• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUN PUSTAKA. A. Sikap Terhadap Pornografi. Thurstone, Likert, dan Osgood (dalam Azwar, 2002) mendefinisikan sikap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUN PUSTAKA. A. Sikap Terhadap Pornografi. Thurstone, Likert, dan Osgood (dalam Azwar, 2002) mendefinisikan sikap"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

18 BAB II

TINJAUN PUSTAKA

A. Sikap Terhadap Pornografi

1. Pengertian

Menurut Mar’at (1982) dalam pengertian umum, sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap objek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman, dan penghayatan individu.

Thurstone, Likert, dan Osgood (dalam Azwar, 2002) mendefinisikan sikap sebagai suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan terhadap objek baik mendukung atau tidak mendukung. Menurut Secord dan Backman (dalam Azwar, 2002), sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal pemikiran (kognitif), perasaan (afeksi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.

Gerungan (dalam Sunarto & Hartono, 2002) menyatakan bahwa sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku individu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa kecenderungan (predisposisi) tingkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut.

Hutagalung (2007), mendefinisikan sikap adalah cara individu melihat objek sikap ( seperti : orang, perilaku, konsep, benda, dan lain-lain) secara mental (dari dalam diri sendiri) yang mengarah pada perilaku yang ditujukan pada objek

(2)

sikap tersebut. Jika penilaian terhadap objek sikap adalah positif maka akan terpancar perilaku positif dari objek sikap yang dihadapi, sebaliknya jika penilaian terhadap objek sikap negatif maka akan terpancar perilaku negatif dari objek sikap yang dihadapi.

Chaplin (2011) mengartikan sikap sebagai predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku atau mereaksi dengan cara tertentu terhadap pribadi lain, objek, lembaga atau persoalan tertentu.

Sarwono (dalam Susanto, 2013) menjelaskan bahwa sikap adalah suatu kesiapan pada diri individu untuk bertindak secara tertentu yang bersifat positif atau negatif terhadap objek tertentu. Sikap positif mempunyai kecenderungan untuk bertindak mendekati, menyenangi dan mengharapkan objek tertentu, sedangkan sikap negatif mempunyai kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci dan tidak menyukai objek tertentu.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah bentuk penilaian individu pada suatu objek dengan melibatkan pemikiran (kognitif), perasaan (afektif), dan kecenderungan untuk merespon (perilaku/konatif) baik secara positif (mendukung) atau negatif (tidak mendukung).

Objek sikap dalam penelitian ini adalah pornografi. Kata pornografi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai dua pengertian yaitu : (1) penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; (2) bahan bacaan yang dengan sengaja dan

(3)

semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks. Definisi pornografi menurut Majelis Ulama Indonesia (dalam Muntaqo, 2006):

“Pornografi adalah visualisasi dan verbalisasi melalui media komunikasi, atau karya cipta manusia tentang perilaku atau perbuatan laki-laki atau perempuan yang erotis dan atau sensual dalam keadaan atau memberi kesan telanjang bulat, dilihat dari depan, samping atau belakang, penonjolan langsung alat-alat vital, payudara atau pinggul dan sekitarnya baik dengan penutup atau tanpa penutup, ciuman merangsang antar pasangan sejenis atau berlainan jenis baik antar muhram, atau antara manusia dengan hewan, atau antar binatang yang ditujukan oleh orang yang membuatnya untuk membangkitkan nafsu birtahi oranhg, atau antara manusia yang hidup dengan manusia yang telah meninggal dunia, gerakan atau bunyi atau desah yang memberi kesan persenggamaan atau percumbuan, gerakan masturbasi, onani lesbian, homoseksual, oral seks, sodomi, fellatio, cunningulus, coitus interuptus, yang berujuan dan atau mengakibatkan bangkitnya nafsu birahi dan atau menimbulkan rasa yang menjijikkan dan atau memuakkan dan atau memalukan bagi yang melihatnya dan atau mendengarnya dan atau menyentuhnya, yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama dan atau adat-istiadat setempat”.

Undang-undang Pornografi tahun 2008 menyebutkan:

“pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.

Menurut Armando (dalam Widarti, 2004), jenis media yang mengandung unsur pornografi di antaranya melalui media audio-visual (pandang-dengar) seperti program televisi, film layar lebar, laser disc, VCD, DVD, game komputer, atau ragam media audio visual lainnya yang dapat diakses di internet seperti: film-film yang mengandung adegan seks atau menampilkan artis yang tampil dengan pakaian minim, atau tidak (atau seolah-olah tidak) berpakaian; adegan pertunjukkan musik, penyanyi, musisi, atau penari latar hadir dengan tampilan dan gerak yang membangkitkan syahwat penonton, dan media yang lain.

