• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi analitik komparatif prospektif.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 3 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi analitik komparatif prospektif."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian intervensi analitik komparatif prospektif.

3.2. Waktu dan Tempat 24

Penelitian ini dilakukan di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. M. Ildrem Medan dalam kurun waktu Oktober 2015 - Januari 2016.

3.3. Populasi Penelitian dan Sampel Penelitian

Populasi target penelitian ini adalah pasien-pasien dengan agitasi pada psikosis, sedangkan populasi terjangkau adalah pasien-pasien yang datang ke UGD RS Jiwa Prof. dr. M. Ildrem Medan dalam kurun waktu Oktober 2015 – Januari 2016. Sampel penelitian didapatkan dengan cara

non-probability random sampling tipe consecutive sampling. 3.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Kriteria inklusi:

1. Individu dengan agitasi pada psikosis akut 2. Usia kurang dari 40 tahun

3. Tidak minum obat antipsikotika atau obat apapun dalam kurun waktu 1 minggu sebelumnya.

4. Tidak menderita malnutrisi, dipastikan dengan nilai indeks masa tubuh (IMT) di atas 18,49.

5. Untuk kelompok yang merokok, merupakan perokok aktif dengan jumlah rokok yang dikonsumsi melebihi 20 batang setiap harinya. 6. Bersedia untuk ikut dalam penelitian

Kriteria ekslusi:

1. Tidak memiliki caregiver atau individu adalah sebatangkara.

2. Memiliki gangguan medis umum misalnya riwayat gangguan hati, ginjal dan termasuk kehamilan.

(2)

3.5. Besar Sampel

Besar sampel minimal yang dibutuhkan untuk mendeteksi perbedaan rerata penurunan skor OASS diantara dua kelompok dengan tingkat kepercayaan 95% dan batas kemaknaan dua sisi 0,05, digunakan rumus25,26 n berikut: 𝑛1 = 𝑛2 = 2�𝑍∝+ 𝑍𝛽� 2 𝑆𝑔2 (𝑋1 − 𝑋2)2 1 n

: Besar sampel kelompok yang merokok

2 Z

: Besar sampel kelompok yang tidak merokok

α Z

: 1,96

β

Sg : Standar deviasi gabungan : 1,28

X1-X2

Standar deviasi gabungan (Sg) adalah standar deviasi gabungan dari kelompok yang dibandingkan. Standar deviasi gabungan ini diperoleh dengan rumus sebagai berikut.

: Perbedaan rerata diantara dua kelompok yang dianggap bermakna S 26 (Sg)2 =[S12x(n1− 1) + S22x(n2− 1)] 𝑛1+ 𝑛2− 2 1 S

: standar deviasi kelompok yang merokok dari penelitian sebelumnya.

2

n

: standar deviasi kelompok yang tidak merokok dari penelitian sebelumnya

1

n

: Besar sampel kelompok yang merokok dari penelitian sebelumnya

2

Penelitian ini merupakan penelitian yang sampai sejauh pencaharian literatur yang dilakukan merupakan penelitian pertama yang meneliti perbedaan farmakodinamika obat haloperidol antara individu yang merokok dengan yang tidak merokok. Oleh sebab itu, untuk menghitung besar standar deviasi gabungan, dilakukan penelitian pendahuluan

: Besar sampel kelompok yang tidak merokok dari penelitian sebelumnya

(3)

dengan merekrut 10 individu yang merokok dan 10 individu yang tidak merokok, dan dilakukan prosedur penelitian, dengan hasil seperti terlihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Pengukuran Skor OASS Studi Pendahuluan

Skor OASS Merokok (ẋ+SD) n=10 Tidak Merokok (ẋ+SD) n-10 Menit Ke-0 Menit Ke-30 Menit Ke-60 Menit Ke-120 48,00 + 8,18 37,46 + 6,29 26,91 + 7,78 14,52 + 5,26 44,90 + 10,57 33,48 + 7,55 20,64 + 5,69 11,19 + 2,76

Berdasarkan dari data Tabel 3.1. dapat dihitung standar gabungan untuk setiap menit pemeriksaan dan besar sampel untuk setiap kelompok. (Tabel 3.2)

Tabel 3.2. Perhitungan Besar Sampel

Standar Deviasi Gabungan (Sg)2=[S12x(n1− 1) + S22x(n2− 1)] 𝑛1+ 𝑛2− 2 Besar Sampel 𝑛1= 𝑛2=2�𝑍∝+ 𝑍𝛽� 2 𝑆𝑔2 (𝑋1− 𝑋2)2 Menit ke-30 Menit Ke-60 Menit Ke-120 6,95 6,82 5,83 52 50 37

Dari Tabel 3.2. dapat disimpulkan bahwa untuk mendeteksi perbedaan rerata 4 skor OASS antara kelompok yang merokok dengan yang tidak merokok dibutuhkan besar sampel minimal 52 orang untuk setiap kelompok.

3.6. Cara Kerja Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini meliputi persiapan, pengambilan data, pengolahan data, penyusunan hasil penelitian, analisis hasil penelitian, dan penyusunan akhir hasil penelitian. Tahapan persiapan meliputi pengurusan ijin penelitian dari tempat penelitian dan komite etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pengambilan data didahului dengan skrining menggunakan kriteria inklusi dan ekslusi, dengan pengecualian skrining terhadap status merokok atau tidak ditanyakan pada akhir tahapan, hal ini bertujuan untuk

(4)

menghilangkan bias yang dapat timbul pada saat pengukuran OASS. Individu yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eklusi dimintai persetujuan keluarga untuk mengikuti penelitian. Tahapan berikutnya adalah pengukuran skor OASS (menit ke-0). Kemudian individu tersebut disuntikkan haloperidol intra-muskular 5mg dan kemudian dilakukan seklusi, Penggunaan restraint hanya dilakukan pada individu yang menunjukkan agresivitas. Pengukuran skor OASS kedua pada menit ke-30, ke-60, ke-90 dan pada menit ke-120. Setelah setiap pengukuran, apabila skor OASS tidak berkurang >50% dari skor OASS menit ke-0, diberikan suntikan haloperidol intra-muskular 5mg. Selama 2 jam observasi, individu yang menerima suntikan haloperidol tidak dibenarkan mengkonsumsi obat lain dan tidak diperbolehkan merokok. Efek samping sindrom ekstra-piramidal haloperidol diperiksa dengan melakukan prosedur baku deteksi sindrom ekstra-piramidal, pada setiap pengukuran OASS. Apabila ditemukan efek samping sindrom ekstra-piramidal, individu tersebut diberikan suntikan difenhidramin intra-muskular 10mg. (Gambar 3.1.)

