• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat hipertensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat hipertensi"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

HIPERTENSI

Dokter Pembimbing : dr. Hj. Etty Siti Aminah, Sp. PD

Disusun Oleh :

Made Ayu Intan Winayati Oka 030.09.140

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KOTA BEKASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 30 September – 7 Desember 2013

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Makalah referat dengan judul “Hipertensi” telah diterima dan disetujui pada tanggal November 2013 sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Periode 30 September – 7 Desember 2013 di RSUD KOTA BEKASI.

Bekasi, 22 November 2013

(3)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah –Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Kota Bekasi, mengenai “HIPERTENSI”.

Dalam penyusunan tugas dan materi ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi. Namun, penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan semua pihak sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Dr. Hj. Etty Siti Aminah, Sp. PDsebagai dokter pembimbing dalam pembuatan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan membantu teman sejawat serta para pembaca pada umumnya dalam memahami Hipertensi.

(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN 2 KATA PENGANTAR 3 DAFTAR ISI 4 BAB I PENDAHULUAN 6 1.1 Latar Belakang 6 1.2 Tujuan Penulisan 6 BAB II HIPERTENSI 7 2.1 Definisi 7

2.2 Fisiologi Regulasi Tekanan Darah 7

2.3 Sistem Renin Angiotensin Aldosteron 9

2.4 Epidemiologi 10 2.5 Kriteria 11 2.5 Klasifikasi 12 2.6 Faktor risiko 12 2.7 Patofisiologi 14 2.8 Manifestasi Klinis 15 2.9 Diagnosis 15 2.10 Tatalaksana 18

2.11 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Keadaan Khusus 26

2.11.1 Kelainan jantung dan pembuluh darah 26

2.11.2 Penanggulangan Hipertensi dengan Gangguan Fungsi Ginjal 28

(5)

2.11.4 Penanggulangan HIpertensi pada Gangguan Neurologis 30

2.11.5 Penanggulangan Hipertensi pada Diabetes 32

2.11.6 Penanggulangan Hipertensi pada Kehamilan 33

2.12 Komplikasi 34

2.14 Prognosis 34

BAB III KESIMPULAN 35

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi atau tekanan darah tinggi masih menjadi masalah pada hampir semua golongan masyarakat baik di Indonesia maupun diseluruh dunia. Di seluruh dunia , peningkatan tekanan darah diperkirakan menyebabkan 7,5 juta kematian, sekitar 12,8% dari total kematian di seluruh dunia. Di Indonesia, prevalensi masyarakat yang terkena hipertensi berkisar antara 6-15% dari total penduduk.

Hipertensi merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi kinerja berbagai organ. Hipertensi juga menjadi suatu factor resiko penting terhadap terjadinya penyakit seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung dan stroke. Apabila tidak ditanggulangi secara tepat, akan terjadi banyak kerusakan organ tubuh. Hipertensi disebut sebagai silent killer karena dapat menyebabkan kerusakan berbagai organ tanpa gejala yang khas.

Penderita hipertensi yang tidak terkontrol sewaktu-waktu bisa jatuh ke dalam keadaan gawat darurat. Diperkirakan sekitar 1-8% penderita hipertensi berlanjut menjadi “krisis hipertensi” dan banyak terjadi pada usia sekitar 30-70 tahun. Namun, krisis hipertensi jarang ditemukan pada penderita dengan tekanan darah normal tanpa penyebab sebelumnya. Pengobatan yang baik dan teratur dapat mencegah insiden krisis hipertensi maupun komplikasi lainnya menjadi kurang dari 1%.1

1.2 Tujuan

Penulisan referat ini bertujuan untuk lebih memahami mengenai hipertensi, cara mendiagnosisnya dan penatalaksanaannya serta untuk member pengetahuan kepada pembaca.

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hipertensi didefinisikan sebagai peningakatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg menurut JNC VII.

2.2 Fisiologi Regulasi Tekanan Darah

Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama, yaitu curah jantung (cardiac output) dan resistensi vascular perifer (peripheral vascular resistance). Curah jantung merupakan hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi sekuncup (stroke volume), sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh aliran balik vena (venous return) dan kekuatan kontraksi miokard. Resistensi perifer ditentukan oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastisitas pembuluh darah dan viskositas darah. Semua parameter tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: system saraf simpatis dan parasimpatis, system rennin-angiotensin- aldosteron (SRAA) dan faktor local berupa bahan-bahan vasoaktif yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah.

Sistem saraf simpatis bersifat presif yaitu meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung, memperkuat kontraktilitas miokard, dan meningkatkan resistensi pembuluh darah. Sistem parasimpatis justru kebalikannya yaitu bersifat defresif. Apabila terangsang, maka akan menurunkan tekanan darah karena menurunkan frekuensi denyut jantung. SRAA juga bersifat presif karena dapat memicu pengeluaran angiotensin II yang memiliki efek vasokonstriksi pembuluh darah dan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan natrum di ginjal sehingga meningkatkan volume darah.

(8)

Sel endotel pembuluh darah juga memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi. Sel endotel pembuluh darah memproduksi berbagai bahan vasoaktif yang sebagiannya bersifat vasokonstriktor seperti endotelin, tromboksan A2 dan angiotensin II local. Sebagian lagi bersifat vasodilator seperti endothelium-derived relaxing factor (EDRF), yang dikenal juga sebagai nitrit oxide (NO) dan prostasiklin (PGI2). Selain itu jantung terutama atrium kanan memproduksi hormone yang disebut atriopeptin (atrial natriuretic peptide, ANP) yang cenderung bersifat diuretic, natriuretik dan vasodilator yang cenderung menurunkan tekanan darah. 2

(9)

2.3 Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Peranan renin-angiotensin sangat penting pada hipertensi renal atau yang disebabkan karena gangguan pada ginjal. Apabila bila terjadi gangguan aliran sirkulasi darah pada ginjal, maka ginjal akan banyak mensekresikan sejumlah besar renin. Menurut Guyton dan Hall (1997), renin adalah enzim dengan protein kecil yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan arteri turun sangat rendah. Menurut Klabunde (2007) pengeluaran renin dapat disebabkan aktivasi saraf simpatis (pengaktifannya melalui β1-adrenoceptor), penurunan tekanan arteri ginjal (disebabkan oleh penurunan tekanan sistemik atau stenosis arteri ginjal), dan penurunan asupan garam ke tubulus distal.

Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu angiotensinogen untuk melepaskan angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan, selanjutnya akan diaktifkan angiotensin II oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang terdapat di endotelium pembuluh paru yang disebut Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan memiliki efek-efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Angiotensin II menetap dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara bersama-sama disebut angiotensinase Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua pengaruh utama yang dapat meningkatkan

(10)

tekanan arteri. Pengaruh yang pertama, yaitu vasokontriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan sedikit lebih lemah pada vena. Konstriksi pada arteriol akan meningkatkan tahanan perifer, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri. Konstriksi ringan pada vena-vena juga akan meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung, sehingga membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan.

Cara utama kedua dimana angiotensin meningkatkan tekanan arteri adalah dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan eksresi garam dan air. Ketika tekanan darah atau volume darah dalam arteriola eferen turun ( kadang-kadang sebagai akibat dari penurunan asupan garam), enzim renin mengawali reaksi kimia yang mengubah protein plasma yang disebut angiotensinogen menjadi peptida yang disebut angiotensin II. Angiotensin II berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan tekanan darah dan volume darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikan tekanan dengan cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal. Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl dan air. Hal tersebut akan jumlah mengurangi garam dan air yang diekskresikan dalam urin dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah. Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ yang terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon aldosteron bekerja pada tubula distal nefron, yang membuat tubula tersebut menyerap kembali lebih banyak ion natrium (Na+) dan air, serta meningkatkan volume dan tekanan darah. Hal tersebut akan memperlambat kenaikan voume cairan ekstraseluler yang kemudian meningkatkan tekanan arteri selama berjam-jam dan berhari-hari. Efek jangka panjang ini bekerja melalui mekanisme volume cairan ekstraseluler, bahkan lebih kuat daripada mekanisme vasokonstriksi akut yang akhirnya mengembalikan tekanan arteri ke nilai normal.

2.4 Epidemiologi

Data epidemiologi menunjukkan bahwa dengan meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga bertambah, di mana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia > 65 tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat dalam dekade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi (pola kurva mendatar) dan pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi.

(11)

Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun ke 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31% yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.1

2.5 Kriteria

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi hipertensi esensial/ primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial/primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya disebut sebagai hipertensi esensial. Sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi karena ada suatu penyakit yang melatarbelakanginya.

Menurut The Seventh of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.3

Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7

Klasifikasi Tekanan Darah

TDS (mmHg) TDD (mmHg)

Normal < 120 Dan < 80

Prehipertensi 120-139 Atau 80-90

Hipertensi derajat 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi derajat 2 ≥ 160 Atau ≥ 100

Pasien dengan prehipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan darah menjadi hipertensi, yang tekanan darahnya 130-139/80-89 mmHg sepanjang hidupnya memiliki 2 kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskuler daripada yang tekanan darahnya lebih rendah.

Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik > 140 mmHg merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler daripada tekanan darah diastolik.

• Risiko penyakit kardiovaskuler dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg, meningkat 2 kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg.

• Risiko penyakit kardiovaskuler bersifat kontinyu, konsisten, dan independen dari faktor risiko lainnya.

(12)

2.6 Klasifikasi

2.6.1 Berdasarkan Etiologinya

Hipertensi berdasarkan etiologi / penyebabnya dibagi menjadi 2 :

Hipertensi Primer atau Esensial

Hipertensi primer atau yang disebut juga hipertensi esensial atau idiopatik adalah hipertensi yang tidak diketahui etiologinya/penyebabnya. 90% dari semua penyakit hipertensi merupakan penyakit hipertensi esensial.

Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi sebagai akibat suatu penyakit, kondisi dan kebiasaan. Karena itu umumnya hipertensi ini sudah diketahui penyebabnya. Terdapat 10% orang menderita apa yang dinamakan hipertensi sekunder. Skitar 5-10% penderita hipertensi penyebabnya adalah penyakit ginjal (stenoisarteri renalis, pielonefritis, glomerulonefritis, tumor ginjal), sekitar 1-2% adalah penyakit kelaian hormonal (hiperaldosteronisme, sindroma cushing) dan sisanya akibat pemakaian obat tertentu (steroid, pil KB).4

2.7 Faktor risiko

2.7.1 Faktor Genetika (Riwayat keluarga)

Hipertensi merupakan suatu kondisi yang bersifat menurun dalam suatu keluarga. Anak dengan orang tua hipertensi memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada anak dengan orang tua yang tekanan darahnya normal. 2.7.2 Ras

Orang –orang yang hidup di masyarakat barat mengalami hipertensi secara merata yang lebih tinggi dari pada orang berkulit putih. Hal ini kemungkinan disebabkan karena tubuh mereka mengolah garam secara berbeda.

