• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara self efficacy, outcome expectancy, dan outcome values dari siswa SMA dengan respons sebagai bystander dalam situasi bullying

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara self efficacy, outcome expectancy, dan outcome values dari siswa SMA dengan respons sebagai bystander dalam situasi bullying"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

(The Relationship between Self Efficacy, Outcome Expectancy and Outcome Values among Senior High School’s Student with Bystander’s Responses in Bullying Situation)

Sidi Fachmi Harryansyah, Ratna Djuwita, Aries Yulianto Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self efficacy, outcome expectancy, dan outcome values dari siswa SMA dengan respons sebagai bystander dalam situasi bullying. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan alat ukur PRQ yang berasal dari terjemahan kuesioner yang dikembangkan oleh Pöyhönen, Juvonen dan Salmivalli (2012). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa korelasi antara respons sebagai bystander dengan self efficacy, outcome expectancy dan outcome values signifikan namun ada beberapa korelasi yang negatif sehingga bertentangan dengan hasil penelitian sebelumnya dari Pöyhönen.

Kata Kunci:

Bystander; Self efficacy; outcome expectance; outcome values

ABSTRACT

The purpose of this research is to know if there is correlation between high school student perception of their self efficacy, outcome expectancy, and outcome values with their responses as bystander to defend victim, be an outsider or to side up with the bully. This research used the translation of the instrument PRQ that has been developed by Pöyhönen, Juvonen and Salmivalli (2012). The result of this research shows some different outcome compared with Pöyhönen et al (2012) study, because there is negative correlation between the variable.

Keyword:

Bystander; Self efficacy; outcome expectance; outcome values

1. PENDAHULUAN

Beberapa tahun ini banyak sekali kasus kekerasan yang terjadi di sekolah baik SD, SMP ataupun SMA yang salah satunya adalah masalah bullying di sekolah. Sekretaris jenderal Komnas Perlindungan Anak Samsul Ridwan menyebutkan jumlah pengaduan tentang bullying mengalami peningkatan mencapai 98 persen pada tahun 2011 yaitu 2386 pengaduan dari 1234 laporan pada tahun 2010 (Setianingsih, 2011).

Bullying merupakan masalah yang mengkhawatirkan di sekolah karena dampaknya dapat berakibat negatif. Bullying secara umum di definisikan sebagai perlakuan kekerasan

(2)

secara sistematik yang ditandai oleh ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban yang dilakukan berulang kali dengan tujuan menyakiti orang yang menjadi target bullying yang akhirnya mempengaruhi proses interaksi sosial dari anak yang menjadi korban (Rigby, 2007). Dampaknya korban akan mengalami kecemasan, rendah diri, depresi, penarikan sosial, bahkan dapat menyebabkan bunuh diri. Sedangkan dampak yang terjadi pada pelaku adalah sering terlibat di dalam perkelahian, selalu membuat masalah di sekolah, melakukan tindakan pencurian, dan hal paling buruk yang dapat terjadi adalah menjadi pelaku tindak kriminal (Priyatna, 2010).

Ada beberapa faktor dari keluarga ataupun sekolah yang dapat menyebabkan seorang anak menjadi korban ataupun pelaku dari bullying. Kurangnya kehangatan dan kepedulian dari orang tua, pola asuh yang terlalu permisif ataupun terlalu keras, kurangnya pengawasan dari orang tua dan sikap orang tua yang suka memberi contoh perilaku bullying baik yang disengaja ataupun tidak (Priyatna, 2010). Di luar negeri penelitian tentang bullying sudah dimulai sejak akhir 1970 (Olweus, 1993)

