ISSN: 2089-3884
DEAUTOMATISASI DALAM ANTOLOGI PUISI
BAKDI SOEMANTO
Septian Dona Prasetyo e-mail: dyo_aufklarung@yahoo.co.id
ABSTRACT
Poem is a piece of work that contains life values. A poem has intrinsic elements in it like a prose. But on this research the writer will not discusses the intrinsic elements of a poem. This research emphasize on study of words which has deautomatization properly in poem. In linguistics, deautomatization is the deviation of linguistics principle to show aesthetic values to the art works. Mukarovsky, on the Literary Theory (Carter, 2006:35) defines the deautomatization as the aesthetically intentional distortion of the literary components. The deautomatisation phenomenon is many founded on poem. That is why the writer does research on the words which have deautomatisation to the Bakdi Soemanto’s poems as the object of the research. The term deautomatization firstly introduced by Jan Mukarovsky, a Praha Structuralist, on his theory concerning aesthetic functions. Deautomatization is a unique linguistic deviation from the standard rules which want to appear aesthetic value of a language as in poem. This kind of derivation has purpose to attract the reader, because when a poem which has the deautomatization is read so it will makes anxiety to the aesthetic of the language, that is sentence which be made unfamiliar, odd, and inappropriate with the system. However, the derivation can be normalize or naturalize to be familiar language which named naturalization. Yet, if poem language is naturalized, the aesthetic value on the poem cannot be felt and is ordinary.
ABSTRAK
Puisi adalah sebentuk karya sastra yang mengandung nilai nilai kehidupan. Puisi seperti halnya prosa memiliki nilai intrinsik yang terkandung didalamnya. Tetapi dalam penelitian ini tidak akan dibahas mengenai nilai intrinsik suatu puisi. Penelitian ini menitikberatkan pada studi kata-kata yang didalam penulisannya dalam kalimat, khususnya kalimat puisi, terdapat unsur-unsur deautomatisasi. Dalam ilmu linguistik, deautomatisasi adalah penyimpangan kaidah linguistik untuk memunculkan nilai estetika dalam karya sastra. Mukarovsky, dalam Literary Theory (Carter, 2006: 35) mendefinisikan istilah deautomatisasi sebagai distorsi yang dilakukan dengan sengaja untuk nilai estetika dalam bagian-bagian sastra. Deautomatisasi banyak ditemukan dalam puisi. Itulah mengapa penulis melakukan penelitian terhadap kata-kata yang berunsur deautomatisasi
pada objek kajian puisi-puisi Bakdi Soemanto. Istilah deautomatisasi pertama kali dikemukakan oleh Jan Mukarovsky, seorang strukturalis aliran Praha, dalam teorinya mengenai fungsi estetika. Deautomatisasi merupakan sebuah penyimpangan linguistik semata-mata untuk memunculkan nilai estetika suatu bahasa. Penyimpangan seperti ini bertujuan untuk menarik perhatian pembaca, karena ketika membaca sebuah bahasa puisi yang di dalamnya terdapat kata-kata deautomatisasi akan timbul ketertarikan pada nilai estetika bahasanya, yaitu dari kalimat yang dibuat aneh tidak sesuai sistem bahasa. Namun, penyimpangan itu dapat dinormalkan atau dinaturalkan kembali dalam bahasa yang sewajarnya yang disebut dengan naturalisasi. Akan tetapi, jika bahasa puisi dinaturalisasikan maka nilai estetika yang terkandung didalamnya akan menghilang.
Kata kunci: puisi; deautomatisasi; estetika; naturalisasi. A. PENDAHULUAN
Istilah deautomatisasi dalam ilmu linguistik bukanlah suatu istilah yang asing lagi dalam dunia linguistik. Istilah deautomatisasi ini pertama kali dikemukakan oleh Jan Mukarovsky, seorang strukturalis alirah Praha, dengan mendefinisikannya sebagai sebuah distorsi yang dilakukan dengan sengaja untuk nilai estetika dalam bagian-bagian sastra (Carter, 2006). Menurut Mukarovsky (Carter, 2006) deautomatisasi bertugas tidak hanya membuat sesuatu (dalam hal ini kata atau kalimat) tampak aneh saja akan tetapi mengungkapkan sesuatu yang lebih rumit dan saling menghubungkan satu sama lain sehingga tercipta nilai estetika yang memuat makna didalamnya, tidak semata-mata terlihat aneh saja.
