• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN ORGANOLOGIS KENDANG SUNDA BUATAN KANG ASEP PERMATA BUNDA DI MEDAN POLONIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN ORGANOLOGIS KENDANG SUNDA BUATAN KANG ASEP PERMATA BUNDA DI MEDAN POLONIA"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN ORGANOLOGIS KENDANG SUNDA BUATAN

KANG ASEP PERMATA BUNDA DI MEDAN POLONIA

SKRIPSI SARJANA

O

L

E

H

NAMA: AYU TRIANA PUTRI

NIM:

100707040

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN

(2)

KAJIAN ORGANOLOGIS KENDANG SUNDA BUATAN

KANG ASEP PERMATA BUNDA DI MEDAN POLONIA

SKRIPSI SARJANA

O L E H

NAMA: AYU TRIANA PUTRI NIM: 100707040

Disetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Drs. Fadlin, M.A.

NIP 196512211991031001 NIP 196102201989031003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

ABSTRAK

Tulisan ini bertajuk Kajian Organologis Kendang Sunda Buatan Kang Asep Permata Bunda di Medan Polonia. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan aspek organologis kendang Sunda buatan Kang Asep Permata Bunda, salah seorang pembuat kendang Sunda di Sumatera Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan, dengan pendekatan kualitatif, dan pengamatan terlibat (participant observer). Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural dan fungsional yang ditawarkan oleh Kashima Susumu.

Hasil yang diperoleh adalah, dalam ensambel, kendang Sunda terdiri dari satu kendang,dan dua kulanter yang dimainkan oleh seorang pemain.Secara struktural, kendang Sunda terdiri dari: tali rawit, wangkis, wengku, kuluwung, udel, tali rarawat, dan ali-ali. Badan kendang ini terbuat dari kayu nagka (Artocarpus integra sp), membrannya yang disebut wangkis terbuat dari kulit kambing, wengku dari bambu, rarawat dari kulit kambing atau sapi, ali-ali dari kulit kambing, dan udel dari kulit kambing. Bahan-bahan ini diolah secara manual dengan menggunakan alat-alat: gergaji, kikir, pisau,palu, ketam, pahat, meteran, pensil, parang, tali rafia, dan lain-lain. Fungsi musikal kendang Sunda adalah membawa ritme, dan biasanya digunakan dalam ensambel gamelan Sunda ( degung, salendro, dan pelog). Dalam sistem pembelajarannya fungsi musikal ini menggunakan sistem onomatopeik.

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat, dan syukur penulis hanturkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasihNya yang begitu besar telah melimpahi kehidupan penulis. Setiap detik dalam perjalanan hidup penulis disertai dan diberi sukacita penuh. Secara khusus dalam penyusunan skripsi ini, kekuatan dan penghiburan diberikanNya jauh melebihi permohonan penulis.

Skripsi ini berjudul “Kajian Organologis Kendang Sunda Buatan Kang Asep Permata Bunda di Jalan Antariksa Gagng Kembar Nomor 16 Medan Polonia.” Skripsi ini diajukan dalam melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari banyak kekurangan dan tantangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Hal-hal tersebut berasal dari dalam dan luar diri penulis. Kejenuhan dan kelelahan senantiasa mendekat ke dalam diri penulis. Namun, semangat baru selalu hadir melalui orang-orang di sekitar penulis.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih dan mempersembahkan skripsi ini kepada kedua orang tua yang sangat saya sayangi, ayahanda Filips Matondang dan ibunda Junietty Siahaan. Terima kasih untuk segala cinta kasih dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis. Kesabaran, kebijaksanaan, dan kerendahan hati telah diajarkan kepada penulis sejak kecil. Sehingga, saat ini merupakan buah karya dan kasa yang telah dilakukan penulis. Terlebih-lebih dalam penyusunan skripsi ini, suka dan duka terlampaui atas

(5)

doa-doa yang telah dipanjatkan setiap hari. Motivasi yang luar biasa dan dukungan selalu hadir saat penulis melakukan kelalaian dalam penyelesaian skrispsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kakak terkasih DPS Matondang beserta suami S Butar-Butar dan ROS Matondang beserta suami M. Manurung, adik terkasih EPP Matondang. Terimakasih untuk doa, bantuan, dukungan, waktu dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. Meskipun jarak memisahkan penulis dengan kakak-kakak terkasih, tapi penulis dapat merasakan kehadiran kalian. Sehingga penulis mampu melalu rintangan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis sungguh bersyukur kepada Tuhan karena telah menganugrahkan keluarga yang luar biasa untuk penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran di Dekanat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat Bapak Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. sebagai Ketua Departemen Etnomusikologi dan sebagai dosen Pembimbing I penulis yang telah membimbing dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk ilmu pengetahuan, pengalaman, kebaikan dan nasehat-nasehat yang telah Bapak berikan kepada saya selama berada di perkuliahan. Kiranya Tuhan selalu menyertai dan melimpahkan sukacita kepada Bapak. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd. sebagai Sekretaris Departemen Etnomusikologi. Penulis juga tidak lupa mengucapkanterimakasih kepada yang terhormat Bapak Drs. Fadlin, M.A., selaku dosen Pembimbing II penulis yang telah mengarahkan dan memberikan bimbingan kepada penulis sejak

(6)

memulai perkuliahan dan menyelesaikan skrispi ini. Terimakasih untuk perhatian, ilmu, dan kebaikan yang Bapak berikan. Kiranya Tuhan senantiasa melindungi dan melimpahkan berkat untuk Bapak.

Begitu pula untuk Ibu Adry Wiyanni Ridwan, S.S., sebagai pegawai administrasi di Departemen Etnomusikologi FIB USU yang telah berkenan untuk membantu kelancaran administrasi penulis selama ini. Penulis mengucapkan terima kasih untuk kebaikan yang telah diberikan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat seluruh staf pengajar Departemen Etnomusikologi USU yang telah banyak memberikan pemikiran dan wawasan baru kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. Kepada seluruh dosen di Etnomusikologi, Bapak Prof. Mauly Purba, M.A., Ph.D., Bapak Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Drs. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Fadlin, M.A., Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Ibu Arifninetrirosa, SST, M.A., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si., dan Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, serta semua dosen praktik. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu yang telah membagikan ilmu dam pengalaman hidup Bapak/Ibu sekaliam. Seluruh ilmu dan pengalaman hidup Bapak/Ibu sekalian menjadi pelajaran berhagrga untuk penulis.

Kepada semua informan yang telah memberikan dukungan dan bantuan untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini : Kang Asep Permata Bunda, Kang Ade Herdiyat, Kang Iwan, Kang Asep Nata dan informan-informan lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kesempatan dan pengalaman yang sungguh berharga telah penulis dapatkan atas kebaikan Bapak/Ibu sekalian. Penulis dapat mengenal budaya Sunda lebih dekat atas pertolongan Bapak-bapak sekalian.

(7)

Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh mahasiswi angkatan 2010 terkhususnya sahabat saya Riska Prisila, Shelly Pelawi, Deby Gea, Ruth Marbun, Kezia Purba, Miduk Nadeak, Anna Purba, Rican, Tribudi, Chandra Marbun, Jackri dan teman-teman seangkatan yang tidak saya sebutkan, terimakasih atas kebersamaan dan waktu luangnya yang dihabiskan bersama penulis. Kepada abang saya yang sudah membantu dari jauh dan memberi dukungan yang luar biasa, Brasta Pratama Putra. Kepada teman-teman segereja : Arianda Roy Tobing, Tofri Sitorus, Ella Pardede, Regina Sidauruk, Ester Sihombing atas bantuannya dan waktunya untuk menemani penelitian skripsi ini.

Kepada alumni Etnomusikologi yakni Batoan L Sihotang, Frans Sitepu, Marini Pratiwi, Pardon Simbolon, Daniel Zai, Mario Sianipar dan alumni yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas dukungan moril dan informasi yang penulis dapatkan selama proses belajar di Etnomusikologi.

Penulis menyadari, bahwa skripsi ini belum dikatakan sempurna, oleh karenga itu penulis mengharapkan saran serta kritik yang bersifat membanugn dari para pembaca, untuk lebih menyempurnakan skripsi ini nantinya.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca. Terutama sekali bagi mereka yang menginginkan informasi tentang kendang Sunda.

