LAPORAN PRESENTASI KASUS
LAPORAN PRESENTASI KASUS
“ Struma Nodular Non Toksik”
“ Struma Nodular Non Toksik”
Disusun oleh:
Disusun oleh:
Karis Amalia Derina
Karis Amalia Derina
Rahmanandhika Swadari
Rahmanandhika Swadari
Pembimbing : Pembimbing :dr. N. Soebijanto, Sp.PD, K-EMD, MM
dr. N. Soebijanto, Sp.PD, K-EMD, MM
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN LMU KESEHATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN LMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF H
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAHIDAYATULLAH
JAKARTA
JAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Inayah-Nya sehinggaRahmat dan Inayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas ini. Salawat dan salam marilah senantiasa kita junjungkan
kami dapat menyelesaikan tugas ini. Salawat dan salam marilah senantiasa kita junjungkan
kehadirat Nabi Muhammad SAW.
kehadirat Nabi Muhammad SAW.
Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar, fasilitator,
Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar, fasilitator,
dan narasumber SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Fatmawati khususnya dr. N. Soebijanto,
dan narasumber SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Fatmawati khususnya dr. N. Soebijanto,
Sp.PD, K-EMD, MM selaku pembimbing kami.
Sp.PD, K-EMD, MM selaku pembimbing kami.
Kami sadari Laporan presentasi kasus tentang “Toxic Noduler Goiter” ini masih jauh
Kami sadari Laporan presentasi kasus tentang “Toxic Noduler Goiter” ini masih jauh
dari kesempurnaan.Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat kami
dari kesempurnaan.Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat kami
harapkan demi kesempurnaannya.
harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi kita yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi
khususnya bagi kita yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi
adik-adik kami selanjutnya.
adik-adik kami selanjutnya.
“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka bila kamu telah
“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka bila kamu telah selesai selesai
(dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya
(dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya
kepada tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S. Al
Insyirah:6-kepada tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S. Al Insyirah:6-7)”7)”
Jakarta,
Jakarta, Oktober Oktober 20132013
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... 1
KATA PENGANTAR... 2
DAFTAR ISI... 3
BAB I ILUSTRASI KASUS... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12
BAB III ANALISA KASUS…... ... 26
BAB IV KESIMPULAN...…... 28
BAB I ILUSTRASI KASUS STATUS PASIEN I. IDENTITAS PASIEN NO RM : 1225849 Nama : Ny. S. A. S
Jenis Kelamin : Wanita Umur : 32 tahun
Alamat : Jl. Tegal Parang Utara, Mampang Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : Tamat SLTP
Status pernikahan : Menikah
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada hari Senin, 23 September 2013 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Fatmawati pukul 11.30 WIB.
Keluhan utama:
Benjolan di leher sejak 7 tahun SMRS.
Riwayat penyakit sekarang:
Os datang dengan keluhan benjolan pada leher sejak 7 tahun SMRS. Benjolan awalnya sebesar kelereng. Lama kelamaan benjolan semakin membesar perlahan-lahan, saat ini sebesar bola tenis. Benjolan pertama kali muncul saat pasien hamil anak kedua. Benjolan tidak terasa nyeri. Tidak terlihat perubahan warna seperti kemerahan. Keluhan mata semakin membesar, tangan gemetar, jantung berdebar, sulit tidur, diare, banyak berkeringat lemas,. intoleransi terhadap dingin dan mudah lupa disangkal. Berat badan dan nafsu makan tidak naik dan tidak turun . Riwayat demam, batuk lama, keringat dingin dimalam hari, riwayat penggunaan obat dan sesak, disfagia, batuk serta perubahan suara disangkal. Keluhan sakit
kepala, mual muntah, gangguan penglihatan, gangguan menstruasi, rambut rontok disangkal.
Pasien pertama kali berobat pada bulan April 2013 karena benjolan dileher tersebut dilakukan pemeriksaan lab dan diberi obat Euthyrax 1x1 tab dan Neurodex. Pasien mengonsumsi obat tersebut selama 3 bulan namun benjolan
tidak terlihat mengalami perubahan ukuran. Setelah 3 bulan pasien tidak lagi mengonsumsi Euthyrax, pasien sudah melakukan pemeriksaan USG.
Riwayat penyakit dahulu:
Sebelum muncul benjolan sejak 7 tahun SMRS, pasien belum pernah mengalami benjolan serupa sebelumnya. Riwayat sakit paru-paru, kencing manis, darah tinggi, alergi obat, dan keganasan disangkal. Riwayat penggunaan obat lama dan penyinaran terutama pada daerah leher disangkal.
Riwayat penyakit keluarga:
Keluarga pasien tidak ada yang mempunya keluhan serupa. Riwayat dinyatakan hipotiroid ataupun hipertiroid tidak ada. Riwayat kanker disangkal. Riwayat sakit paru-paru, kencing manis, darah tinggi, alergi obat, dan keganasan disangkal.
Riwayat kebiasaan dan sosial:
Pasien seorang ibu rumah tangga. Konsumsi garam beryodium (+). Masyarakat sekitar tidak ada yang mengalami keluhan benjolan di leher. Riwayat radiasi disangkal. Pasien tidak pernah tinggal di daerah pegunungan.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis Pemeriksaan Umum
Kesadaran : compos mentis Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kulit
Coklat kehitaman, ikterik (-), perabaan hangat (+), halus, turgor baik, keringat (+)
Kepala
Normocephali, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata
edema palpebra -/-, ptosis -/-, sklera ikterik -/-, conjunctiva anemis -/-, conjunctiva hiperemis -/-, pupil bulat, isokor, tepi regular +/+, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, lensa mata jernih, eksolftalmus -/-, enoftalmus -/-, lid lag -/-, lid retraction -/-, gerak bola mata baik +/+
Telinga
Normotia, simetris kanan-kiri, nyeri tarik -/-, nyeri tekan tragus dan mastoid -/-, serumen +/+ minimal, sekret , hiperemis
-/-Hidung
Simetris, deviasi septum (-), oedem konka , hiperemis , sekret
-/-Mulut dan tenggorokan
Bibir kering (-), pucat (-), sianosis (-), lidah kotor (-), oral candidiasis (-), mukosa warna merah jambu, gigi caries (-), uvula letak tengah, arcus faring simetris, faring hiperemis (-), tonsil T1-T1, tenang, hiperemis (-)
Leher
Inspeksi : tampak masa di regio coli anterior warna sama dengan kulit sekitar simetris, tidak tampak pulsasi vena jugularis.
