• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI. Allah baik dalam bentuk prinsip-prinsip atau dalam bentuk yang lebih terperinci,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI. Allah baik dalam bentuk prinsip-prinsip atau dalam bentuk yang lebih terperinci,"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1. Pengertian Syari’at Islam

Secara sederhana Islam didefinisikan sebagai tuntutan, bimbingan dan aturan Allah baik dalam bentuk prinsip-prinsip atau dalam bentuk yang lebih terperinci, guna memandu perilaku manusia dalam berhubungan dengan Allah, dalam berhubungan dengan dirinya sendiri, dalam hubungan dengan sesama manusia di sekitarnya baik yang muslim maupun yang non-muslim dan juga dalam berhubungan dengan alam lingkungannya. Mahmud Syaithut salah seorang ulama kontemporer membagi ajaran Islam menjadi dua bagian besar: Aqidah dan Syari’ah. Sedangkan sebagian ulama yang lain membagi ajaran Islam menjadi tiga bagian yaitu: Aqidah, Syari’ah dan Akhlak. Pembagian ini berasal dari sebuah hadis yang menjelaskan makna Iman (Aqidah), Islam (Syari’ah) dan Ihsan (Akhlak).

Syari’ah adalah ajaran dan tuntutan mengenai tata peraturan kehidupan. Bagaimana cara seorang muslim menyembah Allah (ibadah), bagaimana seorang muslim berinteraksi dengan keluarga dan kerabat (hukum perkawinan dan kekeluargaan), bagaimana hidup bertetangga dengan banyak orang, hidup dalam masyarakat yang berbudaya, bagaimana setiap orang harus menahan diri, tidak berbuat semaunya sehingga masyarakat tetap aman dan tenteram termasuk aturan tentang pemerintahan, pembagian kekuasaan (kewenangan) dan pendelegasiannya, begitu juga bagaimana memperlakukan dan memanfaatkan alam sehingga bermanfaat untuk manusia dan tidak mendatangkan bencana.

(2)

Secara garis besar Syari’ah mengatur segala aspek kehidupan sosial baik kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat. Hukum Syari’ah merupakan suatu sistem kewajiban yang bersifat total yang tidak dapat dibandingkan dengan ilmu hukum modern yang dikenal dengan hukum buatan manusia. Sebaliknya syari’ah bersumber dari Al-qur’an dan As-Sunnah yang mencakup segala bidang hukum baik perdata maupun pidana dan bahkan aturan-aturan terperinci mengenai bersuci dan melakukan shalat (Smith dalam Eva Ramadani, 2008:12).

Karakteristik yang paling kuat dari hukum-hukum Syari’ah adalah bahwa ia memiliki keluasan dan sanksi yang tidak didapati dalam hukum buatan manusia. Setiap hukum dari Syari’ah didasarkan pada satu atau beberapa ajaran Islam. Islam memerintahkan kepada setiap muslim untuk membentuk kata-katanya, perbuatan, tingkah lakunya, akhlaknya, kebiasaannya, hubungan-hubungannya sesuai dengan prinsip Islam. Hukum-hukum Syariah sangat erat berhubungan dengan keimanan dan ideologi Islam (Santoso dalam Ramadani, 2008: 13).

2.1.1. Tujuan Syari’at Islam

Secara umum hukum Islam bertujuan untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan mereka pada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan diakhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat, yakni yang tidak berguna bagi kehidupan manusia.

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan pelaksanaan Syari’at Islam, yaitu:

(3)

1. Tujuan yang ingin dicapai karena alasan agama (teologis). Bagi umat Islam melakukan Syari’at Islam secara kaffah dalam hidup keseharian, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan kemasyarakatan adalah perintah Allah dan kewajiban suci yang harus diupayakan dan diperjuangkan.

2. Secara psikologis masyarakat akan merasa aman dan tenteram, bahwa yang mereka anut dan amalkan, kegiatan yang mereka jalani dalam pendidikan, kehidupan sehari-hari dan seterusnya sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri.

