BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis yang menyebabkan nyeri,
kekakuan, pembengkakan dan keterbatasan gerak serta fungsi dari banyak sendi. Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi sendi apapun, sendi-sendi kecil di tangan dan kaki cenderung paling sering terlibat. Pada rheumatoid
arthritis kekakuan paling sering terburuk di pagi hari. Hal ini dapat
berlangsung satu sampai dua jam atau bahkan sepanjang hari. Kekakuan untuk waktu yang lama di pagi hari tersebut merupakan petunjuk bahwa seseorang mungkin memiliki rheumatoid arthritis, karena sedikit penyakit arthritis lainnya berperilaku seperti ini. Misalnya, osteoarthritis paling sering tidak menyebabkan kekakuan pagi yang berkepanjangan (American College of
Rheumatology, 2012).
Penyakit arthritis bukan penyakit yang mendapat sorotan seperti penyakit hipertensi, diabetes atau AIDS, namun penyakit ini menjadi masalah kesehatan yang cukup mengganggu dan terjadi dimana-mana. Rheumatoid
arthritis adalah bentuk paling umum dari arthritis autoimun, yang
mempengaruhi lebih dari 1,3 juta orang Amerika. Dari jumlah tersebut, sekitar 75% adalah perempuan. Bahkan, 1-3% wanita mungkin mengalami
rheumatoid arthritis dalam hidupnya. Penyakit ini paling sering dimulai antara
dekade keempat dan keenam dari kehidupan. Namun, rheumatoid arthritis dapat mulai pada usia berapa pun (American College of Rheumatology, 2012). Di Indonesia sendiri kejadian penyakit ini lebih rendah dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika. Prevalensi kasus rheumatoid arthritis di Indonesia berkisar 0,1% sampai dengan 0,3% sementara di Amerika mencapai 3% (Nainggolan, 2009). Angka kejadian rheumatoid arthritis di Indonesia pada penduduk dewasa (di atas 18 tahun) berkisar 0,1% hingga 0,3%. Pada anak dan remaja prevalensinya satu per 100.000 orang. Diperkirakan jumlah penderita rheumatoid arthritis di Indonesia 360.000 orang lebih (Tunggal, 2012).
Gangguan yang terjadi pada pasien rheumatoid arthritis lebih besar kemungkinannya untuk terjadi pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan pasien. Kebanyakan penyakit rheumatoid arthritis berlangsung kronis yaitu sembuh dan kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan sendi secara menetap. Rheumatoid arthritis dapat mengancam jiwa pasien atau hanya menimbulkan gangguan kenyamanan. Masalah yang disebabkan oleh penyakit rheumatoid arthritis tidak hanya berupa keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas dan aktivitas hidup sehari-hari tetapi juga efek sistemik yang tidak jelas yang dapat menimbulkan kegagalan organ. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan masalah seperti rasa nyeri, keadaan mudah lelah, perubahan citra diri serta gangguan tidur. Dengan
demikian hal yang paling buruk pada penderita rheumatoid arthritis adalah pengaruh negatifnya terhadap kualitas hidup. Bahkan kasus rheumatoid
arthritis yang tidak begitu parah pun dapat mengurangi bahkan
menghilangkan kemampuan seseorang untuk produktif dan melakukan kegiatan fungsional sepenuhnya. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari seutuhnya (Gordon et al., 2002). Penderita penyakit kronik seperti rheumatoid arthritis mengalami berbagai macam gejala yang berdampak negatif terhadap kualitas hidup mereka. Banyak usaha yang dilakukan agar pasien dengan rheumatoid
arthritis dapat merasa lebih baik dan dapat memperbaiki kualitas hidup
mereka. Pengobatan saat ini tidak hanya bertujuan mencegah atau berusaha menyembuhkan rheumatoid arthritis, tujuan utama pengobatan juga untuk mengurangi akibat penyakit dalam hidup pasien dengan meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi kecacatan (Pollard et al., 2005).
