S
agu (Metroxylon sagu Rottb.) me-rupakan tanaman asli Asia Tenggara. Penyebarannya meliputi Melanesia Barat sampai India Timur dan dari Mindanao Utara sampai Pulau Jawa dan Nusa Teng-gara bagian selatan.Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa de-ngan sumber air yang melimpah. Menurut Oates dan Hicks (2002), tanaman sagu masih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.250 m dpl dengan curah hujan 4.500 mm/tahun.
Sekitar 50% tanaman sagu dunia atau 1.128 juta ha tumbuh di Indonesia (Flach 1983), dan 90% dari jumlah tersebut atau 1.015 juta ha berkembang di Provinsi Papua dan Maluku (Lakuy dan Limbongan 2003). Menurut statistik perkebunan tahun 2000,
potensi produksi tepung sagu yang dapat dihasilkan dari luasan tersebut adalah 6,50 juta ton.
Sekitar 40% dari jumlah tegakan sagu di Papua (seluas 300.000 ha) merupakan tanaman produktif yang siap panen sehingga potensi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber cadangan pangan pada masa yang akan datang (Tenda 2004). Areal sagu tersebut tersebar di Merauke, Timika, Fakfak, Manokwari, Biak Numfor, Sorong, Yapen, Waropen, dan Jayapura. Dari jumlah tersebut baru dimanfaatkan sekitar 0,34% (Kertopermono 1996).
Konsumsi sagu di Papua tahun 2004 mencapai 50,18 kg/kapita/tahun, lebih rendah dibanding bahan pangan lainnya yaitu padi dan ubi-ubian masing-masing 130 kg dan 75,30 kg/kapita/tahun (Badan
Pusat Statistik Provinsi Papua 2004). Produksi sagu pada tahun 2004 sekitar 7.140 t/tahun, dengan harga tepung sagu mencapai Rp13.500/kg atau hampir dua kali lipat harga tepung ubi atau beras. Potensi produksi sagu yang besar dengan harga yang cukup tinggi dapat menjadi-kan sagu sebagai komoditas andalan di masa yang akan datang.
Tanaman sagu di Papua memiliki keragaman genetik yang sangat tinggi (Barahima et al. 2001). Kesimpulan ini diperkuat oleh Mangindaan dan Tampake (2005) yang menyatakan bahwa Papua merupakan sentra keragaman genetik sagu terbesar di dunia sehingga tanaman sagu di daerah ini perlu diamankan dari erosi genetik serta pelarian genetik ke luar negeri. Widjono et al. (2000) telah
meng-MORFOLOGI BEBERAPA JENIS SAGU POTENSIAL
DI PAPUA
Jermia Limbongan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, Jalan Yahim Sentani, Jayapura, Kotak Pos 256 Sentani 993542
ABSTRAK
Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil pati yang sangat potensial di masa yang akan datang. Tanaman sagu banyak tumbuh secara alami di Papua dan Maluku dan dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk sebagai makanan sehari-hari. Makalah ini memberikan informasi tentang morfologi beberapa jenis sagu lokal di Papua. Sagu Papua memiliki banyak aksesi dengan ciri yang berbeda-beda pada morfologi batang dan daun, kandungan gizi dan mineral, produktivitas, dan warna tepung. Sagu Yepha, Rondo, Para, dan Ruruna dapat dikenali dari karakteristik yang berbeda, dan karakteristik ini dapat digunakan untuk mengetahui potensi produksi dan kegunaannya. Pati sagu, selain sebagai bahan pangan juga banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, makanan, kertas, dan plastik. Untuk menjaga kelestarian sagu Papua, upaya perbaikan budi daya serta pengelolaan plasma nutfah perlu dilakukan.
Kata kunci: Metroxylon sagu, aksesi, morfologi, pati sagu, Papua
ABSTRACT
Morphological characteristics of some sago palms from Papua
Sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) is a potential starch source in the future. Most of the plants grow naturally in Papua and Maluku and many people consume it as a daily food. The paper described morphology of sago palms in Papua. There are many accessions of sago palms in Papua with specific morphological characteristics in stems, leaves, nutrient and mineral contents, yield, and starch color. Sago palms such as Yepha, Rondo, Para, and Ruruna have different characteristics and these characteristics reflect their yield potential and usage. Sago starch is commonly used as food resources, also as raw materials in cosmetics, food, paper, and plastic industries. Therefore, improvement of sago palm cultivation and conservation of sago germplasm are needed.
identifikasi 60 jenis sagu Papua yang tumbuh di daerah Jayapura, Manokwari, Merauke, dan Sorong. Selanjutnya, hasil penelitian Universitas Papua (2001) me-nemukan 22 jenis sagu di Biak dan Supriori, sedangkan Miftahorrachman dan Novarianto (2003) menemukan 20 aksesi sagu di Sentani. Makin beragamnya pe-manfaatan sagu dan makin meningkatnya permintaan tepung sagu menyebabkan terjadinya eksploitasi tanaman secara besar-besaran tanpa ada upaya untuk merehabilitasinya (Mangindaan dan Tampake 2005). Kondisi seperti itu telah terjadi di Papua dan dapat menyebabkan punahnya beberapa aksesi sagu yang memiliki potensi produksi tinggi (Limbo-ngan et al. 2005).
