 dan di Banjarmasin sebesar 0,0699 dan obat generik di Jakarta persentase terbesar diresepkan oleh dokter spesialis kulit/kelamin (57,45%) termasuk dalam kelas terapi susunan saraf dan jenis obatnya adalah luminal. Sedangkan di Banjarmasin diresepkan oleh dokter spesialis bedah, jantung, dan dokter gigi (masing-masing 50%) meliputi kelas terapi antiinfeksi, analgetik/antipiretik dan obat lain.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah ada, maka penyusun memandang perlu diadakannya penelitian serupa di wilayah Surabaya dengan harapan penelitian ini mendapatkan respon bagi diadakannya penelitian-penelitian serupa berikutnya di wilayah lain, sehingga didapatkan profil obat generik yang menyeluruh di semua wilayah di Indonesia, dan pemanfaatan obat generik dapat menjadi solusi untuk mengatasi mahalnya harga obat dengan nama dagang.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu polpulasi atau daerah-daerah tertentu, mengenai sifat-sifat dan faktor-faktor tertentu (Zainuddin, 1999). Penelitian ini dilakukan dengan melihat resep di apotek, kemudian dicatat pada tabel pengumpulan data.

Jenis data penelitian ini retrospektif, yaitu penelitian yang dilakukan sekarang berdasarkan kumpulan data dari masa lalu (Zainuddin, 1999). Kumpulan data dari masa lalu pada penelitian ini adalah resep dokter pada bulan Juli-Desember 2002. Penelitian dilakukan di 43 apotek di wilayah Surabaya selama bulan April-September 2003. Pemilihan apotek yang digunakan sebagai tempat pengambilan sampel resep dilakukan dengan cara random sampling (Tjokronegoro, 1999).

Untuk menentukan apotek yang digunakan, dipakai teknik randomisasi berupa simple random sampling, yaitu melalui undian (Zainuddin, 2000). Kriteria apotek yang diambil adalah mewakili tiap kecamatan di wilayah Surabaya, mendapat ijin dari APA (Apoteker Pengelola Apotek) dan atau PSA (Pemilik Sarana Apotek) dan sampel resep lengkap mulai bulan Juli-Desember 2002 Untuk menentukan jumlah sample size apotek dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

N . Z a². p. q d² . (N-1) + Za² . p. q Keterangan :

P : estimator proporsi populasi q : 1 – p Za² : harga kurva normal yang tergantung dari harga a (a 5% = 1,96 )

N : jumlah populasi apotek

d : toleransi kesalahan (25%)

Dari rumus diatas, maka jumlah sampel apotek wilayah Surabaya sebanyak 43 apotek.

Hasil. Jumlah apotek yang diambil sebagai sampel penelitian sebanyak 43 apotek. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Jumlah apotek dan sample apotek di wilayah Surabaya

No Wilayah

Surabaya

Jumlah Apotek

Yang ada Yang

disampling 1 2 3 4 Surabaya Utara Surabaya Barat Surabaya Selatan Surabaya Timur 36 35 142 120 8 10 15 10 Total 333 43

Tabel 2. Proporsi jumlah lembar resep periode bulan Juli-Desember 2002 di 43 apotek di wilayah Surabaya

No Wilayah

Surabaya

Jumlah lembar resep

Total Mengandung obat generik Tidak mengandung obat generik 1 2 3 4 Surabaya Utara Surabaya Barat Surabaya Selatan Surabaya Timur 18.573 25.218 27.643 17.655 6.577 7.979 4.279 6081 11.996 17.239 23.364 11.574 Total 89.089 24.916 64.173

(3)

Tabel 3. Proporsi obat generik vs. obat nama dagang yang mengandung obat generik periode bulan Juli-Desember 2002 di 43 apotek di wilayah Surabaya

No Keterangan Wilayah Surabaya Jumlah 1 Jumlah R/ obat total Surabaya Utara Surabaya Barat Surabaya Selatan Surabaya Timur 14.695 15.992 9713 14.117 Total 54.517 2 Jumlah R/ yang mengandung obat generik Surabaya Utara Surabaya Barat Surabaya Selatan Surabaya Timur 8.797 10.826 5.088 7989 Total 32.700

Tabel 4. Profil kelas terapi obat generik dihitung dari recipe (R/) yang mengandung obat generik periode bulan Juli – Desember 2002 di 43 apotek di wilayah Surabaya

