• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. istri (Mangunsong, 1998). Survei yang dilakukan Wallis (2005) terhadap 900

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. istri (Mangunsong, 1998). Survei yang dilakukan Wallis (2005) terhadap 900"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Umumnya setiap pasangan perkawinan menginginkan anak sebagai penerus keturunan. Anak merupakan sumber kebahagiaan bagi pasangan suami istri (Mangunsong, 1998). Survei yang dilakukan Wallis (2005) terhadap 900 wanita di Texas menunjukkan bahwa 77% dari mereka memilih anak sebagai sumber kebahagiaan paling besar dalam kehidupan mereka. Carr (2004) juga mengemukakan hal yang tidak jauh berbeda bahwasannya kedekatan dengan anak membuat seseorang bahagia, selain itu anak adalah salah satu sumber dukungan sosial dari keluarga yang bisa meningkatkan subjective weel-being.

Setiap orangtua dalam keinginannya mempunyai anak memiliki suatu gambaran atau impian bahwa jika kelak anaknya lahir maka akan mempunyai kondisi fisik dan mental yang normal dan mempunyai kelebihan daripada anak-anak lainnya (Mangunsong, 1998). Seperti yang diungkapkan oleh Ashya (nama samaran) yang sedang hamil 7 bulan:

” Saya sangat bahagia saat pertama sekali saya tahu ada kehidupan didalam rahim saya. Saya sangat mengharapkan anak yang saya kandung ini adalah anak yang normal, tidak kekurangan sesuatu apapun, dan dapat menjadi kebahagiaan bagi saya dan suami saya, karna saya sangat menjaga

(2)

kandungan saya ini. Apalagi saya juga dari keturunan keluarga yang sehat”.

(Komunikasi Personal, 19 Mei 2010).

Meski setiap orangtua mengharapkan anaknya terlahir normal, namun tidak semua harapan tersebut terpenuhi. Adakalanya kenyataan yang dihadapi tidak sesuai dengan harapan yang dibangun ketika anak terlahir dengan gangguan perkembangan (Musari, 2010). Salah satu gangguan perkembangan tersebut adalah autisme. Istilah autisme diperkenalkan pertama kali pada tahun 1943 oleh Dr. Leo Karner, seorang psikiater anak dari Universitas Jhon Hopkins. Menurut Karner, kegagalan anak mengartikan gerakan atau bahasa tubuh orangtuanya saat hendak dipeluk atau diangkat merupakan salah satu gejala autisme. Autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, echolalia (pengulangan kata), mutism (tidak mau bicara), pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitive dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dalam lingkungannya. Anak tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri (Safaria, 2005).

Selain ketidakmampuan dalam membangun interaksi sosial, ditemukan pula gejala seperti kegagalan membangun kemampuan berkomunikasi atau terjadinya keterbatasan dalam berbahasa menyebabkan bahasa yang tidak lazim (America Psychiatric Association, 1994). Dalam bermain terdapat preokupasi yang ditandai oleh aktivitas streotipe berulang yang menunjukkan adanya keterbatasan fungsi sosial kreatif. Ciri-ciri seperti membangun interaksi sosial,

(3)

bahasa yang tidak lazim, tingkah laku ritual serta penolakan terhadap perubahan, dikelompokkan sebagai gejala-gejala utama autisme (Karner, 1943)

Data menunjukkan bahwa jumlah penyandang autisme semakin hari semakin banyak. Menurut ASA (Autism Society of Amerika) Conference (dalam Sutadi, 2003) pada tahun 2000, jumlah penyandang autisme terus meningkat menjadi 60 per 10.000 kelahiran atau 1:250 anak, mencapai 1 diantara 150 penduduk menurut survey CDG di Amerika. Sehingga di Amerika autisme telah dinyatakan sebagai National Alarming (Sutadi, 2003).

