• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ns. Marlina. M.Kep. Sp. KMB*) & Rony A Samad **)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ns. Marlina. M.Kep. Sp. KMB*) & Rony A Samad **)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

HUBUNGAN PEMASANGAN KATETER DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN KEMIH PADA PASIEN DI RUANG RAWAT INAP

PENYAKIT DALAM RSUDZA BANDA ACEH TAHUN 2012 ABSTRAK

Oleh

Ns. Marlina. M.Kep. Sp. KMB*) & Rony A Samad **)

*)Staf pengajar Universitas Syiah Kuala Fakultas Kedokteran Program Studi Ilmu

Keperawatan Banda Aceh

**) Alumni Program Studi Ilmu Keperawatan

Infeksi saluran kemih merupakan 40% dari seluruh infeksi nosokomial dan dilaporkan 80% ISK terjadi setelah instrumenisasi, terutama oleh kateterisasi. Infeksi ini terjadi akibat ketidakmampuan dalam mengendalikan maupun menghindari faktor resiko. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien di ruang rawat inap penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2012. Jenis penelitian adalah correlation study. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara non probability sampling menggunakan teknik purposive

sampling dengan jumlah sampel sebanyak 35 perawat yang bekerja di ruang rawat

inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh. Pengumpulan data dengan lembar observasi yang terdiri dari 27 item pernyataan dan 2 item hasil laboratorium. Metode analisis data dengan menggunakan uji statistik Fisher Exact, hasil penelitian adalah ada hubungan antara pemasangan kateter (P-value 0,019) dengan kejadian infeksi saluran kemih di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh. Saran bagi perawat adalah agar dapat meningkatkan teknik aseptik serta perawatan yang dilakukan pada kateterisasi sehingga dapat mencegah terjadinya kejadian infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter.

Kata kunci : Kateter, ISK, Pemasangan, Kejadian

Daftar bacaan : 26 buku + 2 skripsi + 3 jurnal + 4 internet (2000-2012)

A. LATAR BELAKANG

Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran kemih, termasuk ginjal itu sendiri, akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi virus dan

(3)

jamur juga dapat menjadi penyebabnya. Infeksi bakteri tersering disebabkan oleh Escherichia coli. Infeksi saluran kemih sering terjadi pada anak perempuan dan wanita. Salah satu penyebabnya adalah uretra wanita yang lebih pendek sehingga bakteri kontaminan lebih mudah memperoleh akses ke kandung kemih (Corwin, 2007, p.718).

Infeksi saluran kemih bawah terbatas pada kandung kemih dan uretra. Biasanya hanya melibatkan mukosa superficial dan tidak memiliki efek jangka panjang. Infeksi saluran kemih atas mengenai ginjal atau ureter, dan melibatkan jaringan medular ginjal dalam dan dapat merusak ginjal secara permanen. Urin yang statis, di atas lokasi obstruksi atau dari pengosongan kandung kemih yang tidak tuntas, merupakan risiko infeksi. Instumentasi atau kateterisasi saluran kemih dapat memasukkan infeksi dan kateter yang bertahan lama menyebabkan risiko infeksi yang kontinu (O‟Callaghan, 2009, p.102).

Sistitis (infeksi saluran kemih bawah) adalah inflamasi kandung kemih yang paling sering disebabkan oleh infeksi asenden dari uretra. Penyebab lainnya aliran balik urine dari uretra kedalam kandung kemih (refluks uretrovesical), kontaminasi fekal, atau penggunaan kateter atau sistoskop. Sistitis pada pria merupakan kondisi sekunder akibat beberapa faktor (mis., prostat yang terinfeksi, epididimitis, atau batu pada kandung kemih) (Hackley, 2000, p.511).

Secara epidemiologis, infeksi saluran kemih sebaiknya dibagi menjadi infeksi yang berhubungan dengan kateter (atau nosokomial) dan infeksi yang tidak berhubungan dengan kateter (atau didapat dalam komunitas). Pada kedua kategori, dibagi menjadi infeksi simtomatik dan infeksi asimtomatik. Infeksi saluran kemih akut jarang didapatkan pada laki-laki di bawah 50 tahun. Kejadian bakteriuria simtomatik setara dengan infeksi simtomatik dan jarang ditemui pada laki-laki di bawah 50 tahun dan sering pada perempuan berumur antara 20-50 tahun. Bakteriuria asimtomatik sangat umum pada laki-laki dan perempuan usia lanjut mencapai angka 40-50 persen pasien pada beberapa penelitian (Isselbacher, 1999, p.616).

Infeksi saluran kemih merupakan jenis infeksi nosokomial yang sering terjadi. Beberapa penelitian menyebutkan, infeksi saluran kemih merupakan 40% dari seluruh infeksi nosokomial dan dilaporkan 80% infeksi saluran kemih terjadi sesudah instrumentasi, terutama oleh kateterisasi (Darmadi, 2008, p.124).

Walaupun kesakitan dan kematian dari infeksi saluran kemih berkaitan dengan kateter dianggap relatif rendah dibandingkan infeksi nosokomial lainnya, tingginya prevalensi penggunaan kateter urin menyebabkan besarnya kejadian infeksi yang menghasilkan komplikasi infeksi dan kematian. Berdasarkan survei di rumah sakit Amerika Serikat tahun 2002, kematian yang

(4)

timbul dari infeksi saluran kemih diperkirakan lebih dari 13.000 (2,3% angka kematian). Sementara itu, kurang dari 5% kasus bakteriuria berkembang menjadi bakterimia. Infeksi saluran kemih yang berkaitan dengan kateter adalah penyebab utama infeksi sekunder aliran darah nosokomial. Sekitar 17% infeksi bakterimia nosokomial bersumber dari infeksi saluran kemih, dengan angka kematian sekitar 10% (Gould & Brooker, 2009).

Kateter urine adalah selang yang dimasukkan ke dalam kandung kemih untuk mengalirkan urine. Kateter ini biasanya dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung kemih. Kateter urin sangat umum digunakan pada situasi berikut: (1) retensi urin, (2) inkontinensia urin, dan (3) untuk memantau jumlah haluaran urin dalam jangka waktu tertentu pada pasien yang lemah (Marrelli, 2007, p.265).

Kateter urin adalah penyebab yang paling sering dari bakteriuria. Risiko bakteriuria pada kateter diperkirakan 5% sampai 10% per hari. Kemudian diketahui, pasien akan mengalami bakteriuria setelah penggunaan kateter selama 10 hari. Infeksi saluran kemih merupakan penyebab terjadinya lebih dari 1/3 dari seluruh infeksi yang didapat di rumah sakit. Sebagian besar infeksi ini (sedikitnya 80%) disebabkan prosedur invasif atau instrumentasi saluran kemih yang biasanya berupa kateterisasi (Smeltzer & Bare, 2001, p.2419 & p.1387).

Suatu kateter kandung kemih dimasukkan: setelah pembedahan, untuk mendapatkan urine yang steril untuk pemeriksaan, untuk menentukan residu urine (berapa urine yang tertinggal setelah pengeluaran urine spontan), jika dilakukan pencucian kandung kemih, pada terjadinya retensi urine (jika seorang pasien tidak mampu berkemih dan kandung kemih menjadi terlalu penuh), pada inkontinensia urin. Lumen suatu kateter menjadi sumber yang paling utama dari suatu infeksi. Keluhan-keluhan dan penyimpangan berikut ini akan menunjukkan adanya infeksi saluran kemih: pada wanita sakit yang membandel pada perut bagian bawah, pada pria sakit disekitar muara uretra, urin yang baru dikeluarkan berbau agak menyengat dan agak berkabut, ada peningkatan suhu tubuh (Stevens, 1999, p.328).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Afsah (2008), tentang “tingkat kejadian infeksi saluran kemih pada pasien dengan terpasang kateter urin di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta”, menunjukkan bahwa dari 30 responden terdapat angka infeksi saluran kemih sebanyak 20%.

Berdasarkan data rekam medis di RSUDZA Banda Aceh (2009-2011), diketahui terjadi peningkatan kasus infeksi saluran kemih tiap tahunnya, dengan rata-rata pertahun terdapat 75 kasus. Dari hasil pengamatan peneliti pada minggu kedua bulan April 2012 lalu di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh diketahui adanya keluhan dari beberapa pasien

(5)

mengenai pemasangan kateter, Yaitu 3 dari 5 pasien yang sedang memakai kateter mengeluh adanya nyeri dan kemerahan pada area yang dipasang kateter, dan juga terlihat urin yang terdapat di dalam kantong penampung agak berkabut.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh Tahun 2012.

B. TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh Tahun 2012.

C. MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi perawat

Bagi perawat, khususnya perawat pada RSUDZA Banda Aceh, untuk menambah pengetahuan serta sebagai bahan kajian keilmuan dalam memberikan pelayanan kesehatan.

2. Bagi institusi pendidikan keperawatan

Khususnya Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, sebagai bahan tinjauan keilmuan khususnya dibidang ilmu keperawatan medikal bedah sehingga dapat meningkatkan pengetahuan peserta didik dalam melakukan peran profesionalnya nanti.

3. Bagi penelitian keperawatan

Sebagai bahan masukan yang dapat memberikan informasi bagi penelitian selanjutnya dengan pembahasan yang sama.

D. Infeksi Saluran Kemih 1. Pengertian

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah penyakit infeksi nosokomial yang biasa terjadi pada saat organisme naik dari uretra ke kandung kemih. Sekali organisme mencapai kandung kemih, organisme ini akan berkembang biak dan meningkat sehingga menyebabkan infeksi pada ureter dan ginjal (Smeltzer & Bare, 2001, p.2419).

Infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi dua kategori umum berdasarkan lokasi anatomi: infeksi saluran bagian bawah (uretritis, sistitis, prostatitis) dan infeksi saluran bagian atas (pielonefritis akut, abses intrarenal, dan abses perinefrik). Secara mikrobiologis, dikatakan infeksi

(6)

saluran kemih jika ditemukan mikroorganisme patogen dalam urin, uretra, kandung kemih, prostat atau ginjal (Isselbacher, dkk, 1999, p. 616).

2. Patofisiologi ISK

Menurut Sukandar (dalam Sudoyo, dkk 2006, p. 566), Individu normal, baik laki-laki maupun perempuan urin selalu steril karena dipertahankan jumlah dan frekuensi kencing. Uretro distal merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme nonpatogenik fastidious gram-positif dan gram-negatif. Hampir semua pasien dengan ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal. Proses ini dipermudah refluks vesikoureter.

1. Faktor Penyebab dan Risiko

Infeksi saluran kemih disebabkan oleh adanya mikro organisme patogenik dalam traktus urinarius, dengan atau tanpa disertai gejala. Faktor risiko yang umum mencakup ketidakmampuan atau kegagalan kandung kemih untuk mengosongkan isinya secara lengkap, penurunan mekanisme pertahanan alamiah dari pejamu, peralatan yang dipasang pada traktus urinarius, seperti kateter dan prosedur sistoskopi. Pasien diabetes sangat berisiko karena peningkatan kadar glukosa dalam urin menyebabkan suatu infeksi-akibat lingkungan pada traktus urinarius. Kehamilan dan gangguan neurologi juga meningkatkan risiko karena kondisi ini menyebabkan pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap dan stasis urin (Smeltzer & Bare, 2001, p.1428).

2. Tanda dan Gejala

Tanda-tanda dan gejala yang terjadi pada penyakit saluran kemih, yaitu: rasa nyeri, perubahan eliminasi urin dan gejala gastrointestinal. Gejala ISK bawah biasanya meliputi disuria, ada dorongan sering berkemih, nokturia, atau nyeri pada pelvic atau suprapubis. Pasien ISK atas sering menunjukkan gejala sistemik meliputi, demam, mual dan muntah, sakit kepala, dan lemah sesuai dengan keluhan spesifik dari nyeri di daerah panggul, punggung bawah, dan abdomen (Smeltzer & Bare, 2001, p.2419).

Jika timbul infeksi saluran kemih meskipun sudah dilakukan berbagai tindakan higiene, maka keluhan atau penyimpangan yang didengar dan terlihat oleh perawat yaitu, pada wanita sakit yang membandel pada perut bagian bawah, pada pria sakit disekitar muara uretra, urine yang baru dikeluarkan berbau menyengat dan keruh, dan ada peningkatan suhu tubuh (Stevens, 1999, p.330). Secara klinis, kebanyakan infeksi yang berhubungan dengan kateter menimbulkan gejala ringan,

(7)

tanpa demam dan sering sembuh setelah pelepasan kateter (Isselbacher, dkk, 1999, p. 616)

3. Pengkajian

Sebelum menegakkan diagnosa, perawat harus melakukan pengkajian data dasar pada pasien yang meliputi:

a. Riwayat atau adanya faktor-faktor resiko: 1) Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya 2) Obtruksi pada saluran kemih

b. Adanya faktor yang menjadi predisposisi pasien terhadap infeksi nosokomial:

1) Pemasangan kateter tetap

2) Imobilisasi dalam waktu yang lama 3) Inkontinensia

c. Kaji manifestasi klinik dari infeksi saluran kemih: 1) Dorongan berkemih

2) Frekuensi berkemih 3) Disuria

4) Bau urin yang menyengat

5) Nyeri-biasanya pada suprapubik pada ISK bawah dan sakit pada panggul pada ISK atas (perkusi daerah kostovertebra untuk mengkaji nyeri tekan panggul)

6) Demam, khususnya pada ISK atas d. Pemeriksaan diagnostik:

1) Urinalisa memperlihatkan bakteriuria dan sel darah putih 2) Kultur (biakan) urin mengidentifikasi organisme penyebab

3) Tes bakteri bersalut-antibodi terhadap bakteri bersalut-antibodi diindikasikan pada pielonefritis

4) Sinar x ginjal, ureter dan kandung kemih mengidentifikasi anomali struktur nyata

5) Pielogram intravena (IVP) mengidentifikasi perubahan atau abnormalitas struktur

e. Kaji perasaan-perasaan pasien terhadap hasil tindakan dan pengobatan. Terutama pada pasien wanita sering berfokus pada rasa takut akan kekambuhan, dimana menyebabkan penolakan terhadap aktifitas seksual. Nyeri dan kelelahan yang berkenaan dengan infeksi dapat berpengaruh terhadap penampilan kerja dan aktifitas kehidupan sehari-hari (Engram, 1998, p.122).

(8)

4. Diagnosis

Diagnosis ISK umumnya bergantung pada identifikasi terhadap organisme misalnya sel darah putih dalam spesimen urin yang diambil langsung atau urin yang terdapat di kateter. Jumlah dari organisme digunakan untuk menggambarkan kemungkinan infeksi yang biasanya yaitu ada 100.000 unit koloni per millimeter (cfu/ml). Secara umum adanya sel darah putih (biasanya > 10 wbc/mm³) dalam spesimen urin merupakan diagnostik kuat, dimana sel ini menandakan respon peradangan pejamu terhadap organisme. Adanya organisme tanpa adanya sel darah putih dipertimbangkan sebagai bakteriuria daripada dianggap sebagai infeksi.

5. Tujuan pengobatan

Menurut Yogiantoro, dkk dalam Tjokroprawiro, dkk (2007, p.232) tujuan dari pengobatan ISK:

a. Menghilangkan kuman dan koloni kuman b. Menghilangkan gejala

c. Mencegah dan mengobati sepsis d. Mencegah gejala sisa

E. Kateterisasi Perkemihan

1. Definisi dan Klasifikasi Kateterisasi

Kateter adalah alat bedah yang berupa selang atau pipa dan bersifat lentur yang dimasukkan kedalam rongga tubuh untuk menghisap atau memasukkan cairan (Dorland, 2010, p.357).

Kateter urine adalah selang yang dimasukkan ke dalam kandung kemih untuk mengalirkan urine. Kateter ini biasanya dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung kemih, namun metode lain yang disebut pendekatan suprapubik, dapat digunakan (Marrelli, 2007, p.265).

Ada tiga macam kateter kandung kemih, yaitu kateter dengan selang pembuangan satu buah, dengan dua buah dan dengan tiga buah saluran pembuangan. Saluran pembuangan ini dinamakan lumen. Kateter dengan tiga lumen dengan sendirinya akan memiliki garis tengah (jadi lebih gemuk) yang lebih besar dibanding kateter dengan satu lumen. Kateter yang dipakai tergantung pada tujuan memakai kateter tersebut: kateter dengan satu lumen dipakai untuk tujuan satu kali, kateter dengan dua lumen adalah kateter yang ditinggal tetap disitu satu lumen dipakai sebagai saluran pembuangan urine, lumen yang lain dipakai untuk mengisi dan mengosongkan balon yang dipasang pada ujungnya. Balon ini diisi jika kateter dimasukkan dengan cara yang tepat. Jumlah air destilasi tertentu, yang menyebabkan kateter tidak dapat tergeser dan tetap berada dalam

(9)

kandung kemih. Baru setelah kateter akan dilepas, balon ini harus dikosongkan. Kateter dengan tiga lumen, terutama dipakai untuk tujuan membilas kandung kemih. Disini satu lumen dipakai untuk memasukkan cairan pembilas, satu sebagai saluran pembuangan cairan, dan satu untuk balon penampungan (Stevens, 1999, p.328).

