• Tidak ada hasil yang ditemukan

Detik-detik di Sekitar Berhentinya Pak Harto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Detik-detik di Sekitar Berhentinya Pak Harto"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Detik-detik di Sekitar Berhentinya

Pak Harto

PADA hari Kamis, tanggal 21 Mei 1998, jam 09.05 WIB, di Istana Merdeka, H Muhamad Soeharto menyatakan "berhenti" sebagai Presiden RI yang kedua, setelah selama 32 tahun meme-gang tampuk kepemimpinan bangsa dan negara ini. Berhenti atas keputusannya sendiri, dengan merujuk Pasal 8 UUD 1945, yang berbunyi: Jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh wakil presiden sampai habis batas waktunya.

Pidato singkatnya antara lain adalah sebagai berikut:

Sejak beberapa waktu terakhir saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kchidupan berbangsa dan bernegara.

Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional demi terpeliharanya kesatuan dan persatuan bangsa, serta kelangsungan pembangunan nasional saya tdah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.

(2)

Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menun-jukkan Komite Reformasi tersebut

tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut. Dalam heinginan untuh melaksanahan reformasi dengan carayang sebaik-baiknya tadi saya menilai, bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, perubahan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan memerhatikan keadaan di atas, saya berpen-dapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas Pcmerintahan Negara dan Pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memerhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan

sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi-Jraksi, saya menyatakan "berhenti" dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, hari Kamis 21 Mei 1998. Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan di hadapan Saudara-saudara pimpinan DPR-Rl yang juga adalah Pimpinan MPR pagi ini pada kesempatan silaturahmi.

Sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. BJ Habibie yang akan me-lanjutkan sisa waktujabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003.

Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya me-mimpin negara dan bangsa

Indonesia ini, saya ucapkan terima hasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya, semoga bangsa Indonesia tetapjaya dengan Pancasila dan UUD 1945-nya. Mulai

(3)

hari ini pula Kabinet Pembangunan VII" demisioner" dan pada para Menteri saya ucapkan Lerima kasih.

Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan Pengucapan Sumpah di hadapan MPR, makauntuk menghindari "kekosongan" pimpinan dalam pcnyelcnggaraan Pemerintahan Negara, kiranya saudara Wakil Presiden sekarang juga akan melaksa-nakan Pengucapan Sumpahjabatan Presiden di hadapan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Beberapa detik setelah itu, Wakil Presiden RI, Dr. BJ Habibie dilantik sebagai Presiden RI ketiga. Dan usai pelantikan, Jenderal Wiranto, selaku Panglima ABRI memberikan keterangan singkat bahwa sesuai dengan warisan budaya bangsa, maka ABRI akan memberikan jaminan keamanan bagi HM Soeharto dan keluarganya, sebagaimana juga dilakukan kepada keluarga mantan presiden lainnya.

Usai pelantikan Pak Habibie, Pak Harto menuju ke ruang Jepara, di mana pimpinan DPR menunggu. Di sinilah, beberapa menit sebelum Pak Harto menyatakan berhenti, Pimpinan DPR/MPR diterima Pak Harto, masih sebagai presiden. Pada pertemuan ini, Pak Harto menyampaikan niat pengunduran dirinya. Sekarang, dengan sikap "ngapu rancang" (Jawa), tangan bersilang di depan, di bawah perut, yang menunjukkan sikap hormat seseorang kepada orang yang dihadapinya, sebagai-mana sikap seseorang yang menghadapi atasan, atau "kawula" terhadap "raja", Pak Harto mengatakan:

saudara sejak sekarang saya tidak menjadi Presiden lagi. Saudara-saudara selaku pimpinan DPRf MPR semoga ikut menjaga bangsa dan negara ini. Tcrima kasih.