Bentuk sediaan Jumlah Persentase

(%) Saraf Otonom 4.043 8,28 SSP 14.255 29,24 Kardiovaskuler 2.805 5,75 Saluran cerna 1.275 2,62 Anti Mikroba 8.326 17,08 Kemoterapi Parasit 312 0.64 Hormon & Antagonis 2.224 4,56 Obat Kulit 1.441 2,96 Obat Mata 107 0,22

Vitamin & Metabolik 2.633 5,40

Lain-lain 11.335 23,25

Total 48.756 100.00

Tabel 5. Profil bentuk sediaan obat generik dari recipe (R/)yang mengandung obat generik periode bulan Juli-Desember 2002 di 43 apotek di wilayah Surabaya

Bentuk sediaan Jumlah Persentase

(%)

Tablet 15.811 48,35

Kapsul 5.869 17,95

Sediaan Cair Oral 929 2,84

Serbuk 8806 26,92 Tetes 87 0,27 Injeksi 91 0,28 Semisolid 892 2,73 Lain-lain 215 0,66 Total 32.700 100.00

Tabel 6. Profil identitas pasien berdasarkan umur berdasarkan lembar resep yang mengandung obat generik periode bulan Juli-Desember 2002 di 43 apotek di wilayah Surabaya

Identitas Umur Jumlah Persentase

(%) Bayi 968 3,89 Anak 4.413 17,71 Dewasa 12.251 49,17 Tak teridentifikasi 7.284 29,23 Total 24.916 100,00

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dilakukan pengolahan data terhadap resep-resep obat generik di apotek-apotek di wilayah surabaya yang terdiri dari 4 wilayah dan 333 apotek. Jumlah apotek di wilayah Surabaya Utara 36 apotek, Surabaya Barat 35 apotek, Surabaya Selatan 142 apotek, Surabaya Timur 120 apotek. Dengan menggunakan metode random sampling dengan a = 5% dan d = 25%, maka jumlah apotek yang disampling sebanyak 43 apotek dengan pembagian sebagai berikut : Surabaya Utara 8 apotek, Surabaya Barat 10 apotek, Surabaya Selatan 15 apotek, Surabaya Timur 10 apotek.

Dari hasil penelitian tersebut, total lembar resep yang didapatkan pada periode Juli-Desember 2002 adalah sebanyak 89.089 lembar, dan termasuk didalamnya lembar resep yang mengandung obat generik sebanyak 24.916 lembar. Dari lembar resep yang mengandung obat generik tersebut terdapat 54.517 R/ total yang termasuk 32.926 R/ yang mengandung obat generik. Dengan kata lain, 2 dari 7 lembar resep mengandung obat generik. Ini menunjukkan bahwa penulisan nama obat dengan menggunakan nama dagang masih mendominasi penulisan resep yang masuk di apotek. Hal ini menunjukkan bahwa prescriber cenderung memilih menggunakan obat dengan nama dagang daripada obat paten, yang disebabkan oleh: (Haryono dan Farida, 1999) (1) Masih adanya anggapan bahwa obat dengan nama dagang mutunya lebih baik daripada obat generic. (2) Kebiasaan dokter yang ingin mencoba kemampuan obat-obat baru, meskipun belum jelas betul manfaatnya. (3) Informasi sepihak dari pabrik obat. (4) Personal formulary (P-drug) dari masing-masing dokter yang telah terbukti

dapat memberikan pengalaman positif untuk

kesembuhan pasien. (5) Tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan cukup tinggi, sehingga mendorong dokter memilih obat yang dianggap paling tepat serta paling baik, meskipun terkadang kurang menyadari apakah pasien mampu membeli obat tersebut atau tidak. (6) Masih ada beberapa anggapan mengenai produk generik, misalnya obat generik membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bereaksi dalam tubuh, tidak sekuat obat dengan nama dagang, tidak seaman obat dengan nama dagang, sering dibuat dengan fasilitas yang substandar, serta lebih sering menimbulkan efek samping. (7) Nama dagang cenderung lebih sederhana dan lebih mudah diingat.

(4)

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data kelas terapi obat yang banyak digunakan oleh masyarakat di wilayah surabaya selama periode bulan juli- desember 2002, yang dapat dilihat pada tabel 4, yaitu meliputi kelas terapi: saraf otonom (10,79%), sistem saraf pusat (38,05%), kardiovaskuler (7,49%), saluran cerna (3,24 %), antimikroba (22,23 %), kemoterapi parasit (0,93%), hormon dan antagonis (5,94%), obat kulit (4,11%), obat mata (0,29%) vitamin dan metabolik (7,03%).

