• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN SISTEM MUTU INDUSTRI PANGAN Oleh : Ir. Risma Sinaga, MT Dosen Fakultas Teknik Industri, US XII, Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN SISTEM MUTU INDUSTRI PANGAN Oleh : Ir. Risma Sinaga, MT Dosen Fakultas Teknik Industri, US XII, Medan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN SISTEM MUTU INDUSTRI PANGAN Oleh :

Ir. Risma Sinaga, MT

Dosen Fakultas Teknik Industri, US XII, Medan

ABSTRAK

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengembangan sistem mutu industri pangan. Penulisan makalah ini menggunakan metode tinajauan literatur (library research). Data-data yang digunakan berasal dari pendapat beberapa ahli dan hasil-hasil penelitian tentang sistem mutu industri pangan. Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan mutu akan kepentingan keamanan dan konsistensi quality system dari pemerintah: aplikasi scientific theory dari para scientist; dan implementasi oleh para pelaku bisnis perlu dijalani secara terpadu melalui teknik-teknik: (1) GAP (Good Agriculture Practice)/GFP (Good Farming Practice); (2) GHP (Good Handling Practice); (3) GMP (Good Manufacturing Practice) & GLP (Good Laboratory Practice); (4) GDP (Good Distribution Practice); dan (5) GRP (Good Retailing Practice) Pemahaman dan persamaan persepsi akan kepentingan serta sertifikasi ISO 9000 – 9002–9005; ISO-25 dan HACCP sudah sangat-sangat diperlukan agar industri pangan Indonesia mampu bersaing dengan industri pangan luar negeri.

Kata kunci : sistem mutu dan industri pangan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dalam krisis moneter seperti saat ini, pengembangan agroindustri yang mempunyai peluang dan berpotensi adalah agroindustri yang memanfaatkan bahan baku utama produk hasil pertanian dalam negeri,

mengandung komponen bahan impor sekecil mungkin, dan produk yang dihasilkannya mempunyai mutu yang mampu bersaing di pasar internasional. Agroindustri yang dibangun dengan kandungan impor yang cukup tinggi ternyata merupakan industri yang rapuh

(2)

karena sangat tergantung dari kuat/lemahnya nilai rupiah terhadap nilai dolar, sehingga ketika dolar menguat industri tidak sanggup membeli bahan baku impor tersebut.

Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini sudah harus memulai mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu pangan. Karena di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu bersaing dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan dalam sistem mutunya.

1.2. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengembangan sistem mutu industri pangan.

1.3. Metode Penulisan

Penulisan makalah ini menggunakan metode tinajauan literatur (library research).

Data-data yang digunakan berasal dari pendapat beberapa ahli dan hasil-hasil penelitian tentang sistem mutu industri pangan.

2. Uraian Teoritis 2.1. Keamanan Pangan

Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah terjaminnya pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan. Hal ini secara jelas menunjukkan upaya untuk melindungi masyarakat dari pangan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sasaran program keamanan pangan adalah: (1) Menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan, yang tercermin dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran produsen terhadap mutu dan keamanan pangan; (2) Memantapkan kelembagaan pangan, yang antara lain dicerminkan oleh adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan pangan; dan (3) Meningkatkan jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Dengan diberlakukannya UU No. 7 tentang Pangan tahun 1996 sebuah langkah maju telah dicapai pemerintah untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan produsen akan pangan yang sehat, aman dan halal. Dalam upaya penjabaran UU tersebut, telah disusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang keamanan pangan serta label dan iklan pangan. Demikian juga PP tentang mutu dan gizi pangan serta ketahanan pangan.

Gambaran keadaan keamanan pangan selama tiga tahun terakhir secara umum adalah: (1) Masih dtiemukan beredarnya produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan; (2) Masih banyak dijumpai kasus keracunan makanan; (3) Masih rendahnya tanggung jawab dan kesadaran produsen serta distributor tentang keamanan pangan yang diproduksi/diperdagangkannya; dan (4) Masih kurangnya kepedulian dan pengetahuan konsumen terhadap keamanan pangan.