(13)

Hipertensi lebih umum terjadi berkaitan dengan usia, Khususnya pada masyarakat yang banyak mengkonsumsi garam. Wanita pre – menopause cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada pria pada usia yang sama, meskipun perbedaan diantara jenis kelamin kurang tampak setelah usia 50 tahun. Penyebabnya, sebelum menopause, wanita relatif terlindungi dari penyakit jantung oleh hormon estrogen. Kadar estrogen menurun setelah menopause dan wanita mulai menyamai pria dalam hal penyakit jantung

2.7.3 Jenis kelamin

Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi dari pada wanita. Hipertensi berdasarkan jenis kelamin ini dapat pula dipengaruhi oleh faktor psikologis. Pada pria seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat (merokok, kelebihan berat badan), depresi dan rendahnya status pekerjaan. Sedangkan pada wanita lebih berhubungan dengan pekerjaan yang mempengaruhi faktor psikiskuat

2.7.5 Stress psikis

Stress meningkatkan aktivitas saraf simpatis, peningkatan ini mempengaruhi meningkatnya tekanan darah secara bertahap. Apabila stress berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Secara fisiologis apabila seseorang stress maka kelenjer pituitary otak akan menstimulus kelenjer endokrin untuk mengahasilkan hormon adrenalin dan hidrokortison kedalam darah sebagai bagian homeostasis tubuh. Penelitian di AS menemukan enam penyebab utama kematian karena stress adalah PJK, kanker, paru-paru, kecelakan, pengerasan hati dan bunuh diri.

2.7.6 Obesitas

Pada orang yang obesitas terjadi peningkatan kerja pada jantung untuk memompa darah agar dapat menggerakan beban berlebih dari tubuh tersebut. Berat badan yang berlebihan menyebabkan bertambahnya volume darah dan perluasan sistem sirkulasi. Bila bobot ekstra dihilangkan, TD dapat turun lebih kurang 0,7/1,5 mmHg setiap kg penurunan berat badan. Mereduksi berat badan hingga 5-10% dari bobot total tubuh dapat menurunkan resiko kardiovaskular secara signifikan.

(14)

2.7.7 Asupan garam Na

Ion natrium mengakibatkan retensi air, sehingga volume darah bertambahdan menyebabkan daya tahan pembuluh meningkat. Juga memperkuat efek vasokonstriksi noradrenalin. Secara statistika, ternyata bahwa pada kelompok penduduk yang mengkonsumsi terlalu banyak garam terdapat lebih banyak hipertensi daripada orang-orang yang memakan hanya sedikit garam.

2.7.8 Rokok

Nikotin dalam tembakau adalah penyebab tekanan darah meningkat. Hal ini karena nikotin terserap oleh pembuluh darah yang kecil dalam paru – paru dan disebarkan keseluruh aliran darah. Hanya dibutuhkan waktu 10 detik bagi nikotin untuk sampai ke otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberikan sinyal kepada kelenjer adrenal untuk melepaskan efinephrine (adrenalin). Hormon yang sangat kuat ini menyempitkan pembuluh darah, sehingga memaksa jantung untuk memompa lebih keras dibawah tekanan yang lebih tinggi.

2.7.9 Konsumsi alcohol

Alkohol memiliki pengaruh terhadap tekanan darah, dan secara keseluruhan semakin banyak alkohol yang di minum semakin tinggi tekanan darah. Tapi pada orang yang tidak meminum minuman keras memiliki tekanan darah yang agak lebih tinggi dari pada yang meminum dengan jumlah yang sedikit.

2.8 Patofisiologi

2.8.1 Hipertensi primer

Beberapa teori patogénesis hipertensi primer meliputi :

• Aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf simpatik

• Aktivitas yang berlebihan dari sistem RAA

• Retensi Na dan air oleh ginjal

• Inhibisi hormonal pada transport Na dan K melewati dinding sel pada ginjal dan pembuluh darah

(15)

Sebab – sebab yang mendasari hipertensi esensial masih belum diketahui. Namun sebagian besar disebabkan oleh resistensi yang semakin tinggi (kekakuan atau kekurangan elastisitas) pada arteri – arteri yang kecil yang paling jauh dari jantung (arteri periferal atau arterioles), hal ini seringkali berkaitan dengan faktor-faktor genetik, obesitas, kurang olahraga, asupan garam berlebih, bertambahnya usia, dll.4

2.8.2 Hipertensi Sekunder

Patofisiologi hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder disebabkan oleh suatu proses penyakit sistemik yang meningkatkan tahanan pembuluh darah perifer atau cardiac output, contohnya adalah renal vaskular atau parenchymal disease, adrenocortical tumor,feokromositoma dan obat-obatan. Bila penyebabnya diketahui dan dapat disembuhkan sebelum terjadi perubahan struktural yang menetap, tekanan darah dapat kembali normal.

2.9 Manifestasi Klinis

Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala walaupun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari

hidung, pusing, wajah kemerahan, dan kelelahan yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal.

Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut: • Sakit kepala • Kelelahan • Mual-muntah • Sesak napas • Gelisah

• Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung, dan ginjal

• Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak disebut ensefalopati hipertensif yang memerlukan penanganan segera

(16)

2.10 Diagnosis 1. Anamnesis

Anamnesis yang perlu ditanyakan kepada seorang penderita hipertensi meliputi: a. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah

b. Indikasi adanya hipertensi sekunder

 Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)

 Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih hematuri, pemakaian oba-obatan analgesic dan obat/ bahan lain.

 Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan palpitasi (feokromositoma). c. Faktor-faktor resiko (riwayat hipertensi/ kardiovaskular pada pasien atau

keluarga pasien, riwayat hiperlipidemia, riwayat diabetes mellitus, kebiasaan merokok, pola makan, kegemukan, insentitas olahraga)

d. Gejala kerusakan organ

• Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic attacks, defisit neurologis

• Jantung: Palpitasi,nyeri dada, sesak, bengkak di kaki

• Ginjal: Poliuria, nokturia, hematuria

e. Riwayat pengobatan antihipertensi sebelumnya 2. Pemeriksaan Fisik

a. Memeriksa tekanan darah

• Pengukuran rutin di kamar periksa

- Pasien diminta duduk dikursi setelah beristirahat selam 5 menit, kaki di lantai dan lengan setinggi jantung

- Pemilihan manset sesuai ukuran lengan pasien (dewasa: panjang 12-13, lebar 35 cm)

- Stetoskop diletakkan di tempat yang tepat (fossa cubiti tepat diatas arteri brachialis)

- Lakukan penngukuran sistolik dan diastolic dengan menggunakan suara Korotkoff fase I dan V

- Pengukuran dilakukan 2x dengan jarak 1-5 menit, boleh diulang kalau pemeriksaan pertama dan kedua bedanya terlalu jauh.