Obat-obat yang bekerja pada sistem saraf pusat menempati urutan pertama sebagai kelas terapi yang paling banyak diresepkan oleh dokter di wilayah surabaya (38,05%), Banyak dokter menggunakan obat-obat golongan pereda nyeri (analgetikum) karena banyak dijumpai keluhan nyeri dalam praktek dokter, biasanya sebagai salah satu diantara beberapa gejala dari sakit yang diderita oleh pasien (Hadiarto, 1982). Obat-obat yang banyak diresepkan dari kelas terapi ini adalah kodein dan doveri yang mana keduanya

termasuk golongan analgesika-narkotika. Meski

demikian, obat-obat tersebut banyak diresepkan karena sejauh ini obat-obat tersebut belum memiliki produk nama dagang sejenis. Selain itu luminal (fenobarbital) yang merupakan kelompok antikonvulsi juga banyak diresepkan oleh dokter.

Urutan kedua adalah kelas terapi dari golongan anti mikroba (22,23%), Antimikroba ialah obat pembunuh mikroba, khususnya mikroba yang merugikan manusia. Usia lanjut atau sangat muda, beratnya penyakit, faktor alergi, dan adanya kehamilan mempengaruhi pilihan jenis dan dosis obat. Cara pemberian obat tergantung dari berat penyakit dan tingkat kesadaran penderita.

Infeksi yang membahayakan jiwa memerlukan

pemberian obat secara i.v. Lama pemberian obat tergantung dari jenis infeksi dan respon terhadap pengobatan. Pengobatan terlalu lama merupakan pemborosan dan menimbulkan efek samping lebih

banyak. Sebaliknya, pengobatan terlalu singkat

menyebabkan kekambuhan dan masalah resistensi (Adhyatma, 1989). Untuk itu antimikroba hendaknya hanya digunakan berdasarkan resep dokter dan tidak boleh diiklankan kepada masyarakat (WHO, 1999). Dari golongan ini, obat-obat anti mikroba yang banyak diresepkan dokter adalah amoksisilin dan siprofloksasin.

Kelas terapi ketiga yang banyak diresepkan oleh dokter adalah obat-obat otonom (10,79%), yaitu obat yang bekerja pada berbagai bagian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai sel efektor (Ganiswara, 1995). Obat otonom mempengaruhi transmisi neurohumoral dengan cara menghambat atau mengintensifkannya. Terdapat beberapa kemungkinan pengaruh obat otonom pada transmisi sistem kolinergik maupun adrenergik, yaitu : (1) hambatan pada sintesis atau pelepasan transmiter; (2) menyebabkan pelepasan transmiter; (3) ikatan dengan reseptor; dan (4) hambatan destruksi transmiter (Ganiswara, 1995). Obat-obat yang banyak dijumpai dari golongan obat otonom pada penelitian ini adalah salbutamol dan efedrin.

Kelas terapi keempat adalah kardiovaskuler (7,49%) yang terdiri dari obat gagal jantung, antiaritmia,

antihipertensi, antiangina, dan hipopolidemik

(Ganiswara, 1995). Obat yang banyak digunakan dalam kelas terapi ini yaitu kaptopril yang diindikasikan untuk hipertensi dan gagal jantung. Kaptopril bekerja dengan menghambat enzim konversi angiotensin sehingga menurunkan angiotensin II yang berakibat menurunnya pelepasan renin dan aldosteron (Theodorus, 1993). Selain kaptopril, obat-obat yang juga cukup banyak digunakan pada kelas terapi ini adalah klonidin, digoxin, nifedipin, dan hidroklorotiazid (HCT).

Pada urutan kelima adalah kelas terapi vitamin dan metabolik (7,03%) yang terdiri dari vitamin larut lemak (vitamin A,D,E,K), vitamin larut air (vitamin B kompleks dan vitamin C), mineral (kalsium, fosfor, magnesium, kalium, natrium, klorida, sulfur), dan unsur hara atau trace elements (fluor, seng, yodium) yang penting untuk metabolisme. Vitamin merupakan senyawa organik yang diperlukan tubuh dalam jumlah kecil untuk mempertahankan kesehatan. Sumber vitamin dan mineral yang paling baik ialah makanan. Selain terdapat dalam makanan, vitamin juga dapat diberikan dalam bentuk murni sebagai sediaan tunggal atau kombinasi (Ganiswara, 1995). Sediaan vitamin untuk pengobatan hanya diperlukan untuk terapi penyakit defisiensi vitamin dan terapi suportif pada keadaan patologik dimana kebutuhan makanan sangat meningkat.