Di Indonesia, walaupun belum ada data yang pasti, namun jelas terlihat adanya peningkatan yang mencolok pada jumlah penyandang autisme. Bedasarkan penelitian Melly (dalam Etty, 2001) psikiater anak dan Ketua Yayasan Autisme Indonesia, penderita autisme di Indonesia meningkat luar biasa. Penelitian menunjukan bahwa pada tahun 1987, ratio penderita autis 1:5000. angka ini meningkat tajam menjadi 1:500 pada tahun 1997, kemudian jadi 1:150 pada tahun 2000. Para ahli memperkirakan pada tahun 2010 mendatang penderita autis akan mencapai 60% dari keseluruhan populasi di dunia. Sekitar 80%, gejala autis terdapat pada anak laki-laki (Permatasari, 2009).

Memiliki anak dengan kelainan seperti autis bukan hal yang mudah untuk diterima. Banyak pikiran negatif yang muncul saat mengetahui hal tersebut, seperti rasa bersalah, kehilangan, ketakutan akan masa depan, stigma negatif dari masyarakat (Williams & Wright, 2004).

Ibu merupakan sosok yang banyak terlibat sehari-hari dalam pengasuhan anak dibandingkan ayah, karna Ayah berperan sebagai pencari nafkah utama

(4)

sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari maka Ibu dipandang sebagai sosok yang paling dekat dengan anak (Cohen & Volkmar, 1997). Ibu yang lebih sering menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan, seperti hubungan sosial anak yang terganggu, gangguan perkembangan dalam komunikasi dan lain sebagainya (Haditono, 1999). Bagi seorang ibu yang memiliki anak autis, dibutuhkan usaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang kerap muncul ketika merawat anak. Anak autis senantiasa membutuhkan banyak perhatian dan pengawasan dari orang-orang disekitarnya dibandingkan anak normal sehingga keterbatasan yang dimiliki anak autis mengakibatkan stress yang tinggi bagi Ibu yang mengasuhnya (Price, 2009).

Setelah melihat kelainan pada anaknya, tahap pertama Ibu akan mencari tahu mengenai keadaan anaknya dan mencoba memperoleh berbagai diagnosa dari dokter maupun terapis yang bisa memberikan prognosis lebih positif (Mangunsong, 1998). Setelah mengetahui jika anaknya benar menderita autis, Ibu akan memasuki tahap kedua yakni emosi negatif. Ibu merasa sedih, marah, kecewa, mengalami guncangan batin, terkejut dan bahkan menyalahkan Tuhan karena memberi anak yang tidak sempurna (Leo Martin, 2010).

Tahap ketiga adalah penerimaan diri. Penerimaan atas kehadiran anak yang terlahir dengan kondisi autis memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama, dan Ibu mulai mencoba bisa menyesuaikan diri dengan keadaan anak tersebut (Mangunsong, 1998). Pernyataan ini diperkuat oleh ungkapkan Adriana (nama samaran), seorang ibu yang memiliki anak penderita autis :

” Sekarang saya sudah tidak sedih dan marah lagi dengan keadaan anak saya, walaupun dulu kemarahan dan kesedihan saya luar biasa, tapi

(5)

sekarang saya mencoba untuk mencari tau dan mempelajari cara penanganan bagi penyandang anak autis...dan sekarang saya sudah tau kalau anak autis itu memiliki potensi yang positif dan berbeda dari anak lainnya....”

(Komunikasi Personal, 17 Juni 2010)

Proses penerimaan diri seorang ibu terhadap kondisi anak nya yang autis seringkali mendatangkan kesedihan dan ketidakbahagiaan di dalam diri ibu (Mangunsong, 1998). John Stuart Mill (dalam Teuku Eddy Faisal, 2007) mengatakan ketidakbahagiaan adalah datangnya penderitaan dan berakhirnya kesenangan. Secara umum terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang jatuh kedalam lubang penderitaan yang sangat dalam, diantaranya adalah apabila individu tersebut memiliki sikap curiga (prejudice), sikap hidup yang pesimis dan selalu mengeluh di dalam hidupnya. Santoso (2007) kemudian menambahkan apabila seseorang selalu memikirkan ketakutan dan kekhawatiran maka semua ketakutan dan kekhawatiran akan tertarik masuk kedalam kehidupannya dan dia menjadi orang yang hidup dengan penuh ketakutan dan kekhawatiran. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Shinta:

”Kami selalu mengeluh karena tingkah pola Adit yang tak bisa diam dan mengenai perkembangan Adit kepada keluarga kami...karena saat Adit masuk TK, ia dikeluarkan oleh TK tempatnya bersekolah....dan para tetangga sekitar rumah juga merasa risih dan melarang anak-anak mereka bermain dengan Adit..”

