• Tidak ada hasil yang ditemukan

infeksi cacing tambang asma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "infeksi cacing tambang asma"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cacing tambang termasuk soil-transmitted helminths yaitu cacing yang memerlukan tanah untuk berkembang menjadi bentuk infektif.1,2,4 Infeksi cacing tambang terdapat luas di seluruh Indonesia yang beriklim tropis, terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat penduduknya.1,2,4 Cacing tambang yang penting dalam masalah kesehatan masyarakat Indonesia yaitu Necator americanus dan Ancylostoma duodenale karena cacing tersebut hospes pada tubuh manusia.1,3,4 Terdapat spesies lain cacing tambang seperti Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum, namun kedua spesies tersebut merupakan hospes pada hewan seperti kucing dan anjing.3,4

Prevalensi kecacingan ini sangat bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, tergantung dari beberapa faktor antara lain daerah pedesaan atau perkotaan, kelompok umur, kebiasaan penduduk setempat yang berhubungan dengan kebersihan (tempat buang air besar dan tidak beralas kaki), pekerjaan penduduk, dan status ekonomi.1,5,6 Penelitian epidemiologi mengenai infeksi cacing tambang yang dilakukan di Cirebon, Jawa Barat berdasarkan status ekonomi dan kebersihan lingkungan mendapatkan angka prevalensi pada suatu kelompok dengan tingkat ekonomi dan kebersihan yang kurang adalah 82,4%, sedangkan pada kelompok lain dengan tingkat ekonomi dan kebersihan baik adalah 24%.1

Asma merupakan suatu keadaan patologis sistem kekebalan tubuh yang ditandai oleh obstruksi saluran napas yang bersifat reversible akibat adanya suatu antigen yang menyebabkan inflamasi atau meningkatnya respons saluran nafas yang berlebihan terhadap berbagai rangsangan (hiperaktivitas).7-10

(2)

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia menurut data penelitian Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. SKRT tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab morbiditas. Pada SKRT 1992, asma naik peringkat sebagai penyebab morbiditas ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000.12

Infeksi cacing tambang adalah infeksi yang mudah ditemui di semua negara di dunia.2,14,15 Suatu penelitian menunjukkan hubungan antara infeksi geohelminth dalam melindungi manusia terhadap alergi. Sebuah hubungan ini didukung oleh penelitian pada manusia dan hewan percobaan.5,11,16 Pada infeksi awal cacing tambang dapat menyebabkan peningkatan respon peradangan, namun setelah infeksi berulang atau kronis terjadi aktivasi dari sel T regulator yang menyebabkan penekanan dari reaksi radang sehingga infeksi cacing tambang menjadi kronis dan memungkinkan parasit untuk bertahan hidup.6 Efek tersebut tidak hanya berlaku untuk antigen parasit saja tetapi juga melindungi host dari antigen lain seperti aeroallergen.6

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan singkat dalam latar belakang tersebut, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

Bagaimana peran cacing tambang dalam menurunkan kejadian asma? 1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menjelaskan mengenai peran cacing tambang dalam menurunkan kejadian asma.

(3)

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan bagaimana respon imun tubuh terhadap infeksi cacing tambang.

2. Menjelaskan bagaimana respon imun tubuh terhadap asma.

3. Menjelaskan bagaimana hubungan infeksi cacing tambang dengan asma.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Masyarakat

Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai hubungan infeksi cacing tambang dalam menurunkan angka kejadian asma.

1.4.2 Bagi Bidang Ilmiah

1. Memicu ide-ide kreatif bagi peneliti lain untuk meneliti mengenai peran cacing tambang dalam menurunkan angka kejadian asma. 2. Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah

satu bahan acuan yang digunakan untuk pengembangan penelitian lebih lanjut.

1.5 Ruang Lingkup Penulisan

Penulisan ini dibatasi pada materi hubungan antara infeksi cacing tambang dengan asma.

1.6 Metodologi

Penulisan ini dibuat dengan metode studi literatur. Bab I dalam karya tulis ini membahas pendahuluan, bab II menjelaskan teori tentang masalah yang dibahas, bab III berisi hipotesis, bab IV berisi pembahasan, dan bab V berisi kesimpulan dan saran yang ditulis oleh penulis.

