• Tidak ada hasil yang ditemukan

MORFOLOGI BEBERAPA JENIS SAGU POTENSIAL DI PAPUA. Jermia Limbongan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MORFOLOGI BEBERAPA JENIS SAGU POTENSIAL DI PAPUA. Jermia Limbongan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

S

agu (Metroxylon sagu Rottb.) me-rupakan tanaman asli Asia Tenggara. Penyebarannya meliputi Melanesia Barat sampai India Timur dan dari Mindanao Utara sampai Pulau Jawa dan Nusa Teng-gara bagian selatan.

Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa de-ngan sumber air yang melimpah. Menurut Oates dan Hicks (2002), tanaman sagu masih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.250 m dpl dengan curah hujan 4.500 mm/tahun.

Sekitar 50% tanaman sagu dunia atau 1.128 juta ha tumbuh di Indonesia (Flach 1983), dan 90% dari jumlah tersebut atau 1.015 juta ha berkembang di Provinsi Papua dan Maluku (Lakuy dan Limbongan 2003). Menurut statistik perkebunan tahun 2000,

potensi produksi tepung sagu yang dapat dihasilkan dari luasan tersebut adalah 6,50 juta ton.

Sekitar 40% dari jumlah tegakan sagu di Papua (seluas 300.000 ha) merupakan tanaman produktif yang siap panen sehingga potensi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber cadangan pangan pada masa yang akan datang (Tenda 2004). Areal sagu tersebut tersebar di Merauke, Timika, Fakfak, Manokwari, Biak Numfor, Sorong, Yapen, Waropen, dan Jayapura. Dari jumlah tersebut baru dimanfaatkan sekitar 0,34% (Kertopermono 1996).

Konsumsi sagu di Papua tahun 2004 mencapai 50,18 kg/kapita/tahun, lebih rendah dibanding bahan pangan lainnya yaitu padi dan ubi-ubian masing-masing 130 kg dan 75,30 kg/kapita/tahun (Badan

Pusat Statistik Provinsi Papua 2004). Produksi sagu pada tahun 2004 sekitar 7.140 t/tahun, dengan harga tepung sagu mencapai Rp13.500/kg atau hampir dua kali lipat harga tepung ubi atau beras. Potensi produksi sagu yang besar dengan harga yang cukup tinggi dapat menjadi-kan sagu sebagai komoditas andalan di masa yang akan datang.

Tanaman sagu di Papua memiliki keragaman genetik yang sangat tinggi (Barahima et al. 2001). Kesimpulan ini diperkuat oleh Mangindaan dan Tampake (2005) yang menyatakan bahwa Papua merupakan sentra keragaman genetik sagu terbesar di dunia sehingga tanaman sagu di daerah ini perlu diamankan dari erosi genetik serta pelarian genetik ke luar negeri. Widjono et al. (2000) telah

meng-MORFOLOGI BEBERAPA JENIS SAGU POTENSIAL

DI PAPUA

Jermia Limbongan

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, Jalan Yahim Sentani, Jayapura, Kotak Pos 256 Sentani 993542

ABSTRAK

Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil pati yang sangat potensial di masa yang akan datang. Tanaman sagu banyak tumbuh secara alami di Papua dan Maluku dan dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk sebagai makanan sehari-hari. Makalah ini memberikan informasi tentang morfologi beberapa jenis sagu lokal di Papua. Sagu Papua memiliki banyak aksesi dengan ciri yang berbeda-beda pada morfologi batang dan daun, kandungan gizi dan mineral, produktivitas, dan warna tepung. Sagu Yepha, Rondo, Para, dan Ruruna dapat dikenali dari karakteristik yang berbeda, dan karakteristik ini dapat digunakan untuk mengetahui potensi produksi dan kegunaannya. Pati sagu, selain sebagai bahan pangan juga banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, makanan, kertas, dan plastik. Untuk menjaga kelestarian sagu Papua, upaya perbaikan budi daya serta pengelolaan plasma nutfah perlu dilakukan.

Kata kunci: Metroxylon sagu, aksesi, morfologi, pati sagu, Papua

ABSTRACT

Morphological characteristics of some sago palms from Papua

Sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) is a potential starch source in the future. Most of the plants grow naturally in Papua and Maluku and many people consume it as a daily food. The paper described morphology of sago palms in Papua. There are many accessions of sago palms in Papua with specific morphological characteristics in stems, leaves, nutrient and mineral contents, yield, and starch color. Sago palms such as Yepha, Rondo, Para, and Ruruna have different characteristics and these characteristics reflect their yield potential and usage. Sago starch is commonly used as food resources, also as raw materials in cosmetics, food, paper, and plastic industries. Therefore, improvement of sago palm cultivation and conservation of sago germplasm are needed.

(2)

identifikasi 60 jenis sagu Papua yang tumbuh di daerah Jayapura, Manokwari, Merauke, dan Sorong. Selanjutnya, hasil penelitian Universitas Papua (2001) me-nemukan 22 jenis sagu di Biak dan Supriori, sedangkan Miftahorrachman dan Novarianto (2003) menemukan 20 aksesi sagu di Sentani. Makin beragamnya pe-manfaatan sagu dan makin meningkatnya permintaan tepung sagu menyebabkan terjadinya eksploitasi tanaman secara besar-besaran tanpa ada upaya untuk merehabilitasinya (Mangindaan dan Tampake 2005). Kondisi seperti itu telah terjadi di Papua dan dapat menyebabkan punahnya beberapa aksesi sagu yang memiliki potensi produksi tinggi (Limbo-ngan et al. 2005).