Palpasi : JVP 5 - 2 cm H2O
KGB tidak teraba membesar.
Tekanan Darah : 110/70 mmHg Tinggi Badan : 150 cm Pernafasan : 18 x/menit Berat badan : 52 kg
Suhu : 36.6°C BMI : 23,1 kg/m
Edema : (-) Anemis : (-)
Tiroid terba membesar dengan ukuran 7x6x3 cm. kenyal, mobile, batas tegas, tidak terba hangat, tidak ada nyeri tekan dan bergerak saat menelan.
Trakea terletak ditengah, denyut arteri carotis teraba. Auskultasi : Bising tiroid (-), Arterial bruit (-)
Gambar:
Thoraks Paru
Inspeksi Simetris kiri dan kanan, bentuk dan gerak nafas simetris saat statis dan dinamis, tipe thorako-abdominal, retraksi (suprasternal, retraksi sela iga, subkostal) (-), venektasis (-), spider nevi (-), ginekomastia (-) Palpasi : Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor kiri = kanan
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat, pulsasi abnormal (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris,datar
Palpasi : supel(+), datar, nyeri tekan(-), nyeri tekan lepas (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani,shifting dullness(-), tes undulasi (-) Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung
Nyeri Ketok CVA
-/-Ekstremitas
Palmar eritema (-), clubbing finger (-)
Keempat akral hangat, oedem (-), tremor jari ekstremitas atas (-/-), tangan basah berkeringat (-/-).
Reflek fisiologis +2/+2, reflek patologis , pitting oedem
-/-Status lokalis regio colli: Leher
Inspeksi : tampak masa di regio coli anterior warna sama dengan kulit sekitar simetris tidak tampak pulsasi vena jugularis.
Palpasi : JVP 5 - 2 cm H2O
KGB tidak teraba membesar.
Tiroid terba membesar dengan ukuran 7x6x3 cm. kenyal, mobil, batas tegas, tidak terba hangat, tidak ada nyeri tekan dan bergerak saat menelan.
Trakea terletak ditengah, denyut arteri carotis teraba. Abuskultasi : Bising tiroid (-), Arterial bruit (-)
Pemeriksaan laboratorium 30-04-2013
Pemeriksaan Metode Hasil Satuan Nilai rujukan Sero imunologi
Tyroid
FT4 Chemiluminiescens 1,25 ng/dl 0.89-1.76
TSHs Chemiluminiescens 0,789 mIU/l < 0-35: hiperiroid 0,35-5,5: eutroid >5,5: hipotiroid
20-06-2013
Pemeriksaan Metode Hasil Satuan Nilai rujukan Sero imunologi
Tyroid
FT4 Chemiluminiescens 1,64 ng/dl 0.89-1.76
TSHs Chemiluminiescens 0,90 mIU/l < 0,35: hiperiroid 0,35-5,5: eutroid >5,5: hipotiroid
10-07-2013
Pemeriksaan Metode Hasil Satuan Nilai rujukan Sero imunologi
Tyroid
FT4 Chemiluminiescens 1,35 ng/dl 0.89-1.76
TSHs Chemiluminiescens <0,03 mIU/l < 0,35: hiperiroid 0,35-5,5: eutroid >5,5: hipotiroid
Pemeriksaan USG Tyroid (19/6/2013) Lobus kanan:
- Tampak nodul iso dan anechoic pada tiroid kanan dengan ukuran 6,1x4 cm - Nodule berbatas tegas dengan halo disekitarnya dengan tepi reguler
- Tak tampak kalsifikasi pada nodul
- Tak tampak peningkatan flow vaskuler pada nodul Lobus kiri
- Ukuran 3,8x1,5x1,5 cm
- Tampak nodul iso dan anechoic kecil 0.9x1,5 cm di pool inferior dengan batas tak tegas
- Tak tampak kalsifikasi pada nodul Isthmus tiroid normal
Tak tampak pembesaran colli bilateral
kesan: Struma nodusa dengan komponen kistik pada kedua lobus tiroid dengan ukuran 6,1 x 4 cm pada tiroid lobus kanan dan 0,9 x 1,5 cm pada tiroid lobus kiri.
V. RESUME
Pasien, Perempuan usia 32 tahun datang dengan keluhan benjolan pada leher sejak 7 tahun SMRS. Os datang dengan keluhan benjolan pada leher sejak 7 tahun SMRS. Benjolan awalnya sebesar kelereng. Lama kelamaan benjolan semakin membesar perlahan-lahan, saat ini sebesar bola tenis. Benjolan pertama kali muncul saat pasien hamil anak kedua. Benjolan tidak terasa nyeri. Tidak terlihat perubahan warna seperti kemerahan. Keluhan mata semakin membesar, tangan gemetar, jantung berdebar, sulit tidur, diare, banyak berkeringat lemas,. intoleransi terhadap dingin dan mudah lupa disangkal. Berat badan dan nafsu makan tidak naik dan tidak turun .
Pasien pertama kali berobat pada bulan April 2013 karena benjolan dileher tersebut dilakukan pemeriksaan lab dan diberi obat Euthyrax 1x1 tab dan Neurodex. Pasien mengonsumsi obat tersebut selama 3 bulan namun benjolan
tidak terlihat mengalami perubahan ukuran. Setelah 3 bulan pasien tidak lagi mengonsumsi Euthyrax, pasien sudah melakukan pemeriksaan USG.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kondisi pasien tampak sakit ringan, kesadaran kompos mentis. Tanda vital, TD 110/70 mmHg, Nadi 88x/menit, napas 18x/menit, suhu 36,60C. kepala dalam batas normal, mata KP (-) SI (-), eksoftalmus -/-. Leher KGB tidak teraba membesar, JVP 5-2 cmH2O. jantung,
Pada status lokalis regio colli, tampak benjolan. Tiroid teraba membesar dengan ukuran 7x6x3 cm. kenyal, mobile, batas tegas, tidak terba hangat, tidak ada nyeri tekan dan bergerak saat menelan. Kelenjar getah bening servikal, submandibular, klavikular tidak teraba membesar. Pada auskultasi bruit tidak ada.