Bullying juga terjadi pada siswa SMA di Indonesia dan salah satu kasus yang pernah terjadi yaitu di sebuah SMA di Jakarta Selatan yang melibatkan siswa kelas 1 dan siswa senior yang berujung sampai ke kepolisian. Korban yang merupakan siswa kelas 1 di sekolah tersebut dibawa dengan cara ditutup wajahnya menggunakan jaket dan mengalami tindakan kekerasan seperti ditempeleng, dipukul dan disundut rokok dari pukul 14.00 sampai pukul 22.00. Menurut ketua OSIS SMA tersebut, kejadian itu tidak berhubungan dengan kegiatan Masa Orientasi Siswa. Berdasarkan keterangan dari salah satu korban yaitu AY, ada 18 remaja yang terlibat sebagai pelaku namun hanya sekitar 8 orang yang terbukti bersalah oleh kepolisian sehingga selain 8 orang tersebut, yang lainnya dibebaskan karena mereka hanya menertawakan atau memberi semangat pada pelaku untuk meneruskan aksinya tersebut (Rohmah, 2012). Dari artikel ini diketahui kejadian bullying di sekolah dan insiden ini dilihat oleh sebagian besar siswa yang seharusnya memiliki norma untuk mencegah hal itu terjadi.

Bullying terjadi karena adanya proses kelompok dimana adanya beberapa peran yang saling berinteraksi. Studi – studi menunjukkan bahwa ada beberapa peran dalam situasi bullying yaitu pelaku, korban, asisten pelaku, reinforcers bagi pelaku, outsiders, dan pembela (defenders) korban. Asisten digambarkan sebagai anak yang bergabung dalam lingkaran bullying bersama pelaku bully; reinforcers memberikan masukan yang positif terhadap perilaku dari pelaku (contoh: tertawa, memberi semangat, atau hanya menjadi penonton); outsiders memilih untuk tidak terlibat dalam situasi bullying; dan defenders berada di pihak

(3)

korban untuk selanjutnya membela, menenangkan dan memberi dukungan pada mereka (Salmivalli, 2011). Beane (2008) menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis peran dalam bullying yaitu korban, pelaku bully, dan bystander. Bystander adalah anak yang tidak ikut secara langsung di dalam aksi bullying atau yang hanya bisa berdiri dari kejauhan dan menertawakan proses bullying tersebut. Dari para bystander ini ada yang mengikuti pelaku bully untuk menghindari agar diri mereka sendiri tidak menjadi target. Selain itu, ada juga yang membantu korban dan akibatnya mereka sendiri juga bisa ikut menjadi korban (Beane, 2008). Menurut Pöyhönen, Juvonen dan Salmivalli (2012), mendukung korban saat terjadi bullying dapat menjadi cara efektif dalam mengurangi tingkat bullying. Itu sebabnya peran bystander dianggap penting karena mereka mampu memberikan intervensi yang tujuannya mengurangi bullying. Hal ini terjadi karena perilaku mereka lebih mudah dirubah dibandingkan perilaku dari pelaku yang agresif. Jika lebih banyak bystander yang mendukung korban sebagai konsekuensi, reward social yang berhubungan dengan peningkatan bullying akan berkurang. Oleh karena itu peran bystander sangatlah penting. (Salmivalli, 2011)

Menurut pendekatan sosial kognitif dari Bandura (1977), ada tiga konstruk motivasi yang memiliki hubungan dengan respons sebagai bystander dalam situasi bullying yaitu Self Efficacy (SE), Outcome Expectancy(OE) dan Outcome Values (OV). SE adalah persepsi seseorang tentang kemampuannya untuk mencapai tujuan dan menyelesaikan tugasnya. OE adalah bagaimana seseorang memperkirakan hasil atau dampak dari perilakunya. OV yaitu bagaimana seseorang memandang pentingnya dampak sebuah perilaku terhadap hubungan interpersonal itu positif atau negatif.

Dikarenakan pentingnya peran bystander dalam kejadian bullying, maka selama 10 tahun terakhir banyak penelitian lebih memfokuskan diri pada bagaimanakah peran bystander dalam aktifitas bullying. Beberapa tentang peran bystander dalam bullying dilakukan Pöyhönen, Juvonen dan Salmivalli (2012), Salmivalli, Voeten dan Poskiparta (2011) dan Gini, Pozzoli, Borghi dan Franzoni (2008). Misalnya Pöyhönen, Juvonen dan Salmivalli (2012) dalam penelitiannya ingin melihat apakah anak akan memiliki persepsi positif dengan melakukan perilaku membela korban atau anak akan memiliki persepsi negatif dengan menunjukkan perilaku diam saja saat terjadi bullying. Penelitian Pöyhönen dkk. menjelaskan bahwa ada dua hal yang sering dilakukan bystander saat terjadi bullying yaitu membela korban dan memilih untuk tidak terlibat dalam aksi bullying. Untuk menjelaskan penelitiannya, Pöyhönen dkk. melihat hubungannya dengan persepsi yang muncul dari tiga respon bystander yaitu self-efficacy, outcome expectations, dan Outcome values. Hasilnya