Efek dari deautomatisasi ini adalah untuk meciptakan suatu keindahan bahasa yang diramu dengan pemakaian kata-kata yang kebanyakan terlepas dari kaidah tata bahasa atau grammar suatu bahasa. Keindahan disini merupakan sebuah fungsi estetika yang ditimbulkan dengan penggunaan kalimat-kalimat deautomatisasi. Didalam unsur deatumatisasi suatu bahasa tidak semata-mata disusun supaya tampak aneh saja akan tetapi memuat makna hasil dari fungsi estetika, seperti dalam puisi.
Dalam kasus deautomatisasi, sebuah kata dapat
disederhanakan dan dibentuk sesuai kaidah bahasa kembali menjadi bahasa yang natural. Hal demikian dinamakan dengan istilah naturalisasi, yaitu sebuah upaya membentuk struktur bahasa yang sesuai kaidah tata bahasa. Akan tetapi, dengan dinaturalisasikannya suata bahasa yang mengandung unsur deautomatisasi maka nilai
estetika yang terkandung pada bahasa karya sastra menjadi hilang atau memudar karena penggunaan bahasa naturalisasi adalah bahasa yang standard dan tidak bertujuan sebagai fungsi estetika.
Dalam kamus Longman (2003), istilah estetika (aesthetic) merupakan keindahan, segala sesuatu yang berhubungan dengan keindahan, dan ilmu yang mempelajari tentangnilai keindahan dalam seni dan karya seni. Mukarovsky berpendapat (Carter, 2006: 36) bahwa fungsi estetika tidak akan didapat dan dirasakan keberadaannya jika dipisahkan dari tempat dan waktunya, tidak juga dapat dirasakan tanpa mempertimbangkan evaluasi dan penilaian seseorang. Maksudnya adalah bahwa fungsi estetika suatu karya tidak bisa didapat apabila kita menilai suatu karya tanpa mempertimbangkan keadaan tempat dan waktu yang bersangkutan dengan karya tersebut dan tanpa adanya penilaian dan interpretasi dari diri kita sendiri dan orang lain, karena pada dasarnya fungsi estetika sebuah karya sastra adalah sebuah perspektif hasil interpretasi diri. Fungsi estetika pada suatu karya sastra terdapat pada elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling melengkapi satu sama lain. Sehingga dalam memahami keindahan atau nilai estetika bahasa, dalam hal ini sastra, maka tidak bisa hanya mengacu pada salah satu elemen saja yang ada dalam suatu karya sastra.
Efek deautomatisasi yang banyak mengandung fungsi estetika dalam penggunaan gaya bahasanya banyak terdapat pada karya sastra khususnya puisi. Bagi sebagian orang, puisi merupakan ekspresi jiwa untuk mengungkapkan segala keluh kesah yang terjadi di kehidupan, puisi menggambarkan realitas yang ada di masyarakat. Akan tetapi, bagi sebagian lain puisi adalah sebuah karya yang enak untuk dibaca dan dapat menimbulkan kesenangan tersendiri pada setiap keunikan bahasa yang digunakannya. Dengan keunikan penggunaan bahasanya tersebut penulis mencoba untuk
mengkaji efek deautomatisasi yang menimbulkannya serta
naturalisasi terhadap efek deautomatisasi.
Dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan objek kajiannya yaitu puisi, beberapa puisi karya Bakdi Soemanto yang terkumpul dalam buku Antologi Puisi, yang banyak mengandung unsur deautomatisasi pada beberapa bagian bait puisi. Penulis memilih objek puisi Bakdi Soemanto kare di dalam beberapa
puisinya banyak terdapat efek deautomatisasi yang dapat dikaji dengan landasan teori deautomatisasi Jan Mukarovsky. Efek-efek deautomatisasi tersebut menimbulkan nilai keindahan tersendiri pada tiap puisinya dengan penggunaan bahasa yang tidak biasa atau tidak sesuai kaidah tata bahasa atau kaidah ujar yang rutin dan biasa digunakan.
B. PENDEKATAN TEORI
Makna deautomatisasi dalam beberapa karya sastra adalah sebuah hubungan kata-kata yang secara semantik terlihat dan terasa tidak biasa digunakan tetapi kata-kata tersebut saling mempengaruhi makna kalimat dalam sebuah konteknya. Deautomatisasi merupakan penyimpangan linguistik yang menurut Mukarovsky adalah sebagai sebuah fungsi estetika yaitu penyimpangan-penyimpangan unsur-unsur linguistik yang sengaja untuk maksud estetika kebahasaan.
