Laporan
Kasus
‘Struma
Nodosa
Non
Toksik
Disusun oleh Rio Insan Riady
Dokter Pembimbing : dr. H. Lili K. D., Sp. B
Stase Bedah RSUD Cianjur
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya saya sebagai penyusun dapat menyelesaikan tugas laporan kasus yang membahas tentang ‘Struma Nodosa Non Toksik ini dengan semaksimal mungkin dan dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penyusun membuat laporan ini sebagai salah satu tugas individu dalam masa Kepaniteraan Klinik stase Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Cianjur. Saya sadar, tiada gading yang tak retak, di dalam laporan ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu, saya mohon maaf dan koreksi yang membangun terhadap laporan kasus ini. Dan tentunya, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun atas kekurangan tersebut.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, khususnya kepada Dokter Pembimbing saya, dr. H. Lili K Djoewaeny, Sp. B, dan kepada teman-teman kelompok saya dalam stase Bedah. Saya harap laporan tugas laporan kasus tentang ‘Struma nodosa non toksik’ ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Cianjur, Juli 2011 Rio Insan Riady
Identitas Pasien
Nama Pasien : Ny. I
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Cugenang
Masuk Rumah Sakit : 30 Juni 2011 pukul 10.52 WIB
No Kamar/Bangsal : Bangsal Samolo 1 RSUD Cianjur
Dokter yang merawat : dr. H. Lili K Djoeaweny, Sp.B
A. Anamnesis :
Keluhan Utama :
Benjolan di leher kanan bawah sejak 1 tahun SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
OS masuk RSUD dengan keluhan benjolan di leher kanan bawah yang muncul sejak 1 tahun SMRS. Saat pertama kali muncul, benjolan sebesar kelereng, diameter sekitar 1,5 cm, benjolan hilang timbul, jika OS raba terasa lunak dan tidak terasa nyeri. Lalu benjolan terus membesar sampai sekarang, tidak terasa nyeri dan benjolan tidak terasa panas. Saat menelan, OS tidak merasa nyeri. OS juga tidak demam sejak pertama kali benjolan muncul. Jika berbaring, OS merasa sesak dan engap, namun jika OS duduk, OS tidak merasa sesak dan engap lagi. OS tidak merasa jantungnya sering berdebar-debar sejak benjolan pertama kali muncul. OS tidak merasa panas pada benjolannya. OS tidak mengeluh mual dan tidak muntah. Nafsu makan normal, berat badan tidak menurun atau meningkat selama sakit. BAB normal lancar, BAK normal lancar, tidak sakit.
Riwayat Penyakit Dahulu :
OS mengaku belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. OS tidak memiliki riwayat darah tinggi, kencing manis dan sesak napas. OS juga belum pernah memiliki riwayat benjolan/tumor sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Di keluarga OS tidak ada yang pernah sakit seperti OS. Menurut OS tidak ada anggota keluarga OS yang memiliki riwayat darah tinggi, kencing manis atau sesak napas.
OS belum pernah mengobati keluhannya tersebut dengan obat apapun
Riwayat Alergi :
OS tidak memiliki riwayat alergi makanan, debu atau obat-obatan.