(4)

menunjukkan bahwa siswa akan semakin yakin untuk membela korban jika ia mempersepsikan diri mampu (SE tinggi) untuk membantu, ia mempersepsikan bahwa bantuannya memang akan membantu situasi korban, ia mempersepsikan status sosialnya akan meningkat atau memang sudah tinggi. Jika siswa bystander tidak memiliki tiga hal di atas ia justru membela pelaku.

Bullying yang terjadi di SMA-SMA yang ada di Indonesia mungkin saja memiliki karakteristik yang berbeda sehingga penelitian yang memiliki dasar dengan penelitian Pöyhönen dkk (2012) perlu dilakukan. Selain itu juga karena budaya yang berbeda dalam negara Barat dengan negara Timur sehingga memungkinkan adanya hasil yang berbeda.

Oleh karena itu peneliti memilih melakukan replikasi plus pada penelitian dari Pöyhönen karena berdasarkan pengetahuan peneliti, belum ada atau masih sedikit penelitian yang melihat bagaimana hubungan Self efficacy, Outcome expectancy, dan Outcome values dari siswa SMA dengan respons sebagai bystander dalam situasi bullying di Indonesia. Penelitian ini menggunakan alat ukur PRQ yang berasal dari terjemahan kuesioner yang digunakan oleh Pöyhönen, Juvonen dan Salmivalli (2012).

Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah adakah hubungan antara Self efficacy, Outcome expectancy, dan Outcome values dari siswa SMA dengan respons sebagai bystander dalam situasi bullying. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara Self efficacy, Outcome expectancy, dan Outcome values dari siswa SMA dengan respons sebagai bystander dalam situasi bullying.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Bullying

Terdapat beberapa definisi bullying dari beberapa tokoh. Berikut akan dijelaskan definisi-definisi dari beberapa tokoh tersebut. Olweus(1993) mendefinisi-definisikan seseorang sebagai korban bullying saat “a student is exposed, repeatedly and over time, to negative actions on the part of one or more other student”. Tokoh lain, Beane (2008) mendefinisikan bullying sebagai “a form of overt and aggressive behavior that is intentional, hurtful, and persistent (repeated)”. Sedangkan menurut Rigby (2007) menjelaskan bahwa Bullying is repeated oppression, psychological or physical, of a less powerful person by a more powerful person or group of persons. Dari beberapa pengertian yang dijelaskan oleh tiga tokoh di atas maka penulis menyimpulkan bahwa bullying adalah bentuk perilaku agresif yang bertujuan menyakiti, dilakukan pelaku yang merasa “kuat” berulang kali pada korban baik secara langsung ataupun

(5)

secara tidak langsung, dimana korban merasa tidak berdaya.

Bystander

Bystander dibagi perannya menjadi tiga yaitu mendukung pelaku bully dengan menertawakan atau hanya menjadi penonton (reinforcer), menolak untuk ikut dalam situasi bullying (outsiders), dan membela korban dengan melindungi ataupun menenangkan korban (defender) (Salmivalli, 2011).

Self efficacy

Self efficacy adalah kemampuan seseorang dalam mencapai tujuannya dan menyelesaikan tugasnya(Ormrod, 2006). Selain itu dalam Feist & Feist( 2006), self efficacy diartikan sebagai “how people act in a particular situation depends n the reciprocity of behavioural, environmental, and cognitive conditions.” Menurut teori dari Bandura (1977), seseorang dengan Self efficacy yang tinggi akan mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik walau sesulit apapun tugasnya. Namun jika self efficacy seseorang rendah kadang akan mengalami perasaan yang tidak mengenal subjek atau sesuatu yang dikerjakannya yang berakibat tidak mampu menyiapkan diri untuk mengerjakan tugas dengan maksimal.