Aksesi-aksesi sagu yang ditemukan di Papua memiliki keragaman dalam pe-nampilan morfologi, misalnya keberadaan duri, tinggi tanaman, lingkar batang, dan warna tepung. Selain itu ada beberapa jenis sagu yang dapat tumbuh di lahan kering. Produktivitasnya pun bervariasi dari 5 hingga11 t/ha/tahun, tetapi ada pula yang hanya digunakan sebagai media pe-meliharaan ulat sagu (Oates dan Hicks 2002).
Makalah ini membahas ciri morfologi beberapa jenis sagu potensial yang tum-buh di Papua, misalnya duri pada batang, tinggi tanaman, lingkar batang, bobot batang, jumlah daun, jumlah petiole, panjang rachis, warna tepung, kandungan kimia tepung, kandungan mineral tepung, dan produksi tepung sagu. Dengan me-ngenal ciri morfologi tersebut dapat diketahui jenis-jenis sagu yang potensial sebagai penghasil tepung serta upaya pelestariannya untuk mencegah kepunah-an jenis-jenis sagu tertentu.
TIPE SAGU PAPUA
Pangkali (1994) telah mengidentifikasi 20 jenis sagu asal Jayapura dan mengelom-pokkannya ke dalam dua tipe yaitu sagu berduri atau Metroxylon rumphii Mart. dan sagu tidak berduri atau Metroxylon
sagu Rottb. Yang termasuk sagu berduri
adalah Para Huphon, Para Hongsay, Rondo, Munggin, Puy, Manno, Epesum, Ruruna, dan Yakhalope, dan untuk sagu tidak berduri adalah Yepha Hongsay, Yepha Hongleu, Yepha Ebung, Osokulu, Folio, Panne, Wani, Ninggih, Yukulam, Hapholo, Yakhe, Hili, Fikhela, dan Hanumbo. Selanjutnya Widjono et al. (2000)
meng-identifikasi 60 jenis sagu di Papua yang tersebar di Jayapura, Manokwari, Merau-ke, dan Sorong (Tabel Lampiran 1).
Jenis-jenis sagu tersebut berbeda dalam hal warna pucuk, yaitu hijau, kuning sampai merah, ukuran duri, kerapatan duri, kekerasan duri, dan letak duri. Warna pelepah daun pun berbeda-beda yaitu hijau muda, hijau tua, hijau keputihan, hijau kekuningan, dan hijau bertitik-titik. Diameter batang juga bervariasi, yaitu diameter batang bagian bawah lebih kecil dari bagian atas, diameter batang sama mulai dari bawah sampai ke atas, dan ada juga yang diameter batang bagian tengah lebih besar dari bagian ujung dan pangkal. Warna tepungnya ada yang putih, kemerahan, merah muda, dan putih ke-kuningan.
CIRI MORFOLOGI SAGU
PAPUA
Ciri morfologi merupakan petunjuk praktis untuk mengenal berbagai jenis sagu di lapangan. Ciri morfologi yang dapat di-amati antara lain adalah tinggi batang, lingkar batang, jumlah daun, jumlah petiole, panjang rachis, dan jumlah lembar daun. Ciri morfologi 10 jenis sagu unggul di Sentani disajikan pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa tinggi batang memiliki keragaman yang tinggi (CV > 20%), sedangkan karakter vegetatif lainnya seperti lingkar batang, jumlah daun, jumlah petiole, panjang daun, dan panjang rachis memiliki keragaman yang rendah (CV < 20%). Oleh karena itu, menurut Tenda (2004), karakter tinggi
batang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk mempertahankan sifat unggul pada generasi berikutnya.
Sagu jenis Rondo memiliki tinggi tanaman 10,20 m, lebih pendek daripada sagu jenis Yepha, Para, dan Ruruna yang tingginya bisa mencapai 20 m bahkan lebih. Batang sagu jenis Rondo umumnya pendek, yaitu Rondo Hongleu 4,50 m dan Rondo Hongsay 4,20 m, sedangkan jenis lainnya seperti Yepha Hongsay, Para, dan Ruruna memiliki batang lebih dari 10 m. Karena batangnya pendek, sagu Rondo biasa digunakan sebagai konsumsi ke-luarga di Sentani.