Medan, Oktober 2014

(8)

DAFTAR ISI PENGESAHAN ... ABSTRAKSI ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR GAMBAR ... BAB I: PENDAHULUAN ... 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1.2 Pokok Permasalahan ... 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 1.3.1 Tujuan Penelitian ... 1.3.2 Manfaat Penelitian ... 1.4 Konsep dan Teori ... 1.4.1 Konsep ... 1.4.2 Teori ... 1.5 Metode Penelitian ... 1.5.1 Studi Kepustakaan ... 1.5.2 Kerja Lapangan ... 1.5.3 Kerja Laboratorium ... 1.5.4 Lokasi Penelitian ... BAB II: BIOGRAFI KANG ASEP PERMATA BUNDA DALAM KONTEKS

BUDAYA SUNDA DI SUMATERA UTARA ... 2.1 Pengertian Biografi ... 2.2. Alasan Dipilihnya Asep Permata Bunda ... 2.3 Biografi Asep Permata Bunda ... 2.3.1 Latar Belakang Keluarga... 2.3.2 Latar Belakang Pendidikan ... 2.3.3 Berumah Tangga ... 2.3.4 Kang Asep Sebagai Pembuat Alat Musik ... 2.3.5 Kang Asep Sebagai Pemusik Tradisional ... 2.3.6 Manajemen Seni Asep Permata Bunda ... BAB III PERSPEKTIF SEJARAH, STRUKTUR DAN TEKNIK PEMBUATAN

KENDANG SUNDA ... 3.1 Perspektif Sejarah Kendang Sunda ... 3.2 Klasifikasi Kendang Sunda... 3.3 Struktur dan Ukuran Kendang Sunda ... 3.3.1 Struktur Kendang Sunda ... 3.3.1.1 Wangkis/Membran ... 3.3.1.2 Wengku ... 3.3.1.3 Kuluwung... 3.3.1.4 Tali Rarawat dan Rawit ... 3.3.1.5 Ali-ali ... 3.3.1.6 Udel ... 3.3.2 Ukuran Kendang Sunda ...

(9)

3.3.2.1 Ukuran Wangkis/Membran ... 3.3.2.2 Ukuran Kuluwung ... 3.3.2.3 Ukuran Wengku ... 3.3.2.3.1 Wengku Atas ... 3.3.2.3.2 Wengku Bawah ... 3.3.2.4 Ukuran Ali-ali ... 3.3.2.5 Ukuran Tali rarawat dan rawit ... 3.4 Bahan Yang Dipergunakan ... 3.4.1 Kayu Mahoni (Swietenia Mahagoni) ... 3.4.2 Kulit Kambing ... 3.4.3 Bambu ... 3.5 Peralatan Yang Digunakan

3.5.1 Gergaji ... 3.5.2 Kikir ... 3.5.3 Pisau ... 3.5.4 Palu Halus ... 3.5.5 Ketam Kayu ... 3.5.6 Palu ... 3.5.7 Pahat Awal dan Pahat Bubang ... 3.5.8 Meteran ... 3.5.9 Pensil ... 3.5.10 Parang ... 3.5.11 Pernis ... 3.5.12 Kuas ... 3.5.13 Kayu Penyangga ... 3.5.14 Tali Rafia 3.5.15 Paku ... 3.5.16 Tali Kain ... 3.6 Teknik Pembuatan Kendang ... 3.6.1 Membuat Membran... 3.6.2 Teknik Penalian ... 3.7 Teknik Penyeteman ... 3.8 Klasifikasi Alat Musik ... BAB IV: TEKNIK MEMAINKAN DAN FUNGSI MUSIK KENDANG PADA

MASYARAKAT SUNDA ... 4.1 Posisi Memainkan ... 4.1.1 Teknik Dasar Memainkan Kendang ... 4.2 Warna Bunyi ... 4.3 Pola Ritem Kendang ... 4.4 Fungsi Alat Musik Kendang ... 4.4.1 Fungsi Pengungkapan Emosional ... 4.4.2 Fungsi Hiburan ... 4.4.3Fungsi Kesinambungan Budaya ... 4.4.4 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat ... 4.4.5 Fungsi Reaksi Jasmani ... 4.4.6 Fungsi Pengabsahan lembaga Sosial dan Upacara Agama ... 4.4.7 Fungsi Penghayatan Estetis ...

(10)

BAB V: PENUTUP ... 5.1 Kesimpulan ... 5.2 Saran-saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Kang Asep bersama istri... 21

Gambar 2 : Kang Asep bersama penulis ... 21

Gambar 3 : Struktur Kendang Sunda ... 32

Gambar 4 : Proses Penjemuran Kulit ... 33

Gambar 5 : Paku disisi kulit yang sedang dijemur ... 34

Gambar 6 : Kuluwung ... 35

Gambar 7 : Batang pohon mahoni ... 36

Gambar 8 : Proses pembuatan kuluwung ... 36-37 Gambar 9 : Wengku ... 40

Gambar 10 : Tali rarawat dan rawit ... 41-42 Gambar 11 : Ali-ali ... 43

Gambar 12 : Udel ... 44

Gambar 13 : Ukuran Wangkis ... 45

Gambar 14 : Ukuran Kuluwung ... 45-46 Gambar 15 : Wengku Atas ... 47

Gambar 16 : Wengku Bawah ... 47

Gambar 17 : Ukuran ali-ali ... 48

Gambar 18 : Ukuran tali rarawat dan rawit ... 48-49 Gambar 19 : Gergaji ... 51

Gambar 20 : Kikir ... 52

Gambar 21 : Pisau ... 53

Gambar 22 : Palu Halus ... 53

Gambar 23 : Ketam Kayu ... 54

Gambar 24 : Palu ... 54

Gambar 25 : Pahat awal dan Pahat bubang ... 55

Gambar 26 : Meteran ... 55

Gambar 27 : Pensil ... 56

Gambar 28 : Parang ... 56

Gambar 29 : Kayu Penyangga ... 57

Gambar 30 : Tali Kain ... 58

Gambar 31 : Membuat Membran ... 60-61 Gambar 32 : Teknik Penalian ... 61-62 Gambar 33 : Teknik Penyeteman ... 64

Gambar 34 : Posisi memainkan ... 66

Gambar 35 : Posisi kaki ... 67

Gambar 36 : Memasukkan tali ke kayu penyangga ... 67 Gambar 37 : Cara memukul kendang ... 71-72

(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya dengan budaya, yang selaras dan didukung oleh beragam etnik yang menyatu dalam sebuah bangsa. Kesenian merupakan hasil produk budaya, yang dalam keberadaannya selalu tidak lepas dari masyarakat, karena kesenian itu lahir dari gagsasan dan aktivitas masyarakat itu sendiri. Kesenian pun tidak akan pernah hilang kalau masih difungsikan masyarakat pendukungnya.

Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1986), menyebutkan kebudayaan dapat dibagi menjadi tujuh unsur. Salah satu unsur kebudayaan adalah kesenian. Di sisi lain, kesenian itu sendiri masih terdiri dari beberapa sub bagian seperti seni: musik, sastra (cerita rakyat, pantun), tari, teater, dan lain-lain. Demikian pula kesenian dalam masyarakat Sunda.

Masyarakat Sunda memiliki begitu banyak kesenian, salah satunya adalah gamelan.1 Gamelan Sunda yang merupakan salah satu bentuk kesenian musik masyarakat Sunda. Gamelan ini ada yang berlaras salendro, pelog, dan degung Secara budaya, istilah degung memiliki dua pengertian, yaitu: (a) nama seperangkat gamelan yang digunakan oleh masyarakat Sunda, yakni gamelan-degung. Gamelan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan gamelan pelog dan salendro, baik dari jenis instrumennya, lagu-lagunya, teknik memainkannya,

1Di sini penulis hanya memaparkan sedikit tentang gamelan Sunda yaitu

gamelan degung dengan tujuan untuk memperkenalkan sekilas tentang kesenian gamelan khas masyarakat Sunda. Alasannya karena kendang Sunda bahagian yang integral dari gamelan, yang dipandang sebagai garda depan budaya musik Sunda, sama halnya dengan gondang sabangunan sebagai garda depan musik Batak Toba.

(13)

2

maupun konteks sosialnya; (b) Nama laras2 (tangga nada) yang merupakan bagian dari laras salendro berdasarkan teori R. Machjar Angga Koesoemahdinata. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk nada) mi (2) dan la (5) dan degung triswara (tumbuk nada da (1), na (3), dan ti (4). (sumber: http://www.wikipedia.com).

Karena perbedaan inilah maka degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan merupakan identitas kebudayaan masyarakat Sunda. Arti degung dalam konteks Nusantara sebenarnya memiliki hubungan dengan kebudayaan sejenis, yaitu gangsa di Jawa Tengah, gong di Bali, atau goong di Banten. Semuanya merujuk kepada musik gamelan. Gamelan merupakan sekelompok waditra3 dengan cara membunyikan alatnya kebanyakan dipukul. (sumber: http://www.wikipedia. com).

Jaap Kunst dalam bukunya Toonkunst van Java (Kunst, 1934), mencatat bahwa awal perkembangan degung adalah sekitar akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-19. Dalam studi literaturnya, disebutkan bahwa kata degung pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus yang disusun oleh H.J. Oosting.

Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa (bahasa Sunda Lama) yaitu bahwa kata degung berasal dari kata ngadeg (berdiri) dan agung” (megah), atau pangagung (menak; bangsawan), yang

2

Laras (berasal dari bahasa Jawa) mengandung pengertian yang sama dengan tangga nada pada musik barat, yakni: deretan nada-nada, baik turun maupun naik, yang disusun dalam satu oktaf dengan interval tertentu.

3

Wadrita adalah istilah dalam bahasa Sunda yang berarti sebutan untuk alat-alat bunyi yang biasa dipergunakan sebagai alat musik tradisional, nama wadrita dipergunakan sebagai nama perusahaan sesuai dengan nama produk yang dibuat yaitu alat musik tradisional Sunda. Waditra dikelompokkan menjadi enam rumpun, yaitu: (a) waditra berperangkat, (b) waditra tiup, (c) waditra gesek, (d) waditra tepuk, (e) waditra petik, dan (f) waditra tatabeuhan.

(14)

3

mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan.

Nama-nama wadrita yang terdapat dalam gamelan degung ini adalah: 1. Bonang, terdiri dari 14 penclon. Bonang biasanya sebagai pembawa

melodinya.

2. Saron/Cempres, terdiri dari 14 bilah.

3. Panerus, bentuk dan jumlah nada sama dengan saron, hanya berbeda dalam oktafnya.

4. Jengglong terdiri dari 6 buah gong kecil. Penempatannya ada yang digantung ada pula yang disimpan.

5. Suling, suling yang digunakan biasanya mempunyai 4 buah lobang udara.

6. Kendang, terdiri dari satu buah kendang besar, dan dua buah kendang kecil (kulanter).

7. Gong, pada mulanya hanya satu gong besar saja, kemudian sekarang memakai kempul, seperti yang digunakan pada gamelan pelog-salendro.

(sumber: www.wikipedia.com)

Di antara wadrita di atas, selain suling, kendang juga merupakan alat musik pembawa irama. Menurut pernyataan Yudoyono (1998:84), “Dari seperangkat alat gamelan jawa, yang paling menjadi pusat perhatian atapun pendengar gending-gending adalah alat yang disebut kendang”.

Kendang adalah salah satu wadrita yang berperan penting dalam suatu pementasan, karena kendang menjadi pendukung yang sangat dominan dan komunikatif, mengendalikan tempo dan irama setiap lagu, baik tempo pokok

(15)

4

maipun irama cepat atau lambat, ditangkap dengan bunyi kendang termasuk didalamnya mengawali dan mengakhiri gendingan. Selain itu ritmis kendang dan melodi kendang dapat menghantarkan kita kedalam suasana riang dan gembira.

Menurut Soepandi (1987:21) fungsi kendang didalam karawitan Sunda sedikitnya ada 5 kategori, hal itu disebut Panca pramakaras yang berarti 5 huruf pertama sebagai berikut:

1. Anggeran wiletan yaitu penjaga irama.

2. Anceran wiletan yaitu pemberi irama baik pada awal lagu maupun pertengahan lagu sesuai kebutuhan.

3. Amardawa lagu yaitu sebagai melodi lagu. 4. Arkuh lagu yaitu kerangka lagu.

5. Adumanis lagu yaitu pendukung ritmis pada wadrita-wadrita lain dan sinden yang memberi variasi.

Kendang pada mulanya ditemukan oleh manusia di peradaban awal yang memiliki kebiasaan memukul-mukul benda sekitarnya untuk mengekspresikan kegembiraan, misalnya saat berhasil menangkap binatang buruan. Dalam 4

ekskavasi di berbagai wilayah di dunia ditemukan kendang/drum tertua dari masa neolitikum.

Kendang merupakan salah satu instrument tradisional Sunda yang boleh dikatakan memberi pengaruh besar terhadap kesenian lain diluar kesenian Sunda. Pada perkembangan musik gamelan Jawa yaitu pada musik campursari (satu genre musik populer Jawa), kendang yang digunakan adalah kendang Sunda. Alat musik kendang merupakan alat musik tradisional yang dimainkan

4

Ekskavasi dapat diartikan sebuah proses penggalian yangg dilakukan di tempat yangg mengandung benda purbakala. Istilah ekskavasi ini sangat lazim digunakan dalam bidang disiplin ilmu arkeologi, yaitu sebuah ilmu yang mengkaji artefak-artefak budaya, terutama situs-situs purbakala.

(16)

5

dengan cara dipukul dengan kedua telapak tangan, dan diredam oleh telapak kaki kiri pemainnya. Ditempatkan di depan pemain secara horizontal. Biasanya pemain kendang Sunda memainkan dua kendang yaitu kendang dan kulanter (kendang kecil).

Dalam konteks budaya, berdasarkan bentuk dan wujudnya, terdapat 2 jenis waditra kendang Sunda, antara yaitu:

1. Kendang besar (indung) yang berukuran besar, Kendang yang biasa dipergunakan dalam jaipongan, wayangan (teater wayang kulit atau golek), kacapian (ensambel kecapi Sunda), dan lain-lain. Membran atas disebut kempyang dan membran bawh disebut gedug.

2. Kulanter adalah kendang yang berukuran kecil. Kendang ini berperan untuk menambah variasi tabuhan kendang sedang, sebab pemakaiannya tidak terlepas dari kendang indung (wawancara dengan Ade Herdiyat Januari 2014). Membran atas disebut kutiplak dan membran bawah disebut kutipang.

Seiring berjalannya waktu, Instrumen tradisional kendang Sunda kini tengah diupayakan agar diakui UNESCO (United Nations Educations and Cultural Organization) sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia. Saat ini, kendang Sunda juga tengah diupayakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar masuk ke dalam daftar Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI), dari pengakuan seorang seniman Bandung yang bernama Wahyu Roche, seniman asal Kabupaten Bandung yang juga berdinas di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat (wawancara dengan Asep Permata Bunda, 4 Mei 2014 di Medan).

Hal ini yang sebenarnya menjadi perhatian penulis, ketika kendang Sunda ingin dijadikan warisan kebudayaan dunia, hingga kini masih sulit

(17)

6

mencari pembuat kendang diluar tempat asalnya. Padahal kesenian Sunda juga harus tetap dijaga sekalipun jauh dari tempat asalnya.

Pada 4 Mei 2014, penulis bertemu dan berbincang dengan seorang pembuat kendang Sunda di Medan, tepatnya di Jalan Antariksa Gang Kembar No. 16 Medan Polonia, yang bernama Asep Permata Bunda (panggilan akrabnya Kang Asep). Kang Asep adalah satu-satunya pembuat kendang di Medan. Menurut beliau, kendang masuk ke dalam budaya Sunda sebelum zaman penjajahan Belanda dan digunakan sebagai penyebaran agama Islam.

Kang Asep mulai tertarik terhadap kendang Sunda semenjak tahun 1984 sejak beliau masih kecil lagi. Dia mengikuti jejak kakeknya yang pada saat itu juga membuat kendang Sunda. Menurut pengakuannya, Kang Asep pada awalnya hanya penasaran membedah alat musik kendang yang dibuat kakeknya dan mengatakan bahwa bahan yang dibuat untuk membuat kendang itu tidaklah begitu sulit didapat dan pembuatannya masih manual bahkan hingga sekarang. Bahan yang diperlukan untuk membuat kendang adalah kayu nangka (Artocarpus heterophyllus) yang mempunyai tekstur yang lunak, kulit kerbau jantan yang sudah dikeringkan, tali rotan, alat bubu kayu, pahatan, palu, batu. Karena merasa mampu, perlahan Kang Asep mencoba-coba membuat kendang dan mulai bisa menyetem rotan (sebagai alat penyetem nada pada kendang). Lama kelamaan beliau mulai tertarik untuk membuat kendang sendiri. Hingga akhirnya kendang buatannya bisa diperjualbelikan.

Menurut Kang Asep, kesulitan dalam pembuatan kendang hanyalah pada saat mencari kayu terbaik dan mengeringkan kulit kerbau yang diperlukan. Keunikan kendang yang dibuat oleh Kang Asep tidak terlepas dari bahan pembuatannya. Kang Asep menggunakan kayu mahoni untuk pembuatan

(18)

7

kendangnya. Karena menurut Kang Asep, sudah sulit untuk mencari pohon nangka yang berkualitas. Sampai kini, menurut pengakuan Kang Ade Herdiyat (dosen praktik musik Sunda Etnomusikologi USU), Kang Asep ini adalah satu-satunya pembuat kendang Sunda di Medan.

Dengan melihat keadaan yang seperti itu, maka penulis tertarik untuk mengkaji kendang Sunda buatan Kang Asep Permata Bunda ini, dari perspektif Etnomusikologi, ilmu yang selama empat tahun ini penulis pelajari di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Tentu saja perlu dipahami apa itu etnomusikologi dalam konteks penelitian ini.