Outcome expectancy

Expectancy adalah bagaimana seseorang mampu mengarahkan perilakunya kepada perilaku pencegahan yang sesuai masalah (Bandura, 1977).. Definisi lain yang ditemukan yaitu Expectancy adalah “persons’s expectation that some specific reinforcement or set of reinforcements will occur in a given situation”(Feist & Feist, 2006). Outcome expectancy adalah “effectiveness of the behavior in producing a desired outcome”(Maddux, Sherer, Roggers, 1982). Self efficacy dan Outcome expectancy memiliki dampak pada perilaku seseorang. (Feist & Feist, 2006).

Outcome values

Outcome values dijelaskan oleh Michael Sunnafrank (1988) yaitu bagaimana seseorang memandang sebuah perilaku atau hubungan interpersonal itu positif atau negatif. Jika seseorang memiliki Outcome values yang positif maka seseorang lebih memilih melakukan

(6)

perilaku yang positif. Sedangkan jika seseorang memiliki Outcome values yang negatif maka seseorang akan membatasi perilakunya terhadap orang lain. Selain itu juga dijelaskan sebagai kualitas yang menandakan sesuatu itu berharga secara positif atau bahkan secara negatif (Feist & Feist, 2006). Values ditempatkan pada pencegahan spesifik yang penting dalam menentukan perilaku yang terjadi (Pöyhönen, 2012).

3. METODE PENELITIAN Partisipan Penelitian

Karakteristik partisipan penelitian ini adalah: 1. siswa SMA dengan tingkat kelas 1, 2 dan 3. 2. Memiliki rentang usia 16 tahun sampai 18 tahun 3. Siswa SMA di daerah Bekasi dan Jakarta

Jumlah partisipan penelitian ini sebanyak 92 orang. Teknik pengambilan partisipan yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam kategori accidental sampling yaitu partisipan dipilih berdasarkan tersedianya individu dan kemauan untuk mengikuti penelitian (Kumar, 2005).

Alat Ukur Penelitian

Penelitian ini menggunakan alat ukur penelitian berupa kuesioner. Kuesioner yang digunakan dalam penelitain ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pengantar, bagian utama dan bagian data partisipan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu terjemahan dari kuesioner PRQ yang dikembangkan oleh Pöyhönen, Juvonen dan Salmivalli (2012).

Alat ukur Respons sebagai bystander (PRQ)

Item yang digunakan untuk mengukur diambil dari tiga respons bystander dalam laporan peer PRQ (participant Roles Questionaire).

1. Defender scale terdiri dari item yang menggambarkan bahwa seseorang membela dan mendukung korban dalam situasi bullying.

2. Remaining passive scale terdiri dari item yang menggambarkan perilaku yang mengindikasikan bahwa seseorang diam saja atau berlaku pasif dari situasi bullying. 3. Reinforcer scale terdiri dari item yang menggambarkan perilaku mendukung pelaku.

(7)

Pilihan jawaban yang ada menggunakan 5 skala poin yaitu tidak pernah=0, jarang=1, kadang=2, sering=3 dan selalu=4 kemudian disesuaikan dengan pernyataan yang diberikan kepada partisipan.

Alat ukur Self-efficacy beliefs for Defending Behaviour

Alat ukur Self-efficacy beliefs for Defending Behaviour adalah alat ukur yang terdiri dari 3 item yang digunakan untuk mengevaluasi tentang seberapa mudah atau sulit untuk mereka saat memutuskan membela korban bullying.

Pilihan jawaban yang ada menggunakan 4 skala poin yaitu sangat sulit=1, sulit=2, mudah=3, dan sangat mudah= 4 kemudian disesuaikan dengan pernyataan yang diberikan oleh partisipan. Lalu hasil skor dibalik pada jawaban sehingga kita bisa melihat skor yang lebih tinggi mengindikasikan seseorang dengan Self efficacy yang tinggi dalam membela korban.