Miyazaki (2004) telah melakukan pengamatan beberapa parameter pertum-buhan empat jenis sagu di Sentani dengan hasil dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel ter-sebut memperlihatkan bahwa pada umur hampir sama, tinggi tanaman sagu Rondo sangat berbeda dengan tiga jenis lainnya, yaitu Yepha Hongsay, Para, dan Ruruna. Demikian pula panjang batang, diameter batang, dan bobot batang sagu Rondo jauh lebih kecil dibanding jenis lainnya. Rondo relatif lebih kecil dan berduri pada umur 6 tahun. Di Sentani, sagu Rondo mulai berproduksi setelah berumur lebih dari 10 tahun. Durinya kecil, pendek, dan mudah patah. Sagunya manis dan biasa dikonsumsi langsung tanpa diparut atau diperas terlebih dahulu.
Hasil pengamatan Miyazaki (2004) terhadap 21 jenis sagu di Papua disajikan pada Tabel 3. Dari 21 jenis sagu tersebut, 10 jenis termasuk sagu berduri, yaitu Manno, Mongging, Para Hongleu, Para Hongsay, Para Waliha, Puy, Rondo, Ruruna, Yakhalobe, dan Ebefum. Sisanya
Tabel 1. Ciri morfologi 10 jenis sagu unggul di Sentani, Papua. Tinggi Lingkar Jumlah Jumlah
Jumlah Panjang Jumlah
Jenis sagu batang batang daun daun
petiole rachis lembar
(m) (cm) kering hijau (cm) daun
Hapholo Hongleu 15,20 143 8 1 5 225 462,50 7 2 Hapholo Hongsay 13,80 145 8 1 6 245 467 7 6 Yepha Hongleu 15,20 143 8 1 5 240 474 8 2 Yepha Hongsay 14,30 148 7 1 3 270 478,50 8 4 Rondo Hongleu 4,50 149 1 0 1 2 225 461,50 7 7 Rondo Hongsay 4,20 144 9 1 2 205 658 7 4 Osokulu Hongleu 11,20 190 8 1 7 270 677 8 9 Panne 15,40 155 7 1 4 214 554 8 1 Folio Hongleu 9,40 171 8 1 9 264 665 8 2 Para 1 1 108 9 1 3 218 679 7 9 SD 4,20 21,50 0,90 2,20 23,90 69,70 5,10 CV (%) 37,20 1 4 3,70 15,50 10,10 10,60 6,40
termasuk sagu tidak berduri yaitu Folio, Hobolo, Osokulu Hongleu, Osokulu Hongsay, Panne, Yakhe, Yakhu Walo, Yepha Hongleu, Yepha Hongsay, Wananbo, dan Wani. Sagu jenis Manno, Para Hongleu, dan Para Hongsay memiliki duri yang panjang, sedangkan Rondo, Ruruna, dan Yakhalobe berduri pendek (Gambar 1). Jenis Puy berduri sangat pendek dan jumlahnya sangat jarang, bahkan umum-nya hanya berupa bekas dudukan duri saja.
POTENSI PRODUKSI
TEPUNG SAGU
Produksi tepung sagu dipengaruhi oleh kondisi tanah dan iklim. Hasil pengamatan
Oates dan Hicks (2002) di berbagai negara menunjukkan bahwa hasil tepung sagu Indonesia (Papua dan Bengkalis) dari tanaman berumur lebih dari 10 tahun berkisar 5−11 t/ha/tahun, sedangkan di daerah lain seperti di Serawak hanya 3,20− 7,70 t/ha/tahun.
Produksi tepung dan kandungan kimia tepung 10 jenis sagu Papua di Sentani dapat dilihat pada Tabel 4. Dari 10 jenis sagu tersebut, 4 jenis menghasilkan tepung lebih dari 8 t/ha/tahun, yaitu Osokulu Hongleu 9,80 t, Hapholo Hongsay 8,40 t, Para 8,30 t, dan Hapholo Hongleu 8 t/ha/tahun. Sagu Rondo Hongsay dan Rondo Hongleu masing-masing meng-hasilkan tepung hanya 3,40 dan 3,60 t/ha/ tahun, tetapi jenis sagu tersebut memiliki kelebihan yaitu batangnya pendek dan mudah diproses. Kandungan protein tertinggi (0,18−0,25%) diperoleh dari sagu
Yepha dan Rondo. Kandungan karbo-hidrat terendah terdapat pada Panne yaitu 55,78% dan tertinggi pada Rondo Hongsay (86,68%). Kandungan lemak, pati, amilosa, dan amilopektin hampir sama pada setiap jenis sagu.
Kandungan mineral serat sagu di Sentani disajikan pada Tabel 5. Dari ke-empat jenis sagu yaitu Yepha Hongsay, Para, Rondo, dan Ruruna umur 12−18 tahun, kandungan N, P, K, Ca, dan Mg pada serat sagu hampir sama.
Miyazaki (2004) melaporkan bahwa beberapa aksesi sagu yang sebenarnya sama, di beberapa daerah memiliki nama yang berbeda. Di daerah Sentani, misalnya, Yakhalope disebut Yakhe di daerah tengah dan disebut Mongging di daerah timur. Selanjutnya Ruruna biasanya disebut Epesum. Beberapa jenis sagu yang sering dieksploitasi oleh petani setempat karena hasil yang tinggi adalah Para, Yepha, Ruruna, dan Rondo.