(5)

Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak

Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 16.0 untuk uji

hipotesis, GraphPad Prism versi 7.0 untuk hubungan dosis respon, dan

Microsoft excel 2010 untuk grafik. Data setiap tahapan pengukuran

dihitung reratanya, kemudian dibandingkan antara dua kelompok. Uji hipotesa yang digunakan adalah uji t-independen apabila memenuhi persyaratan uji, dan alternatifnya apabila tidak memenuhi.

Hasil penelitian disusun berdasarkan pengolahan data dan disusun dengan terlebih dahulu menampilkan hasil pengolahan data secara univariat dan dilanjutkan dengan bivariat. Hasil penelitian juga disusun berdasarkan tujuan penelitian seperti telah disebutkan pada Bab 1. Variabel dengan skala numerik akan disajikan dalam bentuk rerata dan simpangan baku untuk data yang berdistribusi normal, sedangkan untuk data yang tidak berdistribusi normal akan disajilkan dalam bentuk median, minimum dan maksimal. Variabel dengan skala kategori akan disajikan dalam bentuk frekuensi dan proporsi dalam persen.

Hasil penelitian kemudian dianalisa dengan melihat setiap kesimpulan statistik yang ada, dan membandingkannya dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Teori yang mendasari sebelumnya juga mendadi dasar analisa hasil penelitian. Keseluruhan hasil analisa hasil penlitian dituangkan dalam pembahasan hasil peneltian.

Penyusunan hasil akhir penelitian merupakan penyusunan simpulan dan saran. Simpulan merupakan jawaban dari tujuan penelitian, sedangkan saran merupakan hal-hal yang dapat dipertimbangkan sebagai solusi dari permasalahan yang menjadi latar belakang penelitian ini.

3.7. Definisi Operasional Tabel 3.3. Definisi Operasional

No .

Butir Pemeriks

aan

Definisi Operasional Alat Ukur Skala

Pengukur an 1 Agitasi pada psikosis akut

peningkatan aktifitas verbal dan motorik yang kacau dan tidak bertujuan Overt Agitation Severity Scale (OASS) Versi Bahasa Indonesia Numerik

(6)

Tabel 3.3. Lanjutan 2 Tinggi

Badan

Ukuran dalam meter yang diukur dalam keadaan berdiri tegak, dari tempat menapak sampai batas atas kepala. Meteran Tinggi Badan (meter) Numerik 3 Berat Badan

Ukuran dalam kilogram yang diukur dengan keadaan berdiri menggunakan pakaian yang ada.

Timbangan Berat badan. Numerik 4 Tingkat pendidika n

Jenjang pendidikan normal formal terdiri dari sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan perguruan tinggi

Wawancara Kategori

5 Indeks Masa Tubuh

Merupakan perhitungan baku Berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter

Timbangan Berat Badan dan tinggi badan

Numerik

6 Usia Usia subjek yang dihitung sejak tanggal lahir sampai dengan waktu penelitian yang dinyatakan dalam tahun.

Usia dibatasi menjadi kurang dari 40 tahun, dikarenakan pada rentang usia kurang dari 40 tahun, telah dilaporkan tidak memengaruhi bersihan indiator CYP.

Wawancara Auto/alloanamnes is Numerik 7 Lama Sakit

Rentang dalam tahun sejak subjek menderita gangguan jiwa

Wawancara Auto/alloanamnes is

Numerik

8 Awitan Usia saat pasien terindikasi menderita gangguan jiwa, ditandai dengan usaha mencari pertolongan

Wawancara Auto/alloanamnes is Numerik 9 Jenis Kelamin

Jenis kelamin subjek yang dibedakan atas perempuan dan laki-laki

Observasi Kategori 10 Jumlah

Rokok

Jumlah rokok yang dikonsumsi subjek penelitian

Wawancara Auto/alloanamnes is

Lebih besar dari 20 batang/hari atau kurang dari 20 batang/hari

(7)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di UGD RS Jiwa Prof. dr. M. Ildrem Pemerintah Propinsi Sumatera Utara. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cara probability consecutive sampling. Sebanyak seratus empat subjek penelitian, masing-masing lima puluh dua subjek untuk kelompok yang tidak merokok dan merokok.

4.1. Karakteristik Sampel dan Data Dasar Variabel Uji

Karakteristik subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dari Tabel 4.1., rerata usia subjek adalah 33,56 (5,63) tahun untuk kelompok yang tidak merokok dan 30,38 (5,86) tahun untuk kelompok merokok. Indeks masa tubuh pada kelompok tidak merokok adalah 25,89 (4,81) dan untuk kelompok merokok 23,99 (4,99). Pada kelompok tidak merokok, jenis kelamin terbanyak adalah perempuan sebanyak 48 orang (92,3%), dan pada kelompok merokok yang terbanyak adalah laki-laki sebanyak 42 orang (80,8%). Skor OASS pada saat masuk UGD atau pada menit ke-0 untuk kelompok tidak merokok adalah 40,10 (9,55) dan 35,77 (9,82) untuk kelompok merokok. Pada kelompok tidak merokok sebanyak 28 (53,8%) subjek menerima suntikan haloperidol 5 mg, sedangkan sebanyak 24 (46,2%) subjek menerima suntikan haloperidol 10 mg. Pada kelompok merokok sebanyak 23 (44,3%) subjek menerima suntikan haloperidol 5 mg, sedangkan 29 (55,8%) subjek menerima haloperidol 10 mg.

Dari hasil uji komparatif antar variabel karakteristik subjek penelitian, disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan usia dan indeks masa tubuh antara kelompok yang merokok dengan yang tidak merokok. Sebaliknya disimpulkan terdapat perbedaan pada skor awal OASS antara kelompok yang merokok dengan yang tidak merokok. Demikian juga pada frekuensi pasien yang menerima suntikan haloperidol 5mg atau 10 mg, disimpulkan tidak ada perbedaan frekuensi antara kelompok merokok dan yang tidak merokok. Sebaliknya terdapat perbedaan frekuensi jenis

(8)

kelamin yang bermakna antara kelompok yang merokok dengan yang tidak merokok.