Aksesi-aksesi sagu yang ditemukan di Papua memiliki keragaman dalam pe-nampilan morfologi, misalnya keberadaan duri, tinggi tanaman, lingkar batang, dan warna tepung. Selain itu ada beberapa jenis sagu yang dapat tumbuh di lahan kering. Produktivitasnya pun bervariasi dari 5 hingga11 t/ha/tahun, tetapi ada pula yang hanya digunakan sebagai media pe-meliharaan ulat sagu (Oates dan Hicks 2002).

Makalah ini membahas ciri morfologi beberapa jenis sagu potensial yang tum-buh di Papua, misalnya duri pada batang, tinggi tanaman, lingkar batang, bobot batang, jumlah daun, jumlah petiole, panjang rachis, warna tepung, kandungan kimia tepung, kandungan mineral tepung, dan produksi tepung sagu. Dengan me-ngenal ciri morfologi tersebut dapat diketahui jenis-jenis sagu yang potensial sebagai penghasil tepung serta upaya pelestariannya untuk mencegah kepunah-an jenis-jenis sagu tertentu.

TIPE SAGU PAPUA

Pangkali (1994) telah mengidentifikasi 20 jenis sagu asal Jayapura dan mengelom-pokkannya ke dalam dua tipe yaitu sagu berduri atau Metroxylon rumphii Mart. dan sagu tidak berduri atau Metroxylon

sagu Rottb. Yang termasuk sagu berduri

adalah Para Huphon, Para Hongsay, Rondo, Munggin, Puy, Manno, Epesum, Ruruna, dan Yakhalope, dan untuk sagu tidak berduri adalah Yepha Hongsay, Yepha Hongleu, Yepha Ebung, Osokulu, Folio, Panne, Wani, Ninggih, Yukulam, Hapholo, Yakhe, Hili, Fikhela, dan Hanumbo. Selanjutnya Widjono et al. (2000)

meng-identifikasi 60 jenis sagu di Papua yang tersebar di Jayapura, Manokwari, Merau-ke, dan Sorong (Tabel Lampiran 1).

Jenis-jenis sagu tersebut berbeda dalam hal warna pucuk, yaitu hijau, kuning sampai merah, ukuran duri, kerapatan duri, kekerasan duri, dan letak duri. Warna pelepah daun pun berbeda-beda yaitu hijau muda, hijau tua, hijau keputihan, hijau kekuningan, dan hijau bertitik-titik. Diameter batang juga bervariasi, yaitu diameter batang bagian bawah lebih kecil dari bagian atas, diameter batang sama mulai dari bawah sampai ke atas, dan ada juga yang diameter batang bagian tengah lebih besar dari bagian ujung dan pangkal. Warna tepungnya ada yang putih, kemerahan, merah muda, dan putih ke-kuningan.

CIRI MORFOLOGI SAGU

PAPUA

Ciri morfologi merupakan petunjuk praktis untuk mengenal berbagai jenis sagu di lapangan. Ciri morfologi yang dapat di-amati antara lain adalah tinggi batang, lingkar batang, jumlah daun, jumlah petiole, panjang rachis, dan jumlah lembar daun. Ciri morfologi 10 jenis sagu unggul di Sentani disajikan pada Tabel 1.

Dari Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa tinggi batang memiliki keragaman yang tinggi (CV > 20%), sedangkan karakter vegetatif lainnya seperti lingkar batang, jumlah daun, jumlah petiole, panjang daun, dan panjang rachis memiliki keragaman yang rendah (CV < 20%). Oleh karena itu, menurut Tenda (2004), karakter tinggi

batang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk mempertahankan sifat unggul pada generasi berikutnya.

Sagu jenis Rondo memiliki tinggi tanaman 10,20 m, lebih pendek daripada sagu jenis Yepha, Para, dan Ruruna yang tingginya bisa mencapai 20 m bahkan lebih. Batang sagu jenis Rondo umumnya pendek, yaitu Rondo Hongleu 4,50 m dan Rondo Hongsay 4,20 m, sedangkan jenis lainnya seperti Yepha Hongsay, Para, dan Ruruna memiliki batang lebih dari 10 m. Karena batangnya pendek, sagu Rondo biasa digunakan sebagai konsumsi ke-luarga di Sentani.

Miyazaki (2004) telah melakukan pengamatan beberapa parameter pertum-buhan empat jenis sagu di Sentani dengan hasil dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel ter-sebut memperlihatkan bahwa pada umur hampir sama, tinggi tanaman sagu Rondo sangat berbeda dengan tiga jenis lainnya, yaitu Yepha Hongsay, Para, dan Ruruna. Demikian pula panjang batang, diameter batang, dan bobot batang sagu Rondo jauh lebih kecil dibanding jenis lainnya. Rondo relatif lebih kecil dan berduri pada umur 6 tahun. Di Sentani, sagu Rondo mulai berproduksi setelah berumur lebih dari 10 tahun. Durinya kecil, pendek, dan mudah patah. Sagunya manis dan biasa dikonsumsi langsung tanpa diparut atau diperas terlebih dahulu.