Pada pemeriksaan laboratorium (30-04-2013) F T4 1,25 ng/dl, TSH 0.789 μIU/ml. Pemeriksaan laboratorium (10-07-2013) F T4 1,35 ng/dl, TSH <0,03 μIU/ml. USG hasilnya struma nodusa dengan komponen kistik pada kedua lobus tiroid.
VI. DIAGNOSIS
Struma nodular non toksik.
VII. DIAGNOSIS BANDING Karsinoma tiroid
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG ANJURAN - FNAB IX. TATALAKSANA Nonmedikamentosa: - Pembedahan X. PROGNOSIS Ad vitam : ad bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pendahuluan
Makhluk hidup terus mengembangkan struktur dan fungsinya yang kompleks, oleh karena itu integrasi berbagai komponen dalam diri makhluk hidup menjadi penting sekali bagi kelangsungan hidupnya. Intergrasi ini deipengaruhi oleh dua sistem: (1) sistem saraf
pusat dan (2) sistem endokrin. Kedua sistem ini berhubungan secara embriologis, anatomis, dan fungsional. Contohnya, banyak kelenjar endokrin juga berasal dari neuroektodermal. Selain itu, terdapat hubungan anatomis antara sistem saraf pusat dan sistem endokrin, terutama melalui hipotalamus. Paduan kerja sama antara sistem neuroendokrin membantu organisme memberikan reaksi maksimal terhadap rangsangan internal dan eksternal.1
Seperti penyakit endokrin lainnya, penyakir kelenjar tiroid dapat berupa: 1. Pembentukan hormon tiroid yang berlebihan (hipertiroidisme) 2. Defisiensi produksi hormon (hipotiroidisme)
3. Pembesaran tiroid (goiter) tanpa bukti adanya pembentukan hormon tiroid abnormal.
Selain itu, pasien yang memiliki penyakit sistemik dapat mengalami perubahan metabolisme tiroksin dan fungsi tiroid.1
Struma adalah setiap pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar tiroid yang menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah banyak, sedangkan struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.2
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pemb esaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.2
II.2 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terdapat di bawah laring pada kedua sisi, tepatnya pada sisi anterior trakea. Salah satu kele njar endokrin terbesar ini memiliki berat 15 hingga 20 gram. Kelenjar ini mensekresikan dua hormon utama, tiroksin (T4) dan triyodotironin (T3), keduanya dapat meningkatkan metabolisme tubuh. Tidak hanya itu, terdapat juga hormon kalsitonin yang disekresi kelenjar ini. Hormon tersebut berfungsi dalam metabolisme kalsium. Keseluruhan sekresi hormon-hormon di atas diatur oleh sekresi hormon perangsang-tiroid (thyroid stimulating hormon, TSH) yang dihasilkan kelenjar hipofisis anterior.3
Hormon-hormon tersebut di atas diproduksi di dalam folikel-folikel kelenjar tiroid. Folikel tersebut dilapisi oleh sel-sel epitel kuboid (gepeng ketika inaktif) yang dinamai sel
folikular. Sel folikular mengeluarkan hormon yang dihasilkannya ke bagian dalam folikel yang juga diisi cairan koloid. Koloid terdiri atas glikoprotein tiroglobulin besar, di dalam molekul-molekulnya mengandung hormon tiroid.3
II.3 Biosintesis dan Metabolisme Hormon-hormon Tiroid Proses Pembentukan Hormon Kelenjar Tiroid
Bahan Baku Yodium
Untuk membuat tiroksin dalam jumlah normal, setiap tahunnya dibutuhkan 50 mg yodium yang ditelan dalam bentuk iodida. Setelah ditelan per oral, iodida akan diabsorpsi dari saluran cerna ke dalam darah. Seperlima dari iodida yang beredar di darah akan digunakan oleh kelenjar tiroid sebagai bahan baku.3
Pompa Iodida (Trapping )
Tahap pertama pembuatan hormon tiroid dimulai disini, yakni pengangkutan iodida dari darah ke dalam sel-sel dan folikel kelenjar tiroid. Iodida akan dipompakan secara aktif oleh membran basal sel tiroid, kemampuan ini disebut iodi de tr appin g . Pada keadaan normal, kelenjar tiroid (pompa iodida) dapat memekatkan iodida 30 kali dari konsentrasinya di dalam darah. Jika pompa menjadi sangat aktif, tingkat kepekatan dapat meningkat menjadi 250 kali lipat. Faktor-faktor yang berperan pada kecepatan trapping antara lain TSH (menaikkan kerja) dan hipofisektomi (mengurangi aktivitas pompa iodida). 3
Proses Kimia Pembentukan Tiroksin dan Triyodotironin
Sekr esi Ti roglobuli n . Retikulum endoplasma dan aparatus Golgi mensintesis dan menyekresi molekul glikoprotein besar yang disebut tiroglobulin, dengan berat molekul 335.000, ke dalam folikel. Setiap molekul tiroglobulin mengandung 70 asam amino tirosin, dan tiroglobulin merupakan substrat utama yang bergabung dengan iodida untuk membentuk hormon tiroid. Hormon tiroksin dan triiodotironin dibentuk dari asam amino tirosin, yang merupakan sisa bagian dari molekul tiroglobulin selama sintesis hormon tiroid.3
Oksidasi I on I odida .
Awalnya, ion yodium berbentuk nascent iodine (Io) atau I3-. Bentuk ion ini harus
dioksidasi agar bisa berikatan dengan asam amino tirosin. Proses oksidasi yodium tersebut ditingkatkan oleh enzim peroksidase dan penyertanya hidrogen peroksidase. Enzim peroksidase terletak di bagian apikal membran sel atau melekat pada membran sel, sehinga
mula-mula dikeluarkan dari alat golgi dan melalui membran sel masuk ke dalam tempat penyimpanan koloid kelenjar tiroid.3
Iodinasi Tirosin, ‘Organifikasi’ Tiroglobulin.
