21
KEMAMPUAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL DALAM
MENGANALISIS PERUBAHAN LUASAN DAN KERAPATAN
MANGROVE
(THE ABILITY OF MULTITEMPORAL SATELLITE IMAGERY
TO ANALYZE MANGROVE DENSITY CHANGE)
Anang D. Purwanto1 dan Wawan K. Harsanugraha Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jl. Kalisari No.8, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia 1e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Seiring pesatnya perkembangan teknologi saat ini dibutuhkan informasi keberadaan ekosistem pesisir di mana salah satunya hutan mangrove secara cepat. Salah satu daerah kasus Sumatera Selatan yang memiliki potensi hutan mangrove yang cukup besar adalah Banyuasin dimana di wilayah tersebut terdapat Taman Nasional Sembilang yang cukup dikenal di di kalangan masyarakat pecinta mangrove (mangrovers). Kondisi mangrove di wilayah tersebut terus mengalami perubahan dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan citra satelit multitemporal dalam menganalisis perubahan luasan dan kerapatan hutan mangrove dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2014 di daerah pesisir Banyuasin, Sumatera Selatan. Data citra yang digunakan adalah citra Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) akuisisi tahun 2003 dan Landsat-8 Operational Land Imager (OLI) akuisisi tahun 2014. Identifikasi mangrove dari citra menggunakan komposit RGB NIR+SWIR+RED, pengelompokan obyek mangrove dan non mangrove menggunakan metode klasifikasi tak terbimbing, sedangkan perhitungan kerapatan mangrove menggunakan Normalize Difference Vegetation Index (NDVI). Hasil penelitian menunjukkan citra satelit multitemporal memiliki kemampuan untuk identifikasi, analisis perubahan luas dan kerapatan mangrove dengan menggunakan metode komposit Red Green Blue (RGB) dan NDVI dengan pembagian kerapatan mangrove menjadi 4 kelas kerapatan di antaranya jarang, sedang, lebat dan sangat lebat.
1 PENDAHULUAN
Hutan mangrove mempunyai peranan yang sangat penting baik dari sisi ekologi maupun sosial ekonomi masyarakat pesisir. Seiring dengan meningkatnya pembangunan ditambah dengan meningkatnya kebutuhan hidup di wilayah pesisir akan menyebabkan terjadinya tekanan terhadap sumber daya alam di wilayah pesisir. Fungsi fisik dari hutan mangrove di antaranya: sebagai pengendali naiknya batas antara permukaan air tanah dengan permukaan air laut ke arah daratan, sebagai kawasan penyangga, memacu
perluasan lahan, dan melindungi garis pantai agar terhindar dari erosi atau abrasi. Banyuasin adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Musi Banyuasin yang terbentuk berdasarkan UU No. 6 Tahun 2002 (Pemkab Banyuasin, 2018).
Menurut Cunha-Lignon et al., (2009) hutan mangrove adalah ekosistem yang sangat kompleks di mana terdapat lingkungan yang terbuka signifikan antara lahan (litosfer dan hidrosfer), estuari (fisiografi basin), dan
22
sistem lautan serta atmosfer (iklim). Di sisi lain Giri et al., 2008 berpendapat bahwa hutan mangrove membantu menstabilkan dan mengurangi dampak dari bencana alam seperti bencana tsunami dan badai.
Dalam upaya pengelolaan kelestarian hutan mangrove menurut hasil riset Sadelie et al., (2011) diperlukan adanya kebijakan implementasi yang diperlukan adalah adanya pengaturan pemanfaatan lahan yang ketat dalam hal konversi hutan serta memprioritaskan lahan-lahan marjinal untuk berbagai opsi pemanfaatan lahan.
Menurut Kusmana (1996), Sumatera Selatan memiliki luas hutan mangrove terbesar ketiga di Indonesia setelah Irian Jaya dan Kalimantan Timur dengan luas 363.430 ha pada tahun 1993. Mangrove tersebut salah satunya banyak dijumpai di pesisir timur Kabupaten Banyuasin. Menurut Kelompok Kerja Mangrove Tingkat Nasional (2013) ekosistem mangrove merupakan sumber daya lahan basah yang terletak di wilayah pesisir yang mengalami tekanan-tekanan pembangunan baik secara langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu, pengelolaannya harus merupakan bagian integral dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara keseluruhan.