Alat ukur Outcome Expectation for Defending Behaviour

Alat ukur Outcome Expectation for Defending Behaviour adalah instrumen yang terdiri dari 18 item yang dibagi menjadi tiga subskala (seperti ekspektasi frekuensi dari bullying, ekspektasi well-being dari korban, dan ekspektasi dari status orang itu sendiri) Isi dari item diperoleh dari item yang terdapat pada PRQ yang menggambarkan perilaku membela korban (defender scale) :

1. Ekspektasi bahwa bullying berkurang dilihat dari enam item yang mengukur outcome expectations agar mampu berkurang (terdiri dari tiga item) atau meningkatkan bullying (terdiri dari tiga item kemudian hasil skor dibalik) sebagai hasil dari membela.

2. Ekspektasi bahwa korban menjadi lebih baik kondisinya diukur dengan melihat enam item yang mengukur ekspektasi pencegahan hingga membuat korban merasa lebih baik (terdiri tiga item) atau lebih buruk (terdiri dari tiga item kemudian hasil skor dibalik) sebagai hasil dari membela.

3. Ekspektasi bahwa status sosial seseorang dapat naik diukur dengan melihat enam item yang mengukur ekspektasi bahwa status seseorang naik (terdiri dari tiga item) atau turun (terdiri dari tiga item kemudian hasil skor dibalik) sebagai hasil dari membela.

(8)

Pilihan jawaban yang ada menggunakan 4 skala poin yaitu sangat setuju=1, setuju=2, tidak setuju=3, dan sangat tidak setuju=4 kemudian disesuaikan dengan pernyataan yang diberikan oleh partisipan untuk mengevaluasi konsekuensi positif dan negatif yang mereka harapkan jika mereka membela korban bullying. Kita bisa melihat skor yang lebih tinggi mengindikasikan seseorang memiliki harapan mendapatkan konsekuensi positif atau negatif tinggi jika mereka membela korban bullying.

Alat ukur Outcomes Value for Defending Behaviour

Alat ukur Outcomes Value for Defending Behaviour adalah instrumen yang terdiri dari 9 item yang dibagi menjadi tiga subskala yaitu :

1. Menilai penurunan situasi bullying. 2. Menilai korban yang merasa lebih baik 3. Menilai status sosial seseorang

Isi dari item diperoleh dari item yang terdapat pada PRQ yang menggambarkan perilaku membela korban (defender scale). Pilihan jawaban yang ada menggunakan 4 skala poin yaitu sangat penting=1, penting=2, tidak penting=3, dan sangat tidak penting=4 kemudian disesuaikan dengan pernyataan yang diberikan oleh partisipan untuk melihat seberapa penting pencegahan yang diperlukan untuk anak jika mereka membela korban bullying. Kita bisa melihat skor yang lebih tinggi mengindikasikan seberapa banyak mereka menilai tiap pencegahan yang dilakukan saat terjadi bullying.

Tahap Pelaksanaan Penelitian

Peneliti melakukan berbagai persiapan yaitu mengumpulkan beberapa teman peneliti untuk dijelaskan agar dapat membantu penyebaran kuesioner, menentukan waktu dilaksanakannya penelitian dan mempersiapkan alat-alat penelitian, seperti kuesioner dan reward untuk partisipan. Secara keseluruhan peneliti memberikan kuesioner kepada 100 partisipan dan hanya 92 kuesioner yang dapat diolah.

Tahap Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul pada tahap pelaksanaan dilakukan seleksi agar data yang tidak diisi dengan lengkap tidak dimasukkan dalam pengolahan data. Data yang telah dipilih tersebut kemudian diolah secara kuantitatif dengan menggunakan program SPSS. Teknik

(9)

yang digunakan adalah statistik deskripsif untuk gambaran umum dan Pearson Corelation untuk melihat hubungan antara variabel.

4. HASIL

Gambaran Umum partisipan

Dalam penelitian ini, peneliti menyebarkan 100 kuesioner dan hanya 92 kuesioner yang dapat diolah datanya dikarenakan ada beberapa kriteria yang tidak terpenuhi yaitu pada kuesioner ada bagian yang tidak lengkap yaitu pada bagian item dan identitas diri.