(17)

- Hipertensi borderline atau yang bersifat episodic - Hipertensi office atau white coat

- Hipertensi sekunder

- Sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi

- Gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan antihipertensi

• Pengukuran sendiri oleh pasien

b. Evaluasi penyakit penyerta kerusakan organ target serta kemungkinan hipertensi sekunder

Umumnya untuk penegakkan diagnosis hipertensi diperlukan pengukuran tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak 1 minggu bila tekanan darah < 160/100 mmHg.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:

• Tes darah rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit)

• Urinalisis terutama untuk deteksi adanya darah, protein, gula

• Profil lipid (total kolesterol (kolesterol total serum, HDL serum, LDL serum, trigliserida serum)

• Elektrolit (kalium)

• Fungsi ginjal (Ureum dan kreatinin)

• Asam urat (serum)

• Gula darah (sewaktu/ puasa dengan 2 jam PP)

• Elektrokardiografi (EKG)

Beberapa anjurantest lainnya seperti:

• Ekokardiografi jika diduga adanya kerusakan organ sasaran seperti adanya LVH

Plasma rennin activity (PRA), aldosteron, katekolamin urin

• Ultrasonografi pembuluh darah besar (karotis dan femoral)

• Ultrasonografi ginjal jika diduga adanya kelainan ginjal

• Pemeriksaaan neurologis untuk mengetahui kerusakan pada otak

• Funduskopi untuk mengetahui kerusakan pada mata

(18)

• Foto thorax.2

Gambaran kardiomegali dengan hipertensi pulmonal 2.11 Tatalaksana

Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:

1. Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes, gagal ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg

2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler 3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria

(19)

Berikut ini merupakan bagan algoritma penanganan hipertensi menurut JNC VII, 2003

(20)

Algoritma penanganan hipertensi imulai terlebih dahulu dengan perubahan lifestyle atau gaya hidup. Perubahan lifestyle yang dapat menimbulkan penurunan

(21)

Modifikasi Rekomendasi Penurunan Tekanan Darah Sistolik

Menurunkan Berat Badan Mengendalikan berat badan sesuai dengan IMT normal yaitu 18,5-24,9 kg/m2

5-20 mmHg/10 kg

Diet dengan mengadopsi diet DASH

Banyak mengkonsumsi buah, sayuran dan makanan yang rendah lemak

8-14 mmHg

Menurunkan asupan garam

Pada pasien dengan hipertensi dikenal 3 jenis diet rendah garam, yaitu: 1. Diet Garam Rendah I

(200-400 mg Na)

→ Ditujukan pada

pasien dengan asites/edema dan hipertensi berat. Pada kondisi ini tidak diperkenankan menambahkan garam ke dalam masakan yang dikonsumsi dan menghindari makanan yang tinggi natrium. 2. Diet Garam Rendah II

(600-800 mg Na)

(22)

→Diet ini diberikan

kepada pasien

edema/asites, dan hipertensi yang tidak

terlalu berat. Dianjurkan menghindari makanan dengan kandungan natrium tinggi. Diperbolehkan menggunakan garam dalam pemasakan sebesar 0,5 sendok teh(2g). 3. Diet Garam Rendah III (1000-1200 mg Na)

→ Diet ini diberikan

pada pasien dengan edema atau hipertensi

ringan

.

Pada masakannya boleh ditambahkan garam dapur sebanyak 1 sendok teh (4g). Namun tetap menghindari jenis makanan yang mengandung natrium tinggi.

Latihan fisik Tertutama olahraga aerobic seperti jalan

(23)

30 menit)

Menurunkan konsumsi alcohol berlebih

Tidak lebih dari 2 gelas/ hari untuk pria dan tidak lebih dari 1 gelas/hari untuk wanita

2-4 mmHg

Stop merokok

Apabila dengan perubahan lifestyle tidak tercapai target tekanan darah yang diinginkan (tekanan darah < 140/90 mmHg pada pasien tanpa riwayat diabetes/ penyakit ginjal kronis dan tekanan darah <130/80 mmHg pada seseorang dengan diabetes/penyakit ginjal kronis), maka selanjutnya kita mulai terapi inisial dengan obat anti hipertensi oral. Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokkan pasien berdasarkan pertimbangan khusus (special consederations) yaitu kelompok indikasi yang memaksa (compelling indications) dan keadaan khusus lainnya (special situations).

Indikasi yang memaksa meliputi:

• Gagal jantung

• Pasca infark miokardium

• Risiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi

• Diabetes melitus

• Penyakit ginjal kronis

• Pencegahan stroke berulang

Keadaan khusus lainnya meliputi:

• Populasi minoritas

• Obesitas dan sindrom metabolik

• Hipertrofi ventrikel kanan

• Penyakit arteri perifer

• Hipertensi pada usia lanjut

• Hipotensi postural

• Demensia

• Hipertensi pada perempuan

• Hipertesi pada anak dan dewasa muda

(24)

Pada pasien hipertensi tanpa kondisi medis yang memaksa, penatalaksanaan obat anti hipertensi dibagi berdasarkan derajat tekanan darahnya. Pada hipertensi derajat 1 regimen pengobatan dilakukan dengan menggunakan diuretik jenis Thiazid untuk sebagian besar kasus, dan dapatt dipertimbangkan ACEI, ARB, BB, CCB, atau kombinasi. Sedangkan pada hipertensi derajat 2 digunakan kombinasi 2 jenis obat untuk sebagian besar kasusnya, umumnya diuretic jenis thiazid dan ACEI atau ARB atau CCB. Sedangkan pada pasien dengan indikasi medis yang memaksa, obat yang diberikan adalah obat-obatan untuk indikasi medis yang memaksa dan anti hipertensi lain (diuretika, ACEI, ARB, CCB)sesuai dengan kebutuhan.