Tabel 4.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel Tidak Merokok

n=52

Merokok

n=52 nilai p

Usia 33,56+5,63 * 30,38+5,86 ** 0,058 ^

Indeks Masa Tubuh 25,89+4,8*** 23,99+4,99 **** 0,051 ^ Skor OASS Menit Ke-0 40+10 5) 36+10 6) 0,025 ^^ Jenis Kelamin Perempuan Laki-Laki 48 (92,3%) 4 (7,7%) 10 (19,2%) 42 (80,8%) 0,001 ^^^ Suntikan Haloperidol I.M.

Total 5 Mg Total 10 Mg 28 (53,8%) 24 (46,2%) 23 (44,2%) 29 (55,8%) 0,327 ^^^

Hasil uji normalitas data dengan uji kolmogorov-smirnov *) p= 0,081; **) p= 0,023; ***) p= 0,001; ****) p= 0,002; 5) p=0,200; 6) p=0,200; ^) Uji Mann-Whitney; ^^) Uji t-independen; ^^^) Uji chi-square

4.2. Efikasi

4.2.1. Efikasi haloperidol pada individu yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 5 mg

Pada subjek yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 5 mg, pada kelompok yang tidak merokok didapatkan bahwa setelah 120 menit, gejala-gejala agitasi menghilang dengan rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-120 adalah 0,04 (0,19) (Gambar 4.1. dan Tabel 4.2.). Sedangkan, pada kelompok yang merokok didapatkan bahwa setelah 120 menit, gejala-gejala agitasi menghilang dengan rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-120 adalah 1,78 (1,04) (Gambar 4.1. dan Tabel 4.2.).

Gambar 4.1. Penurunan Skor OASS pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 5 mg

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Menit Ke-0 Menit Ke-30 Menit Ke-60 Menit Ke-90 Menit Ke-120

Sk or O ASS Waktu Pemeriksaan Tidak Merokok Merokok

(9)

Dari Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-30 untuk kelompok yang tidak merokok turun dari rerata skor OASS pada awal pemeriksaan menjadi 15,82 (2,98), atau turun sebesar 60,49%. Pada menit ke-60 turun menjadi 7,25 (2,10) atau turun sebesar 81,89% dari skor OASS awal. Pada menit ke-90 turun menjadi 2,25 (1,24) atau turun sebesar 94,38% dari skor OASS awal. Dan, pada menit ke-120 turun menjadi 0,04 (0,19) atau turun sebesar 99,90% dari skor awal. Dari Tabel 4.2. juga dapat dilihat bahwa rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-30 untuk kelompok yang merokok turun dari rerata skor OASS pada awal pemeriksaan menjadi 14,35 (4,32), atau turun sebesar 60,61%. Pada menit ke-60 turun menjadi 7,65 (2,81) atau turun sebesar 79,01% dari skor OASS awal. Pada menit ke-90 turun menjadi 3,73 (1,51) atau turun sebesar 89,76% dari skor OASS awal. Dan, pada menit ke-120 turun menjadi 1,78 (1,04) atau turun sebesar 95,11% dari skor awal.

Tabel 4.2. Skor OASS Berdasarkan Waktu Pemeriksaan pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 5 mg

Waktu Pemeriksaan Tidak Merokok n=28 (+SB) n=23 (+SB) Merokok nilai p##

Menit ke-0 Menit ke-30 Menit ke-60 Menit ke-90 Menit ke 120 40,04 + 10,71 15,82 + 3,98* 7,25 + 2,10*** 2,25 + 1,24^ 0,04 + 0,19^^^ 36,43 + 9,15 14,35 + 4,32** 7,65 + 2,81**** 3,74 + 1,51^^ 1,78 + 1,04^^^^ 0,098 0,878 0,001 0,001

Hasil uji normalitas data menggunakan uji shapiro-wilk *) p=0,229; **) p=0,046; ***) p=0,381; ***) p=0,005; ^)

p=0,045; ^^) p=0,014; ^^^) p=0,001; ^^^^) p=0,006; ##) uji Mann-Whitney

Sebelum melakukan perbandingan antara skor OASS setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Dengan menggunakan uji

shapiro-wilk, diperoleh kesimpulan bahwa data skor OASS pada waktu

pemeriksaan menit ke-30 skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,229), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,046). Data skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-60, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,381), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,005). Data skor OASS pada waktu

(10)

pemeriksaan menit ke-90, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok tidak berdistribusi normal (p=0,045), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,014). Data skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-120, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok tidak berdistribusi normal (p=0,001), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,006). Dengan demikian, untuk menguji apakah terdapat perbedaan skor OASS untuk setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok digunakan uji hipotesa Mann-Whitney. Hasil uji Mann-Whitney, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan skor OASS pada pemeriksaan menit ke-30 (p=0,098) dan ke-60 (0,878) antara kelompok yang tidak merokok dan merokok. Sebaliknya, terdapat perbedaan skor OASS pada pemeriksaan menit ke-90 (p=0,001) dan ke-120 (p=0,001) antara kelompok yang tidak merokok dan merokok.

Gambar 4.2. Grafik Hubungan Dosis Respon Pengobatan pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 5 mg

Terdapat hubungan dosis-respon monotonik pada subjek yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 5 mg pada kelompok yang tidak merokok. Respon 50% atau penurunan gejala agitasi sebesar setengah dari awal yang diukur dengan OASS pada kelompok yang tidak

0% 50% 100% 0 30 60 90 120 Pe rse nt ase Be sa r R espo n Menit Pemeriksaan Tidak Merokok 0% 50% 100% 0 30 60 90 120 Pe rse nt ase Be sa r R espo n Menit Pemeriksaan Merokok 22,77 24,94

(11)

merokok dicapai dalam 22,77 menit (IK95% 21,21-24,18; p=0,001) (Gambar 4.2. kiri dan Tabel 4.3.).

Tabel 4.3. Hubungan Dosis Respon Suntikan Haloperidol

Intramuskular untuk Mencapai 50% Efek Respon pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol

Intramuskular 5 mg

Tidak Merokok n=28

Merokok n=23 Waktu Yang Dibutuhkan Untuk

Mencapai 50% Efek Respon 22,77 24,94

Interval Kepercayaan 95% 21,21 – 24,18 23,93 – 25,90

P 0,001 0,001

Terdapat hubungan dosis-respon monotonik pada subjek yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 5 mg pada kelompok yang merokok. Respon 50% atau penurunan gejala agitasi sebesar setengah dari awal yang diukur dengan OASS pada kelompok yang merokok dicapai dalam 24,94 menit (IK95% 23,93-25,90; p=0,001) (Gambar 4.2. kanan dan Tabel 4.3.).