Gambaran Demografis penyebaran partisipan Penelitian

Gambaran demografis penyebaran partisipan penelitian diperoleh melalui data diri atau identitas partisipan yang terletak di halaman akhir pada kuesioner penelitian. Data diri yang dicantumkan terdiri dari usia dan jenis kelamin. Hasil perhitungan distribusi frekuensi dari gambaran demografis tersebut yaitu dalam penelitian ini kebanyakan partisipan berjenis kelamin laki-laki (56,5%) dibandingkan dengan partisipan perempuan (43,4%). Hal ini terjadi karena sebagian besar partisipan berasal dari SMK dan lebih banyak laki-laki yang ditemukan oleh peneliti saat mengambil data. Dari kategori usia, partisipan penelitian yang paling mendominasi adalah yang berumur 18 tahun dengan jumlah 42 orang dibandingkan dengan yang berusia 16 tahun dengan jumlah 27 orang dan yang berusia 17 tahun dengan jumlah 23 orang.

Gambaran respons sebagai bystander

Tabel 3 menggambarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan pada pilihan peran mereka jika menghadapi atau melihat situasi dimana ada siswa yang di bully.

Tabel 3 gambaran pemilihan respons

respons n M SD Nilai minimum Nilai maksimum Defender 92 2,78 1,715 0 6 outsider 92 6,07 1,282 3 9 reinforcer 92 3,46 1,402 1 6

Dari data pada tabel 3, diketahui bahwa partisipan cenderung bersikap sebagai outsider daripada membela korban atau mendukung pelaku.

(10)

Hasil mean dari Self efficacy partisipan adalah 4,37 dengan SD 1,820. Dengan hasil itu dapat dilihat bahwa Self efficacy yang dimiliki partisipan masih kurang saat terjadi situasi bullying

Gambaran Outcome expectancy Tabel 4 gambaran expectancy

expectancy n M SD Nilai minimum Nilai maksimum

Bullying berkurang 92 16,30 2,380 12 19

Korban lebih baik 92 18,46 2,051 14 24

Status sosial naik 92 16,35 2,587 9 20

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa jika ada yang membantu korban, maka partisipan menganggap dampaknya adalah korban memang akan merasa lebih baik (M=18,46). Dengan kata lain para partisipan umumnya menganggap bahwa korban akan merasa terbantu bila dibela daripada akan mengurangi bullying atau tindakan tersebut akan menaikkan status sosial seorang defender.

Gambaran Outcome values Tabel 5 values

Values n M SD Nilai minimum Nilai

maksimum

Bullying berkurang 92 4,37 1,820 3 8

Korban lebih baik 92 4,52 2,434 3 12

Status sosial naik 92 6,61 1,709 3 9

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa bagi partisipan, nilai kepentingan dari tindakan membantu korban bullying lebih berdampak terhadap naiknya status sosial daripada menurunnya tingkat bullying atau membuat korban merasa lebih baik.

Hubungan Data Demografis Partisipan dengan Family Functioning dan Kualitas Hidup Perhitungan dilakukan dengan menggunakan metode statistik Pearson Corelation untuk melihat hubungan antara variabel. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa korelasi antara respons sebagai bystander dengan self efficacy, outcome expectancy dan outcome values signifikan namun ada beberapa korelasi yang negatif

(11)

5. PEMBAHASAN

Peneliti berasumsi bahwa Self efficacy, Outcome expectancy dan Outcome values memiliki korelasi positif yang signifikan dengan respon menolong korban (defender) sedangkan Self efficacy, Outcome expectancy dan Outcome values memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan respon mendukung pelaku (reinforcer) atau diam saja (outsider). Namun peneliti menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif pada beberapa variabel walau hasil yang didapat signifikan. Selain hasil yang sudah disebutkan di atas, ada juga beberapa hubungan yang menunjukkan hasil yang positif serta signifikan atau juga tidak signifikan. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Pöyhönen dkk (2012) karena ada hasil penelitian dari peneliti yang menyatakan hal yang berkebalikan dari penelitian Pöyhönen dkk (2012) seperti pada respon defender seharusnya jika memiliki self efficacy yang tinggi maka perilaku menolong muncul namun yang terjadi perilaku yang diinginkan tidak muncul. Setelah melihat hasil dari semua hubungan yang telah ada maka peneliti merasa ada faktor lain yang bisa berhubungan dengan respon seseorang dalam memilih peran saat menjadi bystander seperti budaya ataupun lingkungan sekitar di sekolah serta di rumah. Oleh karena itu perlu dilihat juga apakah ada pengaruh dari factor lain yang dapat mempengaruhi hasil dari penelitian dan diharapkan factor tersebut dapat ditemukan dalam penelitian selanjutnya.