Pengikatan iodium dengan molekul tiroglobulin disebut organifikasi tiroglobulin. Iodium yang sudah teroksidasi akan berikatan langsung, meskipun sangat lambat, dengan asam amino tirosin. Di dalam sel-sel tiroid, iodium yang teroksidasi itu berasosiasi dengan enzim iodinase yang menyebabkan proses di atas dapat berlangsung selama beberapa detik hingga menit. Dengan kecepatan yang sama dengan pelpasan tiroglobulin dari aparatus Golgi, iodium akan berikatan dengan seperenam bagian dari asam amino tirosin yang ada pada molekul tiroglobulin. Tirosin mula-mula diiodisasi menjadi monoiodotirosin dan
selanjutnya menadi diiodotirosin. Selama beberapa hari berikutnya, makin banyak sisa diiodotirosin yang saling bergandengan (c o u p l i n g ) satu sama lainnya. Reaksi ini disebut
coupli ng reaction . 3
Hasil penggabungan satu molekul monoiodotirosin dengan satu molekul diiodotirosin membentuk 3,5,3’-Triyodotironin (T3). Sementara, jika dua diiodotirosin bergabung,
terbentuklah Tiroksin (T4). 93% dari hormon tiroid yang diproduksi adalah tiroksin, 7%
lainnya adalah triiodotironin. Namun, di jaringan, tiroksin akan dideionisasi menjadi triiodotironin, yakni hormon tiroid utama yang dipakai jaringan (35 mikrogram digunakan per harinya). Kira-kira hanya ¼ dari total hasil iodinasi tiroglobulin yang menjadi tiroksin
dan triiodotironin, selebihnya tetap menjadi diiodotirosin dan monoiodotirosin.3
Penyimpanan Tir oglobuli n .
Sesudah hormon tiroid disintesis, setiap molekul tiroglobulin mengandung 30 molekul tiroksin, dan rata-rata terdapat sedikit molekul triiodotironin. Hormon tiroid disimpan di dalam folikel dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhan tubuh 2 hingga 3 bulan ke depan. 3
Pelepasan Tiroksin dan Triyodotironin
Tiroksin dan triyodotironin harus dipecah terlebih dahulu dari molekul tiroglobulin sebelum diedarkan ke sistem sirkulasi tubuh. Awalnya, permukaan apikal sel-sel tiroid menjulurkan pseudopodia mengelilingi sebagian kecil koloid, sehingga terbentuk vesikel pinositik. Vesikel ini masuk ke dalam apeks sel tiroid, kemudian bergabung dengan lisosom sel untuk mendigestikan molekul-molekul tiroglobulin menggunakan enzim protease . Protease tersebut akan melepaskan tiroksin dan triiodotironin menjadi bentuk bebas. Selanutnya, kedua hormon tersebut berdifusi melalui bagian basal sel-sel tiroid ke pembuluh kapiler di sekelilingnya.3
Diiodotirosin dan monoiodotirosin yang masih terikat pada molekul tiroglobulin tetap didigesti dengan enzim dei odin ase , sehingga iodin yang menempel pada mereka dilepaskan ke sel. Iodin yang dilepaskan ini menjadi bahan baku tambahan bagi sel untuk membuat hormon baru. 3
Pengangkutan ke Jaringan
Protein Plasma . 99% hormon tiroid berikatan dengan protein plasma yang disintesis hati. Hormon-hormon tersebut terutama berikatan dengan globulin pengikat-tiroksin
(TBG), namun ada juga yang berikatan dengan a l b u m i n serta prealbumi n pengikat- t i r o k s i n (TBP). 3
Jaringan . Protein plasma memiliki afinitas yang sangat tinggi terhadap hormon tiroid. Akibatnya, hormon tiroid, khususnya tiroksin, sangat lambat dilepas ke jaringan. Setiap enam hari, setengah dari jumlah tiroksin di darah dilepaskan ke jaringan, sementara triiodotironin cukup dalam 1 hari saja. Sewaktu memasuki sel, hormon tiroid berikatan dengan protein intrasel, tiroksin sekali lagi berikatan lebih kuat daripada triiodotironin. 3
Hormon-hormon di atas memiliki onset yang lambat dan masa kerja yang lama. Setelah penyuntikan dosis besar tiroksin, misalnya, efek metabolisme belum muncul dalam 2-3 hari pertama. Namun, ketika tiroksin sudah beraktivitas, akan terjadi progresivitas yang sangat tinggi, dan mencapai puncak hingga 10-12 hari. Aktivitas hormon kemudian akan menurun setelah 15 hari, namun tetap bertahan selama kira-kira 1,5-2 bulan. 3
Triyodotironin lebih cepat berespon dibanding tirosin, dengan periode laten 6-12 jam pertama penyuntikan. Aktivitas selular maksimum akan didapatkan pada 2-3 hari. Periode
laten ini terjadi akibat ikatan yang kuat antara hormon dengan protein intrasel. 3 Pengaturan Sekresi Hormon Tiroid
T SH . TSH dari hipofisis anterior meningkatkan sekresi tiroid. Efeknya antara lain meningkatkan proteolisis tiroglobulin, meningkatkan aktivitas pompa yodium, meningkatkan iodinasi tirosin, meningkatkan ukuran dan aktivitas sekretorik sel-sel tiroid, serta meningkatkan jumlah sel-sel tiroid. Namun, efek awal yang paling penting adalah proteolisis tiroglobulin, sehingga, dengan dilepaskannya TSH, akan dilepaskan pula tiroksin dan triodotironin ke aliran darah. Efek ini perlu waktu berjam-jam hingga berhari-hari.3
Sikl ik Adenosin M onofosfat (cAM P) . cAMP berfungsi sebagai caraka kedua dalam efek perangsangan TSH. Efek dari sistem cAMP ini adalah bervariasinya respons sel-sel tiroid yang ditangsang TSH. Awalnya, terjadi pengikatan TSH dengan reseptor spesifik TSH di basal membran sel. Ikatan ini mengaktifkan adenilil siklase yang meningkatkan pembentukan cAMP. Molekul tersebut kemudian mengaktifkan protein kinase yang
