• Tidak ada hasil yang ditemukan

Globalisasi, Liberalisme, Neoliberalisme dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Oleh: Sofyan Hadi *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Globalisasi, Liberalisme, Neoliberalisme dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Oleh: Sofyan Hadi *"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Sofyan Hadi *

Abstrak

Kapitalisme yang mengedepankan kebebasan individu. Liberalisme yang memberikan ruang gerak individu secara luas dan hanya dibatasi oleh kebebasan individu lain adalah awal gagasan demokrasi. Demokrasi menempatkan semua orang memiliki kedudukan yang sama, memiliki hak berbicara dan hak berbuat yang sama. Pembatas kebebasan orang adalah kebebasan orang lain. Itu adalah dinding kehormatan individu.

Globalisasi dengan neo-liberalnya telah hidup dan menjadi madzab ekonomi yang mempengaruhi banyak negara. Globalisasi telah memberi pengaruh dan efek dalam ekonomi, politik dan pendidikan kita. Intinya, madzhab neo-liberal sebagai anak kandung globalisasi yang menjadikan pasar menjadi fundamentalis, pro-pertumbuhan dan bukan pemerataan serta menjadikan kesejahteraan umum bukan sebagai tujuan sedang tren di berbagai negara. Pemahaman terhadap globalisasi dan neo-liberalisme akan menjadi dasar pijakan bagi pergulatan pemikiran dan kontestasi di bursa gagasan berkenaan dengan strategi membangun negara. Tanpa pemahaman yang memadai, mustahil kita menyusun kembali agenda ekonomi dan mereformasi pendidikan yang lebih humanis, egaliter dan merata yang khas Indonesia dan merupakan “teori” yang menjelma dalam urat nadi negara kita.

Kata kunci: globalisasi, liberalisme, neoliberalisme, pendidikan

A.Pendahuluan

Pendidikan sebagaimana diharapkan masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya bagi warga masyarakat miskin, sepatutnya harus merakyat. Pendidikan prorakyat sangat didambakan oleh semua lapisan masyarakat, tanpa melihat kesenjangan sosial yang jauh antara si miskin dan si kaya. Pendidikan adalah hak dan kewajiban bagi semua bangsa, tanpa dibatasi oleh ras, suku dan golongan atau strata sosial bagaimanapun. Namun, sebuah pendidikan tersebut sedapat mungkin harus dilaksanakan dan dirasakan oleh semua warga, bangsa Indonesia.

Semua orang mencita-citakan dan berupaya untuk menuju kesejahteraan lewat pendidikan nasional. Dalam arti yang sesungguhnya lewat pendidikan yang bermutu dapat menciptakan manusia Indonesia

* Dosen STAIN Jember dan Mahasiswa Program Doktoral Penelitian dan

(2)

yang siap pakai, baik dari segi keilmuan maupun keterampilan kerja untuk bekerja meraih keuntungan dan kebahagiaan.

Kualitas pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan yang layak dan dapat menjangkau masa depan. Setidak-tidaknya suatu pendidikan profesional yang dapat secara luas menciptakan lapangan kerja dan menjamin masa depannya. Itulah sebuah langkah jitu yang akan dituju dan akan dicapai oleh setiap warga bangsa sesuai dengan apa yang sesungguhnya dicita-citakannya serta diharapkannya.

Pengaruh liberalisme dan neoliberalisme dalam dunia pendidikan, memberikan dampak sosial yang sangat mencekam pada perjalanan pendidikan kita saat ini. Dampak sosial itu membuat pendidikan itu, khususnya pendidikan tinggi semakin mahal sehingga hanya orang-orang kaya yang banyak uang saja bisa melanjutkan pendidikannya.

Terjadinya kesenjangan sosial melebar antara si kaya dan si miskin. Akibat dari itu semua akan terjadi ketimpangan sosial dan problema sosial di tengah-tengah masyarakat. Pengangguran terjadi di mana-mana baik di desa maupun di perkotaan. Prosentase buta huruf semakin meningkat, terutama di pedesaan. Imbas dari sebuah kebodohan akan memacu pada kecenderungan melakukan berbagai tindak kejahatan dan kriminalitas lainnya.

B. Perbandingan Globalisasi, Liberalisme dan Neoliberalisme

a. Globalisasi

Secara sederhana globalisasi adalah bentuk baru dari modal penghisapan yang dilakukan kelas berkuasa terhadap rakyat miskin. Ia memang memiliki kualitas yang baru, dimensi yang baru, karena tingkatan teknologi yang kini ada telah memungkinkan dijangkaunya arena penghisapan yang luas dan tingkat kendali yang ketat atas penghisapan tersebut. Namun, sebagai lompatan kualitatif atas imperialisme, globalisasi cuma membawa imperialisme ke tingkat yang lebih tinggi. Jadi, bukannya menghapuskan imperialisme dan membuat semua bangsa menjadi setara, atau setidaknya kelas berkuasa di semua bangsa menjadi setara, globalisasi justru membuat jurang ketimpangan antar-bangsa menjadi semakin lebar.

Penghisapan yang dilakukan oleh kelas berkuasa di negeri maju terhadap rakyat pekerja di negeri berkembang menjadi semakin hebat. Sementara kelas berkuasa setempat semakin ditundukkan menjadi pelayan para imperialis. Inilah satu kenyataan yang dapat kita amati sehari-hari pada saat ini, bahkan di Indonesia sendiri. Kita ini adalah budak IMF dan Bank Dunia. Sekalipun ada sesumbar bahwa pemerintah Indonesia hendak memutuskan hubungan dengan IMF, paling-paling kenyataannya nanti adalah perubahan bentuk kerjasama. Tidak lagi secara mencolok kasat mata, melainkan lebih halus dan di belakang layar.