Hasil pengamatan Miyazaki (2004) terhadap 21 jenis sagu di Papua disajikan pada Tabel 3. Dari 21 jenis sagu tersebut, 10 jenis termasuk sagu berduri, yaitu Manno, Mongging, Para Hongleu, Para Hongsay, Para Waliha, Puy, Rondo, Ruruna, Yakhalobe, dan Ebefum. Sisanya

Tabel 1. Ciri morfologi 10 jenis sagu unggul di Sentani, Papua. Tinggi Lingkar Jumlah Jumlah

Jumlah Panjang Jumlah

Jenis sagu batang batang daun daun

petiole rachis lembar

(m) (cm) kering hijau (cm) daun

Hapholo Hongleu 15,20 143 8 1 5 225 462,50 7 2 Hapholo Hongsay 13,80 145 8 1 6 245 467 7 6 Yepha Hongleu 15,20 143 8 1 5 240 474 8 2 Yepha Hongsay 14,30 148 7 1 3 270 478,50 8 4 Rondo Hongleu 4,50 149 1 0 1 2 225 461,50 7 7 Rondo Hongsay 4,20 144 9 1 2 205 658 7 4 Osokulu Hongleu 11,20 190 8 1 7 270 677 8 9 Panne 15,40 155 7 1 4 214 554 8 1 Folio Hongleu 9,40 171 8 1 9 264 665 8 2 Para 1 1 108 9 1 3 218 679 7 9 SD 4,20 21,50 0,90 2,20 23,90 69,70 5,10 CV (%) 37,20 1 4 3,70 15,50 10,10 10,60 6,40

(3)

termasuk sagu tidak berduri yaitu Folio, Hobolo, Osokulu Hongleu, Osokulu Hongsay, Panne, Yakhe, Yakhu Walo, Yepha Hongleu, Yepha Hongsay, Wananbo, dan Wani. Sagu jenis Manno, Para Hongleu, dan Para Hongsay memiliki duri yang panjang, sedangkan Rondo, Ruruna, dan Yakhalobe berduri pendek (Gambar 1). Jenis Puy berduri sangat pendek dan jumlahnya sangat jarang, bahkan umum-nya hanya berupa bekas dudukan duri saja.

POTENSI PRODUKSI

TEPUNG SAGU

Produksi tepung sagu dipengaruhi oleh kondisi tanah dan iklim. Hasil pengamatan

Oates dan Hicks (2002) di berbagai negara menunjukkan bahwa hasil tepung sagu Indonesia (Papua dan Bengkalis) dari tanaman berumur lebih dari 10 tahun berkisar 5−11 t/ha/tahun, sedangkan di daerah lain seperti di Serawak hanya 3,20− 7,70 t/ha/tahun.

Produksi tepung dan kandungan kimia tepung 10 jenis sagu Papua di Sentani dapat dilihat pada Tabel 4. Dari 10 jenis sagu tersebut, 4 jenis menghasilkan tepung lebih dari 8 t/ha/tahun, yaitu Osokulu Hongleu 9,80 t, Hapholo Hongsay 8,40 t, Para 8,30 t, dan Hapholo Hongleu 8 t/ha/tahun. Sagu Rondo Hongsay dan Rondo Hongleu masing-masing meng-hasilkan tepung hanya 3,40 dan 3,60 t/ha/ tahun, tetapi jenis sagu tersebut memiliki kelebihan yaitu batangnya pendek dan mudah diproses. Kandungan protein tertinggi (0,18−0,25%) diperoleh dari sagu

Yepha dan Rondo. Kandungan karbo-hidrat terendah terdapat pada Panne yaitu 55,78% dan tertinggi pada Rondo Hongsay (86,68%). Kandungan lemak, pati, amilosa, dan amilopektin hampir sama pada setiap jenis sagu.

Kandungan mineral serat sagu di Sentani disajikan pada Tabel 5. Dari ke-empat jenis sagu yaitu Yepha Hongsay, Para, Rondo, dan Ruruna umur 12−18 tahun, kandungan N, P, K, Ca, dan Mg pada serat sagu hampir sama.

Miyazaki (2004) melaporkan bahwa beberapa aksesi sagu yang sebenarnya sama, di beberapa daerah memiliki nama yang berbeda. Di daerah Sentani, misalnya, Yakhalope disebut Yakhe di daerah tengah dan disebut Mongging di daerah timur. Selanjutnya Ruruna biasanya disebut Epesum. Beberapa jenis sagu yang sering dieksploitasi oleh petani setempat karena hasil yang tinggi adalah Para, Yepha, Ruruna, dan Rondo.