2.2. Produk Pangan yang Tidak Memenuhi Persyaratan

Dari jumlah produk pangan yang diperiksa ditemukan sekitar

9,08% - 10,23% pangan yang tidak memenuhi persyaratan. Produk pangan tersebut umumnya dibuat menggunakan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas penggunaan: merupakan pangan yang tercemar bahan kimia atau mikroba; pangan yang sudah kadaluwarsa; pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai persyaratan. Dari sejumlah produk pangan yang diperiksa tercatat yang tidak memenuhi persyaratan bahan pangan adalah sekitar 7,82% - 8,75%. Penggunaan bahan tambahan makanan pada makanan jajanan berada pada tingkat yang cukup menghawatirkan karena jumlah yang diperiksa sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan.

Penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai diantaranya adalah: (1) Pewarna berbahaya (rhodamin B.

methanyl yellow dan amaranth) yang

ditemukan terutama pada produk sirop, limun, kerupuk, roti, agar/jeli, kue-kue basah, makanan jajanan (pisang goreng, tahu, ayam goreng dan cendol). Dari sejumlah contoh yang diperiksa ditemukan 19,02%

(4)

menggunakan pewarna terlarang; (2) Pemanis buatan khusus untuk diet (siklamat dan sakarin) yang digunakan untuk makanan jajanan. Sebanyak 61,28% dari contoh makanan jajanan yang diperiksa menggunakan pemanis buatan; (3) Formalin untuk mengawetkan tahu dan mie basah; dan (4) Boraks untuk pembuatan kerupuk, bakso, empek-empek dan lontong.

Pengujian pada minuman jajanan anak sekolah di 27 propinsi ditemukan hanya sekitar 18,2% contoh yang memenuhi persyaratan penggunaan BTP, terutama untuk zat pewarna, pengawet dan pemanis yang digunakan sebanyak 25,5% contoh minuman mengandung sakarin dan 70,6% mengandung siklamat.

Pestisida, logam berat, hormon, antibiotika dan obat-obatan lainnya yang digunakan dalam kegiatan produksi pangan merupakan contoh cemaran kimia yang masih banyak ditemukan pada produk pangan, terutama sayur, buah-buahan dan beberapa produk pangan hewani. Sedangkan cemaran mikroba umumnya banyak ditemukan pada makanan jajanan, makanan yang

dijual di warung-warung di pinggir jalan, makanan katering, bahan pangan hewani (daging, ayam dan ikan) yang dijual di pasar serta makanan tradisional lainnya. Hasil pengujian di 8 Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi menemukan 23,6% contoh makanan positif mengandung bakteri Escheresia coli, yaitu bakteri yang digunakan sebagai indikator sanitasi.

Dalam hal pelabelan produk pangan, dari sejumlah contoh label yang diperiksa sebanyak 27,30% - 26,76% tidak memenuhi persyaratan dalam hal kelengkapan dan kebenaran informasi yang tercantum dalam label. Sedangkan dari sejumlah contoh iklan yang diperiksa terutama karena memberikan informasi yang menyesatkan (mengarah ke pengobatan) dan menyimpang dari peraturan periklanan.

Produk pangan kadaluarsa terutama diedarkan untuk bingkisan atau parcel Hari Raya/Tahun Baru. Dari sejumlah sarana penjual parcel yang diperiksa sekitar 33,22%-43,57% sarana menjual produk kadaluarsa. Peredaran produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu

(5)

dan komposisi masih banyak pula ditemukan. Dari sejumlah contoh garam beryodium yang diperiksa sekitar sebanyak 63,30%-48,73% contoh tidak memenuhi persyaratan kandungan KlO3.

