• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU PROSOSIAL DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA SISWA DI SMP N 4 SALATIGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PERILAKU PROSOSIAL DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA SISWA DI SMP N 4 SALATIGA"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU PROSOSIAL DENGAN

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA SISWA DI SMP N 4

SALATIGA

OLEH

DELLA BUANA TUNGGADEWI 802014211

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU PROSOSIAL DENGAN

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA SISWA DI SMP N 4

SALATIGA

Della Buana Tunggadewi Berta Esti A. Prasetya

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada siswa di SMP N 4 Salatiga. Jumlah partisipan dalam penelitian ini sebanyak 114 orang siswa dengan teknik pengambilan data menggunakan convenience sampling. Variabel perilaku prososial diukur dengan Skala A New Scale for Measuring Prossocialness yang dikemukakan oleh Caprara (2005) dan variabel psychological well-being diukur dengan Skala RPWB (Ryff Psychological Well-Being) yang dikembangkan oleh Ryff (1989). Data dianalisis menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson. Koefisien korelasi yang diperoleh sebesar r= 0,522 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) sehingga dapat disimpulkan, ada hubungan postif dan signifikan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada siswa di SMP N 4 Salatiga. Makin tinggi perilaku prososial, maka makin tinggi psychological well-being dan makin rendah perilaku prososial, maka makin rendah psychological well-being.

(9)

ii Abstract

This study aims to determine the corelation between prosocial behavior and psychological well-being among students in SMP N 4 Salatiga. The number of participants in this study were 114 students with data colletion technique using convenience sampling. Prosocial behavioral variable were measured by the Scale of A New Scale for Measuring Prossocialness proposed by Caprara (2005) and psychological well-being variable measured by Scale RPWB (Ryff Psychological Well-Being) developed by Ryff (1989). Data were analyzed using Product Moment Pearson correlation technique. The correlation coefficient obtained is r = 0,522 with significance 0.000 (p <0,05) so it can be concluded that there is a positive and significant correlation between prosocial behavior and psychological well-being in students in SMP N 4 Salatiga. The higher the prosocial behavior, the higher the psychological well-being and the lower the prosocial behavior, the lower the psychological well-being.

(10)

1

PENDAHULUAN

Awal masa remaja merupakan periode waktu ketika banyak transisi terjadi. Perubahan dalam proses fisik, hormonal, keluarga, relasional, dan pendidikan semuanya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat. Perubahan ini, terutama terkait dengan pubertas, diperkirakan menciptakan konteks di mana tuntutan dan tantangan yang dihadapi remaja meningkat secara signifikan. Lingkungan rumah merupakan wilayah yang paling berpengaruh dalam pembentukan kepribadian dasar remaja, terdiri dari berbagai faktor yang dapat menjadi penyebab langsung yang mampu berkontribusi terhadap kesejahteraan psikologis (psychological well-being) remaja (Cripps & Zyomski, 2009). Sebagaimana diungkapkan oleh Rathi dan Rastogi (2007) bahwa kualitas hubungan dalam keluarga, terutama dengan orang tua merupakan faktor penentu utama kesejahteraan psikologis pada remaja. Interaksi remaja dengan orang tua dapat membangun fondasi untuk kesejahteraan psikologis remaja, yang mungkin berimplikasi pada kesejahteraan psikologis anak-anak sepanjang hidup. Salah satu bentuk well-being yang relevan dengan tahap perkembangan remaja adalah kesejahteraan psikologis, seperti yang telah ditemukan oleh Akhtar (2009) bahwa kesejahteraan psikologis dapat membantu remaja untuk menumbuhkan emosi positif, merasakan kepuasan hidup dan kebahagiaan, mengurangi depresi, dan perilaku negatif remaja.