Para: Hasil tepungnya paling tinggi di Sentani. Ada dua jenis sagu Para yaitu Para Hongsay dengan serat berwarna merah dan Para Hapbow atau Hongleu de-ngan serat berwarna putih. Para Hongsay umumnya dikonsumsi dalam keadaan dingin, karena bila dikonsumsi dalam keadaan panas dapat menyebabkan sakit perut. Sagu Para dikenali dari beberapa ciri seperti daun mahkota terbuka agak lebar dan beberapa daun agak lentur. Tulang daun sagu Para lebih keras dan umumnya dalam garis yang tidak beraturan. Pada tanaman muda, tulang daun terlihat jelas seperti pada Ruruna. Sebagai bahan atap atau anyaman, daun sagu Para paling baik dibanding jenis sagu lainnya. Ukuran daunnya luas, keras, dan tahan lebih dari 15 tahun. Diameter batang umumnya besar, biasanya 60 cm, dengan tinggi 10− 15 m. Di tempat yang terlindung, diameter batang lebih kecil walaupun tanamannya tinggi. Di beberapa lokasi, Para disebut pula Yamaha.

Yepha: Merupakan jenis sagu tidak berduri. Batang berukuran medium tetapi tinggi. Sagu jenis ini menghasilkan tepung paling banyak setelah Para, umumnya ditanam dan dikonsumsi oleh masyarakat lokal. Menurut bahasa lokal, Yepha artinya tumbuh ke langit karena tanaman mampu tumbuh hingga 25 m. Kanopi sagu Yepha berbentuk V dengan batang lurus. Daun berukuran medium dan lurus. Dua jenis Yepha yang ditemukan yaitu Yepha Hongsay dengan serat berwarna pink dan Yepha Hongleu dengan serat putih.

Tabel 2. Beberapa parameter pertumbuhan sagu di Sentani, Papua. Umur Tinggi tanaman Diameter batang Bobot batang Jenis sagu (tahun) (m) (cm) (kg) Yepha Hongsay 16−18 21,90 45,60 1.563 Para 14−15 20,80 54,90 1.971,90 Rondo 1 2 10,20 31,50 286,30 Ruruna 1 7 2 2 58,30 1.993,60 Sumber: Miyazaki (2004).

Tabel 3. Ukuran duri dan kerapatan duri 21 jenis sagu di Papua.

Jenis sagu Duri Ukuran duri Kerapatan duri

Manno Ada Panjang Jarang

Mongging Ada Panjang Jarang

Para Hongleu Ada Panjang Rapat

Para Hongsay Ada Panjang Rapat

Para Waliha Ada Panjang Jarang

Puy Ada Sangat pendek Sangat jarang

Rondo Ada Pendek Rapat

Ruruna Ada Pendek Rapat

Yakhalobe Ada Pendek Rapat

Ebefum Ada Panjang Jarang

Folio Tidak

Hobolo Tidak

Osokulu Hongleu Tidak Osokulu Hongsay Tidak

Panne Tidak

Yakhe Tidak

Yakhu Walo Tidak

Yepha Hongleu Tidak Yepha Hongsay Tidak

Wananbo Tidak

Wani Tidak

(4)

Ruruna: Merupakan jenis sagu ber-duri. Produksi tepungnya tinggi dengan tepung berwarna putih sehingga jenis ini banyak dieksploitasi untuk diambil tepungnya. Diameter dan tinggi batang bergantung pada lingkungan tumbuhnya. Pada daerah yang tidak ternaungi,

dia-meter batang bisa mencapai 70 cm, sedangkan pada daerah dengan populasi padat dan ternaungi diameternya lebih kecil.

Rondo: Tanamannya relatif kecil dan biasanya siap panen pada umur 6 tahun. Sagu ini lebih cepat dipanen dibanding

jenis lainnya di sekitar Sentani yang di-panen pada umur 10 tahun atau lebih. Sagu ini rasanya manis, dan bisa dikonsumsi langsung tanpa diperas terlebih dahulu seperti jenis sagu lainnya.

WARNA DAN KUALITAS

PATI SAGU

Sifat atau kualitas pati sagu dipengaruhi oleh faktor genetik serta proses ekstraksi-nya, seperti peralatan dan air yang di-gunakan, cara penyimpanan potongan batang sagu, dan penyaringan (Flach 1997). Warna dan kualitas pati sagu disaji-kan pada Tabel 6.

Pati sagu umumnya berwarna putih, namun ada pula yang secara genetik ber-warna kemerahan seperti Yepha, Fikhela, dan Ruruna karena mengandung senyawa fenol. Menurut Purwani et al. (2006), derajat putih pati sagu bervariasi dan dapat berubah menjadi kecoklatan atau ke-merahan selama penyimpanan. Perubahan warna tersebut disebabkan adanya aktivi-tas enzim Latent Polyphenol Oxidase (LPPO). Enzim ini mengkatalisis reaksi oksi-dasi senyawa polifenol menjadi kuinon yang selanjutnya membentuk polimer dan menghasilkan warna coklat (Onsa et al. 2000). Menurut Haryadi (2002), sagu yang berwarna putih dapat diperoleh dengan cara menyemprotkan air pada saat pe-marutan. Cara tersebut dapat mengurangi reaksi enzim oksidasi yang menyebabkan tepung berwarna kecoklatan.

