Berita
DIRGANTARA
MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
VOL. 15 NO. 1 JUNI 2014 ISSN 1411-8920
UJI KECENDERUNGAN UNSUR-UNSUR IKLIM DI CEKUNGAN
BANDUNG DENGAN METODE MANN-KENDALL
Dadang Subarna
MENGENAL LAMA PENYINARAN MATAHARI SEBAGAI SALAH
SATU PARAMETER KLIMATOLOGI
Saipul Hamdi
RISET IONOSFER REGIONAL INDONESIA DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SISTEM KOMUNIKASI DAN NAVIGASI MODERN
Jiyo
POTENSI EMISI METANA KE ATMOSFER AKIBAT BANJIR
Lilik Slamet
PEMBUATAN TOLUENDIAMIN SEBAGAI SALAH SATU TAHAP
PEMBENTUK KOMPONEN TOLUENDIISOSIANAT
Luthfia Hajar Abdillah
DITERBITKAN OLEH:
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA
Berita
DIRGANTARA
MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
VOL. 15 NO. 1 JUNI 2014 ISSN 1411-8920
UJI KECENDERUNGAN UNSUR-UNSUR IKLIM DI CEKUNGAN
BANDUNG DENGAN METODE MANN-KENDALL ...
Dadang Subarna
1 – 6
MENGENAL LAMA PENYINARAN MATAHARI SEBAGAI SALAH
SATU PARAMETER KLIMATOLOGI ...
Saipul Hamdi
7 – 16
RISET IONOSFER REGIONAL INDONESIA DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SISTEM KOMUNIKASI DAN NAVIGASI MODERN ...
Jiyo
17 – 26
POTENSI EMISI METANA KE ATMOSFER AKIBAT BANJIR ...
Lilik Slamet
27 – 32
PEMBUATAN TOLUENDIAMIN SEBAGAI SALAH SATU TAHAP
PEMBENTUK KOMPONEN TOLUENDIISOSIANAT ...
Luthfia Hajar Abdillah
33 – 39
DITERBITKAN OLEH:
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA
Berita
DIRGANTARA
MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
SUSUNAN DEWAN PENYUNTING BERITA DIRGANTARA
Keputusan Kepala LAPAN Nomor 48 Tahun 2014 Tanggal 3 Maret 2014
Penyunting: Ketua
Dra. Euis Susilawati, M.Si Anggota
Ir. Widodo Slamet, MT Gathot Winarso, ST, M.Sc
Ir. Timbul Manik, M.Eng Dra. Sumaryati, MT
Ir. Ediwan, MT Drs. Agus Harno N., M.Sc
SUSUNAN SEKRETARIAT REDAKSI BERITA DIRGANTARA Keputusan Kepala Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat
Nomor 06 Tahun 2014 Tanggal 23 Mei 2014
Pemimpin Umum: Ir. Agus Hidayat, M.Sc
Pemimpin Redaksi: Ir. Jasyanto, MM Redaksi Pelaksana: Adhi Pratomo, S.Sos Zubaedi Mukhtar
M. Luthfi
Tata Letak Yudho Dewanto, ST
VOL.15 NO.1 JUNI 2014 ISSN 1411-8920
DARI MEJA PENYUNTING
Sidang pembaca yang terhormat,
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, Berita Dirgantara Vol. 15, No. 1, Juni 2014 dapat hadir kembali ke hadapan para pembaca sekalian.
Berita Dirgantara edisi kali ini memuat 5 (lima) artikel yaitu, “Uji Kecenderungan Unsur-Unsur Iklim di Cekungan Bandung dengan Metode
Mann-Kendall” ditulis oleh Dadang Subarna. Metode Mann-Kendall
digunakan untuk melakukan uji kecenderungan terhadap empat unsur iklim seperti curah hujan, temperatur, evaporasi dan banyaknya hari hujan selama periode 1998-2007. Hasil pengujian berdasarkan penolakan hipotesis null didapat bahwa risiko penolakan hipotesis null untuk curah hujan, temperatur, evaporasi dan banyaknya hari hujan masing-masing sebesar 25%, 2,8%, 0,01% dan 12,1%; “Mengenal Lama Penyinaran Matahari Sebagai Salah Satu Parameter Klimatologi” ditulis oleh Saipul Hamdi. Tulisan ini disusun sebagai upaya memperkenalkan besaran lama penyinaran matahari kepada masyarakat umum. Dari beberapa jenis alat ukur yang ada maka Campbell Stokes Recorder merupakan alat pengukur lama penyinaran matahari yang secara resmi digunakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Alat ini terdiri dari sebuah bola kaca berdiameter 10 cm yang berfungsi sebagai lensa cembung, dan kertas pias yang diletakkan di bagian fokus bola kaca; “Riset Ionosfer Regional Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Sistem Komunikasi dan Navigasi Modern” ditulis oleh Jiyo. Makalah ini membahas tentang konsep dasar riset ionosfer regional. Konsep penelitian dan pengembangan pengetahuan dinamika ionosfer regional dan pemanfaatannya telah disusun berdasarkan tugas dan fungsi Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi; “Potensi Emisi Metana ke Atmosfer Akibat Banjir” ditulis oleh Lilik Slamet. Tulisan ini akan diulas mengapa banjir berpotensi sebagai sumber emisi metan. Potensi emisi metana dari banjir dapat dilihat dari warna air genangan selama banjir yang berwarna sebagian besar adalah coklat tanah, luas areal yang terkena banjir, ketinggian genangan air, dan lama kawasan tergenang air selama beberapa hari; Artikel terakhir ditulis oleh Luthfia Hajar Abdillah dengan judul “Pembuatan Toluendiamin Sebagai Salah Satu Tahap Pembentuk Komponen Toluendiisosianat”. Toluendiisosianat (TDI) merupakan salah satu komponen dalam pembuatan propelan yang pembuatannya dilakukan dalam beberapa tahapan. Salah satunya adalah tahap pembuatan toluendiamin (TDA).
Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali
ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya.
Penyunting
Alamat Penerbit/Redaksi : LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun, Jakarta Timur 13220
Telepon : 4892802, ext. 144, 145 Fax : (012) 47882726 Email : publikasi@lapan.go.id
Milis : berita_dirgantara@mail.lapan.go.id
Berita Dirgantara merupakan terbitan ilmiah semi poluler di bidang kedirgantaraan.
Terbit setiap 6 bulan, memuat tulisan yang bersifat ilmiah semi populer mengenai hasil-hasil penelitian, tinjauan atau pandangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan bidang kegiatan kedirgantaraan dari para peneliti dan staf LAPAN maupun non LAPAN. Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan
1
UJI KECENDERUNGAN UNSUR-UNSUR IKLIM DI CEKUNGAN
BANDUNG DENGAN METODE
MANN-KENDALL
Dadang Subarna
Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains dan Teknologi Atmosfer, Lapan e-mail:dangsub@yahoo.com
RINGKASAN
Kecenderungan unsur-unsur iklim di daerah cekungan Bandung sangat penting untuk diteliti dalam rangka upaya mitigasi bencana hidroklimat dan perencanaan pengelolaan sumberdaya air di masa depan. Metode Mann-Kendall digunakan untuk melakukan uji kecenderungan terhadap empat unsur iklim seperti curah hujan, temperatur, evaporasi dan banyaknya hari hujan selama periode 1998-2007. Hasil pengujian berdasarkan penolakan hipotesis null didapat bahwa risiko penolakan hipotesis null untuk curah hujan, temperatur, evaporasi dan banyaknya hari hujan masing-masing sebesar 25%, 2,8%, 0,01% dan 12,1%. Dua nilai berada di bawah level signifikansi 5% untuk temperatur dan evaporasi yang menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan naik dengan tingkat keyakinan 95%. Untuk data curah hujan dan banyaknya hari hujan karena lebih besar dari level signifikansi 5% menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan turun pada kedua data tersebut dengan tingkat keyakinan masing-masing 75% dan 87,9%.
1 PENDAHULUAN
Cekungan Bandung (Bandung Basin) telah menjadi area obyek penelitian berbagai disiplin ilmu kebumian karena wilayahnya yang unik berupa cekungan
yang dikelilingi oleh pegunungan.
Disamping itu, dalam dasa warsa terakhir bencana hidroklimat sering terjadi di daerah tersebut seperti banjir, angin puting beliung, penurunan muka air tanah, tanah amblas dan longsor.
Pembangunan dan pertumbuhan
populasi yang tidak sesuai dengan tata
ruang yang direncanakan telah
mengganggu kesetimbangan dan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan. Eksploitasi air tanah yang tidak terkendali telah menyebabkan turunnya muka air tanah sehingga mengakibatkan penurunan permukaan tanah.