Dalam sebuah analisis linguistik, terdapat berbagai
pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis fenomena-fenomena linguistik. Akan tetapi dalam analisis ini, pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan struktural dengan menggunakan teori linguistik strukturalisme Jan Mukarovsky tentang fungsi estetika atau lebih dikenal dengan istilah deautomatisasi. Kajian struktural sebuah karya sastra,fiksi, atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangunnya)-nya (Nurgiyantoro, 2010: 36). Maksudnya adalah bahwa struktur karya sastra memberikan pengertian adanya hubungan dari unsur-unsur atau elemen-elemen (intrinsic dan ekstrinsik) sebagai timbal balik yang saling mempengaruhi membentuk suatu keutuhan yang selanjutnya pengembangannya akan menciptakan fungsi estetika karya sastra tersebut.
Dalam kaum strukturalisme terdapat istilah deautomatisasi yang dikembangkan oleh Mukarovsky, sebuah hasil pengembangan dari teori formalisme defamiliarisasi. Mukarovsky (Carter, 2006: 35) mendefinisikan istilah deautomatisasi sebagai distorsi yang dilakukan dengan sengaja untuk nilai estetika dalam bagian-bagian sastra. Dalam Aesthetic Function, Norm and Value as Social Facts (1936) dalam Literary Theory (Carter, 2006), Mukarovsky berpendapat bahwa fungsi estetika tidak bisa hidup dalam isolasi
dari waktu dan tempatnya, tidak bisa hidup pula tanpa mempertimbangkan penilaian seseorang. Dengan kata lain, fungsi estetika tidak dapat muncul tanpa ada faktor-faktor lain diluar bahasa
itu sendiri, yaitu manusia dan keadaan sekitarnya. Ciri
deautomatisasi yang terdapat pada bahasa tertentu adalah penyimpangan dari cara penuturan yang telah bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar diusahakan dengan cara lain, cara baru, cara yang belum pernah dipergunakan orang dan untuk memperoleh cara itu mungkin sampai pada penggunaan berbagai bentuk deviasi (deviation) kebahasaan (Nurgiyantoro, 2010:274).
C. ANALISIS 1. Data Bahasa
Dalam tabel dibawah ini penulis telah mendaftarkan data bahasa dari beberapa puisi karya Bakdi Soemanto yang mengandung unsur deautomatisasi.
Kata Deautomatisasi
Menggetar Kecemasan menggetar daunan
yang hijau
dan harapan pada pucuk-pucuknya pucat pasi
Memantul Dan rel yang panjang itu
sesekali memantul cahya neon
Lentur Kita perlu lentur jiwa;
memberi sedikit bukan berarti kalah
Mencampak Dalam sajak
Kehidupan mencampak busur
Bermesra agaknya,
tidak ada alasan untuk tidak kembali bermesra
Meneduh Tetapi
bibir pula
meneduh gulana
di pucuk menara
sampai kepada si mati dan kita melupa diri 2. Data Analisis
Data analisis atau analisis data merupakan upaya peneliti menangani langsung masalah yang terkandung dalam data (Kesuma, 2007: 47). Metode analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian dengan tehnik agih. Tehnik agih (Kesuma, 54) yaitu metode analisis yang alat penentunya ada dalam dan merupakan bagian dari bahasa yang diteliti. Selain itu penulis juga menggunakan metode penelitian kualitatif yang menurut Dnzin dan Lincoln adalah data yang disikapi sebagai gejala verbal atau sesuatu yang dapat ditransposisikan sebagai data verbal, diorientasikan pada pemahaman makna, baik makna dalam arti sebagai ciri, hubungan sistemis, konsepsi, nilai, kaidah dan abstraksi pemahaman atas suatu realitas, dan mengutamakan peran peneliti sebagai instrument kunci maupun pembentuk makna (Amiruddin, 1999 dalam Ismawati, 2011: 10).