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ASMA

2.1.1 DEFINISI

Definisi asma masih sulit untuk ditentukan hingga saat ini karena asma merupakan penyakit yang kompleks. Semua definisi asma yang dikeluarkan oleh berbagai sumber hanya diambil dari gejala klinis yang tampak pada penderita. Berdasarkan sumber – sumber tersebut ditarik kesimpulan, bahwa definisi asma adalah penyakit inflamasi kronis yang terjadi pada saluran nafas banyak ditemukan sel mast, limfosit T (sel T), dan eosinofil.4,8,12,23-26

2.1.2 EPIDEMIOLOGI

Asma merupakan salah satu penyakit yang paling sering dijumpai dan sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia. Jumlah penderitanya kurang lebih sekitar 5% dari populasi manusia. Pada penelitian epidemiologis yang diadakan tahun 1993 di Surabaya, didapatkan prevalensi asma sebesar 7,7% dengan rincian 9,2% pada kaum pria dan 6,6% pada kaum wanita. Pada penelitian tersebut diteliti 6662 responden dengan rentang usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) yang berasal dari 37 puskesmas di Jawa Timur. Pada SKRT tahun 1995 prevalensi asma di seluruh wilayah Indonesia sebesar 13/1000. Pada SKRT tahun 2002 tercatat penderita asma di Indonesia sebanyak 12,5 juta jiwa. Pada SKRT tahun 2005 tercatat 225.000 orang meninggal dunia karena asma.1,12 Data dari WHO pada tahun 2005 didapat penderita asma sebanyak 300 juta jiwa.

(5)

2.1.3 KLASIFIKASI

Klasifikasi asma dapat ditentukan dari banyak faktor seperti etiologi, berat ringannya penyakit, dan gambaran obstruksi saluran nafas, namun yang akan dibahas kali ini hanya berdasarkan etiologinya saja. Asma dibedakan menjadi 2 yaitu asma ekstrinsik atau atopic dan intrisik atau non-atopic.4,8,9

Asma ekstrinsik paling banyak dijumpai, sekitar 70% dari semua penderita asma. Tipe ini berhubungan dengan atopi, yaitu reaksi Imunoglobulin E (IgE) dan T-Helper 2 cell (Th2) yang disebabkan oleh respon imun terhadap allergen. Allergen tersebut dapat bermacam-macam seperti debu, serbuk sari bunga, bulu kucing, dll.4,8,9,27

Asma intrinsik ditemukan sekitar 30% pada penderita asma. Mekanismenya sampai saat ini belum diketahui. Pada asma tipe intrinsik apabila dilakukan skin test maka hasilnya akan negatif dan tidak ditemukan peningkatan jumlah IgE.4 Yang menjadi faktor pencetusnya asma tipe ini adalah olahraga yang berlebihan (exercise-induced asthma), periode menstruasi (catamenial asthma), infeksi saluran pernafasan, gastro esophageal reflux disease (GERD), perubahan cuaca, stres. Faktor genetis pada asma tipe intrinsik sangat jarang ditemui.8,9,27

Pembagian ini tidak bisa di jadikan kesimpulan karena banyak dari penderita asma memiliki ciri pada kedua tipe tersebut.8,9

2.1.4 GEJALA KLINIS

Pada tahun 1997, The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) membuat kesimpulan akan definisi asma berdasarkan gejala yaitu kelainan pernafasan berulang dan reversible dengan menggunakan obat bronkodilator antagonis β2 maupun sembuh sendiri.12

Pada penderita juga didapati hiperreaktifitas pada saluran nafasnya, sehingga menimbulkan inflamasi kronis dan berulang yang melibatkan mediator-mediator inflamasi seperti sel eosinofil, IgE, Th2, dan neutrofil.4,8,9,24,27

(6)

Kelainan pada pernafasan tersebut dapat berupa rasa sesak pada dada, suara nafas wheezing atau mengi, dan batuk. Suara mengi terdengar pada saat pasien ekspirasi, sehingga ekspirasinya terdengar memanjang.24 Suara mengi tersebut diakibatkan karena ada obstruksi pada saluran pernafasan. 2.1.5 PATOFISIOLOGI

2.1.5.1 PAPARAN PERTAMA

Gambar 1. Skema patofisiologi asma pada paparan pertama.

Eosinofilia

IFN-γ IL-12

Th2

Ig E menempel pada sel mast Allergen /Antigen Makrofag/APC merangsang Sel B Sel Th0 Menghasilkan Ig E spesifik IL-1 Menghasilkan IL-4 Proliferasi Sel B Sel Plasma

IL-2 dan IL-2R

Aktivasi sel Th0 IL-4 Th1 Difrensiasi sel Th0 TNF-α Diferensiasi sel T

(7)

Proses patofisiologi asma yang terpenting adalah paparan berulang. Gejala-gejala asma yang sudah dibahas sebelumnya akan timbul setelah terjadi paparan pertama. Pada paparan pertama penderita asma sama seperti orang normal dan tidak menunjukkan gejala apapun. Paparan pertama dimulai dengan masuknya allergen atau antigen. Allergen merupakan zat-zat tertentu yang dapat menimbulkan inflamasi saluran nafas pada penderita asma. Setelah masuk ke dalam tubuh antigen tersebut ditangkap oleh makrofag yang bertugas sebagai Antigen Presenting Cell (APC) (Gambar 1). 8,28