Variabilitas unsur-unsur iklim di daerah cekungan Bandung dipengaruhi oleh fenomena global sebagai konsekuensi dari adanya korelasi signifikan antara unsur-unsur iklim dengan beberapa fenomena global (Ruminta, 2006). Tjasjono et al. (2007) telah meneliti bahwa awan konvektif jenis cumulonimbus
dapat menyebabkan bencana banjir lokal terutama saat zona konvergensi intertropis berada di atas wilayah
Indonesia diperkuat dengan efek
orografik di daerah monsun seperti
cekungan Bandung yang dapat
meningkatkan jumlah curah hujan pada lereng dimana angin bergerak ke atas. Efek kumulatif antara pengaruh global dan lokal terhadap peningkatan kuantitas unsur-unsur iklim sangat signifikan yang jika diperparah dengan kondisi
lingkungan yang rusak, dapat
menyebabkan potensi bencana yang berisiko dan merugikan. Oleh karena itu, efek kumulatif ini penting untuk dikaji kapan dan dimana terjadi melalui analisis spasial dan temporal serta uji kecenderungannya. Penelitian-penelitian tersebut terkait erat dengan upaya memberikan masukan informasi bagi mitigasi bencana dan peningkatan pengelolaan sumberdaya air secara efektif di cekungan Bandung.
Bencana alam yang sering terjadi di daerah cekungan Bandung adalah bencana banjir, yang tidak hanya disebabkan oleh curah hujan tinggi di
2
atas normal saja, namun juga terdapat
faktor-faktor lain seperti bentuk
topografi daerah berupa cekungan yang dikelilingi gunung, tutupan lahan, dan jenis tekstur tanah. Faktor tersebut berpengaruh terhadap besarnya jumlah curah hujan yang terinfiltrasi dan jumlah curah hujan yang menjadi
limpasan permukaan. Perubahan
tutupan lahan yang terjadi di cekungan Bandung akan menyebabkan bertambah besarnya jumlah limpasan permukaan yang terjadi. Hal ini berakibat terhadap bertambah luasnya daerah genangan dan banjir serta terhadap ketinggian air yang terbentuk. Pengaruh perubahan tutupan lahan secara tidak langsung dapat dikaji melalui kuantitas dan
perubahan evaporasi. Perubahan
kuantitas evaporasi sangat erat dengan sifat-sifat dan karakteristik permukaan lahan atau daratan. Kajian tersebut perlu dilakukan mengingat pembangunan dan urbanisasi di daerah cekungan Bandung akan bertambah di masa depan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kecenderungan (trend) unsur-unsur iklim di daerah cekungan
Bandung seperti curah hujan,
temperatur, evaporasi dan banyaknya hari hujan dengan metode
Mann-Kendall. Metode ini relatif baru
dikembangkan untuk melengkapi
kelemahan yang dihadapi oleh metode regresi linear atau linear trend. Metode kecenderungan linear sangat kesulitan
bila digunakan untuk menguji
kecenderungan pada data yang random (acak) dan relatif pendek periode pengamatannya (Subarna, 2010).
2 DATA DAN METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Bandung yang terletak pada lokasi lintang 06° 55' LS dan bujur 107° 36' BT dengan elevasi 791 meter di atas permukaan laut.
Unsur-unsur iklim yang diteliti
adalah curah hujan, temperatur,
evaporasi dan banyaknya hari hujan
rata-rata bulanan selama periode
pengamatan antara 1998-2007. Data
tersebut dapat ditunjukkan pada
Gambar 2-1.
Gambar 2-1: Data unsur-unsur iklim meliputi curah hujan, temperatur, evaporasi, banyak hari hujan yang dianalisis kecenderungannya
0 100 200 300 400 500 600 0 20 40 60 80 100 120 Cu ra h H u ja n ( mm)
Indeks waktu (bulan) Curah Hujan 22 22,5 23 23,5 24 24,5 25 0 20 40 60 80 100 120 Tem pe rat ur (de g.C e lci us )
Indeks waktu (bulan)
Temperatur 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 0 20 40 60 80 100 120 E v a por a si (mm)
Indeks waktu (bulan)
Evaporasi 0 5 10 15 20 25 30 35 0 20 40 60 80 100 120 H ari H ujan (har i)
Indeks waktu (bulan)
3
Data curah hujan, evaporasi dan banyaknya hari hujan relatif sangat acak bila dibandingkan dengan data temperatur. Tampilan grafik awal, biasanya sudah dapat diidentifikasi dengan jelas mana data yang mempunyai kecenderungan dan mana yang tidak ada kecenderungan bila datanya regular dan deterministik.
Untuk menguji adanya
kecenderungan (trend) kenaikan atau
penurunan dari data tersebut
digunakan uji statistik non-parametrik Mann-Kendall (Onoz et al., 2003). Uji Mann-Kendall didasarkan pada S statistik yang diterangkan pada persamaan 2-1. Masing-masing pasangan nilai data yang diamati yi, yj (i>j) dari variabel acak
diperiksa untuk menemukan apakah yi
> yj atau yi < yj. Bila bilangan dari tipe
pasangan sebelumnya berupa P dan bilangan tipe pasangan sesudahnya M, maka S didefinisikan sebagai S = P – M. Untuk n>10 maka distribusi sampel dari S adalah:
Z mengikuti distribusi normal standar dimana
(2-1) Keterangan:
n = jumlah data
σ =standar deviasi
Di dalam statistik terdapat beberapa metode pengujian hipotesis, salah satunya adalah hipotesis null. Hipotesis null yang dilambangkan dengan H0
adalah suatu metode penarikan
kesimpulan dari dua proposisi
(pernyataan) pada makalah ini yaitu: H0 : Tidak terdapat kecenderungan
dalam data unsur iklim
H1: Terdapat kecenderungan dalam data
unsur iklim
Hipotesis null ditolak ketika nilai Z yang dihitung lebih besar dari Z/2 nilai
mutlak. Uji Mann-Kendall sering
digunakan untuk tes non-parametrik yang mempunyai kemampuan untuk mendeteksi kemiringan kecenderungan (trend), ukuran sampel, level signifikan, koefisien variasi dan tipe distribusi peluangnya. Kemampuan ini yang tidak dipunyai oleh uji statistik linear biasa.
3 PEMBAHASAN
Untuk memahami kondisi data curah hujan, temperatur, evaporasi dan banyaknya hari hujan di cekungan Bandung maka dilakukan pengolahan ukuran-ukuran statistiknya. Dengan melakukan pengolahan dengan metode statistik deskriptif maka didapat Tabel 3-1.
Tabel 3-1: STATISTIK DESKRIPTIF DATA UNSUR-UNSUR IKLIM DI CEKUNGAN BANDUNG
Variabel Observasi hilang Data Banyak data Min. Maks. Rerata Deviasi Std.
Curah Hujan 120 0 120 0 563,8 174,704 127,699
Temperatur 120 0 120 22,2 24,9 23,371 0,532
Evaporasi 120 0 120 2,1 5,7 3,407 0,674
Banyak hari
4
Dari Tabel 3-1 terlihat bahwa curah hujan mempuyai nilai standar deviasi terbesar yang menunjukkan bahwa curah hujan mempunyai variabilitas dan keragaman yang tinggi. Makin besar nilai standar deviasinya maka kurva probabilitasnya makin landai ke arah nilai ekstrim dan variansi dari nilai reratanya makin besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa data curah hujan mempunyai persistensi yang paling rendah dibandingkan dengan data banyaknya hari hujan, evaporasi dan
temperatur. Data temperatur dan
evaporasi mempunyai variabilitas
rendah dan relatif stabil sehingga tidak menunjukkan fluktuasi yang signifikan.
Algoritma uji Mann-Kendall adalah melakukan pengecekan setiap data dengan data sebelum dan sesudahnya seperti ditunjukkan dengan Persamaan 2-1. Masing-masing pasangan nilai data yang diamati yi, yj (i>j) dari variabel acak
diperiksa untuk menemukan apakah yi
> yj atau yi < yj. Hasil uji Mann-Kendall
untuk curah hujan ditunjukkan pada Tabel 3-2.
Tabel 3-2: HASIL UJI MANN-KENDALL DATA CURAH HUJAN
Parameter Uji Hasil
Uji kecenderungan Mann-Kendall/ Uji Dua arah (Two-tailed) Curah Hujan:
Kendall's tau -0,071
S -508,0
Var(S) 194362,667 p-value (Two-tailed) 0,250
alpha 0,05
ket: p-value adalah probabilitas yang didapat dari suatu uji statistik
Dimana Kendall’s tau adalah koefisien
korelasi ranking Kendall untuk
mengukur hubungan antara dua
besaran yang diukur.