Dalam puisi karya Bakdi yang berjudul Cahaya Siang dan
Sajak Senja terdapat penyimpangan linguistik deautomatisasi pada
bait kedua;
Kecemasan menggetar daunan yang hijau
dan harapan pada pucuk-pucuknya pucat pasi (cahaya siang, 2007: 19),
Dan rel yang panjang itu
sesekali memantul cahya neon (sajak senja: 22)
Dalam kedua penggalan puisi diatas, kata menggetar dan
memantul merupakan penyimpangan linguistik dengan tujuan
estetika dimana secara makna sematik kata menggetar dan
memantul tidak memiliki makna sebagai kata kerja untuk kata
sebelumnya walaupun dalam kalimat diatas kata tersebut dimaksudkan sebagai kata kerja dari kata kecemasan dan rel yang
panjang. Akan tetapi jika kedua kata tersebut dinaturalisasikan, yaitu
dikembalikan pada bentuk aslinya agar mudah difahami pembaca tetapi akan menghilangkan nilai estetikanya, dengan memberikan
imbuhan akhiran –kan pada kata tersebut maka akan terlihat kejelasan makna kalimat yang sesuai sistem tanda bahasa, yaitu; kecemasan menggetarkan daunan yang hijau, dan dan rel yang panjang itu sesekali memantulkan cahya neon.
Dalam hal ini pengarang sengaja menggunakan kata
menggetar dan memantul untuk maksud estetika, yaitu meramu
sebuah kalimat untuk menjadi terlihat aneh dan indah serta makna yang terdapat pada penggalan puisi tersebut lebih sukar ditemukan.
Penyimpangan deautomatisasi dalam puisi lainnya yang berjudul Rumputan dan Topan. Dalam dua buah puisi ini, pada penggalan baitnya terdapat penyimpangan dimana penempatan kata tidak sesuai system linguistik standar;
Kita perlu lentur jiwa; memberi sedikit
bukan berarti kalah. (rumputan dan topan: 32)
Pada penggalan puisi tersebut, kata lentur secara makna semantik adalah sebuah adverbial dimana dalam kaidah standar bahasa Indonesia struktur kalimat kita perlu lentur jiwa kurang familiar dengan kaidah sintaksis, yaitu kata objek jiwa didahului oleh kata keterangan lentur. Penyimpangan struktur kalimat tersebut adalah sengaja untuk memunculkan nilai estetika dalam puisi tersebut. Dengan dibentuknya struktur kalimat yang dibuat secara aneh maka akan timbul keunikan bahasa dan akan memunculkan
ketertarikan pembaca pada saat membacanya. Jika
dinaturalisasikan, kata lentur ditempatkan setelah objek; kita perlu
jiwa yang lentur.
kita perlu lentur jiwa kita perlu jiwa yang lentur
S P A O S P O A
Atau dapat juga dengan merubah kelas kata adverbial lentur menjadi kata kerja “to infinitive” melenturkan tanpa merubah posisi kata, yang dalam kalimat akan menjadi; kita perlu melenturkan jiwa. Dengan struktur kalimat seperti ini, makna kalimat lebih mudah dipahami namun terjadi pengurangan nilai estetika.
Dalam satu penggalan karya sajak selanjutnya terdapat unsur deautomatisasi yaitu pada kata mencampak dalam salah satu puisi berjudul kata.
Kutipan sajak ini yaitu:
Dalam sajak
Kehidupan mencampak busur (Kata: 38)
Kata mencampak dalam aturan struktur kalimat dalam penggunaan sebuah bahasa sudah dapat dikatakan struktur bahasa tersebut benar, Namun dalam makna semantik, kata mencampak dalam struktur kalimat diatas menimbulkan efek foreground yaitu suatu efek dimana suatu makna kata dibuat menjadi tidak teratur. Bagaimana mungkin bisa kehidupan mencampak busur, sedangkan
kehidupan itu sebuah noun yang yang tidak dapat melakukan
pekerjaan, dan objek yang diderita yaitu kata busur tidak relevan dengan subjek yang mengenai pekerjaan. Akan tetapi, struktur kalimat diatas sudah memenuhi kaidah tatabahasa, yaitu Subjek (kehidupan) diikuti Predikat (mencampak) dan Objek (busur).
Struktur dalam kalimat tersebut bertujuan semata-mata sebagai fungsi estetika,dimana kata mencampak dimaksudkan untuk menimbulkan efek indah suatu bahasa yang dituangkan dalam sebuah puisi. Akan tetapi, kata tersebut dapat dinetralkan dengan teknik netralisasi. Jika kata mencampak dinaturalisasikan dalam penggalan puisi diatas, maka akan lebih terlihat mudah difahami dan tidak ada fungsi estetika bahasa apabila menggunakan kata
menanggalkan atau melepaskan. Dengan melakukan proses
naturalisasi kalimat kehidupan mencampak busur diganti dengan
kehidupan menanggalkan/melepaskan busur akan menjadi lebih
sederhana dan kehilangan nilai estetikanya tetapi kaidah kebahsaan yang dimuat sesuai.