Ada beberapa keterbatasan yang perlu dikemukakan dalam penelitian ini. dikarenakan dalam penelitian ini dilakukan teknik pengambilan data accidental sampling dengan menitipkan kuesioner ke teman atau adik yang masih di tingkat SMA, maka peneliti tidak bisa mengawasi langsung bagaimana pengisian kuesioner yang dilakukan partisipan. Akibatnya ada beberapa kuesioner yang tidak diisi lengkap. Selain menitipkan ke orang lain, peneliti juga tidak bisa mengontrol waktu dan tempat pengambilan sampel karena waktu pengambilan terjadi malam dan pagi hari sehingga partisipan mungkin mengisi kuesioner dalam keadaan terburu-buru.

Jika dilihat usia dari partisipan yang lebih banyak duduk di kelas tiga dengan usia 18 tahun, maka ada korelasi dengan pemilihan respons sebagai bystander. Hal ini terjadi karena mereka ingin mencari situasi yang aman sehingga lebih banyak yang membantu pelaku setelah melihat pengalaman mereka di tahun sebelumnya (Pöyhönen, 2012).

(12)

6. KESIMPULAN

Ada hubungan antara respons sebagai bystander dengan self efficacy, outcome expectancy dan outcome values signifikan namun ada beberapa korelasi yang negatif sehingga bertentangan dengan hasil penelitian sebelumnya dari Pöyhönen. Namun peneliti merasa ada faktor lain yang bisa berhubungan dengan respon seseorang dalam memilih peran saat menjadi bystander seperti budaya ataupun lingkungan sekitar di sekolah serta di rumah.

7. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh penelti menyarankan beberapa hal untuk penelitian selanjutnya, yaitu sebagai berikut:

1. Alat ukur dalam penelitian ini sudah cukup valid, namun mungkin perlu ada kriteria lain untuk mengukur validitas alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini, dikarenakan belum ada alat ukur yang sama ada di Indonesia.

2. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan untuk dicari bagaimana pengaruh dari ketiga variabel yang disebutkan yaitu self efficacy, outcome expectancy dan outcome values dengan menggunakan metode multiple regression.

3. Penelitian ini menggunakan kuesioner untuk mengetahui respon sebagai bystander yang dipilih oleh partisipan. Dengan menggunakan kuesioner yang mengukur beberapa variabel saja maka peneliti tidak bisa mengetahui faktor lainnya yang dapat mempengaruhi seseorang bisa memilih salah satu respon sebagai bystander sesuai penelitian. Maka perlu dilakukan wawancara dan observasi agar mendapat informasi kualitatif mengenai diri partisipan.

4. Dari data hasil penelitian perlu juga dilihat situasi lingkungan di sekolahnya karena hal ini bisa menjadi salah satu faktor dari hasil pemilihan responnya sebagai bystander.

5. Selain lingkungan sekolahnya juga kita perlu mengetahui bagaimana dia saat di lingkungan rumahnya bersama keluarganya. Bisa saja banyak yang memilih diam saja karena tidak adanya support dari keluarga untuk memunculkan respon membela saat terjadi situasi bullying.

6. perlu adanya edukasi sejak dini pada usia awal masuk sekolah SMA sehingga kejadian bullying dapat berkurang karena siswa perlu dijelaskan pentingnya peran membela korban saat terjadi situasi bullying.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Anastasi, A. & Urbina, S. (2007). Psychological Testing. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Astuti, Ponny, R. Meredam bullying: 3 cara efektif menanggulangi kekerasan pada anak. Jakarta, PT. Grasindo, 2008

Beane, A, L, (2008). Protect Your Child From Bullying: Expert Advice To Help You Recognize, Prevent, And Stop Bullying Before Your Child Get Hurt. San Fransisco. Wiley Imprint.