Menurut Hegner dan Caldwell (2003, p.579), ada dua jenis kateter yang digunakan untuk mendrainase urin, yaitu:

a. Kateter french adalah selang berlubang. Biasanya terbuat dari karet yang lembut atau plastik. Kateter ini digunakan untuk mengeringkan kandung kemih dan tidak terus menerus berada di kandung kemih. b. Kateter foley mempunyai balon di sekeliling bagian lehernya. Balon

ini diberi udara (air) setelah kateter masuk ke kandung kemih. Kateter ini dikenal juga sebagai kateter retensi atau indweling.

Menurut Murwani (2009, p.42), terdapat 5 jenis kateter berdasarkan bahan yang digunakan, yaitu:

a. Kateter plastik : digunakan sementara karena mudah rusak dan tidak fleksibel.

b. Kateter latex/karet : digunakan untuk penggunaan/pemakaian dalam jangka waktu sedang (kurang dari 3 minggu).

c. Kateter silikon murni/teflon : untuk penggunaan jangka waktu lama 2-3 bulan karena bahan lebih lentur pada meatus uretra.

d. Kateter PVC (Polyvinylchloride) : sangat mahal, untuk penggunaan 4-6 minggu, bahannya lembut, tidak panas dan nyaman bagi uretra. e. Kateter logam : digunakan untuk pemakaian sementara, biasanya pada

pengosongan kandung kemih pada ibu yang melahirkan. 2. Indikasi dan kontra indikasi

Kateterisasi dapat menjadi tindakan yang menyelamatkan jiwa, khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau pasien tidak mampu melakukan urinasi. Kateterisasi juga dapat digunakan dengan indikasi lain, yaitu : untuk menentukan perubahan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin, untuk menghasilkan drainase pascaoperatif pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat, atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien yang sakit berat (Smeltzer & Bare, 2001, p.1387).

Menurut Charlene, dkk (2001, p.221), ada 8 indikasi penggunaan kateter yaitu: untuk menyembuhkan retensi urin, mengurangi tekanan pada kandung kemih, memudahkan pengobatan dengan operasi, mempercepat pemulihan jaringan setelah operasi, memasukkan obat kedalam kandung

(10)

kemih, mengukur output urin secara tepat, mengukur output residual, memvisualisasikan struktur anatomi secara radiografis.

Kateterisasi kandung kemih mencakup pemasangan selang karet atau plastik melalui uretra ke dalam kandung kemih. Kateter memungkinkan aliran kontinu pada pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pada mereka yang mengalami obstruksi aliran perkemihan (Perry, dkk, 2005, p.299). Kozier (1983) menyebutkan kontra indikasi pemasangan kateter yaitu: adanya penyakit infeksi di dalam vulva seperti uretritis gonorhoe dan pendarahan pada uretra.

3. Komplikasi

Adanya kateter indwelling dalam traktus urinarius dapat menimbulkan infeksi. Kolonisasi bakteri (bakteriuria) akan terjadi dalam waktu dua minggu pada separuh dari pasien-pasien yang menggunakan kateter urin, dan dalam waktu empat hingga enam minggu sesudah pemasangan kateter pada hampir semua pasien.

Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada traktus urinarius inferior dengan menyumbat duktus periuretralis, mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur artificial untuk masuknya kuman ke dalam kandung kemih.

Manipulasi kateter paling sering menjadi penyebab kerusakan mukosa kandung kemih pada pasien yang mendapat kateterisasi. Dengan demikian infeksi akan terjadi tanpa terelakkan ketika urin mengenai mukosa yang rusak itu. Ketika kateter terpasang, kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi. Karena itu, pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya (atonia). Apabila hal ini terjadi dan kateter dilepas, otot detrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengeliminasi urinnya. Latihan kandung kemih dapat mencegah kejadian ini (Smeltzer & Bare, 2001, p.1387).

F. Alat dan Bahan Kateterisasi

Menurut Perry, dkk (2005, p. 308) alat dan bahan yang digunakan dalam tindakan kateterisasi adalah:

1. Nampan kateterisasi steril 2. Sarung tangan steril. 3. Sarung tangan sekali pakai 4. Duk steril berlubang satu 5. Minyak pelicin

6. Larutan pembersih antiseptik 7. Bola kapas atau spons kasa, waslap 8. Forsep

(11)

9. Kateter lurus atau menetap

10. Spuit berisi larutan untuk mengembungkan balon pada kateter menetap 11. Wadah penampung atau baskom

12. Wadah spesimen 13. Lampu senter 14. Kantong sampah

15. Slang drainase steril dan kantong penampung 16. Plester, pita karet, dan peniti

17. Selimut mandi, handuk mandi, perlak tahan air 18. Baskom yang berisi air hangat dan sabun 19. Kantong sampah

G. Prosedur Kateterisasi Saluran Kemih 1. kateterisasi saluran kemih wanita:

1) Jelaskan prosedur pada klien.

2) Berdirilah di bagian kanan tempat tidur jika anda biasa menggunakan tangan kiri. Rapikan meja di samping tempat tidur dan susun peralatan. 3) Tinggikan pagar tempat tidur di arah yang berlawanan. Pasang pelapis

tahan air di bawah tubuh klien.

4) Bantu klien telentang (lutut difleksikan). Minta klien untuk merelaksasikan pahanya sehingga dapat meningkatkan rotasi eksternal. 5) Tutup klien dengan selimtu mandi. Pasang selimut di sekitar klien; satu sisi pada leher klien, di sisi setiap lengan dan pinggang, terakhir di sekitar perineum.

6) Gunakan sarung tangan sekali pakai dan cuci area perineum dengan sabun dan air sesuai kebutuhan; keringkan.

7) Buka sarung tangan dan cuci tangan.

8) Jika memasang kateter menetap, buka sistem drainase.

9) Posisikan lampu untuk menerangi area perineum (ketika menggunakan lampu senter minta orang lain untuk memegangnya).

10) Buka kotak kateterisasi menurut petunjuk, jaga perlengkapan steril. 11) Gunakan sarung tangan steril.

12) Atur peralatan di tempat yang steril. Buka bungkus steril bagian dalam. Tuangkan larutan antiseptik steril ke dalam kompartemen yang berisi bola kapas steril. Buka paket yang berisi minyak pelicin. Pindahkan wadah spesimen (penutupnya harus berada di atas) dan isi spuit yang berisi cairan dari baki pengumpul dan susun peralatan tersebut di samping tempat steril jika diperlukan.

13) Sebelum memasang kateter menetap yang umum dilakukan adalah menguji balon dengan mengijeksikan cairan dari spuit ke dalam balon.

(12)

14) Oleskan pelicin ke ujung kateter 2,5-5 cm. 15) Pasang kain steril.

a) Tempatkan kain di atas tempat tidur di antara paha klien. Masukkan ujung manset di bawah bokong klien, hati-hati jangan menyentuh permukaan yang terkontaminasi dengan sarung tangan anda.

b) Ambil kain steril yang berlubang dan bentangkan. Tempatkan kain di atas perineum klien, buka buka labia dan hati-hati jangan menyentuh permukaan yang terkontaminasi.

16) Simpan baki steril dan isinya di atas kain steril di antara paha klien. 17) Buka paket yang berisi larutan pembersih antiseptik dan tuangkan

isinya di atas bola kapas steril atau perban.

18) Buka wadah spesimen urin, jaga atasnya tetap steril jika spesimen akan dikumpulkan.

19) Dengan tangan yang tidak dominan dipakai, regangkan kembali labia untuk membuka semua meatus uretra. Pertahankan tangan yang tidak dominan dalam posisi tersebut selama prosedur.

20) Dengan tangan yang dominan, ambil bola kapas dengan forsep dan bersihkan area perineum, usapkan dari depan ke belakang dari klitoris menuju ke arah anus. Gunakan bola kapas yang bersih untuk setiap pengusapan tersebut; sepanjang lipatan labia luar dan dalam serta di sekitar meatus.

21) Dengan tangan dominan, keluarkan kateter kira-kira 7,5-10 cm dari ujung. Simpan ujung kateter dalam nampan kateter, jika menggunakan kateter lurus.

22) Beritahu klien untuk mengejan seperti ketika akan berkemih dan menarik napas panjang ketika anda memasukkan kateter melalui meatus secara perlahan.