(4)
(5)
(6)

Setelah itu, diikuti oleh Mensesneg Saadillah Mursjid dan Mbak Tutut, HM Soeharto meninggalkan Istana Merdeka, tidak menengok ke kanan dan ke kiri, menuju mobil yang' telah tersedia. Tiba di Cendana 10, di kediaman HM Soeharto pribadi, di ruang keluarga, sebelum duduk di kursi, HM Soeharto menengadahkan tangannya ke atas, mengucap Allahu' Akbar beberapa kali. Usai sudah beban dipundak ini, begitu Pak Harto berucap pelan. HM Soeharto bersyukur bahwa selama itu, ia telah berusaha untuk dapat mengabdikan dirinya bagi bangsa dan negaranya. HM Soeharto memastikan niatnya untuk "Madeg Pandito".

Gambaran seperti itu, mungkin jauh dari perkiraan kebanyakan orang. Akan tetapi, itulah yang terjadi. Sekarang, apabila kemudian Pak Harto dihujat tanpa henti, berhadapan dengan pengadilan, dan bahkan seorang putra kesayangannya masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang), semua itu pasti di luar perhitungannya. Apa yang sesungguhnya terjadi di belakang layar "drama" itu?

Barangkali, tidak ada di antara kita yang percaya, ketika pada tanggal 20 Mei 1998 malam, sekitar pukul 22.00 WIB, HM Soeharto, Presiden RI yang kedua, mengambil keputusan untuk berhenti. Hal ini terlepas bahwa sebelum itu, pikiran-pikiran untuk berhenti telah disampaikannya kepada kalangan dekat dan keluarga, bahkan masyarakat pada umumnya, ketika Pak Harto bertemu dengan beberapa tokoh masyarakat, termasuk Cak Nur, Gus Dur, Kyai H. Ali Yafie pada tanggal 19 Mei sebelumnya. Saat itulah (agaknya) ketetapan berhenti diambil oleh HM Soeharto menjadi keputusan yang bulat. Orang terakhir yang menemui Pak Harto malam itu adalah BJ Habibie, Wakil Presiden RI. Habibie bertemu dengan

(7)

Pak Harto, setelah H. Soedharmono, mantan Wakil Presiden RI. Ketika HM Soeharto menerima H. Soedharmono, yang berlangsung sekitar jam 19.30 sampai 20.30 wib, tidak ada tanda-tanda Pak Harto akan mengambil keputusan untuk berhenti. Bahkan, Pak Harto masih menyatakan besok paginya akan mengumumkan Kabinet Baru, yang rencananya diberi nama Kabinet Reformasi. Susunan kabinet baru itu, sebagian besar masih terdiri dari orang-orang lama. Kecuali Mbak Tutut, Bob Hassan, dan Jenderal Hartono tidak tercantum lagi dalam rencana susunan kabinet baru itu. Dalam pertemuan itu, BJ Habibie sempat memberikan usul perubahan beberapa nama untuk duduk di dalam kabinet. Selain itu, BJ Habibie juga membawa foto kopi 14 menteri yang menyatakan tidak bersedia untuk duduk dalam Kabinet (Reformasi) yang akan dibentuk Pak Harto. Surat asli 14 menteri itu, ternyata sampai saat itu, belum sampai ke tangan Pak Harto. Masih ditum-pukan surat di meja ajudan presiden.

Pertemuan Pak Harto dan Pak Habibie adalah pertemuan yang mendadak karena malam sebelumnya (19 Mei), Pak Habibie telah menemui Pak Harto. Ketika menemui Pak Harto, Pak Dhar (Sudharmono) menyampaikan pesan Pak Habibie kepada Pak Harto, sesuai pembicaraan telepon antara Pak Habibie dan Pak Dhar (pagi hari) sebelumnya. Pak Habibie titip pesan, agar Pak Harto berkenan menyediakan waktu bagi pimpinan DPR. Pesan itu, telah disampaikan dan rencananya semula, Pak Harto akan menerima Pimpinan DPR pada hari Senin, tanggal 25 Mei 1998. Pimpinan DPR, seba-gaimana diketahui, telah memutuskan, untuk menyarankan, agar HM Soeharto mengundurkan diri. Permintaan waktu untuk pertemuan itu, diperkirakan untuk menyampaikan keputusan itu. Pertemuan itu, akhirnya dipenuhi Pak Harto beberapa saat sebelum Pak Harto resmi berhenti di ruang