Aproksimasi digunakan untuk
menghitung nilai p. Interpretasi
pengujian hipotesis null:
H0: Tidak terdapat kecenderungan
dalam data curah hujan
H1: Terdapat kecenderungan dalam data
curah hujan
Jika nilai p-value lebih besar dari level alpha signifikan sebesar 0,05 maka hipotesis null H0 tidak dapat ditolak
sehingga risiko penolakan hipotesis null H0 benar hanya 25%. Bila nilai p-value
lebih kecil dari level signifikansi alpha sebesar 0,05 maka tolak hipotesis null H0 dan terima hipotesis alternatif H1
tidak dapat dilakukan. Konsekuensi penolakan hipotesis null H0 dibenarkan
bila lebih rendah dari level signifikansi alpha 5%. Pada Tabel 3-2 dapat dilihat beberapa parameter uji kecenderungan Mann-Kendall. Terdapat tiga nilai S statistik yang penting dalam uji tersebut (Lihat Persamaan 2-1). Nilai S statistik
bernilai negatif besar berarti
kecenderungan turun dan nilai S statistik bernilai positif besar berarti kecenderungan naik, sedangkan nol berarti tidak ada kecenderungan. Uji
kecenderungan Mann-Kendall data
curah hujan terdapat nilai S statistik negatif besar yang berarti bahwa dengan keyakinan sebesar 25% terdapat
kecenderungan turun dan penolakan H0
tidak dapat dilakukan karena nilai p-value sebesar 0,25 lebih besar dari level signifikansi alpha sebesar 0,05.
Tabel 3-3: HASIL UJI MANN-KENDALL DATA TEMPERATUR
Parameter Uji Hasil
Uji kecenderungan Mann-Kendall/ Uji Dua arah (Two-tailed) Temperatur
Kendall's tau 0,140
S 969,000
Var(S) 193283,000
p-value (Two-tailed) 0,028
5
Hasil pengujian Mann-Kendall untuk data temperatur dapat dilihat pada
Tabel 3-3. Hipotesis null untuk
pengujian kecenderungan pada data temperatur adalah:
H0: Tidak terdapat kecenderungan
dalam data temperatur
H1: Terdapat kecenderungan dalam data
temperatur
Nilai p-value untuk data temperatur sebesar 0,028 lebih kecil dari level signifikansi alpha sebesar 0,05 sehingga H0 layak ditolak karena risiko penolakan
hipotesis null H0 seandainya benar
hanya 2,77% dan harus menerima hipotesis altenatif H1. S statistik bernilai
positif menunjukkan bahwa pada data temperatur terdapat kecenderungan naik dengan tingkat keyakinan 95%.
Tabel 3-4: HASIL UJI MANN-KENDALL DATA EVAPORASI
Parameter Uji Hasil
Uji kecenderungan Mann-Kendall/ Uji Dua arah (Two-tailed) Evaporasi Kendall's tau 0,340
S 2368,000
Var(S) 193461,333 p-value (Two-tailed) < 0,0001
alpha 0,05
Untuk data evaporasi hasil pengujian Mann-Kendall dapat dilihat pada Tabel 3-4. Hipotesis null untuk pengujian kecenderungan pada data evaporasi adalah:
H0: Tidak terdapat kecenderungan
dalam data evaporasi
H1: Terdapat kecenderungan dalam data
evaporasi
Nilai p-value lebih kecil dari level signifikansi alpha sebesar 0,05 maka tolak hipotesis null H0 dan terima
hipotesis alternatif H1. Konsekuensi
penolakan hipotesis null H0 dibenarkan
bila lebih rendah dari 0,01%. Nilai p-value untuk data evaporasi < 0,0001 lebih kecil level signifikansi alpha sebesar 0,05 sehingga H0 layak ditolak
karena risiko penolakan hipotesis null H0 seandainya benar hanya 0,01% dan
harus menerima hipotesis altenatif H1. S
statistik bernilai positif menunjukkan
bahwa pada data evaporasi terdapat kecenderungan naik dengan dengan tingkat keyakinan 95%. Hasil ini
menunjukkan bahwa peningkatan
evaporasi sangat terkait erat dengan perubahan penggunaan lahan dan tutupan lahan atau daratan misalnya dari yang tadinya vegetasi menjadi
jalan-jalan, gedung-gedung dan
bangunan lainnya yang mempunyai koefisien infiltrasi kecil.
Tabel 3-5: HASIL UJI MANN-KENDALL DATA BANYAK HARI HUJAN
Parameter Uji Hasil
Uji kecenderungan Mann-Kendall/Uji Dua arah (Two-tailed) Banyaknya Hari Hujan
Kendall's tau -0,097
S -684,000
Var(S) 193904,000 p-value (Two-tailed) 0,121
alpha 0,05
Hasil pengujian Mann-Kendall untuk data banyaknya hari hujan ditunjukkan pada Tabel 3-5. Hipotesis null untuk pengujian kecenderungan pada data banyaknya hari hujan adalah:
H0: Tidak terdapat kecenderungan
dalam data banyaknya hari hujan H1: Terdapat kecenderungan dalam data
banyaknya hari hujan
Terlihat bahwa nilai p-value lebih besar dari level alpa signifikan sebesar 0,05 yaitu 0,121 maka hipotesis null H0 tidak
dapat ditolak sehingga risiko penolakan hipotesis null H0 benar hanya 12,1%.
Bila nilai p-value lebih kecil dari level signifikansi alpha sebesar 0,05 maka tolak hipotesis null H0 dan terima
hipotesis alternatif H1 tidak dapat
dilakukan. Konsekuensi penolakan
hipotesis null H0 dibenarkan bila lebih
rendah dari level signifikansi alpha 5%.
4 KESIMPULAN
Pengujian dengan metode Mann-Kendall telah dilakukan pada data unsur-unsur iklim yang meliputi data curah hujan, temperatur, evaporasi dan banyaknya hari hujan di cekungan Bandung pada periode pengamatan
6
1998-2007 dan mendapatkan beberapa hasil yang dapat disimpulkan:
- Data curah hujan mempunyai
persistensi yang paling rendah dan
variabilitas tinggi dibandingkan
dengan data temperatur, evaporasi dan data banyaknya hari hujan yang ditunjukkan dengan nilai standar deviasi yang paling tinggi. Hasil Uji
Mann_Kendall menunjukkan
kecenderungan turun.
- Hasil pengujian berdasarkan penolakan hipotesis null didapat bahwa risiko penolakan hipotesis null untuk curah hujan, temperatur, evaporasi dan banyaknya hari hujan masing-masing sebesar 25%, 2,8%, 0,01% dan 12,1%. - Nilai p-value untuk data temperatur
dan evaporasi berada di bawah level signifikansi 5% dan nilai S statistik positif yang menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan naik dengan tingkat keyakinan 95%.
- Data curah hujan dan data banyaknya hari hujan mempunyai nilai p-value yang lebih besar dari level signifikansi 5% dan nilai S statistik negatif yang
menunjukkan bahwa terdapat
kecenderungan turun pada kedua data tersebut dengan tingkat keyakinan masing-masing 75% dan 87,9%
DAFTAR RUJUKAN
Onoz, B., and M. Bayazit, 2003. The Power of Statistical Tests for Trend Detection, J. Eng. Env. Sci. Vol. 27, 247-251, TUBITAK Turkish.
Ruminta, 2006. Persistensi dan
Variabilitas Hidrometeorologi
Daerah Aliran Sungai Citarum. Prosiding Seminar Tahunan
Himpunan Ahli Geofisika
Indonesia, pp 581-594.
Subarna, D., 2010. Variabilitas Suhu Permukaan Bulanan di Atas Kepulauan Indonesia Selama Satu Abad Terakhir. Prosiding Seminar Sains Atmosfer 1, Lembaga
Penerbangan dan Antariksa
Nasional.
Tjasjono, B. HK; I. Juaeni; dan S.W.B. Harijono, 2007. Proses Meteorologis Bencana Banjir di Indonesia, Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 8 No. 2.
7
MENGENAL LAMA PENYINARAN MATAHARI SEBAGAI SALAH SATU
PARAMETER KLIMATOLOGI
Saipul Hamdi
Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lapan e-mail: saipulh@yahoo.com
RINGKASAN
Lama penyinaran matahari merupakan salah satu dari beberapa unsur klimatologi, dan didefinisikan sebagai kekuatan matahari yang melebihi 120 W/m2.
Tulisan ini disusun sebagai upaya memperkenalkan besaran lama penyinaran matahari kepada masyarakat umum. Dari beberapa jenis alat ukur yang ada maka Campbell Stokes Recorder merupakan alat pengukur lama penyinaran matahari yang secara resmi digunakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Alat ini terdiri dari sebuah bola kaca berdiameter 10 cm yang berfungsi sebagai lensa cembung, dan kertas pias yang diletakkan di bagian fokus bola kaca. Kekuatan insolasi yang melebihi 120 W/m2 akan meninggalkan jejak terbakar pada kertas pias yang
panjang jejaknya berkaitan dengan lama penyinaran matahari. Pengukuran yang dilakukan oleh Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer di Bandung pada bulan Nopember dan Desember tahun 2013 menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pola penyinaran matahari pada kedua bulan tersebut dan dapat dikaitkan dengan berlimpahnya jumlah uap air di udara. Bulan Desember yang ditandai dengan banyaknya curah hujan memiliki lama penyinaran dominan 0-2 jam/hari sebanyak 12 hari, dan sisanya merupakan lama penyinaran matahari 2-8 jam/hari, sedangkan bulan Nopember memiliki distribusi lama penyinaran matahari yang relatif lebih merata.