Riwayat Psikososial :
Menurut OS, jika OS memasak, selalu menggunakan garam tapi OS tidak tahu apakah itu garam beryodium atau tidak.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis Tanda Vital : - Nadi : 88x/menit - TD : 130/80 mmHg - T : 36,5 C - RR : 16x/menit Antropometri : - BB : 56 kg - TB : 152 cm Status Generalis : - Kepala : Normochepal
- Rambut : Hitam, tidak rontok
- Alis : Hitam, tidak rontok
- Mata : Konjungtiva : anemis (-)/(-)
Sklera : ikterik (-)/(-)
Refleks cahaya : (+)/(+)
- Hidung : Normotia, sekret (-)/(-)
- Telinga : Normotia, serumen (-)/(-)
- Mulut : Bibir pucat (+), stomatitis (-),
tonsil = T1-T1, faring hiperemis (+)
- Leher : Tampak benjolan di leher tengah agak bawah
dengan
ukuran 4 x 3 cm
- Dada : Normochest
Inspeksi : Simetris (-), retraksi dinding dada (-),
bagian dada yang tertinggal saat inspirasi (-)
Palpasi : Vokal Fremitus kiri dan kanan normal
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler di kedua lapang paru,
ronkhi (-)/(-), wheezing (-)/(-)
- Jantung :
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat (-)
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea
midclavicularis
sinistra
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : Bunyi Jantung I & II murni, mur-mur (-), gallop
(-)
- Abdomen :
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Abdomen supel, nyeri tekan abdomen (-),
hepar &
lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Tes Asites : shifting dullness (-)
- Ekstremitas Atas : Akral : Hangat RCT : 1 detik - Ekstremitas Bawah : Akral : Hangat Edema : (-) RCT : 1 detik
Nadi kaki : kuat angkat
- Inguinal : Pembesaran kelenjar Inguinal (-)
Status Lokalis
- Benjolan at region colli dextra
- Ukuran 4x3 cm
- Konsistensi lunak
- Mobile
- Permukaan rata
- Berbatas tegas
- Nyeri tekan (-), terasa panas (-)
Pemeriksaan Penunjang Tanggal 30 Juni 2011 T3 1,21 ug/ml 0,58-1,59 FT4 1,17 ug/dl 0,70-1,48 TSHs 0,591 uIu/ml 0,350-4,940 Tanggal 1 Juli 2011 RBC 4,8 10^6/uL 4,7-6,1 HGB 13,9 gr/dl 14-18 HCT 41,1 % 42-52 MCV 86,2 fL 80-94 MCH 29,1 pg 27-31 MCHC 34 gr/dL 33-37 PLT 274 10^3/uL 150-450 WBC 8,9 10^3/uL 4,8-10,8 Neut% 74,8 % 40-70 Lym% 24,7 % 20-40 Mxd% 0,5 % 0-11 Neut# 6,7 10^3/uL 1,8-7,6 Lym# 2,2 10^3/uL 1-4,3 Mxd# 0,0 10^3/uL 0-1,2
RDW-CV 12,5 % 10-15 PDW 13,9 fL 9-14 MPV 10,2 fL 8-12 P-LCR 27,7 % 15-33 1 Juli 2011 Kimia Darah GDP 73 mg 70-110 Ureum 14,2 mg% 10-50 Kreatinin 0,8 mg% P=0,5-1,0 L =0,5-1,1 SGOT 15 mg% L<40 P>31 SGPT 11 mg% L<42 P<32 Elektrolit Na 136,5 mEq/L Kalium 4,65 mEq/L Klorida 99 mEq/L Serologi HbsAg (-)
Tanggal 30 Juni 2011 Foto Thorax
Cor, sinus, diafragma normal
Pulmo : Hili kasar dan corakan bertambah Tidak tampak bercak infiltrat Kesan : Bronkitis
Resume
Seorang perempuan usia 33 tahun datang ke RSUD Cianjur dengan keluhan benjolan pada leher sebelah kanan bawah sejak 1 tahun SMRS. Saat pertama muncul, benjolan sebesar kelereng dengan diameter 1,5 cm, benjolan hilang timbul dan tidak nyeri. Benjolan terus membesar sampai sekarang dengan ukuran 4x3 cm, teraba lunak tidak hilang timbul dan tidak terasa nyeri. Jika berbaring, OS suka merasa sesak, jika duduk, tidak terasa sesak lagi. OS tidak demam. OS tidak merasa jantungnya sering berdebar-debar sejakpertama kali benjolan muncul. Saat menelan tidak nyeri. BAB dan BAK normal dan lancar.
Pemeriksaan fisik ditemukan :
- Tekanan Darah : 120/90 mmHg
- Nadi : 100x/menit
- Suhu : 36,3 C
Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, status generalis dalam batas normal. Status lokalis teraba benjolan at region colli dextra dengan diameter 4x3 cm, konsistensi kenyal, soliter, mobile, tidak terfiksir, permukaan rata, bergerak berlawanan saat menelan, tidak terasa nyeri dan tidak terasa panas.