(8)

Jepara Istana Merdeka. Dan di situlah Pak Harto menyampaikan keputusannya berhenti kepada Pimpinan DPR, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Karena ilu, ketika Soedharmono keluar dari ruangan Pak Harto, ia terkejut ada Pak Habibie yang juga akan menemui Pak Harto. Padahal, pagi harinya Pak Habibie telah titip pesan, yang bagi pengertian Sudharmono, malam itu Pak Habibie tidak merencanakan akan menemui Pak Harto.

Ketika sedang menerima Pak Habibie, Pak Harto memanggil Saadillah Mursjid untuk mempersiapkan pelantikan Kabinet Reformasi dan Komite Reformasi. Petunjuk itu diberikan dihadapan Habibie. Setelah Habibie pulang, Saadillah Mursjid langsung melaporkan bahwa beberapa anggota Komite Reformasi yang direncanakan tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi. Pada saat itu, Saadillah Mursjid juga menyampaikan informasi yang dyserolehnya dari Yusril Ihza Mahendra, tentang adanya surat empat belas orang menteri. Kalau acara pelantikan itu tetap diselenggarakan, hampir bisa dipastikan akan gagal. Saadillah Mursjid menyampaikan pertimbangan itu dengan tetap mengatakan siap melaksanakan perintah apa pun. Pak Harto ternyata menerima saran untuk membuat beberapa alternatif yang terbaik untuk dilakukan dan meminta Saadillah Mursjid untuk ikut memikirkannya.

Kembali ke ruangannya, ketika sedang memikirkan alternatif yang perlu dirumuskan, tanpa diduganya, Pak Harto memanggil kembali Saadillah Mursjid. Pak Harto memberi tahu, bahwa Pak Harto telah mengambil keputusan untuk berhenti. Setelah itu, Pak Harto memanggil putra-putrinya. Pak Harto memberi tahu keputusannya untuk berhenti dari jabatan presiden kepada putra-putrinya. Setelah mendengar keputusan Pak Harto, salah seorang putranya menelepon

(9)

Wiranto memberitahukan bahwa Presiden Soeharto telah mengambil keputusan yang sangat penting. Putra Pak Harto menyarankan agar Wiranto sebagai Pangab segera menemui Pak Harto. Karena pemberitahuan itulah Wiranto kemudian malam-malam itu segera datang ke Cendana, menemui Pak Harto. Dalam kesempatan bertemu Pak Harto, itulah Wiranto diberitahu bahwa Pak Harto memutuskan untuk berhenti dari jabatan presiden.

Setelah memberitahu putra-putrinya dan menerima Pangab, kemudian Pak Harto memanggil Saadillah Mursjid. Sebagai Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursjid dipe-rintahkan untuk memberi tahu Wakil Presiden Habibie untuk siap dilantik sebagai presiden. Pak Habibie, dalam pembicaraan telepon dengan Saadillah Mursyid, malam itu juga ingin menjumpai Pak Harto. Bahkan, pagi hari sebelum dilantik menggantikan Pak Harto, Habibie masih ingin bertemu Pak Harto sekali lagi. Tetapi, semuanya itu tidak pernah terjadi dan memang tidak mungkin lagi. Keputusan telah diambil. Keputusan Pak Harto sudah bulat.

Sehari sebelumnya, Pak Harto memberikan kesempatan, apabila hal itu patut dilakukan, kepada Jenderal Wiranto (Pangab) dan Jenderal Soebagyo (Kasad) untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna pengamanan pem-bangunan serta menyelamatkan bangsa dan negara berdasar Tap V/MPR/1998. Sejarah mencatat, Wiranto dan Angkatan Bersenjata tidak pernah menggunakan kesempatan itu.