Pemberian terapi rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi dan bengkak, meringankan kekakuan serta mencegah kerusakan sendi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengobatan
rheumatoid arthritis yang dilakukan hanya akan mengurangi dampak
penyakit, tidak dapat memulihkan sepenuhnya. Rencana pengobatan sering mencakup kombinasi dari istirahat, aktivitas fisik, perlindungan sendi, penggunaan panas atau dingin untuk mengurangi rasa sakit dan terapi fisik atau pekerjaan. Obat-obatan memainkan peran yang sangat penting dalam
pengobatan rheumatoid arthritis. Tidak ada pengobatan tunggal bekerja untuk semua pasien. Banyak orang dengan rheumatoid arthritis harus mengubah pengobatan setidaknya sekali dalam seumur hidup. Pasien dengan diagnosis
rheumatoid arthritis memulai pengobatan dengan DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) seperti metotreksat, sulfasalazin dan
leflunomid. Obat ini tidak hanya meringankan gejala tetapi juga memperlambat kemajuan penyakit. Seringkali dokter meresepkan DMARD bersama dengan obat anti-inflamasi atau NSAID dan/atau kortikosteroid dosis rendah, untuk mengurangi pembengkakan, nyeri dan demam (Arthritis
Foundation, 2008). Pengobatan rheumatoid arthritis merupakan pengobatan
jangka panjang sehingga pola pengobatan yang tepat dan terkontrol sangat dibutuhkan. Dengan pengukuran kualitas hidup dapat diketahui pola pengobatan yang efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien (Chen et
al., 2005).
Secara umum kualitas hidup menggambarkan kemampuan individu untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang dilakukannya. Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan menggambarkan pandangan individu terhadap kebahagiaan dan kepuasan terhadap kehidupan yang mempengaruhi kesehatan mereka (American
Thoracic Society, 2007). Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain karakteristik pasien, karakteristik penyakit dan tingkat nyeri yang dialami pasien (Asadi-Lari et al., 2004). Selain itu, pengobatan atau
terapi, seperti jenis obat atau terapi juga ikut berperan dalam kualitas hidup pasien (Chen et al., 2005).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran pengobatan pada pasien rheumatoid arthritis dan kualitas hidupnya. Penelitian ini dilakukan terhadap pasien rheumatoid arthritis yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada khususnya serta rumah sakit lainnya dalam menetapkan kebijakan pelayanan kesehatan dalam menangani penyakit
rheumatoid arthritis.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran pengobatan rheumatoid arthritis pada pasien rawat jalan di RS PKU?
2. Bagaimana kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di instalasi rawat jalan RS PKU?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas hidup pasien rheumatoid
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui gambaran pengobatan dan kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di instalasi rawat jalan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Tujuan khusus
Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a. Mengetahui gambaran pengobatan rheumatoid arthritis pada pasien rawat jalan di RS PKU.
b. Mengetahui kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis rawat jalan di RS PKU.
c. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas hidup pasien
rheumatoid arthritis rawat jalan di RS PKU.
D. Manfaat Penelitian
1. Farmasis
Sebagai bahan dan motivasi farmasis untuk dapat meningkatkan peran farmasi klinik dalam pelayanan kefarmasian terutama dalam penatalaksanaan terapi penyakit rheumatoid arthritis dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
2. Instalasi rumah sakit dan profesi kesehatan lain
Sebagai sumber informasi bagi rumah sakit mengenai gambaran kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis khususnya pada pasien rawat jalan sehingga dapat digunakan sebagai masukan dalam menyusun strategi tatalaksana terapi rheumatoid arthritis di rumah sakit selain itu juga memberikan motivasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien rheumatoid arthritis.
3. Peneliti
Meningkatkan pengetahuan dan memberikan pengalaman penelitian tentang pelayanan kesehatan khususnya pada penyakit rheumatoid arthritis serta sebagai pembanding, pendukung dan pelengkap untuk penelitian selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka
1. Rheumatoid arthritis
a. Definisi
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah,
arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah
suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon
et al., 2002). Menurut American College of Rheumatology (2012), rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis (jangka panjang) yang
menyebabkan nyeri, kekakuan, pembengkakan serta keterbatasan gerak dan fungsi banyak sendi.
b. Etiologi
Penyebab pasti rheumatoid arthritis tidak diketahui, diperkirakan merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan faktor sistem reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri, mikoplasma dan virus. Menurut Smith dan Haynes (2002), ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang menderita rheumatoid arthritis yaitu :
1). Faktor genetik
Beberapa penelitian yang telah dilakukan melaporkan terjadinya
rheumatoid arthritis sangat terkait dengan faktor genetik. Delapan
puluh persen orang kulit putih yang menderita rheumatoid arthritis mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 pada MHC yang terdapat di permukaan sel T. Pasien yang mengekspresikan antigen HLA-DR4 3,5 kali lebih rentan terhadap rheumatoid arthritis.