23) Masukkan kateter kira-kira 5-7,5 cm pada orang dewasa atau sampai urin keluar dari kateter. Ketika urin tampak keluar, masukkan lagi 2,5-5 cm.

24) Lepaskan labia dan pegang kateter secara aman dengan tangan nondominan.

25) Kumpulkan spesimen urin sesuai keperluan.

a) Isi wadah atau botol kateter 20 sampai 30 ml dengan tangan nondominan di atas wadah. Dengan tangan dominan, jepit kateter untuk menghentikan aliran urin sementara. Lepaskan jepitan kateter untuk mengalirkan urin sisa dalam kandung kemih ke dalam wadah penampung.

(13)

dapat diperoleh dari kantong drainase pada saat terakhir prosedur tetapi hanya ketika kateter menetap pertama kali diinsersikan. Tutup wadah spesimen dan simpan di samping untuk di beri nama. 26) Biarkan kandung kemih sampai kosong (biasanya 800-1000 ml)

kecuali bila kebijakan institusi membatasi volume maksimal urin untuk dikeluarkan pada setiap kateterisasi.

27) Tarik lurus kateter sekali pakai dengan perlahan tetapi lembut sampai lepas.

28) Untuk kateter menetap, kembungkan balon berdasarkan petunjuk pabrik kemudian kendurkan kateter dengan tangan nondominan dan tarik secara lembut untuk merasakan tahanan.

29) Pasangkan ujung pangkal kateter pada selang pengumpul sistem drainase. Kit drainase akan tertambat sehingga segel tidak akan rusak. 30) Rekatkan selang kateter pada paha dalam klien dengan plester non

alergi. Biarkan kendur sehingga gerakan paha tidak menyebabkan tegang pada kateter.

31) Pastikan bahwa tidak ada sumbatan atau puntiran pada selang. Tempatkan gulungan selang yang berlebihan di atas tempat tidur dan tambatkan pada seprai dengan klip set drainase atau pengikat karet atau plester.

32) Buka sarung tangan dan buang peralatan, duk, dan urin ke wadah yang tepat.

33) Bantu klien ke posisi yang nyaman. Cuci dan keringkan area perineum sesuai kebutuhan.

34) Beri tahu klien dengan caranya sendiri untuk memposisikan dirinya di tempat tidur dengan memakai kateter; berbaring ke pinggir menghadap sistem drainase-aliran kateter dan selang di atas tempat tidur tidak tersumbat; posisi telentang-kateter dan selang berada di atas paha; berbaring ke pinggir pandangan jauh dari sistem-kateter dan selang berada di antara tungkai. Urin harus mengalir lancar tanpa hambatan. 35) Waspadakan klien tentang tertariknya kateter.

36) Cuci tangan dan dokumentasi. 2. kateterisasi saluran kemih pria:

1) Jelaskan prosedur pada klien.

2) Berdiri di sebelah kanan tempat tidur jika menggunakan tangan kiri (berada di sebelah kiri jika menggunakan tangan kanan). Bereskan meja di samping tempat tidur dan susun peralatan.

3) Tinggikann pagar tempat tidur di sebelah yang berlawanan. Bantu klien posisi telentang dengan paha sedikit diabduksikan.

(14)

dengan selimut, yang terbuka hanya alat kelamin. 5) Letakkan perlak tahan air di bawah alat kelamin klien.

6) Pakai sarung tangan sekali pakai dan cuci perineum dengan sabun dan air sesuai keperluan. Pada daerah yang tidak di sirkumsisi, pastikan menarik prepusium untuk membersihkan meatus uretra (jangan biarkan sabun masuk ke dalam meatus).

7) Buka sarung tangan dan cuci tangan.

8) Jika memasang kateter menetap, buka sistem drainase.

9) Buka kotak kateterisasi sesuai petunjuk, jaga wadah tetap steril. 10) Pakai sarung tangan steril.

11) Atur peralatan di wilayah steril. Buka bungkus steril bagian dalam. Tuangkan larutan antiseptik steril ke dalam bagian yang berisi bola kapas steril. Buka paket yang berisi minyak pelicin. Buka wadah yang berisi spesimen (penutup harus longgar berada di atas) dan spuit dari nampan serta simpan semua itu di area steril, jika diperlukan.

12) Sebelum memasang kateter, yang biasa dilakukan adalah menguji balon dengan menginjeksikan cairan dari spuit ke dalam balon.

13) Oleskan minyak pelicin pada ujung kateter sepanjang 12,5-17,5 cm. 14) Gunakan kain steril, jaga sarung tangan tetap steril.

a) Pasang kain di sekitar paha klien tepat di bawah penis.

b) Ambil kain berlubang yang steril, biarkan terbentang dan kenakan dengan lubang kain mengitari penis.

15) Tempatkan baki steril dan isinya di atas kain sepanjang paha atau di antara paha klien.

16) Bubuhi bola kapas atau kasa dengan larutan antiseptik. Buka wadah spesimen urin, jaga atasnya tetap steril.

17) Dengan tangan nondominan, tarik prepusium pada bagian yang tidak di sirkumsisi. Pegang penis pada batangnya tepat di bawah kelenjar. Tarik meatus uretra di antara ibu jari dan jari telunjuk. Selama prosedur, pertahankan tangan nondominan pada posisi ini.

18) Dengan tangan dominan, ambil bola kapas dengan forsep dan bersihkan penis. Gerakannya memutar dari bawah meatus ke dasar kelenjar. Ulangi pembersihan dua kali dengan masing-masing menggunakan bola kapas yang bersih.

19) Dengan tangan yang bersarung tangan, pegang kateter kira-kira 7,5-10 cm dari ujung kateter. Pegang ujung pangkal kateter dengan longgar melingkari telapak tangan yang dominan.

20) Angkat penis pada posisi tegak lurus dengan tubuh klien dan gunakan tarikan ringan.

(15)

sementara anda memasukkan kateter melalui meatus secara perlahan. 22) Memasukkan kateter sepanjang 17,5-22 cm pada orang dewasa atau

sampai urin keluar dari ujung pangkal kateter. Ketika urin tampak, masukkan lagi 5 cm.

23) Turunkan penis dan pegang kateter secara aman dengan tangan yang non dominan agar kateternya lurus. Simpan ujung pangkal kateter dalam wadah penampung urin.

24) Kumpulkan spesimen urin sesuai dengan langkah 25 pada prosedur kateterisasi wanita.

a) Jika kateter menetap dianjurkan, pompa balon dan periksa apakah tertambat dengan benar.

b) Jika spesimen diminta pada saat insersi kateter menetap, spesimen diperoleh dari kantong drainase ketika peralatan digunakan pertama kali.

25) Biarkan kandung kemih sampai kosong.

26) Kembalikan lagi prepusium ke atas kelenjar. Dengan kateter lurus sekali pakai, tarik kembali secara perlahan tetapi dengan lembut hingga terlepas.

27) Untuk kateter menetap masukkan ujung pangkal kateter ke slang pengumpul sistem drainase. Letakkan kantong penampung pada rangka tempat tidur diantara pagar tempat tidur dan kasur.

28) Rekatkan kateter pada paha atas klien atau abdomen bawah (dengan penis diarahkan menuju ke dada klien). Gunakan plester non-alergi. Kendurkan slang sehingga pergerakan tidak tidak menimbulkan tekanan pada kateter.

29) Pastikan bahwa pada slang tidak terdapat sumbatan tau puntiran. Letakkan gulungan slang yang berlebihan di atas tempat tidur dan tempelkan pada seprai dengan klip atau dengan pita karet.

30) Buka sarung tangan dan bersihkan semua peralatan.

31) Bantu klien ke posisi yang nyaman serta cuci dan keringkan area perineum sesuai keperluan.

32) Beri tahu klien tentang posisi yang benar dan pentingnya tidak menarik kateter.

33) Cuci tangan dan dokumentasi (Perry, dkk, 2005, p.299). H. Perawatan Pasien dengan Pemasangan Kateter

Pasien yang terpasang kateter menetap membutuhkan perawatan khusus. Tindakan keperawatan diarahkan pada tindakan pencegahan infeksi dan mempertahankan kelancaran aliran urin pada sistem drainase kateter.

(16)

Perry dan Potter (2005, p.1721) menjelaskan bahwa perawatan pasien dengan pemasangan kateter sebagai berikut:

1. Asupan cairan

Semua pasien yang terpasang kateter harus mengkonsumsi cairan sebanyak 2000 sampai 2500 ml per hari, jika diizinkan. Jumlah cairan ini dapat diperoleh dari asupan oral atau infus intravena. Asupan cairan dalam jumlah besar menghasilkan volume urin yang besar, yang membilas kandung kemih dan menjaga selang kateter bebas dari sedimen.