Benarkah begitu cerita yang sesungguhnya dari berhenti-nya Pak Harto? Mengapa Pak Harto mengambil keputusan seperti itu? Siapa sesungguhnya, yang menjatuhkan Pak Harto? Mengapa Pak Harto (akhirnya) mengambil keputusan

(10)

untuk berhenti? Marilah kita lihat beberapa catatan, sampai pada akhirnya Pak Harto "lengser keprabon".

Jalannya peristiwa itu, sesungguhnya tidak selancar seba-gaimana digambarkan di atas. Pikiran-pikiran untuk berhenti, agaknya memang sudah terlintas dipikiran Pak Harto, beberapa hari sebelum itu. Ketika tanggal 19 Mei malam Pak Harto menerima Wakil Presiden BJ Habibie, pikiran untuk berhenti kemungkinan telah disinggung oleh keduanya. Pada pertemuan itu, Wapres BJ Habibie agaknya telah tersinggung dengan pernyataan Pak Harto, seandainya Pak Harto berhenti, apa semuanya menjadi beres. Pak Harto mengatakan kepada Pak Habibie, bahwa yang tidak senang dengan BJ Habibie juga banyak. Mungkin lebih banyak dari yang tidak senang kepada Pak Harto. Apakah kamu siap, seandainya harus memegang jabatan presiden? Siap Pak, kata Habibie. Kalau memang keadaan memanggil, saya siap, begitu kira-kira jawaban Habibie. Itulah sekelumit cerita pertemuan Pak Harto dan Habibie ketika itu.

Pikiran Pak Harto seperti itu, sebagaimana kita ketahui, telah disampaikan kepada beberapa cendekiawan pagi hari, tanggal 19 Mei 1998, ketika Nurcholish Madjid, Gus Dur, Ali Yafie, dan lain-lainnya melakukan pertemuan di Istana Merdeka. Waktu itu, Pak Harto mengatakan bahwa kalau memang tidak dikehendaki rakyat, tidak menjadi presiden juga tidak "patheken". Namun, apakah dijamin semuanya beres, kalau Pak Harto telah berhenti? Pada pertemuan itu, Pak Harto juga telah menyampaikan keinginannya, untuk membentuk Komite Reformasi dan pembentukan Kabinet Reformasi serta mempercepat pemilihan umum. Di situ, Pak Harto juga mengatakan, bahwa Pak Harto tidak akan mencalonkan diri

(11)

lagi sebagai presiden. Sikap Pak Harto seperti itu, dinilai sebagai jalan yang terbaik oleh beberapa yang hadir. Namun, sikap seperti itu juga mengesankan Pak Harto telah bersikap mundur dan bahkan telah berputus-asa, yang ternyata tidak sesuai dengan harapan Gus Dur, yang hadir dalam pertemuan itu. Harapan Gus Dur, Pak Harto masih dapat tegar. Kita mau mendukung Pak Harto, kok Pak Harto justru sudah "nglokro" (patah semangat, Jawa), kata Gus Dur kepada Probosutedjo, setelah bertemu Pak Harto.

Pertemuan Pak Harto dan Pak Habibie malam itu (19 Mei), agaknya merupakan awal kekecewaan Pak Harto kepada Habibie, seorang anak mas yang selama bertahun-tahun memperoleh kepercayaan yang luar biasa dari Pak Harto, mclampaui kepercayaan Pak Harto kepada yang lainnya. Habibie sendiri, juga merasakan keistimewaannya itu. lalah salah satu pembanlu Pak Harto yang dapat berkata lain kepada Pak Harto, tanpa dimarahi Pak Harto. Pak Habibie, juga mengaku sebagai murid Pak Harto. Di berbagai kesempatan, Pak Habibie menganggap Pak Harto sebagai guru besarnya. Itulah yang dikatakan Pak Habibie di dalam berbagai perte-muan.