Ikatan antigen-makrofag tersebut merangsang makrofag untuk mengeluarkan sitokin-sitokinnya seperti 1 (IL-1), Interleukin-12 (IL-Interleukin-12) ,dan Tumor Necroting Factor α (TNF-α). Sitokin-sitokin tersebut memiliki fungsi yang berbeda, IL-12 berperan dalam diferensiasi sel T menjadi Naïve T-Cell (Th0), TNF-α berperan dalam proses penarikan eosinofil atau eosinofilia, sedangkan IL-1 akan merangsang sel B yang belum teraktifasi untuk mengeluarkan Interleukin-4 (IL-4) atau B-Cell Growth Factor (BCGF). IL-4 berfungsi sebagai stimulant bagi sel B yang belum teraktifasi untuk berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu sel plasma.28 Bentuk sel plasma berbeda dengan sel B yang belum teraktifasi, sel plasma memiliki bentuk yang lebih besar dan dapat menghasilkan Immunoglubulin E (IgE). Antibodi tersebut dihasilkan dari Reticulum Endoplasma (RE) sel plasma. Antibody tersebut yang nantinya akan berikatan oleh salah satu reseptor sel mast dan akan menimbulkan gejala pada asma. 8,28

Makrofag juga dapat merangsang Th0 untuk memproduksi Interleukin-2 (IL-2) dan Interleukin-2 receptor (IL-2R). IL-2 bersifat autokrin dan menyebabkan Th0 menghasilkan IL-4 dan Interferon-γ (IFN-γ). Kedua sitokin tersebut menentukan diferensiasi sel Th0. IFN-γ dapat merangsang sel Th0 berdiferensiasi menjadi sel Th1, sedangkan IL-4 yang

(8)

dihasilkan oleh Th0 dapat berperan dalam proses diferensiasi sel B menjadi sel plasma dan diferensiasi sel Th0 menjadi sel Th2.28

2.1.5.2 PAPARAN KEDUA

Gambar 2. Skema patofisiologi paparan ulang oleh allergen pada asma.

Setelah paparan pertama usai, maka akan dibentuk klon sel B spesifik untuk antigen pada paparan pertama. Tujuan pembentukan klon tersebut adalah untuk membuat respon yang lebih cepat jika ada paparan berulang oleh allergen yang sama. Apabila terjadi paparan ulang oleh allergen yang sama, maka klon sel B tersebut akan berubah menjadi sel plasma dan menghasilkan IgE yang spesifik untuk antigen tersebut. IgE spesifik tersebut akan beredar bebas didalam darah dan akan berikatan dengan sel mast atau basofil pada salah satu reseptornya (Gambar 2).8,28

Klon Sel B spesifik

Allergen /Antigen Sel plasma aktif

Sel Mast dan basofil Antibodi IgE spesifik

Mediator kimia

Timbul gejala asma

SRS-A ECF

Histamin

(9)

Proses ikatan tersebut yang akan menyebabkan gejala klinis pada asma melalui pengeluaran mediator-mediator kimia oleh sel mast. Mediator-mediator tersebut antara lain: 8,9,28

1. Histamin

Histamine menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.

2. Slow-Reactive Substance of Anaphylaxis (SRS-A)

Menyebabkan kontraksi otot polos kuat dan berkepanjangan pada saluran pernafasan

3. Eosinophil Chemotactic Factor (ECF)

Memiliki fungsi untuk menarik eosinofil kedaerah peradangan. 4. Leukotriene C4, D4, dan E4

Bronkokonstriksi kuat dan memanjang, peningkatan permeabilitas kapiler, dan produksi mukus saluran pernafasan.

5. Prostaglandin D2

Bronkokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah.

2.1.5.3 EOSINOFIL RECRUITMENT

Makrofag setelah berikatan dengan antigen akan mensekresi TNF-α yang akan merangsang epitel saluran nafas sehingga menghasilkan 2 zat kimia yaitu Thymus Activated Regulated Chemokine (TARC) dan Macrophage-Derived Chemokine (MDC). Kedua zat tersebut akan menarik sel Th2 dan berikatan dengan reseptor sel Th2 yang menyebabkan Th2 menghasilkan IL-4, Interleukin-5 (IL-5), dan Interleukin-13 (IL-13)

. IL-5 memiliki nama lain yaitu Eosinophyl Colony Stimulating Factor (ECSF) yang fungsinya secara langsung menarik eosinofil.8,9,25 IL-4 dan IL-13 berperan secara tidak langsung dalam penarikan eosinofil dengan cara menghasilkan eotaxin-1 dan menarik eosinofil (Gambar 3).

(10)

Gambar 3. Proses penarikan eosinofil pada patofisiologi asma.