WD : Struma Nodosa non toksik DD : Hashimoto tiroiditis
Tiroiditis subakut Tatalaksana
Operatif : Isthmolobectomy Terapi post – operasi :
- Puasa sampai sadar penuh
- Antibiotik : Ceftriakson’1 x 1 gr - Analgesik : Ketorolax 3 x 30 mg - Infus RL BAB II
PEMBAHASAN
A. ANATOMIKelenjar tiroid dewasa berwarna coklat terang dan konsistensi keras, terletak posterior ke muskulus yang mengikatnya. Kelenjar tiroid yang normal memiliki berat sekitar 20 gram, namun berat kelenjar bervariasi tergantung berat badan dan asupan yodium. Lobus tiroid terletak berdekatan dengan kartilago tiroid dan terhubung di garis tengah oleh isthmus yang terletak di inferior kartilago krikoid. Lobus tiroid meluas hingga ke tulang rawan midthyroid superior dan berdekatan dengan selubung karotis dan muskulus sternokleidomastoid lateral.
Muskulus pengikat yaitu m. sternohyoid, m. sternothyroid, dan m. omohyoid superior terletak di sebelah anterior dan dipersarafi oleh cervicalis Ansa (Ansa hypoglossi). Kelenjar tiroid dibungkus oleh fascia penghubung longgar yang menghubungkan fasia yang terbentuk dari fascia cervical penyekat ke divisi anterior dan posterior. Ukuran kapsul tiroid normal berukuran tipis.1
Perdarahan
Arteri tiroid superior berasal dari arteri karotid ipsilateral eksternal dan membagi menjadi cabang-cabang anterior dan posterior di sebelah apeks dari lobus tiroid. Arteri tiroid inferior muncul dari trunkus thyrocervical tidak jauh dari arteri subklavia. Arteri tiroid inferior berjalan ke atas pada leher posterior ke selubung karotis lalu memasuki lobus tiroid di titik tengah. Arteri thyroidea ima berasal langsung dari lalu masuk ke isthmus. Arteri tiroid inferior menyilang terhadap Recurrent Laryngeus nerve (RLN). Drainase vena dari kelenjar tiroid terjadi melalui beberapa vena permukaan yang kecil dan multiper, yang bergabung membentuk tiga set vena-vena tiroid : superior, tengah, dan inferior. Vena tiroid superior berjalan dengan arteri tiroid superior bilateral. Vena superior dan vena medialis mengalir langsung ke dalam vena jugularis internal. Vena inferior sering membentuk pleksus, yang mengalir ke vena brakiosefalika.1
Persarafan
Nervus laringeus rekuren sinistra muncul dari n. vagus di mana ia melintasi lengkung aorta, melingkar sekitar ligamentum arteriosum, dan berjalan naik di medial leher dalam alur trakeoesofageal. Nervus laringeus rekuren dextra muncul dari n. vagus pada persimpangan dengan arteri subklavia kanan. Nervus ini biasanya melewati posterior dari arteri sebelum berjalan asenden di leher, lebih oblik (miring) daripada n. Laringeus rekuren sinistra.1
Nervus laringeus rekuren berjalan naik di kedua sisi trakea, dan masing-masing terletak tepat di sebelah lateral ligamentum Berry saat memasuki laring. Ada jumlah variasi penting. Pada sekitar 25% dari pasien, n. laringeus rekuren terdapat dalam ligamen karena memasuki laring. Pada sisi kanan, n. laringeus rekuren memisahkan dari n. vagus saat melintasi arteri subklavia, melewati posterior dan berjalan naik di sebelah lateralis dari trakea sepanjang alur trakeoesofageal. N. laringeus rekuren biasanya dapat ditemukan tidak lebih dari 1 cm dari lateral
alur trakeo pada tingkat batas bawah tiroid.
