1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Trichinellosis adalah zoonosis akibat infeksi cacing nematoda Trichinella spp., tersebar hampir di semua benua dan dapat menyebabkan kematian pada kasus berat. Beberapa data menyebutkan Trichinella spp. menginfeksi hewan domestik (terutama babi) di 43 negara (21.9%), sedangkan infeksi pada satwa liar telah didokumentasikan di 66 negara (33.3%). Trichinellosis pada manusia telah dilaporkan di 55 negara (27.8%) di seluruh dunia (Pozio 2007). Diperkirakan sekitar 11 juta orang terinfeksi Trichinella yang secara rutin dilaporkan di berbagai negara di dunia (Dupouy-Camet 2000). Data terbaru dari wabah trichinellosis yang dilaporkan, terjadi 65818 kasus pada manusia di 41 negara antara tahun 1986-2009 (Murrell dan Pozio 2011). Adanya kasus trichinellosis berdampak terhadap ekonomi serta kesehatan masyarakat. Pada tahun 1998, biaya yang dikeluarkan secara global untuk mendeteksi infeksi Trichinella pada babi diperkirakan $3.00 (€2.10) per babi. Pengendalian infeksi Trichinella pada 190 juta babi yang dipotong di 15 negara Uni Eropa memiliki dampak ekonomi sekitar $570 juta (€388 juta) /tahun (Pozio 1998). Di Amerika Serikat, program sertifikasi bebas Trichinella pada ternak memerlukan biaya $0.25 sampai $0.70 (€0.16 - €0.48) per babi (Pyburn et al. 2005).
Trichinellosis merupakan penyakit penting yang bersumber dari makanan serta dapat menimbulkan gejala penyakit akut dan kronis. Manusia dapat terinfeksi larva Trichinella melalui proses mengonsumsi daging yang tidak dimasak dengan sempurna (tidak matang). Semua spesies Trichinella, kecuali dari spesies non-encapsulated (T. pseudospiralis, T. papuae, dan T. zimbabwensis), sangat patogenik pada manusia (Jongwutiwes et al. 1998; Kociecka 2000). Meskipun trichinellosis secara historis terkait dengan daging babi, namun saat ini munculnya trichinellosis sebagai zoonosis juga terkait dengan meningkatnya konsumsi daging hewan liar (Foreyt 2013). Kebiasaan mengonsumsi daging asal hewan yang terinfeksi berperan penting dalam penularan Trichinella mengingat kemampuan parasit ini menginfeksi hampir di semua mamalia (Pazio et al. 2009).
Manifestasi klinis trichinellosis kompleks dan tergantung pada umur host, kondisi resistensi, serta jumlah larva yang ditelan. Umumnya gejala klinis muncul antara 1 dan 6 minggu setelah infeksi (Capo dan Despommier 1996). Gambaran klinis trichinellosis pada manusia bervariasi dan dipengaruhi oleh jumlah larva infektif yang ditelan, strain Trichinella yang terlibat, serta berbagai faktor terkait individu host seperti usia, jenis kelamin, dan status kekebalan (Pawlowski 1983; Ljungstrom et al. 1998).
Terdapat tiga tahap atau fase penyakit pada manusia yaitu fase enteral atau intestinal, fase migrasi atau fase invasi mukosa, serta fase parenteral (Gould 1983). Selama fase enteral, larva dilepaskan saat tertelan kista dan menyerang dinding usus halus, kemudian larva menjadi cacing dewasa. Kebanyakan orang yang terinfeksi pada fase enteral menderita diare ringan dan mual. Selama fase enteral, jika larva yang tertelan dengan jumlah yang rendah maka tidak terlihat gejala klinis penyakit. Tanda-tanda klinis lainnya menyerupai gangguan usus, seperti keracunan makanan (Foreyt 2013).