2.2 INFEKSI CACING TAMBANG

Penyakit ini tersebar di daerah tropis maupun subtropis.29 Di Indonesia penyakit ini lebih banyak disebabkan oleh cacing Necator americanus dan Ancylostoma duodenale.1,3 Gejala klinis penyakit ini tergantung pada jumlah cacing yang menginfeksi usus, paling sedikit 40 cacing dewasa diperlukan untuk menyebabkan terjadinya anemia dan gejala klinis pada pasien dewasa.2,29

Penyakit cacing tambang umumnya disebabkan oleh cacing Necator americanus dan Ancylostoma duodenale, jarang disebabkan oleh Ancylostoma braziliensis, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma

TNF-α Makrofag

Merangsang Th2

IL-5

IL-4 IL-13

Epitel saluran nafas

MDC TARC

Menarik Eosinofil Eotaxin-1

(11)

malayanum.30 Penyakit ini biasa juga disebut ankilostomiasis atau nekatoriasis.3,29

2.2.1 SIKLUS HIDUP

Siklus pertama berasal dari telur cacing yang berasal dari cacing dewasa betina. Telur tersebut dikeluarkan bersamaan proses defekasi manusia. Telur cacing tambang memiliki ukuran sekitar 70x45 mikron. Bentuknya lonjong, berdinding tipis, dan kedua kutub mendatar. Telur tersebut memiliki beberapa sel didalamnya. Kondisi tanah lembab, hangat, dan basah sangat cocok untuk telur cacing tambang(Gambar 4). 3,29-31

Setelah sekitar 1-2 hari telur tersebut akan menetas lalu berubah menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform tersebut berkembang dan hidup di tanah.31 Larva ini berukuran sekitar 250 mikron. Apabila dilihat secara mikroskopis akan terlihat rongga mulut yang panjang dan sempit. Esofagus dengan dua bulbus dan menempati 1/3 panjang badan bagian anterior. Larva rabditiform akan hidup selama 5-10 hari (Gambar 4).3,31

Larva rabditiform kemudian berubah menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit manusia dan memulai proses infeksi cacing. Stadium ini adalah stadium infektif bagi cacing tambang. Larva filariform memiliki ukuran sekitar 500 mikron. Apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop akan terlihat rongga mulut yang tertutup dan esofagusnya menempati ¼ panjang badan bagian anterior (Gambar 4).3,29-31

Proses infeksinya diawali dengan masuknya larva filariform ke dalam kulit, biasanya melalui kulit telapak kaki. Setelah itu cacing akan masuk ke aliran darah sampai ke jantung dan paru-paru. Setelah sampai paru-paru, larva filariform akan bermigrasi melalui saluran pernafasan sampai ke daerah faring. Larva tersebut akan masuk ke dalam saluran pencernaan bersamaan dengan proses makan dan minum manusia.

(12)

A B C Sesampainya di usus halus larva filariform akan mencapai bentuk dewasanya dan bertelur di sana (Gambar 4).29-31

Gambar 4. Daur hidup cacing tambang.31

Gambar 5. Larva dan telur cacing tambang (32) (A) Larva rabditiform, (B) Telur cacing tambang, (C) Larva filariform

(13)

A B 2.2.2 MORFOLOGI CACING TAMBANG

a. Ancylostoma duodenale

Cacing ini dapat dikenali dengan dua pasang gigi pada mulutnya apabila dilihat secara mikroskopis. Secara makroskopis cacing ini memiliki panjang tubuh sekitar 1 cm. Bentuk tubuhnya menyerupai huruf “C”. Perbedaan jenis kelaminnnya dapat dilihat dari bagian ekornya, apabila cacing jantan memiliki lingkaran kopulatriks, sedangkan pada betina memiliki ekor yang runcing (Gambar 6).3,30,31

Gambar 6. Ancylostoma duodenale stadium dewasa (33). (A) Ancylostoma duodenale

(B) Mulut Ancylostoma duodenale memiliki 2 pasang taring.

b. Necator americanus

Cacing ini memiliki perbedaan dengan Ancylostoma duodenale adalah salah satunya dengan melihat bagian mulutnya. Necator americanus memiliki benda kitin pada mulutnya. Secara makroskopis tubuhnya

(14)

A B

tidak jauh berbeda dengan Ancylostoma duodenale, memiliki panjang tubuh yang sama dan memiliki perbedaan reproduksi pada daerah ekornya. Perbedaan secara makroskopis dapat dilihat dari bentuk tubuhnya yang menyerupai huruf “S”.3

Gambar 7. Necator americanus stadium dewasa.32

(A) Necator americanus

(B) Mulut Necator americanus memiliki benda kitin.

2.2.3 RESPON TUBUH TERHADAP INFEKSI CACING TAMBANG Infeksi cacing tambang bersifat kronis.11,13,34 Respon imun terhadap cacing ditandai dengan respon Th2 dengan memproduksi IL-4, IL-5, dan IL-13. Seiring dengan peningkatan sitokin-sitokin tersebut, produksi IgE dan penyebaran sel-sel granulosit juga meningkat.