Analisa terhadap unsur deautomatisasi yang selanjutnya adalah pada penggalan puisi yang berjudul “Di Lapangan Terbang, di Tengah Hari” yaitu pada kata bermesra. Perhatikan puisi di bawah ini.
Selama masih satu udara dan selama masih satu manusia agaknya,
tidak ada alasan untuk tidak kembali bermesra
Dalam penggalan puisi diatas terlihat sangat jelas unsur deautomatisasi pada kata terakhir penggalan puisi tersebut. Jika dibaca secara sekilas, kata bermesra dalam kalimat tidak ada alasan
untuk tidak kembali bermesra kurang sesuai apabila dikaitkan
dengan kaidah tata bahasa, akan tetapi kata tersebut megalami deautomatisasi dimana sebuah kata atau kalimat dibuat terlihat aneh dan tidak familiar serta menimbulkan keindahan. Dalam kata
bermesra terlihat kesengajaan pengarang menggunakan kata
tersebut dengan maksud estetika pada puisi tersebut. Fungsi estetika yang timbul pada kutipan puisi diatas yaitu dengan penggunaan kata verba yang tidak familiar digunakan dalam kaidah tata bahasa yang benar. Kata bermesra tidak termasuk pada kelas kata adverbia pada umumnya tetapi verba, akan tetapi jika diamati kata-kata sebelumnya terlihat bahwa kata bermesra mempunyai fungsi sebagai adverbia dari S tidak ada alasan serta diposisikan tidak sebagai predikat.
tidak ada alasan untuk tidak kembali bermesra
S P A
Jika kalimat tersebut dinaturalisasikan kedalam bahasa yang lebih sederhana maka akan menghilangkan efek deautomatisasi yang terdapat pada penggalan diatas dan begitupun dengan nilai estetika yang tampak menjadi memudar.
tidak ada alasan untuk tidak bermesraan kembali
Kata bermesra diganti dengan bermesraan dengan
menambahkan sufiks –an di akhir kata serta meruhan posisi kata memindahkan kata kembali menjadi dibelakang kata bermesraan. Dengan dinaturalisasikan demikian, maka kalimat pada penggalan puisi diatas tidak lagi mengandung deautomatisasi dan nilai keindahan, khususnya puisi.
Dalam satu puisi selanjutnya ini terdapat satu kata lagi yang bermakna deautomatisasi, yaitu pada puisi yang berjudul Bibir , penulis mengutip bagian yang berunsur deautomatisasi;
tetapi bibir pula
meneduh gulana
di pucuk menara (Bibir: 90)
Pada penggalan kata diatas, satu kata yang dicetak miring yaitu meneduh secara semantik termasuk ke dalam kelas kata ajektip (kata sifat). Apabila kata tersebut disisipkan dalam kalimat diatas menjadi meneduh gulana tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa karena kata meneduh merupakan ajektip dan dalam hal ini seolah kata itu sedang melakukan pekerjaan sebagai kata verba. Disini terlihat jelas efek deautomatisasi yang direkayasa oleh pengarang pada puisinya untuk menimbulkan nilai estetika pada kata sifat yang dibuat beroperasi sebagai verba.
Nilai estetika yang didadapat akibat dari efek deautomatisasi yang dilakukan pengarang pada karyanya itu memberikan kesan tertentu bagi pembaca pada saat membaca penggalan puisi tersebut. Kata meneduh tersebut sebenarnya dapat dinaturalisasikan untuk membentuk makna kalimat yang lebih sederhana dan sesuai kaidah tata bahasa menjadi meneduhkan dengan dilakukan penambahan suffuks/akhiran –kan sehingga merubah kelas kata ajektip menjadi verba.
bibir pula meneduh –kan gulana di pucuk menara
Dengan mengubah kelas kata menjadi verba maka akan terlihat lebih sesuai kaidah bahasa akan tetapi nilai estetika yang terkandung di dalam kutipan kalimat tersebut menjadi memudar. Hal seperti inilah yang dalam kajian linguistik dinamakan naturalisasi.
Dengan dinaturalisasikannya kalimat di atas maka efek
deautomatisasi atau making strange menjadi tidak ada.