Di sisi kiri, n. laringeus rekuren memisahkan dari n. vagus, melintasi secara transversal dari arkus aorta. N. laringeus sinistra kemudian melewati bagian inferior dan medial ke aorta dan mulai naik menuju laring, berjalan dalam alur trakeoesofageal dan naik ke lobus bawah tiroid. Juga melewati inferior atau posterior cabang a. thyroidea inferior dan akhirnya memasuki laring pada tingkat artikulasi krikotiroid di perbatasan caudal dari otot krikotiroid.1
B. HISTOLOGI
Secara mikroskopis, kelenjar tiroid dibagi menjadi lobulus yang mengandung 20 sampai 40 folikel (Gambar 38-7). Ada sekitar 3 x 106 folikel dalam dewasa kelenjar tiroid laki-laki. Folikel berbentuk sferis dan dengan diameter rata-rata 30 um. Setiap folikel dilapisi oleh sel epitel kuboid dan berisi pusat penyimpanan koloid yang disekresikan dari sel-sel epitel di bawah
pengaruh hormon TSH hipofisis. Kelompok kedua sel sekretori sel tiroid adalah sel C atau sel parafolikular, yang mengandung dan mensekresikan hormon kalsitonin. Ditemukan sebagai sel individual atau berkelompok dalam kelompok-kelompok kecil di stroma interfolikular dan terletak di kutub atas lobus tiroid.1
C. FISIOLOGI KELENJAR TIROID
Kebutuhan yodium rata-rata harian 0,1 mg, yang dapat berasal dari makanan seperti ikan, susu, dan telur atau sebagai aditif dalam roti atau garam. Di perut dan jejunum, yodium cepat diubah menjadi iodida dan diserap ke dalam aliran darah, dan dari sana itu didistribusikan merata di seluruh ruang ekstraseluler. Iodida secara aktif diangkut ke dalam sel-sel folikel tiroid oleh adenosin trifosfat (ATP)- yang bergantung proses. Tiroid adalah tempat penyimpanan > 90% kandungan yodium tubuh dan sepertiga dari kerugian yodium plasma. Iodine plasma yang tersisa dibersihkan melalui ekskresi ginjal.
Sintesis hormone tiroid terdiri dari beberapa tahap, diantaranya :
Pertama, penangkapan iodida, melibatkan transport aktif iodida (ATP-dependen) melintasi membran basal thyrocyte melalui membran protein intrinsik. Thyroglobulin (Tg) adalah glikoprotein yang besar (660 kDa), yang terdapat pada folikel tiroid dan memiliki empat residu tyrosyl.
Tahap kedua dalam sintesis hormon tiroid melibatkan oksidasi iodida menjadi iodin dan iodinasi dari residu tirosin pada Thyroglobulin (Tg), untuk membentuk Monoiodotyrosin (MIT) dan Diiodotyrosin (DIT). Kedua proses dikatalisis oleh Peroksidase Tiroid (TPO).
Langkah ketiga merupakan proses memasangkan dua molekul Diiodotyrosin (DIT) untuk membentuk Tetra-iodothyronin atau Tiroksin (T4), dan satu molekul Diiodotyrosine dengan satu molekul Monoiodotyrosin untuk membentuk 3,5,3'- triiodothyronine (T3) atau 3,3',5'-Triiodothyronine reverse (RT3). Ketika dirangsang oleh TSH, Thyrocyt membentuk pseudopodia, yang mengelilingi bagian dari membran sel mengandung Thyroglobulin, yang pada gilirannya, menyatu dengan enzim yang mengandung lisosom.
Pada tahap keempat, Thyroglobulin dihidrolisis untuk melepaskan Iodothyronin bebas (T3
dan T4) dan Monoiodothyrosin dan Diiodotyrosin. Yang terakhir, pada tahap kelima yaitu proses
deiodinasi untuk menghasilkan iodida, yang digunakan kembali dalam Thyrocyte tersebut. Dalam keadaan Eutiroid, T4 diproduksi dan dilepaskan sepenuhnya oleh kelenjar Tiroid,
sedangkan hanya 20% dari total T3 dihasilkan oleh Tiroid. Sebagian besar T3 diproduksi oleh
deiodinasi perifer (pemindahan 5'-yodium dari luar cincin), T4 diproduksi di hati, otot, ginjal, dan
hipofisis anterior, reaksi yang dikatalisis oleh 5'-mono-deiodinase. Beberapa T4 dikonversi ke
reverse-T3, senyawa aktif secara metabolik, oleh deiodinasi dari inti cincin T4. Dalam kondisi
seperti penyakit Graves, multinodular goiter toksik, atau kelenjar tiroid yang dirangsang oleh pelepasan T3 dari Tiroid dapat meningkat.