Polarisasi Th0 menjadi Th1 ataupun Th2 dipengaruhi oleh tipe antigen dan sitokinnya. Infeksi cacing ditemukan banyak IL-4 yang

(15)

dianggap sebagai prototip dari sitokin Th2. IL-4 dapat meningkatkan perubahan Th yang belum terpolarisasi menjadi Th2, sedangkan IFN-γ menjadi prototip bagi sitokin Th1.

Pada infeksi cacing tambang terjadi skewing Th2 response, yang ditandai oleh polarisasi Th0 menjadi Th2. Proses ini menyebabkan meningkatnya sitokin-sitokin khas Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-13. Seperti yang sudah dijelaskan pada patofisiologi asma, IL-4 berperan dalam maturasi sel B menjadi sel plasma. Sel plasma yang nantinya akan menghasilkan IgE. Sedangkan IL-5 dan IL-13 akan berperan dalam recruitment eosinofil, sehingga nantinya dapat menyebabkan eosinofilia.

2.3 HUBUNGAN ASMA DENGAN CACING TAMBANG

Berdasarkan European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI), definisi dari alergi adalah respon hipersensitivitas yang disebabkan oleh agen lingkungan dan suhu pada dosis tertentu yang dapat ditoleransi oleh orang normal.11

Cacing tambang merupakan parasit ekstraseluler. Cacing tambang memerlukan waktu untuk bermigrasi ke usus halus untuk bereproduksi.

Apabila infeksi tersebut sudah kronis akan terjadi respon imun yang berlebihan sehingga tubuh akan memberikan umpan balik dengan pengaktifan Regulatory T-Cell (Treg).11,13,34 Treg aktif karena umpan balik negatif dari respon Th2 yang merupakan sel pro-inflamasi.28

Treg memiliki dua sitokin utama yang berfungsi sebagai anti-inflamasi yaitu Interleukin 10 (IL-10) dan Transforming Growth Factor β (TGF-β). Sitokin-sitokin tersebut yang berperan penting dalam mengontrol respon imun. IL-10 dan TGF-β menghambat proses maturasi dari makrofag sehingga sitokin-sitokin produk makrofag akan berkurang dan menghambat proses diferensiasi sel T, sehingga produksi sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1 dan Th2 (gambar 8).11,13,34,35

(16)

Sitokin pertama yang dihasilkan oleh makrofag adalah TNF-α.8,28 TNF-α berfungsi sebagai chemoattractant bagi sel-sel granulosit. Produksi TNF-α yang berkurang menyebabkan proses penarikan sel-sel granulosit seperti sel mast, eosinofil, dan basofil. Proses ini akan menyebabkan menurunnya proses degranulasi mediator kimiawi.35

Sitokin lainnya adalah IL-12.8,28 Sitokin tersebut memiliki fungsi pada proses diferensiasi sel T menjadi Th0. Apabila produksi IL-12 berkurang secara tidak langsung akan menyebabkan penurunan produksi sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel Th.36-37

Gambar 8. Respon tubuh terhadap cacing tambanG

Telah dibahas di atas bagaimana infeksi cacing tambang bersifat kronis. Mekanisme tersebut tidak hanya melindungi manusia dari respon

Produksi IL-10

Aktivasi Treg

TNF-α ↓

Menurunkan maturasi makrofag

IL-12 ↓

Proses menarik sel granulosit ↓ Diferensiasi sel T menjadi Th0 ↓

Produksi sitokin pro-inflamasi ↓ Produksi mediator kimiawi ↓

Skewing Th2 response Infeksi cacing tambang

(17)

imun terhadap cacing namun dapat melindungi manusia dari penyakit yang disebabkan oleh hipersensitifitas pada respon imun, seperti asma. Asma merupakan penyakit kronis, yang dapat menghasilkan respon tubuh sama seperti infeksi cacing yaitu peningkatan respon Th2.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Scrivener dkk. pada tahun 1999 menunjukan adanya bukti bahwa tingginya derajat infeksi cacing tambang dapat mencegah timbulnya gejala asma (mengi) pada orang memiliki riwayat atopi. Penelitian tersebut dilakukan di Jimma, Ethiopia. Pada penelitian ini digunakan 205 orang dari kelompok kasus dan 399 orang dari kelompok kontrol yang keduanya berasal dari daerah perkotaan dan pedesaan. Kelompok kasus adalah kelompok yang sudah terindentifikasi memiliki riwayat mengi dalam 12 bulan terakhir dan berumur lebih dari 14 tahun, sedangkan kelompok kontrol adalah orang yang belum teridentifikasi memiliki riwayat mengi dalam 12 bulan terakhir dan berumur lebih dari 14 tahun.