1 PENDAHULUAN
Matahari merupakan sumber kehidupan di bumi ini, memancarkan energinya dalam bentuk radiasi yang memiliki rentang panjang gelombang yang sangat lebar. Ilmuwan dunia
kemudian bersepakat untuk
mengelompokkannya menjadi beberapa pita gelombang, di antaranya adalah pita gelombang ultraviolet, infra merah, dan cahaya tampak. Cahaya tampak (λ = 340 - 7600 nm) tersusun atas banyak pita warna yang berbeda-beda dari merah hingga ke ungu. Gradasi warna dari merah ke ungu dipengaruhi oleh perbedaan panjang gelombangnya. Radiasi matahari pada tiga pita gelombang tersebut dikenal sebagai radiasi global matahari, dan merupakan radiasi yang langsung datang ke
permukaan bumi (direct) maupun
radiasi yang berasal dari hamburan atmosfer (diffuse).
Radiasi matahari yang tiba di permukaan bumi per satuan luas dan waktu dikenal sebagai insolasi (berasal dari insolation = incoming solar radiation), atau kadang-kadang disebut sebagai radiasi global, yaitu radiasi langsung dari matahari dan radiasi yang tidak langsung (dari langit) yang disebabkan oleh hamburan dari partikel atmosfer (Tjasyono, 2004). Insolasi memainkan
peranan penting dalam menjaga
kelangsungan kehidupan di muka bumi ini dan sangat bergantung pada tempat dan waktu. Tempat merepresentasikan perbedaan lintang serta keadaan atmosfer
terutama awan. Insolasi biasanya
dinyatakan dalam satuan Watt/m2-detik
yang mengandung makna intensitas atau kekuatan. Dalam bentuk yang lain, insolasi juga diukur dalam satuan jam/hari, yaitu lamanya matahari menyinari bumi dalam periode satu hari. Periode satu hari disebut juga
8
sebagai panjang hari, yaitu lamanya
matahari berada pada horizon.
Perubahan panjang hari tidak begitu besar pada daerah tropis yang dekat dengan ekuator. Semakin jauh letak tempat dari garis ekuator maka fluktuasi lama penyinaran akan semakin besar (Lakitan, 1994). Berdasarkan definisi yang dikeluarkan oleh WMO bahwa
lama penyinaran matahari (LPM)
didefinisikan sebagai kekuatan insolasi yang melebihi batas 120 W/m2 (WMO,
2008).
Klimatologi didefinisikan sebagai
ilmu pengetahuan yang mencari
gambaran dan keterangan-keterangan dari sifat-sifat iklim dan hubungannya dengan aktivitas manusia, atau ilmu pengetahuan yang mempelajari macam-macam iklim di muka bumi serta faktor-faktor penentunya (Tjasyono, 2004). Unsur-unsur iklim antara lain suhu udara, kelembapan udara, curah hujan, tekanan udara, angin, dan lama penyinaran matahari. Unsur-unsur ini berbeda dari waktu ke waktu serta dari tempat ke tempat lain disebabkan oleh adanya unsur pengendali-pengendali
iklim (Supriyanto, 2010). Tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai upaya memperkenalkan besaran lama
penyinaran matahari kepada
masyarakat umum, dilengkapi dengan
gambaran alat ukurnya, manfaat
pengukuran, dan ditutup dengan contoh
hasil kegiatan pengukuran lama
penyinaran matahari yang dilakukan oleh Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN.
2 MENGENAL PERALATAN
Pengukuran LPM telah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu mengguna-kan alat ukur yang berbeda-beda. Beberapa macam alat ukur LPM yang dikenal adalah:
Marvin recorder (1895)
Foster recorder (1953)
Jordan recorder (1885)
Campbell Stokes recorder (1879)
Di antara keempat recorder tersebut maka Campbell Stokes Recorder dan Jordan Recorder merupakan alat ukur LPM yang paling banyak dipakai di Indonesia (Sutiknjo, 2005). Dan di antara kedua tipe tersebut maka tipe Campbell Stokes Recorder adalah yang digunakan secara resmi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG, 2006) dalam kegiatan
pengukurannya sehari-hari. Campbell
Stokes Recorder pada mulanya
dimodifikasi dan dikembangkan oleh Sir G.G. Stokes pada tahun 1879 dengan cara mengubah metode penyisipan kartu khusus di bawah mangkuknya (Coulson, 1975) yang sekarang diganti dengan lempengan logam pipih, dan mulai dipasarkan pada tahun 1890.
Campbell Stokes Recorder
memiliki 2 komponen utama, yaitu bola kaca berdiameter 10 cm yang berfungsi sebagai lensa cembung, dan kertas pias. Bola kaca akan mengumpulkan cahaya matahari pada titik fokusnya, dan pada titik fokusnya terdapat sebuah lempengan baja dengan ukuran lebar kira-kira 10 cm tempat meletakkan kertas pias. Jika sinar matahari yang terkumpulkan tersebut memiliki kekuatan lebih dari
120 W/m2 maka akan membakar kertas
pias sehingga meninggalkan jejak-jejak terbakar seperti ditunjukkan pada
Gambar 2-1. Jejak-jejak terbakar
berkaitan dengan lama waktu penyinaran
matahari yaitu semakin panjang
jejaknya maka semakin lama juga penyinaran insolasi. Jejak terbakar pada kertas pias dapat berupa lubang panjang/ pendek, terputus-putus, atau bintik terbakar.
Kertas pias terdiri dari 3 bentuk, yaitu lengkung pendek, lurus, dan
lengkung panjang (Gambar 2-2).
Penggunaan ketiga bentuk kertas pias
tersebut mengikuti letak lokasi
pengukuran terhadap lintang dan waktu (musim) yaitu seperti ditunjukkan pada Tabel 2-1. Kota Bandung misalnya, terletak pada koordinat 7⁰ Lintang Selatan sehingga mengunakan kertas
9
pias dengan metode pemasangan
mengikuti belahan bumi selatan.
Lengkung panjang digunakan pada tanggal 12 April hingga 2 September, dan lengkung pendek digunakan pada tanggal 15 Oktober hingga 28/29 Februari. Di luar periode tersebut maka digunakan kertas pias lurus. Jumlah satu set kertas pias adalah 366 buah bersesuaian dengan jumlah hari dalam satu tahun. Kertas pias diganti setiap
satu hari sekali dan dilakukan
pengukuran secara manual panjang jejak terbakar tiap-tiap lembaran kertas. Di dalam kertas pias telah ada ukuran skala yang berkaitan dengan lama penyinaran matahari. 1 skala setara
dengan 1 jam lama penyinaran
matahari.
Gambar 2-1: Campbell Stokes Recorder (atas) dan kertas pias (bawah). Diunduh dari: http:// www. bom. gov. au/ climate/cdo/about/definitionsoth er.shtml pada tanggal 7 Mei 2014.
Tabel 2-1: PENGGUNAAN KERTAS PIAS
Macam kertas pias Belahan bumi utara Belahan bumi selatan
Lengkung panjang 15 Oktober – 28/29 Februari 12 April – 2 September
Lurus 1 Maret – 11 April
3 September – 14 Oktober
1 Maret – 11 April 3 September – 14 Oktober
Lengkung pendek 12 April – 2 September 15 Oktober – 28/29
Februari
10
3 MANFAAT PENGUKURAN
Lama Penyinaran Matahari (LPM) merupakan salah satu indikator yang penting di dalam klimatologi. Sinar matahari akan menggerakkan reaksi-reaksi fotokimia di atmosfer (misalnya reaksi pembentukan ozon), menghasilkan uap air yang sangat dibutuhkan untuk terjadinya hujan, menjaga agar suhu atmosfer tetap hangat, dan lain sebagainya. Penelitian yang dilakukan di Semarang pada tahun 2005-2007
menyimpulkan bahwa peningkatan
persentasi lama penyinaran matahari dan penyusutan intensitas radiasi matahari disebabkan oleh efek rumah kaca yang diakibatkan oleh semakin
banyaknya gas-gas polutan, serta
semakin berkurangnya ruang hijau yang
berganti dengan pemukiman dan
industri (Yuliatmaja, 2009). Gas-gas polutan dan debu yang mengisi atmosfer
dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan kekeruhan atmosfer
(turbiditas) yang akan menahan laju
sinar matahari untuk mencapai
permukaan bumi melalui proses
penghamburan cahaya dan penyerapan.
Berkurangnya lama penyinaran
matahari harian, ataupun pengurangan jumlah penyinaran dalam satu tahun dapat mengindikasikan peningkatan jumlah polutan di udara.