3. Dalam bidang hukum, masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.

4. Dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial, bahwa kesetiakawanan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid, masyarakat diharapkan akan lebih rajin bekerja, lebih hemat dan juga bertanggung jawab (Abubakar, 2005: 66-67)..

2.1.2. Tahap Perubahan Pada Penerapan Syari’at Islam

Perubahan berarti suatu proses yang mengakibatkan keadaan sekarang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Perubahan bisa berupa kemunduran dan bisa berupa kemajuan/progress (Syani dalam Ramadani, 2008: 20).

Perubahan adalah suatu peristiwa yang menyangkut perubahan posisi unsur-unsur suatu sistem sehingga struktur sistem tersebut berubah, dapat mengenai nilai dan norma-norma sosial, pola-pola, kelakuan, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, interaksi sosial dan lainnya

(4)

(Soekanto, 1982 dalam Ramadani, 2010 : 19). Yang dimaksud dengan perubahan disini adalah perubahan dimana awalnya Syari’at Islam hanya dilaksanakan atas kesadaran pribadi seseorang dan tidak ada kekuatan yang dapat memaksanya. Namun kini ada campur tangan negara dalam pelaksanaan Syari’at Islam yang telah diformalkan melalui Perda No.5 tahun 2000. Melalui Perda tersebut Syari’at Islam harus dijalankan oleh seluruh anggota masyarakat.

Tahap selanjutnya hukum Syari’at islam disosialisasikan kepada masyarakat untuk diketahui dan dipatuhi. Hal ini merupakan suatu penguatan agar Syari’at islam dapat diterapkan secara kaffah.

2.2. Fungsi Agama

Menurut Shcarf (1995) sosiologi melihat agama sebagai salah satu dari institusi sosial, sebagai sub-sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah satu pranata sosial (sosial institution). Posisi agama dalam suatu masyarakat bersama-sama sub-sistem lainnya (seperti sub-sistem ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain) mendukung terhadap eksistensi masyarakat. Agama tidak dilihat berdasarkan apa dan bagaimana isi ajaran dan doktrin keyakinan, melainkan bagaimana ajaran dan keyakinan agama itu dilakukan dan terwujud dalam prilaku para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari (Fakhruddin, 2010 : 15).

Perilaku keagamaan sesungguhnya merupakan perilaku yang terdapat dalam alam kenyataan dan karenanya dapat diamati dan diteliti, bila fenomena sosial berubah maka akan diikuti perubahan fenomena keagamaan, dan sebaliknya keduanya saling berkaitan secara erat (Bellah dalam Fakhruddin, 2010 : 19)

(5)

Horton dan Hunt (1991) melihat agama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya lebih dari perilaku moral. Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak melulu memikirkan kepentingan dirinya sendiri, melainkan juga memikirkan kepentingan orang bersama (Fakhruddin, 2010 : 19)

2.3. Pengertian Remaja

Remaja dalam bahasa Latin adalah adolescence, yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Istilah adolescence sesungguhnya mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental,emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1991). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1991) yang mengatakan bahwa secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar (http://annisakarliana.blog.com/2010/01/06/pengertian-remaja/, 19/05/2010).

Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Namun jika pada usia remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong dalam dewasa atau bukan lagi remaja. Sebaliknya, jika usia sudah bukan lagi remaja tetapi masih tergantung pada orang tua (tidak mandiri), maka dimasukkan ke dalam kelompok remaja.(http://groups.google.com/group/ukm_psikologi/web/definisi-remaja,

19/05/2010).

Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya

(6)

dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Menurut Adams & Gullota, masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1991) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.

Anna Freud berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

(http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/remaja.html, 19/05/2010).

2.4. Teori Gaya Hidup

Gaya hidup menurut Kotler adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia. Menurut Assael, gaya hidup adalah “A mode of living that is identified by how people spend their time (activities), what they consider important in their environment (interest), and what they think of themselves and the world around

(7)

them (opinions)”. Secara umum dapat diartikan sebagai suatu gaya hidup yang dikenali dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting orang pertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang pikirkan tentang diri sendiri dan dunia di sekitar (opini).