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan JNC 7 yaitu:

Diuretika terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo Ant)

Beta Blocker (BB)

Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist (CCB)

Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I)

Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor Antagonist atau Blocker (ARB)

Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan keamanan dalam pengobatan hipertensi tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi beberapa faktor yaitu:

• Faktor sosio-ekonomi

• Profil faktor risiko kardiovaskuler

• Ada tidaknya kerusakan organ target

• Ada tidaknya penyakit penyerta

• Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi

• Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk penyakit lain

• Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam menurunkan risiko kardiovaskuler

Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap dan target tekanan darah tinggi dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk

(25)

menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan memulai terapi dengan 1 jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan 1 jenis obat dalam dosis rendah dan kemudian tekanan darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindarkan dengan dosis rendah baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang semakin bertambah.

Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien hipertensi adalah:

• CCB dan BB

• CCB dan ACEI atau ARB

• CCB dan diuretika

• AB dan BB

• Kadang diperlukan 3 atau 4 kombinasi obat

Gambar. Kemungkinan Kombinasi obat antihipertensi Angiotensin II Receptor Blocker Diuretika Calcium Channel Blocker Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor α Blocker Β Blocker

(26)

Tatalaksana hipertensi menurut JNC 7 meliputi: Klasifikasi Tekanan Darah TDS (mmHg) TDD (mmHg) Perbaikan Pola Hidup Terapi Obat Awal tanpa Indikasi Memaksa Terapi Obat Awal dengan Indikasi Memaksa

Normal < 120 dan < 80 Dianjurkan

Prehipertensi 120-139 atau 80-89 Ya Tidak indikasi obat Obat-obatan untuk indikasi yang memaksa Hipertensi derajat 1

140-159 atau 9- 99 Ya Diuretika jenis Thiazide untuk sebagian besar kasus, dapat dipertimbangkan ACE-I, ARB, BB, CCB, atau kombinasi Obat-obatan untuk indikasi yang memaksa Obat antihipertensi lain (diuretika, ACE-I, ARB, BB, CCB) sesuai kebutuhan Hipertensi derajat 2

≥ 160 atau ≥ 100 Ya Kombinasi 2 obat untuk sebagian besar kasus umumnya diuretika jenis Thiazide dan ACE-I atau ARB atau BB atau CCB

Pasien yang telah mulai mendapakan pengobatan harus dilakukan evaluasi lanjutan dan pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah tekanan darah stabil, kunjungan berikutnya datang dengan interval 3-6 bulan, frekuensi kunjungan ini ditentukan dengan adanya tidaknya komorbiditas seperti gagal jantung, diabetes dan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium.

Pada beberapa pasien adakalanya terjadi hipertensi yang resisten. Apabila terjadi hal demikian, perlu dipertimbangkan adanya kedaan sebagai berikut:

a. Pengukuran tekanan darah yang tidak benar

b. Dosis belum memadai

c. Ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat anti hipertensi d. Ketidakpatuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup

• Asupan alcohol berlebih

(27)

e. Kelebihan volume cairan tubuh

• Asupan garam berlebih

• Terapi diuretika tidak cukup

• Pennurunan fungsi ginjal berjalan progresif

f. Adanya terapi lain

• Masih menggunakan bahan/obat yang dapat meningkatkan tekanan darah

• Adanya obat yang mempengaruhi atau berinteraksi dengan kerja obat anti hipertensi.

g. Penyebab hipertensi lain/ sekunder

Adakalanya seorang dokter umum dianjurkan merujuk ke dokter spesialis/ subspesialis, yaitu pada kondisi:

• Jika dalam 6 bulan target pengobatan tidak tercapai

• Selain hipertensi ada kondisi lain seperti diabetes mellitus atau penyakit ginjal (laju filtrate glomerulus mencapai <60 ml/men/1,73 m2 -> konsul penyakit

dalam, sedangkan untuk laju filtrate glomerulus mencapai < 30ml/men/1,73m3-> konsul nefrologi).

2.12 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Keadaan Khusus5

2.12.1 Kelainan jantung dan pembuluh darah :

Penyakit jantung dan pembuluh darah yang disertai hipertensi yang perlu diperhatikan adalah penyakit jantung iskemik (angina pektoris, infark miokard), gagal jantung dan penyakit pembuluh darah perifer.

a. Penyakit Jantung Iskemik :

Penyakit jantung iskemik merupakan “kerusakan organ target” yang paling sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan angina pektoris stabil obat pilihan pertama b bloker (BB) dan sebagai alternatif calcium channel blocker (CCB). Pada pasien dengan sindroma koroner akut (angina pektoris tidak stabil atau infark miokard), pengobatan hipertensi dimulai dengan BB dan ACEI dan kemudian dapat ditambahkan antihipertensi lain bila diperlukan. Pada pasien ‘pasca infark miokard’, ACEI, BB dan antagonis aldosteron terbukti sangat mengungtungkan tanpa melupakan penata laksanaan lipid profil yang intensif dan penggunaanaspirin.

(28)

b. Gagal Jantung :

Gagal jantung dalam bentuk disfungsi ventrikel sistolik dan diastolik terutama disebabkan oleh hipertensi dan penyakit jantung iskemik. Sehingga penatalaksanaan hipertensi dan profil lipid yang agresif merupakan upaya pencegahan terjadinya gagal jantung. Pada pasien asimtomatik dengan terbukti disfungsi ventrikel rekomendasinya adalah ACEI dan BB . Pada pasien simtomatik dengan disfungsi ventrikel tau penyakit jantung “end stage” direkoendasikan untuk menggunakan ACEI, BB dan ARB bersama dengan pemberian diuretik “loop”.