(3)

Apa yang dikenal sebagai "bantuan luar negeri" sebenarnya juga merupakan kedok bagi praktek ekspor modal dari negeri imperialis. Bantuan itu pasti dilekati syarat bahwa tenaga ahli dan peralatan yang akan digunakan untuk proyek tersebut harus berasal dari negeri pemberi bantuan. Tenaga ahli asing ongkosnya sangat mahal. Gaya hidup mereka yang sangat kosmopolitan dibiayai oleh gaji mereka yang besar. Yang harus ditentukan oleh harga pasar dunia. Ini praktik yang telah berlangsung dalam berbagai skala. Contohnya, bantuan dana untuk LSM (lembaga swadaya masyarakat) saja selalu dibuntuti dengan syarat semacam ini jika bantuan itu diberi judul "pembangunan kelembagaan" (institutional building).

Dapat dilihat juga bagaimana perlahan-lahan perusahaan-perusahaan yang mengaku "modal nasional" mulai terlucuti kedoknya dan memperlihatkan kekuatan modal asing di belakangnya. Perusahaan-perusahaan yang masih tinggal sebagai modal nasional murni juga mulai rontok karena dicaplok oleh modal asing. Kelak, yang namanya "borjuasi nasional" hanya akan menjadi pelayan belaka dari modal asing. Globalisasi hanyalah satu bentuk yang lebih dahsyat dari imperialisme. Karena ia memberi dimensi penghisapan yang lebih kuat pada imperialisme, kesenjangan antarbangsa yang ditimbulkannya pasti juga akan jauh lebih besar dan jauh lebih lebar.

b. Liberalisme

Kata liberal diambil dari bahasa Latin liber, free, yang berarti bebas. Liberalisme secara etimologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya. Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama.1

Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa Revolusi Prancis berupa sistem merkantilisme, feodalisme, dan gereja roman Katolik. Liberalisme pada umumnya meminimalkan campur tangan negara dalam kehidupan sosial. Sebagai satu ideologi, liberalisme bisa dikatakan berasal dari falsafah humanisme yang mempersoalkan kekuasaan gereja di zaman renaissance dan juga dari golongan Whings semasa Revolusi Inggris yang menginginkan hak untuk memilih raja dan membatasi kekuasaan raja. Mereka menentang sistem merkantilisme dan

bentuk-bentuk agama kuno dan berpaderi2.

1Sammy Saptenno,

http://sammy-ekonomiku.blogspot.com/2008/5/liberalisme-pembangunan-ekonomi.htm1, pp.3-4.

(4)

Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik dan juga kemudian berkembang di bidang ekonomi. Dalam liberalisme budaya, paham ini menekankan hak-hak pribadi yang berkaitan dengan cara hidup dan perasaan hati. Liberalisme budaya secara umum menentang keras campur tangan pemerintah.

Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu,

paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme3.

Liberalisme telah merambah ke berbagai bidang, terutama bidang ekonomi. Liberalisme ekonomis telah melahirkan kapitalisme. Paham ini meniupkan semboyan “laissez faire, laissez aller”, yang membiarkan pasar berjalan sendiri. Laissez-faire yang merupakan bahasa Perancil (leser fer, yang berarti “biarkan terjadi”) menjadi sinonim untuk ekonomi pasar bebas yang ketat selama awal dan pertengahan abad ke-19. Secara umum, istilah ini dimengerti sebagai sebuah doktrin ekonomi yang tidak menginginkan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian.

Istilah laissez-faire sering digunakan bergantian dengan istilah "pasar bebas". Beberapa menggunakan laissez-faire untuk merujuk pada perilaku "biarkan terjadi, biarkan lewat" dalam hal-hal di luar ilmu ekonomi.

Laissez-faire dihubungkan dengan Liberalisme klasik, libertarianisme dan

obyektivisme. Dalam pandangan laissez-faire, kewajiban negara bukanlah melakukan intervensi untuk menstabilkan distribusi kekayaan atau untuk menjadikan sebuah negara makmur untuk melindungi rakyatnya dari kemiskinan, melainkan bersandar pada sumbangan dan sistem pasar.

Laissez faire juga menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh memberi hak

khusus dalam bisnis. Misalnya, penganut dari laissez-faire mendukung ide yang menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh membuat monopoli legal

atau menggunakan kekuasaan dan paksaan untuk merusak monopoli de

facto. Pendukung dari laissez-faire juga mendukung ide perdagangan bebas

dalam artian negara tidak boleh melakukan proteksi, seperti tarif dan subsidi, di wilayah ekonominya4.

3http://id.wikipedia.org/wiki/Neoliberalisme

4Elitsa Vucheva, France: Laissez-Faire Capitalism is Over,

(5)

Ada beberapa ciri ekonomi liberal, antara lain: (1) semua sumber produksi adalah milik masyarakat individu, (2) masyarakat diberi kebebasan dalam memiliki sumber-sumber produksi, (3) pemerintah tidak ikut campur tangan secara langsung dalam kegiatan ekonomi, (4) masyarakat terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan pemilik sumber daya produksi dan masyarakat pekerja (buruh), (5) timbul persaingan dalam masyarakat, terutama dalam mencari keuntungan, (6) kegiatan selalu mempertimbangkan keadaan pasar, (7) pasar merupakan dasar setiap tindakan ekonomi, dan (8) biasanya barang-barang produksi yang dihasilkan bermutu tinggi.