Sedangkan menurut Minor dan Mowen, gaya hidup adalah menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu. Selain itu, gaya hidup menurut Suratno dan Rismiati (2001) adalah pola hidup seseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapat yang bersangkutan. Gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan. (http://www.membuatblog.web.id/2010/04/pengertian-gaya-hidup.html, 19/05/2010).

Istilah gaya hidup (lifestyle) sekarang ini kabur. Sementara istilah ini memiliki arti sosiologis yang lebih terbatas dengan merujuk pada gaya hidup khas dari berbagai kelompok status tertentu, dalam budaya konsumen kontemporer istilah ini mengkonotasikan individualitas, ekspresi diri, serta kesadaran diri yang semu. Tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, pilihan makanan dan minuman, rumah, kendaraan dan pilihan hiburan, dan seterusnya dipandang sebagai indikator dari individualitas selera serta rasa gaya dari pemilik atau konsumen (Fatherstone, 2005 dalam Sudarwati & Hastuti, 2007).

Weber mengemukakan bahwa persamaan status dinyatakan melalui persamaan gaya hidup. Di bidang pergaulan gaya hidup ini dapat berwujud pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain adanya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai pula

(8)

oleh adanya berbagai hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material. Kelompok status dibeda-bedakan atas dasar gaya hidup yang tercermin dalam gaya konsumsi. Weber mengemukakan bahwa kelompok status merupakan pendukung adat, yang menciptakan dan melestarikan semua adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat (Sunarto, 2000: 93).

Perbedaan gaya hidup ini tidak hanya dijumpai pada hierarki prestise, tetapi juga pada hierarki kekuasaan dan privilise. Kita melihat bahwa setiap kelas sosial pun menampilkan gaya hidup yang khas. Ogburn dan Nimkoff (1958) menyajikan suatu sketsa dari majalah Life yang menggambarkan bahwa lapisan bawah (low-brow), menengah bawah (lower middle-brow), menengah atas (upper middle-brow) dan atas (high-brow). Masing-masing mempunyai selera yang khas dalam pakaian, hiburan, perlengkapan rumah tangga, makanan, minuman, bacaan, selera seni dan musik.

Berdasarkan penelitian Lucky Lutvia (2001) mengenai gaya hidup remaja di Kota Bandung, disimpulkan bahwa remaja saat ini dipengaruhi oleh hal-hal berikut: 1. Transformasi Budaya

Budaya massa atau budaya populer yang berkembang melalui media massa elektronik dan cetak sangat berpengaruh terhadap pilihan gaya hidup seseorang, misalnya gaya berbusana, gaya berbicara atau bahasa, selera hiburan seperti musik dan film. Trend tersebut begitu bebas mengalir mempengaruhi setiap pemirsa maupun pembacanya, ditambah lagi dengan acara musik dari luar negeri yang diolah dalam video klip televisi, yang secara visual bisa kita lihat penampilan penyanyi dan pemain musiknya. Cara mereka berdandan dan berbusana sudah pasti sesuai dengan budaya mereka (Lutvia, 2001 dalam Sudarwati & Hastuti, 2007).

(9)

2. Mengadopsi Gaya dari Barat

Ini banyak dipengaruhi oleh selebritis dalam negeri melalui iklan-iklan, film, dan sinetron yang dilihat dan akhirnya ditiru oleh remaja. Seperti istilah gaya funky, punk rock, metal, skaters, hip hop, sporty, streetwear, dan ska beserta penggunaan aksesorisnya yang mereka tiru sebagai usaha untuk mengaktualisasikan dirinya serta seolah-olah ingin mensejajarkan diri dengan bintang idolanya. Walaupun begitu remaja juga ada yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, budaya dan kehidupan sosialnya.