Hormon tiroid diangkut dalam serum terikat pada protein pembawa seperti T4-binding globulin, T4-binding prealbumin dan albumin. Hanya sebagian kecil (0,02%) dari hormon Tiroid
(T3 dan T4) yang bersifat bebas (tidak terikat) dan merupakan komponen fisiologis yang aktif. T3
lebih kuat dari dua hormon tiroid, meskipun tingkat plasma yang beredar adalah jauh lebih rendah daripada T4. T3 kurang terikat erat pada protein di dalam plasma dari T4, dan sehingga
lebih mudah memasuki jaringan. T3 tiga sampai empat kali lebih aktif dari T4 per satuan berat,
Hipotalamus menghasilkan peptida, Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH), yang merangsang kelenjar Pituitari (Hipofisis) untuk melepaskan TSH atau Thyrotropin. TRH mencapai hipofisis melalui sirkulasi portovenous. TSH, sebuah glycopeptida 28-kDa, yang memediasi penangkapan iodida, sekresi, dan pelepasan hormon Tiroid, di samping untuk meningkatkan selularitas dan vaskularisasi kelenjar tiroid. Reseptor TSH (TSH-R) termasuk dari reseptor G-protein yang memiliki tujuh transmembran dan menggunakan Adenosin monofosfat siklik dalam jalur transduksi sinyal. Sekresi TSH oleh hipofisis anterior juga diatur melalui umpan balik negatif oleh T4 dan T3. Karena hipofisis memiliki kemampuan untuk mengkonversi
T4 ke T3, yang terakhir ini dianggap lebih penting dalam kontrol umpan balik. T3 juga
menghambat pelepasan TRH. Fungsi Hormon Tiroid
Hormon tiroid bebas memasuki membran sel dengan cara difusi atau dibawa oleh agen pembawa spesifik dan dibawa ke membran nukleus untuk mengikat protein tertentu. T4
terdeiodinasi menjadi T3 dan memasuki nukleus melalui transpor aktif, di mana ia mengikat
reseptor hormon tiroid. Reseptor T3 mirip dengan mineralokortikoid, estrogen, vitamin D, dan
asam retinoid.
Hormon tiroid bertanggung jawab untuk menjaga hipoksia normal dan hiperkapnia yang terjadi di pusat pernapasan otak. Hormon Tiroid juga meningkatkan motilitas GI, yang
mengakibatkan diare pada hipertiroidisme dan sembelit pada hipotiroidisme. Hormon tiroid juga meningkatkan turnover tulang dan protein dan kecepatan kontraksi otot dan relaksasi. Hormon tiroid juga meningkatkan glikogenolisis, glukoneogenesis hepatik, penyerapan glukosa usus, dan sintesis kolesterol dan degradasi.1
STRUMA NODOSA NON TOKSIK
A. DEFINISI
Pengertian struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang terjadi karena folikel-folikel tiroid terisi koloid secara berlebihan. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang bukan karena proses inflamasi ataupun karena neoplasma dan tidak disertai fungsi abnormal dari Tiroid yaitu hipertioidisme ataupun hipotiroidisme. Terjadinya pembesaran kelenjar Tiroid itu sendiri dapat disebabkan oleh kurangnya diet iodium yang dibutuhkan untuk mensekresikan hormon Tiroid, hal ini akan berpengaruh pada jumlah dari hormon Tiroid yang dihasilkan. Terjadinya pembesaran kelenjar Tiroid dikarenakan sebagai usaha agar hormon Tiroid tetap cukup dihasilkan.3
B. EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 2,2 miliar orang di seluruh dunia memiliki beberapa bentuk gangguan kekurangan yodium. Dua puluh sembilan persen dari populasi dunia tinggal di wilayah yang kekurangan yodium, terutama di Asia, Amerika Latin, Afrika Tengah, dan wilayah Eropa. Dari
mereka yang berisiko, 655 juta diketahui memiliki gondok. Berdasarkan laporan dari World
Council for the Control of Iodine Deficiency Disorders (ICCIDD), adanya kekurangan yodium (yaitu, rata-rata yodium urin> 100 mg / dL) dikaitkan dengan prevalensi gondok kurang dari 5%; defisiensi yodium ringan (yaitu, yodium urin median 50-99 mg / dL), dengan prevalensi gondok dari 5-20%; defisiensi yodium sedang (yakni, urin yodium rata-rata 20-49 mg / dL), dengan prevalensi gondok dari 30%, dan kekurangan yodium berat (yaitu, urin yodium rata-rata 20-49 mg / dL), dengan prevalensi gondok lebih besar dari 30%.3
C. ETIOLOGI
1. Kekurangan yodium, yaitu kekurangan asupan yodium yang cukup kurang dari 50 mcg /dl. Defisiensi yodium berat yang berhubungan dengan asupan kurang dari 25 mcg / dl dikaitkan dengan hipotiroidisme dan kretinisme.