Pada situasi seperti ini pengontrolan tekanan darah sangat penting untuk mencegah terjadinya progresifitas menjadi disfungsi ventrikel kiri.

c. Hipertensi pada Pasien dengan Penyakit Arteri Perifer (PAP) : REKOMENDASI :

KELAS I :

Pemberian antihipertensi pada PAP ekstremitas inferior dengan tujuan untuk mencapai target tekanan darah < 140/90 mmHg (untuk non-diabetes) atau target tekanan darah < 130/80 mmHg(untuk diabetes). BB merupakan agen antihipertensi yang efektif dan TIDAK merupakan kontraindikasi untuk pasien hipertensi dengan PAP.

KELAS IIa :

Penggunaan ACEI pada pasien simtomatik PAP ekstremitas bawah beralasan untuk menurunkan kejadian kardiovaskular.

KELAS IIb :

Penggunaan ACEI pada pasien asimtomatik PAP ekstremitas bawah dapat dipertimbangkan untuk menurunkan kejadian kardiovaskular. Antihipertensi dapat menurunkan perfusi tungkai bawah dan berpotensi mengeksaserbasi simtom klaudikasio ataupun iskemia tungkai kronis. Kemungkinan tersebut harus diperhatikan saat memberikan antihipertensi. Namun sebagian besar pasien dapat mentoleransi terapi antihipertensi tanpa memperburuk simtom PAP dan

(29)

penanggulangan sesuai pedoman diperlukan untuk tujuan menurunkan risiko kejadian kardivaskular.

2.12.2 Penanggulangan Hipertensi dengan Gangguan Fungsi Ginjal

Bila ada gangguan fungsi ginjal, maka haruslah dipastikan dahulu apakah hipertensi menimbulkan gangguan fungsi ginjal hipertensi lama, hipertensi primer) ataupun gangguan/penyakit ginjalnya yang menimbulkan hipertensi. Masalah ini lebih bersifat diagnostik, karena penanggulangan hipertensi pada umumnya sama, kecuali pada hipertensi sekunder (renovaskular,hiperaldosteronism primer) dimana penanggulangan hipertensi banyak dipengaruhi etiologi penyakit. 1. Hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal :

- Pada keadaan ini penting diketahui derajat gangguan fungsi ginjal (CCT, creatinin) dan derajat proteiuria.

- Pada CCT < 25 mL/men diuretik golongan thiazid(kecuali metolazon) tidak efektif.

- Pemakaian golongan ACEI/ARB perlu memperhatikan penurunan fungsi ginjal dan kadar kalium.

-Pemakaian golongan BB dan CCB relatif aman. 2. Hipertensi akibat gangguan ginjal/adrenal:

- Pada gagal ginjal terjadi penumpukan garam yang membutuhkan penurunan asupan garam/diuretik golongan furosemide/dialisis.

- Penyakit ginjal renovaskular baik stenosis arteri renalis maupun aterosklerosis renal dapat ditanggulangi secara intervensi (stenting/operasi) ataupun medikal (pemakaian ACEI dan ARB tidak dianjurkan bila diperlukan terapi obat. Aldosteronism primer (baik karena adenoma maupun hiperplasia kelenjar adrenal) dapat ditanggulangi secara medikal (dengan obat antialdosteron) ataupun intervensi.

Disamping hipertensi, derajad proteinuri ikut menentukan progresi fungsi ginjal, sehingga proteinuri perlu ditanggulangi secara maksimal dengan pemberian ACEI/ARB dan CCB golongan non dihidropiridin.

(30)

Pedoman Pengobatan Hipertensi dengan Gangguan Fungsi Ginjal : 1. Tekanan darah diturunkan sampai < 130/80 mmHg (untuk mencegah progresi

gangguan fungsi ginjal).

2. Bila ada proteinuria dipakai ACEI/ARB (sepanjang tak ada kontraindikasi). 3. Bila proteinuria > 1g/24 jam tekanan darah diusahakan lebih rendah (≤ 125/75 mmHg).

4. Perlu perhatian untuk perubahan fungsi ginjal pada pemakaian ACEI/ARB (kreatinin tidak boleh naik > 20%) dan kadar kalium (hiperkalemia).

2.12.3 Penanggulangan Hipertensi pada Usia Lanjut

Hipertensi pada usia lanjut mempunyai prevalensi yang tinggi, pada usia diatas 65 tahun didapatkan antara 60-80%. Selain itu prevalensi gagal jantung dan stroke juga tinggi, keduanya merupakan komplikasi hipertensi. Oleh karena itu, penanggulangan hipertensi amat penting dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada usia lanjut.

Sekitar 60% hipertensi pada usia lanjut adalah hipertensi sistolik terisolasi (isolated systolic hypertension) dimana terdapat kenaikan tekanan darah sistolik disertai penurunan tekanan darah diastolik. Selisih dari tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik disebut sebagai tekanan nadi (pulse pressure), terbukti sebagai prediktor morbiditas dan mortalitas yang uruk. Peningkatan tekanan darah sistolik disebabkan terutama oleh kekakuan arteri atau berkurangnya elastisitas aorta.

Penanggulangan hipertensi pada usia lanjut amat bermanfaat dan telah terbukti dapat mengurangi kejadian komplikasi kardiovaskular. Pengobatan dimulai bila :

- TD sistolik ≥ 160 mmHg bila kondisi dan harapan hidup baik. - TD sistolik ≥ 140 bila disertai DM atau merokok atau disertai faktor risiko lainnya.