Para: Hasil tepungnya paling tinggi di Sentani. Ada dua jenis sagu Para yaitu Para Hongsay dengan serat berwarna merah dan Para Hapbow atau Hongleu de-ngan serat berwarna putih. Para Hongsay umumnya dikonsumsi dalam keadaan dingin, karena bila dikonsumsi dalam keadaan panas dapat menyebabkan sakit perut. Sagu Para dikenali dari beberapa ciri seperti daun mahkota terbuka agak lebar dan beberapa daun agak lentur. Tulang daun sagu Para lebih keras dan umumnya dalam garis yang tidak beraturan. Pada tanaman muda, tulang daun terlihat jelas seperti pada Ruruna. Sebagai bahan atap atau anyaman, daun sagu Para paling baik dibanding jenis sagu lainnya. Ukuran daunnya luas, keras, dan tahan lebih dari 15 tahun. Diameter batang umumnya besar, biasanya 60 cm, dengan tinggi 10− 15 m. Di tempat yang terlindung, diameter batang lebih kecil walaupun tanamannya tinggi. Di beberapa lokasi, Para disebut pula Yamaha.
Yepha: Merupakan jenis sagu tidak berduri. Batang berukuran medium tetapi tinggi. Sagu jenis ini menghasilkan tepung paling banyak setelah Para, umumnya ditanam dan dikonsumsi oleh masyarakat lokal. Menurut bahasa lokal, Yepha artinya tumbuh ke langit karena tanaman mampu tumbuh hingga 25 m. Kanopi sagu Yepha berbentuk V dengan batang lurus. Daun berukuran medium dan lurus. Dua jenis Yepha yang ditemukan yaitu Yepha Hongsay dengan serat berwarna pink dan Yepha Hongleu dengan serat putih.
Tabel 2. Beberapa parameter pertumbuhan sagu di Sentani, Papua. Umur Tinggi tanaman Diameter batang Bobot batang Jenis sagu (tahun) (m) (cm) (kg) Yepha Hongsay 16−18 21,90 45,60 1.563 Para 14−15 20,80 54,90 1.971,90 Rondo 1 2 10,20 31,50 286,30 Ruruna 1 7 2 2 58,30 1.993,60 Sumber: Miyazaki (2004).
Tabel 3. Ukuran duri dan kerapatan duri 21 jenis sagu di Papua.
Jenis sagu Duri Ukuran duri Kerapatan duri
Manno Ada Panjang Jarang
Mongging Ada Panjang Jarang
Para Hongleu Ada Panjang Rapat
Para Hongsay Ada Panjang Rapat
Para Waliha Ada Panjang Jarang
Puy Ada Sangat pendek Sangat jarang
Rondo Ada Pendek Rapat
Ruruna Ada Pendek Rapat
Yakhalobe Ada Pendek Rapat
Ebefum Ada Panjang Jarang
Folio Tidak
Hobolo Tidak
Osokulu Hongleu Tidak Osokulu Hongsay Tidak
Panne Tidak
Yakhe Tidak
Yakhu Walo Tidak
Yepha Hongleu Tidak Yepha Hongsay Tidak
Wananbo Tidak
Wani Tidak
Ruruna: Merupakan jenis sagu ber-duri. Produksi tepungnya tinggi dengan tepung berwarna putih sehingga jenis ini banyak dieksploitasi untuk diambil tepungnya. Diameter dan tinggi batang bergantung pada lingkungan tumbuhnya. Pada daerah yang tidak ternaungi,
dia-meter batang bisa mencapai 70 cm, sedangkan pada daerah dengan populasi padat dan ternaungi diameternya lebih kecil.
Rondo: Tanamannya relatif kecil dan biasanya siap panen pada umur 6 tahun. Sagu ini lebih cepat dipanen dibanding
jenis lainnya di sekitar Sentani yang di-panen pada umur 10 tahun atau lebih. Sagu ini rasanya manis, dan bisa dikonsumsi langsung tanpa diperas terlebih dahulu seperti jenis sagu lainnya.
WARNA DAN KUALITAS
PATI SAGU
Sifat atau kualitas pati sagu dipengaruhi oleh faktor genetik serta proses ekstraksi-nya, seperti peralatan dan air yang di-gunakan, cara penyimpanan potongan batang sagu, dan penyaringan (Flach 1997). Warna dan kualitas pati sagu disaji-kan pada Tabel 6.