Sedangkan menurut Purnomo Mangku (2004) Gaya hidup masyarakat desa dipengaruhi juga oleh mobilitas geografis seperti urbanisasi, imigrasi. Mobilitas geografis yang dimaksud adalah suatu keadaan di mana seseorang pernah menetap di luar tempat tinggalnya. Mobilitas geografis seseorang ke kota, misalnya, dapat mempengaruhi gaya hidup karena kota dianggap merupakan suatu tempat yang memungkinkan seseorang yang bersinggungan dengannya mendapatkan perluasan atau penambahan berbagai macam pengalaman dan pengetahuan baru. Ini terkait dengan realitas bahwa kota memiliki keanekaragaman budaya yang dapat ditiru oleh orang desa (Purnomo, 2004 dalam Sudarwati & Hastuti, 2007).

Dalam ilmu-ilmu sosial, studi atas remaja pertama kali dilakukan oleh sosiolog Talcott Parsons pada awal 1940-an. Berbeda dengan anggapan umum bahwa remaja adalah kategori yang bersifat alamiah dan dibatasi secara biologis oleh usia, menurut Parsons remaja adalah sebuah sebuah konstruksi sosial yang terus-menerus berubah sesuai dengan waktu dan tempat (Barker, 2000 dalam Sudarwati & Hastuti, 2007).

(10)

Grossberg (1992) menganggap bahwa yang menjadi persoalan adalah bagaimana kategori remaja diartikulasikan dalam wacana-wacana lain, misalnya musik, gaya hidup, kekuasaan, harapan, masa depan dan sebagainya. Jika orang-orang dewasa melihat masa remaja sebagai masa transisi, menurut Grossberg remaja justru menganggap posisi ini sebagai sebuah keistimewaan di mana mereka mengalami sebuah perasaan yang berbeda, termasuk di dalamnya hak untuk menolak melakukan rutinitas keseharian yang dianggap membosankan.

Hampir sama dengan pendapat itu, Dick Hebdige dalam Hiding in the Light (1988) menyatakan bahwa remaja telah dikonstruksikan dalam wacana “masalah” dan “kesenangan” (remaja sebagai pembuat masalah dan remaja yang hanya gemar bersenang-senang). Misalnya, dalam kelompok pendukung sepakbola dan geng-geng, remaja selalu diasosiasikan dengan kejahatan dan kerusuhan. Di pihak lain, remaja juga direpresentasikan sebagai masa penuh kesenangan, di mana orang bisa bergaya dan menikmati banyak aktivitas waktu luang.

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18598/1/har-jan2007-1%20(5).pdf, 20/2/2011).

2.5. Teori Struktural Fungsional

Struktural fungsional memunculkan asumsi tentang hakikat manusia. Didalam fungsionalisme, manusia di perlukan sebagai abstraksi yang menduduki status dan peranan yang membentuk stuktur sosial. Didalam perwujudannya, struktural fungsional memperlakukan manusia sebagai pelaku yang memainkan ketentuan-ketentuan yang telah dirancang sebelumnya sesuai dengan norma-norma/aturan-aturan masyarakat. Artinya manusia dibentuk oleh struktur sosial dimana ia hidup,

(11)

yang didalam melakukan tindakannya manusia memiliki beberapa pilihan/alternatif yang secara sosial dimantapkan oleh tuntutan-tuntutan normatif. Dengan demikian manusia merupakan aktor-aktor yang memiliki kebebasan yang luas untuk melakukan apa yang mereka inginkan dan bukan sebagai robot-robot otomatis yang tindakan-tindakannya benar-benar telah ditentukan sebelumnya (Poloma, 2001 :45).

Pendekatan struktural fungsional di bangun atas asumsi bahwa masyarakat merupakan organisasi. Karena itu penekanan dari pendekatan ini pada umumnya diberikan kepada institusi sosial. Disamping itu teori ini cendrung memusatkan perhatian pada fungsi yang harus dipenuhi oleh setiap sistem yang hidup untuk kelestariannya.