Untuk mengkaji aspek organologis kendang Sunda buatan Kang Asep Permata Bunda di medan ini, penulis akan mengkajinya dari disiplin etnomusikologi. Penjelasan mengenai apa itu etnomusikologi adalah seperti kutipan dari laman web resmi Society for Ethnomusicology sebagai berikut.

Ethnomusicology encompasses the study of music-making throughout the world, from the distant past to the present. Ethnomusicologists explore the ideas, activities, instruments, and sounds with which people create music. European and Chinese classical musics, Cajun dance, Cuban song, hip hop, Nigerian juju, Javanese gamelan, Navajo ritual healing, and Hawaiian chant are a few examples of the many varieties of music-making examined in ethnomusicology. Ethnomusicology is interdisciplinary--many ethnomusicologists have a background not only in music but in such areas as anthropology, folklore, dance, linguistics, psychology, and history. Ethnomusicologists generally employ the methods of ethnography in their research. They spend extended periods of time with a music community, observe and document what happens, ask questions, and sometimes learn to play the community’s types of music. Ethnomusicologists may also rely on archives, libraries, and museums for resources related to the history of music traditions. Sometimes ethnomusicologists help individuals and communities to document and promote their musical practices. Most ethnomusicologists work as professors at colleges and universities, where they teach and carry out research. A significant number work with museums, festivals, archives, libraries, record labels, schools,

(19)

8

and other institutions, where they focus on increasing public knowledge and appreciation of the world’s music. Many colleges and universities have programs in ethnomusicology. To see a list of some of these programs, visit our guide to Programs in Ethnomusicology (http://webdb.iu.edu)

Dalam situs web tersebut dipaparkan bahwa etnomusikologi adalah kajian yang menjangkau terbentuknya musik di seluruh dunia ini, dari masa dahulu hingga sekarang. Etnomusikologi mengeksplorasi segala gagasan, kegiatan, alat-alat musik, suara ang dihasilkan (alat-alat musik atau vokal), dengan masyarakat yang menghasilkan musik tersebut. Musik klasik Eropa dan China, tarian Cajun, nyanyian masyarakat Kuba, hip hop, juju dari Nigeria, gamelan Jawa, ritual penyembuhan penyakit masyarakat Indian Navaho, nyanyian keagamaan Hawaii, adalah beberapa ccontoh budaya kajian terhadap musik di seluruh dunia, yang dilakukan oleh para etnomusikolog. Etnomusikologi merupakan disiplin ilmu pengetahuan yang sifatnya interdisiplin. Beberapa etnomusikolog mempunyai latar belakang tidak hanya di dalam musik tetapi ada yang berasal dari bidang ilmu antropologi, folklor, tari, linguistik, psikologi, dan sejarah. Etnomusikologi secara umum melibatkan metode etnografi dalam penelitiannya. Para etnomusikolog mengkaji musik dalam dimensi waktu dan komunitas pendukungnya, mengamati, mengumpulkan dokumen tentang apa yang terjadi, bertanya tentang apa yang diteliti, dan juga turut terlibat memainkan musik seperti yang dilakukan komunitasnya. Para etnomusikolog juga melakukan studi terhadap arsip, perpustakaan, dan museum, untuk mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan sejarah musik. Kadangkala etnomusikolog melakukan dokumentasi dan mempromosikan pertunjukan musik. Sebahagian besar etnomusikolog biasanya menjadi ilmuwan di berbagai jenis pendidikan dan universitas. Sejumlah karya penting mereka

(20)

9

berkaitan dengan museum, festival, arsip, perpustakaan, label rekaman, sekolah, berbagai institusi, di mana mereka memfokuskan pencerahan kepada pengetahuan dan apresiasi musik di seluruh dunia. Beberapa perguruan tinggi dan universitas mempunyai program etnomusikologi.

Dari kutipan di atas dengan jelas menyatakan bahwa etnomusikologi adalah ilmu yang mengkaji budaya musik di seluruh dunia dari masa dahulu sampai sekarang. Di antara kajian itu adalah tentang alat musik, termasuk gamelan Jawa. Dalam skripsi nantinya penulis akan mengkaji alat musik kendang Sunda, dari sisi organologis.

Kajian organologi atau kebudayaan material musik dalam etnomusikologi telah dikemukakan oleh Merriam (1964) sebagai berikut. Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti dengan klasifikasi yang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon, aerofon, dan kordofon. Selain itu pula, setiap alat musik harus diukur, dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah teoretis perlu pula dicatat. Selain masalah deskripsi alat musik, masih ada sejumlah masalah analitis lain yang dapat menjadi sasaran penelitian lapangan etnomusikologi. Apakah ada konsep untuk memperlakukan secara khusus alat-alat musik tertentu di dalam suatu masyarakat? Adakah alat musik yang dikeramatkan? Adakah alat-alat musik yang melambangkan jenis-jenis aktivitas budaya atau sosial alain selain musik? Apakah alat-alat musik tertentu merupakan pertanda bagi pesan-pesan tertentu pada masyarakat luas? Apakah suara-suara atau bentuk-bentuk alat musik

(21)

10

tertentu berhubungan dengan emosi-emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara, atau tanda-tanda tertentu?

Nilai ekonomi alat musik juga penting. Mungkin ada beberapa spesialis yang mencari nafkahnya dari membuat alat musik. Apakah ada atau tidak spesialis pada suatu masyarakat? Apakah proses pembuatan alat musik melibatkan waktu pembuatnya? Alat musik dapat dijual dan dibeli, dapat dipesan; dalam keadaan apa pun, produksi alat musik merupakan bagian dari kegiatan ekonomi di dalam masyarakatnya secara luas. Alat musik mungkin dianggap sebagai lambang kekayaan; mungkin dimiliki perorangan; jika memilikinya mungkin diakui secara individual akan tetapi untuk kepentingan praktis diabaikan; atau mungkin alat-alat musik ini menjadi lambang kekayaan suku bangsa atau desa tertentu. Penyebaran alat musik mempunyai makna yang sangat penting di dalam kajian-kajian difusi dan di dalam rekonstruksi sejarah kebudayaan, dan kadang-kadang dapat memberi petunjuk atau menetukan perpindahan penduuduk melalui studi alat musik.

Sesuai pendapat Merriam tersebut, kendang Sunda termasuk kajian budaya material musik. Alat musik ini termasuk ke dalam klasifikasi membranofon. Selanjutnya adalah gendang yang berbentuk barel. Dipukul dengan dua telapak tangan pemain dan kadangkala diredam dengan tumit kaki kiri pemainnya. Alat musik ini akan penulis ukur, difoto, baik bagian eksternal maupun internalnya. Seterusnya penulis akan memperhatikan dekorasi, pengecatan, warna, dan seterusnya. Selain itu, penulis akan bertanya bagaimana persepsi pemain musik, seniman Sunda, dan masyarakat Sunda mengenai kendang ini. Apakah ia memiliki lambang? Semua yang dipertanyakan Merriam mengenai alat musik akan penulis teliti dalam penelitian ini. Aspek kedua adalah mengenai sisi

(22)

11

ekonomi dalam alat musik, dalam hal ini kendang Sunda. Penelitian tentang hal ini berkaitan dengan distribusi dan penjualannya, terutama di Medan, Sumatera Utara, dan sekitarnya. Apakah Kang Asep Permata Bunda mengutamakan sisi ekonomi atau mengutamakan sisi budaya, atau gabungan keduanya dalam konetks pembuatan kendang Sunda ini.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam lagi tentang kendang Sunda buatan Kang Asep. Penelitian ini akan dibuat ke dalam karya tulis ilmiah dengan judul: “Kajian Organologis Kendang Sunda Buatan Kang Asep Permata Bunda di Jalan Antariksa Gang Kembar Nomor 16 Medan Polonia.”

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan sebelumnya, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini, yaitu Bagaimana aspek organologis kendang Sunda buatan Kang Asep Permata Bunda di Medan? Kajian organologi ini berkaitan dengan aspek struktural dan fungsional. Struktural yang dimaksud adalah bagian-bagian kendang, seperti badan, kulit, penalian, penyeteman, rotan, dan lain-lainnya. Sedangkan aspek fungsional adalah apa fungsi bagian-bagian kendang Sunda itu secara musikal, seperti fungsi pembawa ritme, fungsi menghasilkan warna suara atau onomatope, dan hal-hal sejenis.

(23)

12

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian terhadap kendang Sunda adalah untuk mengetahui struktur organologis dan fungsi musikal kendang Sunda buatan Kang Asep Permata Bunda di Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai:

1. Sebagai dokumentasi untuk menambah referensi mengenai kendang Sunda di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan untuk penelitian selanjutnya di kemudian hari.