Produk pangan impor yang tidak memenuhi persyaratan masih banyak yang beredar di pasaran. Survei tahun 1998 menemukan sejumlah 69,2% tidak mempunyai nomor ML (izin peredaran dari Departemen Kesehatan) dan 28,1% tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa. Ditemukan pula sayuran dan buah-buahan impor yang mengandung residu pestisida yang cukup tinggi serta mikroba dalam jumlah dan jenis yang tidak memenuhi persyaratan pada produk pangan hewani.

2.3. Kasus Keracunan Makanan Sepanjang tahun 1994/1995 dilaporkan sejumlah 26 kasus keracunan makanan yang menyebabkan 1.552 orang menderita dan 25 orang meninggal, sedangkan tahun 1995/1996 dilaporkan sebanyak 30 kasus dengan 92 orang menderita dan 13 orang meninggal. Dari kasus tersebut hanya 2 – 5 kasus

yang telah diidentifikasi dengan jelas penyebabnya. Diperkirakan jumlah kasus yang dilaporkan ini masih sangat rendah dibandingkan keadaan sebenarnya yang terjadi. WHO (1998) memperkirakan perbandingan antara kasus keracunan makanan yang dilaporkan dan yang sebenarnya terjadi adalah 1: 10 untuk negara maju dan 1 : 25 untuk negara yang sedang berkembang.

2.4. Tanggung Jawab dan Kesadaran Produsen dan Distributor

Masih kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap keamanan pangan tampak dari penerapan Good

Agricultural Practice (GAP) dan

teknologi produksi berwawasan lingkungan yang belum sepenuhnya oleh produsen primer, penerapan

Good Handling Pratice (GHP) dan Good Manufacturing Pratice (GMP)

serta Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang masih

jauh dari standar oleh produsen/pengolah makanan berskala kecil dan rumah tangga.

Pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala

(6)

rumah tangga menengah dan besar menemukan sekitar 33,15% - 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi. Sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan (TPM) yang mencakup jasa boga, restoran/rumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar 19,98% yang telah mempunyai izin penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31% dari rumah makan/restoran yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi grade A, B dan C. Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau skala besar.

Distributor pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice (GDP). Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi, bangunan dan fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual menemukan sekitar 41,60% - 44,29% sarana yang tidak memenuhi syarat sebagai distributor makanan. 2.5. Pengetahuan dan Kepedulian

Konsumen

Masih kurangnya

pengetahuan dan kepedulian

konsumen tentang keamanan pangan tercermin dari sedikitnya konsumen yang menuntut produsen untuk menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu serta klaim konsumen jika produk pangan yang dibeli tidak sesuai informasi yang tercantum pada label maupun iklan. Pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen pangan.

Dalam menghadapi

permasalahan-permasalahan tersebut pemerintah telah melakukan berbagai program dan pembinaan baik terhadap pedagang, pengusaha dan pengolah/penjaja makanan maupun terhadap lokasi penjualan dan pengolahan pangan. Pembinaan dilakukan tidak hanya oleh Departemen Kesehatan, namun melibatkan pula instansi lain dan pemerintah daerah. Data tahun 1995/1996 menunjukkan pula instansi lain dan pemerintah daerah. Data tahun 1997/1998 menunjukkan bahwa telah lebih dari 60% kelompok makanan jajanan (lokasi dan pedagang) pengrajin makanan (lokasi desa dan pengrajin) dibina,

(7)

namun baru sekitar 14,65% pengusaha dan 23,86 penjaja makanan yang telah dibina dalam hal pengelolaan makanan secara aman.