Kesejahteraan psikologis dalam ilmu psikologi lebih dikenal dengan istilah psychological well-being yang digunakan untuk

(11)

2

menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan fungsi psikologi positif. Psychological well-being, dikonseptualisasikan oleh Deci dan Ryan (2008) sebagai beberapa kombinasi keadaan afektif positif seperti kebahagiaan (perspektif hedonis) dan berfungsi dengan efektivitas optimal dalam kehidupan individu dan sosial (perspektif eudaimoni). Sementara itu pengertian dari psychological well-being dikemukakan oleh Ryff (1989) bahwa psychological well-being suatu kondisi seseorang yang bukan hanya bebas dari tekanan atau masalah-masalah mental saja, tetapi kondisi seseorang itu sendiri maupun kehidupannya di masa lalu (self-acceptance), pengembangan atau pertumbuhan diri (personal growth), keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan (purpose in life), memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others), kapasitas untuk mengatur kehidupannya dan lingkungannya secara efektif (environmental mastery), dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri (autonomy). Sedangkan menurut Urbis (2011), psychological well-being mengacu pada pencapaian perkembangan yang diharapkan dan pembentukan keterampilan yang efektif, keterikatan yang aman, dan hubungan sosial yang positif.

Adapun efek positif dari psychological well-being pada remaja yang dikemukakan oleh Langford dan Badeau (2013) yaitu mengembangkan dan membangun relasi dalam komunitas sosial; berhasil dalam berinteraksi dengan komunitasnya; dapat mengenali, mengetahui dan mengekspresikan emosinya dapat menyalurkan emosinya ke dalam

(12)

3

perilaku yang baik, memiliki kebugaran dan kesehatan fisik, dan memiliki tujuan hidup.

Selain itu juga jika individu memiliki psychological well-being yang rendah dapat menimbulkan beberapa efek yang dikemukakan oleh Ryff dan Singer (2008), bahwa seseorang individu yang memiliki psychological well-being yang rendah membuat individu tersebut memiliki penerimaan diri yang rendah dilihat dari individu akan merasa tidak puas dengan dirinya, kecewa terhadap apa yang telah terjadi di masa lalu, merasa berbeda dari apa yang ada pada dirinya. Individu yang memiliki psychological well-being yang rendah ia juga akan memiliki hubungan postif dengan orang lain yang rendah pula dilihat dari individu akan memiliki sedikit hubungan yang akrab dan saling percaya dengan orang lain, merasa dirinya adalah individu yang sukar akrab, sulit terbuka, dan tidak peduli dengan orang lain, tidak berkeinginan untuk membuat satu kesepakatan atau kompromi untuk menjaga keterkaitan oleh orang lain. Individu yang memiliki psychological well-being yang rendah pula ia akan memiliki otonomi yang rendah pula dilihat dari individu akan tergantung pada harapan dan evaluasi orang lain. Selain itu juga individu yang memiliki psychological well-being yang rendah ia akan merasa kesulitan dalam mengatur kehidupannya sehari-hari, merasa tidak mampu untuk merubah atau meningkatkan hal-hal disekitarnya, kurangnya perhatian akan kesempatan yang ada di sekitarnya, kurangnya pengendalian akan lingkungan sekitarnya. Dan individu yang memiliki psychological well-being yang rendah ia tidak memiliki tujuan hidup, ia akan merasa

(13)

4

kekurangan makna dalam hidupnya, tidak memiliki harapan atau keyakinan yang dapat memberikan makna bagi kehidupanya, dan yang tidak mewakili adanya pertumbuhan pribadi dengan adanya perasaan yang terhenti (stagnation), kurangnya keinginan untuk terus tumbuh dan berkembang, merasa bosan dan tidak adanya ketertarikan dalam hidup, merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap dan kebiasaan kebiasaan yang baru.