Seiring dengan perubahan penggunaan lahan yang relatif cepat dalam suatu wilayah yang berkembang maka diperlukan penataan yang lebih baik seberapa besar kebutuhan mangrove untuk wilayah tersebut. Hal tersebut memerlukan informasi dasar tentang kondisi mangrove yang akurat. Hutan mangrove dapat diidentifikasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh di mana letak geografi hutan mangrove yang berada pada daerah peralihan darat dan laut memberikan efek perekaman yang khas jika dibandingkan obyek vegetasi darat lainnya (Faizal dan Amran, 2005). Jenis
vegetasi mangrove yang ada di lokasi ini di antaranya: Acrostichum aureum, Nypa fruticans, Rhizophora sp., Sonneratia alba dan Bruguiera gimnorrhiza. Di sisi lain, untuk objek non mangrove di antaranya: Casuarina equisetifolia, Pandanus tectorius, Hibiscus tiliaceus, Oncosperma tigillaria, Dyera costulata, Koompassia excelsa, Syzygium inophylla, area perkebunan, lahan darat, dan perairan.
Konsep analisis penginderaan jauh multitemporal adalah cara memperoleh dan menganalisis data penginderaan jauh dengan memanfaatkan waktu perekaman yang berbeda sehingga obyek yang tergambar dalam citra menggambarkan kondisi dan waktu perekaman yang berbeda-beda juga sesuai dengan waktu perekaman citra yang digunakan. Citra Landsat-7 dan Landsat-8 memiliki kesamaan dalam hal resolusi spasial yaitu 30 meter dan resolusi temporal yaitu 16 hari. Data input yang digunakan untuk mengidentifikasi mangrove berupa komposit RGB dan perhitungan NDVI adalah reflektansi objek yang dikaji berbasis spektrum radiasi merah dan infra merah-dekat. Kedua jenis input tersebut pada Landsat-7 terdapat pada
band3 dan band4 sedangkan pada
Landsat-8 pada band4 dan band5. Kisaran panjang gelombang spektrum merah dan inframerah-dekat pada kedua jenis data (Landsat-7 dan Landsat-8) tersebut tidak persis sama. Spektrum merah pada Landsat-7 adalah 0,631-0,692 µm sedangkan pada Landsat-8 adalah 0,636-0,673 µm. Sementara itu, spektrum inframerah-dekat pada Landsat-7 adalah 0,772-0,898 µm sedangkan pada Landsat-8 adalah 0,851-0,879 µm. merah maupun spektrum infra merah Hal ini menunjukan bahwa spektrum -dekat pada Landsat-8 lebih sempit dari pada Landsat-7.
Mengingat distribusi hutan mangrove yang cukup luas dan perubahan kondisi lingkungannya yang
23 cukup dinamis maka teknologi
penginderaan jauh dapat digunakan dalam inventarisasi sebaran, luas, dan kerapatan hutan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan data satelit multitemporal dalam menganalisis perubahan luasan dan kerapatan hutan mangrove dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2014 di daerah pesisir Banyuasin, Sumatera Selatan. Informasi atau gambaran terkini mengenai luasan mangrove di Pesisir Timur Sumatera Selatan terutama di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu dasar dalam evaluasi dan penyusunan strategi pengelolaan mangrove di kawasan ini.
2 METODOLOGI
2.1 Data dan Lokasi
Lokasi penelitian dilakukan di Pesisir Timur Banyuasin dengan batasan koordinat 1°42’20.5”-2°4’41.64” LS dan 104°22’20.07”-104°45’21.63” BT (Gambar 2-1). Perangkat lunak yang digunakan di antaranya: Er Mapper 6.4,
Arcview 3.3, Arc GIS 10.1, Global Mapper 11, dan Microsof Excell 2007.