Mendengar cerita seperti itu, saya mengatakan, sayang Pak Habibie bukan "orang Jawa". Jawaban seperti itu, saya pastikan lidak diharapkan oleh Pak Harto. Mestinya, jawaban Pak Habibie adalah, kalau Bapak berhenti, saya pun harus berhenti. Itulah norma kesatriaan, yang begitu kental diajar-kan dalam falsafah Jawa. Begitu dugaan saya sebagai "orang jawa". Dan itulah sebenarnya sebuah norma yang wajar, di mana saja, bahwa kalau seorang Kepala Negara berhenti, maka seluruh menteri/pembantu Kepala Negara itu juga harus berhenti. Sehingga nilai seperti itu adalah sebuah nilai yang universal.

(12)

Demikian juga kepada 14 menteri, dengan sikapnya itu, sudah tentu tidak membantu Pak Harto. Sikap mereka, sudah tentu menambah kesulitan yang sedang dihadapi oleh Pak Harto. Tidak semata ukuran budaya "Jawa", orang Barat pun mempunyai sebuah kata mutiara "a friend indeed is a friend in need". Pak Harto, pada saat yang begitu pelik, pasti me-merlukan teman. Namun, orang-orang yang semula diduga temannya ternyata justru mempersulit keberadaan Pak Harto. Selain 14 menteri, Pak Harto pasti juga kecewa, ketika pim-pinan DPR ternyata telah meminta Pak Harto mundur. Nota bene, mereka itu dianggap oleh Pak Harto kader-kadernya. Mengapa semua itu dapat terjadi?

Bulan Juli 1997, Thailand mulai dilanda krisis ekonomi. Di waktu itu, tidak ada orang Indonesia yang memperhitung-kan, bahwa krisis ekonomi itu akan menjalar ke Indonesia. IMF dan Bank Dunia, bahkan juga tidak yakin krisis itu akan melanda Indonesia. Karena Indonesia dinilai mempunyai "fundamental ekonomi" yang kuat. Begitulah, pejabat-pejabat Indonesia, para menteri, presiden dan Lembaga Internasional sangat percaya bahwa Indonesia tidak akan terkena krisis ekonomi. Akan tetapi, tanda-tanda terkena krisis, ternyata begitu cepat datang. Tidak mungkin lagi ditutupi.

Tanda awal krisis itu dimulai, ketika secara tiba-tiba Bank Dagang Negara, sebuah Bank BUMN, di bawah Drs. Solahudin Kaoy menaikkan tingkat suku bunga rupiah dari sekitar 13 % menjadi 23% per tahun. Langkah Bank Dagang Negara ini kemudian diikuti bank-bank lainnya. Tujuannya, sudah tentu untuk menarik rupiah dan menghambat kenaikan dolar yang sudah mulai naik. Setelah itu, seakan sebuah air bah, krisis ekonomi begitu cepat melanda Indonesia. Likuiditas beberapa

(13)

bank terganggu. Enam belas Bank dibekukan operasinya. Demikian juga bank-bank lainnya. Untuk mencegah kegeli-sahan nasabah, dan masyarakat pada umumnya, pemerintah mengambil kebijaksanaan memberikan dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Pak Harto, meskipun nampak tenang, tidak urung terlihat juga kekhawatirannya. Langkah apa yang diperlukan untuk mengatasi krisis?