PENGOLAHAN SAGU

Pada daerah-daerah yang terisolasi dan sulit dijangkau seperti Papua, pengolahan sagu masih dilakukan secara tradisional. Menurut Oates dan Hicks (2002), cara pengolahan secara tradisional sejak be-berapa ratus tahun lalu hanya sedikit mengalami perubahan.

Ada empat level teknologi pengolah-an sagu ypengolah-ang dilakukpengolah-an masyarakat, yaitu

micro-scale technology, small-scale technology, semi-mechanized technology,

dan fully-mechanized technology. Di Papua, cara pengolahan skala mikro di-lakukan di sekitar tempat sagu ditebang dengan menggunakan sumber air dari sungai atau danau.

Pengolahan secara small-scale

technology diperkirakan telah dilakukan

pada 350−400 daerah pengolahan sagu

Tabel 4. Produksi tepung dan kandungan kimia tepung sagu di Sentani, Papua.

Hasil tepung Protein Lemak Karbo- Pati Amilosa Amilo-Jenis sagu

(t/ha/tahun) (%) (%) hidrat(%) (%) (%) pektin(%)

Hapholo Hongleu 8 0,06 0,11 81,19 81,42 28,63 52,79 Hapholo Hongsay 8,40 0,12 0,07 86,12 82,35 29,52 52,83 Yepha Hongleu 7,90 0,19 0,08 80,01 84,12 27,55 56,54 Yepha Hongsay 7,60 0,25 0,12 83,31 83,27 27,34 55,43 Rondo Hongleu 3,60 0,18 0,08 69,35 81,45 28,59 52,56 Rondo Hongsay 3,40 0,18 0,09 86,68 83,42 28,67 54,75 Osokulu Hongleu 9,80 0,06 0,11 84,43 81,75 27,05 54,70 Panne 5,60 0,12 0,12 55,78 82,75 31,14 51,61 Folio Hongleu 5,10 0,12 0,19 65,90 83,02 29,08 53,94 Para 8,30 0,06 0,10 75,14 84,35 29,75 54,60 SD 2,06 0,06 0,02 10,14 1,04 1,23 1,51

Sumber: Tenda et al. (2005).

Tabel 5. Kandungan mineral serat sagu di Sentani, Jayapura.

Jenis sagu Umur Kandungan mineral (g/kg)

(tahun) N P K Ca Mg Yepha Hongsay 16−18 1,14 0,36 6,05 2,42 0,68 Para 14−15 0,96 0,36 4,10 1,61 0,65 Rondo 1 2 0,80 1,08 5,29 1,18 0,83 Ruruna 1 7 1,39 0,46 5,30 2,33 0,86 Sumber: Miyazaki (2004).

Gambar 1. Beberapa jenis sagu di Papua, yaitu (a) sagu Para, (b) sagu berduri, dan (c) sagu tidak berduri.

(5)

termasuk Papua dengan menggunakan mesin pemarut dan pemeras. Lokasi peng-olahan menetap dan dekat dengan sumber air seperti sungai dan danau. Tenaga kerja yang digunakan lebih sedikit dibanding pengolahan skala mikro, tetapi biaya pengolahannya lebih besar. Satu lokasi dapat menggunakan empat mesin pemarut dan pemeras yang dioperasikan oleh 5 orang. Setiap ton sagu kering dapat diper-oleh dari pengoperasian mesin pemarut dan pemeras selama 30 jam. Total investasi yang digunakan sekitar Rp10 juta termasuk pembelian mesin, bangunan semipermanen 5 m x 14 m, dan fasilitas pengeringan.

KEGUNAAN SAGU

Masyarakat Papua mengonsumsi sagu dalam bentuk papeda basah, papeda kering, dan bentuk lempengan. Ada pula sebagian masyarakat pendatang yang telah membuatnya menjadi berbagai kue dengan bentuk dan rasa yang beragam. Beberapa contoh kue sagu disajikan pada Gambar 2.

Pati teroksidasi digunakan pada industri kertas, tekstil, dan berbagai industri pangan (Radley 1976). Dalam industri kertas, pati teroksidasi digunakan sebagai bahan pelapis, dan dalam industri tekstil sebagai bahan sizing. Dalam indus-tri pangan, pati teroksidasi digunakan sebagai pengental, pengemulsi, pengikat, dan pencegah sinerisis untuk memper-tahankan mutu pangan.

Menurut Rindengan dan Karaouw (2003), dengan perkembangan teknologi, pati sagu dapat menjadi bahan baku pem-buatan plastik yang mudah terurai di lingkungan. Plastik jenis ini digunakan sebagai kemasan produk farmasi, kosme-tik, dan pangan. Kebutuhan plastik mudah terurai diprediksi akan berkembang dan akan menjadi industri besar di masa yang akan datang.

Selain sebagai sumber pati, bagian-bagian tanaman sagu seperti batang dan daun dapat digunakan untuk bahan

pem-buatan rumah, jembatan, dan alat rumah tangga. Selain itu, masyarakat telah me-manfaatkan limbah pohon sagu untuk memelihara ulat sagu sebagai makanan berprotein tinggi (Limbongan et al. 2005). Di samping sebagai sumber pen-dapatan dan pangan, tanaman sagu dapat menjadi pengikat kebersamaan masya-rakat adat di Papua. Para pemuka adat pemilik areal sagu biasanya menghibahkan sebagian pohon sagu kepada warga yang tidak memiliki tanaman sagu.