(4)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pornografi adalah segala bentuk paparan yang berisi materi pornografi melalui berbagai media yang memuat kecabulan dan eksploitasi seksual dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, gambar bergerak, film, animasi, kartun, tulisan, atau bentuk pesan komunikasi lain yang membangkitkan nafsu birahi bagi yang melihat, mendengar, atau menyentuhnya serta melanggar kaidah-kaidah agama dan norma masyarakat yang berlaku.

Dari pengertian sikap dan pornografi di atas maka dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap pornografi adalah bentuk penilaian individu yang melibatkan pemikiran (kognitif), perasaan (afektif), dan kecenderungan untuk merespon (perilaku/konatif) baik secara positif (mendukung) atau negatif (tidak mendukung) terhadap segala jenis paparan pornografi melalui berbagai media yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual. Sikap negatif individu ditunjukkan dengan menjauhi, membenci, dan tidak menyukai pornografi. Sebaliknya sikap positif diwujudkan dengan mendekati dan menyenangi pornografi.

2. Komponen-komponen Sikap terhadap Pornografi

Menurut Azwar (2016) terdapat 3 (tiga) komponen sikap yang mengacu dari pendapat Mann yaitu :

a. Komponen kognitif

Komponen kognitif berisi penilaian terhadap obyek sikap yang dipercaya individu sebagai steorotipe atau sesuatu yang terpolakan dalam

(5)

pikiran. Apabila penilaian terhadap obyek negatif atau tidak baik maka objek akan membawa asosiasi pola pikir itu. Pola pikir yang sudah terbentuk akan menjadi dasar pengetahuan (kepercayaan) individu terhadap apa yang diharapkan dari objek tertentu. Hutagalung (2007) menyatakan komponen kognitif berisi tentang pengetahuan, fakta, dan keyakinan individu terhadap objek sikap.

Contoh : individu yang mengetahui dan memahami bahwa banyak fakta yang menunjukkan bahaya pornogafi, maka individu akan bersikap negatif terhadap pornografi dengan tidak menyenangi dan menjauhi paparan pornografi. b. Komponen Afektif

Komponen afektif melibatkan masalah emosional subyektif individu terhadap suatu objek sikap. Hutagalung (2007) menyatakan bahwa komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi individu terhadap obyek sikap, terutama penilaian. Tumbuhnya rasa senang atau tidak senang ditentukan oleh ‘keyakinan’ individu terhadap objek sikap.

Contoh : individu merasa jijik atau tidak suka dengan paparan pornografi di berbagai media.

c. Komponen Perilaku (konasi)

Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bahwa perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri individu berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Perilaku individu banyak dipengaruhi oleh kepercayaan dan perasaan terhadap stimulus tertentu.

(6)

Kecenderungan berperilaku secara konsisten, sejalan dengan kepercayaan dan perasaan akan membentuk sikap individual.

Menurut Hutagalung (2007) komponen perilaku terdiri dari kesiapan individu untuk bereaksi atau kecenderungan untuk bertindak terhadap objek. Bila individu menyenangi suatu objek, maka ada kecenderungan untuk mendekati objek, demikian juga sebaliknya.

Contoh : individu yang tidak menyukai pornografi maka tidak akan mengakses paparan pornografi.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sikap individu terhadap pornografi meliputi komponen kognitif (keyakinan, penilaian), komponen afektif (perasaan tidak suka, membenci) dan perilaku (menjauhi, mendekati). Sikap negatif akan ditunjukkan dengan menghindari dan tidak menyukai pornografi. Sebaliknya sikap positif terhadap pornografi akan ditunjukkan dengan mendekati dan menyenangi pornografi.

Menurut Mar’at (1982), sikap memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Sikap didasarkan pada konsep evaluasi berkenaan dengan objek tertentu,

menggugah motif untuk berperilaku.

b. Sikap digambarkan dalam berbagai kualitas dan intesitas yang berbeda dan bergerak secara kontinyu dari positif melalui areal netral ke arah negatif. c. Sikap lebih dipandang sebagai hasil belajar daripada sebagai hasil

perkembangan atau sesuatu yang diturunkan. Sikap diperoleh dari interaksi objek sosial atau peristiwa sosial.