Gambar 4.3. Perbandingan Besar Perubahan Skor OASS pada Setiap Waktu Pemeriksaan antara Kelompok Individu yang Tidak Merokok

dan Merokok pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 5 mg

Besarnya penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-30 dihitung dari skor OASS awal subjek yang menerima suntikan haloperidol total 5mg pada kelompok yang tidak merokok adalah sebesar 24,21 (7,29). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-60 dihitung dari skor

-25 -20 -15 -10 -5 0

Menit Ke-30 Menit Ke-60* Menit Ke-90* Menit Ke-120

Tidak Merokok Merokok

(12)

OASS awal adalah sebesar 8,57 (2,27). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 5,00 (1,36). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-120 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 2,21 (1,20) (Gambar 4.3. dan Tabel 4.4.).

Besarnya penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-30 dihitung dari skor OASS awal subjek yang menerima suntikan haloperidol total 5mg pada kelompok yang merokok adalah sebesar 22,09 (5,88). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-60 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 6,70 (2,10). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 3,91 (1,47). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-120 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 1,96 (1,11) (Gambar 4.3. dan Tabel 4.4.).

Tabel 4.4. Perbandingan Besar Perubahan Skor OASS antara Kelompok Individu yang Tidak Merokok dan Merokok pada subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 5 mg

Waktu Pemeriksaan Tidak Merokok n=28 (+SB) n=23 (+SB) Merokok Nilai p

Menit ke-30 Menit ke-60 Menit ke-90 Menit ke 120 -24,21 + 7,29 * -8,57 + 2,27 *** -5,00 + 1,36 ^ -2,21 + 1,20 ^^^ -22,09 + 5,88 ** -6,70 + 2,10 **** -3,91 + 1,47 ^^ -1,96 + 1,11 ^^^^ 0,254 0,004 # 0,003 # 0,391 ## ##

Hasil uji normalitas data menggunakan uji shapiro-wilk *) p=0,258; **) p=0,990; ***) p=0,240; ***) p=0,153; ^)

p=0,53; ^^) p=0,001; ^^^) p=0,050; ^^^^) p=0,001; #) uji t-tidak berpasangan; ##) uji Mann-Whitney

Sebelum melakukan perbandingan besarnya penurunan skor OASS setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Dengan menggunakan uji shapiro-wilk, diperoleh kesimpulan bahwa data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-30 skor OASS dihitung dari skor OASS awal untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,258), sedangkan untuk kelompok yang merokok berdistribusi normal (p=0,990). Data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-60 dihitung dari skor awal untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,240), sedangkan untuk kelompok yang merokok berdistribusi normal (p=0,153). Data penurunan skor OASS

(13)

pada waktu pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor awal untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,530), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,001). Data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor awal pada waktu pemeriksaan menit ke-120, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok tidak berdistribusi normal (p=0,050), sedangkan untuk kelompok merokok tidak berdistribusi normal (p=0,001). Dengan demikian, untuk menguji apakah terdapat perbedaan penurunan skor OASS untuk setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok digunakan uji t tidak berpasangan untuk penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-30 dan 60, sedangkan uji

Mann-Whitney digunakan untuk pemeriksaan menit ke-90 dan 120. Hasil uji

t-tidak berpasangan, ditemukan bahwa t-tidak terdapat perbedaan penurunan skor OASS pada pemeriksaan menit ke-30 (p=0,254). Terdapat perbedaan yang bermakna pada pemeriksaan menit ke-60 (p=,0,004) dan ke-90 (p=0,001). Pada pemeriksaan menit ke-120, ditemukan tidak terdapat perbedaan bermakna (p= ke-60 (0,878) antara kelompok yang tidak merokok dan merokok.

4.2.2. Efikasi haloperidol pada individu yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 10mg

Pada subjek yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 10 mg, pada kelompok yang tidak merokok didapatkan bahwa setelah 120 menit, gejala-gejala agitasi menghilang dengan rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-120 adalah 0,25 (0,53) (Gambar 4.4. dan Tabel 4.5.). Sedangkan, pada kelompok yang merokok didapatkan bahwa setelah 120 menit, gejala-gejala agitasi menghilang dengan rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-120 adalah 2,90 (1,66) (Gambar 4.4. dan Tabel 4.5.).

Dari Tabel 4.5. dapat dilihat bahwa rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-30 untuk kelompok yang tidak merokok turun dari rerata skor OASS pada awal pemeriksaan menjadi 26,29 (5,23), atau turun sebesar 34,55%. Pada menit ke-60 turun menjadi 12,58 (2,98) atau

(14)

turun sebesar 68,68% dari skor OASS awal. Pada menit ke-90 turun menjadi 4,12 (1,73) atau turun sebesar 89,74% dari skor OASS awal. Dan, pada menit ke-120 turun menjadi 0,25 (0,53) atau turun sebesar 99,38% dari skor awal.

Gambar 4.4. Penurunan Skor OASS pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 10 mg

Dari Tabel 4.5. juga dapat dilihat bahwa rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-30 untuk kelompok yang merokok turun dari rerata skor OASS pada awal pemeriksaan menjadi 22,76 (4,32), atau turun sebesar 35,41%. Pada menit ke-60 turun menjadi 12,34 (4,34) atau turun sebesar 64,98% dari skor OASS awal. Pada menit ke-90 turun menjadi 5,86 (2,55) atau turun sebesar 83,37% dari skor OASS awal. Dan, pada menit ke-120 turun menjadi 2,90 (1,66) atau turun sebesar 91,77% dari skor awal.

Tabel 4.5. Skor OASS Berdasarkan Waktu Pemeriksaan pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 10 mg

Waktu Pemeriksaan Tidak Merokok n=24 (+SB) n=29 (+SB) Merokok nilai p

Menit ke-0 Menit ke-30 Menit ke-60 Menit ke-90 Menit ke 120 40,17 + 8,20 26,29 + 5,23* 12,58 + 2,98*** 4,12 + 1,73^ 0,25 + 0,53^^^ 35,24 + 10,46 22,76 + 7,64** 12,34 + 4,34**** 5,86 + 2,55^^ 2,90 + 1,66^^^^ 0,060 0,814 # 0,003 # 0,001 ## ##

Hasil uji normalitas data menggunakan uji shapiro-wilk *) p=0,462; **) p=0,103; ***) p=0,165; ***) p=0,054; ^)

p=0,023; ^^) p=0,001; ^^^) p=0,001; ^^^^) p=0,001; #) uji t-tidak berpasangan; ##) uji Mann-Whitney

Sebelum melakukan perbandingan antara skor OASS setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok,