KESIMPULAN

Papua merupakan daerah sagu yang sangat potensial, karena di samping memiliki banyak jenis sagu, produktivitas beberapa jenis sagu tersebut cukup tinggi, yaitu lebih dari 8 t/ha/tahun seperti Para, Yepha, Rondo, dan Ruruna. Ciri morfologi sagu Papua seperti tinggi tanaman, lingkar batang, berduri atau tidak berduri dapat digunakan untuk membedakan jenis-jenis sagu. Demikian pula warna serat, warna tepung, dan kandungan kimia dapat digunakan untuk menentukan jenis sagu yang dapat dikonsumsi.

Penggunaan pati sagu pada masa mendatang cukup potensial. Selain se-bagai bahan pangan, pati sagu dapat digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, makanan, dan plastik mudah terurai.

Tabel 6. Warna dan kualitas pati beberapa jenis sagu di Sentani, Papua.

Tipe sagu Warna pati Kualitas pati

Yepha Merah kecoklatan Sukar teroksidasi

Osokulu Putih kekuningan Mudah teroksidasi menjadi coklat Wani Putih kekuningan Sukar teroksidasi

Hapholo Putih kekuningan Sukar teroksidasi

Folio Putih keabuan Sukar teroksidasi

Hilli Abu-abu kecoklatan Sukar teroksidasi

Yoghuleng Putih Mudah teroksidasi menjadi kuning

Fikhela Putih kemerahan Mudah teroksidasi menjadi coklat kekuningan Yakhali Putih kekuningan Mudah teroksidasi menjadi merah

Ebesung Putih keabuan Mudah teroksidasi menjadi coklat kekuningan Ruruna Putih kemerahan Tidak teroksidasi

Yakhalope Putih keabuan Mudah teroksidasi menjadi coklat kemerahan Rondo Putih kekuningan Sukar teroksidasi

Puy Putih Mudah teroksidasi menjadi kuning coklat

Manna Putih Tidak teroksidasi

Sumber: Miftahorrachman dan Novarianto (2003).

(6)

6 Oktober 2003. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado.

Limbongan, J., A. Hanafiah, dan M. Ngobe. 2005. Pengembangan Sagu Papua. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. 25 hlm. Mangindaan, H.F. dan H. Tampake. 2005. Status

Plasma Nutfah Tanaman Sagu (Metroxylon sp.). Buku Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 319−329.

Miftahorrachman dan H. Novarianto. 2003. Jenis-jenis sagu potensial di Sentani Irian Jaya. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado, 6 Oktober 2003. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. Miyazaki, A. 2004. Studies on Differences in Photosynthetic Abilities Among Varieties and Related Characters in Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb.) in Indonesia. Paper, Unpublish, Faculty of Agriculture, Kochi University. 50 pp.

Oates, C. and A. Hicks. 2002. Sago Starch Production in Asia and the Pacific- Problems and Prospects. New Frontiers of Sago Palm Studies. Universal Academic Press, Inc., Tokyo, Japan. p. 27−36.

Onsa, G.H., N. Saari, J. Selamat, and J. Bakar. 2000. Latent polyphenol oxidases from sago log (Metroxylon sagu); partial purification, activation, and some properties. J. Agric. Food Chem. 48: 5.041−5.045.

Pangkali, L.B. 1994. Taksiran Kandungan Tepung Jenis Sagu Yepha (Metroxylon sagu Rottb.) berdasarkan Tempat Tumbuh di Sentani, Kabupaten Jayapura. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih. Purwani, E.Y., Widaningrum, H. Setiyanto, E.

Savitri, dan R. Thahir. 2006. Teknologi Pengolahan Mi Sagu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. 44 hlm.

Radley, J.A. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Pub. Ltd., London. Rindengan, B. dan S. Karaouw. 2003. Potensi

pati sagu sebagai bahan baku plastik. hlm. 105−110. Sagu untuk Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado, 6 Oktober 2003. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado.

Tenda, E.T. 2004. Pemanfaatan keragaman genetik untuk pengembangan sagu. hlm. 313−320. Prosiding Simposium IV Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan, Bogor, 28−

30 September, Buku II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. Tenda, E.T., H. Novarianto, and J. Limbongan.

2005. Diversity of sago palm in Indonesia and conservation strategy. Paper presented in the Eight International Sago Symposium, Jayapura, Papua, 4−6 August 2005. Widjono, A., Y. Mokay, Amisnaipa, H. Lakuy,

A. Rouw, dan P. Wihyawari. 2000. Jenis-jenis Sagu Beberapa Daerah Papua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2004. Papua dalam Angka Tahun 2004/2005. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Jayapura. 510 hlm.

Barahima, J. Renwarin, L.N. Mawikere, and Sudarsono. 2001. Diversity of sago palm from Irian Jaya based on morphological characters and RAPD markers. Sago Palm, Abstracts of the International Symposium on Sago 9(2): 48−49.