3. Pembahasan

3.1. Dampak Penyimpangan Mutu dan Masalah Keamanan Pangan

Ada empat masalah utama mutu dan keamanan pangan nasional yang berpengaruh terhadap perdagangan pangan baik domestik maupun global (Fardiaz, 1996), yaitu:

Pertama, produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan pangan, yaitu: (1) Penggunaan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas dalam produk pangan; (2) Ditemukan cemaran kimia berbahaya (pestisida, logam berat, obat-obat pertanian) pada berbagai produk pangan; (3) Cemaran mikroba yang tinggi dan cemaran microba patogen pada berbagai produk pangan; (4) Pelabelan dan periklanan produk pangan yang tidak memenuhi syarat; (5) Masih beredarnya produk pangan kadaluwarsa, termasuk produk impor; (6) Pemalsuan produk

pangan; (7) Cara peredaran dan distribusi produk pangan yang tidak memenuhi syarat; dan (8) Mutu dan keamanan produk pangan belum dapat bersaing di pasar Internasional. Kedua, masih banyak terjadi kasus kercunan makanan yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya. Ketiga, masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan (produsen bahan baku, pengolah dan distributor) tentang mutu dan keamanan pangan, yang ditandai dengan ditemukannya sarana produk dan distribusi pangan yang tidak memenuhi persyaratan (GAP, GHP, GMP, GDP, dan GRP), terutama pada industri kecil/rumah tangga. Dan keempat, rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan pengetahuan yang terbatas dan kemampuan daya beli yang rendah, sehingga mereka masih membeli produk pangan dengan tingkat mutu dan keamanan yang rendah.

Penyimpangan mutu dan keamanan pangan mempunyai dampak terhadap pemerintah, industri dan konsumen seperti

(8)

tercantum dalam Tabel 2. Oleh karena itu diperlukan peran serta ketiga sektor tersebut untuk menjamin mutu dan keamanan pangan.

3.2. Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Dalam Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Untuk implementasi sistem mutu dan keamanan pangan nasional telah dilakukan analisis SWOT yang mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi. Dari hasil analisis tersebut ditetapkan kebijakan yang harus ditempuh, serta disusun strategi, program, dan kegiatan yang perlu dilakukan untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan untuk perdagangan domestik maupun global, yaitu melalui pendekatan HACCP untuk menghasilkan produk yang aman, serta mengacu pada ISO 9000 (QMS) untuk menghasilkan produk yang konsisten dan ISO 14000 (EMS) untuk menjamin produk pangan yang berwawasan lingkungan (Gambar 1). Gambar 2. Menyajikan

pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan nasional, yang menekankan pada penerapan sistem jaminan mutu untuk setiap mata rantai dalam pengolahan pangan

yaitu GAP/GFP (Good

Agriculture/Farming Practices),

GHP (Good Handling Practices),

GMP (Good Manufacturing

Practices), GDP (Good Distribution Practices), GRP (Good Retailing Practices) dan GCP (Good Cathering Practices).

Tabel 1. Dampak

penyimpangan mutu dan keamanan pangan terhadap pemerintah, industri dan konsumen.

Penyimpangan Mutu dan Keamanan Pangan Pemerintah Industri Konsumen

 Penyelidika n dan penyedikan kasus  Biaya penyelidikan dan analisis  Kehilangan Produktivita s  Penurunan ekspor  Biaya sosial sekuriti  Pengangura n  Penarikan produk  Penutupan pabrik  Kerugian  Penelusuran penyebab  Kehilangan pasar dan pelanggan  Kehilangan kepercayaan konsumen (domestik dan internasional)  Administrasi asuransi  Biaya legalitas

 Biaya dan waktu rehabilitasi (pengambilan kepercayaan konsumen)  Penuntutan konsumen  Biaya pengobatan dan rehabilitasi  Kehilangan pendapatan dan produktivit as  Sakit, penderitaa n dan mungkin kematian  Kehilangan waktu  Biaya penuntutan /pelaporan

(9)

Dalam bulan Juni 1995, Codex Alimentarius Commision (CAC) telah mengadopsi dan merekomendasikan penerapan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical

Control Point) dalam industri pangan. Negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) melalui EC Directive 91/493/EEC juga merekomendasikan penerapan

HACCP sebagai dasar

pengembangan sistem manajemen mutu kepada negara-negara yang akan mengekspor produk pangan ke negara-negara MEE. HACCP juga direkomendasikan oleh US-FDA kepada negara-negara yang mengekspor produk makanan ke USA. Konsep HACCP terutama mengacu pada pengendalian keamanan pangan (food safety), meskipun dapat pula diterapkan pada komponen mutu lainnya seperti keutuhan yang menyangkut anfaat dan kesehatan (Wholesomeness), dan pencegahan tindakan-tindakan kecurangan dalam perekonomian

(economic fraund) (Tim Inter Departemen Bappenas, 1996).