Negara-negara yang menganut paham liberal di Asia antara lain adalah India, Iran, Israel, Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan, Thailand dan Turki. Saat ini banyak negara-negara di Asia yang mulai berpaham liberal, antara lain adalah Myanmar, Kamboja, Hong Kong, Malaysia dan Singapura.

c. Neoliberalisme

Neoliberalisme termasuk istilah yang sering mengecoh pemakainya. Misalnya, ekonomi pasar dianggap identik neoliberalisme. Neoliberalisme memang melibatkan aplikasi pasar, tetapi tidak semua ekonomi-pasar bersifat neoliberal (ekonomi ekonomi-pasar sosial, bukan neoliberal). Atau, privatisasi sering dilihat identik dengan ciri kebijakan neoliberal. Padahal, tidak semua program privatisasi bersifat neoliberal5.

Neoliberalisme dengan awalan neo (baru) menunjuk gejala kemiripan tata ekonomi 30 tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang

ditandai dominasi financial capital dalam proses ekonomi. Namun, apa yang

terjadi dalam 30 tahun terakhir bercorak lebih ekstrem daripada seabad lalu. Neoliberal yang merupakan reinkarnasi liberalisme ekonomi akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dalam bentuk yang lebih ekstrem itu

berlangsung dengan mengakhiri era besar yang disebut embedded liberalism.

Embedded liberalism merupakan model ekonomi setelah Perang Dunia

II hingga akhir dekade 1970-an. Intinya, kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya

kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk yang lebih ekstrem6.

5Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, What is Neoliberalism?,

http://www.corpwatch.org/article.php?id=376

6B.Herry-Priyono, http://www.kompas.com

(6)

Dari hal kecil itu tampak, betapa sulitnya menunjuk persis arti neoliberalisme. Selain itu, neoliberalisme merupakan istilah yang lebih terpahami dalam konteks intelektual Eropa (istilah liberal punya arti lain di AS). Dalam perjalanan sejarah yang tumpang tindih, neoliberalisme banyak dikaitkan visi ekonomi kelompok seperti Mont Pelerin Society dan ekonom mazhab Chicago, seperti Milton Friedman, Gary Becker, dan George Stigler. Namun, neoliberalisme bukan sekadar ekonomi. Ia visi tentang manusia dan masyarakat, dengan cara pikir ekonomi yang khas sebagai perangkat utama. Mungkin dua lapis definisi yang saling terkait dapat membantu memahami jantung filsafat ekonomi neoliberalisme.

Visi antropologis; Berbeda dengan liberalisme abad ke-19, neoliberalisme berkembang melalui reduksi manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus) (George, 2003: 80). Yang menarik dari visi neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia. Perspektif

oeconomicus ini juga kemudian direntang untuk menjadi prinsip

pengorganisasian seluruh masyarakat. Inilah aspek yang mungkin paling tegas membedakan ekonomi neoliberal dari ekonomi liberal klasik. Tidak ada yang lebih eksplisit dalam proyek perentangan ekonomi yang menyediakan kerangka semesta untuk memahami semua tingkah laku manusia7.

Virtualisasi ekonomi; Dalam stagnasi ekonomi negara-negara maju

pada dasawarsa 1970-an, dan dalam revolusi teknologi informasi sejak awal dekade 1980-an, kecenderungan itu mengalami evolusi lanjut dan

menghasilkan ciri utama neoliberalisme. Perspektif oeconomicus bukan

hanya direntang untuk diterapkan pada dimensi lain hidup manusia, bahkan dalam perspektif oeconomicus sendiri berkembang hierarki prioritas: prioritas sektor finansial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi.

Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, dan semacamnya. Trend ini lalu mempertajam pembedaan antara sektor virtual dan sektor riil dalam ekonomi, dengan prioritas yang pertama. Dalam bahasa sederhana, proses ekonomi bergerak dengan prioritas transaksi uang ketimbang produksi barang/jasa riil.

Dalam fakta, visi neoliberal yang berdiri di atas asumsi tentang manusia yang sudah amat diciutkan itu tentu penuh kontradiksi. Misalnya, bila dalam visi neoliberal tiap orang atau perusahaan bertanggungjawab atas diri sendiri, bagaimana harus dijelaskan bailout banyak bank dan

7 Gary Becker, The Economic Approach to Human Behavior , (Chicago: The Chicago

(7)

perusahaan dengan uang setiap orang melalui dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)? Itulah mengapa tak sedikit ahli menyimpulkan, neoliberalisme merupakan cara para tuan besar modal merebut kembali kekuasaan, sesudah mereka terkekang dalam periode

setelah PD II sampai dasawarsa 1970-an8.

Revolusi neoliberalisme telah mengubah sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan. Sehingga menurut kaum Neoliberal, sebuah perekonomian dengan inflasi rendah dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik. Pada titik ini, pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan memotong pengeluaran dan biaya-biaya publik seperti subsidi, sehingga fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik harus dikurangi.

Dalam paham neoliberalisme, logika pasarlah yang berjaya di atas kehidupan publik. Ini menjadi pondasi dasar neoliberalisme, menundukan kehidupan publik ke dalam logika pasar. Semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara harusnya menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggara bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi ekonomi bagi pemerintah. Pelayanan publik semata, seperti subsidi dianggap akan

menjadi pemborosan dan inefisiensi. Neoliberalisme tidak

mengistimewakan kualitas kesejahteraan umum9.