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Menit Ke-0 Menit Ke-30 Menit Ke-60 Menit Ke-90 Menit Ke-120

Sk or O ASS Waktu Pemeriksaan Tidak Merokok Merokok

(15)

terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Dengan menggunakan uji

shapiro-wilk, diperoleh kesimpulan bahwa data skor OASS pada waktu

pemeriksaan menit ke-30 skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,060), sedangkan untuk kelompok yang merokok berdistribusi normal (p=0,103). Data skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-60, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,165), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,054). Data skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-90, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok tidak berdistribusi normal (p=0,023), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,001). Data skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-120, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok tidak berdistribusi normal (p=0,001), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,006). Dengan demikian, untuk menguji apakah terdapat perbedaan skor OASS untuk setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok digunakan uji t-tidak berpasangan untuk membandingkan skor OASS pemeriksaan menit ke 30 dan ke-60, dan uji Mann-Whitney untuk membandingkan skor OASS pemeriksaan menit ke 90 dan ke-120. Hasil uji t-tidak berpasangan, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan skor OASS pada pemeriksaan menit ke-30 (p=0,060) dan ke-60 (0,814) antara kelompok yang tidak merokok dan merokok. Sebaliknya, terdapat perbedaan bermakna skor OASS pada pemeriksaan menit ke-90

(16)

(p=0,001) dan ke-120 (p=0,001) antara kelompok yang tidak merokok dan merokok.

Gambar 4.5. Grafik Hubungan Dosis Respon Pengobatan pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 10 mg

Terdapat hubungan dosis-respon monotonik pada subjek yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 10 mg pada kelompok yang tidak merokok. Respon 50% atau penurunan gejala agitasi sebesar setengah dari awal yang diukur dengan OASS pada kelompok yang tidak merokok dicapai dalam 37,36 menit (IK95% 35,92-38,81; p=0,001) (Gambar 4.5. kiri dan Tabel 4.6.).

Tabel 4.6. Hubungan Dosis Respon Suntikan Haloperidol

Intramuskular untuk Mencapai 50% Efek Respon pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol

Intramuskular 10 mg

Tidak Merokok n=24

Merokok n=29 Waktu Yang Dibutuhkan Untuk

Mencapai 50% Efek Respon 37,36 40,32

Interval Kepercayaan 95% 35,92 – 38,81 38,84 – 41,82

P 0,001 0,001

Terdapat hubungan dosis-respon monotonik pada subjek yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 10 mg pada kelompok yang tidak merokok. Respon 50% atau penurunan gejala agitasi sebesar

0% 50% 100% 0 30 60 90 120 Pe rse nt ase Be sa r R espo n Menit Pemeriksaan Tidak Merokok 0% 50% 100% 0 30 60 90 120 Pe rse nt ase Be sa r R espo n Menit Pemeriksaan Merokok 37,36 40,32

(17)

setengah dari awal yang diukur dengan OASS pada kelompok yang tidak merokok dicapai dalam 40,32 menit (IK95% 38,84-41,82; p=0,001) (Gambar 4.5. kanan dan Tabel 4.6.).

Gambar 4.6. Perbandingan Besar Perubahan Skor OASS pada Setiap Waktu Pemeriksaan antara Kelompok Individu yang Tidak Merokok

dan Merokok pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 10 mg

Besarnya penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-30 dihitung dari skor OASS awal subjek yang menerima suntikan haloperidol total 10mg pada kelompok yang tidak merokok adalah sebesar 13,88 (5,27). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-60 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 13,71 (3,22). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 8,46 (5,27). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-120 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 3,88 (1,45) (Gambar 4.6. dan Tabel 4.7.).

Besarnya penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-30 dihitung dari skor OASS awal subjek yang menerima suntikan haloperidol total 10mg pada kelompok yang merokok adalah sebesar 12,48 (4,79 ). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-60 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 10,41 (4,04). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 6,48 (2,46). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-120 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 2,97 (1,99) (Gambar 4.6. dan Tabel 4.7.).

-25 -20 -15 -10 -5 0

Menit Ke-30 Menit Ke-60* Menit Ke-90* Menit Ke-120*

Tidak Merokok Merokok

(18)

Tabel 4.7. Perbandingan Besar Perubahan Skor OASS antara Kelompok Individu yang Tidak Merokok dan Merokok pada subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 10 mg

Waktu Pemeriksaan Tidak Merokok

n=24 (ẋ+SB) Merokok n=29 (ẋ+SB) Nilai p Menit ke-30 Menit ke-60 Menit ke-90 Menit ke 120 -13,88 + 5,27* -13,71 + 3,22*** -8,46 + 5,27^ -3,88 + 1,45^^^ -12,48 + 4,79** -10,41 + 4,04**** -6,48 + 2,46^^ -2,97 + 1,99^^^^ 0,262 0,003 ## 0,002 ## 0,026 # ##

Hasil uji normalitas data menggunakan uji shapiro-wilk *) p=0,213; **) p=0,019; ***) p=0,481; ***) p=0,009; ^)

p=0,376; ^^) p=0,055; ^^^) p=0,017; ^^^^) p=0,002; #) uji t-tidak berpasangan; ##) uji Mann-Whitney

Sebelum melakukan perbandingan besarnya penurunan skor OASS setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Dengan menggunakan uji shapiro-wilk, diperoleh kesimpulan bahwa data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-30 skor OASS dihitung dari skor OASS awal untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,213), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,019). Data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-60 dihitung dari skor awal untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,481), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,009). Data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor awal untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,376), sedangkan untuk kelompok yang merokok berdistribusi normal (p=0,055). Data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor awal pada waktu pemeriksaan menit ke-120, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok tidak berdistribusi normal (p=0,017), sedangkan untuk kelompok merokok tidak berdistribusi normal (p=0,002). Dengan demikian, untuk menguji apakah terdapat perbedaan penurunan skor OASS untuk setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok digunakan uji t tidak berpasangan untuk penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-90, sedangkan uji

Mann-Whitney digunakan untuk pemeriksaan menit ke-30, ke-60 dan 120. Hasil

uji t-tidak berpasangan, ditemukan bahwa terdapat perbedaan penurunan skor OASS pada pemeriksaan menit ke-90 (p=0,002). Hasil uji

(19)

Mann-Whitney, terdapat perbedaan yang bermakna pada pemeriksaan menit

ke-60 (p=,0,003) dan ke-120 (p=0,026). Sedangkan pada pemeriksaan menit ke-30, ditemukan tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,262) antara kelompok yang tidak merokok dan merokok.