Lee Kuan Yew, dalam bukunya From Third World to First (2000), memuji kebijaksanaan Indonesia mengundang IMF untuk menolong Indonesia. Dalam kaitan ini, Presiden Soeharto telah mengirim seorang utusan khusus agar Singa-pura membantu menaikkan "bargaining-power" Indonesia terhadap IME PM Goh Chok Tong membicarakan permintaan Indonesia dengan Lee Kuan Yew. Hasilnya, Singapura setuju memberikan bantuan US$ 5 miliar, setelah Indonesia meng-habiskan dana pinjaman sebesar US$ 20 miliar dari IMF, Bank Dunia dan Asian Development Bank. Demikian juga Jepang, ternyata juga setuju memberikan support sebesar US $ 5 miliar kerja sama pertama (Letter of Intens) dengan IMF ditandatangani pada bulan Oktober 1997. Setelah itu, Bank Sentral Singapura, Jepang, dan Bank Indonesia berusaha untuk memperkuat kurs rupiah, dari Rp3.600,00 menjadi Rp3.200,00.

Pada tanggal 6 Januari 1998, Pak Harto menyampaikan RAPBN di depan DPR. Menurut Lee Kuan Yew, RAPBN itu tidak dibicarakan terlebih dahulu dengan IMF, yang ternyata tidak sesuai dengan target-target yang telah disepakati dengan IMF Dalam waktu dua hari, rupiah semakin terpuruk, men-jadi Rp7.000 sampai RplO.OOO. Sebabnya, karena IMF menunjukkan rasa ketidaksenangannya dengan RAPBN itu. Keadaan semakin kacau. Barang-barang di supermarket diborong oleh para konsumen yang panik. Lee Kuan Yew dan

(14)
(15)

Gok Chok Tong memberi tahu Clinton dan akhirnya Clinton mengirim Lawrence Summers ke Jakarta. Pada tanggal, 9 Ja-nuari, Pak Harto sendiri menandatangani kesepakatan kedua dengan IMF di depan Michell Camdessus, dengan sikapnya yang nampak angkuh.

Banyak di antara kita, yang mungkin tersinggung dengan sikap yang ditunjukkan oleh Michell Camdessus. Namun, mau apa? Indonesia, seolah-olah tidak berdaya menghadapi IME Toh Pak Harto, sesungguhnya masih berusaha untuk mencari jalan keluar sendiri, dengan antara lain mengundang Prof. Steve Hanke yang terkenal dengan teori Currency Board System (CBS)-nya untuk mematok nilai tukar rupiah dengan dollar. Di depan delegasi Majelis Ulama Indonesia, ketika silaturahmi lebaran, Pak Harto menyampaikan, sudah mengantongi resep yang mujarab untuk mengatasi krisis ekonomi. Resep yang mujarab itu ternyata adalah teorinya Steve Hanke itu. Tetapi, tenggang waktu di dalam memper-timbangkan teori Steve Hanke inilah yang semakin membuat suasana semakin tidak menentu, yang membuat situasi ekonomi semakin sulit dikendalikan.

Sementara itu, Oktober 1997, Golongan Karya menyeleng-garakan HUT nya di Jakarta Convention Center. Ketika itu, Pak Harto telah memyampaikan pesan, apakah dirinya masih layak untuk menjadi Presiden untuk lima tahun mendatang. Alasan utama adalah karena usia. Pak Harto menggambarkan dirinya sebagai sudah TOP (Tua Ompong dan Pikun). Pak Harto bahkan meminta Ketua Umum Golkar Harmoko untuk menyelidiki, apakah benar rakyat masih mendukungnya. Akan tetapi, di dalam hati Pak Harto, (agaknya) beliau juga sudah merasakan adanya kelompok-kelompok yang tidak lagi menghendaki Pak Harto. Ibu Tien Soeharto (alm) bahkan sebelum itu, telah menyampaikan pertimbangan, agar Pak

(16)