Pati sagu umumnya berwarna putih, namun ada pula yang secara genetik ber-warna kemerahan seperti Yepha, Fikhela, dan Ruruna karena mengandung senyawa fenol. Menurut Purwani et al. (2006), derajat putih pati sagu bervariasi dan dapat berubah menjadi kecoklatan atau ke-merahan selama penyimpanan. Perubahan warna tersebut disebabkan adanya aktivi-tas enzim Latent Polyphenol Oxidase (LPPO). Enzim ini mengkatalisis reaksi oksi-dasi senyawa polifenol menjadi kuinon yang selanjutnya membentuk polimer dan menghasilkan warna coklat (Onsa et al. 2000). Menurut Haryadi (2002), sagu yang berwarna putih dapat diperoleh dengan cara menyemprotkan air pada saat pe-marutan. Cara tersebut dapat mengurangi reaksi enzim oksidasi yang menyebabkan tepung berwarna kecoklatan.
PENGOLAHAN SAGU
Pada daerah-daerah yang terisolasi dan sulit dijangkau seperti Papua, pengolahan sagu masih dilakukan secara tradisional. Menurut Oates dan Hicks (2002), cara pengolahan secara tradisional sejak be-berapa ratus tahun lalu hanya sedikit mengalami perubahan.
Ada empat level teknologi pengolah-an sagu ypengolah-ang dilakukpengolah-an masyarakat, yaitu
micro-scale technology, small-scale technology, semi-mechanized technology,
dan fully-mechanized technology. Di Papua, cara pengolahan skala mikro di-lakukan di sekitar tempat sagu ditebang dengan menggunakan sumber air dari sungai atau danau.
Pengolahan secara small-scale
technology diperkirakan telah dilakukan
pada 350−400 daerah pengolahan sagu
Tabel 4. Produksi tepung dan kandungan kimia tepung sagu di Sentani, Papua.
Hasil tepung Protein Lemak Karbo- Pati Amilosa Amilo-Jenis sagu
(t/ha/tahun) (%) (%) hidrat(%) (%) (%) pektin(%)
Hapholo Hongleu 8 0,06 0,11 81,19 81,42 28,63 52,79 Hapholo Hongsay 8,40 0,12 0,07 86,12 82,35 29,52 52,83 Yepha Hongleu 7,90 0,19 0,08 80,01 84,12 27,55 56,54 Yepha Hongsay 7,60 0,25 0,12 83,31 83,27 27,34 55,43 Rondo Hongleu 3,60 0,18 0,08 69,35 81,45 28,59 52,56 Rondo Hongsay 3,40 0,18 0,09 86,68 83,42 28,67 54,75 Osokulu Hongleu 9,80 0,06 0,11 84,43 81,75 27,05 54,70 Panne 5,60 0,12 0,12 55,78 82,75 31,14 51,61 Folio Hongleu 5,10 0,12 0,19 65,90 83,02 29,08 53,94 Para 8,30 0,06 0,10 75,14 84,35 29,75 54,60 SD 2,06 0,06 0,02 10,14 1,04 1,23 1,51
Sumber: Tenda et al. (2005).
Tabel 5. Kandungan mineral serat sagu di Sentani, Jayapura.
Jenis sagu Umur Kandungan mineral (g/kg)
(tahun) N P K Ca Mg Yepha Hongsay 16−18 1,14 0,36 6,05 2,42 0,68 Para 14−15 0,96 0,36 4,10 1,61 0,65 Rondo 1 2 0,80 1,08 5,29 1,18 0,83 Ruruna 1 7 1,39 0,46 5,30 2,33 0,86 Sumber: Miyazaki (2004).
Gambar 1. Beberapa jenis sagu di Papua, yaitu (a) sagu Para, (b) sagu berduri, dan (c) sagu tidak berduri.
termasuk Papua dengan menggunakan mesin pemarut dan pemeras. Lokasi peng-olahan menetap dan dekat dengan sumber air seperti sungai dan danau. Tenaga kerja yang digunakan lebih sedikit dibanding pengolahan skala mikro, tetapi biaya pengolahannya lebih besar. Satu lokasi dapat menggunakan empat mesin pemarut dan pemeras yang dioperasikan oleh 5 orang. Setiap ton sagu kering dapat diper-oleh dari pengoperasian mesin pemarut dan pemeras selama 30 jam. Total investasi yang digunakan sekitar Rp10 juta termasuk pembelian mesin, bangunan semipermanen 5 m x 14 m, dan fasilitas pengeringan.
KEGUNAAN SAGU
Masyarakat Papua mengonsumsi sagu dalam bentuk papeda basah, papeda kering, dan bentuk lempengan. Ada pula sebagian masyarakat pendatang yang telah membuatnya menjadi berbagai kue dengan bentuk dan rasa yang beragam. Beberapa contoh kue sagu disajikan pada Gambar 2.
Pati teroksidasi digunakan pada industri kertas, tekstil, dan berbagai industri pangan (Radley 1976). Dalam industri kertas, pati teroksidasi digunakan sebagai bahan pelapis, dan dalam industri tekstil sebagai bahan sizing. Dalam indus-tri pangan, pati teroksidasi digunakan sebagai pengental, pengemulsi, pengikat, dan pencegah sinerisis untuk memper-tahankan mutu pangan.