4.3. Keamanan

4.3.1. Proporsi Timbulnya Efek Samping Haloperidol

Sebanyak 5 subjek penelitian atau sebesar 4,8% melaporkan sindrom ekstra piramidal (Tabel 4.10.). Sindrom ekstra-piramidal ini diukur dengan menggunakan instrumen Simpson-Angus. Subjek penelitian yang melaporkan sindrom ekstra-piramidal ini diberikan suntikan difenhidramin 10mg intra muskular.

Tabel 4.8. Kejadian Sindrom Ekstrapiramidal

Tidak Merokok Merokok

Tidak Ya Tidak Ya Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 45 4 3 0 10 40 0 2 Dosis Haloperidol 5 Mg 10 Mg 26 23 2 1 21 29 2 0

Tabel 4.10. menunjukkan sindrom ektrapiramidal timbul terutama pada individu yang menerima suntikan haloperidol 5mg (4 subjek). 3 subjek laki-laki menunjukkan sidrom ekstra-piramidal dan 2 subjek perempuan.

Tabel 4.9. Risiko Kejadian Sindrom Ekstrapiramidal

Prediktor EPS (-) EPS (+) OR P

Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 55 44 3 2 0,833 1,000*) Suntikan Haloperidol 5 Mg 10 Mg 47 52 4 1 0,226 0,201*) Merokok Tidak Ya 49 50 3 2 0,653 1,000*) *) Uji Fischer

Tabel 4.11. menunjukkan bahwa laki laki cenderung menunjukkan sindrom ektrapiramidal sebesar 0,833 kali lebih kecil dibandingkan dengan perempuan. Suntikan haloperidol 5 mg cenderung menyebabkan sindrom

(20)

ekstrapiramidal sebanyak 0,226 kali lebih kecil dibandingkan dengan suntikan 10 mg haloperidol, dan tidak merokok cenderung menyebabkan sindrom ektrapiramidal sebanyak 0,653 kali lebih kecil dibandingkan dengan yang merokok. Keseluruhan risiko dengan tingkat kemaknaan lebih besar dari 0,05.

(21)

BAB 5 PEMBAHASAN

Penelitian ini mendemonstrasikan hubungan dosis-respon untuk dosis suntikan haloperidol dengan waktu pemberian suntikan haloperidol terhadap upaya meredakan agitasi. Pengukuran dilakukan pada menit ke-0, ke-3ke-0, ke-6ke-0, ke-90 dan menit ke-120. Efikasi haloperidol 5 mg dan 10 mg tampak berbeda bermakna pada kelompok yang tidak merokok dibandingkan dengan yang merokok.

Agitasi diukur menggunakan instrumen OASS versi Bahasa Indonesia. Pada penelitian ini juga ditunjukkan bahwa instrumen OASS dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Instrumen OASS telah ditunjukkan memiliki validitas dan reliabilitas yang baik untuk mengukur agitasi.

Perbedaan pada data dasar yaitu jenis kelamin antara kelompok yang merokok dan tidak merokok telah diperkirakan sebelumnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa 84,1 % dari lelaki dengan gangguan jiwa berat adalah perokok dan 52,8% dari perempuan dengan gangguan jiwa berat adalah perokok. Hal ini lima kali lebih tinggi dari jumlah perokok pada populasi umum.

Pengaruh jenis kelamin pada metabolisme obat masih menjadi belum memberikan kesimpulan yang jelas akan perbedaannya. Parameter berat badan, tinggi badan, luas permukaan tubuh, total air dalam tubuh dan air ekstra/intra seluler memang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan berbeda pada saat kehamilan. Dari tinjauan yang ada haloperidol tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin dikarenakan haloperidol yang terikat dengan protein. Obat-obatan yang sering digunakan untuk penanganan gangguan jiwa lain yang dipengaruhi oleh jenis kelamin diantaranya klozapin, olanzapin, litium, selective serotonin reuptake

inhibitor (SSRI) dan asam valproat. Obat-obatan ini telah dibuktikan lebih

tinggi konsentrasi plasmanya pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.

28

(22)

Seperti telah diutarakan pada bab sebelumnya, farmakokinetika mempelajari proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat dari dalam tubuh atau ilmu yang mempelajari pengaruh tubuh terhadap obat. Distribusi obat sendiri dipengaruhi oleh profil farmakokinetika obat, dalam hal ini apakah obat tersebut berikatan dengan protein, lemak atau dengan air. Haloperidol sendiri sangat berikatan dengan protein. Sehingga keadaan yang dapat memberikan perbedaan terhadap protein dalam tubuh akan memberikan bias pada hasil penelitian ini. Markofski dan Volpi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan metabolisme protein pada individu yang memiliki indeks masa tubuh yang sama dan status kesehatan yang sama.30

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa haloperidol masih merupakan preparat yang cukup efektif untuk mengatasi kasus agitasi di unit gawat darurat psikiatri. Efektif dikarenakan penelitian ini membuktikan bahwa dalam waktu 120 menit, gejala agitasi keseluruhan subjek penelitian dapat diatasi. Penelitian lain yang membandingkan haloperidol dengan olanzapin juga menemukan bahwa suntikan haloperidol intra-muskular meredakan gejala-gejala agitasi dalam waktu 24 jam. Walaupun haloperidol disimpulkan inferior terhadap olanzapin.

Faktor jenis kelamin akan memengaruhi farmakokinetika dan farmakodinamika obat pada populasi khusus seperti pada kehamilan. Pada penelitian ini kehamilan merupakan kriteria eksklusi sampel, sehingga keseluruhan sampel penelitian tidak dalam keadaan hamil. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin tidak memengaruhi penarikan kesimpulan penelitian ini.