Berangkat dari psychological well-being yang rendah sebenarnya pada kenyataannya, banyak kondisi-kondisi kurang menguntungkan yang menggambarkan bahwa kesejahteraan psikologis belum tercapai dengan baik terutama pada remaja (Noor dkk, 2017). Kesejahteran psikologis pada remaja yang belum tercapai dapat dilihat dari hasil penelitian Indrawati (2013) tentang kesejahteraan psikologis pada siswa SMP Terbuka, dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa remaja sering kali terlibat dalam kenakalan seperti tawuran dan membolos pada saat jam pelajaran sekolah yang disebabkan kurangnya kesejahteraan psikologis di bidang akademik.

Selain itu juga terdapat kurangnya kesejahteraan psikologis dibidang akademik pada remaja dilihat dari kasus baru-baru ini pada seorang anak yang berusia 12 tahun di China ia mencoba bunuh diri dengan melompat dari lantai 15. Penyebabnya adalah anak tersebut stress dengan PR yang ia dapat dari sekolahnya yang belum selesai dikerjakan yang seharusnya PR tersebut diselesaikan selama liburan musim dingin (HaiBunda.com, 05 Maret 2018). Selain dari kesejahteraan psikologis dibidang akademik terdapat pula remaja 13 tahun yang bunuh diri dari

(14)

5

Jembatan Gunung Tabur penyebabnya adalah ia depresi karena kurangnya perhatian yang diberikan oleh keluarganya (Tribunnews.com, 02 Maret 2018).

Berbagai hasil survei menjelaskan mengenai depresi yang dialami oleh remaja bahwa gangguan depresi berat yang dialami oleh remaja sebesar 9% di Indonesia, sedangkan di AS tercatat lebih dari 2 juta kasus remaja mengalami depresi menurut Institut Kesehatan Mental Nasional AS. Stres dan kemudian berujung depresi yang dialami oleh remaja biasanya berkaitan dengan tuntutan akademis, tekanan untuk berhasil di kegiatan ekstrakurikuler, ekspektasi orang tua, dan ketidakpastian tentang masa depan (Aura, 05 Agustus 2017). Dari permasalahan psychological well-being pada remaja, diharapkan remaja memiliki perilaku positif yang dapat membantu remaja dalam mengembangkan pertumbuhan diri.

Dari beberapa uraian mengenai efek positif serta mengenai rendahnya psychological well-being pada remaja terdapat pula faktor yang mempengaruhi psychological well-being. Ryff dan Keyes (1995) menjelaskan bahwa tingkat psychological well-being didasarkan pada perbedaan usia, faktor jenis kelamin menjelaskan bahwa wanita cenderung lebih memiliki psychological well-being dibandingkan laki-laki karena hal ini dikaitkan dengan pola pikir yang berpengaruh terhadap strategi koping yang dilakukan, serta aktivitas sosial yang dilakukan, dimana wanita memiliki kemampuan interpersonal yang lebih baik daripada laki-laki. Lebih lanjut Ryff (1999) menjelaskan bahwa faktor status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi dari penerimaan diri, tujuan dalam hidup,

(15)

6

penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi, faktor dukungan sosial berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan oleh individu itu sendiri sebagai contoh individu aktif dalam pertemuan-pertemuan atau organisasi serta dengan siapa individu itu melakukan interaksi sosial.

Seorang remaja yang memiliki psychological well-being yang tinggi akan mampu mengevaluasi diri sendiri dan mampu untuk memenuhi aspek-aspek tertentu dalam kehidupan mereka, seperti memiliki hubungan positif dengan orang lain dan dapat membangun hubungan yang hangat dan saling percaya, mengalami empati dan keintiman serta memahami dinamika sebuah hubungan (Rathi & Rastogi, 2007). Oleh karena itu psychological well-being dapat dibangun apabila didukung oleh upaya remaja dalam mengembangkan perilaku-perilaku positif yang berguna bagi remaja untuk mewujudkan tujuan-tujuan hidupnya dan merasakan bahwa dirinya tidak memiliki masalah dalam hidupnya dan merasa dalam keadaan bahagia yang dapat membangun hubungan baik dengan orang lain. Perilaku positif yang mendukung pertumbuhan diri remaja, misalnya remaja memiliki tingkah laku sosial yang bertanggung jawab. Salah satu perilaku positif di lingkungan sosial yang bertanggung jawab, serta perlu dikembangkan pada masa remaja yaitu perilaku prososial. Remaja perlu untuk mengeksplorasi sisi positif dari perilaku moral seperti perilaku prososial (Santrock, 2007).