Menurut Rindengan dan Karaouw (2003), dengan perkembangan teknologi, pati sagu dapat menjadi bahan baku pem-buatan plastik yang mudah terurai di lingkungan. Plastik jenis ini digunakan sebagai kemasan produk farmasi, kosme-tik, dan pangan. Kebutuhan plastik mudah terurai diprediksi akan berkembang dan akan menjadi industri besar di masa yang akan datang.
Selain sebagai sumber pati, bagian-bagian tanaman sagu seperti batang dan daun dapat digunakan untuk bahan
pem-buatan rumah, jembatan, dan alat rumah tangga. Selain itu, masyarakat telah me-manfaatkan limbah pohon sagu untuk memelihara ulat sagu sebagai makanan berprotein tinggi (Limbongan et al. 2005). Di samping sebagai sumber pen-dapatan dan pangan, tanaman sagu dapat menjadi pengikat kebersamaan masya-rakat adat di Papua. Para pemuka adat pemilik areal sagu biasanya menghibahkan sebagian pohon sagu kepada warga yang tidak memiliki tanaman sagu.
KESIMPULAN
Papua merupakan daerah sagu yang sangat potensial, karena di samping memiliki banyak jenis sagu, produktivitas beberapa jenis sagu tersebut cukup tinggi, yaitu lebih dari 8 t/ha/tahun seperti Para, Yepha, Rondo, dan Ruruna. Ciri morfologi sagu Papua seperti tinggi tanaman, lingkar batang, berduri atau tidak berduri dapat digunakan untuk membedakan jenis-jenis sagu. Demikian pula warna serat, warna tepung, dan kandungan kimia dapat digunakan untuk menentukan jenis sagu yang dapat dikonsumsi.
Penggunaan pati sagu pada masa mendatang cukup potensial. Selain se-bagai bahan pangan, pati sagu dapat digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, makanan, dan plastik mudah terurai.
Tabel 6. Warna dan kualitas pati beberapa jenis sagu di Sentani, Papua.
Tipe sagu Warna pati Kualitas pati
Yepha Merah kecoklatan Sukar teroksidasi
Osokulu Putih kekuningan Mudah teroksidasi menjadi coklat Wani Putih kekuningan Sukar teroksidasi
Hapholo Putih kekuningan Sukar teroksidasi
Folio Putih keabuan Sukar teroksidasi
Hilli Abu-abu kecoklatan Sukar teroksidasi
Yoghuleng Putih Mudah teroksidasi menjadi kuning
Fikhela Putih kemerahan Mudah teroksidasi menjadi coklat kekuningan Yakhali Putih kekuningan Mudah teroksidasi menjadi merah
Ebesung Putih keabuan Mudah teroksidasi menjadi coklat kekuningan Ruruna Putih kemerahan Tidak teroksidasi
Yakhalope Putih keabuan Mudah teroksidasi menjadi coklat kemerahan Rondo Putih kekuningan Sukar teroksidasi
Puy Putih Mudah teroksidasi menjadi kuning coklat
Manna Putih Tidak teroksidasi
Sumber: Miftahorrachman dan Novarianto (2003).
6 Oktober 2003. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado.
Limbongan, J., A. Hanafiah, dan M. Ngobe. 2005. Pengembangan Sagu Papua. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. 25 hlm. Mangindaan, H.F. dan H. Tampake. 2005. Status
Plasma Nutfah Tanaman Sagu (Metroxylon sp.). Buku Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 319−329.
Miftahorrachman dan H. Novarianto. 2003. Jenis-jenis sagu potensial di Sentani Irian Jaya. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado, 6 Oktober 2003. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. Miyazaki, A. 2004. Studies on Differences in Photosynthetic Abilities Among Varieties and Related Characters in Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb.) in Indonesia. Paper, Unpublish, Faculty of Agriculture, Kochi University. 50 pp.
Oates, C. and A. Hicks. 2002. Sago Starch Production in Asia and the Pacific- Problems and Prospects. New Frontiers of Sago Palm Studies. Universal Academic Press, Inc., Tokyo, Japan. p. 27−36.
Onsa, G.H., N. Saari, J. Selamat, and J. Bakar. 2000. Latent polyphenol oxidases from sago log (Metroxylon sagu); partial purification, activation, and some properties. J. Agric. Food Chem. 48: 5.041−5.045.
Pangkali, L.B. 1994. Taksiran Kandungan Tepung Jenis Sagu Yepha (Metroxylon sagu Rottb.) berdasarkan Tempat Tumbuh di Sentani, Kabupaten Jayapura. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih. Purwani, E.Y., Widaningrum, H. Setiyanto, E.
Savitri, dan R. Thahir. 2006. Teknologi Pengolahan Mi Sagu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. 44 hlm.
Radley, J.A. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Pub. Ltd., London. Rindengan, B. dan S. Karaouw. 2003. Potensi
pati sagu sebagai bahan baku plastik. hlm. 105−110. Sagu untuk Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado, 6 Oktober 2003. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado.