Tidak ada wilayah kehidupan yang tidak dapat dijadikan komoditi barang jualan. Semangat neoliberalisme adalah melihat seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Misalnya dengan sektor sumber daya air, program liberalisasi sektor sumber daya air yang implementasinya dikaitkan oleh Bank Dunia dengan skema watsal atau water resources sector

adjustment loan. Air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya

pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas ekonomi semata. Hak penguasaan atau konsesi atas sumber daya air ini dapat dipindah tangankan dari pemilik satu ke pemilik lainnya, dari satu korporasi ke korporasi lainnya, melalui mekanisme transaksi jual beli.

Yang menggetarkan adalah bahwa neo-liberalisme merupakan proyek normatif yang mengorganisir tata masyarakat menurut prinsip

pasar-bebas. Jika proyek liberalisme ekonomi bergerak dengan prinsip

bahwa alokasi banyak barang/jasa harus ditentukan oleh kinerja pasar,

8Ben Fine, Social Capital versus Social Theory, (London: Routledge, 2000), pp. 8-10. 9Gary Becker, A Treatise on the Family, (Cambridge, MA: Harvard University Press,

(8)

neo-liberalisme melakukan radikalisasi dengan menggagas “semua relasi manusia ditentukan oleh kinerja pasar” dan menuntut “prinsip pasar diterapkan bukan hanya pada alokasi barang/ jasa”10.

Jika dalam liberalisme ekonomi abad ke-19, prinsip pasar diterapkan dalam pengadaan barang seperti, misalnya, pakaian dan perhiasan, dalam proyek neo-liberalisme prinsip itu diterapkan juga untuk pengadaan

pendidikan dan kesehatan.Neoliberalisme memandang bahwa semua relasi

manusia sebagai relasi pasar. mengajukan homo oeconomicus sebagai teori kodrat manusia yang diterapkan dalam bidang politik, hukum, sosiologi, psikologi, sejarah, kriminologi, dan seluruh ilmu-ilmu manusia serta

humaniora. Karena penjelmaan paling sempurna homo oeconomicus adalah

pelaku bisnis, model cara-berpikir dan cara-bertindak adalah sosok pengusaha. Pengusaha adalah model manusia sejati, dan karena itu juga punya status istimewa dalam proyek neo-liberal.

Setiap orang adalah pengusaha swasta, sehingga apabila ia jatuh

menganggur atau miskin, itu disebabkan kesalahannya sendiri.Kemiskinan

dan pengangguran bukan masalah sosial, melainkan kegagalan mengubah aset-diri menjadi laba. Solusinya bukan social welfare, tetapi individual self-care. Karena individual self-care, program jaminan sosial kehilangan alasan adanya11. Meskipun neoliberalisme tidak identik dengan privatisasi, kita

segera mengerti apa yang terjadi di balik gelombang privatisasi bidang-bidang seperti pendidikan dan kesehatan. Tidak ada kesehatan, tetapi bisnis rumah-sakit; tak ada pendidikan, tapi bisnis sekolah. Bukan pasien, melainkan konsumen pengobatan, bukan guru, melainkan penjual pelajaran. Pada akhirnya tak ada lagi perbedaan antara ‘ekonomi pasar’

(market economy) dan ‘masyarakat pasar’ (market society), lantaran seluruh

gugus relasi yang membentuk ‘masyarakat’ telah diubah menjadi relasi pasar.

Dari situ hanya butuh langkah kecil untuk melihat implikasinya bagi

tata-negara. Sesudah homo oeconomicus menjadi model perilaku manusia (dan

logika pasar menjadi prinsip koordinasi masyarakat), pemerintah

(government) menjadi pemerintah ekonomi (economic government). Menyebut

“negara sebagai perusahaan adalah idiom khas neoliberal, dan bukan liberal”.Para pejabat pemerintah adalah “pengusaha” yang menjual kota, wilayah, atau sumberdaya apa saja yang bisa ditawarkan kepada investor.

Policy disebut sukses bila pengusaha berdatangan melakukan investasi,

dalam pertanian maupun mall, sekolah maupun rumah-sakit.

10Dag Einar Thorsen and Amund Lie, What is Neoliberalism?" (Oslo: Departement

of Political Science, University of Oslo, 2004), pp. 50-53.

11 Christopher J. Niggle ‘Globalization, Neoliberalism and the Attack on Social

(9)

Pada akhirnya prinsip pasar tampil sebagai hakim yang mengadili apakah kebijakan disebut sukses atau gagal; bukan hanya dalam produksi sepeda motor, tetapi juga dalam pengadaan pendidikan dan kesehatan.

Trend menilai sukses-gagalnya semua kebijakan pemerintah menurut

kesesuaiannya dengan prinsip pasar ini juga bukan kecenderungan liberal, melainkan khas neo-liberal.Maka, tulis Friedrich J. Carl, “neoliberalisme juga berarti finansialisasi segalanya”12

Ringkasnya, dalam proyek neo-liberalisme, “tidaklah cukup prinsip pasar diterapkan pada barang/jasa ekonomi; ia harus diterapkan di bidang lain. Tidaklah cukup ada pasar, tetapi tidak boleh ada yang lain selain pasar” (Treanor, ‘Neoliberalism....’, 2005:12).