Harto tidak bersedia dicalonkan kembali pada pemilihan presiden tahun 1998. Bahkan Ibu Tien pernah meminta bantuan Pak Ruslan Abdulgani untuk ikut memberi nasihat kepada Pak Harto untuk tidak bersedia dicalonkan kembali. Dalam sebuah pertemuan di Istana Merdeka, sebelum Ibu Tien wafat, Ibu Tien secara khusus meminta Pak Ruslan untuk ikut memberi nasihat Pak Harto. Saya kok "miris", kata Ibu Tien kepada Pak Ruslan. Namun, nasihat seperti itu, sudah dapat diperhitungkan, akan ditolak, kalau rakyat memang masih menghendaki Pak Harto untuk tampil kembali. Itulah naluri seorang pejuang, yang selama bertahun-tahun tertanam di jiwa Pak Harto. Kenyataan inilah juga yang terjadi di awal Orde Baru ketika rakyat menghendaki Pak Harto untuk memimpin bangsa. Karena desakan yang kuat dari rakyat, akhirnya Pak Harto bersedia tampil menggantikan Bung Karno. Untuk itu, diperlukan waktu dua tahun untuk meya-kinkan Pak Harto secara konstitusional. Dan ternyata memang benar.

Oleh Ketua Umum Golkar H. Harmoko, orang sipil pertama yang memimpin Golkar di era Orde Baru, Pak Harto diya-kinkan, bahwa sebagian besar rakyat masih menghendaki Pak Harto untuk memimpin bangsa dan menjabat presiden untuk lima tahun kembali.

Demikian juga Golkar, masih tetap akan mencalonkan Pak Harto pada sidang umum MPR di bulan Maret 1998. Di luar Goikar, berbagai organisasi juga memberikan pernyataan yang sama, termasuk PPP, PDI, dan ABRI. Tidak terkecuali, di kalangan umat Islam.

Begitulah, meskipun demo mahasiswa telah dimulai, krisis ekonomi telah mencengkeram Indonesia, Pak Harto dengan suara bulat di MPR, Maret 1998 terpilih menjadi Presiden

(17)

Republik Indonesia secara meyakinkan. Pak Harto, bahkan dibekali TAP Khusus, yaitu TAP V/MPR/1998, dengan kewena-ngan untuk mengambil segala tindakan untuk mengamankan jalannya pembangunan. Semuanya diputuskan dengan aklamasi.

Namun, ketika saatnya harus memilih wakil presiden, ter-nyata justru tidak terlalu mulus. Sejak Pak Harto menyampaikan kriteria calon wakil presiden pada bulan Januari 1998, yang diartikan tidak lain adalah Prof. Dr. BJ Habibie. Pilihan Pak Harto terhadap Habibie, ternyata banyak menimbulkan reaksi, baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan juga di kalangan keluarga Pak Harto, putra dan putrinya. Lee Kuan Yew, dalam bukunya menulis, bahwa dalam keadaan krisis ekonomi, selayaknya Pak Harto memilih seorang calon wakil presiden yang dapat diterima pasar. Menurut Lee Kuan Yew, Habibie adalah tokoh yang digambarkan sebagai

"high cost dan high tech". Demikianlah, kurs rupiah langsung jatuh, ketika kriteria itu diumumkan. Paul Keating, PM Goh Chok Tong, Anwar Ibrahim menyarankan Pak Harto untuk tidak memilih BJ Habibie sebagai wakil presiden. Tetapi, Pak Harto, sebagaimana biasa, sekali mengambil keputusan, sulit untuk diubah. Dan akhirnya, Habibie pun terpilih sebagai wakil presiden.

Ketika penyusunan kabinet, sekali lagi, Pak Harto menge-cewakan beberapa kalangan masyarakat. Pak Harto meng-umumkan duduknya seorang putrinya menjadi Menteri Sosial, yaitu Mbak Tutut. Yang lain, sudah tentu tokoh-tokoh yang memperoleh kepercayaan dari Pak Harto. Masyarakat, sesung-guhnya sudah banyak yang bertanya, terhadap penunjukan beberapa menteri, yang memperoleh penilaian kurang tepat. Kemampuan, integritasnya dan profesionalismenya diragukan. Padahal, suasana sudah krisis. Tetapi, jalan memang sudah tertutup. Penyusunan Kabinet, adalah hak prerogatif. Dalam hal ini pun, Lee Kuan Yew juga menilai, bahwa pemilihan Pak