3. Sebagai proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.

4. Untuk memenuhi syarat menyelesaikan program studi S-1 di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

1.5 Konsep dan Teori 1.5.1 Konsep

Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005). Organologi adalah bidang kajian dalam etnomusikologi yang memfokuskan perhatian kepada struktur dan fungsi alat musik. Ketika membicarakan tentang kajian organologi, maka aspek yang ikut dibahas di antaranya adalah ukuran

(24)

13

dan bentuk fisiknya termasuk hiasannya, bahan dan prinsip pembuatannya, metode dan teknik memainkan, bunyi dan wilayah nada yang dihasilkan, serta aspek sosial budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut.

Seperti yang dikemukakan oleh Mantle Hood (1982:124) bahwa organologi yang digunakan adalah berhubungan dengan alat musik itu sendiri. Selanjutnya menurut beliau organologi adalah ilmu pengetahuan alat musik, yang tidak hanya meliputi sejarah dan deskripsi alat musik, akan tetapi sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan dari alat musik itu sendiri antara lain : teknik pertunjukan, fungsi musikal, dekoratif dan variasi dari sosial budaya.

Dari uraian tersebut, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa studi organologis adalah suatu penyelidikan yang mendalam untuk mempelajari instrumen musik baik mencakup aspek sejarahnya maupun deskripsi alat musik itu sendiri dari berbagai pendekatan ilmu sosial budaya.

1.5.2 Teori

Teori mempunyai hubungan yang erat dengan penelitian dan dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian. Tanpa teori, penemuan tersebut akan menjadi keterangan-keterangan empiris yang berpencar (Moh. Nazir, 1993:22 -25).

Untuk mengkaji secara organologis mengenai alat musik dalam hal ini alat musik kendang Sunda, penulis menggunakan teori struktural dan fungsional yang dikemukakan oleh Susumu Khasima. Menurutnya dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk membahas alat musik, yakni pendekatan struktural dan fungsional. Secara struktural yaitu aspek fisik instrumen musik, pengamatan,

(25)

14

mengukur, merekam, serta menggambar bentuk instrumen, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai.

Di sisi lain, secara fungsional, yaitu: fungsi instrumen sebagai alat untuk memproduksi suara. Selanjutnya meneliti, melakukan pengukuran dan mencatat metode, memainkan instrumen, penggunaan bunyi yang diproduksi, (dalam kaitannya dengan komposisi musik) dan kekuatan suara.

Di dalam penulisan ini selain teori yang dikemukakan oleh Susumu Khasima di atas penulis juga menggunakan teori-teori lain yang menyinggung tentang pendeskripsian alat musik khususnya alat musik kendang, sebagai acuan dalam pendeskripsian alat musik kendang. Sedangkan mengenai klasifikasi alat musik kendang dalam penulisan ini penulis mengacu pada teori yang di kemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961) mengenai pengklasifikasian alat musik yaitu: ”Sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu:

(a) Idiofon, penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri,

(b) Aerofon, penggetar utama bunyinya adalah udara,

(c) Membranofon, penggetar utama bunyinya adalah kulit atau membran, (d) Kordofon, penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai.

Mengacu pada teori tersebut, maka kendang Sunda adalah instrumen musik membranofon dimana penggetar utama bunyinya melalui membran atau kulit, dipukul dengan kedua telapak tangan langsung, diletakkan di depan pemainnya.

Salah satu perhatian etnomusikologi adalah studi tentang peralatan musik yang dipakai sebagai media ekspresi dari sebuah kebudayaan (musikal). Hal ini

(26)

15

dipertegas lagi dengan pendapat bahwa kajian etnomusikologi bukan hanya dari aspek yang berhubungan dengan bunyi musikal, aspek sosial, konteks budaya psikologis dan estetika melainkan juga paling sedikit ada enam aspek yang menjadi perhatiannya. Salah satu diantaranya adalah materi kebudayaan musikal (Merriam, 1964: 45). Bidang ini adalah lahan penelitian bagi ilmu organologi yang merupakan bagian dari etnomusikologi itu sendiri. Pembahasan bidang ilmu ini meliputi bidang semua aspek yang berkaitan dengan alat musikal,seperti ukuran dan bentuk (termasuk pola hiasan) fisiknya,bahan dan prinsip pembuatannya,metode dan teknik memainkannya,bunyi/nada dan wilayah nada yang dihasilkannya.Serta aspek sosial budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut.

1.6 Metode Penelitian

Arti metode pada tulisan ini adalah sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar dan hati-hati serta sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis, 2003:24).

1.6.1 Studi Kepustakaan

Sebelum mengadakan penelitian lapangan, terlebih dahulu dilakukan studi kepustakaan yaitu dengan membaca bahan yang relevan, baik itu tulisan-tulisan ilmiah, literatur, majalah, situs internet dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data relevan untuk mendukung penulisan skripsi ini.

(27)

16

1.6.2 Kerja Lapangan

Penulis melakukan kerja lapangan dangan observasi langsung ke daerah penelitian yaitu rumah Kang Asep dan mencari narasumber dari tokoh masyarakat Sunda yang ada di Kota Medan sebagai narasumber lainya.

1.6.3 Observasi

Observasi adalah suatu penyelidikan yang dijalankan secara sistematis dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat indra terutama mata terhadap kejadian-kejadian yang langsung (Bimo Walgito, 1987:54).

1.6.4 Wawancara

Penulis berpedoman pada metode wawancara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat untuk melakukan wawancara (1985:139) yaitu: wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview,) dan wawancara sambil lalu (casual interview). Dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan dan pernyataan yang akan ditanyakan pada saat wawancara. Pertanyaan bisa diajukan secara bebas ataupun tertuju dari satu topik ke topik lain yang dimana materinya tetap berkaitan dengan topik penelitian.

Penulis akan melakukan wawancara langsung terhadap informan, yang dimana dalam hal ini Kang Asep selaku informan kunci dan beberapa informan-informan lainnya.

(28)

17

1.6.5 Kerja Laboratorium

Penulis akan mengumpulkan data-data dari hasil kerja lapangan yang diperoleh dari objek penelitian penulis dengan data dan informasi yang didapat dari beberapa informasi tertulis maupun lisan. Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan, selanjutnya diproses dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis nantinya akan disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya. Semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi (Meriam, 1995:85).

Untuk membantu proses penulisan ini, penulis juga mengambil data beberapa tulisan yang membahas tentang kendang sehingga dapat membantu penulis untuk melihat eksistensinya dalam masyarakat. Untuk melihat tehnik pembuatan alat musik ini, penulis akan langsung belajar dengan informan kunci penulis yaitu Kang Asep Permata Bunda walaupun sementara penulis hanya memperhatikan beliau dalam membuat instrumen ini.

(29)

18

BAB II

BIOGRAFI KANG ASEP PERMATA BUNDA DALAM KONTEKS BUDAYA SUNDA

DI SUMATERA UTARA

2.1 Pengertian Biografi

Dalam disiplin ilmu sejarah biografi dapat didefenisiskan sebagai sebuah riwayat hidup seseorang. Sebuah tulisan biografi dapat berbentuk beberapa baris kalimat saja, namun juga dapat berupa tulisan yang lebih dari satu buku. Perbedaannya adalah, biografi singkat hanya memaparkan tentang fakta - fakta kehidupan seseorang dan peranan pentingnya dalam masyarakat. Sedangkan biografi yang lengkap biasanya memuat dan mengkaji informasi-informasi penting, yang dipaparkan lebih detail dan tentu saja dituliskan dengan penulisan yang baik dan jelas. Sebuah biografi biasanya menganalisis dan menerangkan kejadian-kejadian pada hidup seorang tokoh yang menjadi objek pembahasannya.

Dengan membaca biografi, pembaca akan menemukan hubungan keterangan dari tindakan yang dilakukan dalam kehidupan seseorang tersebut, juga mengenai cerita-cerita atau pengalaman-pengalaman selama hidupnya. Suatu karya biografi biasanya becerita tentang kehidupan orang terkenal dan orang tidak terkenal, dan biasanya biografi tentang orang yang tidak terkenal akan menjadikan orang tersebut dikenal secara luas, jika didalam biografinya terdapat sesuatu yang menarik untuk disimak oleh pembacanya, namun demikian biasanya biografi hanya berfokus pada orang - orang atau tokoh-tokoh

(30)

19

terkenal saja. Tulisan biografi biasanya bercerita mengenai seorang tokoh yang sudah meninggal dunia, namun tidak jarang juga mengenai orang atau tokoh yang masih hidup. Banyak biografi yang ditulis secara kronologis atau memiliki suatu alur tertentu, misalnya memulai dengan menceritakan masa anak-anak sampai masa dewasa seseorang, namun ada juga beberapa biografi yang lebih berfokus pada suatu topik-topik pencapaian tertentu.

Biografi memerlukan bahan-bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama dapat berupa benda-benda seperti surat-surat, buku harian, atau kliping koran. Sedangkan bahan pendukung biasanya berupa biografi lain, buku-buku referensi atau sejarah yang memparkan peranan subjek biografi tersebut. Beberapa aspek yang perlu dilakukan dalam menulis sebuah biografi antara lain: (a) Pilih seseorang yang menarik perhatian anda; (b) Temukan fakta-fakta utama mengenai kehidupan orang tersebut; (c) Mulailah dengan ensiklopedia dan catatan waktu.