Gambar 2-1: Lokasi penelitian
Data satelit yang digunakan adalah citra satelit Landsat-7 ETM+ Path/Row 124/061 akuisisi tanggal 30 Juni 2002 dan Landsat-8 Path/Row 124/061 akuisisi tanggal 25 Juli 2014 yang telah terkoreksi geometrik dan radiometrik dengan karekteristik Landsat-7 dan Landsat-8 dapat ditunjukan pada Tabel 2-1.
Tabel 2-1: PERBANDINGAN SPESIFIKASI BAND LANDSAT-7 DAN LANDSAT-8 (Sumber: (https: //landsat.usgs.gov/sites/default/files/documents/Landsat8DataUsersHandbook.pdf)
Landsat 7 ETM+ Landsat 8 OLI
Band Spesifikasi Band Spesifikasi
band1 Coastal/Aerosol, (0.433 – 0.453 µm), 30 m
band1 Blue, (0.450 – 0.515 µm), 30 m band2 Blue, (0.450 – 0.515 µm), 30 m
band2 Green, (0.525 – 0.605 µm), 30 m band3 Green, (0.525 – 0.600 µm), 30 m
band3 Red, (0.630 – 0.690 µm), 30 m band4 Red, (0.630 – 0.680 µm), 30 m
band4 Near-Infrared, (0.775 – 0.900 µm), 30 m band5 Near-Infrared, (0.845 – 0.885 µm), 30 m
band5 SWIR 1, (1.550 – 1.750 µm), 30 m band6 SWIR 1, (1.560 – 1.660 µm), 30 m
band7 SWIR 2, (2.090 – 2.350 µm), 30 m band7 SWIR 2, (2.100 – 2.300 µm), 30 m
band8 Pan, (0.520 – 0.900 µm), 15 m band8 Pan, (0.500 – 0.680 µm), 15 m
band9 Cirrus, (1.360 – 1.390 µm), 30 m
band6 LWIR, (10.00– 12.50 µm), 15 m band10 LWIR 1, (10.3 – 11.3 µm), 100 m
24
2.2 Metode
Dalam identifikasi hutan mangrove mengacu pada karakteristik citra satelit Landsat-7 dengan komposit RGB 453 dan Landsat-8 dengan komposit RGB 564 sebagaimana yang dilakukan oleh Purwanto et al., (2014). Secara garis besar diagram alir penelitian ini ditampilkan pada Gambar 2-2.
Menurut Green, et al (2000), Waas Harold, dkk. (2010) nilai kerapatan vegetasi hutan mangrove dihitung dengan menggunakan metode rasio band infra merah-dekat (Band NIR) dan band merah dengan formula berikut ini:
(2-1) NDVI adalah nilai Normalized
Difference Vegetation Index, NIR adalah band5 dan Red adalah band4 dari citra
Landsat-8 sedangkan pada citra Landsat-7 band NIR terdapat pada
band4 dan band Red terdapat pada band3.
Kerapatan tajuk hutan mangrove diperoleh dengan menggunakan hasil dari perhitungan NDVI, yang kemudian diklasifikasi menjadi 4 kelas, yaitu kerapatan jarang, sedang, lebat, dan sangat lebat. Untuk melihat perbedaan kerapatan mangrove dibuat rentang NDVI berdasarkan hasil pengolahan data dengan batasan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2-2.
Tabel 2-2: BATASAN INTERVAL NDVI
No. Nilai NDVI Kelas Kerapatan
1. 0,0001 – 0,700 Jarang 2. 0,701 – 0,729 Sedang 3. 0,730 – 0.758 Lebat 4. > 0,758 Sangat Lebat
25 Transek pada area piksel yang
termasuk ke dalam kelas mangrove dilakukan untuk melihat karakteristik dari masing-masing band yang digunakan. Hal tersebut juga digunakan untuk menganalisis nilai spektral dari band yang digunakan untuk mendeteksi sebaran vegetasi hutan mangrove. Pada penelitian ini, band yang digunakan hanya dibatasi pada band1 sampai
band6. Transek yang dibuat sebanyak 5
buah yang mewakili lokasi mangrove pada beberapa area yang berbeda, di antaranya di tepi pantai, muara, dan di tepi sungai.