Tenda, E.T. 2004. Pemanfaatan keragaman genetik untuk pengembangan sagu. hlm. 313−320. Prosiding Simposium IV Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan, Bogor, 28−
30 September, Buku II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. Tenda, E.T., H. Novarianto, and J. Limbongan.
2005. Diversity of sago palm in Indonesia and conservation strategy. Paper presented in the Eight International Sago Symposium, Jayapura, Papua, 4−6 August 2005. Widjono, A., Y. Mokay, Amisnaipa, H. Lakuy,
A. Rouw, dan P. Wihyawari. 2000. Jenis-jenis Sagu Beberapa Daerah Papua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2004. Papua dalam Angka Tahun 2004/2005. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Jayapura. 510 hlm.
Barahima, J. Renwarin, L.N. Mawikere, and Sudarsono. 2001. Diversity of sago palm from Irian Jaya based on morphological characters and RAPD markers. Sago Palm, Abstracts of the International Symposium on Sago 9(2): 48−49.
Flach, M. 1983. Sago Palm Domestication, Explantation, and Production. FAG Plant Production and Protection Paper. 85 pp. Flach, M. 1997. Sago Palm. International Plant
Genetic Resources Institute (IPGRI) Promoting the Conservation and Use of Underutilized and Neglected Crops, 13. IPGRI Italy and IPK Germany.
Haryadi. 2002. The Current Status and Future Prospects of Sago Palm in Java. New Frontiers of Sago Palm Studies. Universal Academic Press, Inc., Tokyo Japan. p. 37−
41.
Kertopermono, A.P. 1996. Inventory and evalua-tion of sago palm (Metroxylon spp.) distribution. p. 53−62. In C. Jose and R. Rasyad (Eds.). Sago: The Future Source of Food and Feed. Proc. 6th Intl. Sago Symp.
Universal Academy Press, Inc.
Lakuy, H. dan J. Limbongan. 2003. Beberapa hasil kajian dan teknologi yang diperlukan untuk pengembangan sagu di Provinsi Papua. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado,
Tabel Lampiran 1. Sifat morfologi dan produksi pati 60 aksesi sagu di Papua.
Aksesi Warna Duri pucuk Pelepah Bentuk batang tepungWarna Produksitepung
Ana Apor Kemerahan Lunak Besar, hijau pucat dan Diameter rata Putih Rendah
panjang
Ana Uwabu Merah Keras, tersebar Hijau kekuningan, Diameter bagian Putih Tinggi
tidak beraturan dilapisi plot-plot putih bawah biasanya lebih
di seluruh kecil, bagian tengah
punggung sampai ke atas sama
pelepah dan besar
jarang
Anangga Suanau Merah Hanya pada Hijau kekuningan Diameter rata dari Putih Tinggi
kecoklatan anakan sampai hijau tua, bawah sampai atas berplot-plot putih
Ananggemo Merah Kecil Hijau di bagian Diameter rata dari Putih Tinggi
punggung luar bawah sampai atas
Anaraumar Era Hijau Sedang, Hijau, besar dan Tinggi Putih Sedang
kecoklatan cenderung panjang mengarah ke
bawah
Anatuba Sianggono Merah Pendek Hijau kekuningan Diameter rata dari Merah Rendah
bawah sampai atas
Apaigo Hijau Hanya pada Hijau kekuningan, Diameter rata Putih Tinggi
kekuningan anakan sedikit berplot putih
Bibewo Hijau Panjang Hijau tua Diameter bagian Merah muda Tinggi
kemerahan (sampai 21 cm) tengah lebih besar
daripada bagian bawah dan atas
Bibutu Mewi Merah Pendek, keras Hijau tua Diameter rata Putih Tinggi
Bosairo Kemerahan Kecil Hijau muda Diameter rata Putih Tinggi
kemerahan
Do Mboh Merah Tiga baris Kemerahan (pelepah Tinggi Kemerahan Sedang
hanya waktu Yakhali kuning-coklat) anakan
Edidao Hijau Keras dan Hijau muda Diameter bagian Merah Sedang
kemerahan panjang pangkal lebih kecil
(sampai 24 cm)
Epesum Merah Kasar, besar Hijau Diameter rata Merah muda Sedang
Epung Yepha Hijau tua Tidak berduri Hijau tua Diameter rata Putih Rendah
Fikta Merah Tidak berduri Hijau tua Tinggi Putih Rendah
Folio Hongleu Hijau Tidak berduri Besar, keputih-putihan Berbelang Putih Tinggi
Folio Hongsay Kemerahan Tidak berduri Hijau Diameter rata Merah Sedang