Sebelum menuliskan sebuah biografi seseorang, ada beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan pertimbangan, misalnya: (a) Apa yang membuat orang tersebut istimewa atau menarik untuk dibahas; (b) Dampak apa yang telah beliau lakukan bagi dunia atau dalam suatu bidang tertentu juga bagi orang lain; (c) Sifat apa yang akan sering penulis gunakan untuk menggambarkan orang tersebut; (d) Contoh apa yang dapat dilihat dari hidupnya yang menggambarkan sifat tersebut; (e) Kejadian apa yang membentuk atau mengubah kehidupan orang tersebut; (f) Apakah beliau memiliki banyak jalan keluar untuk mengatasi masalah dalam hidupnya; (g) Apakah beliau mengatasi masalahnya dengan mengambil resiko,atau karena keberuntungan; (h) Apakah dunia atau suatu hal yang terkait dengan beliau akan menjadi lebih buruk atau lebih baik jika orang

(31)

20

tersebut hidup ataupun tidak hidup, bagaimana, dan mengapa demikian. Lakukan juga penelitian lebih lanjut dengan bahan-bahan dari studi perpustakaan atau internet untuk membantu penulis dalam menjawab serta menulis biografi orang tersebut dan supaya tulisan si peneliti dapat dipertanggungjawabkan, lengkap dan menarik. Terjemahan Ary (2007) dari situs: (www.infoplease.com/ homework/wsbiography.html).

2.2 Alasan Dipilihnya Asep Permata Bunda

Dalam tulisan ini, penulis memilih Asep Permata Bunda sebagai objek penelitian, dikarenakan beliau mampu memainkan dan membuat alat musik tradisional Sunda diantaranya adalah:

(a) Beliau adalah satu-satunya orang yang dapat membuat kendang Sunda yang bisa dimainkan dalam kesenian Sunda di medan (hasil wawancara Kang Ade Hidayat);

(b) Beliau dapat memainkan alat musik tradisional Sunda dengan sangat baik (pemain kendang di Paguyuban Wargi Sunda (PWS), Medan;

(c) Pengalaman beliau yang merupakan cucu dari pembuat kendang Sunda dari kecil yang membuat Kang Asep menjadi orang yang lebih paham mengenai alat musik tradisional Sunda.

Hal-hal tersebut penulis ketahui dari hasil percakapan/wawancara dengan Kang Asep dan juga dari rekan-rekan. Peranan dan pengalaman beliau yang banyak ini menjadi alasan ketertarikan penulis menemukan fakta-fakta mengenai kehidupan beliau, dalam hal ini penulis lebih fokus kepada kehidupan beliau sebagai pembuat alat musik dan lebih dikhususkan kepada instrumen musik kendang buatan beliau.

(32)

21

2.2 Biografi Asep Permata Bunda

Biografi Asep Permata Bunda yang akan dideskripsikan dalam tulisan ini, mencakup aspek - aspek: latar belakang keluarga, pendidikan beliau, kehidupan sebagai pemusik, dan kehidupan sebagai pembuat alat musik Kang Asep Permata Bunda, khususnya mengenai gendang buatan beliau tersebut.

Gambar 1. Kang Asep Bersama Istri

(33)

22 Gambar 2.

Kang Asep Bersama Penulis

2.2.1 Latar Belakang Keluarga

Kang Asep P.B lahir di Bandung, Desa Rancamanya Kec. Pamempek pada tanggal 28 November 1972, anak tunggal dari alm. Bapak Salhi M dan alm. Ibu Nunung. Kang Asep lahir dari keluarga seniman, dimana kakek dari Kang Asep yaitu yang sering dipanggil Pak Adang adalah seorang pemusik dan pembuat alat musik tradisional Sunda di Bandung (seperti kacapi, suling, kendang). Sedangkan alm. ayah Kang Asep sendiri adalah seorang militer dan almarhumah ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Semasa hidupnya ayah dan ibu Kang Asep sering berpindah-pindah kota. Namun dari kecil hingga sampai menamatkan pendidikannya, Kang Asep tetap tinggal di Bandung bersama kakeknya. Mereka memiliki sebuah sanggar yang bernama Sanggar Degung Sariwangi. Sanggar ini sudah berdiri semenjak Kakek kang Asep masih muda. Sanggar sariwangi ini sendiri sudah sering diundang untuk mengisi acara di TV lokal Bandung seperti TVRI dan RRI Bandung. Profesi keseharian kakek beliau yang adalah pemain sekaligus pembuat instrumen musik tradisional

(34)

23

Sunda, yang membuat Kang Asep merasa tertarik untuk ikut mencoba-coba membuat kendang Sunda. Kang Asep memulai ketertarikan membuat kendang dimulai pada tahun 1984 (di saat beliau berumur 12 tahun) dengan cara membongkar kendang yang sudah jadi, lalu memasangnya lagi. Melihat keseriusannya dan ketertarikannya terhadap kendang Sunda, maka sang kakek mulai mengajari beberapa teknik untuk membuat alat musik tradisional Sunda, khususnya kendang Sunda. Kakek beliau sering juga membuat Kang Asep terlibat membantunya dalam membuat alat musik juga dalam bermain musik, hal tersebutlah yang membuat Kang Asep menjadi sangat akrab dengan musik tradisional Sunda dan menguasai banyak permainan instrumen musik tradisional juga proses pembuatannya.

2.2.2 Latar Belakang Pendidikan

Kang Asep menyelesaikan jenjang pendidikan 9 tahunnya, yaitu di: 1. SD Ranca Manyar, Kab. Bandung (dari kelas 1 SD – 6 SD

2. SMP Margahayu, Kab. Bandung (3 tahun) 3. STM Soreng, Kab. Bandung (3tahun)

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Kang Asep masih menetap 2 tahun di Bandung bersama kakek beliau, dan memutuskan untuk tinggal bersama lagi dengan ayah dan ibu beliau pada tahun 1991, yang kebetulan pada saat itu orang tua beliau sudah berdomisili di Medan, Sumatera Utara.

2.2.3 Berumah Tangga

Kang Asep menikah pada tanggal 2 Desember 1997 di Medan dengan istrinya Nurhasanah, dari pernikahan mereka lahirlah 2 orang putri, yaitu:

(35)

24 1.Evis Widya Nabila (15 tahun kelas 1 SMA) 2.Salhilah Nurfajar (7 tahun kelas 3 SD)

Setelah menikah beliau memilih untuk berprofesi sebagai perawat di salah satu RS di medan (RS Permata Bunda) dan sekaligus sebagai pembuat alat musik tradisional Sunda, khususnya kendang Sunda di rumah beliau yang beralamat di Jalan Antariksa gang Kembar No. 16 Medan Polonia.

2.2.4 Kang Asep Sebagai Pembuat Alat Musik

Seperti yang telah dibahas di sub bab sebelumnya, bahwa latar belakang keluarga banyak mempengaruhi dan membuat Kang Asep seorang yang piawai dalam bermain musik tradisional Sunda. Demikian juga halnya sebagai pembuat instrumen musik Sunda. Kemampuan dalam membuat instrumen musik tradisional masyarakat Sunda diperoleh Kang Asep semenjak dia masih anak-anak, beliau sering membantu kakeknya (Pak Adang). Pak Adang mahir dalam membuat instumen musik tradisional masyarakat Sunda.

Berawal dari pengalaman hidup pada masa anak-anak tersebutlah yang terus dikembangkan dan menjadi bekal bagi beliau untuk memulai karir beliau sebagai pembuat instrumen musik tradisional pada masyarakat Sunda. Pada awal karirnya sebagai pembuat alat musik, sebenarnya diakui beliau adalah didasari kebutuhan pribadi juga beberapa saudara kandungnya yang juga sebagai pemusik tradisional di Bandung pada saat itu, sehingga beliau membuat instrumen musik tradisional tersebut seperti apa yang pernah dialami dan dipelajari beliau ketika bersama dengan kakeknya. Kecapi, suling, dan kendang adalah jenis instrumen musik tradisional yang sering dibuat oleh Kang Asep, karena instrumen tersebutlah yang kerap digunakan oleh Kang Asep dan sepupunya dalam setiap

(36)

25

pertunjukan yang mereka adakan maupun yang mengundang mereka untuk bermain musik tradisional. Hingga kini, Kang Asep masih tetap membuat alat musik Sunda khususnya kendang Sunda di Medan.