digunakan untuk fosforilasi di seluruh sel.3
Pengaturan Sekresi TSH. Sekresi TSH diatur oleh hipotalamus, yaitu sekresi neurohormon TRH (Thyrotr ophi n Releasin g H ormone ). TRH adalah amida tripeptida yang mempengaruhi kelenjar hipofisis anterior untuk mengeluarkan TSH. Harus ada aliran darah porta yang menghubungkan hipotalamus dengan hipofisis, jika tidak, TRH tidak bisa sampai ke hipofisis untuk merangsang pengeluaran TSH.3
Awalnya, terjadi pengikatan TRH di dalam membran hipofisis. Ikatan ini mengaktifkan sistem caraka kedua fosfolipase di hipofisis, sehingga terbentuk fosfolipase C, diikuti dengan produksi caraka kedua lain seperti ion kalsium dan diasil gliserol.3
Ef ek Umpan Balik . Umpan balik negatif untuk kontrol sekresi TSH adalah adanya peningkatan konsentrasi hormon tiroid di cairan tubuh. Bila kecepatan sekresi tiroid meningkat hingga 1,75 kali normal, kecepatan TSH dapat menurun hingga nol. Meskipun hipofisis anterior dipisahkan dari hipotalamus, efek umpan balik negatif tetap bekerja. Sehingga, selain berpengaruh terhadap sekresi TRH pada hipotalamus, efek umpan balik negatif juga diperkirakan bekerja langsung ke hipofisis anterior.3
II. 4 Nodul Tiroid
Nodul tiroid sangat sering ditemukan, dengan incidence rate setiap tahunnya berkisar antara 4-8%. Menurut data WHO 2004, karsinoma tiroid jarang terjadi dilaporkan hanya 1,5% dari keganasan seluruh tubuh. Karsinoma tiroid biasanya merupakan keganasan sistem endokrin. Dijumpai secara primer pada usia dewasamuda dan pertengahan, dengan sekitar 122.000 kasus baru per tahun di seluruh dunia.4
Biopsi aspirasi jarum halus kelenjar tiroid telah ditetapkan sebagai pemeriksaan diagnostik baku dan lebih disukai untuk mengevaluasi goiter dan merupakan pemeriksaan efektif tunggal untuk diagnosis preoperatif nodul tiroid soliter serta prosedur diagnostik pada nodul tiroid terutama dalam menentukan suatu neoplasma. Juga dapat digunakan sebagai deteksi dini atau skrining pada kanker tiroid. Nilai diagnostiknya bervariasi dimana positive predictive value diagnosis karsinoma papiler mendekati 100%, sedangkan diagnosis suspicious untuk neoplasma folikular hanya 5-10%. Angka negatif palsu didapatkan kurang
Prinsip utama daripada pelaksanaan biopsi aspirasi jarum halus pada nodul tiroid adalah untuk memilih pasien-pasien yang memerlukan tindakan pembedahan pada kelainan neoplasma atau pengobatan (medikamentosa) pada kelainan fungsional atau peradangan. Biopsi aspirasi jarum halus terbukti dapat mengurangi tindakan pembedahan sampai 20-50%.4
Algoritme Pengelolaan Nodul Tiroid Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tiroid merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tiroid antara lain:5
.
II.5 STRUMA NODOSA NON TOKSIK
Struma nodosa nontoksik merupakan struma nodosa tanpa disertai tanda- tanda hipertiroidisme. Pembesaran kelenjar tiroid ini bukan merupakan proses inflamasi atau
neoplastik dan tidak berhubungan dengan abnormalitas fungsi tiroid. Kelainan ini dapat terjadi akibat proses fisiologis ataupun patologis. Keadaan ini normal terjadi pada masa pubertas, menstruasi, ataupun pada kehamilan. Sedangkan pada kekurangan iodium, kelainan kongenital, atau akibat konsumsi makanan atau obat-obatan yang bersifat goitrogenik keadaan ini merupakan proses patologis yang harus diterapi.6
Kelainan ini sangat sering terjadi terutama di daerah endemik dengan defisiensi iodin. Struma nodosa endemik terjadi pada 10% populasi suatu daerah. Sedangkan struma nodosa yang bersifat sporadik disebabkan oleh multifaktor seperti lingkungan dan genetik dan tidak melibatkan populasi umum. 6
Perbandingan struma nodosa pada perempuan dan laki – laki adalah 5-10 : 1. Struma yang bersifat sporadik akibat dari dishormogenesis. Struma endemis biasanya timbul pada masa kanak – kanak. Struma sporadik karena penyebab lain jarang terjadi sebelum pubertas dan tidak memiliki usia insiden puncak. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut, dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa kombinasi bagian yang
hiperplasia dan bagian yang berinvolusi. Pada awalnya, sebagian dari struma multinodosa dapat dihambat pertumbuhannya dengan hormon tiroksin. Tiga sampai 5% struma nodosa nontoksik berisiko menjadi ganas.6
A. Etiologi
Struma nodosa nontoksik timbul akibat interaksi dari lingkungan, genetik dan faktor endogen. Beberapa etiologinya adalah :6
1. Defisiensi iodin intake iodin kurang dari 50 mcg/hari. Defisiensi iodin merupakan penyebab terbanyak struma nontoksik endemik maupun sporadik.
2. Kelebihan iodin jarang dan biasanya terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit tiroid autoimun sebelumnya.
3. Goitrogen :
- Obat : propilthiouracil (PTU), fenilbutazon, lithium, p-aminosalicylic acid, minoglutethimide, sulfonamides,
- Agen lingkungan derivatif fenolik dan phtalate, resorsinol batu bara. - Makanan sayur-sayuran ( kol, singkong), rumput laut.