3 HASIL PEMBAHASAN
3.1 Spektral Citra Satelit untuk Mangrove
Transek pada beberapa lokasi piksel citra dilakukan terutama pada area yang teridentifikasi sebagai objek mangrove untuk melihat karakteristik spektral dari objek mangrove, sementara itu untuk objek non mangrove dan perairan tidak dilakukan transek. Pada Gambar 3-1 ditampilkan hasil perhitungan transek pada beberapa lokasi mangrove di mana pantulan reflektan band NIR terlihat paling tinggi dibandingkan band yang lain. Sumbu X merupakan posisi piksel, sedangkan sumbu Y merupakan nilai piksel.
Berdasarkan grafik hasil transek pada 5 lokasi mangrove yang terdapat pada Gambar 3-1 terlihat bahwa band5 (NIR) memiliki tingkat sensitivitas paling tinggi dibanding band pada panjang gelombang tampak (band2, band3, dan
band4). Hal itu disebabkan pada
panjang gelombang NIR, nilai pantulan akan meningkat seiring dengan menurunnya kadar air pada daun sehingga pada saluran ini dapat digunakan untuk mendeteksi vegetasi yang sakit (Molidena dan As-syakur, 2012).
Gambar 3-1: Spektral mangrove di area transek mangrove
Gambar 3-1a dan Gambar 3-1b adalah grafik hasil transek lokasi mangrove berada di tepi pantai sedangkan Gambar 3-1c mewakili hasil transek mangrove pada muara sungai dan Gambar 3-1d serta Gambar 3-1e merupakan grafik hasil transek mangrove yang dilakukan di tepi sungai. Karakter nilai spektral untuk band1,
band2, dan band3 untuk ke-5 transek di
atas relatif stabil. Hal itu menunjukkan bahwa ketiga band tersebut memiliki kepekaan yang rendah jika digunakan untuk membedakan hutan mangrove sedangkan untuk nilai spektral band4 dan band6 cukup fluktuatif meskipun tidak sesignifikan seperti yang terdapat pada band5. Hal ini memberikan petunjuk bahwa band4, band5, dan
band6 pada citra satelit Landsat-8 dapat
digunakan untuk membedakan objek mangrove secara lebih jelas.
26
3.2 Distribusi Hutan Mangrove
Hasil analisis perubahan luas dan kerapatan sebaran vegetasi mangrove dan non mangrove di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3-2 di mana Gambar 3-2a merupakan distribusi hutan mangrove tahun 2002 berdasarkan hasil pengolahan citra Landsat 7 tanggal 30 Juni 2002 dan Gambar 3-2b merupakan distribusi hutan mangrove tahun 2014 berdasarkan hasil pengolahan citra Landsat 8 tanggal 25 Juli 2014. Pada kedua gambar tersebut disajikan tiga jenis objek, yaitu vegetasi mangrove, non mangrove dan objek perairan.
Total luas daerah yang menjadi obyek pengamatan adalah 179.772,84 ha yang dibatasi dengan koordinat 1°42’20.5” sampai 2°4’41.64” LS dan 104°22’20.07” sampai 104°45’21.63” BT.
Dalam periode tahun 2002 sampai 2014 masing-masing komponen dibagi menjadi mangrove, non mangrove, dan perairan masing-masing mengalami perubahan. Selama kurun waktu 12 tahun luas lahan yang bervegetasi mangrove berkurang sebanyak 3.318,30 ha. Selanjutnya, lahan non mangrove mengalami penambahan sebanyak 4.158,89 ha. Penambahan ini dapat terjadi karena vegetasi mangrove berkurang atau wilayah perairan terbuka menjadi tertutup rimbunnya tajuk vegetasi mangrove. Hal ini dibuktikan juga dengan adanya data yang menunjukkan berkurangnya wilayah perairan sebanyak 840,60 ha. Hasil dari perhitungan luasan mangrove tersebut disajikan pada Tabel 3-1.