2.2.5 Kang Asep Sebagai Pemusik Tradisional Sunda

Kemampuan bermusik khususnya musik tradisional Sunda sudah dimiliki oleh Kang Asep sejak masa kanak-kanaknya , dikarenakan latar belakang kakek beliau yang merupakan seorang praktisi musik tradisional Sunda di Bandung. Kakek beliau adalah seorang pemusik tradisional Sunda. Sejak kecil beliau memutuskan untuk terjun ke dunia kesenian Sunda. Dimulai dari rasa penasarannya hingga ajakan dari sang kakeklah yang membuat Kang Asep semakin menggeluti bidang ini.

Sewaktu masih sekolah, Kang Asep dan teman-temannya membentuk sebuah group musik tradisional Sunda yang mereka beri nama Group Barakatak. Group ini sering dipanggil-panggil untuk bermain musik Sunda di Bandung. Kang Asep begitu tekun berkecimpung di dunia musik tradisional Sunda. Hal ini terlihat dari terlibatnya Kang Asep pada kegiatan di sanggar kakek beliau. Begitu pula Kang Asep juga ikut bermain pada saat sanggar sang kakek tampil di TVRI (Televisi Republik Indonesia) dan RRI (Radio Republik Indonesia) Bandung. Menurut hasil wawancara dengan Kang Asep sendiri, walaupun di kota asalnya sendiri (Bandung), sudah sangat susah untuk mencari orang yang bisa memainkan alat musik tradisional Sunda. Hal inilah yang membuat Kang Asep tetap ingin bertahan agar kelak nantinya kesenian tradisional Sunda tidak segera punah.

(37)

26

2.2.6 Manajemen Seni Asep Permata Bunda

Manajemen adalah kosa kata yang berasal dari bahasa Perancis kuno, yaitu menegement yang berarti seni melaksanakan dan mengatur. Sejauh ini memang belum ada kata yang mapan dan diterima secara universal sehingga pengertiaanya untuk masing-masing para ahli masih memiliki banyak perbedaan. Berikut ini adalah konsep atau pengertian manajemen yang dikemukakan oleh dua ahli ilmu manajemen.

1. Menurut G.R. Terry: manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang kearah tujuan-tujuan organisasional atau maksud maksud yang nyata.

2. Menurut William H. Newman: manajemen adalah fungsi yang berhubungan dengan memperoleh hasil tertentu melalui orang lain. Selanjutnya pengertian seni dalam skripsi ini adalah sebagai berikut. Seni berasal dari kata sani (Sanskerta) yang berarti pemujaan, persembahan dan pelayanan. Kata tersebut berkaitan erat dengan upacara keagamaan yang disebut kesenian. Menurut kajian ilmu di eropa mengatakan “art” yang berarti arti visual yaitu adalah suatu media yang melakukan suatu kegiatan tertentu. Seiring dengan perkembangan waktu, banyak definisi seni diungkapkan oleh beberapa ahli.

Pengertian Seni menurut para ahli:

1. Menurut Aristoteles: seni adalah peniruan terhadap alam, tetapi sifatnya harus ideal.

(38)

27

2. Menurut KiHajar Dewantara: seni adalah perbuatan manusia yang timbul dari hidupnya, perasaan dan bersifat indah sehingga dapat menggetarkan perasaan manusia.

Dalam menganalisis manajemen seni yang dilakukan Kang Asep Permata Bunda, maka manajemen yang dimaksud adalah pengelolaan dirinya sendiri dan keluarga dalam konteks pembuatan kendang Sunda ini, termasuk di antaranya pengadaan bahan, proses pembuatan, dan juga pemasaran. Yang dipasarkannya adalah produk seni yaitu kendang Sunda dalam satu set (kendang dan dua kulinter).

Pengertian manajemen seni menurut Kang Asep adalah dimana seni itu dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu praproduksi, produksi, marketing, dan pengembangan.

Manajemen seni yang Kang Asep terapkan adalah sebagai berikut.

1. Tahap pra produksi adalah tahap semua pekerjaan dan aktivitas yang terjadi sebelum kendang diproduksi secara nyata. Perencanaan secara baik sebelum diproduksi dapat menghemat biaya bagi pembuatan kendang. Inilah manfaat utama dari tahap pra produksi. Pada tahap ini, menurut hasil wawancara dengan Kang Asep, perlulah menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam membuat kendang. Apakah kulit gampang ditemukan? Lalu jika tidak bagaimana mengantisipasinya. Begitu juga dengan bahan-bahan pembuat kendang lainnya.

2. Tahap produksi adalah suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Produksi bertujuan untuk

(39)

28

memenuhi kebutuhan manusia untuk mencapai kemakmuran. Pada tahap ini, Kang Asep memperhatikan modal yang dia butuhkan untuk memproduksi sebuah kendang, setelah itu juga beliau memperhatikan unsur lainnya seperti alam dan tenaga kerja yang dibutuhkan. Pada tahap ini, pembuatan kendang pun dilakukan.

3. Tahap marketing adalah pemenuhan selesainya kendang, penetapan harga kendang, pengiriman kendang dan mempromosikan kendang. Pada tahap ini, Kang Asep memasarkan kendang buatannya di Medan melalui sanak saudara dan rekan kerjanya.

4. Pengembangan adalah pada tahap ini, Kang Asep mengembangkan usahanya dengan cara tetap eksis dalam dunia seni Sunda di manapun dia berada. Karena jiwa seninya yang begitu tinggi terhadap kesenian Sunda, dimanapun Kang Asep berada dia selalu mempromosikan kesenian Sunda, termasuk alat musik yang beliau produksi.

(40)

29

BAB III

PERSPEKTIF, STRUKTUR, DAN TEKNIK PEMBUATAN KENDANG SUNDA

3.1 Perspektif Sejarah Kendang Sunda

Asal-usul kendang pada kebudayaan musikal Sunda menurut wawancara dengan Kang Asep masih belum dapat dipastikan, biarpun secara sejarah bisa memperkirakan masuknya kendang ke Jawa. Tidak ada cerita legenda ataupun mistis yang mengiringi perjalanan masuknya kendang ke masyarakat Sunda.

Menurut sejarah, kendang Sunda diperkirakan masuk ke Jawa pada masa sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha. Pada masa ini, berkembanglah musik-musik istana (khususnya di Jawa). Saat itu, musik tidak hanya dipakai sebagai bagian ritual saja, tetapi juga dalam kegiatan-kegiatan keistanaan (sebagai sarana hiburan para tamu raja). Musik istana yang berkembang adalah musik gamelan. Musik gamelan terdiri dari 5 kelompok, yaitu kelompok balungan, kelompok blimbingan, kelompok pencon, kelompok kendang, dan kelompok pelengkap.

Kendang adalah sejenis alat musik perkusi yang membrannya berasal dari kulit hewan. Kendang atau gendang (dalam bahasa Indonesia) dapat dijumpai di banyak wilayah Indonesia. Di Jawa Barat kendang mempunyai peranan penting dalam tarian jaipong.

Bukti keberadaaan dan keanekaragaman kendang, dapat dilihat pada relief candi-candi sebagai berikut:

(41)

30

(i) Candi Borobudur (awal abad ke-9 Masehi), dilukiskan bermacam- macam bentuk kendang seperti bentuk: silindris langsing, bentuk tong asimetris, bentuk kerucut (Haryono, 1985; 1986).

(ii) Candi Siwa di Prambanan (pertengahan abad ke-9 Masehi), pada pagar langkan candi, kendang ditempatkan di bawah perut dengan menggunakan semacam tali.

(iii) Candi Tegawangi, candi masa klasik muda (periode Jawa Timur), sekitar abad 14), dijumpai relief seseorang membawa kendang bentuk silindris dengan tali yang dikalungkan pada kedua bahu.

(iv) Candi Panataran, candi masa klasik muda (periode Jawa Timur), sekitar abad 14, relief kendang digambarkan hanya menggunakan selaput satu sisi dan ditabuh dengan menggunakan pemukul berujung bulat.

3.2 Klasifikasi Kendang Sunda

Dalam mengklasifikasikan instrumen kendang, penulis mengacu kepada teori yang dikemukakan oleh Sachs dan Hornbostel (1914), yaitu sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyi. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yang terdiri dari: idiofon (alat itu sendiri sebagai sumber penggetar utama bunyi), aerofon (udara sebagai sumber penggetar utama bunyi), membranofon (kulit sebagai sumber penggetar utama bunyi), dan kordofon (senar sebagai sumber penggetar utama bunyi).

Mengacu pada teori tersebut, maka kendang diklasifikasikan sebagai alat musik kelompok membranofon karena materi penggetar bunyinya berasal dari kulit/membran. Di dalam klasifikasi ini, curt sach memperhatikan bentuk dari membranofon itu sendiri dan membaginya ke dalam: cylindrycal drums, barrel

(42)

31

drums, conical drums, hourglass drums, footed drums, goblet drums, kettle drums, handle drums, dan frame drum. Sesuai dengan bentuknya yang memiliki dua membran maka sub klasifikasi kendang dikategorikan sebagai membranphone: double-headed barrel drums (kendang bermuka dua).