Pada pemeriksaan tinja didapatkan hasil 140 dari 572 orang (24%) terinfeksi cacing tambang (mayoritas Necator americanus). Dari 140 orang yang terinfeksi cacing tambang, mayoritas diderita oleh orang yang tinggal di daerah pedesaan baik pada kelompok kontrol maupun kasus. Temuan telur cacing tambang tersebut dihitung dan dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan jumlahnya. Setelah dilakukan pembagian maka didapatkan hasil hubungan bahwa infeksi cacing tambang dapat menurunkan kejadian mengi dengan OR <1,00 pada semua kelas dan angka kejadiannya berkurang sejalan dengan meningkatnya intensitas infeksi yang dihitung dari banyaknya telur (Tabel 1).

(18)

Tabel 1. Prevalensi telur parasit dan kemungkinan terjadinya mengi. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Flohr Carsten dkk pada tahun 2006. Penelitian cross-sectional tersebut bertujuan untuk menilai tentang adakah hubungan infeksi geohelminth dan tingkat sanitasi yang buruk dengan penurunan prevalensi alergi pada skin test. Penelitian tersebut dilakukan di Vietnam, karena angka prevalensi dari cacing tambang tinggi.

Metode yang dilakukan dengan menggunakan 1601 anak sekolah. Untuk pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif infeksi cacing tambang dilakukan dengan pemeriksaan tinja, sedangkan untuk skin test digunakan 2 macam house dust mites (HDM) (Dermatophagoides pteronyssinus dan Dermatophagoides farina) dan American Cockroach (AC) (Periplaneta Americana). Untuk kontrol positif dan negatif menggunakan histamin 1,7 mg/mL dan saline. Penilaian positif pada skin test dinilai dengan kriteria diameter benjolan harus lebih besar 3 mm dari uji saline.

Pada uji skin test didapatkan hasil anak yang positif terhadap HDM sebanyak 230 orang atau 14,4%, sedangkan yang positif terhadap AC sebanyak 442 orang atau 27,6% (Tabel 2).

(19)

Tabel 2. Faktor sosial ekonomi dan demografi

Infeksi cacing tambang ditemukan sekitar 65% pada seluruh anak sedangkan Ascaris hanya 7%. Kesimpulannya baik infeksi cacing tambang maupun Ascaris memiliki hubungan dengan penurunan angka kejadian alergi. (Tabel 3)

(20)

Tabel 3. Infeksi geohelmint

BAB III

HIPOTESA

Infeksi cacing tambang memiliki hubungan dalam menurunkan kejadian asma.

Infeksi cacing tambang merupakan masalah kesehatan yang masih banyak ditemui di Indonesia. Infeksi tersebut ditendai dengan respon imun berupa peningkatan kadar IgE, eosinofilia, dan pengeluaran sitokin-sitokin sel Th2. Namun respon alergi imunologi tersebut hanya untuk jangka waktu yang dekat, pada infeksi yang kronis dan berulang respon imun terhadap antigen tersebut dapat dikontrol. Infeksi cacing tambang kronis malah memiliki patofisiologi yang cinderung menurunkan respon inflamasi yang seharusnya bekerja untuk parasit ini, sehingga cacing tambang dapat bertahan hidup dalam tubuh manusia untuk jangka waktu yang lama. Kemampuan tersebut tidak hanya melindungi cacing tambang dari reaksi inflamsi, tapi juga melindungi host dari penyakit-penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi.

Asma merupakan salah satu dari penyakit yang disebabkan oleh respon imun alergi, dan angka kejadian nya pada daerah pedesaan lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah perkotaan. Asma ditandai dengan peningkatan dari IgE spesifik, eosinofilia, dan sitokin-sitokin produk Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-13.

(21)

BAB IV

PEMBAHASAN

Infeksi cacing tambang ditandai dengan adanya respon dari Th2 dan peningkatan kadar sitokin-sitokinnya seperti IL-4, IL-5, IL-13. Peningkatan tersebut juga diikuti oleh penigkatan serum IgE dan eosinofil. Infeksi cacing tambang bersifat kronis dan terjadi skewing Th2 response yang menyebabkan sel Th0 terpolarisasi menjadi Th2. Apabila terjadi peningkatan pada sitokin-sitokin tersebut, maka tubuh akan memberikan umpan balik berupa aktifasi dari Treg.

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis pada saluran pernafasan dan ditandai oleh respon Th2, peningkatan IgE, dan eosinofilia. tidak hanya menekan respon imun terhadap cacing, namun dapat melindungi inang dari respon inflamsi yang disebabkan oleh penyakit alergi, seperti asma.

Treg merupakan faktor terpenting yang menyebabkan respon tubuh terhadap asma dapat menurun. Treg akan menghasilkan IL-10 dan TGF-β sebagai sitokin anti-inflamasi. IL-10 dan TGF-β akan menurunkan respon Th2 dan akan menekan produksi sitokin-sitokinnya seperti IL-4 dan IL-5.