2. Higiene perineum

Pembentukan sekresi atau krusta pada tempat insersi kateter merupakan sumber iritasi dan potensial menyebabkan infeksi. Perawat memberikan perawatan kebersihan perineum sekurang-kurangnya dua kali sehari atau sesuai kebutuhan klien yang terpasang kateter akibat retensi. Sabun dan air efektif mengurangi jumlah organisme di sekitar uretra.

3. Perawatan kateter

Selain merawat kebersihan perineum secara rutin, banyak institusi merekomendasikan supaya klien yang terpasang kateter mendapatkan perawatan khusus tiga kali sehari dan setelah defekasi atau inkotinensia usus untuk membantu meminimalkan rasa tidak nyaman dan infeksi.

I. Perawatan Kateter

Perawatan kateter tetap meliputi:

1. Bersihkan daerah sekitar kateter yang masuk ke dalam orifisium uretra dengan sabun dan air saat memandikan atau membersihkan kotoran pasien. 2. Hindari menggunakan bedak dan spray pada daerah perineal.

3. Jangan menarik kateter selama pembersihan (Nursalam & Batticaca, 2009, p.19).

Murwani (2009, p.44) menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan kateter adalah sebagai berikut:

1. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah perawatan kateter.

2. Jangan biarkan klep pada sistem drainase tersentuh area yang terkontaminasi.

3. Jangan biarkan hubungan sistem drainase terbuka/terputus.

4. Jika selang pada sistem drainase terputus, jangan sentuh bagian ujung kateter atau selang. Usapkan antimikrobial solution sebelum selang atau ujung kateter dihubungkan kembali.

5. Cegah terjadinya refluks urin ke kandung kemih (letakkan kantong penampung urin di bawah kandung kemih)

6. Kosongkan kantong urin setiap 8 jam, atau jika sudah penuh. 7. Ganti kateter sesuai rencana keperawatan / 3-4 hari sekali.

(17)

8. Lakukan perineal higiene secara rutin sesuai dengan kebijakan RS dan setelah defekasi.

Hegner dan Caldwell (2003, p. 581) menetapkan beberapa persiapan yang harus dilakukan oleh perawat dalam melakukan perawatan kateter menetap:

1. Lakukan semua tindakan awal prosedur.

2. Ingatlah untuk mencuci tangan, mengidentifikasi pasien dan member privasi.

3. Siapkan peralatan yang diperlukan: a. Sarung tangan sekali pakai b. Pelindung tempat tidur (perlak) c. Selimut mandi

d. Kantong plastik untuk sampah e. Peralatan perawatan kateter harian f. Larutan antiseptik

g. Lidi kapas steril (bola kapas) h. Plester

4. Pastikan bahwa penghalang tempat tidur di sisi yang berlawanan sudah terpasang dan aman. Beri posisi telentang pada pasien, kaki dibuka dan lutut menekuk, jika diizinkan.

5. Selimuti pasien dengan selimut mandi dan lipat selimut tempat tidur sampai ke kaki tempat tidur.

6. Minta pasien untuk mengangkat pinggulnya. Letakkan pelindung tempat tidur (perlak) di bawah pasien.

7. Atur letak selimut mandi sehingga hanya bagian genital saja yang terbuka. 8. Atur peralatan kateter dan kantong plastik di atas meja dan buka peralatan

tersebut.

9. Pakai sarung tangan dan pasang tirai. 10. Untuk pasien pria:

a. Pegang penis dan tarik kulit luarnya ke belakang, jika pasien tidak disirkumsisi.

b. Gunakan satu lidi kapas steril yang dicelupkan ke dalam larutan antiseptik, untuk satu kali usapan, bersihkan glans penis dari meatus kearah badan penis kira-kira 10 cm.

c. Buang lidi kapas setelah satu usapan ke dalam kantong plastik. d. Gunakan lidi kapas baru setiap kali usapan.

Untuk pasien wanita: a. Buka labia

b. Gunakan lidi kapas baru yang dicelupkan ke dalam larutan antiseptik, usap dari depan ke belakang.

(18)

c. Buang lidi kapas ke dalam kantong plastik setelah satu usapan. 11. Lepas sarung tangan dan buang dalam kantong plastik.

12. Periksa kateter untuk memastikannya sudah diplester dengan tepat.

13. Periksa untuk memastikan bawah selang telah direkatkan ke tempat tidur, dan gantung lurus ke bawah ke kantong drainase. Periksa jumlah urin dalam kantong. Ujung selang harus tidak di bawah jumlah urin. Kosongkan kantong dan ukur, jika perlu. Jangan mengangkat kantong di atas selang. 14. Rapikan kembali seprai dan selimut dan angkat selimut mandi.

15. Lipatkan selimut mandi dan tinggalkan di kamar untuk digunakan kembali. 16. Lakukan semua tindakan penyelesaian prosedur, cuci tangan, dokumentasi. J. Mengirigasi Kateter

Tindakan ini dilakukan untuk membersihkan dan menjaga aliran kateter tetap berjalan dengan baik. Irigasi ini dipertahankan dengan sistem irigasi tertutup untuk menjamin sterilitas. Perry, dkk (2005, p. 320) menjelaskan prosedur irigasi kateter sebagai berikut:

1. Jelaskan prosedur pada klien, cuci tangan dan gunakan sarung tangan. 2. Kaji abdomen bawah untuk tanda distensi kandung kemih.

3. Dengan menggunakan teknik aseptik, masukkan ujung slang irigasi steril ke dalam kantung yang berisi larutan irigasi.

4. Tutup klem slang dan gantung kantung larutan pada tiang penggantung IV. 5. Buka klem dan alirkan larutan melalui slang, pertahankan ujung slang

steril, tutup klem.

6. Putar “off” bagian irigasi kateter lumen tripel atau hubungkan konektor-Y steril ke kateter lumen ganda, kemudian hubungkan ke slang irigasi (pastikan kantung drainase dan slang terhubung dengan aman).

7. Klem slang pada sistem drainase untuk aliran intermiten, buka klem pada slang irigasi, dan alirkan sejumlah cairan yang diprogramkan masuk ke kandung kemih (100 ml adalah normal untuk orang dewasa). Tutup klem slang irigasi, kemudian buka klem slang drainase.

8. Untuk irigasi kontinu, hitung kecepatan tetesan dan atur klem pada slang irigasi secara tepat; yakinkan klem pada slang drainase terbuka dan periksa volume drainase pada kantung drainase.

9. Buang alat yang terkontaminasi, lepaskan sarung tangan, dan cuci tangan. 10. Catat jumlah larutan yang digunakan sebagai irigan, jumlah kembali

seperti yang didrainase, serta konsistensi drainase pada catatan perawat dan lembaran asupan dari haluaran. Laporkan oklusi kateter, perdarahan tiba-tiba infeksi, atau peningkatan nyeri pada dokter.

(19)

K. Melepas Kateter

Mubarak (2007, p.309) menjelaskan langkah-langkah dalam melepas kateter tetap sebagai berikut:

1. Persiapan alat a. Perlak b. Spuit c. Bengkok

d. Sarung tangan bersih e. Kertas kloset (tisu) f. Handuk

g. Sampiran 2. Persiapan pasien

a. Jelaskan pada pasien tentang tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan

b. Mengatur posisi pasien 3. Cara kerja

a. Cuci tangan

b. Pasang sampiran di sekeliling tempat tidur c. Pasang sarung tangan

d. Tutup aliran kateter e. Cabut kateter

1) Letakkan bengkok di bawah kateter 2) Isap cairan dari balon

3) Jepit kateter dan tarik keluar 4) Lap ujung kateter dengan tisu 5) Alirkan sisa urin ke kantong

6) Gulung kateter dan masukkan ke bengkok. f. Berikan rasa nyaman pada pasien

g. Dokumentasi L. Pencegahan Infeksi

Menurut sukandar (dalam sudoyo, dkk, 2006, p. 566), Sebagian besar peneliti tidak menganjurkan antibiotika sebagai pencegahan infeksi saluran kemih terkait kateter. Di negara maju seperti USA, menganjurkan penggunaan kateter urin berselaput campuran perak atau kateter oksida perak untuk mencegah infeksi saluran kemih terkait kateter.