4. Dishormogenesis defek biosintesis hormon tiroid yang diturunkan 5. Riwayat radiasi kepala dan leher pada masa kanak – kanak
B. Patofisiologi
Yang mendasari pertumbuhan nodul pada struma nodosa nontoksik adalah respon dari sel-sel folikular tiroid yang heterogen dalam satu kelenjar tiroid pada tiap individu. Dalam satu kelenjar tiroid yang normal, sensitivitas sel-sel dalam folikel yang sama terhadap stimulus TSH dan faktor perumbuhan lain ( IGF dan EGF ) sangat bervarias i. Terdapat sel-sel autonom yang dapat bereplikasi tanpa stimulasi TSH dan sel-sel sangat sensitif TSH yang lebih cepat bereplikasi. Sel- sel akan bereplikasi menghasilkan sel dengan sifat yang sama. Sel-sel folikel dengan daya replikasi yang tinggi ini tidak tersebar merata dalam satu kelenjar tiroid sehingga lama – kelamaan tumbuh bernodul – nodul.6
Aktivitas fungsional sel – sel folikular juga sangat bervariasi. Sel – sel autonom dapat mengambil dan mensintesis iodin tanpa bantuan TSH. Sel – sel ini akan mensintesis tiroglobulin ( termasuk T4 dan T3) dan memiliki aktivitas endositotik. Ketidakseimbangan antara sintesis tiroglobulin dan aktivitas endositotik ini menyebabkan pertumbuhan nodul yang bervariasi. Penyebab dari munculnya sel – sel autonom ini kemungkinan disebabkan karena adanya mutasi pada reseptor TSH sel folilkular. 6
C. Diagnosis
Yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi pasien dengan struma nontoksik adalah pola pertumbuhan struma, gejala obstruksi atau kompresi dan keluhan kosmetik. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan untuk menilai risiko keganasan.6 1. Manifestasi klinis
Anamnesis6
- Benjolan pada leher anterior yang tumbuh perlahan, biasanya tidak nyeri - Riwayat keluarga dengan penyakit tiroid
- Pembesaran tiroid selama kehamilan - Keluhan kosmetik
- Adanya tanda-tanda kompresi dan obstruksi : suara serak, stridor, sesak napas, sulit/nyeri menelan, batuk, gejala sumbatan saluran napas atas. Walaupun sebagian besar struma nodosa tidak mengganggu pernapasan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral dapat terlihat dengan foto rontgen polos leher sebagai trakea “pedang”.
- Gejala hipertiroidisme dapat muncul secara bertahap
- Gejala komplikasi : nyeri akibat perdarahan sekunder, sindrom vena kava superior dan sindrom Horner
- Riwayat diet iodin
Pemeriksaan Fisik 6
- Evaluasi kelenjar tiroid : meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi untuk menentukan lokasi, ukuran, jumlah, konsistensi, permukaan, batas, mobilitas, nyeri tekan dan bising. Dilakukan juga sampai toraks bagian atas.
- Evaluasi tanda- tanda obstruksi saluran napas atas : dispneu, deviasi trakea, obstruksi vena
- Tanda – tanda disfungsi tiroid :
Hipertiroidisme : tidak tahan terhadap suhu tinggi, nafsu makan meningkat, berat badan menurun, palpitasi, takikardi, insomnia,tremor, eksoftalmos,dan juling.
Hipotiroidisme : miksedem, konstipasi. - Biasanya tidak ditemukan limfadenopati
Biasanya penderita struma nodosa tidak mempunyai keluhan karena tidak terdapat hipo atau hipertiroidisme. Nodul dapat tunggal, tetapi kebanyakan berkembang atau berubah menjadi multinodular tanpa perubahan fungsi. Karena pertumbuhan terjadi secara perlahan, struma dapat menjadi besar tanpa memberikan gejala selain benjolan di leher, yang dikeluhkan terutama atas alasan kosmetik. Sebagian besar penderita struma nodosa dapat hidup dengan struma tanpa keluhan.
Secara umum, struma adenomatosa benigna walaupun besar, tidak menyebabkan gangguan neurologik, muskuloskeletal, vaskuler, respirasi, atau menyebabkan gangguan menelan akibat tekanan atau dorongan. Keluhan yang sering timbul adalah rasa berat di leher, adanya benjolan yang naik-turun waktu menelan, dan alasan kosmetik.
2. Penilaian keganasan5
Sekitar 5% struma nodosa mengalami degenerasi maligna. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan kearah keganasan tiroid:5
Jika secara klinis ditemukan tanda keganasan, tiroidektomi harus dilakukan walaupun sitologi menunjukkan lesi jinak.
Pemeriksaan penunjang6 1. Tes fungsi tiroid
Pemeriksaan TSH harus dilakukan pada pasien dengan struma atau massa mediastinum yang dicurigai struma intratoraks untuk mendeteksi tirotoksikosis atau hipotiroidisme. Jika serum TSH rendah, dilakukan pemeriksaan T4 untuk menentukan adanya tirotoksikosis , termasuk subklinik. Jika serum TSH rendah dan T4 normal, dilakukan pemeriksaan T3 untuk menyingkirkan tirotoksikosis T3. Jika serum TSH tinggi, penyebab pembesaran tiroid biasanya disebabkan karena tiroiditis autoimun kronik atau konsumsi obat antitiroid seperti lithium. Tiroglobulin biasanya meningkat, kalsitonin normal. Pada 90 % kasus kadar tiroid autoantibodi ( TPO ) negatif. 6
2. USG tiroid
Ditemukan nodul soliter maupun multipel dengan ekogenisitas yang bervariasi ( nonhomogen). Melalui pemeriksaan USG dapat ditentukan juga lesi jinak atau ganas. Lesi jinak jika terdapat gambaran normoeko/hiperekogenik, mikrokalsifikasi, batas tipis dan tegas, tepi regular, tidak terdapat limfadenopati regional, dan aliran intranodul rendah pada pemeriksaan Doppler. Lesi ganas jika ditemukan hipoekogenik, makrokalsifikasi, batas tidak jelas, tepi ireguler, limfadenopati regional, aliran intranodul tinggi pada Doppler.6
3. Skintigrafi tiroid
Ditemukan hot dan atau cold nodul soliter atau multipel. Keganasan jarang ditemukan pada hot nodul. Sedangkan pada cold nodul , kasus keganasan dapat ditemukan pada 8 -25 %
kasus. 6
4. FNAB ( Fine Needle Aspiration Biopsy)
Nodul soliter atau nodul multipel yang paling dominan hasil sitologi jinak. FNAB dapat membantu menegakkan 80 % diagnosis. FNAB tidak perlu dilakukan pada lesi berukuran kurang dari 10 mm. Satu sampai sepuluh persen struma multinodosa merupakan
karsinoma.6
5. Pemeriksaan penunjang lain :
- CT Scan atau MRI nodul soliter maupun multipel nonhomogen - Tes fungsi paru gangguan kapasitas inspirasi
Berikut adalah algoritma untuk evaluasi dan tatalaksana nodul tiroid :
.Algoritma evaluasi dan tatalaksana nodul tiroid.