Elizabeth Martinez and Arnoldo Garcia menyebutkan lima kerangka utama neoliberalisme, yaitu: (1) free market, (2) pembatasan anggaran publik, (3) deregulasi, (4) privatisasi, dan (5) menghilangkan konsep barang publik13

C. Neoliberalisme di Indonesia

Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya

secara massive menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis

moneter pada pertengahan 1997.

Menyusul kemerosotan nilai rupiah, pemerintah Indonesia

kemudian secara resmi mengundang IMF (International Monetary Fund)

untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui

penandatanganan Letter of Intent (LOI), yang salah satu butir

kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu pula kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang. Kemudian kebijakan BLBI yang hingga kini menyisakan permasalahan yang sangat rumit merupakan wujud nyata dari penerapanan neoliberalisme di Indonesia.

Pasca bercerainya dengan IMF, paket kebijakan neoliberalisme di Indonesia tetap berjalan, bahkan semakin meluas. Kini semua sektor kehidupan di Indonesia diseret ke dalam dunia bisnis, yang orientasi

12 Carl J. Friedrich ‘The Political Thought of Neoliberalism’, American Political

Science Review, 49/2, 1955, pp. 509-525.

(10)

utamanya adalah keuntungan, tidak terkecuali sektor pendidikan dan kesehatan. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak setiap warga telah menjelma semacam barang dagangan yang sangat mahal. Akibatnya, masyarakat yang kurang mampu tidak dapat mengaksesnya. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah, khususnya untuk perguruan tinggi, sepereti BHMN, BLU, dan terakhir BHP semakin memperjelas bahwa Indonesia menerapkan sistem neoliberalisme. Dengan paket-paket kebijakan tersebut pendidikan menjadi sangat mahal. Sekolah dan atau perguruan tinggi menjadi mirip pasar, sehingga kini seakan-akan tidak ada pendidikan, yang ada adalah bisnis sekolah, tidak ada guru atau dosen, melainkan penjual pelajaran atau materi-materi perkuliahan. Sekolah atau kampus bukan lagi sekedar tempat menimba ilmu, tetapi menjadi semacam tempat penyewaan kusri, ruang kelas atau gedung, yang dibayar bulanan atau enam bulanan atau tahunan dan atau borongan sampai selesai.

Neoliberalisme pendidikan di Indonesia yang berujung pada komersialisasi pendidikan telah menimbulkan dampak negatif yang luas. Salah satunya adalah tidak adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Masyarakat miskin tidak dapat menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah dan perguruan tinggi yang berkualitas, karena biaya pendidikan di lembaga tersebut tidak terjangkau oleh mereka. Akibatnya, mereka menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah dan perguruan tinggi yang murah. Padahal sekolah dan atau perguruan tinggi murah identik dengan kualitas rendah.

Dapat dibayangkan bagaimana output dan terutama outcome sekolah dan

atau perguruan tinggi yang berkualitas rendah tersebut.

D. Liberalisme Pendidikan

Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa “kebebasan” adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas dicirikan oleh kebebasan berfikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran

gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private

enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang

transparan dan menolak adanya pembatasan terhadap pemikiran individu. Oleh karena itu, paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme.

Dalam masyarakat modern liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan

(11)

kebebasan mayoritas. Pada konferensi nasional pendidikan nasional dalam arus neoliberalisme di Bandung, 15 Mei 2005, dikatakan bahwa liberalisme dan privatisasi pendidikan akan menjauhkan cita-cita bangsa dan akan melumpuhkan kemampuan masyarakat sehingga akan mengembalikan Indonesia sebagai bangsa kuli dan bangsa terjajah14

Berbicara masalah liberalisme pendidikan sangat terkait erat dengan pandangan bahwa pendidikan dipandang sebagai komoditas yang diperdagangkan. Sebagai pedagang setiap saat memilih barang yang baik dan menyisakan yang jelek. Kebijakan pendidikan lebih cenderung

individualistik dan masyarakat (private). Dalam sistem liberal ini,

pendidikan secara bebas ditentukan individu dan masyarakat secara mandiri. Pendidikan bukan lagi menjadi bagian wilayah publik yang dijamin oleh negara. Oleh karenanya, pendidikan identik dengan orang yang memiliki uang yang banyak. Kalau tidak punya uang, berarti tak bisa sekolah atau melanjutkan ke perguruan tinggi.

Kecenderungan lain bahwa pendidikan liberalisme adalah bersifat kapitalistik, di mana pendidikan itu mengarah kepada industrialisasi. Pendidikan seolah pabriknya para buruh, mengabdi pada kepentingan industri bukan untuk pengembangan keilmuan dan peradaban manusia dalam upaya menata masa depannya. Para siswa maupun mahasiswa dicekoki dengan gagasan bahwa sekolah itu hanya untuk mencari kerja,

atau lebih eksplisit, mencari uang. Uang adalah sumber kehidupan15.

Tidak heran, kalau dalam kenyataannya bahwa manusianya jauh tertinggal dalam hal rekayasa. Karena dunia pendidikan sudah mulai sepi dari penemuan-penemuan yang bisa meningkatkan kualitas hidup orang banyak. Institusi pendidikan yang berprestasi dalam memenangkan lomba-lomba di tingkat rekayasa, baik di bidang teknologi maupun di bidang sosial, tidak bisa diprosentasekan atau tidak menonjol ke permukaan.