(a) (b)
Gambar 3-2: Distribusi mangrove di wilayah pesisir timur Banyuasin, (a). tahun 2002; (b). tahun 2014
Tabel 3-1: TABEL LUAS MANGROVE, NON MANGROVE, DAN PERAIRAN
Uraian Tahun 2002 (Ha) Tahun 2014 (Ha) Perubahan (+/- Ha)
Mangrove 60.022,35 56.704,05 -3.318,30 Non mangrove 36.530,19 40.689,09 +4.158,90 Perairan 83.220,30 82.379,70 -840,60 Jumlah 179.772,84 179.772,84 0
27 Hasil pengolahan data satelit
Landsat-7 tanggal 30 Juni 2002 menjadi kerapatan vegetasi mangrove dengan menerapkan algoritma NDVI disajikan pada Gambar 3-4 dan dari satelit Landsat-8 akuisisi tanggal 25 Juli 2014 dapat dilihat pada Gambar 3-3 dan Gambar 3-4. Pada kedua gambar tersebut, kerapatan vegetasi mangrove dibagi menjadi empat kelas, yaitu: jarang, sedang, lebat, dan sangat lebat.
NDVI menunjukkan kondisi tingkat kehijauan vegetasi. Semakin tinggi tingkat kehijauannya maka semakin tinggi pula nilai NDVI yang diperoleh. Secara teoritis, nilai NDVI yang diperoleh akan berkisar antara -1 sampai +1. Nilai -1 menggambarkan kondisi yang paling rendah dilihat dari sudut pandang tingkat kehijauannya. Sementara itu, nilai +1 mencerminkan kondisi vegetasi yang tumbuh subur dan rapat dengan tingkat kehijauan yang maksimal.
Gambar 3-3: Kerapatan hutan mangrove tahun 2002
Pada implementasinya, nilai-nilai NDVI sering dianggap mencerminkan kondisi tingkat kerapatan tajuk vegetasi mangrove yang terdeteksi. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan tingkat kerapatan adalah tingkat kerapatan tajuk mangrove bukan tingkat kerapatan pohon mangrove.
Artinya, seberapa rapat daun-daun vegetasi mangrove menutupi permukaan bumi dan memantulkan spektrum hijau semaksimal mungkin. Tentu saja untuk kondisi tersebut memerlukan vegetasi mangrove yang tumbuh subur dan sehat.
Gambar 3-4: Kerapatan hutan mangrove tahun 2014
Hasil perhitungan nilai NDVI dari lokasi riset pada tahun 2002 dan 2014 serta perubahannya (penurunan/ kenaikan) dapat dilihat pada Tabel 3-2. Total luas lahan yang bervegetasi mangrove yang diamati pada tahun 2002 adalah 60.022,35 ha. Pengamatan pada tahun 2014 menunjukkan adanya perubahan yang semula lahan bervegetasi mangrove berubah menjadi lahan non mangrove, yaitu sebanyak 3.318,30 ha (5,53%). Hal ini menunjukkan bahwa dalam periode 12 tahun (tahun 2002 sampai 2014) di wilayah pesisir Banyuasin terjadi kerusakan vegetasi mangrove yang menyebabkan terjadi kepunahan mangrove sebanyak 3.318,30 ha.
Kondisi vegetasi mangrove yang mendominasi lokasi riset adalah vegetasi mangrove dengan kategori lebat, yaitu dengan luas 26.477,64 ha (tahun 2002) dan 20.424,87 ha (tahun 2014). Hal ini menunjukan pula adanya penurunan luas kawasan yang bervegetasi mangrove lebat sebanyak
28
Tabel 3-2: KERAPATAN MANGROVE TAHUN 2002 DAN 2014
Uraian Tahun 2002 Tahun 2014 Perubahan (Ha)
Luas (Ha) % Luas (Ha) % Penurunan Kenaikan
Jarang 4.018,32 6,69 6.012,00 10,02 - 1.993,68 Sedang 10.394,37 17,32 12.942,63 21,56 - 2.548,26 Lebat 26.477,64 44,11 20.424,87 34,03 6.052,77 - Sangat Lebat 19.132,02 31,87 17.324,55 28,86 1.807,47 - Non Mangrove 0 0 3.318,30 5,53 3.318,30 Jumlah 60.022,35 100,00 60.022,35 100,00 7.860,24 7.860,24
6.052,77 ha selama 12 tahun. Dalam periode yang sama, terjadi juga penurunan luas sebanyak 1.807,47 ha untuk kategori mangrove sangat lebat. Berbeda hal dengan mangrove jarang dan lebat yang mengalami penambahan luas masing-masing sebanyak 1.993,68 ha dan 2.548,26 ha.