Flach, M. 1983. Sago Palm Domestication, Explantation, and Production. FAG Plant Production and Protection Paper. 85 pp. Flach, M. 1997. Sago Palm. International Plant

Genetic Resources Institute (IPGRI) Promoting the Conservation and Use of Underutilized and Neglected Crops, 13. IPGRI Italy and IPK Germany.

Haryadi. 2002. The Current Status and Future Prospects of Sago Palm in Java. New Frontiers of Sago Palm Studies. Universal Academic Press, Inc., Tokyo Japan. p. 37−

41.

Kertopermono, A.P. 1996. Inventory and evalua-tion of sago palm (Metroxylon spp.) distribution. p. 53−62. In C. Jose and R. Rasyad (Eds.). Sago: The Future Source of Food and Feed. Proc. 6th Intl. Sago Symp.

Universal Academy Press, Inc.

Lakuy, H. dan J. Limbongan. 2003. Beberapa hasil kajian dan teknologi yang diperlukan untuk pengembangan sagu di Provinsi Papua. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado,

(7)

Tabel Lampiran 1. Sifat morfologi dan produksi pati 60 aksesi sagu di Papua.

Aksesi Warna Duri pucuk Pelepah Bentuk batang tepungWarna Produksitepung

Ana Apor Kemerahan Lunak Besar, hijau pucat dan Diameter rata Putih Rendah

panjang

Ana Uwabu Merah Keras, tersebar Hijau kekuningan, Diameter bagian Putih Tinggi

tidak beraturan dilapisi plot-plot putih bawah biasanya lebih

di seluruh kecil, bagian tengah

punggung sampai ke atas sama

pelepah dan besar

jarang

Anangga Suanau Merah Hanya pada Hijau kekuningan Diameter rata dari Putih Tinggi

kecoklatan anakan sampai hijau tua, bawah sampai atas berplot-plot putih

Ananggemo Merah Kecil Hijau di bagian Diameter rata dari Putih Tinggi

punggung luar bawah sampai atas

Anaraumar Era Hijau Sedang, Hijau, besar dan Tinggi Putih Sedang

kecoklatan cenderung panjang mengarah ke

bawah

Anatuba Sianggono Merah Pendek Hijau kekuningan Diameter rata dari Merah Rendah

bawah sampai atas

Apaigo Hijau Hanya pada Hijau kekuningan, Diameter rata Putih Tinggi

kekuningan anakan sedikit berplot putih

Bibewo Hijau Panjang Hijau tua Diameter bagian Merah muda Tinggi

kemerahan (sampai 21 cm) tengah lebih besar

daripada bagian bawah dan atas

Bibutu Mewi Merah Pendek, keras Hijau tua Diameter rata Putih Tinggi

Bosairo Kemerahan Kecil Hijau muda Diameter rata Putih Tinggi

kemerahan

Do Mboh Merah Tiga baris Kemerahan (pelepah Tinggi Kemerahan Sedang

hanya waktu Yakhali kuning-coklat) anakan

Edidao Hijau Keras dan Hijau muda Diameter bagian Merah Sedang

kemerahan panjang pangkal lebih kecil

(sampai 24 cm)

Epesum Merah Kasar, besar Hijau Diameter rata Merah muda Sedang

Epung Yepha Hijau tua Tidak berduri Hijau tua Diameter rata Putih Rendah

Fikta Merah Tidak berduri Hijau tua Tinggi Putih Rendah

Folio Hongleu Hijau Tidak berduri Besar, keputih-putihan Berbelang Putih Tinggi

Folio Hongsay Kemerahan Tidak berduri Hijau Diameter rata Merah Sedang

Hanumbo Hijau Tidak berduri Hijau tua Diameter rata Merah muda Sedang

kemerahan

Hiyakhe Kuning Pada anakan Hijau tua Diameter rata Merah muda Tinggi

kemerahan

Hopholo Hongleu Hijau tua Tidak berduri Hijau Diameter rata Putih Sedang

Hopholo Hongsay Hijau Tidak berduri Hijau tua Diameter rata Merah Sedang

kemerahan

Igoto Kemerahan Hanya pada Sisi kiri dan kanan Diameter rata Merah Tinggi

anakan berplot pola batik

Igoto Ogabarasu Kemerahan Hanya pada Sisi kiri dan kanan Diameter besar Merah Tinggi

anakan pelepah berpola batik

Kambea Hijau Keras Hijau tua Diameter rata Merah Tinggi

(8)