31

Efek samping haloperidol yang ditemukan pada penelitian ini sebanyak 5 subjek penelitian atau 4,8% dari keseluruhan penelitian. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sindrom ekstra-piramidal ditemukan sebanyak sekitar 20%

32

(akatisia) dari keseluruhan pengguna haloperidol. Sindrom ekstra-piramidal akibat penggunaan antipsikotika merupakan gangguan yang lazim ditemukan. Akatisia, distonia, dan diskinesia tardiv, dan parkinsonisme. Akatisia sebagai salah satu

(23)

diagnosis yang paling sering muncul pada sindrom ekstrapiramidal ini, memiliki prevalensi antara 5%-50%. Akatisia memiliki komponen subjektif dan objektif. Pasien akan menderita akibat perasaan tidak tenang akibat kesulitan pasien untuk mempertahankan posisi diam otot. Insidensinya bervariasi bergantung pada jenis dan dosis antipsikotika.33 haloperidol sendiri merupakan obat antipsikotika generasi pertama yang secara konsisten memiliki risiko menimbulkan sindrom ekstrapiramidal dibandingkan dengan antipsikotika generasi terbaru.34 Selain jenis dan dosis, akatisia lebih cenderung terjadi orang tua dan wanita, memiliki riwayat trauma kepala, demensia, dan gangguan mood.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan, merokok, dan dosis haloperidol lebih besar akan berisiko untuk menjadi sindrom ektrapiramidal. Batas kemaknaan yang tidak dapat dilampaui untuk pengambilan kesimpulan bermakna, kemungkinan disebabkan bahwa desain penelitian dan perhitungan besar sampel pada penelitian ini hanya untuk menjawab hipotesa apakah terdapat perbedaan respon pengobatan haloperidol antara yang tidak merokok dan merokok, dan bukan ditujukan untuk pencaharian prevalensi timbulnya efek samping haloperidol yaitu sindrom ekstrapiramidal.

35

Penelitian yang dilakukan oleh Thomson, Kulkarni, dan Sergejew pada 25 orang perempuan dengan psikotik menemukan bahwa perempuan memiliki risiko lebih besar untuk menimbulkan gejala ekstrapiramidal dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian ini menemukan bahwa kadar estrogen dalam darah pada perempuan yang menunjukkan gejala ekstrapiramidal lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang tidak menunjukkan gejala ekstrapiramidal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa konsentrasi estrogen akan berpengaruh pada dinamika dpamin pada jaras mesolimbik dan mesostriatum.

Cost-Effectiveness merupakan terminologi ekonomi, yang berarti

efektifitas yang didapat dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendapat efektifitas tersebut. Efektifitas juga dipengaruhi oleh efek samping yang didapat. Cost-Effectiveness haloperidol telah dibandingkan

(24)

dengan olanzapin dan aripiprazol untuk penanganan agitasi, dan telah disimpulkan bahwa haloperidol masih dapat diunggulkan dari olanzapin dan aripiprazol.37 Hal yang perlu diingat adalah aspek cost merupakan pertimbangan terakhir bagi seorang klinisi dalam pemilihan preparat antipsikotika. Aspek gejala, profil efek samping obat dan aspek lainnya merupakan pertimbangan yang lebih diutamakan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa haloperidol memiliki aktifitas antagonis reseptor. Gejala-gejala agitasi dan psikosis dihipotesiskan sebagai akibat dari peningkatan aktivitas dopamin, dan haloperidol sejak pertama kali telah diamati menurunkan hiperaktifitas dopamin ini. Penurunan aktifitas dopamin oleh haloperidol telah ditunjukkan memenuhi hubungan dosis respon, dimana respon pengobatan akan dipengaruhi oleh dosis haloperidol yang diberikan. Hubungan dosis-respon yang ditunjukkan pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa respon pengobatan dipengaruhi oleh dosis yang diberikan. Dosis suntikan haloperidol 10 mg berbeda bermakna respon pengobatannya dibandingkan dengan suntikan haloperidol 5 mg. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan dosis berhubungan dengan okupansi reseptor dopamin oleh haloperidol. Semakin meningkat dosis haloperidol akan semakin meningkatkan okupansi reseptor dopamin.

38

16

Respon pengobatan dapat dicapai apabila tingkat okupansi reseptor dopamin tidak melebih dari 80%. Okupansi reseptor dopamin yang melebihi 80% tidak akan meningkatkan respon pengobatan melainkan meningkatkan kejadian efek samping haloperidol. Reddy dan kawan-kawan menemukan bahwa konsentrasi haloperidol dalam darah minimum 2,7ng/mL akan menghasilkan respon pengobatan 30%. Konsentrasi minimum tersebut akan dicapai dengan pemberian haloperidol 5,6mg per hari. Dengan dosis tersebut okupansi reseptor dopamin akan mencapai 67%.

Konsentrasi haloperidol di otak berpengaruh pada langsung pada respon pengobatan seperti telah di bahas di atas. Perbedaan respon pengobatan pada penelitian tampak pada pencapaian respon pengobatan

(25)

50%. Pada individu merokok respon pengobatan 50% berbeda dengan individu yang tidak merokok. Hal ini menjelaskan bahwa konsentrasi haloperidol pada tempat kerjanya berbeda antara individu yang merokok dan yang tidak merokok pada waktu yang sama.

Dikarenakan perbedaan antara kedua kelompok pada penelitian ini adalah perilaku merokok, maka diyakini bahwa perbedaan tersebut diakibatkan oleh perilaku merokok. Aspek absorbsi tidak berpengaruh pada penelitian ini dikarenakan preparat injeksi yang digunakan pada penelitian ini. Pemberian intra-muskular memintas jalur metabolisme haloperidol di hati yang dikenal sebagai organ xenobiotik primer. Faktor usia dan indeks masa tubuh juga telah ditunjukkan tidak berbeda antara dua kelompok, sehingga diyakini bahwa faktor yang membedakan dua kelompok ini adalah perilaku merokok.

Komponen asap rokok telah dilaporkan menginduksi berbagai isoenzim sitokrom P450 (CYP), yang memegang peranan penting pada metabolisme obat. PAH dari asap rokok merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap induksi berbagai isoenzim ini, terutama CYP1A1, CYP1A2 dan CYP2E1.4,5 Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi via reaksi metabolisme fase I dan fase II di hati. Isoenzim CYP terlibat pada metabolisme fase I, yang merupakan proses oksidasi yang memetabolisasi substansi eksogen dan endogen menjadi komponen yang lebih hidrofilik untuk dieliminasi. Terinduksinya isoenzim CYP ini akan menyebabkan obat tereliminasi dengan cepat. Isoenzim CYP1A1/1A2 terhitung berkisar 13-17% dari total keseluruhan isoenzim hati. Isoenzim ini terutama ditemukan di hati, akan tetapi ditemukan juga di otak, paru-paru dan plasenta ibu yang merokok.

Mekanisme induksi dari isoenzim CYP yang disebabkan oleh komponen asap rokok (hidrokarbon aromatik) melibatkan ikatan hidrokarbon pada reseptor intraseluler spesifik (Ah-Aryl Hydrocarbon

Receptor). Kompleks hidrokarbon-Ah-reseptor ini kemudian bermigrasi ke

dalam inti sel dan berinteraksi dengan ARE (Ah-responsive element), yang menyebabkan peningkatan mRNA dari aktivasi transkripsional gen CYP.