(7)

d. Sikap memiliki sasaran tertentu, konkrit maupun abstrak atau dapat bersifat langsung dan tidak langsung.

e. Tingkat keberpaduan sikap adalah berbeda-beda. Sikap yang saling terpaut akan membentuk kelompok (kluster) yang merupakan subsistem sikap.

f. Sikap bersifat relatif menetap dan tidak berubah

Berdasarkan pandangan dari 2 (dua) teori di atas, peneliti memilih menggunakan komponen-komponen sikap Azwar (2016) sebagai acuan teori penyusunan alat ukur untuk mengetahui sikap terhadap pornografi pada siswa SMP, yang terdiri dari komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen perilaku. Pemilihan terhadap komponen-komponen sikap yang dijabarkan oleh Azwar (2016) dikarenakan definisi setiap komponen lebih operasional sehingga lebih mudah dipahami dan lebih jelas dijabarkan/diamati dalam mengungkapkan adanya indikator-indikator sikap terhadap pornografi pada siswa SMP dibandingkan dengan teori dari Mar’at (1982).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Siswa terhadap Pornografi Menurut Azwar (2016) faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perubahan sikap sebagai berikut:

a. Pengalaman Pribadi

Pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap. Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi terjadi dalam situasi yang melibatkan emosional, karena

(8)

penghayatan akan pengalaman terasa lebih mendalam dan lebih lama membekas.

Contoh: individu yang sudah terbiasa dengan paparan pornografi dan merasa nyaman dengan paparan tersebut maka individu bisa bersikap positif terhadap pornografi.

b. Pengaruh Orang Lain Yang Dianggap Penting

Sikap remaja akan dipengaruhi oleh orang yang berarti khusus (significant others) dalam menetukan sikap terhadap objek tertentu. Bagi remaja peran orang yang dianggap penting diharapkan bisa memberikan persetujuan akan sikap yang diambilnya. Orang yang dianggap penting bagi remaja adalah orang tua, guru, teman sebaya, dan keluarga dekat.

Contoh: remaja yang bergaul dengan teman-teman yang terbiasa melihat pornografi, awalnya sekedar ikut-ikutan bisa terbawa menjadi bersikap positif terhadap pornografi karena bagi individu teman-teman mendukung paparan pornografi.

c. Pengaruh Kebudayaan

Kebudayaan memiliki pengaruh besar dan pengarah terhadap pembentukan sikap dari berbagai masalah yang dihadapi individu. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakat, karena kebudayaan yang memberi corak pengalaman individu sebagai anggota kelompok masyarakat. Kepribadian individu yang matang dan kuat dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan sikap individu.

(9)

Contoh: budaya orang Timur yang awalnya memandang pornografi sebagai suatu hal tabu, dengan adanya pengaruh budaya Barat (yang cenderung menyetujui pornografi) sekarang mulai bergeser, adegan ciuman dalam sinetron Indonesia menjadi suatu hal yang biasa ditayangkan di televisi.

d. Media Massa

Media massa sebagai sarana komunikasi, seperti : televisi, radio, surat kabar, internet, dan lain-lain, memberikan informasi baru dan pesan-pesan sugestif berpengaruh terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang.

Wiryanto (dalam Muntaqo, 2006) menjelaskan bahwa, teory Hypodermic Needle Model menyebutkan:

“Media massa diibaratkan sebagai sebuah jarum suntik besar yang memiliki kapasitas sebagai perangsang (stimulus) yang amat kuat dan menghasilkan tanggapan (response) yang kuat pula, bahkan secara spontan, otomatis serta reflektif”.

Contoh: Televisi, internet, dan video/film, merupakan media yang dapat menimbulkan efek yang lebih besar, karena mampu memperlihatkan dan memperdengarkan sesuatu atau tayangan. Tayangan-tayangan tersebut menunjukkan pro-pornografi.

e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem berpengaruh dalam pembentukan sikap individu karena keduanya sebagai peletak dasar pengertian dan konsep moral dari dalam individu. Pemahaman akan baik dan buruk, halal dan haram, garis pemisah antara sesuatu yang boleh

(10)

dan tidak boleh dilakukan diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajarannya.

Menurut An Nahlawi (1996) sekolah merupakan sistem yang di dalamnya mengajarkan moral dan ajaran agama, nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, perintah dan larangan, kaidah adab dan akhlaq. Syari’at dalam ajaran Islam sebagai pengontrol sikap dan perilaku bagi seorang muslim, sebagai acuan utama ketika dihadapkan pada suatu masalah, misalnya pergaulan remaja. Pengembangan kontrol tersebut dapat disempurnakan melalui pengkajian ilmu di lembaga pendidikan dan lembaga agama dengan motivasi menuju ketaqwaan kepada Allah. Menurut Wardani (2017) nilai-nilai moral dijabarkan dari agama. Sarwono (2006) menjelaskan bahwa religiusitas merupakan nilai-nilai ajaran agama yang berfungsi sebagai pengendali moral. Dister (dalam Darokah & Safaria, 2005) mengungkapkan bahwa religiusitas sebagai keberagamaan individu yang menunjukkan tingkat pemahaman, pengamalan, pelaksanaan, dan penghayatan ajaran agama secara terus-menerus.