Analisa selanjutnya masih pada puisi karya Bakdi Soemanto yang berjudul “Pernyataan”. Dalam penggalan puisi tersebut ditemukan unsur deautomatisasi yaitu pada kata melupa.
Tapi apakah yang kita cari sampai kepada si mati dan kita melupa diri
Efek deautomatisasi yang tampak pada kata melupa adalah sebagai tujuan estetika dalam puisi tersebut. Kata melupa dalam struktur kalimat pada penggalan bait diatas sesuai dengan kaidah struktur bahasa apabia dilihat dari kaidah makna sintaksis. Kata
melupa merupakan kelas kata verba, dan dalam kalimat kata
tersebut menjadi predikat dari subjek kita. Maka secara struktur kalimat pada puisi tersebut sudah benar. Akan tetapi, kata melupa itu sendiri terasa tidak familiar karena kata tersebut memang dibuat tidak sesuai kaidah bahasa yangkemudiah menimbulkan fungsi estetika pada kalimatnya.
Jika kata melupa dinaturalisasikan maka kata tersebut lebih tepat dengan penambahan suffiks –kan pada bagian akhir kata. dan jika dimuat dalam kalimat akan menjadi dan kita melupakan diri. Kata melupa yang diubah menjadi melupakan menghilangkan nilai estetika pada puisi tersebut dan unsur deautomatisasinya.
D. KESIMPULAN
Puisi merupakan salah satu karya sastra yang keberadaannya masih popular hingga sekarang. Penggunaan kaliat-kalimat pada puisi menjadi daya tarik tersendiri bagi para pembaca dan penikmat untuk menikmati suguhan bahasa yang dirangkum dalam tiap baitnya. Bagi
sebagian orang, puisi merupakan ekspresi jiwa untuk
mengungkapkan segala keluh kesah yang terjadi di kehidupan, puisi menggambarkan realitas yang ada di masyarakat. Akan tetapi, bagi sebagian lain puisi adalah sebuah karya yang enak untuk dibaca dan dapat menimbulkan kesenangan tersendiri pada setiap keunikan bahasa yang digunakannya. Keunikan bahasa tersebut dinamakan deautomatisasi.
Deautomatisasi, seperti yang telah diuraikan penulis
sebelumnya, menjadikan isi dan unsur bahasa yang tertuang dalam sebuah puisi menjadi memiliki nilai estetika. Nilai estetika tersebut akan muncul melalui pemakaian kata-kata yang dideautomatisasikan yaitu yang dibuat aneh dan tidak familiar akan tetapi tidak keluar konteks kalimatnya serta tidak menghilangkan makna dan tujuan dari kalimat yang bersangkutan.
Dalam kumpulan puisi karya Bakdi Soemanto ini, terdapat banyak unsure deautomatisasi yang kemudian diteliti oleh penulis dengan maksud untuk mengungkapkan dan memberikan pemahan
terhadap istilah deautomatisasi. Beberapa puisi yang berunsur deautomatisasi memuat bahasa yang bentuk tata bahasanya tidak sejalan dengan kaidah bahasa baku atau bahasa yang ada akan tetapi hal itulah yang penulis coba analisa dengan menggunakan pendekatan strukturalisme deautomatisasi ini.
Dari penelitan mengenai fungsi estetika dalam puisi-puisi Bakdi Soemanto ini, akan dapat menjadi referensi tambahan bagi penelitian lain yang objek kajian ataupun tema yang sama yang usung dalam rangka penelitian ilmu linguistic bahasa dan fenomenanya. Fenomena deautomatisasi adalah upaya untuk memberikan suatu efek keindahan dengan jalan menggunakan bahasa yang tidak biasa yang pada kesimpulannya akan tampak fungsi estetika yang terkandung dan termuat didalam bahasa tersebut. Jadi, deautomatisasi merupakan gejala linguistik untuk menampakkan nilai estetika pada sebuah bahasa yang dibentuk menjadi karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Beberapa Madzhab dan Dikotomi Linguistik. Bandung: Penerbit Angkasa. Print
Carter, David.2006. Literary Theory. Harpenden, Herts: Cox & Wyman. Print
Ismawati, Esti.2011. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra. Surakarta: Yuma Pustaka. Print
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Print
Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks. Print
Quirk, Randolph.2003. Longman Dictionary of Contemporary English. London, University College: Longman Press. Print Mukarovsky, Jan. “Standard Language and Poetic Language”.
http://nju.edu.cn/UploadFile/17/8076/standard.doc (diakses