Perilaku prososial umumnya didefinisikan sebagai perilaku sukarela dan disengaja yang memiliki konsekuensi positif bagi kesejahteraan orang lain. Termasuk di dalam kategori perilaku prososial

(16)

7

seperti berbagi, menghibur orang lain, menyumbangkan barang atau uang, kesukarelaan, dan bantuan instrumental (Eisenberg & Miller, 1987). Dengan demikian dapat dipahami, bahwa perilaku prososial terjadi ketika individu melakukan tindakan yang bermanfaat bagi orang lain, terkadang dengan mengorbankan dirinya sendiri. Perilaku prososial bermanfaat bagi masyarakat karena membantu, merawat dan berbagi perilaku meningkatkan jalinan sosial dan memberikan mekanisme pendukung kepada individu. Sebagaimana diungkapkan oleh Nelson (2015), bahwa membantu orang lain dapat menciptakan keuntungan psikologis yang tidak bergantung pada penilaian dan timbal balik orang lain. Membantu orang lain juga menunjukkan manfaat psikologis yang sebagian besar bersifat meningkatkan emosi positif dan mengurangi emosi negatif. Misalnya, membelanjakan uang untuk memberi manfaat kepada orang lain dapat meningkatkan kebahagiaan dibandingkan dengan menghabiskan uang untuk keuntungan diri sendiri. Dampak dari perilaku prososial yang terdokumentasi dengan baik pada peningkatan psychological well-being adalah bahwa perilaku prososial semacam itu membuat orang mengalami lebih banyak emosi positif dan lebih sedikit emosi negatif. Dengan kata lain, karena orang melakukan hal-hal baik untuk orang lain, mereka akan merasakan sukacita, kepuasan, dan cinta yang lebih besar, yang membawa mereka untuk menikmati kesejahteraan secara keseluruhan, yang pada gilirannya emosi positif ini dapat membantu memperbaiki hubungan sosial yang pada giliranya akan meningkatkan psychological well-being.

(17)

8

Beberapa penelitian terkait hubungan perilaku prososial dengan psychological well-being telah dilakukan oleh Setyawati (2015) dan Megawati dan Herdiyanto (2016). Penelitian yang dilakukan oleh Setyawati (2015) menemukan adanya hubungan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-being siswa SMK Muhammadiyah 2 Yogyakarta yang berarti menunjukkan bahwa semakin tinggi perilaku prososial maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis (psychological well-being) pada siswa SMK Muhammadiyah 2 Yogyakarta, sebaliknya semakin rendah perilaku prososial maka semakin rendah pula kesejahteraan psikologis (psychological well-being) pada siswa SMK Muhammadiyah 2 Yogyakarta. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Megawati dan Herdiyanto (2016) menemukan adanya hubungan signifikan dan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-being yang berarti semakin tinggi perilaku prososial semakin tinggi pula psychological well-being remaja. Tetapi terdapat pula penelitian yang dilakukan oleh Vinotkhumar (2015) kepada remaja yang tinggal di India yang menemukan bahwa perilaku prososial dengan psychological well-being berhubungan negatif walaupun perilaku prososial adalah perilaku positif.