Hanumbo Hijau Tidak berduri Hijau tua Diameter rata Merah muda Sedang
kemerahan
Hiyakhe Kuning Pada anakan Hijau tua Diameter rata Merah muda Tinggi
kemerahan
Hopholo Hongleu Hijau tua Tidak berduri Hijau Diameter rata Putih Sedang
Hopholo Hongsay Hijau Tidak berduri Hijau tua Diameter rata Merah Sedang
kemerahan
Igoto Kemerahan Hanya pada Sisi kiri dan kanan Diameter rata Merah Tinggi
anakan berplot pola batik
Igoto Ogabarasu Kemerahan Hanya pada Sisi kiri dan kanan Diameter besar Merah Tinggi
anakan pelepah berpola batik
Kambea Hijau Keras Hijau tua Diameter rata Merah Tinggi
Kao Hijau Hanya pada Hijau Diameter rata Merah Tinggi kemerahan anakan
Manno Hongleu Kuning Panjang Hijau kekuningan Diameter rata Putih Sangat rendah
kemerahan
Manno Hongsay Merah Panjang Hijau kekuningan Diameter rata Merah Sangat rendah
Marido Hijau muda Hanya pada Hijau kekuningan Diameter rata Putih Tinggi
anakan
Merepo Hijau Lunak Hijau tua Diameter rata Kemerahan Tinggi
kemerahan
Mongging Hijau Panjang Hijau keputih-putihan Diameter rata Putih Tinggi
kemerahan
Okhu Hijau Panjang Hijau muda Diameter rata Putih Tidak ada
kekuningan
Osukulu Hongleu Hijau Tidak berduri Hijau Diameter rata Merah muda Tinggi
kemerahan
Osukulu Hongsay Merah Tidak berduri Hijau tua Diameter rata Merah Tinggi
Panne Kuning Tidak berduri Besar, lunak dan mulus Diameter rata Putih Sangat tinggi
kemerahan
Para Hongleu Hijau Panjang Hijau keputih-putihan Diameter rata Putih Sangat tinggi
kekuningan
Para Hongsay Merah tua Panjang Hijau keputih-putihan Diameter bagian Merah Tinggi
bawah lebih kecil bagian atas
Puy Hijau Sedikit, pendek, Hijau Diameter bagian Kemerahan Sedang
kemerahan keras bawah lebih kecil
bagian atas
Rondo Hongleu Kehijauan Agak lebat, Hijau Diameter rata Putih Tinggi
pendek, halus, mudah patah
Rondo Hongsay Merah Lebat, halus, Hijau tua Diameter rata Merah Sedang
pendek, mudah patah
Ruruna Hongleu Hijau Padat Hijau Diameter rata Putih Sedang
kemerahan
Ruruna Hongsay Merah Padat Hijau tua Diameter rata Kemerahan Sedang
Segago Hijau Sangat kecil Hijau Diameter rata Putih Tinggi
kemerahan kemerahan
To Merah Tidak berduri Mempunyai tiga Diameter rata Putih Sedang
alur/bis coklat
Walisa Hongleu Hijau Durinya Hijau Diameter rata Putih Sedang
kemerahan mengarah ke atas, pendek dan padat
Walisa Hongsay Merah Mengarah ke Hijau tua Diameter rata Merah Rendah
atas, pendek dan padat
Wanny Hongleu Hijau Tidak berduri Pangkal bekas Diameter rata Putih Tinggi
kemerahan pelepah tua kuat
Wanny Hongsay Merah Tidak berduri Berserat padat Diameter rata Merah Sedang
Wikuarawi Hijau Jarang, Hijau tua Diameter rata Putih Tinggi
kemerahan cenderung mengarah ke bawah Tabel Lampiran 1. (Lanjutan).
Wimir Kemerahan Panjang, lunak Hijau tua Bagian tengah lebih Merah Tinggi besar
Wimor Merah Panjang dan Hijau kekuningan dan Diameter rata Merah Tinggi
lunak panjang
Witarsomoy Hijau Keras Hijau kekuningan Besar dan tinggi Putih Tinggi
kemerahan
Witime Uwai Hijau Jarang dan Hijau berlilin Diameter bagian Putih Tinggi
kekuningan lunak bawah lebih kecil
daripada bagian atas
Wokowurui Kemerahan Padat, panjang Hijau muda Diameter rata Putih Tinggi
(21 cm)
Yakhati Merah Hanya pada Hijau tua Diameter rata Merah Sedang
anakan muda
Yakhalope Hongleu Hijau Tersusun dalam Hijau keputih-putihan Diameter rata Umumnya Sedang
kemerahan baris-baris putih
Yakhalope Hongsay Merah Bentuknya Hijau tua Diameter rata Merah muda Rendah
sama dengan Manno
Yakhe Merah Tidak berduri Hijau tua Diameter rata Putih Rendah
kekuningan
Yepha Hili Hijau Tidak berduri Hijau Diameter rata Putih Sedang
kemerahan
Yepha Hongleu Hijau Tidak berduri Hijau dengan plot-plot Diameter rata Putih Tinggi
kemerahan putih
Yepha Hongsay Hijau Tidak berduri Hijau Diameter rata Merah muda Tinggi
kemerahan Sumber: Widjono et al. (2000) Tabel Lampiran 1. (Lanjutan).