Jalaluddin (2016) menyatakan bahwa fungsi dan peran sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Jalaluddin dan Ramayulis (dalam Jalaluddin, 2016) memaparkan, berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young, walaupun pendidikan agama di keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak namun terbukti bahwa pendidikan keagamaan (religious pedagogic) sangat memengaruhi tingkah laku keagamaan (religious behavior). Menurut Prasetyo (2015) pembiasaan nilai-nilai religius di sekolah diharapkan mampu meningkatkan dan memperkokoh

(11)

nilai ketauhidan individu, pengetahuan agama dan praktik keagamaan. Pengetahuan agama yang diperoleh di sekolah tidak hanya dipahami sebagai sebuah pengetahuan saja akan tetapi nilai-nilai pengetahuan agama mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

Menutut Zuhairini (dalam Oktiana, 2014) tugas guru dalam lembaga pendidikan (sekolah) disamping memberikan ilmu pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan juga mendidik siswa beragama dan berbudi pekerti luhur. Hal ini dimaksudkan agar siswa muslim memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu memiliki jiwa keberagamaan (religiusitas) dalam aspek aqidah, ibadah, maupun amaliyah.

Contoh: siswa menjaga sikap yang diperbolehkan dan dilarang oleh agama, seperti menjauhi berbagai tayangan pornografi, karena pornografi mendekati zina yang sangat dilarang oleh agama.

f. Faktor Emosional

Terkadang sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai penyaluran emosi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego, dan ini bersifat sementara akan tetapi bisa merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.

Contoh: sikap anti pornografi akan muncul terkait pemahaman bahwa pornografi bisa menyebabkan kecanduan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap pornografi adalah: fakor pengalaman pribadi,

(12)

pengaruh orang lain yang dianggap penting, kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan agama, serta faktor emosional.

Meninjau faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap pornografi di atas, peneliti kemudian memilih faktor religiusitas yang ditanamkan dan dikembangkan oleh lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai variabel bebas.

B. Religiusitas 1. Pengertian

Religi atau agama bukanlah merupakan sesuatu yang tunggal, tetapi merupakan sistem yang terdiri dari beberapa aspek. Kata ‘agama’ dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti peraturan hidup. Agama dalam bahasa Inggris ‘religion’ yang berarti beraneka. Religion dari bahasa Latin ‘religio’ untuk menggambarkan keyakinan. Maksudnya dalam religi (agama) pada umumnya terdapat aturan dan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk mengikat hubungan individu terhadap Tuhan, sesama manusia dan alam sekitar (Subandi, 2016). Agama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan aturan-aturan syari’at tertentu, sedangkan dalam KBBI online, agama berarti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan antar manusia, serta manusia dengan lingkungannya.

(13)

Al-Marbawi (dalam Nurmayani, 2013) menyatakan bahwa, Agama disebut dengan Ad Diin, artinya agama, hisab, hal, adat, hukum, jalan, tadbir, wara’, dan balasan. Dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum: 30, Allah berfirman yang artinya:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus, tetapi manusia tidak mengetahuinya”.

Pengertian agama menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2011) adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang dilembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning).

Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Meski berakar kata sama, namun dalam penggunaannya istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan religi atau agama. Agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban, religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu di dalam hati (Mangunwijaya, dalam Wahaningsih, 2013)

Pengertian religiusitas menurut Dister (dalam Darokah & Safaria, 2005) diartikan sebagai keberagamaan individu yang menunjukkan tingkat pemahaman, sejauh mana individu mengamalkan, melaksanakan, dan menghayati ajaran-ajaran agamanya secara terus-menerus.

Menurut Ahyadi (dalam Amin, 2010) religiusitas meliputi rasa keagamaan, pengalaman ketuhanan, sikap, dan tingkah laku keagamaan yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian yang melibatkan aspek afektif, kognitif, konatif, dan motorik. Sedangkan Daradjat (dalam Rifqi, 2011)

(14)

berpendapat bahwa religiusitas merupakan sistem yang kompleks dari kepercayaan keyakinan dan sikap-sikap serta upacara-upacara yang menghubungkan individu dengan satu keberadaan atau kepada sesuatu yang bersifat ketuhanan.