3.3. Tanggung Jawab Bersama dalam Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan dan distributor, serta konsumen (WHO, 1998). Keterlibatan ketiga sektor tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.

3.4. Kebijakan Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Kebijakan Nasional tentang Mutu dan Keamanan Pangan telah disusun secara lintas sektoral dengan melibatkan berbagai Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terlibat dalam pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan. Kebijakan Mutu dan keamanan Pangan nasional tersebut adalah sebagai berikut (Kantor Menteri Negara Pangan: 1997):

1. Meningkatkan mutu dan keamanan pangan melalui penelitian dan pengembangan,

(10)

pengembangan peraturan perundang-undangan serta kelembagaan.

2. Meningkatkan mutu gizi pangan dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat.

3. Memberikan jaminan bahwa pangan sebagai bahan baku industri maupun konsumsi, bebas dari kontaminasi bahan kimia, biologi dan toksin, serta tidak bertentangan dengan keyakinan yang dianut oleh masyarakat. 4. Menerapkan secara terpadu

sistem jaminan mutu dan keamanan pangan sejak pra produksi, selama proses produksi sampai konsumen baik dalam pembinaan maupun pengawasan melalui Program Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional. 5. Meningkatkan pengawasan

melekat/mandiri (self regulatory

control) pada produsen, konsumen, pengolah, pedagang, serta pembina dan pengawas mutu dalam melaksanakan jaminan mutu dan keamanan pangan.

6. Melarang memperadagangkan (ekspor dan impor) pangan yang melanggar ketentuan yang secara

internasional telah disepakati bersama.

7. Melaksanakan sertifikasi dan menerebitkan sertifikat mutu produk pangan yang memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produsen, eksportir dan eksportir produsen yang telah mampu menerapkan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan.

8. Menjaga standar mutu yang tinggi dalam setiap aspek kinerja pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan secara terpadu.

9. Melaksanakan pemasyarakatan Program Mutu dan keamanan Pangan Nasional.

10. Pengembangkan sumberdaya manusia pembinaan dan pengawasan mutu pangan melalui pendidikan dan latihan.

3.5. Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Hasil diskusi dari berbagai instansi terkait tentang implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional telah menyepakati berbagai kegiatan/sub program yang perlu dilakukan untuk menjamin mutu dan

(11)

keamanan pangan secara nasional yang dibedakan atas program utama dan penunjang (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1997), sebagai berikut:

Program utama: (1) Pengembangan sumberdaya manusia pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (2) Pengembangan sarana dan prasarana pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (3) Pengembangan mutu dan gizi pangan, standarisasi mutu dan

keamanan pangan; (4)

Pengembangan sistem keamanan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (5) Penyelenggaraan pelayanan pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (6) Pemasyarakatan sistem mutu dan keamanan pangan; (7) Penelitian dan pengembangan mutu dan keamanan pangan; (8) Pengembangan harmonisasi internasional sistem pembinaan dan sistem pengawasan mutu dan

keamanan pangan; (9)

Pengembangan sistem analisis resiko; dan (10) Pengembangan sistem jaringan informasi pembinaan mutu pangan.

Program Penunjang: (1)

Kegiatan pengembangan

pengendalian lingkungan; (2) Pengembangan penyuluhan mutu dan

keamanan pangan; (3)

Pengembangan peraturan perundang-undangan mutu dan keamanan pangan; dan (4) Pengembangan kelembagaan dan kemitraan dalam bisnis pangan.