Menurut Flohr C dkk., hubungan infeksi cacing tambang dan tingkat kebersihan yang buruk dapat melindungi manusia dari serangan alergi. Penelitian dilakukan di Vietnam. Menggunakan 1601 responden. Untuk memeriksa alergi dilakukan dengan pemeriksaan allergen seperti

(22)

debu. Sedangkan pemeriksaan infeksi cacing tambang dilakukan dengan pemeriksaan tinja untuk melihat infeksinya secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasilnya dibandingkan antara kejadian alergi pada anak dengan jumlah telur yang ditemukan di pada pemeriksaan tinja. Anak yang memiliki banyak telur cacing tambang memiliki resiko lebih kecil untuk menderita alergi.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Scrivener pada tahun 1999, peningkatan mengi pada kaum perkotaan disebabkan oleh menurunnya infeksi cacing. Pada penelitian tersebut dibandingkan jumlah telur dan kemungkinan terjadinya mengi berdasarkan orang yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan

(23)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Infeksi cacing tambang dapat menurunkan kejadian asma. Mekanisme ini ditunjukan oleh beberapa penelitian di atas melalui mekanisme dari ES dan Treg. Mekanisme ini awalnya bertujuan untuk melindungi cacing dari respon imun tubuh manusia, namun malah melindungi manusia dari penyakit yang disebabkan oleh respon imun alergi seperti asma.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian yang lebih banyak lagi pada manusia, sehingga dapat lebih memastikan efek ES dan Treg dalam mengurangi angka kejadian asma. Selain itu apabila efeknya sudah jelas dapat dilakukan penelitian tentang penemuan obat asma baru melalui ekstrak ES.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

1. Emiliana Tjitra. 1991. Penelitian-penelitian “Soil-Transmited Helmint” di Indonesia. Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I. Jakarta.

2. Bethony J, Brooker S, Albonico M, Geiger SM, Loukas A, Diemert D, et al. 2006. Soil-Transmited Helminth Infections: Ascariasis, Trichuriasis, and Hookworm. The Lancet. Hal. 1521

3. Juni Prianto L. A., Thahaya P. U., Darwanto. 2008. Atlas Parasitologi Kedokteran. Gramedia Pustaka utama. Jakarta. Hal. 9

4. Sudoyo A. W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 2940-2941

5. Cooper PJ, Chico ME, Guadalupe I, Sandoval CA, Mitre E, Platts-Mills TAE, et al. 2011. Impact of early life exposures to geohelminth infections on the development of vaccine immunity, allergic sensitization, and allergic inflammatory diseases in children living in tropical Ecuador: the ECUAVIDA birth cohort study. BMC Infectious Diseases. 2011, 11:184 6. Cooper, J. P. 2009. Interactions between helminth parasites and allergy.

Curr Opin Allergy Clin Immunol. 9(1): 29–37.

7. Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC. Hal. 199

8. Barnes P. 2008. Asthma. Dalam Disorder of Respiratory System In Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th

(25)

9. Kumar V, Abbas KA, Fausto N, The Lung in Robbins and Cotran

Pathologic Basis of Disease, Elsevier Saunders, 8th edition, 2007; 489-493 10. Lang DM, Erzurum SC, Kavuru M. 2009. Asthma. Dalam Current medical

Diagnosis & Treatment. McGraw Hill Lange. Hal. 3-17

11. Wahyuni S. General introduction. 2006. In: Helmith infections, allergic disorders and immune responses: studies in Indonesia. Leiden University: 10-40

12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Asma pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. 2003.

13. Maizels RM,and Yazdanbakhsh M. Immune regulation by helminth parasites: cellular and molecular mechanisms. Nature

Reviews Immunology. 3:733, 2003.

14. Cooper PJ, Ayre G, Martin C, Sarinho E, Cruz A. 2008 Geohelminth infections: a review of the role of IgE and assessment of potential risks of anti-IgE treatment. Allergy 63, 409–17.

15. Breitling LP, Wilson AJ, Raiko A, et al. Heritability of human hookworm infection in Papua New Guinea. Parasitology. 2008;135:1407–15.

16. Trujillo-vargas CM, Werner-klein MW, Wohlleben G, Polte T, Hansen G, Ehlers S, et al. 2007. Helminth-Derived Products Inhibit the Development of Allergic Responses in Mice. Am. J. Respir. Crit. Care Med. 175, 336-44 17. Wilson MS, Maizels RM. 2004. Regulation of Allergy and Autoimmunity

in Helminth Infection. Clinical Reviews in Allergy and Immunology 26: 35-50

18. Smits HH, Everts B, Hartgers FC, Yazdanbakhsh M. 2010. Chronic Helminth Infections Protect Against Allergic Diseases by Active Regulatory Processes. Curr Allergy Asthma Rep 10: 3–12.