Kelas terapi keenam ditempati oleh obat-obat

golongan hormon dan antagonis (5,94%).Yang

dimaksud dengan hormon ialah zat aktif yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, yang masuk ke dalam peredaran darah untuk mempengaruhi jaringan secara spesifik (Ganiswara, 1995). Obat-obat yang banyak digunakan pada kelas terapi ini adalah obat-obat dari kelompok

anti diabetik oral dari golongan sulfonilurea

(misal:glibenclamid, klorpropamid) dan obat dari golongan biguanid (misal : metformin). Hal ini dapat menggambarkan bahwa kecenderungan masyarakat untuk menderita diabetes cukup tinggi. Namun sebenarnya, dalam penanggulangan diabetes, obat hanya pelengkap dari diet. Obat hanya perlu diberikan bila pengaturan diet secara maksimal tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah. Obat-obat lain yang juga banyak digunakan pada kelas terapi ini adalah deksametason, hidrokortison, dan prednison yang

termasuk sediaan kortikosteroid. Kortikosteroid

mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan

lemak; dan mempengaruhi juga fungsi sistem

kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ lain, sehingga fungsi kortikosteroid penting untuk kelangsungan hidup organisme (Ganiswara, 1995).

Pada penelitian ini juga didapatkan data bentuk

sediaan yang banyak diresepkan oleh dokter.

Berdasarkan tabel 5, diketahui bahwa persentase tiap bentuk sediaan obat generik berdasarkan lembar resep adalah sebagai berikut; tablet (48,16%), kapsul (17,88%), sediaan cair oral (2,83%), serbuk (26,82%), tetes (0,26%), injeksi (0,28%), semisolid (3,77%).

Dari identifikasi pasien berdasarkan identitas umur sebagaimana yang tercantum pada tabel 6 didapatkan data bahwa jumlah pasien dewasa lebih banyak menerima resep dari dokter dibandingkan pasien dari

(5)

kelompok usia lainnya (52,90%). Hal ini dapat disebabkan jumlah pasien dewasa memang lebih banyak dari pasien bayi (4,72%) dan anak-anak (16,79%) menurut data kependudukan tahun 2002 dan juga karena orang dewasa lebih banyak memungkinkan terjadinya kontak dengan sumber penyakit. Yang menarik disini adalah tingginya angka pasien tak teridentifikasi (25,90%) kedua setelah pasien dewasa, atau lebih tinggi daripada pasien bayi dan anak-anak. Yang dimaksud dengan pasien tak teridentifikasi disini adalah pasien yang pada lembar resepnya tidak dicantumkan keterangan umurnya. Hal ini bisa jadi diakibatkan adanya anggapan bahwa pasien dewasa tidak perlu dituliskan keterangan umurnya. Padahal tidak semua pasien tak teridentifikasi berusia dewasa.

Kendala-kendala yang dialami peneliti selama berada di lapangan yaitu cukup banyak apotek yang tidak memberikan ijin untuk meneliti dengan berbagai alasan, banyak resep yang tidak disusun secara rapi sehingga peneliti tidak bisa mencatat secara urut, ada beberapa yang jumlah lembar resepnya tidak lengkap diakibatkan penyimpanan dan pengaturan resep yang kurang rapi, hingga ada yang tidak tercantumnya nomor resep pada lembar resep.

Tidak semua obat, baik produk generik maupun obat dengan nama generik diresepkan oleh dokter. Umumnya dokter meresepkan obat berdasarkan pertimbangan manfaat-resiko obat, obat-obat yang paling established, obat yang diketahui paling baik sifatnya, pembatasan pemberian jenis obat seminimal mugkin, penyesuaian dosis obat pada setiap pasien, penggunaan dosis efektif terkecil, pemilihan cara pemberian obat yang paling aman tanpa mengurangi efektifitasnya, pemilihan obat baru yang lebih baik bukan karena barunya, tapi karena efektifitasnya yang memang lebih baik, dan kecocokan kebenaran data promosi dari pabrik obat (Darmansyah, 1985), atau ada juga yang disebut dengan P-drugs, yaitu pemilihan dan peresepan obat yang sering dan lazim digunakan atau obat-obat yang telah dikenal oleh dokter (WHO, 1994).

Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian tentang profil peresepan obat generik di beberapa apotek di wilayah Surabaya maka dapat disimpulkan bahwa: Proporsi peresepan obat generik terhadap obat dengan nama dagang adalah sebesar 27,97%., atau 2 dari 7 lembar resep mengandung obat generik.

Berdasarkan data kelas terapi obat diketahui bahwa penggunaan obat generik dalam resep bulan Juli-Desember 2002 adalah: saraf otonom (10,79%), sistem saraf pusat (38,05%), kardiovaskuler (7,49%), saluran cerna (3,24%), antimikroba (22,23%), kemoterapi parasit (0,93%), hormon dan antagonis (5,94%), obat kulit (4,11%), obat mata (0,29%) vitamin dan metabolik (7,03%).

Bentuk sediaan terpilih yang dijumpai dalam resep selama penelitian adalah: tablet (48,16%), kapsul (17,88%), sediaan cair oral (2,83%), serbuk (26,82%), tetes (0,26%), injeksi (0,28%), semisolid (3,77%). Data dari identitas pasien berdasarkan umur yang banyak diresepkan dokter adalah: dewasa (52,90%), bayi (4,72%) dan anak-anak (16,79%), tak teridentifikasi (25,90%).

DAFTAR PUSTAKA

Adhyatma., 1989. Informatorium Obat Generik.Jakarta: Bakti Husada

Azis, S., 1997. Analisa Data Penerapan Harga Obat Di Amerika Dan Pangsa Pasar Obat Tertinggi Dari 100 Industri Farmasi di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia Tahun XXV, 7, hal.446,447 Azwar, A., 2003. Krisis Ekonomi dan Kebijakan Obat

Generik.www.IDIonline.org/arsip/list_makalah.php Brahim, R. 2002. Kajian Penggunaan Obat Generik

Berlogo. Jurnal Farmasi Indonesia Tahun I, I, hal 38-40

Darmansyah, I., 1985. 10 Dasar Pemilihan Obat. Majalah Farmakologi Indonesia dan Terapi 2, 2 hal. 56

Departemen Kesehatan R.I., 1996. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Bidang Obat. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan Ganiswara, S.G., 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi

ke-4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Haryono dan Farida., 1999. Kajian Resep-resep di Apotek Sebagai Sarana Meningkatkan Penulisan Resep yang Rasional. Jurnal Kedokteran Yarsi, 1. Jakarta:

Hadiarto, 1982. Penyakit Paru Obstruktif Menahun. Cermin Dunia Kedokteran No.26 hal.57

Rahmawati, V., 2002. Analisis Keabsahan Resep di Apotek Wilayah Kotamadya Yogyakarta (Tesis). Surabaya

Thabrany, H., 2003. Drug Expenditure for Askes Members in the Clinics by Cipto Mangunkusumo Hospital, Majalah Kedokteran Indonesia 53, 6, hal. 214 - 215

Theodorus. 1997. Penuntun Praktis Peresepan Obat. Jakarta: EGC

Tjokronegoro, A., 1999. Metodologi Penelitian. Surabaya: Airlangga University Press, hal. 35-36 WHO., 1994. Guide To Good Prescribing. Geneva:

World Health Organization,p.2

Zainuddin., 1999. Metode Penelitian. Surabaya: Airlangga University Press

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian pada aliran satu fase horizontal menunjukkan bahwa pada pipa dengan groove berjumlah 2, 8 dan 32 aliran fluida mengalami pengurangan gesekan karena ukuran

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa Bakso sapi terpilih dari segi organoleptik dengan menggunakan uji deskripsi yaitu bakso sapi dengan

Data yang terkait dengan penelitian “Adab Al-„ilmi Menurut al-Mawardi (Analisis Etika Keilmuan)”, yaitu data mengenai kondisi pendidikan, sosial kultural, dan

Berkaitan dengan upaya reformasi aparatur birokrasi, kebijakan yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Kampar yaitu melalui menata kembali sumberdaya manusia aparatur sesuai

Bentuk lambung kapal dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kriteria kapal ikan, antara lain ruang muat luas, mudah loading-unloading ikan, olah gerak

Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatra Timur oleh rakyat terhadap penguasa kesultanan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946.. Revolusi ini

Dengan adanya teknologi HOLOGRAM saat ini, TIM PKM KC ingin mengaplikasikan teknologi tersebut untuk membuat aplikasi SADARI 3D HOLOGRAM BERBASIS ANDROID

Organisasi yang baik adalah organisasi yang mempunyai struktur yang jelas sehingga dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diberikan, setiap orang pemangku jabatan memiliki