Proyser ( dalam Jalaluddin, 2016) berpendapat bahwa religiusitas lebih bersifat personal dan mengatasnamakan agama mencakup ajaran-ajaran yang berhubungan dengan Tuhan. Religiusitas (rasa keberagamaan) diajarkan di semua agama baik Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha (Jalaluddin, 2016).

Ancok dan Suroso (2011) menjelaskan bahwa keberagamaan atau religiusitas Islam diwujudkan dalam berbagai aktifitas kehidupan manusia. Aktifitas beragama bukan hanya pada saat individu melaksanakan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga aktifitas amaliyah yang tampak maupun aktifitas ruhiyah yang tidak tampak. Aktiftas agama meliputi banyak dimensi, yaitu: keyakinan (aqidah), peribadatan (ibadah), pengetahuan (ilmu), pengamalan (akhlak), dan dimensi penghayatan (ihsan).

Menurut Nashori (dalam Reza, 2013) religiusitas Islam adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa benar pelaksanaan ibadah dan kaidah, seberapa dalam penghayatan atas agama Islam, dan seberapa luas tingkat pengamalannya.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah komitmen akan nilai-nilai ajaran agama, rasa keagamaan, pengalaman ketuhanan, sikap, dan tingkah laku keagamaan. Internalisasi nilai-nilai ajaran ditunjukkan dengan seberapa luas tingkat pengetahuan agama, seberapa kokoh tingkat

(15)

keyakinan, seberapa benar tingkat pelaksanaan ibadah dan kaidah, seberapa dalam tingkat penghayatan atas ajaran agama, dan seberapa luas tingkat pengamalan bagi sesama manusia dan alam sekitar.

2. Dimensi Religiusitas

Konsep religiusitas menurut Glock & Stark (dalam Subandi, 2016) mencakup lima dimensi yaitu :

a. Religious Belief (the ideological dimension), atau Dimensi Keyakinan yaitu tingkatan sejauh mana individu menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamnya, berkaitan dengan apa yang harus diyakini, misalnya kepercayaan adanya Tuhan, malaikat, surga, dsb. Kepercayaan atau doktrin agama adalah dimensi yang paling mendasar

b. Religious Practice (The ritualistic dimension) atau Dimensi Peribadatan , yaitu dimensi keberagaman yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban ritual keagamaan yang harus dilakukan. Ritual keagamaan tersebut sudah ditetapkan oleh agama, seperti: dalam Islam dikenal dengan rukun Islam, tata cara ibadah, pembaptisan, pengakuan dosa, berpuasa, atau menjalankan ritual-ritual khusus pada hari-hari suci.

c. Religious Feeling (experience dimension), atau dimensi Pengalaman dan penghayatan dalam beragama, yaitu dimensi yang berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama atau seberapa jauh seseorang dapat menghayati pengalaman dalam ritual agama yang dilakukannya,

(16)

misalnya kekhusyukan ketika melakukan sholat, perasaan takut berbuat berdosa, dan lain-lain.

d. Religious Knowledge (the intelectual dimension), atau Dimensi Pengetahuan yaitu berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Dalam Islam seperti: Ilmu Fiqh, Ilmu Tauhid, dan lain-lain.

e. Religious Effect (the Consequential Dimension), atau Dimensi Pengamalan yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku individu dimotivasi oleh ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Ancok dan Suroso (2011) dengan mengacu pada dimensi keberagamaan Glock dan Starck, religiusitas Islam meliputi lima dimensi yaitu : a. Dimensi keyakinan atau akidah Islam, menunjuk pada seberapa tinggi tingkat

keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran Islam. Menyakini tentang rukun iman, yaitu yakin kepada Allah SWT, para malaikat, para rasul/nabi, kitab-kitab Allah, hari akhir/kiamat, serta qodho dan qodar.

b. Dimensi pengetahuan atau ilmu, menunjuk pada seberapa tinggi tingkat pemahaman muslim terhadap ajaran Islam, terutama pokok-pokok ajaran Islam, seperti : rukun iman, rukun Islam, tarikh atau sejarah Islam, hukum-hukum Islam, dan lain sebagainya.

c. Dimensi pribadatan atau syari’ah (ibadah) menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan muslim dalam melaksanakan kegiatan ritualnya, seperti : sholat, puasa, haji, dan lain-lain.

(17)

d. Dimensi pengamalan (akhlak), menunjuk pada seberapa tingkat aplikasi muslim dalam bersikap dan berperilaku (bermuamalah) dengan manusia dan lingkungannya, seperti: menjenguk tetangga yang sakit, menolong yang membutuhkan, dan lain-lain.

e. Dimensi penghayatan atau pengalaman (ihsan), menunjuk pada seberapa dalam muslim mengalami atau merasakan pengalaman religius. Dimensi ini terwujud dalam perasaan, seperti: dekat dengan Allah, merasa dikabukan atas doa-doa yang dipanjatkan, perasaan berserah diri, merasa diawasi Allah dalam setiap perbuatan dan lain-lain pengalaman ruhiyah yang dirasakan.