Disamping menggunakan teori fugsional Parsons, peneliti juga menggunakan teori fungsional Robert K Merton yang menjelaskan bahwa analisis srtuktural fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat dan kultur. Perbedaan analisa Parsons dan Merton terletak pada kajian Merton mengenai disfungsional serta fungsi manifest dan fungsi latent, dimana semua itu belum di jelaskan oleh Parsons. Merton menyatakan bahwa setiap objek yang dapat dijadikan sasaran analisis struktural fungsional tentu mencerminkan hal yang standar (artinya terpola dan berulang). Sasaran studi struktural fungsional adalah : peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultur, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktural sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial dan sebagainya. Dimana struktur sosial lebih dipusatkan pada fungsi sosial dibandingkan motif individual. Fungsi itu sendiri didefenisikan sebagai

(12)

konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang dapat menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem itu. (Merton dalam Ritzer 2004: 142)

Dalam pembahasan mengenai struktur sosial, Merton mengemukakan bahwa dalam struktur sosial dan budaya di jumpai tujuan, sasaran dan kepentingan yang didefenisikan sebagai tujuan yang sah bagi seluruh atau sebagian anggota masyarakat. Institusi dan struktur budaya mengatur cara yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Merton struktur sosial tidak hanya menghasilakan perilaku konformis, tetapi menghasilkan pula perilaku menyimpang nonkonform. (Merton dalam Kamanto 2000:186)

Ketika menjelaskan teori fungsional, Merton menunjukan bahwa struktur mungkin bersifat disfungsional untuk sistem secara keseluruhan. Dengan demikian tidak semua srtuktur diperlukan untuk berfungsinya sistem sosial, dimana akibat yang tidak diharapkan tidak sama dengan fungsi yang tersembunyi. Fungsi tersembunyi adalah satu jenis dari akibat dari yang tidak diharapkan, satu jenis fungsional untuk jenis tertentu. (Merton dalam Ritzer 2004:142)

Parsons dalam menyatakan bahwa kenyataan sosial dari suatu perspektif tidak terbatas pada tingkat struktur sosial saja. Sistem sosial hanya salah satu dari sistem-sistem yang termasuk dalam perspektif keseluruhan; sistem-sistem kepribadian dan sistem-sistem budaya merupakan sistem-sistem yang secara analitis dapat di bedakan, juga termasuk di dalamnya seperti halnya dengan organisme perilaku, sistem sosial terbentuk dari tindakan-tindakan sosial individu. Inti pemikiran Parsons adalah bahwa:

(13)

2. Tindakan terjadi dalam situasi dimana beberapa elemennya sudah pasti, sedangkan elemen-elemen lainnya digunakan oleh yang bertindak itu sebagai alat mencapai tujuan itu.

3. Secara normatif tindakan itu di atur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan.

Singkatnya tindakan itu dilihat sebagai satuan kenyataan sosial yang paling kecil dan yang paling fundamental. Komponen-komponen dasar dari satuan tindakan adalah tujuan, alat, kondisi dan norma. Alat dan kondisi berbeda dalam hal dimana orang yang bertindak itu mampu menggunakan alat dan usahanya mencapai tujuan; kondisi merupakan aspek situasi yang tidak dapat dikontrol oleh yang bertindak itu. Ide-ide mengenai hakikat tindakan sosial sesuai dengan pikiran sehat dan pengalaman sehari-hari. Pasti banyak orang mengenal tindakannya sendiri sebagai tujuan yang di atur secara normatif dan banyak pula yang mengakui bahwa situasi dimana tindakan itu terjadi dan juga penting. (Parsons dalam Doyle 1986 : 103)

2.6. Sosialisasi

Kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem adalah proses internalisasi dan sosialisasi. Sosialisasi merupakan sarana tempat pola-pola kebudayaan, nilai-nilai, kepercayaan, bahasa, dan lembaga-lembaga lainnya diinternalisasikan kedalam sistem kepribadian, sehingga mencakup struktur tujuannya (Soekanto, 2002: 415).