Feist, J, & Feist, G, J, (2006). Theories of Personality. (6th Ed). New York: McGraw-Hill

Gini, G, Pozzoli, T, Borghi, F, Franzoni L, (2008), The role of bystanders in students' perception of bullying and sense of safety. Journal of School Psychology 46, 617–638

Guliford, J, P, Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and Education.(6th ed). NY: McGraw-Hill.

.

Konstantina, K, Dimitris, S, P, (2010). School Characteristics As Predictors Of Bullying And Victimization Among Greek Middle School Students. International Journal Of Violence And School. Paris.

Kumar, R. (2005). Research Methodology : A Step by Step for Beginner.(2th Ed). Singapore.Pearson Education

Maddux, J, E, Sherer, M, Rogers, R, W.(1982). Self efficacy expectancy and Outcome Expectancy : Their Relationship and their effects on behavioural intentions. Cognitive therapy and research. Vol.6, 277-211

Ormrod, J, E, (2006). Educational Psychology: Developing learners (5th ed), Upper Saddle River, N.J: Pearson/Merril Prentice Hall

(14)

Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do. Oxford, UK: Blackwell.

Papalia, D, E, Olds, S,W, Feldman, R,D, (2009). Human Development. (11th Ed). New York: McGraw-Hill.

Pöyhönen, V, Juvonen, J, and Salmivalli, C, (2012), Standing Up for the Victim, Siding with the Bully or Standing by? Bystander Responses in Bullying Situations. Social Development, Blackwell Publishing

Priyatna, A. (2010). Let’s End Bullying: memahami, mencegah dan mengatasi bullying. Jakarta: PT.Elex Media Komputindo.

Rigby, K. (2002). New perspectives on bullying. Australia: Footprints.

Rigby, K. (2007). Bullying in School: and what to do about it. Australia: Acer Press.

Rohmah, A, (2012, Juli 27). Kronologi “Bullying” di SMA Don Bosco. Kompas Edukasi. Salmivalli, Voeten dan Poskiparta (2011). Bystanders Matter: Associations Between reinforcing, Defending, and the Frequency of Bullying Behavior in Classrooms. Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology, 40:5, 668-676

Setianingsih, D, S, (2011, Desember 23). “Bullying” masih menjadi momok. Kompas Edukasi.

Sunnafrank, Michael.(1988). “Predicted Outcome Value in initial Conversations”. Communication Research Report, Vol.5.No.2, 169-172

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda pada rumah Jawa pada umumnya, rumah tradisional Jawa masyarakat Klipoh digunakan tidak hanya sebagai tempat tinggal tetapi juga untuk melakukan kegiatan

Dengan meningkatkan kualitas dari jalannya fraud brainstorming sessions pada awal perencanaan audit dapat membagi informasi antar tim perikatan sehingga mampu untuk

Hasil penelitian terhadap kadar protein pada tape singkong dengan penambahan sari buah pepaya dan dosis ragi yang berbeda, menunjukkan bahwa ada perbedaan kadar

Rentetan dari gerakan Salafi Jihadi di Iraq yang pada asalnya terdiri daripada tiga organisasi jihad yang berbeza: iaitu Ansar al-Islam yang terdiri daripada kelompok Salafi

cerevisiae pada hari ke-8 fermentasi dengan konsentrasi 10 5 cfu/ml merupakan waktu yang optimum dalam menghasilkan pigmen merah dan kadar lovastatin.. cerevisiae

Dewi Prabandari SD NEGERI NGEBUNG BERAN Kec... SUPARTIYATI SD NEGERI

Pada tahap ini yang dilakukan adalah melakukan implementasi dari desain protokol kriptografi untuk mengamankan proses kirim terima pesan antara user aplikasi Secure Chat,

Hal ini sejalan dengan nilai dari parameter rasa yang dihasilkan ketiga jenis stik ikan ini dimana tidak terdapat perbedaan yang nyata pada semua stik ikan