Ancok & Suroso (2011) menjelaskan hubungan antar dimensi sebagai berikut: agar dimensi ketauhidan atau aqidah harus terjaga maka individu harus melengkapi dengan dimensi pengetahuan (Ilmu) . Dimensi ilmu adalah prasayarat terlaksananya dimensi peribadatan (syariah) dan dimensi pengamalan (akhlak). Dimensi penghayatan (pengalaman) adalah dimensi yang menyertai keyakinan, pengamalan, dan peribadatan.

Pada penelitian ini konsep yang digunakan oleh peneliti adalah dimensi religiusitas Islam yang disebutkan oleh Ancok dan Suroso (2011). Penggunaan dimensi tersebut didasarkan dari penggunaan subyek dalam penelitian ini yang merupakan siswa muslim, sehingga sesuai dengan pandangan Ancok dan Suroso (2011) yang membatasi konsep dimensi religiusitas untuk individu dengan keyakinan ajaran Islam. Terdapat 5 (lima) dimensi yaitu : dimensi keyakinan (akidah), dimensi peribadatan (syariat), dimensi pengetahuan (ilmu), dimensi pengamalan (akhlak), dan dimensi penghayatan (ihsan).

(18)

C. Hubungan Antara Religiusitas dengan Sikap terhadap Pornografi pada Siswa Muslim SMP Negeri 15 Yogyakarta

Jalaluddin (2016) menyatakan bahwa manusia membutuhkan agama karena selaku mahluk Tuhan dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang dibawa sejak lahir, salah satunya adalah kecenderungan keberagamaan (hidayat al-Diniyyat). Potensi keberagamaan manusia harus dibimbing ke arah yang benar supaya tidak sesat. Risalah kenabian merupakan pedoman dan bimbingan yang paling absah untuk menyalurkan potensi keberagamaan, yaitu tunduk kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Bimbingan diarahkan pada nilai imani dan nilai-nilai amali. Menurut Jalaluddin (2002) bimbingan religiusitas pada remaja hendaknya berorientasi pada pendekatan psikologis dan perkembangan remaja sesuai dengan karekteristik yang dimiliki remaja sehingga bisa mengarahkan remaja pada kebenaran. Afrianti (dalam Rahmawati dkk, 2002) menyebutkan bahwa remaja yang hidup di zaman sekarang lebih sering bergesekan dengan materi pornografi yang makin banyak beredar seiring dengan kebebasan media dan pers, karena itulah remaja membutuhkan agama sebagai pengendali dirinya dalam memantapkan kepribadian dan dapat mengontrol sikap dan perilakunya.

Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang mengatur norma tertentu dan secara umum menjadi panduan dalam bersikap dan berperilaku agar sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya (Jalaluddin, 2016). Keyakinan terhadap agama sebagai salah satu aspek (dalam penelitian ini dimensi) religiusitas, berperan penting dalam bersikap dan berperilaku pada diri remaja (Mason & Spoth dalam Steelman, 2011). Keyakinan ajaran agama akan

(19)

mendorong pemeluknya untuk bersikap bertanggung jawab atas perbuatannya (Andisty & Ritandiyono dalam Palupi, 2013).

Jalaluddin (2016) menjelaskan bahwa pengaruh sistem nilai etik dalam agama terhadap kehidupan yang telah diinternalisasikan sebagai nilai pribadi dirasakan oleh individu sebagai prinsip keberagamaan (religiusitas) yang menjadi pedoman hidup. Nilai etik ajaran agama dalam realitasnya memiliki pengaruh dalam mengatur, pola berpikir, pola bersikap, dan pola perilaku. Tindakan individu menjadi terikat oleh ketentuan antara hal yang boleh dan tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya dan menjadi keyakinan individu. Menurut Daradjat (dalam Reza, 2013) nilai-nilai moral yang tegas, pasti dan tetap, tidak berubah karena keadaan, tempat dan waktu, adalah nilai yang bersumber kepada agama.