2. Goitrogens, diantaranya :
- Obat misalnya Propylthiouracil, lithium, fenilbutazon, aminoglutethimide, yodium yang mengandung ekspektoran
- Makanan - Sayuran dari genus Brassica misalnya, kubis, lobak, rumput laut, singkong.
Terjadinya pembesaran kelenjar Tiroid (struma) dapat berupa ukuran sel-selnya yang bertambah besar atau oleh karena volume yang bertambah pada jaringan kelenjar dan sekitarnya dengan pembentukan struktur baru. Adapun yang menyebabkan terjadinya proses tersebut ada empat, diantaranya :
1. Gangguan pertumbuhan
Terbentuknya kista
Jaringan Tiroid yang tumbuh pada lidah, misalnya pada Kista tiroglosus atau Tiroid lingual
2. Proses inflamasi atau gangguan autoimun
Graves Disease 3. Gangguan Metabolik
Akibat defisiensi iodium atau intake iodium
Hiperplasia kelenjar Tiroid 4. Tumor atau neoplasma
Adenoma atau adenokarsinoma
D. PATOGENESIS
Struma dapat akan menyebar, uninodular, atau multinodular. Kebanyakan struma non-toksik diperkirakan akibat dari stimulasi TSH sekunder yang tidak adekuat dalam mensintesis hormon tiroid dan faktor pertumbuhan parakrin lainnya. Peningkatan kadar TSH menginduksi hiperplasia tiroid difus, diikuti oleh hiperplasia fokal, menghasilkan nodul yang mungkin mengandung atau tidak mengandung konsentrasi yodium, nodul koloid, atau nodul microfollicular. Struma akibat familial diakibatkan karena defisiensi yang diwariskan pada enzim yang diperlukan untuk mensintesis hormon tiroid, mungkin bisa komplit atau parsial. 1
E. MANIFESTASI KLINIS
Kebanyakan pasien dengan Struma Non-Toksik tidak bergejala atau asimtomatis, walaupun pasien sering mengeluhkan sensasi tekanan pada leher. Dengan perjalanan struma yang terus membesar, gejala sensasi penekanan seperti dispnea dan disfagia terjadi. Pasien juga sering mengeluhkan pada tenggorokannya yaitu radang selaput lendir hidung. Disfonia jarang terjadi, kecuali bila terdapat keganasan. Pembesaran yang tiba-tiba nodul atau kista karena dapat menyebabkan perdarahan nyeri akut. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan benjolan teraba lunak, kelenjar membesar difus (struma simpel) atau nodul dari berbagai ukuran dan konsistensi dalam kasus multinodular goiter. Deviasi atau kompresi pada trakea dapat ditemukan.1
F. PENEGAKKAN DIAGNOSIS 1. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan benjolan pada leher
Usia dan jenis kelamin
Sejak kapan benjolan pada leher timbul dan saat pertama kali timbul benjolan sebesar apa, apakah terasa nyeri atau tidak, terasa panas atau tidak pada benjolannya
Apakah benjolan terus membesar sejak pertama kali timbul sampai pasien datang, jika membesar, apakah membesar lama (tahunan) atau membesar cepat (mingguan atau bulanan)
Apakah pasien mengeluh adanya gangguan menelan, sesak napas atau tidak
Apakah pasien demam atau tidak
Apakah pasien menjadi sering deg-degan (palpitasi) dan sering berkeringat
Apakah nafsu makan pasien menjadi meningkat atau tidak
Apakah pasien tidak tahan suasana panas atau tidak, apakah pasien tidak tahan suasana dingin atau tidak
Apakah pasien merasa suaranya menjadi lebih parau atau tidak
Apakah pasien nafsu makannya meningkat atau tidak
Apakah berat badan pasien meningkat atau tidak
Apakah pasien sebelumnya memiliki riwayat benjolan pada lehernya atau tidak
Apakah pada anggota keluarga OS ada yang pernah mengalami keluhan yang sama
seperti OS atau pernah ada yang menderita tumor atau kanker
Apakah dalam kesehariannya dalam memasak (apabila pasien wanita) sering memberikan
2. Pemeriksaan fisik
Yang perlu dinilai dalam pemeriksaan fisik nodul tiroid, diantaranya : Lokasi, apakah di lobus kiri atau di lobus kanan
Ukuran
Jumlah nodul, apakah uni atau multinodosa
Konsistensi, apakah teraba lunak atau keras