D. Penatalaksanaan struma nodosa nontoksik 7
Struma nodosa nontoksik biasanya tumbuh perlahan dan sebagian besar asimtomatik sehingga kadang tidak memerlukan terapi. Indikasi dilakukannya terapi pada struma nontoksik adalah kompresi trakea dan esofagus, gejala obstruksi vena, pertumbuhan struma yang progresif termasuk perluasan ke rongga dada. Terapi juga diindikasikan jika terdapat keluhan ketidaknyamanan pada leher dan keluhan kosmetik. 7
Terapi pilihan pada struma nodusa non toksik adalah operasi, terapi dengan 131I dan L-T4. Berikut adalah keuntungan dan kerugian masing – masing terapi :7
Jenis Terapi Keuntungan Kerugian
Bedah - Reduksi dari struma yang signifikan
- Dekompresi trakea dengan cepat
- Menghilangkan gejala dengan segera
- Risiko operasi
- Paralisis pita suara (1 %) - Hipoparatiroidisme (1%)
- Risiko hipotiroidisme akibat reseksi
- Diagnosis definitif reseksi) - Biaya tinggi
131
I - Efek samping subjektif lebih sedikit
- Reduksi ukuran 50% dalam 1 tahun
- Memperbaiki kapasitas inspirasi jangka panjang
- Dapat diulangi dengan hasil yang baik
- Biaya rendah
- Keterbatasan karena penggunaan radioaktif
- Pada wanita fertil membutuhkan kontrasepsi
- Reduksi pertumbuhan struma lambat
- Risiko pembesaran struma akut (rendah)
- Tiroiditis (3%)
- Grave’s disease (5%)
- Hipotiroidisme dalam 1 tahun ( 15-20%)
L-T4 - Biaya rendah
- Dapat mencegah pembentukan nodul
baru
- Reduksi 15- 40 % dalam 3 bulan
- Efektifitas rendah - Terapi seumur hidup
- Efek samping pada tulang dan jantung
- Tidak dapat dilakukan jika TSH rendah
Struma nodosa yang berlangsung lama biasanya tidak dapat lagi dipengaruhi dengan pengobatan supresi hormon tiroid atau pemberian hormon tiroid. Penanganan struma lama
adalah tiroidektomi subtotal dengan indikasi yang tetap. Terapi radioiodin merupakan terapi alternatif untuk pasien usia tua, pasien dengan penyakit kardiovaskular, dan struma rekuren. Sedangkan terapi L – T4 sudah tidak direkomendasikan lagi pada kasus struma noduler karena kurang efektif dam efek sampingnya lebih banyak.
TERAPI PEMBEDAHAN8,9
Pembedahan struma dapat dibagi menjadi pembedahan diagnostik (biopsi) dan terapeutik. Pembedahan diagnostik yang berupa biopsi insisi atau eksisi telah ditinggalkan, terutama setelah semakin akuratnya penggunaan biopsi jarum halus. Biopsi diagnostik hanya dilakukan pada keadaan tumor yang tidak dapat dikeluarkan, seperti pada karsinoma anaplastik.
a. Indikasi Tindak Bedah Struma Nontoksik:8,9
Tiroidektomi merupakan terapi pilihan pada pasien dengan usia muda dan sehat, terutama pada kasus yang membutuhkan dekompresi segera.
- Cold nodul dan solid.
- Eksisi nodulus tunggal (yang mungkin ganas) - Struma multinoduler yang berat
- Struma yang menyebabkan kompresi laring atau struktur leher lain
- Struma retrosternal yang menyebabkan kompresi trakea atau struktur lain - Kosmetik ( tiroidektomi subtotal)
b. Tatalaksana pasca-operasi dan prognosis
Rekurensi struma nontoksik tampak pada 15-40 % pasie n pada follow up jangka panjang. Rekurensi berhubungan dengan jaringan sisa pascaoperasi. Faktor lain yang kurang berpengaruh adalah usia, lama struma dan kadar TSH pascaoperasi. Namun dengan operasi
yang adekuat, angka rekurensi tidak lebih dari 10% dalam jangka waktu 10 tahun. Angka mortalitas pasca-operasi sangat rendah, yakni kurang dari 1 %. Lima puluh persen lebih dokter menggunakan terapi L-T4 (Levotiroksin ) pascaoperasi. Namun, berdasarkan penelitian, terapi ini tidak direkomendasikan lagi karena efektivitasnya kurang terbukti.