2). Usia dan jenis kelamin
Insidensi rheumatoid arthritis lebih banyak dialami oleh wanita daripada laki-laki dengan rasio 2:1 hingga 3:1. Perbedaan ini diasumsikan karena pengaruh dari hormon namun data ini masih
dalam penelitian. Wanita memiliki hormon estrogen sehingga dapat memicu sistem imun. Onset rheumatoid arthritis terjadi pada orang-orang usia sekitar 50 tahun.
3). Infeksi
Infeksi dapat memicu rheumatoid arthritis pada host yang mudah terinfeksi secara genetik. Virus merupakan agen yang potensial memicu rheumatoid arthritis seperti parvovirus, rubella, EBV, borellia burgdorferi.
4). Lingkungan
Faktor lingkungan dan gaya hidup juga dapat memicu rheumatoid
arthritis seperti merokok.
Ada beberapa teori penyebab rheumatoid arthritis antara lain infeksi streptokokus hemolitikus dan streptokokus non-hemolitikus, endokrin, autoimun, metabolik dan faktor genetik serta faktor pemicu lainnya. Pada saat ini, rheumatoid arthritis diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II, faktor infeksi mungkin disebabkan oleh virus dan organisme mikoplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita (Alamanos dan Drosos, 2005; Rindfleisch dan Muller, 2005).
c. Patogenesis
Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat membedakan komponen self dan non-self. Kasus rheumatoid arthritis sistem imun tidak mampu lagi membedakan keduanya dan menyerang jaringan sinovial serta jaringan penyokong lain. Inflamasi berlebihan merupakan manifestasi utama yang tampak pada kasus rheumatoid
arthritis. Inflamasi terjadi karena adanya paparan antigen. Antigen dapat
berupa antigen eksogen, seperti protein virus atau protein antigen endogen (Schuna, 2005).
Paparan antigen akan memicu pembentukan antibodi oleh sel B. Pada pasien rheumatoid arthritis ditemukan antibodi yang dikenal dengan Rheumatoid Factor (RF). Rheumatoid Factor mengaktifkan komplemen kemudian memicu kemotaksis, fagositosis dan pelepasan sitokin oleh sel mononuklear sehingga dapat mempresentasikan antigen kepada sel T CD4+. Sitokin yang dilepaskan merupakan sitokin proinflamasi dan kunci terjadinya inflamasi pada rheumatoid arthritis seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6. Aktivasi sel T CD4+ akan memicu sel-sel inflamasi datang ke area yang mengalami inflamasi. Makrofag akan melepaskan prostaglandin dan sitotoksin yang akan memperparah inflamasi. Protein vasoaktif seperti histamin dan kinin juga dilepaskan yang menyebabkan edema, eritema, nyeri dan terasa panas. Selain itu, aktivasi makrofag, limfosit dan fibroblas juga dapat menstimulasi
angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) sehingga terjadi peningkatan vaskularisasi yang ditemukan pada sinovial penderita RA. Inflamasi kronis yang dialami pasien rheumatoid arthritis menyebabkan membran sinovial mengalami proliferasi berlebih yang dikenal dengan
pannus. Pannus akan menginvasi kartilago dan permukaan tulang yang
menyebabkan erosi tulang dan akhirnya kerusakan sendi (Schuna, 2005). Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus) menginfeksi sendi akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada membran sinovial dan terjadi peradangan yang berlangsung terus-menerus. Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan, kapsul fibroma sendi, ligamen dan tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan pembentukan pada jaringan parut sehingga membran sinovium menjadi hipertrofi dan menebal. Terjadinya hipertrofi dan penebalan ini menyebabkan aliran darah yang masuk ke dalam sendi menjadi terhambat. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (Schuna, 2005). d. Diagnosis
Kerusakan sendi pada rheumatoid arthritis (RA) dimulai pada beberapa minggu setelah onset gejala. Pengobatan yang dilakukan sejak dini dapat menurunkan progresivitas penyakit. Bukti menunjuk pada suatu “jendela oportunitas” untuk memulai pengobatan yang dapat mengubah perjalanan penyakit. Bukti terakhir menunjukkan bahwa