3.3 Struktur dan Ukuran Kendang Sunda

Nama-nama bagian kendang dapat dilihat dari aspek organologinya dan fungsinya. Dilihat dari ukurannya, Kendang Sunda terdapat dua ukuran yang masing-masing berbeda. Kendang berukuran besar lazimnya disebut dengan istilah kendang saja, atau ada yang menyebutnya dengan istilah kendang indung. Sedangkan kendang berukuran kecil disebut dengan istilah kulanter. Dilihat dari aspek organologinya memiliki nama yang sama, yaitu terdiri atas: kuluwung, wangkis, wengku, tali rawit, rarawat, ali-ali, dan udel.

(43)

32

3.3.1 Struktur Kendang Sunda

Kendang Sunda terdiri dari tujuh bagian yang disebut dalam istilah Sunda, sebagai berikut: 1. tali rawit 2. wengku 3. kuluwung 4. udel 5. wangkis 6. tali rarawat 7. ali-ali

Berikut struktur atau bagian-bagian gendang Sunda, dalam bentuk visualnya.

Gambar 3:

Gambar 1: Struktur Kendang Sunda

wangkis Tali rarawat Ali-ali udel kuluwung wengku Tali rawit

(44)

33

3.3.1.1 Wangkis/Membran

Wangkis terbuat dari kulit kambing. Biasanya menggunakan kulit yang usianya ± 2 tahun. Tidak hanya usia, dari jenis kelamin hewan, kulit yang digunakan baiknya kulit kambing jantan karena kulit jantan lebih alot dibandingkan kulit betina. Kulit yang biasanya digunakan oleh Kang Asep, biasanya dipesan terlebih dahulu kepada penyamak yang berada di kota Medan (di Jalan Karya Gang Wakaf). Kulit yang lebih sering digunakan oleh Kang Asep adalah kulit sapi/kambing jantan. Ini disebabkan jarangnya pemotongan kerbau di medan. “Kalau di medan, mungkin hanya sekali sebulan produksi kulit kerbau, kalaupun sering kemungkinan hanya pada hari raya atau hari besar saja (wawancara penulis dengan Kang Asep Permata Bunda, 12 September 2014).

Sebelum kulit tersebut dijemur, kulit harus dibersihkan, membuang daging maupun lemak yang menempel pada kulit bagian dalam. Setelah bersih, kulit tersebut di jemur sampai kering agar tidak menimbulkan bau amis. Kulit dijemur dengan cara membentangkan dan menarik kulit kerbau. Boleh memakai apa saja untuk menarik kulitnya. Dalam hal ini Kang Asep menarik dengan menggunakan paku setiap pinggir kulit (berjarak ±2 cm) yang di pakukan di 2 batang pohon kelapa sebagai penarik kulit agar nantinya kulit yang sudah kering tidak bengkok-bengkok dan pohon kelapa untuk menggantung kulit yang sedang dijemur. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar kulit tersebut keras dan diam (tidak bengkok-bengkok). Lalu dibiarkan dijemur hingga ± 3 hari. Menurut hasil wawancara dengan Kang Asep, lamanya proses penjemuran kulit hingga kering tergantung dengan cuaca. Kalau hujan terus bisa lama, tapi kalau panas terik hanya 3 hari saja sudah bisa.

(45)

34 Gambar 4:

Proses Penjemuran Kulit (Ngawidang)

Gambar 5:

(46)

35

3.3.1.2 Kuluwung

Kuluwung adalah resonator/ badan kendang yang terbuat dari batang nangka atau cempedak, bisa juga menggunakan batang pohon mahoni ataupun pohon mangga.

Menurut wawancara dengan Kang Asep, kualitas no 1 kayu terbaik untuk kendang adalah kualitas pohon nangka yang sudah tua. Namun karena kelangkaan pohon nangka di Medan, maka Kang Asep lebih sering menggunakan pohon mahoni atau pohon mangga, biarpun kualitas suara yang dihasilkan pohon nangka lebih nyaring.

Gambar 6: Kuluwung

Beliau memilih batang mahoni yang tua karena menurut beliau dapat menghasilkan bunyi yang lebih bagus. Beliau tetap mementingkan kualitas bunyi dan daya tahan gendang buatannya sekalipun ia menyadari bahwa proses

(47)

36

pembuatan kuluwung yang terbuat dari batang kayu pohon nangka lebih menghemat waktu dibandingkan menggunakan batang kayu pohon mahoni.

Dalam pembuatan diameter gendang, Kang Asep hanya menggunakan pensil untuk menggambar lingkaran gendang dan meteran untuk mengukur diameter yang dibutuhkan. Setelah lingkaran gendang dibentuk, batang pohon tersebut mulai dikerjakan melalui tahap kasar dan halus.

Gambar 7: Batang Pohon Mahoni

Tahap kasar yakni menggunakan parang untuk membentuk sisi luar dan dalam gendang. Pada tahap ini alat yang digunakan berupa gergaji kayu , parang dan martil. Kemudian tahap halus, mengunakan pahat dan ketam.

(48)

37 (I) (II)

(49)

38

(V) (VI)

(50)

39 (IX) (X) (XII) (XIII) Gambar 8:

Proses Pembuatan Kuluwung

Keterangan:

(I) Batang mahoni diukur menggunakan meteran untuk menentukan ukuran panjang kuluwung dan lebar diameter kuluwung.

(II) Membuang kulit kasar bagian paling luar batang mahoni dengan menggunakan parang.

(51)

40

(IV) Membuat diameter perut kuluwung dengan menggunakan pensil dan meteran.

(V) Menghaluskan sisi luar kendang dengan menggunakan kikir kasar dan kikir halus.

(VI) Bentuk kasar kuluwung setelah dipotong.

(VII) Membuat ukuran diameter bagian atas dan bawah kuluwung dengan menggunakan pensil dan meteran.

(VIII) Bagian atas kuluwung yang sudah dibuat lingkaran diameternya.

(IX) Memperjelas diameter bagian atas dan bawah kuluwung dengan menggunakan pahat dan palu.

(X) Diameter kuluwung yang sudah di pahat.

(XI) Setelah pahatan 1 sudah selesai, dilanjutkan dengan menggunakan pahatan yang lebih besar untuk membuat lubang pada diameter kendang. (XII) Bentuk kuluwung.

3.3.1.3 Wengku

Wengku terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai penggulung wangkis/penutup wangkis. Wengku yang dibuat dalam hal ini ada dua wengku atas dan wengku bawah.

Biasanya Kang Asep menggunakan jenis bambu tua untuk membuat wengku bagian atas dan bawah kendang. Dalam membuat wengku, bambu dibelah menjadi dua dan kemudian diiris atau dihaluskan sampai lentur hingga membentuk lingkaran atau ring. Kemudian wengku tersebut diikat menggunakan tali rafia agar bambu tersebut kuat.

(52)

41 (i) (ii) (iii) Gambar 9: Wengku Keterangan:

(i) Bambu yang akan dipotong.

(ii) Setelah bambu dipotong, dilengkungkan hingga membentuk lingkaran dengan diameter yang dibutuhkan, lalu direkatkan dengan menggunakan tali plastik, direkatkan hingga ke seluruh diameter bambu.

(53)

42

3.3.1.4 Tali Rarawat dan Rawit

Tali rarawat terbuat dari kulit kambing/sapi, kemudian dibentuk seperti tali yang berfungsi sebagai pengetat bingkai atas dan bawah beserta kuluwung. Tali rarawat berfungsi sebagai penyetem kendang sehingga membuat wangkis semakin ditarik dan wangkis pun makin ketat serta warna suara yang dihasilkan lebih nyaring.

Tali rawit adalah tali kendang yang terbuat dari kulit yang melingkar pada pinggul penutup wengku. Tali rawit berfungi untuk sebagai penutup lingkaran di luar wangkis agar tidak longgar. Ukuran tali rawit sebesar ukuran diameter wangkis atas dan bawah yang sudah dipasang wengku.

(54)

43 (III)

Gambar 10: Tali Rarawat dan Rawit

Keterangan:

(I) Memotong kulit sampai didapatkan panjang yang diinginkan. (II) Mengikis bulu yang masih menempel pada kulit.

(III) Tali rarawat dan rawit yang siap dipakai.

3.3.1.5 Ali-ali (Simpai)

Ali-ali berfungsi untuk menentukan tinggi rendahnya bunyi kendang yang dihasilkan dan menentukan lemah kencangnya rarawat (penegang bidang kendang). Ali-ali terbuat dari kulit kambing (sama dengan tali rarawat). Pembuatan ali-ali juga sama dengan rarawat. Yang membedakan hanya pada saat kulit masih basah, lalu didiamkan lagi selama satu malam hingga kering. Ali-ali berbentuk seperti cincin kendang. Ali-ali dibentuk sesuai dengan keinginan si pembuat.

Referensi

Dokumen terkait