E. Neoliberalisme Pendidikan

Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofis ekonomi politik akhir abad keduapuluhan, sebenarnya merupakan redefinisi dan kelanjutan dari liberalisme klasik yang dipengaruhi oleh teori perekonomian neo klasik yang mengurangi atau menolak penghambatan oleh pemerintah dalam ekonomi domesitk

karena akan mengarah pada penciptaan distorsi dan high cost economy yang

kemudian akan berujung pada tindakan koruptif.

14 Kompas, "Bangsa Kuli dan Bangsa Terjajah", tanggal 15 Mei 2005.

15Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty, (Oxford: Oxford University Press, 1969),

(12)

Sesuai dengan namanya neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal. Paham ini memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah negara dan modernisasi melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi.

Neoliberalisme pendidikan telah mengacu pada problema sosial khususnya dalam dunia pendidikan. Misalnya, salah satu hadirnya Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang memiliki semangat ke arah Neoliberalisme.

Arus globalisasi kian deras melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia. Globalisasi itu mengangkut paham neo liberal. Kondisi seperti itu membuat orang mulai menghayati pentingnya persoalan waktu dan ruang, yang dikenal sebagai meminjam istilah geographer David Harvey,

time space compression. Konsep tersebut merupakan sebuah perspektif

tertentu manusia masa kini terkait kemajuan material yang menjamah hampir segala segi kehidupan.

Semakin orang menguasai waktu dan ruang, orang semakin menunjukkan kekuatannya. Kenyataan itu semakin diperkuat dengan cepat dan suburnya internasionalisasi perdagangan, sumber-sumber keuangan,

multinational corporation (MNC). Pendek kata, time space compression telah

mengomersialisasikan kehidupan manusia tidak terkecuali dalam dunia pendidikan.16

Apabila mengikuti alur pemikiran sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu tentang neoliberalisme, dapat membuat kita sedih. Baginya, neoliberalisme tidak jauh berbeda dengan Marxisme pada masa lampau, terutama dalam hal membangkitkan kepercayaan yang luar biasa, utopia keyakinan perdagangan bebas (free trade faith).17

Tidak hanya pada mereka yang diuntungkan secara materi, seperti bankir, pemilik modal, bos perusahaan besar. Namun, mereka juga memperoleh pembenaran atas keberadaan paham itu, misalnya, para pejabat tinggi dan politikus yang memberhalakan kekuasaan pasar hanya demi alasan keefektifan ekonomi18.

16Norena Heertz, Hidup di Dunia Material: Munculnya Gelombang

Neoliberalisme, dalamNeoliberalisme, editor I. Wibowo dan Francis Wahono, cet. I, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), pp. 90-93.

17Pierre Bourdieu, Capitalism is Over,

http://www.businessweek.com/globalbiz/content/sep2008/gb20080929_019959.htm

18 D. Rodrik, F Rodriguez, A Skeptic's Guide to the Cross-national Evidence, (NBER

(13)

Dalam pandangan Bourdieu, mereka yang disebut terakhir itu

cenderung akan menuntut dihapuskannya hambatan-hambatan

administrasi atau politik yang dapat mengganggu kelancaran para pemilik modal dalam usaha mencari keuntungan individual yang sebesar-besarnya. Bahkan, mereka setuju dengan gagasan subordinasi negara bangsa (nation

state) terhadap tuntutan-tuntutan kebebasan ekonomi bagi para pengendali

pasar. Terutama penghapusan semua peraturan yang menghambat pasar. Mulai dari pasar kerja, pencegahan defisit dan inflasi, swastanisasi semua bentuk pelayanan publik, hingga pengurangan belanja umum dan sosial.

Pandangan itu semakin diperkuat dengan pernyataan pakar pendidikan. Henry A Giroux. Menurutnya, neoliberalisme telah merasuk dalam proses pendidikan pra sekolah sampai perguruan tinggi (PT). Giroux melihat neoliberalisme sebagai ideologi yang sangat berbahaya dalam kehidupan masyarakat demokrasi. Neoliberalisme memberikan peranan yang sangat besar kepada fundamentalisme pasar. Artinya, segala

sesuatu diserahkan kepada kemauan dan kekuatan pasar19. Dalam

neoliberalisme, kebebasan merupakan kebebasan dalam berbisnis.

Kekhawatiran pendidikan nasional berwajah neoliberalisme memang beralasan, terutama dengan kehadiran RUU BHP karena mengarah pada privatisasi atau swastanisasi. Pelayanan publik sudah memasang target segmen khusus kepada masyarakat. Tujuannya tidak lain adalah demi mencari keuntungan.

Kekhawatiran itulah yang membuat kehadiran RUU BHP yang tengah digodok di parlemen menuai kontroversi. RUU BHP lahir dari implementasi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003. Berdasarkan bunyi salah satu pasalnya, Pasal 53 ayat 1, yaitu penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. RUU BHP berisi antara lain, melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dengan perguruan tinggi swasta (PTS).

Dalam era BHP itu lebih mengedepankan kemandirian perguruan tinggi dalam aspek manajemen administrasi keuangan, sumber daya manusia, dan akademik. Bahkan, perguruan tinggi juga bebas untuk bekerja sama dengan institusi asing. Dalam neoliberalisme pendidikan peran negara dalam urusan pembiayaan pendidikan menjadi terlepas. Tentu saja, kita akan menolak bila pemerintah melepaskan tanggungjawabnya atas pembiayaan pendidikan.