jendela ini mungkin berkisar antara 3-4 bulan (NHMRC, 2009). Oleh karena itu, penting sekali untuk mendiagnosis penyakit dan memulai modifikasi terapi penyakit sesegera mungkin. Diagnosis rheumatoid
arthritis memerlukan sejumlah tes untuk meningkatkan kepastian
diagnosis, membedakannya dengan bentuk artritis yang lain, memprediksi perkembangan penyakit pasien, serta melakukan monitoring untuk mengetahui perkembangan penyakit yaitu:
1). Laju enap darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) menunjukkan adanya proses inflamasi, akan tetapi memiliki spesifisitas yang rendah untuk RA. Tes ini berguna untuk memonitor aktivitas penyakit dan responnya terhadap pengobatan (NHMRC, 2009). 2). Tes RhF (rheumatoid factor). Tes ini tidak konklusif dan mungkin
mengindikasikan penyakit peradangan kronis yang lain (positif palsu). Pada beberapa kasus RA, tidak terdeteksi adanya RhF (negatif palsu). RhF ini terdeteksi positif pada sekitar 60-70% pasien RA. Level RhF jika dikombinasikan dengan level antibodi anti-CCP dapat menunjukkan tingkat keparahan penyakit (NHMRC, 2009). 3). Tes antibodi anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptide) adalah tes
untuk mendiagnosis rheumatoid arthritis secara dini. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tes tersebut memiliki sensitivitas yang mirip dengan tes RhF, akan tetapi spesifisitasnya jauh lebih tinggi
dan merupakan prediktor yang kuat terhadap perkembangan penyakit yang erosif (NHMRC, 2009).
4). Tes hitung darah lengkap biasanya dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai inflamasi dan anemia yang berguna sebagai indikator prognosis pasien (NHMRC, 2009).
5). Analisis cairan sinovial. Peradangan yang mengarah pada
rheumatoid arthritis ditandai dengan cairan sinovial abnormal dalam
hal kualitas dan jumlahnya yang meningkat drastis. Sampel cairan ini biasanya diambil dari sendi (lutut), untuk kemudian diperiksa dan dianalisis tanda-tanda peradangannya (Shiel, 2011).
6). X-ray tangan dan kaki dapat menjadi kunci untuk mengidentifikasi adanya erosi dan memprediksi perkembangan penyakit dan untuk membedakan dengan jenis artritis yang lain, seperti osteoartritis (Shiel, 2011).
7). MRI dapat mendeteksi adanya erosi lebih dini jika dibandingkan dengan X-Ray (Shiel, 2011).
8). USG dapat digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi adanya cairan abnormal di jaringan lunak sekitar sendi (Shiel, 2011).
9). Scan tulang. Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya inflamasi pada tulang (Shiel, 2011).
10). Densitometri dapat mendeteksi adanya perubahan kepadatan tulang yang mengindikasikan terjadinya osteoporosis (Shiel, 2011).
11). Tes Antinuklear Antibodi (ANA) (Shiel, 2011). e. Prognosis
Diagnosis dan pengobatan yang terlambat dapat membahayakan pasien. Sekitar 40% pasien rheumatoid arthritis ini menjadi cacat setelah 10 tahun. Akan tetapi, hasilnya sangatlah bervariasi. Beberapa pasien menunjukkan progresi yang nampak seperti penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya, sedangkan pasien lain mungkin menunjukkan
progresi penyakit yang kronis (Temprano, 2011).
Prognosis yang buruk dapat dilihat dari hasil tes yang menunjukkan adanya cedera tulang pada tes radiologi awal, adanya anemia persisten yang kronis dan adanya antibodi anti-CCP (Temprano, 2011). Rheumatoid arthritis yang aktif terus-menerus selama lebih dari satu tahun cenderung menyebabkan deformitas sendi serta kecacatan. Morbiditas dan mortalitas karena masalah kardiovaskular meningkat pada penderita rheumatoid arthritis. Secara keseluruhan, tingkat mortalitas pasien rheumatoid arthritis adalah 2,5 kali dari populasi umum (Temprano, 2011).
f. Komplikasi
Komplikasi penyakit dapat mempersingkat hidup beberapa tahun pada beberapa individu, meskipun rheumatoid arthritis itu sendiri tidak fatal. Secara umum rheumatoid arthritis bersifat progresif dan tidak dapat disembuhkan, tetapi pada beberapa pasien penyakit ini secara
bertahap menjadi kurang agresif dan gejala bahkan dapat membaik. Bagaimanapun, jika terjadi kerusakan tulang dan ligamen serta terjadi perubahan bentuk, efeknya akan permanen.