(18)

Harto terhadap para pembantunya, sipil dan militer pada saat-saat itu, dinilai sebagai tidak tepat. Lee Kuan Yew menulis, "Soeharto's last major military and ministerial appoinment in Februari and March 1998 were the most disastrous misjudg-ment of his life" tulis Lee Kuan Yew. Di saat yang sangat krusial, orang yang dikenal sebagai memiliki justifikasi dan memilih para pembantunya dengan sangat baik (maksudnya adalah Pak Harto, pen), telah memilih orang-orang yang tidak tepat

(wrong man) untuk jabatan-jabatan kunci. Kekeliruannya, tulis Lee Kuan Yew, telah mendatangkan kehancuran bagi dirinya sendiri dan negaranya.

Demikianlah, pemerintah memang tidak mampu menga-tasi krisis ekonomi. Dolar melambung tinggi, demo semakin besar. Pak Harto gagal mematok rupiah. Terkesan, bahwa Pak Harto sudah dipenuhi keraguan, apa yang harus dilakukan? Pak Harto, telah "out of touch" kata Goh Chok Tong sebagaimana dikutip Lee Kuan Yew. Keadaan ekonomi, politik semakin tidak terkendali. Gelombang demonstrasi semakin besar, sampai akhirnya terjadi peristiwa Trisakti, dan pembakaran kota Jakarta. Mahasiswa kemudian menduduki DPR. Dan akhir-nya, sampailah kita pada saat yang tragis dan ironis. Pak Harto mengambil keputusan untuk berhenti, hanya dalam waktu dua bulan setelah terpilih secara meyakinkan. Keputusan yang bulat ini, diambil Pak Harto sendiri, dan tidak bisa berubah lagi.

Saya sempat bertanya dalam hati, Pak Harto "ngambeg"? Mengapa begitu

nggletek (Jawa), tokoh yang begitu kuat berhenti secara tiba-tiba? Apa rahasia dibalik kata-kata, tidak menjadi presiden juga tidak pathekenl Demikian juga ke-khawatiran Pak Harto, seandainya beliau mundur, apakah semuanya akan beres? Di saat telah lengser, Pak Harto mengakui bahwa Pak Harto telah "salah-pilih" di dalam memilih para pembantunya, di saat yang sangat krusial itu.

(19)

Inilah rahasia bangsa yang ingin saya ketahui dan saya tulis agar generasi bangsa ini dapat belajar dari para penda-hulunya.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) seberapa tinggi tingkat implementasi pembelajaran tematik oleh guru kelas bawah SD Negeri di Kota Yogyakarta, (2) perbedaan

Keberadaan mahasiswa yang multi budaya di ma’had al - Jami’ah IAIN Palangka Raya memberikan nuansa berbeda dalam hal interaksi sosial. Mahasiswa yang heterogen yaitu berasal dari

Dari 2 indikator kinerja yang mendukung sasaran strategis ini, keduanya mencapai target dan secara umum rata-rata pencapaian sasaran Tersedianya Data dan

Selain Fuad, konflik juga dapat dilihat apabila Mak Salmah menyayangi Fuad tetapi dalam masa yang sama membencinya kerana menganggap Fuad merupakan punca Sofia

Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu

Jika bahan yang terserap kulit jumlahnya memadai, dapat timbul gejala seperti pada paparan terhirup jangka pendek, kemungkinan gejala tertunda selama 2-3 jam,

Hiperfungsi hipofise dapat terjadi dalam beberapa bentuk bergantung pada sel mana dari kelima sel-sel hipofise yang mengalami hiperfungsi. Kelenjar biasanya mengalami

Dalam peta geologi Lembar Bojonegoro Jawa Timur (Pringgoprawiro dan Sukido, 1992) Dander adalah anggota dari Formasi Lidah dengan litologi umumnya berupa batugamping