19H.A. Tilaar, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

(14)

F. Rumusan Reformasi Kebijakan Pendidikan Multi Sosial

Sebagaimana diharapkan masyarakat dan bangsa Indonesia umumnya, bahwa pendidikan itu harus merakyat, berdimensi sosial secara adil dan merata. Para guru/pendidik, pemerintah dan warga masyarakat khususnya sangat penting dalam rangka mendukung terciptanya pendidikan yang bersih, adil, merakyat dan merata ke seluruh lapisan masyarakat. Sehingga fungsi dan makna pendidikan itu benar-benar dapat dinikmati dan dirasakan oleh bangsa Indonesia secara holistik, integral dan universal.

Dalam mereformasi kebijakan pendidikan, perlu merumuskan kebijakan yang pro rakyat sebagaimana diharapkan warga masyarakat khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sistem liberalisme maupun neo liberalisme dalam dunia pendidikan, mustinya harus dihapuskan di muka bumi ini, karena tidak sesuai dengan prinsip kepribadian hidup bangsa Indonesia yang berasaskan falsafah Pancasila yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam merumuskan kebijakan ada dua hal yang sangat penting diperhatikan, yakni antara kebijakan pendidikan harus sejalan dengan kebijakan perekonomian bangsa Indonesia. Dengan demikian, pendidikan itu ada arahnya, bergerak dan berjalan maju secara seimbang serta berkesinambungan. Transparansi dan profesionalisme pendidikan tersebut benar-benar terwujud di bumi persada nusantara ini. Apabila makna dan fungsi pendidikan itu sendiri kembali pada habitat semula, sesuai cita-cita bangsa demi mewujudkan kepribadian bangsa yang kuat, utuh dan mandiri serta profesionalisme dalam upaya membangun bangsa dan negaranya.

Rumusan kebijakan nasional dalam bidang pendidikan, harus menunjuk pada amanat UUD 1945 dan falsafah Pancasila. Tentu saja dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang berkepribadian sosial yang tangguh, ulet dan mandiri serta tidak selalu tergantung pada orang lain dan kepentingan luar yang sifatnya mendominasikan mengintervensi sistem pendidikan nasional kita, yang ujung pangkalnya terarah pada liberalisme, neoliberalisme, kapitalisme dan primondialisme pendidikan yang acuannya adalah komersialan pendidikan itu sendiri.

Neoliberalisme telah membuat pendidikan kita menjadi sangat mahal, sehingga hanya orang-orang yang mampu yang dapat menyekolahkan dan atau mengkuliahkan anak-anaknya. Sedangkan masyarakat miskin sulit bahkan tidak bisa mengakses sekolah atau perguruan tinggi untuk anak-anak mereka. Keadaan seperti ini jika dibiarkan akan menimbulkan dampak buruk yang luar biasa bagi bangsa

(15)

Indonesia, terutama di masa yang akan datang. Di antaranya adalah (1) lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan dengan menggunakan uang rakyat hanya akan dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat mampu, (2) masyarakat miskin hanya bisa mengakses pendidikan di sekolah-sekolah murah yang pada umumnya berkualitas sangat rendah, (3) akibat pendidikan yang tidak berkualitas, masyarakat miskin tidak akan dapat bersaing dengan orang-orang kaya yang memperoleh pendidikan dengan kualitas yang jauh lebih bagus, dan (4) akibat selanjutnya, anak-anak dari keluarga miskin akan sulit keluar dari kemiskinannya.

Bertolak dari sini, reformasi pendidikan merupakan pilihan rasional dan paling diperlukan saat ini. Pemerintah harus membenahi, dan bahkan harus mengganti sistem pendidikan yang sekarang lebih pro kepada orang-orang kaya dengan yang lebih pro kepada rakyat banyak. Pemerintah harus menjamin hak-hak rakyat untuk memperoleh pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan oleh UUD ’45. Pemerintah harus menyediakan pendididikan yang dapat dijangkau oleh masyarakat bawah, tetapi berkualitas.

Ada banyak jalan yang dapat ditempuh pemerintah untuk menjamin hak-hak rakyat dalam memperoleh pendidikan yang layak. Penulis berpendapat bahwa program subsidi silang yang pernah digulirkan pemerintah merupakan salah satu program yang bisa diterapkan dalam praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Hanya saja program ini harus dipersiapkan secara matang melalui berbagai kajian analisis kebijakan. Sebab kalau tidak, program ini akan salah sasaran, sehingga tidak mendatangkan manfaat yang banyak bagi rakyat yang berhak.

Dalam program pendidikan subsidi silang ini, pemerintah bersama-sama kalangan sekolah dan perguruan tinggi terlebih dahulu harus membuat kriteria. Kriteria dimaksud adalah kritetia masyarakat menurut tingkat kemampuannya dalam membiayai anak-anak mereka untuk sekolah atau kuliah. Misalnya kriteria masyarakat itu didasarkan pada beberapa kategori pendapatan. Kategori masyarakat berpendapatan tinggi, kategori masyarakat berpendapatan sedang, kategori masyarakat berpendapatan rendah, dan kategori masyarakat yang tidak berpendapatan. Bertolak dari kriteria ini, kemudian pemerintah menetapkan cost atau biaya pendidikan untuk masing-masingnya. Untuk masyarakat yang berada dalam kategori berpendapatan rendah dan tidak berpenghasilan harus dibebaskan sepenuhnya dari biaya sekolah atau kuliah. Biaya sekolah mereka, misalnya, sebagian ditanggung oleh pemerintah dan sebagiannya oleh masyarakat yang berpendapatan tinggi. Seandainya pemerintah mempunyai niat dan kemauan yang kuat disertai pengawasan yang ketat, program ini akan berjalan dengan baik, dan akan mendatangkan manfaat