Manfaat cahaya matahari adalah sebagai energi yang terbarukan untuk mengatasi krisis energi khususnya minyak bumi. Potensi energi matahari di Indonesia adalah sangat besar yaitu sekitar 4,8 KWh/m2 atau setara dengan
112.000 GWp, namun yang sudah dimanfaatkan baru sekitar 10 MWp. Roadmap yang disusun oleh pemerintah menyebutkan bahwa hingga tahun 2025 kapasitas pembangkit listrik tenaga matahari adalah sebesar 0,87 GW atau
sekitar 50 MWp/tahun. Untuk
mewujudkan hal tersebut maka perlu dilakukan pengkajian terkait dengan lama penyinaran matahari di tempat-tempat yang dianggap strategis. Penelitian akan menghasilkan kesimpulan tentang
potensi energi matahari yang dikaitkan dengan lamanya matahari menyinari bumi dalam satuan jam/hari atau jam/tahun sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan listrik secara maksimal. Untuk memanfaatkan potensi energi matahari maka digunakan 2 macam teknologi, yaitu teknologi energi
surya termal dan energi surya
fotovoltaik. Energi surya termal pada umumnya digunakan untuk memasak (kompor surya), mengeringkan hasil
pertanian (perkebunan, perikanan,
kehutanan, tanaman pangan) dan memanaskan air.
Energi surya fotovoltaik digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik, pompa air, televisi, telekomunikasi, dan lemari pendingin di daerah yang belum terjangkau oleh aliran listrik PLN. Foton sinar matahari akan diubah menjadi arus listrik oleh sel-sel fotovoltaik. Arus listrik kemudian diarahkan menuju controller dan dipergunakan untuk mengisi arus baterai sebagai tenaga cadangan ketika energi matahari kurang mencukupi. Selain itu controller juga berfungsi agar tegangan yang dihasilkan menjadi stabil pada tegangan kerja yang diharuskan. Energi yang dihasilkan dapat langsung dipergunakan untuk menyalakan peralatan listrik yang membutuhkan arus searah atau DC. Untuk mengoperasikan peralatan listrik yang membutuhkan arus bolak-balik (DC) maka digunakan converter. Alur
pemanfaatan energi fotovoltaik
ditunjukkan pada Gambar 3-1.
Lama penyinaran matahari akan berpengaruh terhadap aktivitas makhluk hidup, yaitu pada manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Penyinaran yang lebih lama akan memberi kesempatan yang lebih besar pada tumbuhan untuk
memanfaatkannya melalui proses
fotosintesis. Penelitian efek dari lama
penyinaran matahari terhadap
pertumbuhan rumput laut melalui metode akit apung menyebutkan bahwa lama penyinaran matahari berpengaruh terhadap pertumbuhannya (Triajie, et.al.
11 Gambar 3-1: Alur pemanfaatan energi fotovoltaik untuk kebutuhan sehari-hari (sumber http://
www.ozkanenerji.com/galeri/2525/fotovoltaik.html diunduh tanggal 7 Mei 2014)
2012). Dalam penelitiannya terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Jakarta Utara tahun 1999-2003 dinyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara hari hujan dengan insiden DBD (Sungono, 2004). Berbeda
halnya dengan penelitian yang
dilakukan di Bogor yang menyimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara lama penyinaran matahari dengan insiden DBD (Silaban, 2005). Selanjutnya, Penelitian yang dilakukan oleh Depkes menyimpulkan bahwa intensitas atau lama pencahayaan matahari sangat berpengaruh dengan suhu dan kelembapan yang ada di sekitarnya (Sitorus, 2003).
4 KEGIATAN DI LAPAN
Pengukuran Lama Penyinaran Matahari (LPM) dilakukan oleh Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer yang
sebelumnya bernama Pusat
Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, melalui Bidang Komposisi Atmosfer (d.h. Bidang Pengkajian Ozon dan Polusi
Udara) pada beberapa stasiun
pengamatan, yaitu di Bandung (sejak
2013), loka Pengamatan Atmosfer
Sumedang (sejak 2006), Balai
Pengamatan Dirgantara Watukosek
(sejak 2013), dan direncanakan untuk
melakukan pengamatan di Balai
Pengamatan Dirgantara Pontianak
(2014), serta Universitas Sam Ratulangi Manado (2015). Pengamatan LPM yang dilakukan di LPA Sumedang mengguna-kan Campbell Stokes Recorder, sedangmengguna-kan pengamatan LPM di Bandung dan Watukosek menggunakan peralatan tipe terbaru yang tidak menggunakan kertas pias, demikian juga dengan pengamatan yang akan dilakukan di BPD Pontianak dan Unsrat Manado.
Pengukuran LPM yang dilakukan oleh Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
(PSTA) lebih dititikberatkan pada
hubungannya dengan iklim, cuaca, dan
polusi udara. Lama penyinaran
matahari seringkali dikaitkan dengan musim. Musim penghujan didominasi oleh pendeknya penyinaran matahari harian sedangkan musim kemarau ditandai dengan banyaknya jumlah hari cerah yang berarti lama penyinaran harian yang lebih panjang. Perubahan pola lama penyinaran matahari bisa berdampak terhadap pembentukan uap
air dalam rangkaian proses
12
Ketersediaan air (baik kualitas maupun kuantitas) menjadi hal yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi dan sosial, termasuk produksi pangan, penyediaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, sektor industri dan juga untuk produksi listrik tenaga air. Pada
stasiun-stasiun meteorologi yang
dikelola oleh BMKG, lama penyinaran matahari hanya dicatat antara pukul 08:00 hingga 16:00 (Rob Van der Weert, 1994) sedangkan pencatatan yang dilakukan oleh Lapan di Bandung dan Watukosek adalah secara otomatis selama 24 jam. Secara rata-rata, persentase penyinaran matahari antara pukul 08:00 dan 16:00 adalah lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penyinaran matahari harian. Dari pengolahan data lama penyinaran matahari tiap jam di stasiun Jakarta, Bogor dan Gunung Pangrango, terlihat bahwa rata-rata persentase penyinaran matahari harian akan lebih rendah bila dibandingkan dengan periode antara jam 08:00 dan 16:00. Ketidakseragaman penyebaran sinar matahari pada jam-jam siang hari berhubungan dengan
formasi awan cumulus yang
menunjukkan keragaman harian yang tegas. Di daratan, pembentukan awan maksimum ini secara normal terjadi setelah tengah hari, sedangkan di laut maksimum pembentukannya sebelum matahari terbit (Schmidt, 1950).
Gambar 4-1: Penyinaran matahari sebagai fungsi dari ketinggian tempat (Schmidt, 1950)
Schmidt (1950) mengelompokkan stasiun pemantauan sinar matahari di Pulau Jawa sesuai dengan kelas ketinggian tempat dan menghasilkan hubungan yang jelas antara persentase penyinaran matahari dengan ketinggian tempat (Gambar 4-1). Dari Gambar 4-1 terlihat bahwa sinar matahari rata-rata
menurun tajam sesuai dengan
ketinggian tempat. Walaupun di dataran tinggi penurunan ini sedikit dinetralisir
oleh kenaikan intensitas radiasi
matahari namun sampai ketinggian kurang lebih 2000 meter penerimaan radiasi matahari total adalah menurun, dan di atas ketinggian tersebut adalah tetap.
Gambar 4-2 adalah hasil
pengukuran lama penyinaran matahari di Bandung pada bulan Desember 2013. Jumlah hari pengamatan adalah 31 hari namun pada tanggal 22 Desember terjadi kesalahan fungsi pada alat yang
digunakan sehingga data yang
dihasilkan menjadi tidak benar (di dalam gambar ditandai dengan “no data”). Lama penyinaran pada bulan Desember sangat bervariatif dari 0 jam hingga mencapai 9,7 jam dan dapat dikaitkan dengan keadaan cuaca sehari-hari. Pada tanggal 8, 14, 20, 30 dan 31 penyinaran matahari memiliki durasi yang sangat singkat yaitu kurang dari 1 jam/hari sehingga bisa dipastikan bahwa pada tanggal-tanggal tersebut Kota Bandung ditutupi oleh awan sepanjang hari. Hal yang berbeda terjadi pada tanggal 26 s.d. 29 Desember, yaitu lama penyinaran matahari memiliki durasi 7,2 – 9,4 jam/hari atau lebih dari separuh hari tersinari oleh matahari. Namun demikian, pada hari-hari selain tanggal tersebut, lama penyinaran matahari sangat singkat kurang dari 6 jam dan dapat diasosiasikan dengan cuaca mendung yang menyelimuti kota Bandung.