Indikasi pemberian L-T4 pascaoperasi adalah pasien dengan riwayat radiasi kepala dan leher akibat lesi jinak dan pada kasus tiroidektomi bilateral subtotal. Terapi ini diberikan segera setelah operasi dengan pemeriksaan kadar TSH setiap 3-4 minggu.Pada kasus tersebut, terapi ini dapat mencegah rekurensi. Pembaerian iodin profilaksis pascaoperasi juga belum terbukti efektivitasnya.9
BAB III
ANALISA KASUS
Pada anamnesis didapatkan keluhan utama berupa benjolan pada leher sejak 9 tahun SMRS. Secara anatomi, benjolan pada leher bisa berupa kelenjar tiroid, kelenjar getah bening, ataupun kelenjar parotis. Pada anamnesis ditemukan bahwa benjolan berada pada bagian depan leher, awalnya sebesar kelereng lama kelamaan membesar seperti bola tenis dan dari pemeriksaan fisik benjolan ikut bergerak saat menelan. Riwayat demam, batuk lama, keringat dingin dimalam hari disangkal, menyingkirkan kemungkinan pembesaran kelenja getah bening yang kebanyakan disebabkan oleh TBC. Sehingga kemungkinan benjolan tersebut berasal dari kelenjar tiroid. Pasien mengaku benjolan pertama kali muncul pada saat hamil. Menurut literatur kehamilan cenderung menyebabkan nodul bertambah besar. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tiroid teraba membesar dengan ukuran 7x6x3 cm. kenyal, mobiel, batas tegas, tidak teraba hangat, tidak ada nyeri tekan dan bergerak saat menelan., disimpulkan bahwa benjolan yang dikeluhkan pada pasien ini merupakan pembesaran kelenjar tiroid,
yang bukan merupakan suatu peradangan.
Keluhan tangan gemetar, jantung berdebar, sulit tidur, diare, banyak berkeringat, yang disangkal, menyingkirkan kemungkinan adanya keadaan hipertiroid. Keluhan cepat lelah, intoleransi terhadap dingin, berat badan meningkat dan mudah lupa juga tidak ada serta pasien tidak pernah tinggal di daerah pegunungan sehingga kemungkinan hipotiroid dapat disingkirkan. Dari pemeriksaan kadar TSHs dan FT4 tidak mengalami peningkatan.
Suatu nodul tiroid dapat berupa nodul jinak maupun nodul ganas. Dari anamnesis diketahui bahwa tidak adanya suara serak, disfagia, sesak batuk, penurunan nafsu makan dan berat badan pada pasien, benjolan juga membesar dalam waktu yang lama, tidak ada riwayat radiasi, serta tidak ada riwayat keluarga dengan keganasan tiroid. Pada pemeriksaan fisik nodul tidak keras, mudah digerakkan Pada pemeriksaan kelenjar getah bening di regio cervical, jugular, dan submandibular tidak ditemukan pembesaran, Pada pemeriksaan USG, lobus kanan : Ukuran sangat membesar (7,6 x4x3,8 cm). Tampak nodul iso dan anechoic pada tiroid kanan dengan ukuran 6,1x4 cm. Nodule berbatas tegas dengan halo disekitar nya dengan tepi reguler. Tak tampak kalsifikasi pada nodul. Tak tampak peningkatan flow vaskuler pada
nodul. Lobus kiri: ukuran 3,8x1,5x1,5 cm. Tampak nodul iso dan anechoic kecil 0.9x1,5 cm di pool inferior dengan batas tak tegas. Tak tampak kalsifikasi pada nodul. Dengan kesan struma nodusa dengan komponen kistik pada kedua lobus tiroid dengan ukuran 6,1 x 4 cm pada tiroid lobus kanan dan 0,9 x 1,5 cm pada tiroid lobus kiri. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan USG kemungkinan nodul tiroid pada pasien ini bukanlah suatu keganasan. Pemeriksaan lanjutan yang disarankan pada pasien yaitu FNAB. Menurut literatur ketepatan diagnosis FNAB dapat mencapai 70-80%. Hasil sitologi FNAB dapat dikelompokkan menjadi jinak, curiga atau normal.
Pilihan terapi pada suatu nodul tiroid dapat berupa terapi supresi dengan hormon levotiroksin, bedah, iodium radioaktif, suntikan ethanol, terapi laser ataupun hanya observasi. Pasien 3 bulan awal telah dilakukan pemberian obat Euthyrax yang berisi hormon levotiroksin namun karena setelah pemberian hormon tersebut kadar TSH tersupresi dan pasien tidak merasa benjolan semakin mengecil maka pengobatan tersebut tidak dilanjutkan karena pengobatan dengan hormon ini harus dihentikan bila TSH menjadi tersupresi. Biasanya pada nodul tiroid yang respon terhadap hormon ini terapi dapat dilakukan selam 6-12 bulan. Efek samping yang harus diperhatikan dengan terapi hormon adalah hipertiroid subklinik dengan osteopeni dan gangguan pada jantung.
Pembedahan dapat menjadi pilihan terapi pada pasien. Walaupun masih merupakan kontroversi pada nodul jinak apakah diperlukan pembedahan atau tidak. Sedangkan pada nodul ganas dianjurkan dilakukan pembedahan. Pada pasien ini nodul diperkirakan jinak tapi karena ukuran yang cukup besar sehingga tindakan pembedahan dapat dipertimbangkan.
BAB IV KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, disimpulkan diagnosis kerja pada pasien ini adalah struma nodusa non toksik (SNNT). Pemeriksaan lanjutan masih diperlukan untuk memastikan asal benjolan secara patologi anatomi, untuk direncanakan untuk dilakukan FNAB. Penatalaksanaan yang dapat dipilih adalah pembedahan. Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, ad sanationam dubia ad bonam, ad functionam dubia ad bonam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, Anderson. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6. Vol 2. Jakarta : EGC.
2. Brunicardi JH, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB. “Thyroid, Parathyroid, and Adrenal” in Schwartz Principles of Surgery. 9th ed. the McGrawHill Companies, Chapter 38; 2010.
3. Sherwood, Sistem endokrin. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001.
4. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.,EGC., Jakarta
5. AACE. Guidelines for Clinical Practice for the Diagnosis and Management of Thyroid Nodules. 2010
6. Lee S. Goiter, nontoxic. Available at :http//: www.emedicine.com
7. Hegedu LL, Bonnema SJ, Bennedbaek FN. Management of simple nodular goiter : current status and future prespectives. USA : Endocrine reviews 24(1): 102 – 132, 2003. Available at : http//:www.edrv-endojournals.org/pdf
8. Hermus AR, Huysmans DA. Clinical manifestations and treatment of nontoxic diffuse and nodular goiter. In : Braverman LE, Utiger RD, editors. The Thyroid. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins, 2000.
9. Wheeler MH. The technique of thyroidectomy. J R Soc Med 1998;91:(Suppl. 33)12-16. Available at : http//: www.pubmedcentral.nih.gov.