(Komunikasi Personal, 10 Juni 2010)

Dwi seorang ibu yang memiliki anak autis juga mengakui bahwa adalah hal yang berat baginya untuk menerima keadaan anaknya:

”Sungguh begitu berat memiliki anak yang berbeda....apalagi sering mendapat perlakuan yang tidak layak dari lingkungan rumah, dan tentu saja keluarga yang paling dekat sekalipun....Yang kadang tidak mengerti dan tidak tahu situasi, langsung mengambil kesimpulan anak autis itu sama dengan orang yang sakit jiwa....setelah itu ada tetangga yang juga

(6)

mengatakan kalau memiliki anak autis itu adalah aib keluarga...hal ini sering kali mendatangkan kecemasan bagi kami apabila suatu saat nanti anak kami diperlakukan dengan tidak adil.”

(Komunikasi Personal, 2 Juni 2010)

Tidak jarang juga, setelah mengetahui bahwa anak autis sebagian ibu terus menolak kehadiran anaknya. Beberapa diantaranya berusaha menyembunyikan anaknya agar jangan sampai kelihatan atau diketahui tetangga, masyarakat dan di lingkungan keluarganya sendiri, bahkan ada yang sampai tega membunuh anaknya (Williams & Wright, 2004). Keadaan tersebut terjadi pada Saga Akhter, wanita berusia 30 tahun yang membunuh kedua anaknya dengan mencekik mereka. Saiga, sang Ibu menyatakan:

” ...mereka autistik. Saya tidak mau anak autistik!...” (dikutip dari Santoso, 2010. www.rakyat merdeka.co.id)

Emosi serta perasaan pada Ibu yang memiliki anak autis sangatlah penting dalam mengasuh anak autis. Sikap positif Ibu yang menerima anak autis akan memiliki kondisi psikologis yang sehat dan akan berdampak positif bagi perkembangan anak autis, dan sebaliknya sikap negatif akan memiliki kondisi psikologis yang tidak sehat dan akan berdampak negatif bagi perkembangan anak autis (Price, 2009). Bukan hanya berpengaruh kepada anak, kebahagiaan juga sangat berpengaruh bagi sang ibu. Penelitian menunjukkan individu dengan emosi positif memiliki weel-being yang baik, lebih kreatif dan produktif, optimisme dan harga diri yang tinggi serta memiliki umur yang lebih panjang rata-rata diatas 85 tahun dibanding dengan yang tidak bahagia (Easton, 2006) .

Menurut Myers (dalam Duffy dan Atwater, 2005) kebahagiaan merujuk pada banyaknya pikiran positif tentang kehidupan yang dijalani seseorang. Sejalan

(7)

dengan pernyataan tersebut, Carr (2004) menyatakan bahwa kebahagiaan adalah keadaan psikologis yang positif yang terlihat dari tingginya tingkat kepuasan hidup, tingkat perasaan positif, dan rendahnya tingkat perasaan negatif dan di dalam diri manusia sendiri terdapat keinginan untuk hidup secara baik, dalam arti semua proses hidup manusia seperti sekolah, bekerja dan menikah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Myers (2005) mengemukakan 5 hal yang menjadi kriteria orang yang bahagia yaitu, (a) menghargai diri sendiri, (b) terbuka, (c) mampu mengendalikan diri, (d) optimis.

Namun demikian, kekecewaan, kesedihan dan kemarahan yang dirasakan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang autis dapat menjadi penghalang seorang ibu untuk merasakan kebahagiaan yang seharusnya dapat ia peroleh jika ia melahirkan anak yang normal (Mangunsong, 1998). Menurut Rusydi (2007) hal-hal yang dapat menghambat kebahagiaan ialah jika memiliki sikap hidup yang pesimis dan bagi orang yang memiliki sikap hidup yang penuh dengan keluhan juga tidak akan pernah mendapatkan ketenangan hidup

Oleh karena itu seorang Ibu yang memliki anak penyandang autis harus merubah cara berpikir negatif dan pesimis menjadi cara berpikir yang positif dan optimis, sehingga dengan tidak normalnya fisik anaknya tidak akan membuat orangtua takut untuk membaur dan berinteraksi dengan orang lain (Cleghorn, dalam Lestari, 2002). Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Adriana yang menyadari bahwa anaknya yang merupakan penderita autis merupakan seorang bidadari di rumah mereka :

”Betapa bodohnya kami selama ini tidak menyadari bahwa kami memiliki seorang bidadari di rumah... kami belajar bahwa kebahagiaan terbesar tidak

(8)

datang dari kesempurnaan, tetapi justru karena kami mempunyai anak yang tidak sempurna...”