Kecacatan dan nyeri sendi dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang umum. Sendi yang terkena bisa menjadi cacat, kinerja tugas bahkan tugas biasa sekalipun mungkin akan sangat sulit atau tidak mungkin. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Selain itu,
rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi
bagian lain dari tubuh selain sendi. Efek ini meliputi : 1). Anemia
2). Infeksi
Pasien dengan RA memiliki risiko lebih besar untuk infeksi. Obat imunosupresif akan lebih meningkatkan risiko.
3). Masalah gastrointestinal
Pasien dengan RA mungkin mengalami gangguan perut dan usus. Kanker perut dan kolorektal dalam tingkat yang rendah telah dilaporkan pada pasien RA.
4). Osteoporosis
Kondisi ini lebih umum daripada rata-rata pada wanita
osteoporosis tampaknya lebih tinggi daripada rata-rata pada pria dengan RA yang lebih tua dari 60 tahun.
5). Penyakit paru-paru
Sebuah studi kecil menemukan prevalensi tinggi peradangan paru dan fibrosis pada pasien yang baru didiagnosis RA, namun temuan ini dapat dikaitkan dengan merokok.
6). Penyakit jantung
RA dapat mempengaruhi pembuluh darah dan meningkatkan risiko penyakit jantung iskemik koroner.
7). Sindrom Sjögren 8). Sindrom Felty
Kondisi ini ditandai dengan splenomegali, leukopenia dan infeksi bakteri berulang. Ini mungkin merupakan respon disease-modifying
antirheumatic drugs (DMARDs).
9). Limfoma dan kanker lainnya
RA terkait perubahan sistem kekebalan tubuh mungkin memainkan peran. Pengobatan yang agresif untuk RA dapat membantu mencegah kanker tersebut.
g. Tatalaksana Terapi
1). Tujuan terapi rheumatoid arthritis
Pengobatan penderita rheumatoid arthritis bertujuan untuk :
a). Menghilangkan gejala peradangan/inflamasi yang aktif baik lokal maupun sistemik.
b). Mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan.
c). Mencegah terjadinya deformitas atau kelainan bentuk sendi dan menjaga fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik. d). Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang
mengalami rheumatoid arthritis agar sedapat mungkin menjadi normal kembali (Rizasyah, 1997).
2). Strategi terapi
Pengobatan rheumatoid arthritis memiliki dua komponen (Shiel, 2011):
a). Mengurangi inflamasi serta mencegah kerusakan dan kecacatan sendi.
b). Menghilangkan gejala, terutama nyeri. 3). Tata laksana terapi
Obat-obatan dapat digunakan untuk mengurangi peradangan pada sendi, menghilangkan rasa sakit dan mencegah atau memperlambat terjadinya kerusakan sendi. Terapi fisik dapat dilakukan untuk
melindungi sendi. Jika sendi sudah rusak parah, suatu tindakan pembedahan mungkin diperlukan.
a). Terapi non-farmakologi
Terapi non-farmakologi untuk rheumatoid arthritis meliputi latihan, istirahat, pengurangan berat badan dan pembedahan (Shiel, 2011).
(1). Latihan
Penelitian menunjukkan bahwa olahraga sangat membantu mengurangi rasa sakit dan kelelahan pada pasien rheumatoid arthritis serta meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan gerak. Tiga jenis olahraga yang disarankan adalah latihan rentang gerak, latihan penguatan dan latihan daya tahan (aerobik). Aerobik air adalah pilihan yang sangat baik karena dapat meningkatkan jangkauan gerak dan daya tahan, juga dapat menjaga berat badan dari sendi-sendi tubuh bagian bawah (Shiel, 2011).
(2). Istirahat
Istirahat merupakan komponen esensial pada terapi non-farmakologi RA. Istirahat dapat menyembuhkan stres dari sendi yang mengalami peradangan dan mencegah kerusakan sendi yang lebih parah. Tetapi terlalu banyak istirahat (berdiam diri) juga dapat menyebabkan imobilitas, sehingga dapat menurunkan rentang gerak dan menimbulkan atrofi otot. Pasien hendaknya tetap menjaga gerakan dan tidak berdiam diri terlalu lama. Dalam kondisi yang mengharuskan
pasien duduk lama, pasien mungkin dapat beristirahat sejenak setiap jam, berjalan-jalan sambil meregangkan dan melenturkan sendi (Schuna, 2008).