(14)

Sosialisasi dianggap berhasil apabila norma dan nilai telah diinternalisasikan (internalized). Artinya, norma dan nilai telah menjadi bagian dari “kesadaran” individu dan pada akhirnya dalam mengejar kepentingannya sendiri individu sebenarnya mengabdi kepada kepentingan bersama sebagai satu kesatuan.

Sosialisasi akan berlangsung terus-menerus didalam kehidupan dimana pelaksanaan sosialisasi tidak akan lepas dari agen-agen sosialisasi sebagai pihak yang melaksanakan sosialisasi. Peran agen sosialisasi dalam menerapkan nilai-nilai kepada individu melatarbelakangi pembentukan sikap individu tersebut dalam merespon sebuah permasalahan sosial.

Secara optimal, peraturan disosialisasikan untuk memperjelas dan merinci orientasi peran timbal balik dan harapan yang berhubungan dengan hukum, bukan untuk melembagakan kepatuhan yang tidak jelas. Tujuannya adalah untuk mendorong efisiensi accommodative, dan pengembangan peraturan resmi yang berprinsip antara individu dan sistem hukum. Pendidikan berfungsi bagi masyarakat daripada agen sosialisasi biasa. Sedangkan secara tradisional rumah dan sekolah telah dikenal sebagai agen sosialisasi utama nilai-nilai etika dan pendidikan, kemampuan, meningkatkan kembali hukum sebagai institusi pendidikan (Soekanto, 1985 : 118-120).

Dalam hal merespon penerapan Syari’at Islam, nilai-nilai yang diperoleh dari agen-agen sosialisasi merupakan dasar pijakan dan sumber acuan utama bagi masyarakat dalam menentukan sikap dirinya, sehingga akan melahirkan respon yang berbeda-beda (Ramadani, 2008 : 25). Sosialisasi Syari’at Islam diperlukan sebagai

(15)

proses dimana seorang individu dapat memahami hukum Islam, kemudian menentukan sikap dan persepsinya terhadap penegakan Syari’at Islam.

Agar sosialisasi dapat berjalan teratur dan intensif, pemerintah Aceh memiliki lembaga sosialisasi yang diberi tugas khusus untuk melakukan sosialisasi Syari’at Islam kepada masyarakat yang disebut dengan Dinas Syari’at Islam/Wilayatul Hisbah. Lembaga Dinas Syari’at Islam memiliki tujuan yang mencakup beberapa fungsi diantaranya memberikan pengarahan kepada masyarakat tentang hukum Islam dan kaidah-kaidah yang harus dipatuhi. Oleh karena itu diperlukan sosialisasi untuk mencapai tujuan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

(3) Bagan Struktur Organisasi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Energi, dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IX.A yang

Survey yang dilakukan pada anak berusia 5 sampai 16 tahun oleh Office for National Statistics (ONS) menemukan bahwa 11 % anak laki-laki mengalami gangguan kesehatan mental

P1=Tampilan aplikasi android menarik, P2=Media belajar pembelajaran berbasis android ini interaktif, P3= Materi yang ditampilkan dalam aplikasi android mudah dipahami,

Uraian yang detail tentang diagnosa wajah sudah dibahas pada modul sebelumnya, yang merupakan modul prasyarat (Modul Merias Muka sehari-hari). Pada modul ini langsung dibahas

Lebih spesifik menurut Gibson, Ivancevich dan Donelly (Dalam Wibowo 2013:363) mengatakan bahwa “Tujuan utama program penghargaan adalah untuk menarik orang yang cakap untuk

Maka dari itu para produsen media cetak bersaing saling merebut hati khalayaknya dengan adanya gambar karikatur dengan nama maupun tokoh yang mudah diingat oleh masyarakat,

Hasil analisis n-gain pada nilai kompetensi keterampilan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan nilai kompetensi keterampilan siswa dengan me- nerapkan model

Makhluk hidup memerlukan lingkungan 7ang sesuai agar dapat ,ertahan hidup dengan ,aik$ Namun+ lingkungan tidak selaman7a tetap tetapi selalu ,eru,ahu,ah setiap ;aktu$