(Komunikasi Personal, 7 Juni 2010)

Melalui penjelasan dan beberapa komunikasi personal yang dilakukan oleh peneliti dapat dilihat bahwa kebahagiaan yang dimiliki oleh seorang ibu yang memiliki anak autis memiliki konsep yang subjektif karena setiap ibu memiliki tolak ukur yang berbeda-beda yang bisa mendatangkan kebahagiaan untuknya (Seligman, 2005). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran kebahagiaan pada ibu yang memiliki anak penderita autis.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian ini.

1. Bagaimanakah gambaran kebahagiaan pada Ibu yang memiliki anak penyandang autisme ?

2. Apa saja sumber-sumber kebahagiaan pada Ibu yang memiliki anak penyandang autisme ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah melihat gambaran kebahagiaan pada Ibu yang memiliki anak penyandang autisme.

D. Manfaat Penelitian

(9)

a. Untuk memperkaya khasanah ilmu psikologi khususnya mengenai kebahagiaan pada orangtua yang memiliki anak penyandang autisme.

b. Menambah informasi sebagai bahan penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan topik gambaran kebahagiaan pada orangtua yang memiliki anak penyandang autisme.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi kepada para orangtua yang memiliki anak penyandang autisme, mengenai autisme sehingga orangtua lebih memahami apa yang seharusnya dilakukan agar tetap mendapatkan kebahagiaan meski mereka memiliki anak penyandang autisme.

b. Memberikan pandangan kepada profesional di bidang konseling dalam memahami orangtua yang memiliki anak autisme.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori tentang kebahagiaan dan autisme.

BAB III : Metode Penelitian

Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kualitatif, partisipan

(10)

penenlitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas (validitas penelitian), prosedur penelitian, dan metode analisa data.

BAB IV : Analisa data dan interpretasi berisi mengenai analisa data dan pembahasan hasil analisa data penelitian dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

BAB V : Kesimpulan, diskusi, dan saran menjelaskan mengenai kesimpulan dari apa yang diperoleh di lapangan, diskusi yang merupakan pembahasan, dan perbandingan hasil penelitian dengan teori-teori atau hasil penenlitian sebelumnya serta saran untuk penyempurnaan penelitian berikutnya.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kebahagiaan

Referensi

Dokumen terkait

1) Penggundulan hutan yang mengakibatkan debit dasar sungai (base flow) di musim kemarau menjadi menurun. 2) Meningkatnya erosi dan sedimentasi di sungai, sebagai akibat

(3) Akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c atau huruf d digunakan antara pemberi kerja atau peserta dengan Dana Pensiun yang menyelenggarakan

Peserta didik yang belajar pada tahun terakhir di satuan pendidikan, memiliki rapor lengkap penilaian hasil belajar sampai dengan semester I tahun terakhir, dan atau

Akan tetapi, pemberian ekstrak daun jambu biji dapat meningkatkan jumlah limfoblast, baik yang diberikan tanpa campuran (kelompok 4) ataupun yang diberikan dalam

Sebagai proses pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat (Moenir, 2000 : 17 ) yang dimaksud pelayanan

Masyarakat yang dicita-citakan adalah masyarakat yang bercirikan antara lain: (1) adanya stabilitas di segala bidang; (2) terciptanya interaksi personal yang intim yang

Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa skor persepsi media pembelajaran berbasis IT pada bagi guru Sekolah Dasar di wilayah Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi

Adanya perbedaan yang nyata dari pengaruh konsentrasi POC tersebut terhadap tinggi tanaman pada umur 21 hari setelah tanam dan pada saat panen serta jumlah daun