Kao Hijau Hanya pada Hijau Diameter rata Merah Tinggi kemerahan anakan

Manno Hongleu Kuning Panjang Hijau kekuningan Diameter rata Putih Sangat rendah

kemerahan

Manno Hongsay Merah Panjang Hijau kekuningan Diameter rata Merah Sangat rendah

Marido Hijau muda Hanya pada Hijau kekuningan Diameter rata Putih Tinggi

anakan

Merepo Hijau Lunak Hijau tua Diameter rata Kemerahan Tinggi

kemerahan

Mongging Hijau Panjang Hijau keputih-putihan Diameter rata Putih Tinggi

kemerahan

Okhu Hijau Panjang Hijau muda Diameter rata Putih Tidak ada

kekuningan

Osukulu Hongleu Hijau Tidak berduri Hijau Diameter rata Merah muda Tinggi

kemerahan

Osukulu Hongsay Merah Tidak berduri Hijau tua Diameter rata Merah Tinggi

Panne Kuning Tidak berduri Besar, lunak dan mulus Diameter rata Putih Sangat tinggi

kemerahan

Para Hongleu Hijau Panjang Hijau keputih-putihan Diameter rata Putih Sangat tinggi

kekuningan

Para Hongsay Merah tua Panjang Hijau keputih-putihan Diameter bagian Merah Tinggi

bawah lebih kecil bagian atas

Puy Hijau Sedikit, pendek, Hijau Diameter bagian Kemerahan Sedang

kemerahan keras bawah lebih kecil

bagian atas

Rondo Hongleu Kehijauan Agak lebat, Hijau Diameter rata Putih Tinggi

pendek, halus, mudah patah

Rondo Hongsay Merah Lebat, halus, Hijau tua Diameter rata Merah Sedang

pendek, mudah patah

Ruruna Hongleu Hijau Padat Hijau Diameter rata Putih Sedang

kemerahan

Ruruna Hongsay Merah Padat Hijau tua Diameter rata Kemerahan Sedang

Segago Hijau Sangat kecil Hijau Diameter rata Putih Tinggi

kemerahan kemerahan

To Merah Tidak berduri Mempunyai tiga Diameter rata Putih Sedang

alur/bis coklat

Walisa Hongleu Hijau Durinya Hijau Diameter rata Putih Sedang

kemerahan mengarah ke atas, pendek dan padat

Walisa Hongsay Merah Mengarah ke Hijau tua Diameter rata Merah Rendah

atas, pendek dan padat

Wanny Hongleu Hijau Tidak berduri Pangkal bekas Diameter rata Putih Tinggi

kemerahan pelepah tua kuat

Wanny Hongsay Merah Tidak berduri Berserat padat Diameter rata Merah Sedang

Wikuarawi Hijau Jarang, Hijau tua Diameter rata Putih Tinggi

kemerahan cenderung mengarah ke bawah Tabel Lampiran 1. (Lanjutan).

(9)

Wimir Kemerahan Panjang, lunak Hijau tua Bagian tengah lebih Merah Tinggi besar

Wimor Merah Panjang dan Hijau kekuningan dan Diameter rata Merah Tinggi

lunak panjang

Witarsomoy Hijau Keras Hijau kekuningan Besar dan tinggi Putih Tinggi

kemerahan

Witime Uwai Hijau Jarang dan Hijau berlilin Diameter bagian Putih Tinggi

kekuningan lunak bawah lebih kecil

daripada bagian atas

Wokowurui Kemerahan Padat, panjang Hijau muda Diameter rata Putih Tinggi

(21 cm)

Yakhati Merah Hanya pada Hijau tua Diameter rata Merah Sedang

anakan muda

Yakhalope Hongleu Hijau Tersusun dalam Hijau keputih-putihan Diameter rata Umumnya Sedang

kemerahan baris-baris putih

Yakhalope Hongsay Merah Bentuknya Hijau tua Diameter rata Merah muda Rendah

sama dengan Manno

Yakhe Merah Tidak berduri Hijau tua Diameter rata Putih Rendah

kekuningan

Yepha Hili Hijau Tidak berduri Hijau Diameter rata Putih Sedang

kemerahan

Yepha Hongleu Hijau Tidak berduri Hijau dengan plot-plot Diameter rata Putih Tinggi

kemerahan putih

Yepha Hongsay Hijau Tidak berduri Hijau Diameter rata Merah muda Tinggi

kemerahan Sumber: Widjono et al. (2000) Tabel Lampiran 1. (Lanjutan).

Gambar

Tabel 1. Ciri morfologi 10 jenis sagu unggul di Sentani, Papua.
Tabel 3. Ukuran duri dan kerapatan duri 21 jenis sagu di Papua.
Gambar 1. Beberapa jenis sagu di Papua, yaitu (a) sagu Para, (b) sagu berduri, dan (c) sagu tidak berduri.
Tabel 6. Warna dan kualitas pati beberapa jenis sagu di Sentani, Papua.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Genotipe B11-209/Mr14 memiliki adaptasi yang cukup luas dengan rata-rata hasil 8,5 t/ha, 11% lebih tinggi dari Bima 1, dan 8% lebih tinggi dari Bisi 2, tongkol besar, kelobot

Keseluruhan sampel lobster yang di-tagging menggunakan T-bar menunjukkan persentase tingkat kelangsungan hidup yang menurun cukup tinggi pada 6 hari pertama dan mulai melambat

Jenis vegetasi pohon yang terkategori dalam IUCN di lahan bera Womnowi Sidey Manokwari tergolong cukup tinggi dalam area sampling 1 ha ditemukan 21 jenis terdiri dari 88 individu

Papua merupakan salah satu kawasan hutan tropis di Indonesia yang memiliki zona-zona vegetasi terlengkap di dunia dan keanekaragaman jenis flora yang sanga tinggi.. Namun sampai

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,