Jalaluddin (2016) menyatakan bahwa nilai-nilai ajaran agama ditujukan pada pembentukan kepribadian, yang diaplikasikan dalam sikap dan perilaku. Penanaman religiusitas yang dilakukan sejak usia dini menurut pandangan Islam sangat efektif. Bimbingan religiusitas yang terpadu diharapkan akan membentuk individu yang beriman dan beramal sholeh. Furter (dalam Mönks, 2014) menegaskan bahwa remaja semestinya mengerti tentang nilai-nilai etika moral dan menjalankan dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi nilai-nilai pribadi, termasuk di dalamnya nilai-nilai ajaran agama. Nashori (dalam Reza, 2013) menyatakan bahwa salah satu dimensi religiusitas Islam adalah seberapa jauh individu mengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam.

(20)

Bakri (dalam Prasetyo, 2015) menyebutkan bahwa pemahaman dan internalisasi nilai-nilai budaya religius pada diri siswa akan memperkokoh imannya dan aplikasi nilai-nilai keislaman tersebut dapat tercipta dari lingkungan sekolah. Sekolah berkewajiban membangun budaya religius untuk mempengaruhi sikap, sifat, dan tindakan siswa secara tidak langsung, sehingga siswa punya karakter yang religius. Menurut Rahmawati (2002), sejalan dengan taraf perkembangan intelektual, siswa dapat menginternalisasi penilaian moral dan nilai ajaran agama sebagai nilai pribadi. Nilai dari ajaran agama tersebut kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sarwono (2006) menyatakan bahwa religiusitas mempunyai peran yang besar dalam pembentukan sikap dan perilaku remaja, karena salah satu fungsi agama adalah sebagai pengendali moral yang akan mengawasi segala tindakan dan perasaan. An Nahlawy (1996) menegaskan bahwa jika syariat Islam telah terpatri dalam diri dan perasaan individu, maka syariat akan menjadi pengontrol perilaku individu dan menjadikan syariat sebagai acuan individu ketika dihadapkan pada suatu masalah, seperti: pergaulan bebas, pornografi, dan lain-lain. King dkk & Oset dkk (dalam Santrock, 2011) telah menemukan bahwa religiusitas memiliki sejumlah dampak positif bagi remaja. Salah satunya yaitu dalam mencegah mengakses pornografi di internet.

Ancok & Suroso (2011) menjelaskan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran agama terkait pokok-pokok ajaran Islam harus diimani dan diamalkan. Pengetahuan dan pemahaman diniyah akan menjadi pedoman bagi individu, seperti Islam melarang mendekati zina, termasuk

(21)

mendekati pornografi (QS: Al-Israa’:32). Menurut Muntaqa (2006), salah satu bagian dari aktifitas pornografi dan pornoaksi adalah memperlihatkan aurat, aktifitas tersebut dilarang dalam Islam. Aurat laki-laki adalah semua yang berada di antara pusar dan lutut, sedangkan aurat perempuan seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan kaki (QS: An-Nuur:31).

Amin (2010) menyatakan bahwa individu yang berpegang pada keyakinan Islam secara kuat dan melaksanakan nilai-nilai ajaran agama dengan baik atau dengan kata lain individu memiliki religiusitas yang baik, maka individu akan memiliki filter yang cukup kuat untuk membendung serbuan pornografi dari media massa, seperti: televisi, internet, video, film, dan lain-lain.

Religiusitas bisa mempengaruhi sikap terhadap pornografi dapat dijelaskan dengan teorinya Jalaluddin (2016) yang menyatakan bahwa agama berpengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu perbuatan, karena perbuatan yang dilakukan dinilai mempunyai unsur kesucian serta ketaatan. Keterkaitan ini akan memberi pengaruh individu untuk berbuat sesuatu. Agama di dalamnya mengandung nilai-nilai dan moral yang mengajarkan ketaatan pada Allah. Menurut Reza (2013) religiusitas pada remaja diwujudkan melalui intensitas dari serangkaian pelaksanaan ibadah. Menurut Isa & Manshur (2014), ibadah adalah bentuk ketundukkan dan kepatuhan pada Allah SWT. Taat menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Muntaqa (2006) menjelaskan bahwa Islam memerintahkan umatnya untuk menjaga pandangan (dari yang haram) dan memelihara kehormatannya (QS: An-Nuur: 30). Salah satu

(22)

laranganNya adalah mendekati zina (QS: Al Isra’: 32). Bila dikaitkan dengan penelitian ini mendekati pornografi sama dengan mendekati zina.

Mahfudz (dalam Muntaqa, 2006) menjelaskan bahwa segala hal yang mendekatkan dan membuat dekat dengan zina dilarang dalam Islam. Pornografi maupun pornoaksi merupakan langkah awal untuk mendekati dan mendorong melakukan zina, sehingga seluruh aktivitas dan yang melingkupinya harus dilarang. Menurut sebagian besar ulama, pelarangan aktivitas pornografi dan pornoaksi dikhawatirkan terjadinya perbuatan zina. Menurut Muntaqa (2006) Islam melarang untuk melihat atau memperlihatkan aurat (tabarruj), mendekati atau mendekatkan diri pada perbuatan zina (qurbuzzina), serta perintah untuk menjaga kehormatan, tertuang jelas dalam Al Qur’an, hadits, serta dalam kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh. Djubaedah (2009) menegaskan bahwa pornografi dalam perspektif hukum Islam haram hukumnya.