4. Penutup

Kebijakan mutu akan kepentingan keamanan dan konsistensi quality system dari pemerintah: aplikasi scientific theory dari para scientist; dan implementasi oleh para pelaku bisnis perlu dijalani secara terpadu melalui teknik-teknik: (1) GAP (Good Agriculture Practice)/GFP (Good Farming Practice); (2) GHP (Good Handling Practice); (3) GMP (Good Manufacturing Practice) & GLP (Good Laboratory Practice); (4) GDP (Good Distribution Practice); dan (5) GRP (Good Retailing Practice) Pemahaman dan persamaan persepsi akan kepentingan serta sertifikasi ISO 9000 – 9002–9005; ISO-25 dan HACCP sudah sangat-sangat diperlukan agar industri pangan

(12)

Indonesia mampu bersaing dengan industri pangan luar negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Fardiaz, S, 1996. Food Control Policy, WHO national Consultant Report. Directorate General of Drug and Food Control, Ministry of Health. Jakarta, September 1996.

Fardiaz, S. 1996. Food Control Strategy, WHO National Consultant Report. Directorate General of Drug and Food Control, Ministry of Health. Jakarta, December 1996.

Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1997. Kebijakan Nasional dan Program Pembinaan Mutu Pangan. Jakarta

Rothery, Brian, 1995. Analisis ISO 9000. PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

Russel, Roberta S. dan Bernard W Taylor III, 1995. Production and Operation Management: Focusing on Quality and Competitiveness. Prentice Hall Inc., New Jersey. Soin, Sarv Singh, 1993. Total

Quality Control Essentials. McGraw-Hill Book, Singapore.

Tenner, Arthur R. dan Irving J. de Toro, 1992. Total Quality Management: Three Steps

to Continuous

Improvement. Addison-Wesley Publishing Co., New York.

Tim Inter Departemen Bappenas, 1996. Sistem Pembinaan Mutu Pangan (F.G. Winarno

dan Surono, editor). Bappenas, Jakarta

Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana, 2007. Total Quality Management. Andi Offset, Yogyakarta.

Tunggal, Amin W, 1993. Manajemen Mutu Terpadu: Suatu Pengantar. PT Rineka Cipta, Jakarta.

WHO 1998 Food Safety Programmes in The South East Asia Region, Overview and Perspective. WHO Regional Office South East Asia, New Delhi, India.

Gambar

Tabel 1.  Dampak

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan untuk teknik analisis best practice green supply chain pada konstruksi bangunan gedung dilakukan dengan melihat frekuensi dari tolak ukur greenship

Pelabuhan milik perusahaan sangat fleksibel dalam menerima banyak atau tidaknya batubara yang akan dibongkar dan di muat didalam kapal, sehingga penambang

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Model Pembelajaran biologi berbasis Praktikum Virtual untuk membangun karakter bangsa. Karakter bangsa yang diukur meliputi komponen

$ami juga menyadari sepenuhnya bah(a di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. )leh sebab itu, kami berharap adanya kritik, kekurangan dan jauh

Dari uraian tersebut diatas, maka pada Kawasan Wisata Parangtritis perlu adanya Pengembangan Obyek Wisata Pantai parangtritis berupa penataan kawasan yang lebih

Berbagai fungsi animasi antara lain: untuk mengarahkan perhatian seseorang pada aspek penting dari materi yang sedang dipelajari (tetapi animasi dapat juga

Semua peserta diwajibkan untuk ikut dalam acara ini, di mana Dewan Juri akan menyampaikan alasan memilih para finalis dan pemenang.. Silahkan melakukan registrasi melalui link

Hal tersebut akan menimbulkan implikasi sosial yang positif maupun negatif, situasi yang berkembang saat ini di sebagian masyarakat bahwa kelompok sosial motor