13 Gambar 4-2: Lama penyinaran matahari di Bandung pada bulan Desember tahun 2013
Statistika lama penyinaran
matahari pada bulan Nopember dan Desember 2013 ditunjukkan pada Gambar 4-3. Data pada bulan-bulan tersebut dikelompokkan dalam interval setiap 2 jam sehingga diperoleh 6 kelompok data. Secara umum terlihat
pada statistika bulan Desember
mengikuti distribusi normal yaitu data
sebagian besar terpusatkan pada
kelompok data yang lebih kecil. Alat pengukur lama penyinaran matahari Bandung baru terpasang pada awal bulan Nopember, dan memberikan data yang benar mulai tanggal 7 Nopember
sehingga tidak ada data lama
penyinaran matahari yang tercatat sebelum tanggal 7 Nopember. Hingga tanggal 17 di bulan yang sama lama penyinaran matahari relatif singkat dan kurang dari 5 jam/hari sedangkan tanggal 18-31 Nopember lama penyinaran matahari adalah relatif panjang yaitu lebih dari 5 jam/hari. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan
penyinaran matahari pada bulan
Desember 2013 yang pada umumnya
didominasi oleh lama penyinaran
matahari kurang dari 5 jam/hari. Hal ini mengindikasikan bahwa bulan Desember didominasi oleh cuaca yang
mendung dan tertutup oleh awan, bahkan terjadi hujan sepanjang hari.
Lama penyinaran yang pendek
mengindikasikan bahwa sinar matahari terhalang oleh awan yang tebal sehingga intensitasnya kurang dari 120 watt/m2.
Analisis yang lebih dalam dapat dilakukan dengan menggunakan data curah hujan yang tersedia, meskipun
lama penyinaran matahari dapat
menjadi alat untuk praduga awal terjadinya hujan.
Penyinaran matahari pada bulan Desember 2013 didominasi oleh lama penyinaran matahari 0-2 jam/hari yaitu sebanyak 12 hari pengamatan sedangkan lama penyinaran matahari terpanjang adalah 8,1-10 jam/hari yaitu sebanyak 2 hari. Lama penyinaran matahari yang pendek selain disebabkan oleh awan, dapat juga disebabkan oleh polusi udara yang pekat, misalnya asap hasil
pembakaran hutan, dan
polutan-polutan lain yang berasal dari aktivitas manusia. Karena itu, perubahan pola
lama penyinaran matahari dapat
menjadi indikasi awal perubahan
komposisi atmosfer yang terkait dengan jumlah uap air di udara maupun senyawa-senyawa polutan. 0 2 4 6 8 10 12 1 6 11 16 21 26 31 J a m t a n g g a l
14
Gambar 4-3: Statistika lama penyinaran matahari di Bandung pada Bulan Nopember dan Desember 2013
5 PENUTUP
Lama penyinaran matahari
merupakan salah satu unsur klimatologi yang perlu dipantau secara berkelanjutan karena dapat mengindikasikan terjadinya perubahan iklim. Pengukuran lama penyinaran matahari dapat dilakukan menggunakan beberapa jenis recorder, dan Campbell Stokes Recorder merupakan alat yang paling umum digunakan di Indonesia, termasuk di Lapan. Alat yang bekerja dengan cara memfokuskan sinar matahari ini merupakan alat yang sangat mudah pengoperasiannya dan hanya memerlukan pengawasan secara harian oleh seorang operator yang telah
dilatih. Hasil pengukuran lama
penyinaran matahari dapat dikaitkan dengan banyak unsur-unsur cuaca dan iklim lainnya, termasuk polusi udara dan kekeruhan atmosfer, sehingga pengukuran lama penyinaran matahari menjadi penting. Jumlah uap air yang melimpah di udara dalam bentuk awan secara nyata telah memperpendek lama penyinaran matahari seperti pada hasil pengukuran bulan Desember 2013 di Bandung. Dominansi yang pendek dapat
menjadi praduga awal mengenai
penutupan awan bahkan kejadian hujan yang terjadi di bulan tersebut.
Dari pengamatan yang dilakukan di Bandung pada bulan Nopember dan Desember terlihat bahwa terjadi variasi bulanan yang tidak sama. Secara teori, bulan Nopember dikelompokkan ke dalam bulan peralihan (SON – September Oktober Nopember) dan bulan Desember
dikelompokkan ke dalam bulan basah (DJF - Desember Januari Februari). Bulan Desember yang ditandai dengan banyaknya curah hujan memiliki lama penyinaran dominan 0-2 jam/hari
sebanyak 12 hari, dan sisanya
merupakan lama penyinaran matahari
2-8 jam/hari, sedangkan bulan
Nopember memiliki distribusi lama penyinaran matahari yang relatif lebih merata. Sebagai institusi yang memiliki kompetensi akan perubahan iklim maka Lapan telah melakukan pengukuran lama penyinaran matahari di tiap-tiap stasiun pengukurannya.
DAFTAR RUJUKAN
BMKG, 2006. Peraturan Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika nomor SK.32/TL.202/KB/BMG-2006. Coulson, L. K., 1975. Solar and Terrestrial
Radiation, Academic Press, USA. Lakitan, Benyamin, 1994. Dasar-dasar
Klimatologi, PT Rajawali Grafindo, Jakarta.
Rob van der Weert, 1994. Hiydrological
Conditions in Indonesia,
Diterjemahkan oleh Hendarti,
SMK Grafika Desa Putera,
Jakarta.
Schmidt, F.H., 1950. On the Distribution of Duration of Sunshine in Java, Djaw. Meteor, dan Geophys. Verhandelingen No. 40.
Silaban, D., 2005. Hubungan Iklim dengan Insiden Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor Tahun
2004-2005, Skripsi, Fakultas 12 9 3 3 2 0 5 6 4 4 3 2 0-2 2,1-4 4,1-6 6,1-8 8,1-10 10,1-12
Statistika Lama Penyinaran Matahari
Des Nop
15
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Sitorus, J., 2003. Hubungan Iklim dengan Kasus Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kotamadya Jakarta Timur tahun 1998-2002,
Tesis, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia. Sungono, V., 2004. Hubungan Iklim
dengan ABJ dan Insiden Demam Berdarah Dengue di Kotamadya Jakarta Utara tahun 1999-2003,
Skripsi, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia. Supriyanto, 2010. Analisis parameter
Klimatologi dalam Tinjauan
Konsep Fisika Dasar di Kota Samarinda, Fisika Mulawarman, Vol 6, No. 2.
Sutiknjo, Tutut D., 2005. Petunjuk Praktikum Klimatologi, Fakultas Pertanian Universitas Kediri, Kediri.
Tjasyono, B., 2004. Klimatologi, ITB. Bandung.
Triajie, H., Yudhita, P., dan Mahfud Efendy, 2012. Lama Pencahayaan Matahari terhadap Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma Cottonii dengan Metode Rakit Apung, Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura. WMO, 2008. Guide to Meteorological
Instruments and Methods of Observation, WMO-No.8 seventh edition.
Yuliatmaja, M.R., 2009. Kajian Lama
Penyinaran Matahari dan
Intensitas Radiasi Matahari
terhadap Pergerakan Semu
Matahari Saat Solstice di
Semarang (Studi Kasus Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Semarang pada Bulan Juni dan September 2005 sampai dengan 2007), Under graduate
thesis, Universitas Negeri
17
RISET IONOSFER REGIONAL INDONESIA DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SISTEM KOMUNIKASI DAN NAVIGASI MODERN
Jiyo
Peneliti Fisika Magnetosferik dan Ionosferik, Pusat Sains Antariksa, Lapan e-mail: jiyolpnbdg@yahoo.com
RINGKASAN
Makalah ini membahas tentang konsep dasar riset ionosfer regional. Konsep penelitian dan pengembangan pengetahuan dinamika ionosfer regional dan pemanfaatannya telah disusun berdasarkan tugas dan fungsi Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi. Tiga tahapan dalam rangkaian penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan pengetahuan dinamika ionosfer adalah pembangunan bank data ionosfer regional, penelitian dan pengembangan dinamika ionosfer regional, dan pengembangan kemasan hasil riset untuk pemanfaatan. Pengembangan bank data ionosfer regional dimaksudkan sebagai dasar penopang yang kuat bagi kegiatan penelitian dan pengembangan. Kegiatan penelitian dan pengembangan diarahkan untuk memahami dinamika ionosfer regional dan pengaruhnya terhadap komunikasi dan navigasi. Pengemasan hasil riset dimaksudkan agar informasi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pengguna.
1 PENDAHULUAN
Lapisan ionosfer adalah bagian dari atmosfer Bumi yang menempati ruang dari ketinggian sekitar 50 km hingga sekitar 1000 km. Lapisan ini terbentuk dari elektron, ion, partikel bermuatan lainnya. Kemudian, lapisan ionosfer regional dimaksudkan sebagai lapisan ionosfer yang menempati ruang di atas wilayah teritori Indonesia yaitu dari lintang ~6°LU hingga ~11°LS dan dari bujur ~95°BT hingga ~141°BT.
Secara historis lapisan ionosfer ditemukan pertama kali pada awal abad 20 yang lalu oleh Marconi (Hunsucker dan Hargreaves, 2003) ketika berhasil melakukan percobaan komunikasi radio lintas Atlantik, yaitu dari Cornwall ke Newfoundland. Sejak saat itu, lapisan ionosfer telah memberikan manfaat kepada kehidupan manusia di Bumi sebagai prasarana komunikasi radio jarak jauh.