Pada fase migrasi, 2 hingga 6 minggu setelah infeksi, newborn larva masuk ke peredaran darah vena dan bermigrasi melalui jaringan, menyebabkan kerusakan mekanis jaringan serta menimbulkan respon alergi dari hostnya dengan tanda dan gejala yang berbeda dari fase enteral. Peningkatan jumlah sel darah putih (eosinofil) muncul sekitar 2 minggu setelah infeksi. Kerusakan pembuluh darah dapat menyebabkan oedema lokal di wajah dan tangan. Hal ini sering terjadi sepanjang fase migrasi, jika orang yang terinfeksi tidak mendapatkan pertolongan medis. Pada fase migrasi sebagian besar penderita tidak mengalami gejala apapun di tahap awal infeksi. Selama fase migrasi penderita sering mengalami kesulitan berjalan, bernapas, mengunyah, serta menelan. Infeksi berat terutama pada otot masseter, otot lidah, diafragma, laring dan leher, parainterkostalis, serta terjadi insersi otot tendon dan sendi kapsul (Foreyt 2013). Pada infeksi berat, terlihat tanda dan gejala seperti demam tinggi dan nyeri otot hebat serta pembengkakan otot. Larva dapat menyerang otot jantung atau jaringan saraf, menyebabkan miokarditis, neuritis, dan gangguan sistem saraf pusat. Tanda-tanda neurologis umum meliputi sakit kepala, vertigo, tinnitus, kehilangan kemampuan berbicara, kemampuan tulis serta kejang (Capo dan Despommier 1996). Kematian pada manusia biasanya berhubungan dengan kerusakan pada otot jantung serta terjadi antara minggu ketiga dan minggu kelima setelah infeksi.
Fase parenteral dimulai saat masuknya sel perawat (nurse cell) dan sel dewasa ke formasi jaringan otot. Penderita mengalami beberapa tanda atau gejala seperti penurunan berat badan serta kelelahan selama masa pemulihan antara minggu ke-5 sampai minggu ke-6 setelah mengonsumsi daging yang terinfeksi. Penderita yang menelan larva dalam jumlah yang besar dapat menderita efek dari infeksi hingga 10 tahun setelah pemulihan (Harms et al. 1993). Larva tetap berada dalam nurse cell dan memiliki kista selama beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah pemulihan dari gejala klinis penyakit (Pawlowski 1983). Beberapa penderita, setelah fase pemulihan mengalami depresi serta lelah yang berkepanjangan akibat efek psikologis dari infeksi. Terapi mental dianggap penting untuk meyakinkan penderita bahwa mereka dapat kembali normal terlepas dari keberadaan larva berkista di otot mereka (Pawlowski 1983).
Siklus hidup semua spesies pada genus Trichinella terdiri dari dua generasi dalam host yang sama serta mencakup spesies host yang luas diantaranya mamalia, burung, dan reptil. Trichinella spiralis merupakan spesies yang sangat adaptasi pada babi domestik, babi liar, dan tikus dalam siklus hidupnya. Trichinella spiralis memperlihatkan penyebaran secara global dan luas, serta merupakan penyebab terpenting penyakit di manusia (Pozio dan Murrel 2006). Pada siklus domestik dan siklus silvatik, T. spiralis tersebar secara luas hingga karnivora liar serta menjadi asal siklus hidup pada populasi host domestik (Pozio 2001). Babi yang terinfeksi Trichinella pada siklus domestik merupakan sumber infeksi utama untuk hewan-hewan sinantropik (misalnya tikus, kuda, kucing tanpa pemilik, dan anjing).
T. spiralis membutuhkan hanya satu host untuk siklus hidupnya, yaitu larva dan tahap dewasa terjadi pada organ yang berbeda. Infeksi terjadi akibat mengonsumsi daging, terutama daging yang tidak dimasak dengan sempurna yang mengandung larva bentuk pertama. Larva dilepaskan dari kapsulnya di duodenum oleh aksi dari enzim pencernaan induk semang saat tertelan. Larva berpenetrasi dan melakukan absorpsi pada sel goblet mukosa, kemudian melakukan perubahan
dalam waktu 30-36 jam serta mengalami dewasa seksual (Natasa et al. 2006). Setelah melakukan perkawinan, cacing jantan keluar dari host, cacing betina berlindung di dalam mukosa dan submukosa, kadang-kadang masuk dalam saluran limfatik menuju limfonodus mesenterium.
Sekitar 5 hari setelah tertelan, larva infektif host di cacing betina dewasa ovovipar mengandung larva tahap pertama (Natasa et al. 2006). Larva tahap pertama (L1) dibawa oleh pembuluh darah limfatik ke sisi sebelah kanan jantung pada pembuluh darah vena. Larva masuk peredaran perifer lewat hati dan dibawah ke berbagai jaringan tubuh. Larva masuk hanya ke otot khususnya otot diafragma, otot mandibula, lidah, laring, dan mata, serta berkembang menuju tahap infektif (Wakelin dan Denham 1983). Penetrasi ke sel otot dan sebagai parasit intraseluler pada miofibril terjadi sekitar 6 hari setelah infeksi. Setelah penetrasi, beberapa perubahan terjadi di dalam serabut otot kontraktil seperti hilangnya miofibril, degenerasi mitokondria, meningkatnya retikulum endoplasma halus, penyempitan nukleus, dan pembentukan lingkungan kompleks larva. Kista berbentuk seperti massa nukleus sekitar larva dikenal sebagai nurse cell yang merupakan sel perawat atau penyokong pertumbuhan larva. Larva menggulung, menyerap nutrisi dari sarkoplasma otot host sekitar hari ke 17-21 (Natasa et al. 2006). Jaringan kapiler sekitar host dan kompleks nurse cell menjadi sumber pertumbuhan larva. Larva yang mengalami pertumbuhan secara cepat dengan berkembang sekitar 1 mm dan puncaknya pada minggu ke-8, yang mana larva menjadi infektif. Enkapsulasi dimulai sekitar hari ke-21, yang mana larva diselubungi oleh dua bentuk kapsul ellipsoidal (0.26-0.4 mm). Membran terluar kapsul berkembang dari sarkolema, sementara membran terdalam dari kombinasi miofibril degeneratif serta sel lainnya seperti fibroblast. Formasi kapsul menjadi lengkap sekitar 3 bulan.