Oleh karena pasien usia lanjut sudah mengalami penurunan fungsi organ, kekauan arteri, penurunan fungsi baroreseptor dan respons simpatik, serta autoregulasi serebral, pengobatan harus secara bertahap dan hati-hati (start slow, go slow) hindarkan emakaian obat yang dapat menimbulkan hipotensi ortostatik.

(31)

menghindari makanan yang diawetkan dan penurunan berat pada obesitas, terbukti dapat mengendalikan tekanan darah. Pemberian obat dilakukan apabila penurunan tidak mencapai target. Kejadian komplikasi hipotensi ortostatik sering terjadi, sehingga diperlukan anamnesis dan pemeriksaan mengenai kemungkinan adanya hal ini sebelum obat ini.

Obat yang dipakai pada usia lanjut sama seperti yang dipergunakan pada usia yang lebih muda. Untuk menghindari komplikasi pengobatan, maka dosis awal dianjurkan separuh dosis biasa, kemudian dapat dinaikkan secara bertahap, sesuai dengan respons pengobatan dengan mempertimbangkan kemungkian efek samping obat. Obat-obat yang biasa dipakai meliputi diuretik (HCT) 12,5 mg, terbukti mencegah komplikasi terjadinya penyakit jantung kongestif. Keuntungannya murah dan dapat mencegah kehilangan kalsium tulang. Obat lain seperti golongan ACEI, CCB kerja panjang dan obat-obat lainnya dapat dipergunakan. Kombinasi 2 atau lebih obat dianjurkan untuk memperoleh efek pengobatan yang optimal.

Target pengobatan harus mempertimbangkan efek samping, terutama kejadian hipotensi ortostatik. Umumnya tekanan darah sistolik diturunkan sampai < 140 mmHg. Target untuk tekanan darah diastolik sekitar 85-90 mmHg. Pada hipertensi sistolik penurunan sampai tekanan darah diastolik 65 mmHg atau kurang dapat mengakibatkan peningkatan kejadian stroke. Oleh karena itu sebaiknya penurunan tekanan darah tidak sampai 65 mmHg.

2.12.4 Penanggulangan HIpertensi pada Gangguan Neurologis

Oleh karena hipertensi merupakan faktor risiko utama maka penderita hipertensi dapat dianggap sebagai “Stroke prone patient”. Pengendalian hipertensi sebagai faktor risiko akan menurunkan kejadian stroke sebanyak 32%. 1. Hipertensi tanpa defisit neurologis :

Dapat dilakukan sesuai dengan konsensus InaSH. Dilakukan deteksi gangguan organ-organ otak melalui berbagai kegiatan : - Perlu perhatian khusus bila penderita hipertensi disertai dengan kesemutan dimuka,sekeliling bibir, ujung-ujung jari dan vertigo, ada kecenderungan insufisiensi basiler.

(32)

- Selain itu keluhan lain, seperti gangguan berbahasa, gangguan daya ingat dan artikulasi perlu medapat perhatian lebih lanjut.

2. Hipertensi dengan tanda defisit neulorogi akut:

Penatalaksanaan hipertensi yang tepat pada stroke akut sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas stroke.

a. Stroke Iskemik akut:

• TIDAK direkomendasikan terapi hipertensi pada stroke iskemik akut kecuali terdapat hipertensi berat dan menetap yaitu sistolik > 220 mmHg atau diastolik > 120 mmHg dengan tanda-tanda ensefalopati atau disertai kerusakan target organ lain.

• Obat-obat antihipertensi yang sudah dikonsumsi sebelum serangan stroke diteruskan pada fase awal stroke, pemberian obat antihipertensi yang baru ditunda sampai dengan 7-10 hari pasca awal serangan stroke.

• Batas penurunan tekanan darah sebanyak-banyaknya 20-25% dari tekanan darah arterial rerata(MAP=mean arterial pressure).(MAP=Tekanan diastolik + 1/3 selisih tekanan sistolik – diastolik)

• Jika tekanan darah sistolik 180-220 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik 105-120 mmHg, terapi darurat HARUS DITUNDA kecuali terdapat bukti perdarahan intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri, infark miokard akut, gagal ginjal akut, edema paru, diseksi aorta, ensefalopati hipertensi. Jika peninggian tekanan darah itu menetap pada 2 kali pengukuran selang waktu 60 menit, maka diberikan “Candesartan Cilexetil”(Blopress) 4-16 mg oral selang 12 jam. Jika monoterapi oral tidak berhasil atau jika obat tidak dapat diberikan per oral, maka diberikan obat intravena yang tersedia.

• Batas penurunan tekanan darah sebanyak banyaknya sampai 20-25% dari tekanan darah arterial rerata, dan tindakan selanjutnya ditentukan kasus per kasus. b. Stroke hemoragik akut :

• Batas penurunan tekanan darah maksimal 20-25% dari tekanan darah semula. • Pada penderita dengan riwayat hipertensi sasaran(TARGET) tekanan darah

sistolik 160 mmHg dan diastolik 90 mmHg.

(33)

dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg (dosis dan cara pemberian lihat tabel jenis-jenis obat untuk terapi emergensi). • Peningkatan tekanan darah bisa disebabkan stres akibat stroke (efek cushing), akibat kandung kencing yang penuh, respon fisiologis atau peningkatan tekanan intrakranial dan harus dipastikan penyebabnya.

2.12.5 Penanggulangan Hipertensi pada Diabetes Indikasi pengobatan :

Bila tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg dan /atau tekanan darah diastolik ≥ 180 mmHg.

• Sasaran (target penurunan) tekanan darah : - Tekanan darah < 130/80 mmHg.

- Bila disertai proteinuria ≥ 1g/24 jam : ≤ 125/75 mmHg.

• Pengelolaan :

- Non Farmakologis :

Perubahan gaya hidup, antara lain : menurunkan berat badan, meningkatkan aktifitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi konsumsi garam.