Saat ini kehidupan manusia di bumi semakin bergantung kepada teknologi ruang angkasa (space base technology). Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang luar biasa,
teknologi telekomunikasi juga
berkembang dengan sangat cepat.
Telekomunikasi sebagai sarana
penyampai informasi dituntut mampu
menyalurkan informasi dengan
kapasitas besar, kecepatan tinggi, dan menjangkau wilayah yang luas (global). Satelit adalah jawaban atas kebutuhan akan hal tersebut.
Satelit yang ditempatkan di ruang angkasa, baik langsung maupun tidak
langsung, akan dipengaruhi oleh
perubahan kondisi lingkungan antariksa yang terjadi. Ketika terjadi badai matahari, kemungkinan fisik satelit akan terpengaruh oleh partikel bermuatan yang dilepaskan oleh matahari dan sampai di lingkungan orbit satelit. Selain itu, gelombang radio yang digunakan sebagai sarana pengalir informasi juga akan terkena dampak badai tersebut. Ketika terjadi badai matahari lapisan magnetosfer dan ionosfer akan mengalami anomali yang akan mengganggu penjalaran gelombang radio tersebut.
Pemahaman tentang dinamika dan perubahan lapisan ionosfer akan
18
sangat berguna untuk mengantisipasi dampak badai matahari terhadap sistem komunikasi, baik terestrial maupun komunikasi satelit. Selain itu, sistem navigasi dan penentuan posisi saat ini juga bertumpu pada teknologi ruang angkasa. Penentuan arah dan posisi di dunia penerbangan, palayaran, dan perjalanan jarak jauh lainnya, telah menggunakan teknologi navigasi modern. Pemahaman tentang lapisan ionosfer– termasuk ionosfer regional Indonesia– juga diperlukan untuk mengoptimalkan penggunaan sistem navigasi modern.
Meskipun telah dilakukan sejak tahun 1980-an, konsep dasar riset ionosfer di Indonesia belum dinyatakan dengan jelas sehingga arah penelitian masih kurang terintegrasi untuk satu tujuan yang jelas. Hal ini dikuatkan dari minimnya model ionosfer yang berhasil dibangun selama tiga dasa warsa terakhir. Saat ini baru satu model
ionosfer regional yang dihasilkan
(Muslim, 2008) dan satu metode penentuan indeks ionosfer regional
(Suhartini, 2012) dalam proses
pembuatan. Model yang sudah ada ini
masih perlu diperbaiki ketelitian
maupun fiturnya untuk menjadi suatu model yang memenuhi kebutuhan untuk pelayanan kepada pengguna. Oleh karenanya, makalah ini mengusulkan suatu konsep tentang arah riset ionosfer yang lebih jelas dan fokus. Tujuannya menyediakan dasar pijakan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan pengetahuan ionosfer regional dan arahnya sesuai kebutuhan yang terus berkembang.
2 DASAR KEBIJAKAN
Secara nasional konsep dasar tentang riset cuaca antariksa tercermin dari visi dan misi Pusat Sains Antariksa yang termaktub dalam Peraturan Kepala (Perka) Lapan No. 2 tahun 2011. Visi
dan misi tersebut merupakan bagian dari visi dan misi Lapan secara keseluruhan. Visi Pusat Sains Antariksa adalah menjadi pusat keunggulan sains
antariksa. Sedangkan misi yang
diembannya adalah membangun
kompetensi dan kapasitas dalam
bidang-bidang: matahari dan antariksa, geomagnet dan magnet antariksa,
ionosfer dan telekomunikasi, dan
teknologi pengamatan antariksa.
Dalam rangka melaksanakan misi tersebut, maka Pusat Sains Antariksa melaksanakan tugas penelitian dan pengembangan sains antariksa dan pemanfaatannya (pasal 90 Perka Lapan No.2/2011). Adapun fungsi yang harus dijalankan adalah penelitian, pengem-bangan, dan pemanfaatan (i) bidang matahari, orbit satelit, dan lingkungan antariksa, (ii) bidang geomagnet, seismo-elektromagnet, dan magnet antariksa, (iii) dinamika ionosfer dan telekomuni-kasi, (iv) instrumentasi pengamatan dan basis data, (v) pembinaan teknis, dan (vi) kerjasama teknis (pasal 91 Perka LAPAN No. 2/2011). Tugas (i) hingga (iv) dilaksanakan oleh empat Bidang dibawah struktur Pusat Sains Antariksa, sedang-kan tugas (v) dan (vi) dilaksanasedang-kan oleh
Pusat Sains Antariksa dengan
penyiapan bahannya oleh bidang terkait (Tabel 2-1).
Mengacu kepada pembagian
tugas dan fungsi untuk masing-masing bidang di Pusat Sains Antariksa, Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi mengemban fungsi penelitian dan pengembangan
pengetahuan bidang ionosfer dan
telekomunikasi, serta pemanfaatannya, dan penyiapan bahan pelaksanaan kerja sama teknis (Pasal 95, Perka Lapan No. 2, 2011). Fungsi inilah yang akan
digunakan sebagai pijakan dalam
menyusun konsep penelitian dan
pengembangan tentang dinamika
ionosfer regional dan pengaruhnya terhadap komunikasi dan navigasi.
19 Tabel 2-1: TUGAS DAN FUNGSI PUSAT SAINS ANTARIKSA DAN BIDANG PELAKSANANYA (Yatini,
dkk, 2013)
Tugas Fungsi Bidang Pelaksana
Melaksanakan penelitian dan pengembangan sains antariksa dan pemanfaatannya
a. Penelitian dan pengembangan, bidang matahari, orbit satelit, dan lingkungan antariksa, serta
pemanfaatannya.
Bidang Matahari dan Antariksa.
b. Penelitian dan pengembangan, bidang geomagnet,
seismo-elektromagnet, magnet antariksa, serta pemanfaatannya.
Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa
c. Penelitian dan pengembangan pengetahuan bidang ionosfer dan telekomunikasi, serta
pemanfaatannya.
Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
d. Penelitian dan pengembangan
instrumentasi pengamatan dan basis data antariksa, serta
pemanfaatannya.
Bidang Teknologi Pengamatan
e. Pembinaan teknis di bidang sains antariksa.
Pusat Sains Antariksa f. Pelaksanaan kerjasama teknis di
bidang sains antariksa.
Pusat Sains Antariksa
3 KONSEP RISET IONOSFER
REGIONAL
Berdasarkan fungsi Bidang
Ionosfer dan Telekomunikasi yang telah diuraikan pada bab 2, maka terdapat tiga substansi penting yaitu penelitian,
pengembangan, dan pemanfaatan.
Kegiatan penelitian akan menghasilkan pemahaman tentang dinamika lapisan ionosfer regional, baik dinamika reguler maupun tak-reguler atau anomali. Pemahaman yang dihasilkan kemudian dikembangkan menjadi model yang dapat menghasilkan informasi yang dapat dimanfaatkan oleh operator
komunikasi dan navigasi untuk
mengoptimalkan kinerjanya.
Kebutuhan dasar suatu kegiatan penelitian adalah data. Data menjadi bahan dalam melakukan analisis yang merupakan inti kegiatan penelitian. Ketersediaan data yang digunakan dalam penelitian menjadi hal mendasar
yang sangat penting. Data menjadi salah satu kunci keberhasilan suatu penelitian. Oleh karena itu, penyiapan, pengolahan, dan interpretasi data sehingga siap digunakan adalah hal penting yang harus ditangani secara khusus.
Dari analisis data akan dihasilkan kesimpulan yang menjadi pemahaman tentang dinamika ionosfer regional. Pemahaman yang diperoleh dapat dikembangkan dan dikemas dalam bentuk model. Agar kegiatan ini lebih fokus, maka kegiatan pengembangan perlu dibagi menjadi dua berdasarkan dampak dari dinamika ionosfer yaitu terhadap komunikasi dan navigasi. Riset ionosfer dan pengaruhnya terhadap komunikasi mempunyai sifat yang agak berbeda dengan riset ionosfer untuk navigasi. Gambar 3-1(a) menunjukkan konsep riset ionosfer untuk komunikasi
dan Gambar 3-1(b) menunjukkan
20
(a) (b)
Gambar 3-1: Konsep riset dinamika ionosfer regional dan pemanfaatan hasilnya untuk komunikasi (a) dan navigasi (b)
Gambar 3-1 menunjukkan alur proses pengamatan dan pengolahan data, kegiatan riset, hingga informasi
yang sesuai dengan kebutuhan
pengguna komunikasi dan navigasi.
Bagan ini menunjukkan bahwa
kebutuhan awal dari proses litbang dan pemanfaatan ini adalah data, baik yang sudah diolah (baku) maupun data real
time dari perangkat pengamatan.
Kemudian kegiatan penelitian tentang variasi dan iregularitas lapisan ionosfer yang hasilnya digunakan sebagai dasar pembuatan model ionosfer regional.