(3). Pengurangan berat badan
Menurunkan berat badan dapat membantu mengurangi stres pada sendi dan dapat mengurangi nyeri. Menjaga berat badan tetap ideal juga dapat mencegah kondisi medis lain yang serius seperti penyakit jantung dan diabetes. Pasien hendaknya mengkonsumsi makanan yang bervariasi, dengan memperbanyak buah dan sayuran, protein tanpa lemak dan produk susu rendah lemak. Berhenti merokok akan mengurangi risiko komplikasi rheumatoid arthritis (Shiel, 2011).
(4). Pembedahan
Jika terapi obat gagal mencegah atau memperlambat kerusakan sendi, tindakan pembedahan mungkin dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki sendi yang rusak. Pembedahan dapat membantu mengembalikan kemampuan penggunaan sendi, mengurangi rasa sakit dan mengurangi kecacatan. Pembedahan yang dilakukan antara lain sebagai berikut (Harms, 2009):
(a). Artoplasti (penggantian total sendi). Bagian sendi yang rusak akan diganti dengan prostesis yang terbuat dari logam dan plastik.
(b). Perbaikan tendon. Peradangan dan kerusakan sendi dapat menyebabkan tendon di sekitar sendi menjadi longgar atau pecah. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan tendon di sekitar sendi.
(c). Sinovektomi (penghapusan lapisan sendi). Lapisan sendi yang meradang dan menyebabkan nyeri dapat dihilangkan.
(d). Artrodesis (fusi sendi). Fusi sendi mungkin direkomendasikan untuk menstabilkan atau menyetel kembali sendi dan dapat mengurangi nyeri ketika penggantian sendi tidak menjadi suatu pilihan.
Pembedahan berisiko menyebabkan perdarahan, infeksi dan nyeri, sehingga sebelum dilakukan tindakan, harus diperhitungkan dulu manfaat dan risikonya.
b). Terapi farmakologi
Ada dua kelas obat yang digunakan untuk mengobati RA, yaitu obat fast acting (lini pertama) dan obat slow acting (lini kedua). Obat-obat fast acting digunakan untuk mengurangi nyeri dan peradangan, seperti aspirin dan kortikosteroid sedangkan obat-obat slow acting adalah obat antirematik yang dapat memodifikasi penyakit (DMARD), seperti garam emas, metotreksat dan hidroksiklorokuin yang digunakan untuk remisi penyakit dan mencegah kerusakan sendi progresif, tetapi tidak memberikan efek anti-inflamasi (Shiel, 2011).
Gambar 1. Algoritma Terapi Rheumatoid Arthritis (Schuna, 2008)
Pengobatan dengan DMARD sebaiknya dimulai selama 3 bulan pertama sejak diagnosis rheumatoid arthritis ditegakkan. Kombinasi dengan NSAID dan/atau kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi gejala. Pengobatan dengan DMARD sejak dini dapat mengurangi mortalitas. DMARD yang paling sering digunakan adalah metotreksat, hidroksiklorokuin, sulfasalazin dan leflunomid.
Metotreksat, atau DMARD lain ± NSAID, ± Prednison dalam 3 bulan pertama
Kombinasi DMARD Respon buruk
DMARD lain monoterapi (Metotreksat jika tidak
digunakan diatas)
DMARD biologik mono atau kombinasi
dengan DMARD
Respon buruk
Coba kombinasi lain, 3 jenis obat (DMARD + biologik) tambahkan prednison dosis rendah untuk jangka panjang, pertimbangkan lini kedua DMARD
Metotreksat lebih banyak dipilih karena menghasilkan outcome yang lebih baik jika dibandingkan dengan obat lain. Metotreksat juga lebih ekonomis jika dibandingkan dengan agen biologik. Obat lain yang efikasinya mirip dengan metotreksat adalah leflunomid (Schuna, 2008). Agen biologik yang mempunyai efek DMARD juga dapat diberikan pada pasien yang gagal dengan terapi DMARD. Agen ini dirancang untuk memblokir aksi zat alami yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh, seperti faktor TNF, atau IL-1. Zat-zat yang terlibat dalam
rheumatoid arthritis adalah reaksi kekebalan tubuh abnormal sehinggga
perlu dihambat untuk memperlambat reaksi autoimun sehingga dapat meringankan gejala dan memperbaiki kondisi secara keseluruhan. Agen biologik yang biasa digunakan adalah obat-obat anti-TNF (etanercept, infliximab, adalimumab), antagonis reseptor IL-1 anakinra, modulator kostimulasi abatacept dan rituximab yang dapat mendeplesi sel B periferal (Schuna, 2008). Infliximab dapat diberikan secara kombinasi bersama metotreksat untuk mencegah perkembangan antibodi yang dapat mereduksi efek obat ataupun menginduksi reaksi alergi. Kombinasi dua atau lebih DMARDs juga diketahui lebih efektif jika dibandingkan dengan terapi tunggal (Schuna, 2008).