19. Fallon PG, Mangan NE. 2007. Suppression of Th2-Type Allergic Reactions by Helminth Infections. Nature Rev Immunol;7:220–230. 20. Capron A, Dombrowicz D, Capron M. 2004. Helminth Infections and

(26)

21. Moreau E, Chauvin A. Immunity against helminth: interactions with the host and the intercurrent infections. J Biomed Biotechnol. 2010

22. Leonardi-Bee J, Pritchard D, Britton J, Parasites in Asthma Collaboration. 2006. Asthma and current intestinal parasite infection: systematic review and meta-analysis. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 174: 514-523.

23. Kim H, Mazza J. 2011. Asthma. Allergy, Asthma, & Clinical Immunology. 7(Suppl 1):S2

24. Øymar k, Halvorsen T. 2009. Emergency Presentation and Management of Acute Severe Asthma in Children. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine 17:40.

25. Barnes, PJ. 2001. Th2 Cytokines and Asthma: an Introduction. BioMed Central 2:64-65.

26. Papiris S, Kotanidou A, Malagari K, Roussos C. 2002. Clinical Review: Severe Asthma. Critical Care 6:30-44.

27. Rowlands B. 2009. Jawaban-jawaban Alternatif untuk Asma & Alergi. Quantum Publishing Ltd. 42-47.

28. Sherwood, Lauralee. 2004. Human Physiology: From cells to system. 5th ed. California: Brooks/Cole-Thomson Learning, Inc.

29. Pohan, TH. 2009. Penyakit Cacing yang ditularkan Melalui Tanah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hlm. 2940-2941.

30. Weller PF, Nutman TB. 2008. Intestinal Nematodes. Dalam Harrison’s Principle of Internal Medicine 17thed ; 1319-1321.

31. Laboratory Identification of Parasites of Public Health Concern. Parasites and Health: Hookworm. 2009.

http://dpd.cdc.gov/dpdx/html/Hookworm.htm. [ 27 Des 2011] 32. Laboratory Identification of Parasites of Public Health Concern.

(27)

http://dpd.cdc.gov/DPDx/HTML/Frames/G-L/Hookworm/body_Hookworm_mic1.htm. [ 3 Jan 2011]

33. Domingo. Parásitos Contra las Enfermedades Inflamatorias Intestinales. 2009. http://www.accumalaga.es/Todas-las-noticias/En-internet/Parasitos-contra-las-Enfermedades-Inflamatorias-Intestinales.html. [ 3 Jan 2011] 34. Harnett W, Harnet MM. 2008. Therapeutic Immunimodulators from

Nematode Parasites. Expert Reviews in Molecular Medicine. Vol. 10. 35. Brynskov J, Foegh P, Pedersen G, Ellervik C, Kirkegaard T, Bingham A,

Saermark T. 2002. Tumour necrosis factor alpha converting enzyme (TACE) activity in the colonic mucosa of patients with inflammatory bowel disease. Gut 51 (1): 37–43

36. Kaliński P, Hilkens CM, Snijders A, Snijdewint FG, Kapsenberg ML. 1997. IL-12-deficient dendritic cells, generated in the presence of

prostaglandin E2, promote type 2 cytokine production in maturing human naive T helper cells. J. Immunol. 159 (1): 28–35

37. Temblay JN, Bertelli E, Arques JL, Regoli M, Nicoletti C. 2007. Production of IL-12 by Peyer patch-dendritic cells is critical for the resistance to food allergy, J Allergy Clin Immunol. 120(3):659-65.

Gambar

Gambar 1. Skema patofisiologi asma pada paparan pertama.
Gambar 2. Skema patofisiologi paparan ulang oleh allergen pada asma.
Gambar 3. Proses penarikan eosinofil pada patofisiologi asma.
Gambar 4. Daur hidup cacing tambang. 31
+6

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pengamatan kadar ph digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman pada tanah yang terdapat di kawasan tersebut Salah satu faktor lingkungan yang penting adalah keasaman pH tanah,

Mata kuliah ini memberikan kemahiran berbahasa Jawa yang meliputi berbicara- mendengarkan dan membaca-menulis untuk keperluan komunikasi antaranggota masyarakat terkait dengan

Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang

Proses pengadaan Dalam membuat rencana pengadaan pada proyek pembangunan Grand Indonesia, bagian cost control kantor proyek maupun kantor pusat memulai dengan melakukan

KEPUTUSAN BUPATI AGAM NOMOR 165 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN TIM TEKNIS KEGIATAN PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT (LDPM) KABUPATEN AGAM TAHUN 2012.. KEPUTUSAN

Potensi limbah pertanian dari ternak dan tanaman di wilayah Kecamatan Weru pada tahun 2010 mencapai 25.012 t dapat menghasilkan pupuk organik sekitar 12.506 t. Aplikasi pupuk

Berdasarkan hasil penelitian, posisi pengelasan dan gerakan elektroda yang digunakan mempunyai pengaruh nyata terhadap nilai kekerasan, nilai kekerasan Vikers tertinggi