(16)

yang besar bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Argumentasinya (argumentation from causa) adalah:

Thus

Program BHMN, BLU Anak-anak dari keluarga Pemerintah hrs Dan BHP telah menebabkan kurang mampu tidak bisa menyediakan

mahalnya biaya pendidikan kuliah di PTN Sekolah dan

di PTN TN murah dan berkualitas

Biaya masuk PTN mencapai Biaya kuliah PTN tidak puluhan juta dan SPP mahal, karena ada program

semesternya mahal beasiswa bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu,

UI tidak bisa menjadi ukuran

Biaya masuk UI paling kecil 15 jutaan, biaya persemester untuk kelompok IPS 5,5 juta dan untuk kelompok IPA 7,5 juta C. Penutup

Melihat pasang surutnya pendidikan nasional, diperlukan adanya reformasi kebijakan pendidikan yang merakyat dan berdimensi sosial. Dengan melihat, memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa sesungguhnya pendidikan yang sejalan dengan hati nurani rakyat adalah sebuah pendidikan yang dapat mewujudkan kesejahteraan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Suatu pendidikan yang seimbang, merupakan dambaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Keseimbangan yang dimaksud adalah yang dapat mewujudkan pendidikan itu berdimensi sosial dan dapat dinikmati atau dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Tanpa ada campur tangan luar yang mendominasi dan mengintervensi sistem pendidikan nasional yang dapat berakibat pada primondialisme pendidikan, liberalisme, neo liberalisme pendidikan dan kapitalisme pendidikan itu sendiri.

Suatu wujud dan bentuk pendidikan yang berkepribadian bangsa dan berwatak sosial adalah pendidikan yang sejalan dan seirama dengan nilai-nilai Pancasila serta sesuai dengan amat UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sewajarnya sistem pendidikan nasional harus dikembalikan ke habitatnya semula, yakni pendidikan yang beretika, santun, pancasilais dan berkepribadian yang kuat serta mandiri.

I

Q

C

W

B

(17)

DaftarPustaka

Becker, Gary S. A Treatise on the Family, Cambridge, MA: Harvard

University Press, 1981.

Becker, Gary S., The Economic Approach to Human Behavior, Chicago: The University of Chicago Press, 1976.

Berlin, Isaiah, Four Essays on Liberty, Oxford: Oxford University Press, 1969.

Bourdieu, Pierre, Capitalism is Over,

http://www.capitalism.com/globalbiz/content/sep2008/.htm Fine, Ben, Social Capital versus Social Theory, London: Routledge, 2000. Friedrich, Carl J., ‘The Political Thought of Neoliberalism’, American

Political Science Review, 49/2, 1955.

Heertz, Norena, Hidup di Dunia Material: Munculnya Gelombang

Neoliberalisme, dalamNeoliberalisme, editor I. Wibowo dan Francis

Wahono, cet. I, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003.

Herry-Priyono, B., http://www.kompas.com

/kompas-cetak/0512/15/opini/2290496.htm.

http://id.wikipedia.org/wiki/Neoliberalisme"

http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2008/11/081122_bushap ec.shtml

Kompas, "Bangsa Kuli dan Terjajah", 15 Mei

Martinez, Elizabeth dan Arnoldo Garcia, What is Neoliberalism?,

http://www.corpwatch.org/article.php?id=376

Niggle, Christopher J., ‘Globalization, Neoliberalism and the Attack on Social Security’, Review of Social Economy, 61/1, March, 2003.

Rodrik, D., F Rodriguez, A Skeptic's Guide to the Cross-national Evidence,

NBER Macroeconomics Annual, 2000.

Saptenno, Sammy,

http://sammy-ekonomiku.blogspot.com/2008/5/liberalisme-pembangunan-ekonomi.htm1

Thorsen, Dag Einar and Amund Lie, What is Neoliberalism?" Oslo: Department of Political Science, University of Oslo, 2004.

(18)

Tilaar, H.A., Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Vucheva, Elitsa, France: Laissez-Faire Capitalism is Over,

http://www.businessweek.com/globalbiz/content/sep2008/gb200 80929_019959.htm

Referensi

Dokumen terkait

Sejak 2013 sampai dengan 2014, dari 38 perusahaan berperingkat HITAM, 21 perusahaan telah dikembalikan ke dalam PROPER untuk dilakukan pembinaan; 1 perusahaan tidak beroperasi

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah apa sajakah faktor penyebab timbulnya perkawinan anak di bawah umur dan bagaimana dampak dari suatu perkawinan yang

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Seminar Sejarah Nasionla V: Subtema

Gambar 4.4 Grafik Perolehan Tegangan Riak terhadap Beban Dari grafik terlihat bahwa keluaran regulator linier mempunyai tegangan riak yang lebih kecil dari regulator

Hasil simulasi menunjukkan bahwa pemasangan kapasitor seri dapat menurunkan reaktansi saluran transmisi, sehingga transfer daya optimal, sudut pemutusan kritis dan waktu

For the reason above, the writer is interested to carry out a research entitled “ Speaking Ability of the Fifth Grade Students of SD N 4 Welahan Jepara in the Academic

Kemitraan bidan dengan dukun adalah suatu bentuk kerjasama bidan dengandukun yang saling menguntungkan dengan prinsip keterbukaaan, kesetaraan,dan kepercayaan dalam

Acute Oral Toxicity and Brine Shrimp Lethality of Elaeis guineensis Jacq., (Oil Palm Leaf) Methanol