Kortikosteroid berguna untuk mengontrol gejala sebelum efek terapi DMARD muncul. Dosis rendah secara terus-menerus dapat diberikan sebagai tambahan ketika pengobatan dengan DMARD tidak
dapat mengontrol penyakit. Kortikosteroid dapat disuntikkan ke dalam sendi dan jaringan lokal untuk mengendalikan peradangan lokal. Kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan sebagai monoterapi dan penggunaannya secara kronis sebaiknya dihindari (Schuna, 2008).
NSAID juga dapat diberikan untuk mengurangi pembengkakan dan nyeri pada RA. NSAID tidak memperlambat terjadinya kerusakan sendi, sehingga tidak dapat diberikan sebagai terapi tunggal untuk mengobati RA. Seperti kortikosteroid, NSAID digunakan sebagai terapi penunjang DMARD (Schuna, 2008).
4). Monitoring terapi
Evaluasi terapi terutama didasarkan pada perbaikan tanda-tanda klinis dan gejala RA. Perbaikan tanda klinis misalnya adalah berkurangnya pembengkakan sendi, berkurangnya panas pada sendi yang terlibat dan berkurangnya nyeri saat sendi dipalpasi. Pengurangan gejala misalnya adalah berkurangnya nyeri sendi yang dirasakan, perbaikan dan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari. Radiografi dan pemeriksaan laboratorium mungkin diperlukan untuk memantau hasil terapi (Schuna, 2008).
2. Kualitas hidup a. Definisi
Kualitas hidup didefinisikan dengan cara yang berbeda oleh para peneliti. Hal ini karena istilah tersebut merupakan istilah multidisipliner
yang tidak hanya digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, tetapi dalam konteks penelitian dihubungkan dengan berbagai macam bidang khusus. Istilah kualitas hidup (quality of life) yang lebih spesifik disebut Health
Related Quality of Life (HRQOL) merupakan domain kesehatan fisik,
psikologi, kepercayaan, harapan dan persepsi seseorang. Oleh karena itu, dua orang dengan status kesehatan yang sama mungkin bisa mempunyai kualitas hidup yang berbeda. Pengukuran kualitas hidup biasa digunakan pada praktek klinik seperti psikiatri, rheumatologi, geriatri dan perawat (Testa dan Simonson, 1996).
b. Instrumen untuk mengukur kualitas hidup
Pengukuran HRQOL dapat digunakan dua pendekatan terkait dengan instrumen yang digunakan, yakni instrumen generik dan instrumen spesifik.
1). Instrumen generik merupakan instrumen umum dan dibuat untuk mengukur semua aspek kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup pada berbagai macam penyakit dan populasi. Contoh instrumen generik antara lain MOS (Medical Outcome Study), Short
Form – 36, SIP (Sickness Impact Profile) dan Quality of Well-Being Scale. Keuntungan dari instrumen generik adalah bahwa nilai pasien
yang diperoleh nanti dapat dibandingkan dengan nilai dari populasi lain dan/atau populasi kontrol manusia sehat, sedangkan kerugian instrumen ini adalah tidak dirancang untuk mengidentifikasi dimensi
spesifik dari suatu penyakit yang penting dalam penegakan perubahan status klinis pasien (Gutterling et al., 2007).