- Farmakologis :

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat antihipertensi :  Pengaruh terhadap profil lipid

 Pengaruh terhadap metabolisme glukosa  Pengaruh terhadap resistensi insulin

 Pengaruh terhadap huipoglikemia terselubung.

Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan : *ACEI

*ARB *Beta-bloker

* Diuretik dosis rendah * Alfa bloker

(34)

* CCB golongan non-dihidropiridin.

Pada diabetisis dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau tekanan darah diastolik antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan gaya hidup sampai 3 bulan. Bial gagal mencapai target dapat ditambahkan terapi farmakologis.

Diabetisis dengan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg, disamping perubahan gaya hidup, dapat diberikan terapi farmakologis secara langsung.

Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan monoterapi.

Catatan :

- ACEI,ARB, dan CCB golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki mikroalbuminuria.

- ACEI dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.

- Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang , TIDAK terbukti memperburuk toleransi glukosa.

- Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai. - Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkandosis secara bertahap.

- Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap. 2.11.6 Penanggulangan Hipertensi pada Kehamilan

Tekanan darah > 160/100 mmHg HARUS diturunkan untuk melindungi ibu terhadap risiko stroke atau untuk memungkinkan perpanjangan masa kehamilan, sehingga memperbaiki kematangan fetus. Obat yang dapat diberikan ialah : METHYL DOPA dan NIFEDIPINE.

Obat-obat YANG TIDAK BOLEH DIBERIKAN saat kehamilan adalah ACEI (berkaitan dengan kemungkinan kelainan perkembangan fetus) dan ARB yang kemungkinan mempunyai efek sama seperti penyekat ACEI. Diuretik juga TIDAK digunakan mengingat efek pengurangan volume plasma yang dapat mengganggu kesehatan janin . terapi definitif ialah MENGHENTIKAN KEHAMILAN atas

(35)

2.13 Komplikasi

Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi antara lain: a. Otak : Stroke

b. Jantung : Aterosklerosis, penyakit jantung koroner, gagal jantung c. Mata : Kebutaan (pecahnya pembuluh darah pada mata) d. Paru-paru : Edema paru

e. Ginjal : Penyakit ginjal kronik

f. Sistemik :Penyakit arteri perifer atau penyakit oklusi arteri perifer 2.15 Prognosis

Hipertensi dapat dikendalikan dengan baik dengan pengobatan yang tepat. Terapi dengan kombinasi perubahan gaya hidup dan obat-obatan antihipertensi biasanya dapat menjaga tekanan darah pada tingkat yang tidak akan menyebabkan kerusakan pada jantung atau organ lain. Kunci untuk menghindari komplikasi serius dari hipertensi adalah mendeteksi dan mengobati sebelum kerusakan terjadi.

BAB III

KESIMPULAN

(36)

Hipertensi atau tekanan darah tinggi diderita oleh hampir semua golongan masyarakat di seluruh dunia. Batasan hipertensi ditetapkan dan dikenal dengan ketetapan JNC VII (The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of Hight Blood Pressure). Menurut criteria JNC VII, pasien dengan hipertensi dibagi menjadi normal, pre hipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.

Menurut perkiraan, sekitar 30% penduduk dunia tidak terdiagnosis adanya hipertensi (underdiagnosed condition). Hal ini disebabkan tidak adanya gejala atau dengan gejala ringan bagi mereka yang menderita hipertensi. Sedangkan, hipertensi ini sudah dipastikan dapat merusak organ tubuh seperti jantung (70% penderita hipertensi akan merusak jantung), ginjal, otak, mata, serta organ tubuh lainnya sehingga hipertensi disebut sebagai silent killer. Deteksi dini penting dilakukan untuk mencegah timbulnya berbagai komplikasi. Apabila sudah di diagnosis dengan hipertensi, seorang pasien harus diedukasi dengan baik mengenai pengaturan pola hidup yang benar selain dari terapi dengan medikamentosa.

(37)

1. WHO. Raised Blood Pressure. http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/blood_pressure_prevalence_text/en/.

Accessed November 20, 2013

2. Nafrialdi. Antihipertensi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI; 2007.p. 341-60Ganiswarna, S. G. (2003). Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI.

3. The Seventh Repot of the Joint national Comitte on Prevention, detection, evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. 2004

4. Yogiantoro M. Hipertensi Esensial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiatii S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p. 1079-85

5. Ringkasan Eksekutif Penanggulangan Hipertensi. Perhimpunan Hipertensi Indonesia. Jakarta;2007

Referensi

Dokumen terkait

Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang abnormal dengan sistolik lebih dari 140 mmHg dan diastolic lebih dari 90

peningkatan tekanan darah yang abnormal dengan sistolik lebih dari 140 mmHg dan.. diastolik lebih dari

dengan teori (Prawihardjo, 2012) bahwa hipertensi kronik adalah tekanan darah sistolik &gt;140 mmHg atau tekanan darah diastolik &gt;90 mmHg yang timbul sebelum

Hipertensi yaitu suatu kondisi ketika tekanan darah terhadap dinding arteri terlalu tinggi yaitu sistol 140 mmHg dan diastol 90 mmHg. Tekanan darah tinggi dapat beresiko

Berdasarkan jenis nya, hipertensi dibagi juga jadi dua, yang pertama hipertensi sistolik terisolasi yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik

Hipertensi resisten dikategorikan sebagai peningkatan tekanan darah diatas 140/90 mmHg dan rerata tekanan darah 24 jam secara ambulatori 130/80 mmHg, meskipun telah mendapat terapi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥90

Hipertensi pada kehamilan adalah peningkatan tekanan darah wanita hamil melebihi batas normal (≥ 140/90 mmHg) yang dapat disebabkan oleh faktor keturunan, penyakit ginjal, kelainan hormonal, penyalahgunaan obat-obatan, makanan tinggi garam, atau riwayat