Apakah terfiksir atau mobile
Apakah terdapat nyeri tekan atau tidak
Apakah terdapat pembesaran KGB di sekitarnya atau tidak
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pasien biasanya dengan Eutiroid, dengan TSH normal atau rendah-normal atau dengan normal kadar T4-bebas yang normal. Jika beberapa nodul meluas, kadar TSH dapat menurun,
atau dapat terjadi hipertiroid. FNAB direkomendasikan pada pasien yang memiliki nodul yang dominan atau salah satu dengan nyeri atau membesar, kasus karsinoma telah dilaporkan dalam 5 sampai 10% dari struma multinodular. CT scan sangat membantu untuk mengevaluasi sampai sejauh mana perpanjangan retrosternal dan apakah terjadi kompresi saluran napas atau tidak.1
H. TATALAKSANA
Goiter non-toksik biasanya tumbuh sangat lambat selama beberapa dekade tanpa menyebabkan gejala. Tanpa bukti pertumbuhan yang cepat, gejala obstruktif misalnya, disfagia, stridor, batuk, sesak napas, ataupun tirotoksikosis, pengobatan tidak diperlukan. Terapi diperlukan jika pertumbuhan gondok seluruhnya atau terdapat nodul tertentu, terutama jika terjadi ekstensi intrathorasik dari gondok, gejala penekanan, atau gejala tirotoksikosis. Ekstensi intrathoracic dari gondok tidak dapat dinilai dengan palpasi atau biopsi. Jika signifikan dalam ukuran, harus diangkat melalui pembedahan. Terapi yang tersedia saat ini misalnya terapi
yodium radioaktif, dan terapi Levothyroxine (L-tiroksin, atau T4) .3
1. Terapi Iodium radioaktif
adalah terapi Goiter non-toksis, sering dilakukan di Eropa. Ini adalah pilihan terapi yang wajar, terutama pada pasien yang lebih tua atau memiliki kontraindikasi untuk operasi. Iodium radioaktif untuk terapi goiter non-toksis diperkenalkan kembali pada 1990-an. 90 % pasien dengan goiter difus non toksik, memiliki rata-rata pengurangan 50-60% pada volume goiter setelah 12-18 bulan, dengan pengurangan gejala penekanan. Penurunan dalam ukuran goiter telah berkorelasi positif dengan dosis Iodium-131 (131 I). Pengurangan dalam ukuran gondok lebih besar pada pasien yang lebih muda dan pada individu yang hanya memiliki riwayat goiter yang singkat atau yang memiliki gondok kecil. Baseline TSH bukanlah prediktor respon terhadap yodium radioaktif. Gejala obstruktif membaik pada kebanyakan pasien yang menerima yodium radioaktif.
Hipertiroidisme jarang dan biasanya terjadi dalam dua minggu pertama setelah pengobatan. Tidak seperti pasien dengan hipertiroidisme yang diobati dengan iodium radioaktif, hanya sebagian kecil pasien dengan goiter non toksik berkembang menjadi hipotiroidisme setelah pengobatan iodium radioaktif.
Satu studi menunjukkan bahwa terapi T4 untuk goiter non-toksis mengurangi volume tiroid pada 58% pasien, dibandingkan dengan 4% pada pasien yang diterapi dengan plasebo. Namun, hasil ini belum terbukti direproduksi, dan manfaat menggunakan T4 perlu harus ditimbang terhadap risiko hipertiroidisme subklinis dari yang dihasilkan terkait dengan peningkatan risiko kepadatan mineral tulang menurun dan atrial fibrilasi meningkat.3
Indikasi operasi pada struma, diantaranya :
Struma difusa toksik yang gagal terapi medikamentosa
Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
Struma dengan gangguan penekanan
Kosmetik
Kontraindikasi operasi pada struma, diantaranya :
Struma dengan dekompensasi kordis atau penyakit sistemik yang belum terkontrol Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang
umumnya karena karsinoma
DAFTAR PUSTAKA
1. Bernard M. Jaffe and David H.Berger. Brunicardi F. Charles et all. Schwartz’s: Principles of Surgery 9th Edition. 2010.
2. Sabiston, Textbook of Surgery
3. Stephanie L. Lee and George T. Griffing. Goiter non toxic. 2010. http://emedicine.medscape.com