2). Sementara instrumen spesifik fokus pada keadaan kesehatan yang spesifik agar memberikan hasil yang lebih rinci berdasarkan luaran dari kondisi kesehatan atau penyakit tertentu Keuntungan dari instrumen ini adalah memberikan spesifisitas dan sensitivitas yang lebih besar dibandingkan instrumen generik (Gutterling, et al., 2007).
c. Instrumen untuk mengukur kualitas hidup pasien rheumatoid
arthritis
Pemilihan instrumen yang tepat untuk pengukuran HRQOL sangat tergantung pada tujuan dari uji kinik yang dilakukan dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan dari instrumen yang digunakan (Cramer dan Spilker, 1998). Pengukuran kualitas hidup sendiri bertujuan untuk memilih terapi yang memberikan efek optimal pada pasien dan membantu pembuat keputusan baik pihak pemerintah maupun swasta dalam mengalokasikan dana untuk terapi dengan outcome kualitas hidup terbaik. Selain itu kualitas hidup dapat digunakan dalam proses monitoring dan outcome terapi serta menentukan kesehatan sekelompok pasien untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan. Dengan mempelajari kualitas hidup pasien dapat membantu memperbaiki kualitas terapi dan tujuan terapinya (Spilker, 1996).
Kuesioner spesifik yang dapat menilai kualitas hidup dari pasien
rheumatoid arthritis adalah AIMS2 SF (Arthritis Impact Measurement Scales Short Form). AIMS2 SF merupakan kuesioner spesifik untuk
menilai kualitas hidup penderita arthritis. Kuesioner ini didesain untuk mengukur kualitas hidup dan outcome pasien dalam berbagai aspek kualitas hidup dengan skala pengukuran spesifik dan mampu menggambarkan kualitas hidup pasien arthritis secara keseluruhan. AIMS2 SF terdiri dari 26 pertanyaan yang mencerminkan 5 domain atau bidang yaitu physical scales, symptom scales, affect scales, social scales
dan work scales (Meenan et al., 1997). Kedepannya penelitian lebih
lanjut tentang AIMS2 SF dengan berbagai bahasa dan budaya akan sangat bermanfaat dan akan memungkinkan dokter beserta tenaga kesehatan yang lain untuk mendapatkan pemahaman yang semakin baik mengenai kondisi pasiennya.
d. Penilaian nyeri rheumatoid arthritis menggunakan Visual Analog
Scale
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan
dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya relatif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosakata tidak menjadi permasalahan (Indrati, 2009). Williamson dan Hoggart (2005) juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio.
Gambar 2. Visual Analog Scale (Indrati, 2009)
Intensitas nyeri pada skala 0 tidak terjadi nyeri, intensitas nyeri ringan pada skala 1 sampai 3, intensitas nyeri sedang pada skala 4 sampai 6, intensitas nyeri berat pada skala 7 sampai 9 intensitas nyeri sangat berat pada skala 10 nyeri tidak terkontrol (Potter dan Perry, 2005).
F. Landasan Teori
Penyakit rheumatoid arthritis berlangsung kronis yaitu sembuh dan kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan sendi secara menetap. Hal yang paling buruk pada penderita rheumatoid
arthritis adalah pengaruh negatifnya terhadap kualitas hidup. Pemberian terapi rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi dan bengkak,
meringankan kekakuan dan mencegah kerusakan sendi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Obat-obatan berperan sangat penting dalam terapi rheumatoid arthritis. Pasien rheumatoid arthritis memulai pengobatan dengan DMARD seperti metotreksat, sulfasalazin dan leflunamid. Obat tersebut meringankan gejala dan memperlambat kemajuan penyakit. DMARD sering dikombinasikan dengan NSAID dan/atau kortikosteroid dosis rendah untuk mengurangi pembengkakan, nyeri dan demam
Secara umum kualitas hidup menggambarkan kemampuan individu untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang dilakukannya. Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain karakteristik pasien, seperti umur dan jenis kelamin. Faktor berikutnya adalah karakteristik penyakit seperti penyakit penyerta dan lamanya (durasi)
rheumatoid arthritis. Selain itu, pengobatan atau terapi, seperti jenis obat atau
terapi dan tingkat nyeri yang dialami pasien juga ikut berperan dalam kualitas hidup pasien.
G. Kerangka Konsep
Gambar 3. Skema Kerangka Konsep Penelitian
H. Hipotesis
Berdasarkan uraian dalam landasan teori, dapat dirumuskan hipotesis yaitu usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, durasi penyakit, jenis obat yang digunakan dan tingkat nyeri yang dialami mempengaruhi kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di instalasi rawat jalan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Karakteristik pasien : 1. Usia 2. Jenis kelamin Karakteristik penyakit : 1. Penyakit penyerta 2. Durasi penyakit
Jenis obat atau terapi yang digunakan
Nyeri yang dialami
Kualitas hidup pasien
rheumatoid arthritis