Tahap akhir, kapsul menjadi terkalsifikasi yang merupakan sebuah proses lebih awal 6 bulan setelah infeksi serta membutuhkan waktu 18 bulan untuk penyelesaian proses kalsifikasi. Larva T. spiralis dapat hidup selama beberapa tahun jika kalsifikasi diperlambat. Selama pembentukan kapsul, larva yang tertutup dapat bertahan lama. Ketika otot yang mengandung larva enkapsul termakan oleh karnivora atau mamalia, larva keluar serta kembali pada siklus hidupnya (Bogitsh et al. 2005).
Kasus trichinellosis di kawasan Asia Tenggara mulai banyak dilaporkan, namun kasus di Indonesia masih sangat sedikit. Identifikasi Trichinella secara serologis pada penduduk di Pulau Bali menunjukkan reaksi seropositif pada sampel 19.5% (Chomel et al. 1993). Kebiasaan masyarakat lokal memasak atau memanggang daging babi hingga matang di daerah Tapanuli (Sumatera Utara) cukup efektif menghambat transmisi ke manusia (Pazio 2001). Agen penyebab trichinellosis pada babi lokal di Pulau Bali dan Sumatera tidak pernah teridentifikasi, meskipun dilaporkan T. spiralis. Wilayah Asia Tenggara lain yaitu di Singapura, wabah trichinellosis terjadi pada 84 siswa dan guru saat berkunjung ke sebuah pulau di Malaysia tahun 1998 (Kurup et al. 2000). Wabah trichinellosis terjadi pada manusia di Laos yang terdata pada 51 orang akibat mengonsumsi daging babi terinfeksi dan telah didokumentasikan pada tahun 1975 (Pazio 2001). Trichinellosis juga muncul pada babi di Myanmar (Watt et al. 2000), tetapi prevalensi infeksinya tidak diketahui. Kasus trichinellosis pada manusia juga ditemukan di Bensbach Papua Nugini bagian barat, dan T. papuae
terdeteksi pada babi liar. Prevalensi secara serologi terdeteksi pada orang yang tinggal di 6 desa di daerah tersebut sebesar 28.9% berdasarkan metode ELISA menggunakan antigen tyvelose sintetis (Pazio 2001).
Kasus terbaru trichinellosis yang terjadi di kawasan Asia Tenggara yang dilaporkan adalah di Thailand, Vietnam dan Malaysia. Seroprevalensi infeksi Trichinella pada babi di Thailand yang dilaporkan adalah sebesar 4%, 19.9% di Vietnam serta seroprevalensi sebesar 2% di Malaysia (Chandrawathani et al. 2010). Kerugian ekonomi akibat infeksi parasit Trichinella tidak dapat diabaikan seperti di Cina, lebih dari 500 wabah trichinellosis yang terjadi pada 20000 orang menyebabkan 213 orang meninggal. Di Thailand dalam 27 tahun terakhir, dilaporkan terjadi 120 wabah yang melibatkan hampir 6700 pasien serta menyebabkan 97 orang meninggal (Gajadhar dan Gamble 2000).