Menurut Potter dan Perry (2005, p.1724) kateterisasi dapat diindikasikan untuk berbagai alasan. Apabila waktu kateterisasi pendek dan upaya untuk meminimalkan infeksi merupakan suatu prioritas maka metode kateterisasi

(20)

intermitten adalah yang terbaik. Cara untuk mencegah infeksi pada klien yang menjalani kateterisasi yaitu :

a. Lakukan teknik mencuci tangan yang benar

b. Upayakan supaya klep pada sistem drainase tidak menyentuh permukaan yang terkontaminasi.

c. Jangan membuka titik-titik penghubung pada sistem drainase untuk mengambil specimen urin.

d. Apabila sambungan selang drainase terputus, jangan menyentuh bagian ujung kateter atau selang. Bersihkan ujung selang kateter dengan larutan antimikroba sebelum menyambungnya kembali.

e. Pastikan bahwa setiap klien memiliki wadah terpisah untuk mengukur urin untuk mencegah kontaminasi silang.

f. Cegah pengumpulan urine di dalam selang dan refluks urine ke kandung kemih.

1) Hindari meninggikan kantong drainase melebihi ketinggian kandung kemih klien.

2) Apabila perlu meninggikan kantong selama memindahkan klien ke tempat tidur atau ke kursi roda, mula-mula klem selang atau kosongkan isi selang ke dalam kantong drainase.

3) Hindari lekukan selang yang besar, terbentang di atas tempat tidur. 4) Alirkan urin dari selang ke kantong.

5) Sebelum melakukan latihan atau ambulasi keluarkan semua urin dari selang ke dalam kantong drainase.

g. Hindari menekuk atau mengklem selang dalam jangka waktu yang lama. h. Kosongkan kantung drainase sekurang-kurangnya setiap 8 jam. Apabila

haluaran urin banyak, kosongkan dengan lebih sering.

i. Lepaskan kateter segera setelah kondisi medis memungkinkan. j. Plester atau fiksasi kateter dengan benar.

k. Lakukan praktik higiene rutin berdasarkan kebijakan lembaga dan setelah defekasi atau inkotinensia urin.

Smeltzer dan Bare (2001, p.1390) juga menjelaskan cara mencegah infeksi pada pasien yang mendapatkan kateterisasi sebagai berikut:

a. Diperlukan tindakan asepsis yang ketat pada saat memasang kateter.

b. Sistem drainase urin tertutup yang dirakit sebelumnya dan steril sangat penting dan tidak boleh dilepas, sebelum, selama, atau sesudah pemasangan kateter.

c. Untuk mencegah kontaminasi pada sistem tertutup, selang tidak boleh dilepas dari kateter. Tidak boleh ada bagian kantong penampung urin atau selang drainase yang terkontaminasi.

(21)

kandung kemih pasien karena tindakan ini akan menyebabkan aliran urin yang terkontaminasi ke dalam kandung kemih dari kantong penampung. e. Urin tidak boleh dibiarkan berkumpul dalam selang karena aliran urin yang

bebas harus dipertahankan untuk mencegah infeksi. Drainase yang tidak sempurna akan terjadi bila selangnya tertekuk atau terpilin sehingga urin akan berakumulasi dalam selang tersebut.

f. Kantong penampung tidak boleh menyentuh lantai. Kantong dan selang pengumpul harus segera diganti jika terjadi kontaminasi, aliran urin tersumbat atau tempat pertemuan selang dengan kateter mulai bocor.

g. Kantong urin harus dikosongkan setiap 8 jam sekali melalui katup drainase lebih sering jika urin terdapat dalam volume yang besar.

h. Irigasi kateter tidak boleh dilakukan sebagai tindakan rutin.

i. Kateter urin tidak boleh dilepaskan dari selang untuk mengambil sample urin, mengirigasi kateter, memindahkan atau mengubah posisi pasien. j. Jika kateter harus dibiarkan terpasan beberapa lama, kateter tersebut harus

diganti secara periodik, sekitar seminggu sekali, maka pemasangan kateter tidak boleh dihentikan tanpa latihan kandung kemih.

k. Tindakan mencuci tangan harus dilakukan sebelum dan setelah pemasangan kateter, selang dan kantong penampung urin.

l. Kateter urin harus dicuci dengan sabun dan air sedikitnya dua kali sehari, gerakan yang membuat kateter bergeser maju-mundur harus dihindari. m. Ketika kateter dilepas, pasien harus dapat melakukan urinasi dalam waktu 8

jam, jika pasien tidak dapat melakukan urinasi, kateterisasi dilakukan dengan kateter yang lurus.

n. Jika terlihat tanda-tanda infeksi, spesimen urin harus segera diperoleh untuk pemeriksaan kultur.

BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

A. Kerangka Kerja

Kerangka kerja yang digunakan pada penelitian ini menggambarkan hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh Tahun 2012. Untuk melihat terjadinya infeksi saluran kemih pada pasien yang terpasang kateter di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh,

(22)

peneliti menggunakan konsep dari Smeltzer dan Bare (skema 3.1). Dimana menurut Smeltzer & Bare diperlukan urinalisa untuk melihat adanya bakteriuria dan piuria sebelum menegakkan diagnosa infeksi saluran kemih.

Pemasangan kateter pada penelitian ini menjadi varibel bebas (independen) yaitu variabel yang menentukan variabel lain. Sedangkan infeksi saluran kemih menjadi variabel terikat (dependen) yaitu variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2011, p.97). Secara skematis kerangka kerja penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Variabel independen Variabel dependen

Skema 3.1 Kerangka Konsep B. Hipotesa Penelitian

1. Hipotesa Mayor

a. Ha : Terdapat hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh tahun 2012.

b. Ho : Tidak terdapat hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh tahun 2012.

C. Definisi Operasional

Hubungan Antara Pemasangan Kateter dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih pada Pasien di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA Banda Aceh Tahun 2012.

Tabel 3.1 Definisi Operasional No . Variabel/ sub Variabel Definisi

Operasional Alat ukur Cara ukur

Skala

ukur Hasil ukur 1. Variabel independen: Pemasangan kateter Suatu tindakan invasif dengan memasukkan selang melalui uretra ke dalam kandung kemih untuk mengalirkan urin. Lembar observasi Observasi terdiri dari 27 item observasi Ordinal Baik x ≥ 51,9 Kurang x < 51,9 Pemasangan kateter Infeksi saluran kemih

(23)

2. Variabel dependen: Infeksi saluran kemih Infeksi saluran kemih adalah penyakit infeksi nosokomial yang terjadi pada saat organisme berkembang biak di dalam saluran kemih. Hasil laboratorium Observasi hasil laboratorium Ordinal Ya Tidak BAB IV METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi korelasi (correlation study). Menurut Notoatmodjo (2010, p.47), penelitian studi korelasi merupakan penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara dua variabel pada sekelompok subjek. Hal ini dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain. Untuk mengetahui korelasi antara suatu variabel dengan variabel lain tersebut dilakukan identifikasi variabel yang ada pada suatu objek, kemudian diidentifikasi pula variabel lain yang ada pada objek yang sama dan dilihat apakah terdapat hubungan antara keduanya. Disini peneliti ingin melihat hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh Tahun 2012.

B. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang bekerja di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh yang berjumlah 35 perawat.

2. Sampel

a. Besar sampel

Dalam penelitian ini peneliti mengambil total sampling yang berjumlah 35 responden.

b. Teknik sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara non probability

sampling. Menggunakan teknik purposive sampling, yaitu suatu

teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat sendiri oleh peneliti, berdasarkan ciri atau

(24)

sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010, p.124).

Dalam penelitian ini, kriteria sampel yang diambil adalah sebagai berikut:

1) Perawat yang bekerja di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh.

2) Akan melakukan tindakan kateterisasi. 3) Pasien yang terpasang kateter selama 5 hari. 4) Bersedia menjadi responden.

C. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu

Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 03 Agustus – 20 September Tahun 2012.

2. Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUDZA Banda Aceh. Alasan pemilihan lokasi penelitian tersebut adalah:

a. RSUDZA Banda Aceh adalah Rumah Sakit rujukan tipe A di Provinsi Aceh.

b. Tersedia banyak sampel untuk dilakukan penelitian. D. Alat Pengumpulan Data dan Uji Instrumen

1. Alat pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar kuesioner yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Bagian A merupakan data demografi responden untuk mengetahui identitas responden secara umum yang meliputi: jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan lama masa kerja.

b. Bagian B berupa kuesioner yang dikembangkan sendiri oleh peneliti. Kuesioner ini berisi pernyataan tentang prosedur kateterisasi yang berjumlah 27 item pernyataaan. Kuesioner ini menggunakan dua pilihan jawaban yaitu „ada‟ dan „tidak‟. Dengan pemberian skor 2 untuk jawaban „ada‟ yang berarti tindakan dilakukan, dan pemberian skor 1 untuk jawaban „tidak‟ yang berarti tindakan tidak dilakukan. c. Bagian C berupa kuesioner yang dikembangkan sendiri oleh peneliti.