Model yang dihasilkan kemudian
digunakan sebagai metode untuk
membuat prediksi kondisi ionosfer, baik prediksi jangka pendek (harian) maupun jangka panjang (bulanan). Model yang diperoleh dari iregularitas ionosfer
digunakan untuk memprakirakan
gangguan yang akan terjadi. Informasi hasil prediksi perlu dikemas sesuai dengan kebutuhan pengguna dan disampaikan melalui beberapa media. Data real time digunakan untuk mengevaluasi kondisi ionosfer saat ini untuk mendukung komunikasi dan navigasi.
4 PEMBAHASAN
Konsep litbang dinamika ionosfer regional dan pemanfaatannya mencakup 3 kegiatan pokok yaitu pengembangan bank data ionosfer regional, penelitian
dan pengembangan dinamika ionosfer untuk komunikasi dan navigasi.
4.1 Pengembangan Bank Data
Ionosfer Regional
Data merupakan kebutuhan
dasar untuk kegiatan riset dan
pengembangan. Tanpa data mustahil suatu kegiatan riset dapat dilakukan. Oleh karenanya ketersediaan data yang siap analisis merupakan pondasi untuk suatu kegiatan riset. Bank data akan menjadi penopang yang kuat bagi berlasungnya kegiatan penelitian dan pengembangan.
Secara umum, data ionosfer yang digunakan dalam penelitian untuk komunikasi agak berbeda dengan data
ionosfer yang digunakan dalam
penelitian untuk navigasi. Parameter ionosfer yang digunakan untuk litbang ionosfer untuk komunikasi adalah frekuensi minimum dan frekuensi kritis lapisan ionosfer, ketinggian lapisan, dan kejadian khusus yang menunjukkan anomali lapisan ini. Frekuensi minimum lapisan ionosfer menunjukkan frekuensi
atau kerapatan elektron terendah
lapisan ionosfer. Frekuensi kritis adalah frekuensi atau kerapatan elektron tertinggi dari masing-masing lapisan ionosfer (lapisan E, lapisan F1, dan lapisan F2). Teknik pengamatannya yang umum adalah menggunakan radar pada band HF yang disebut ionosonda.
PENGAMATAN P E N G G U N A Regulator frekuensi Operator komrad Operator komrad Metode prediksi j. pendek Informasi u evaluasi kanal, DF + Regulator frekuensi Operator komrad model Data ionosfer (S4)
terolah (baku) Data ionosfer (S4) real time
Informasi u evaluasi (now casting) Operator satelit Informasi peringatan dini Metode prediksi gangguan model Iregularitas ionosfer B A NK DA T A R ISE T I ON OSF E R UN T UK K OM UN IK A SI P E M A N -F A A T A N Informasi peringatan dini Metode prediksi gangguan model Iregularitas ionosfer Data ionosfer (f, h, N)
terolah (baku) Data ionosfer (f, h, N) real time
Informasi (LUF, OWF, MUF, BUF) Metode prediksi j. panjang model Variasi ionosfer + PENGAMATAN Variasi TEC model Metode prediksi jangka panjang, koreksi Informasi koreksi posisi P E N G G U N A
Operator navigasi (penerbangan, pelayaran), survei geodesi, dll Anomali TEC model Metode prediksi anomali Informasi peringatan dini Informasi peringatan dini +
Data ionosfer (TEC) terolah (baku)
Data ionosfer (TEC) real time
model Prediksi gangguan Data ionosfer (S4) terolah (baku) Data ionosfer (S4) real time B A NK DA T A R ISE T I ONOSF E R UNT UK NA V IGA SI Variasi Sintilasi Informasi u evaluasi (now casting) + P E M A N -F A A T A N
21
Pengamatan lapisan ionosfer
menggunakan ionosonda menghasilkan data mentah yang disebut ionogram (Gambar 4-1) yang menyatakan grafik ketinggian semu (sumbu tegak) sebagai fungsi dari frekuensi lapisan (sumbu mendatar). Ionogram ini harus dibaca dan diinterpretasikan menjadi
angka-angka ketinggian dan frekuensi,
menggunakan metode khusus yang disebut scaling (Pigott dan Rawer, 1978). Kegiatan scaling ini dilakukan oleh tim khusus yang terdiri dari teknisi yang perlu dilatih terlebih dahulu. Data hasil scaling perlu diverifikasi kebenarannya oleh tim khusus yang telah memahami teknik scaling yang benar. Dengan 2 tahapan ini, data parameter yang dihasilkan menjadi valid dan siap digunakan untuk penelitian.
Selanjutnya, data yang digunakan dalam penelitian ionosfer untuk navigasi adalah Total Electron Content (TEC) dan
sintilasi. Teknik pengamatannya
menggunakan sinyal Global Positioning System (GPS) atau Global Navigation Satellite System (GNSS) yang diterima oleh peralatan khusus yaitu GPS Ionospheric Scintillation and TEC Monitor (GISTM) yang menghasilkan kedua jenis data tersebut dalam format biner. Agar
menjadi angka yang bisa diolah dan dianalisis, maka data biner tersebut harus dikonversi menjadi data dengan format teks atau American Standard Code for Information Interchange (ASCII)
menggunakan software khusus.
Kegiatan konversi ini dilakukan oleh teknisi yang juga memerlukan pelatihan khusus. Seperti halnya jenis pertama, data ini juga perlu diverifikasi dengan cara menyeleksi data berdasarkan visibilitas satelit GPS/GNSS. Data yang berasal dari sinyal satelit yang tidak visibel akan dipisahkan dan tidak akan digunakan untuk penelitian.
Karena alasan yang diuraikan di atas, maka perlu kegiatan tersendiri yang khusus melaksanakan interpretasi, konversi, dan verifikasi data ionosfer yang volumenya cukup besar. Kegiatan tersebut adalah pengembangan Bank Data Ionosfer Regional (BDIR). Kegiatan ini tidak hanya menyediakan data yang siap analisis, tetapi juga menyiapkan kemasan yang mempermudah bagi para peneliti untuk mendapatkan data. Bentuk kemasannya adalah Buletin Data Ionosfer Regional (Gambar 4-2(a)) dan sistem basis datanya (Gambar 4-2(b)) disertai software aplikasi untuk memudahkan aksesnya.
(a) (b)
Gambar 4-1: Ionogram hasil pengamatan ionosonda CADI di Tomohon pada tanggal 2 Oktober 2013: (a) ionogram pukul 13:00 WITA dan (b) ionogram pukul 20:00 WITA (Jiyo, 2014)
22
(a) (b)
Gambar 4-2: Buletin Data Ionosfer Regional (a) dan Bank Data Ionosfer Regional (b) 4.2 Penelitian Dinamika Ionosfer untuk
Komunikasi
Seperti terlihat pada Gambar 3-1(a), rangkaian kegiatan riset ionosfer untuk komunikasi meliputi riset tentang variasi dan iregularitas lapisan ionosfer, pengembangan model ionosfer regional, pengembangan metode prediksi, dan pengembangan kemasan informasi yang akan diberikan kepada pengguna. Output dari masing-masing kegiatan saling terkait satu dengan yang lainnya, sehingga tidak bisa dilakukan secara terpisah.
Penelitian variasi lapisan ionosfer akan menghasilkan pemahaman tentang sifat reguler dari lapisan tersebut. Pengetahuan tentang variasi temporal dan spasial akan menjadi dasar pengembangan model ionosfer regional. Sebagai informasi masukan (input) umumnya digunakan indeks aktivitas matahari seperti bilangan sunspot (R) atau fluks matahari pada panjang gelombang 10,7 cm (F10.7). Berdasarkan
model ionosfer yang diperoleh,
kemudian dapat dikembangkan metode prediksi jangka panjang (bulanan) parameter ionosfer dan informasi yang dapat dimanfaatkan langsung oleh pengguna. Informasi dimaksud berupa
frekuensi minimum (Lowest Usable
Frequency, LUF), frekuensi kerja
optimum (Optimum Working Frequency,
OWF), dan frekuensi maksimum
(Maximum Usable Frequency, MUF). Iregularitas atau ketidakteraturan
lapisan ionosfer adalah kondisi
menyimpang terhadap sifat reguler atau variasinya. Pemahaman tentang hal ini juga dapat dirumuskan dalam bentuk model dengan masukan indeks aktivitas matahari dan/atau geomagnet. Dengan model iregularitas lapisan ionosfer kemudian dapat dibangun suatu metode prediksi yang menghasilkan informasi tentang kemungkinan gangguan terhadap sistem komunikasi. Bentuk kemasan
informasinya berupa kemungkinan
terputusnya komunikasi (blackout),
menurunnya kualitas komunikasi radio akibat tingginya derau (noise), dan tidak stabilnya sinyal (fading). Informasi tersebut ditambah dengan data real-time
dari stasiun pengamatan dapat
digunakan sebagai informasi peringatan dini (early warning) untuk langkah
adaptasi dan mengevaluasi kanal
frekuensi komunikasi radio (Jiyo et al., 2011; Jiyo, 2012).
Iregularitas lapisan ionosfer juga dapat diamati melalui sinyal satelit