Populasi babi di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 1739481 ekor, dengan populasi di wilayah Kota Kupang sendiri sebanyak 25426 ekor (BPS NTT 2013). Kejadian trichinellosis sangat mungkin terjadi di peternakan babi di Kota Kupang, dan apabila ditemukan kasus trichinellosis pada babi akan berdampak besar terhadap kelangsungan peternakan babi dan menjadi ancaman kesehatan masyarakat di Kota Kupang. Kajian secara epidemiologi perlu dilakukan untuk mengembangkan strategi pengawasan dalam menghindari penularan ke manusia. Data prevalensi Trichinella spp. pada peternakan babi di Kota Kupang sangat terbatas.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi keberadaan parasit Trichinella spp. pada ternak babi di wilayah Kota Kupang, (2) identifikasi jenis Trichinella yang terdapat pada ternak babi di Kota Kupang sebagai langkah awal untuk pemetaan di wilayah NTT dan dijadikan acuan untuk studi epidemiologi trichinellosis di wilayah NTT lainnya, (3) identifikasi seroprevalensi trichinellosis pada babi menggunakan metode indirect ELISA, serta (4) mengetahui profil peternakan babi dan faktor-faktor yang berpotensi terhadap penularan trichinellosis
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan (1) memberikan informasi pada masyarakat tentang trichinellosis, bahaya yang ditimbulkan serta cara pencegahan dan penanggulangannya, (2) meningkatkan kesadaran masyarakat NTT khususnya Kota Kupang akan bahaya penyakit yang bersifat zoonotik terutama yang berasal dari hewan seperti trichinellosis, (3) meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan pemerintah akan peluang timbulnya penyakit infeksi new-emerging dan reemerging (PINERE).
4
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini seperti yang tertuang dalam tujuan penelitian. Untuk mencapai tujuan penelitian dilakukan beberapa tahap kegiatan penelitian antara lain tahap 1; Pemeriksaan laboratorium untuk melakukan identifikasi prevalensi trichinellosis dengan metode uji atau pemeriksaan langsung sampel otot babi di Rumah Potong Hewan (RPH) Oeba milik Pemerintah Daerah Kota Kupang dengan metode pemeriksaan pooled sample digestion menggunakan cara magnetic stirrer method. Hasil positif dari pemeriksaan pooled sample digestion dilanjutkan dengan pemeriksaan individu sampel otot babi menggunakan metode kompresi. Hasil pemeriksaan dengan metode kompresi akan diketahui berapa besar prevalensi trichinellosis di wilayah Kota Kupang serta identifikasi dari spesies Trichinella. Pemeriksaan secara serologis dengan metode indirect ELISA juga dilakukan untuk mengetahui berapa besar seroprevalensi trichinellosis yang terindikasi di wilayah Kota Kupang.
Tahap selanjutnya yaitu survei kuisioner terhadap beberapa peternak babi di 6 kecamatan di wilayah Kota Kupang. Survei kuisioner dilakukan untuk melihat secara garis besar profil peternakan babi di Kota Kupang dengan melihat beberapa aspek terkait dengan manajemen pemeliharaan. Tahap terakhir penelitian ini yaitu analisa data hasil uji laboratorium dan survei kuisioner. Ruang lingkup penelitian secara garis besar disajikan dalan diagram alir penelitian (Gambar 1).
Gambar 1 Diagram alir pemeriksaan laboratorium Tahap Pertama : Pemeriksaan Laboratorium
SAMPEL
376 sampel @ 10 ml darah 330 sampel otot Massetermasing-masin 15-20 g
Serum melalui sentrifugasi Metode digesti (10 sampel yang digabung, masing- masing 5 gr )
Identifikasi dengan indirect ELISA
Positif Diragukan Negatif
Pengulangan Identifikasi dengan indirect ELISA Dibuang Positif Positif Negatif Metode Kompresi (Sampel individu) Larva terlihat
Capsulated atau non-capsulated larva Trichinella Dibuang Larva Trichinella spp. SEROPREVALENSI IDENTIFIKASI PREVALENSI
Tahap Kedua : Survei kuisioner
Gambar 2 Diagram alir survei kuisioner pada peternakan babi di Kota Kupang
Tahap Ketiga : Analisis data
Gambar 3 Diagram alir analisis data secara keseluruhan tahapan penelitian Pengumpulan data terkait kasus
trichinellosis yang dijadikan parameter kuisioner
Wawancara pendahuluan 10 responden peternak di 6 kecamatan di Kota Kupang
Validasi data untuk melihat validatas dan reabilitas pertanyaan yang diajukan
Survei kuisioner menggunakan daftar isian pertanyaan yang telah divaliditas terhadap 60
responden peternak
Analisa data kuisioner secara deskripsi gambaran profil peternakan di Kota Kupang terhadap potensi penularan trichinellosis
Data hasil pemeriksaan pooled sample digestion dengan magnetic stirrer method pada 330 sample otot
Data hasil pemeriksaan individual dengan metode kompresi dari sampel positif hasil pemeriksaan pooled sample digestion
Data hasil survei kuisioner
Kesimpulan umum dari hasil analisa data terkait kejadian trichinellosis di Kota kupang 6