Kuesioner ini berupa tabel observasi yang digunakan untuk mengevaluasi hasil pemeriksaan laboratorium terhadap urin pasien yang dipasang kateter oleh responden yaitu untuk melihat adanya bakteriuria dan piuria. Kuesioner ini menggunakan dua pilihan

(25)

jawaban yaitu „ya‟ dan „tidak‟ dengan pemberian skor 2 untuk jawaban „ya‟ dan 1 untuk jawaban „tidak‟.

E. Teknik Pengumpulan Data

Adapun tahapan prosedur penggumpulan data yang dilakukan, meliputi: 1. Tahap persiapan pengumpulan data

a. Peneliti mengurus surat izin untuk melakukan penelitian dari Progam Studi Ilmu Keperawatan Universitas Syiah kuala.

b. Peneliti mengurus surat izin untuk melakukan penelitian di bagian penelitian dan pengembangan RSUDZA Banda Aceh.

2. Tahap pengumpulan data

Tahap pengumpulan data dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: a. Peneliti datang langsung ke tempat penelitian dihari yang telah tertera

dalam surat yang dikeluarkan oleh bagian pelatihan dan pengembangan RSUDZA Banda Aceh.

b. Peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dari kedatangan peneliti kepada responden (perawat).

c. Meminta kesediaan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan cara menandatangani lembar persetujuan menjadi responden yang telah disediakan.

d. Peneliti mengobservasi tindakan kateterisasi yang dilakukan oleh responden.

e. Dihari kelima, peneliti melakukan urinalisa pada pasien yang dipasangi kateter oleh responden.

F. Pengolahan Data

Setelah kuesioner yang telah diisi oleh responden dikumpulkan lalu dilanjutkan dengan melakukan pengolahan data. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa langkah yang dikemukakan oleh Budiarto (2001, p.29). Adapun langkah-langkah yang dilakukan:

1. Editing, yaitu mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam pengisian atau pengambilan data. Pada tahap ini data dikumpulkan lalu dilakukan pengecekan identitas responden, mengecek kelengkapan data dengan baik dan tidak ditemukan data yang hilang.

2. Coding, yaitu memberikan kode berupa nomor pada setiap kuesioner sesuai dengan responden yang diawali 01 untuk responden pertama sampai 35 untuk responden terakhir.

3. Transfering, yaitu data yang telah diberi kode disusun secara berurutan dari responden pertama sampai responden terakhir untuk dimasukkan

(26)

kedalam master tabel dan data tersebut diolah dengan menggunakan program komputer.

4. Tabulating, yaitu mengelompokkan responden berdasarkan kategori yang telah ditetapkan untuk tiap-tiap variabel yang diukur untuk kemudian dimasukkan kedalam tabel distribusi frekuensi.

G. Analisa Data

Teknik analisa yang digunakan pada penelitian ini yaitu: 1. Analisa univariat

Menurut Arikunto (2002, p.240), untuk mengetahui hubungan pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih dilakukan analisa data dengan mencari mean atau rata-rata dengan rumus:

x =

n x

Keterangan:

x : mean (nilai rata-rata)

x : jumlah nilai mentah yang dimiliki subjek n : banyak subjek yang diteliti

Untuk persentase tiap variabel digunakan rumus sebagai berikut: keterangan: p : persentase fi : frekuensi teramati n : jumlah sampel 2. Analisa bivariat

Pada peneitian ini, analisa bivariat yang digunakan untuk mengukur hubungan adalah analisa silang dengan menggunakan tabel silang yang di kenal dengan baris kali kolom (B x K) dengan derajat kebebasan (df) yang sesuai dengan tingkat kemaknaan 5% (α = 0,05) (Candra, 2009, p.99).

Perhitungan statistik untuk analisa variabel penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan program komputer yang diinterpretasikan dalam nilai probabilitas (p-value). Pengolahan data diinterpretasikan menggunakan nilai probabilitas dengan kriteria sebagai:

(27)

a. Bila pada tabel 2x2, dan tidak ada nilai E (harapan) <5, maka uji yang di pakai sebaiknya Continuity Correction.

b. Bila pada tabel 2x2 di jumpai nilai E (harapan) <5, maka uji yang digunakan adalah Fisher Exact.

c. Bila table lebih dari 2x2, misalnya 3x2, dan lain-lain, maka digunakan uji Pearson Chi-Square.

Pengujian hipotesa dengan kriteria bahwa P-value > α, maka hipotesa (Ho) diterima dan sebalikanya apabila P-value ≤ α, maka hipotesa (Ho) ditolak (Hastono, 2006, p.103).

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

Pengumpulan data dilakukan selama 48 hari dimulai tanggal 03 Agustus -20 September 2012 di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh dengan jumlah responden 35 orang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang berisi pernyataan tentang prosedur kateterisasi sebanyak 27 item pernyataan dan tabel observasi hasil laboratorium sebanyak 2 item observasi yaitu untuk melihat adanya bakteriuria dan piuria. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Data demografi responden

Data demografi yang diukur meliputi: jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lama masa kerja. Adapun distribusi frekuensinya dapat dilihat pada tabel 5.1.

Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa dari 35 orang responden, jenis kelamin terbanyak adalah wanita yaitu berjumlah 30 responden (85,7%), tingkat pendidikan pada kategori akper berjumlah 24 responden (68,6%) dan lama masa kerja di atas 2 tahun berjumlah 25 responden (71,4%).

Tabel 5.1

Distribusi Frekuensi Data Demografi responden yang melakukan pemasangan kateter di ruang rawat inap penyakit dalam

RSUDZA Banda Aceh Tahun 2012 (n=35)

(28)

No .

Data Demografi Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Jenis Kelamin a. Laki-Laki b. Wanita 5 30 14,3 85,7 Total 35 100 2. Tingkat Pendidikan a. Akper b. S1 Keperawatan c. Ners d. S2 24 4 6 1 68,6 11,4 17,1 2,9 Total 35 100

3. Lama Masa Kerja a. > 2 tahun b. < 2 tahun 25 10 71,4 28,6 Total 35 100

Sumber: Data Primer (diolah 2012)

1. Analisa Univariat

a. Gambaran Pemasangan Kateter di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA Banda Aceh Tahun 2012

Berdasarkan pengolahan data variabel pemasangan kateter di ruang rawat inap penyakit dalam rsudza banda aceh tahun 2012 didapatkan nilai total 1815 dengan nilai rata-rata 51,9. Selanjutnya pemasangan kateter dikatakan baik apabila x ≥ 51,9 dan buruk bila x < 51,9(lampiran). Hasil pengkategorian tersebut dapat dilihat pada tabel 5.2 dibawah ini:

Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Pemasangan Kateter di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA Banda Aceh

Tahun 2012 (n=35) No Kategori F (%) 1 Baik 28 80 2 Kurang 7 20 Jumlah 35 100

(29)

Sumber: Data Primer (diolah, 2012)

Berdasarkan tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa 28 responden (80%) melakukan pemasangan kateterpada kategori baik. b. Gambaran Infeksi Saluran Kemih di Ruang Rawat Inap Penyakit

Dalam RSUDZA Banda Aceh Tahun 2012

Berdasarkan pengolahan data variabel infeksi saluran kemih di ruang rawat inap penyakit dalam rsudza banda aceh tahun 2012 didapatkan nilai total 80 dengan nilai rata-rata 2,3. Selanjutnya dikatakan terjadi infeksi saluran kemih apabila x ≥ 2,3 dan tidak terjadi infeksi saluran kemih bila x < 2,3(lampiran). Hasil pengkategorian tersebut dapat dilihat pada tabel 5.3 dibawah ini:

Tabel 5.3

Distribusi Frekuensi Pemasangan Kateter di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA Banda Aceh

Tahun 2012 (n=35) No Kategori F (%) 1 Ada 4 11,4 2 Tidak 31 88,6 Jumlah 35 100

Sumber: Data Primer (diolah, 2012)

3. Analisa bivariat

a. Hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih

Untuk mengetahui hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih di ruang rawat inap penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2012 dapat dilihat pada tabel contingency 2x2 berikut:

Tabel 5.4

Hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien di ruang rawat inap penyakit dalam

RSUDZA Banda Aceh tahun 2012 Pemasangan

Kateter

Infeksi saluran kemih

Total α P Value Tidak Ada F % F % F % Kurang 4 11,5 3 8,6 7 20 0,05 0,019 Baik 27 77,1 1 2,9 28 80

(30)

Total 31 88,6 4 11,4 35 100

Sumber: Data Primer (diolah, 2012)

Berdasarkan tabel 5.4 diatas dapat dilihat bahwa terdapat 27 pasien (77,1%)yang dilakukan pemasangan kateter dengan baik oleh responden tidak mengalami infeksi saluran kemih dan hanya 1 pasien (2,9%) yang mengalami infeksi saluran kemih. Tabel tersebut juga menjelaskan bahwa terdapat 3 pasien (8,6%) yang dilakukan pemasangan kateter kurang baik oleh responden mengalami infeksi saluran kemih dan 4 pasien (11,5%) tidak mengalami infeksi saluran kemih.