Wardaya (2016) menegaskan dengan membentengi agama dan budi pekerti melalui penanaman nilai-nilai agama, moral, dan akhlak sejak usia dini serta meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa diharapkan siswa bisa menjauhi pornografi.

Di dalam gambar 1 berikut ini akan djelaskan dengan skema dinamika hubungan antara religiusitas dengan sikap terhadap pornografi pada siswa muslim SMP Negeri 15 Yogyakarta:

(23)

Gambar 1

Hubungan Religiusitas dengan Sikap terhadap Pornografi

Sikap terhadap Pornografi AGAMA (Keyakinan) RELIGIUSITAS (Nilai-nilai Moral Ajaran Agama) Kognitif (keyakinan/ pemahaman tentang pornografi) Afektif (suka/tidak suka dengan pornografi Konasi (kecenderungan mendekati/ menjauhi pornografi) Taat, Tunduk, & Patuh pada Ajaran

Agama:

- Melaksanakan perintahNya - Menjauhi laranganNya

(seperti:menjauhi pornografi & tidak mendekati zina)

(24)

Penelitian Rahmawati & Avianti (2002) menunjukkan bahwa pemahaman dan pengamalan nilai-nilai serta ajaran-ajaran agama Islam yang sudah terinternalisasi dalam kehidupan remaja muslim ternyata berkorelasi negatif dengan kecenderungan perilaku mengakses situs porno. Steelman (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa remaja dengan internalisasi ajaran agama yang baik cenderung jarang melihat pornografi baik disengaja maupun tidak disengaja. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, internalisasi ajaran agama meliputi lima dimensi religiusitas, yaitu: aqidah (keyakinan: Allah Maha melihat), peribadatan (syariah: sholat, puasa) , akhlaq (pengamalan: menjauhi pornografi), diniyah (pengetahuan agama, tentang perintah dan larangan), dan ihsan (penghayatan ajaran agama: perasaan berdosa bila melanggar aturan Allah).

Hawari (2013) menyebutkan salah satu ciri-ciri individu yang memiliki religiusitas tinggi, yaitu: individu akan merasa gelisah ketika melakukan sesuatu yang dilarang oleh-Nya. Individu akan merasa malu ketika berbuat sesuatu yang tidak baik meskipun tidak ada yang melihat, tetapi merasakan bahwa Allah Maha Melihat dan Mengawasi. Individu dapat membedakan mana yang halal dan mana yang haram, karena petunjuk pelaksanaan semua aspek kehidupan termaktub dalam kitab suci Al Quran. Bila dikaitkan dengan penelitian ini, diharapkan siswa merasa malu dan takut bila terpapar pornografi.

Apabila melihat paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara religiusitas dengan sikap terhadap pornografi.

(25)

D. Hipotesis

Dari uraian sebelumnya, maka diajukan hipotesis dalam penelitian ini yaitu: Ada hubungan negatif antara religiusitas dengan sikap terhadap pornografi pada siswa muslim SMP Negeri 15 Yogyakarta. Semakin tinggi religiusitas siswa maka semakin negatif sikap siswa terhadap pornografi, sebaliknya semakin rendah religiusitas siswa maka semakin positif sikap siswa terhadap pornografi.

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang serupa ditemukan oleh Januarti (2008) yang menunjukkan bahwa opini audit sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern,

[r]

Guru Dapat melakukan input pelanggaran,edit profil,melihat laporan pelanggaran persiswa,perkelas,rekap pelanggaran,melihat jadwal bimbingan kasus, melihat hasil

2. Khudzaifah Dimyati, SH, M.Hum, Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberi ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian. Sutama,

The result of the reserach showed that learning models to enhance character education for entrepreneurship at Depok 2 Vocational High School was using a role modelling,b

Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah game dapat meningkatkan perilaku jujur siswa SMPS Babul Maghfirah Aceh

pengecilan lumen dan statis hasil sekresi kelenjar. Statis ini akan mencetuskan infeksi sekunder oleh Staphylococcus aureus. Terjadi pembentukan nanah dalam lumen

Sikap gereja/Kristen yang anti pada kebudayaan karena kebudayaan berasal dari dunia yang.. penuh dosa, merupakan sikap