(26)

mRNA ini mengarahkan pembentukan asam amino menjadi protein dalam retikulum endoplasma. Kemudian, dengan penambahan haem pada protein, produksi CYP akhirnya lengkap. Selain meningkatkan produksi CYP, diyakini pula bahwa degradasi CYP sendiri dihambat oleh hidrokarbon aromatik ini.

Sejauh pencaharian referensi sampai saat ini, penelitian ini adalah penelitian pertama yang dilakukan. Penelitian sebelumnya dilakukan dengan meneliti haloperidol dan merokok dari pemeriksaan konsentrasi haloperidol dalam darah. Penelitian ini mendukung hasil yang ditunjukkan oleh Jann dkk

5

7

dan Miller dkk8, yaitu terdapat perbedaan haloperidol yang bermakna kelompok merokok dan tidak merokok, akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh Jann dkk dan Miller dkk ini hanya mendukung dari aspek farmakokinetika saja. Jann dkk dan Miller dkk dalam penelitiannya hanya meneliti konsentrasi haloperidol dalam darah dan bersihan ginjal haloperidol yang diukur dari konsentrasi haloperidol dalam urin. Jann dkk dan Miller dkk tidak meneliti respon pengobatan haloperidol, sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian tersebut hanya meneliti interaksi merokok dan haloperidol dari aspek farmakokinetika saja. Penelitian Jann dkk dan Miller dkk ditambah dengan hasil penelitian saat ini telah dapat menyimpulkan bahwa terdapat interaksi antara merokok dan haloperidol, dan interaksi ini telah dibuktikan baik dari aspek farmakokinetika berdasarkan penelitian Jann dkk dan Miller dkk dan dari aspek farmakodinamika berdasarkan hasil penelitian ini.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, desain penelitian yang tidak menggunakan kontrol. Kelompok kontrol adalah kelompok individu yang menunjukkan agitasi dan tidak merokok dan tidak mendapatkan terapi antipsikotika. Penerapan desain dengan kontrol menjadikan penelitian dengan tiga kelompok, yaitu kelompok merokok, kelompok tidak merokok, dan kelompok tidak merokok tanpa pengobatan. Desain dengan kontrol sebenarnya akan memberikan gambaran yang lebih jelas antara individu yang menerima haloperidol dengan yang tidak menerima haloperidol. Desain dengan kontrol atau plasebo tidak

(27)

memungkinkan dilakukan dikarenakan prosedur tatalaksana di RS Prof. dr. M. Ildrem Medan yang mengharuskan reduksi gejala agitasi pada psikosis dengan cepat dikarenakan dapat bereskalasi menjadi agresivitas dan membahayakan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan.

Kedua, efek samping pada penelitian ini hanya berfokus pada sindrom ekstra-piramidal. Seperti telah diketahui salah satu efek samping haloperidol adalah perpanjangan gelombang QT. Hal ini sebenarnya dapat dilakukan apabila tersedianya alat EKG di unit gawat darurat RS Prof. dr. M. Ildrem Medan.

(28)

BAB 6

SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan

1. Rerata penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-120 adalah -16,73, -8,77, -5,35, dan -2,52 untuk kelompok yang merokok.

2. Rerata penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-120 adalah -19,44, -10,94, -6,60, dan -2,98 untuk kelompok yang tidak merokok.

3. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai penurunan skor OASS sebesar 50% dari skor OASS menit ke-0 adalah 22,77 menit untuk suntikan haloperidol 5 mg pada kelompok yang tidak merokok dan 24,94 menit untuk kelompok yang merokok.

4. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai respon sebesar 50% apabila subjek tidak berespon pada suntikan pertama adalah 37,6 menit untuk kelompok yang tidak merokok dan 40,32 menit untuk kelompok yang merokok.

5. Sebanyak 4,8% subjek penelitian melaporkan efek samping sindrom ekstra-piramidal.

6. Terdapat perbedaan efek pemberian haloperidol yang bermakna pada penanganan agitasi pada psikosis akut antara individu yang merokok dengan yang tidak merokok.

6.2. Saran

1. Peningkatan upaya stop merokok pada orang dengan gangguan jiwa akan memberikan dampak positif bagi penatalaksanaan gangguan jiwa.

2. Setiap pasien psikosis dengan agitasi yang menerima suntikan haloperidol intramuskular diwajibkan untuk menghentikan kebiasaan merokok.

(29)

3. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan desain yang khusus menggunakan tiga kelompok yaitu plasebo atau kelompok daftar tunggu.

4. Penelitian ini dapat dilanjutkan dan berfokus pada tingkat gen khususnya yang berkaitan dengan isoenzim CYP1A1 dan CYP1A2.

Gambar

Tabel 3.1.  Pengukuran Skor OASS Studi Pendahuluan
Gambar 3.1.  Cara Kerja Penelitian
Gambar 4.1. Penurunan Skor OASS pada Subjek yang Menerima  Suntikan Haloperidol Intramuskular 5 mg
Tabel 4.2.  Skor OASS Berdasarkan Waktu Pemeriksaan pada Subjek  yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 5 mg
+7

Referensi

Dokumen terkait

Komponen­komponen  dalam  bauran  promosi  terdiri  dari  penjualan  secara  individu,  periklanan,  promosi  penjualan,  pemasaran  langsung,  dan  public 

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Gomes (mengutip Hackman & Oldham, 1980) bahwa seseorang akan mengalami motivasi kerja internal yang tinggi, kepuasan yang

Sasaran rekrutmen calon kepala sekolah penggerak adalah kepala sekolah jenjang PAUD, SD, SMP, SMA, dan SLB dari 250 kab/kota yang ada di 34 provinsi sesuai Lampiran 1 , dengan

Dari prosentase jawaban angket di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar PAI pada aspek akhlak dengan materi sifat-sifat terpuji siswa kelas VII-B sudah mulai naik

Ripple mill adalah alat untuk pemecah biji dengan cara di giling dalam putaran rotor bar, sehingga biji akan bergeser dengan ripple plate, proses pemecahan ini terjadi

bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan

Berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti dari guru BK berdasarkan buku catatan kasus (permasalahan- permasalahan yang dialami peserta didik dalam belajar) yaitu masih

Strategi pemasaran yang dilakukan Antiplaque seharusnya sesuai dengan kondisi pasar, seperti melakukan pembaharuan kemasan pasta gigi, mengedukasi konsumen agar dapat mehami