Berdasarkan hasil uji statistik yang telah dilakukan, didapatkan

p-value 0,019 yang berarti p-p-value≤ 0,05, sehingga dapat disimpulkan

bahwa hipotesa nol (Ho) ditolak, yang berarti terdapat hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh Tahun 2012. B. Pembahasan

Kateterisasi merupakan tindakan memasukkan selang plastik atau karet melalui uretra ke dalam kandung kemih (Potter & Perry, 2005, p.1710). Pemasangan kateter semakin lama akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada traktus urinarius inferior dengan menyumbat duktus

periuretralis, mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur

artifisial untuk masuknya kuman (mikroba patogen) ke dalam kandung kemih (Smeltzer & Bare, 2001, p.1387). Kemudian mikroba patogen tersebut akan berkembang biak maka akan mengakibatkan kerusakan serta gangguan fungsi organ semakin luas yang akhirnya memunculkan manifestasi klinis yang signifikan untuk diagnosis infeksi saluran kemih (Darmadi, 2008, p.26).Saluran kemih adalah tempat yang paling sering mengalami infeksi nosokomial. Pemasangan kateter dan lamanya dipasang sangat mempengaruhi kejadian terjadinya infeksi saluran kemih, tetapi tidak semua klien yang dipasang kateter mengalami infeksi saluran kemih (Tessy, 2004, p.54).

Barbara & Smeltzer (2001 p.1385) menyatakan bahwa infeksi saluran kemih menempati tempat ke-3 dari infeksi nosokomial di rumah sakit.80% dari infeksi saluran kemih disebabkan oleh kateter uretra.Infeksi saluran kemih setelah pemasangan kateter terjadi karena kuman dapat masuk ke dalam kandung kemih dengan jalan berenang melalui lumen kateter, rongga yang terjadi antara dinding.kateter dengan mukosa uretra, sebab lain adalah bentuk uretra yang sulit dicapai oleh antiseptik. Sehingga pasien yang mengalami infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter akan mendapatkan perawatan yang lebih lama dari yang seharusnya sehingga biaya perawatan akan menjadi bertambah dan masalah ini juga dapat memperburuk kondisi kesehatan klien,

(31)

bahkan dapat mengancam keselamatan jiwanya. Tindakan yang dapat dilakukan perawat untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih pada pasien yang terpasang kateter adalah dengan melakukan higiene perineum, perawatan kateter, pemantauan drainase urin dan memberikan informasi kesehatan kepada pasien tentang hal-hal yang dapat mendukung kelancaran drainase urin yang sekaligus akan mencegah terjadinya infeksi pada saluran kemih.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.3 diketahui bahwa 27 pasien (77,1%) yang dilakukan pemasangan kateter dengan baik oleh responden tidak mengalami infeksi saluran kemih dan hanya 1 pasien (2,9%) yang mengalami infeksi saluran kemih. Selain itu terdapat 3 pasien (8,6%) yang dilakukan pemasangan kateter kurang baik oleh responden mengalami infeksi saluran kemih dan 4 pasien (11,5%) tidak mengalami infeksi saluran kemih.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Sudoyo (2006, p.1750) bahwa dipasangnya kateter sangat mempengaruhi kejadian infeksi saluran kemih. Dipasang 1 kali menyebabkan infeksi 1,7%,

intermitten 3,5%, sedangkan bila dipasang dower kateter sebanyak 10%.

Pemasangan kateter pada sistem terbuka kejadian demam lebih sering daripada sistem tertutup.Bila kateter dipasang selama 2 hari infeksi dapat terjadi 15%, bila 10 hari menjadi 50%.

Penelitian yang dilakukan oleh Putri dkk (2011, p.65) tentang

”Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Kemih Pada Pasien Rawat Inap Usia 20 Tahun Ke Atas Dengan Kateter Menetap di RSUD Tugurejo Semarang”.Dalam hasil penelitian ini diperoleh ada pengaruh antara

lama penggunaan kateter dengan kejadian Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada pasien yang menggunakan kateter menetap (p value = 0,0001), dengan RP 81,00 artinya pasien dengan lama penggunaan kateter > 3 hari memiliki peluang untuk mengalami ISK sebesar 81 kali dibandingkan dengan pasien yang menggunakan kateter  3 hari, ada pengaruh antara perawatan kateter dengan kejadian Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada pasien yang menggunakan kateter menetap (p value =0,009), dengan nilai RP 19,00 yang berarti bahwa pasien dengan pemasangan kateter yang kateternya tidak dirawat secara rutin setiap hari mempunyai peluang 19 kali untuk mengalami kejadian ISK dibandingkan dengan pasien dengan pemasangan yang kateternya dirawat secara rutin

Menurut peneliti berdasarkan teori dan hasil penelitian terkait diatas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pemasangan kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih hal ini disebabkan karena pemasangan kateter yang kurang baik sehinggaakan memudahkan mikroorganisme untuk masuk kedalam sistem perkemihan yang menyebabkan terjadinya infeksi. Hal

(32)

ini dapat dicegah tentunya dengan teknik pemasangan kateter yang aseptik serta perawatan kateter yang baik.Seseuai dengan teori yang dikemukakan oleh Potter & Perry (2005, p.1721) bahwa perawatan kateter adalah suatu tindakan keperawatan dalam memelihara kateter dengan antiseptik untuk membersihkan ujung uretra dan selang kateter bagian luar serta mempertahankan kepatenan kelancaran aliran urin pada sistem drainase kateter. Pasien yang dikateterisasi dapat mengalami infeksi saluran kemih melalui berbagai cara. Perawatan kateter merupakan tindakan yang penting untuk mengontrol infeksi.Perawatan kateter yang salah dapat menyebabkan masuknya mikroorganisme.Daerah yang memiliki resiko masuknya mikroorganisme ini adalah daerah insersi kateter, kantung drainase, sambungan selang, klep, dan sambungan antara selang dan kantung.

C. Keterbatasan penelitian

Keterbatasan penelitian adalah kelemahan atau hambatan dalam penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menemukan beberapa hambatan yaitu:

1. Ketidak pastian adanya pasien yang sesuai dengan kriteria penelitian. Sehingga membuat jangka waktu penelitian ini menjadi lebih lama.

Gambar

Tabel 3.1  Definisi Operasional  No .  Variabel/ sub Variabel  Definisi

Referensi

Dokumen terkait

DAN JENJANG JABATAN DITETAPKAN SESUAI DENGAN JUMLAH ANGKA KREDIT YANG DITETAPKAN OLEH PEJABAT YANG BERWENANG MENETAPKAN ANGKA KREDIT DARI UNSUR UTAMA DAN UNSUR

Hal ini dikarenakan oleh peraturan pemerintah yang cenderung mempengaruhi nilai ETR perusahaan keuangan sehingga berbeda dengan perusahaan lainnya (Lanis dan

Beberapa nyamuk Anopheles yang masuk rumah untuk mencari darah, beristirahat di dalam rumah selama beberapa jam setelah mengisap darah, kemudian keluar mencari

Perubahan kadar albumin dan prealbumin pasien diukur setelah pemberian ekstrak ikan gabus metode freezy dryer sebagai asupan protein tambahan dengan nutrisi enteral selama 3

pengaruh antara nilai tukar rupiah terhadap harga saham pada perusahaan sektor perbankan di Bursa Efek Indonesia periode bulanan tahun 2004 - 2010. 2) Apakah terdapat pengaruh

Adapun tahap yang dilakukan dalam interogasi yaitu meberikan beberapa pertanyaan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam tindak pidana tersebut, khususnya tersangka,

Warna kupu-kupu ini sangat indah dengan perpaduan warna yang sangat begitu menarik, dengan warna hitam sebagai dasar dan pada pangkal sayap depan bergaris putih

10 Jumlah perjalanan wisatawan nusantara (juta perjalanan) 11 Jumlah pengeluaran wisatawan nusantara (Triliun Rupiah) 12 Jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata yang