Ekosistem mangrove merupakan sumber daya lahan basah yang terletak di wilayah pesisir yang mengalami tekanan-tekanan pembangunan baik secara langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu, pengelolaannya harus merupakan bagian integral dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan pengelolaan DAS secara keseluruhan (Kelompok Kerja Mangrove Tingkat Nasional, 2013).
5 PENUTUP
Citra satelit multitemporal memiliki kemampuan untuk identifikasi, analisis perubahan luas dan kerapatan mangrove dengan menggunakan metode komposit RGB dan NDVI. Pada wilayah penelitian Pesisir timur Banyuasin, Sumatera Selatan. Dalam kurun waktu 12 tahun terakhir (2002 – 2014) telah terjadi penurunan luas mangrove sebesar 3.318,30 Ha. Sementara itu, tingkat kerapatan lebat mendominasi distribusi hutan mangrove di wilayah ini kemudian berturut-turut diikuti kerapatan sangat lebat, kerapatan sedang, dan kerapatan jarang. Nilai indeks vegetasi (NDVI) mangrove di pesisir timur Banyuasin
Sumatera Selatan berkisar antara 0,001 - 0,758.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Wikanti Asriningrum dan Dr. Ety Parwati, dan Samsul Arifin, M.Si atas bimbingannya, serta Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN
Cunha-Lignon, M., Mahiques, M., Novelli, Y., Rodrigues, M., Klein, D., Goya, S., Menghini, R., Tolentino, C., Molero, G., Guebas, F., 2009. Analysis of Mangrove
Forest Succession, Using Sediment Cores: A Case Study in the Cananéia–Iguape Coastal System, São Paulo-Brazil. Journal of Oceanography, 57(3):161-174. 2009.
Faizal, A., dan Amran, M.A., 2005.
Model Transformasi Indeks Vegetasi yang Efektif untuk Prediksi Kerapatan Mangrove Rhizophora Mucronata. Prosiding
PIT MAPIN XIV ITS Surabaya, 14-15 September 2005.
Giri, C., Tieszen, L., Zhu, Z., Singh, A., 2008. Mangrove Forest Distributions
and Dynamics (1975–2005) of the Tsunami Affected Region of Asia.
Journal of Biogeography, 35: 519– 528.
29 Green, E.P., Mumbay, P.J., Edwards,
A.J., Clark, C.D., 2000. Remote
Sensing Hand Book for Tropical Coastal Management. Unesco Publishing.
Kelompok Kerja Mangrove Tingkat Nasional, 2013. Strategi Nasional
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Indonesia. Jakarta: KKMN.
Kusmana, Cecep, 1996. Nilai Ekologis
Ekosistem Hutan Mangrove. Media
Konservasi, 5 (1): 17-24. 1996. Bogor.
Molidena E., dan As-syakur, A.R., 2012.
Karakteristik Pola Spektral Vegetasi Hutan dan Tanaman Industri Berdasarkan Data Penginderaan Jauh. Prosiding PIT
MAPIN XIX. Makassar, 7 Juni 2012.
Pemkab Banyuasin, 2018. Sejarah
Singkat Kabupaten Banyuasin
.(http:// www. banyuasinkab. go.id, diakses 10 Januari 2019).
Purwanto, A.D., Asriningrum, W., Winarso, G., Parwati, E., 2014.
Analisis Sebaran dan Kerapatan Mangrove Menggunakan Citra Landsat 8 di Segara Anakan, Cilacap. Prosiding Sinas Inderaja,
LAPAN, Bogor, 21 April 2014. Sadelie, A., Kusumastanto, T.,
Kusmana, C., Hardjomidjojo, H., 2011. Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Berbasis Perdagangan Karbon. Jurnal Hutan dan Masyarakat, 6(1): 1-11. Waas, Harold J.D., dan Bisman
Nababan, 2010. Pemetaan dan
Analisis Index Vegetasi Mangrove di Pulau Saparua, Maluku Tengah.
E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2(1): 50-58, 2010.