Maka dari itu penulis ingin melakukan penelitian dengan topik “Hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada siswa di SMP N 4 Salatiga” dengan pertimbangan bahwa di sekolah tersebut masih banyak peserta didik yang memiliki psychological well-being yang rendah ditunjukan dengan membolos pada saat jam pelajaran

(18)

9

lebih lagi membolos sekolah, merokok, ada juga yang tidak mengikuti aturan-aturan yang ada di sekolah, susah diatur, dan individual. Hal tersebut diketahui karena sebelumnya penulis melakukan wawancara kepada 2 guru Bimbingan dan Konseling di sekolah tersebut. Maka peneliti hendak melaksanakan penelitian secara mendalam dengan mengajukan hipoetesis “Ada hubungan yang positif signifikan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada siswa di SMP N 4 Salatiga”

(19)

10

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif korelasional. Fokus penelitian lebih pada pengujian hubungan antara dua variabel atau lebih (Sugiyono, 2009). Variabel

Variabel yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari :

1. Variabel bebas (independent variabel) yaitu perilaku prososial 2. Variabel terikat (dependent variabel) yaitu psychological well-being.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 4 Salatiga yang berjumlah 738 orang.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VII-VIII, dengan menggunakan tehnik convenience sampling yang merupakan tehnik pengambilan data dengan mudah memilih sampel dari orang atau unit yang paling mudah dijumpai atau diakses dengan jumlah 114 siswa dihitung oleh rumus Slovin dengan taraf kesalahan sebesar 10%.

Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua alat ukur yakni:

(20)

11

a. Skala Perilaku Sosial

A New Scale for Measuring Prossocialness dikemukakan oleh Caprara (2005) terdiri dari aspek membantu, merawat, berbagi, empati yang diterjemahkan oleh peneliti. Terdapat 16 item dengan pernyataan yang terdiri dari empat pilihan jawaban likert yakni sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Reliabilitas dari alat ukur tersebut 0,91.

Peneliti menggunakan uji coba terpakai kemudian telah dilakukan uji daya uji daya diskriminasi dan reliabilitas berjumlah 16 aitem, dan tidak ada item yang gugur dengan 1 kali putaran karena memiliki nilai koefisien korelasi aitem yang lebih besar dari 0,25 (Azwar, 2004). Koefisien korelasi aitem totalnya bergerak antara 0,379-0,537 dengan nilai reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,840 berdasarkan kriteria reliabilitas menurut Guilford-Fucher (dalam Azwar, 2005) berarti reliabilitas sangat tinggi.

b. Skala Psychological Well-Being

RPWB (Ryff psychological well-being) yang di kembangkan oleh Ryff tahun 1989 yaitu: dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, pertumbuhan pribadi yang diterjemahkan oleh peneliti. Terdapat 42 item dengan pernyataan yang terdiri dari empat pilihan jawaban likert yakni sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Reliabilitas dari alat ukur tersebut dari masing-masing dimensi yaitu Environmental Mastery 0,81 Personal Growth 0,81

(21)

12

Positive Relations 0,83 Purpose in Life 0,82 Self-Acceptance 0,85 dan Autonomy 0,88.

Peneliti menggunakan uji coba terpakai kemudian telah dilakukan uji daya uji daya diskriminasi dan reliabilitas berjumlah 42 aitem didapatkan 21 aitem yang gugur dengan percobaan 4 kali putaran karena memiliki nilai koefisien korelasi aitem yang lebih kecil dari 0,25 (Azwar, 2004). Koefisien korelasi aitem totalnya bergerak antara 0,285-0,634 dengan nilai reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,866 berdasarkan kriteria reliabilitas menurut Guilford-Fucher (dalam Azwar, 2005) berarti reliabilitas sangat tinggi.

Analisis Data

Untuk menganalisis hubungan antara perilaku prososial dengan psychology well-being, digunakan analisa korelasi. Metode analisa yang digunakan adalah korelasi product moment dari Pearson. Teknik penghitungan korelasi product moment dari Pearson dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS 16.00 for windows.

(22)

13

HASIL PENELITIAN

Analisis Deskriptif 1. Perilaku Prososial

Variabel perilaku prososial akan dibuat sebanyak 5 kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah. Rumus untuk mencari interval yang digunakan untuk menentukan kategori perilaku prososial adalah dengan mengurangi jumlah skor tertinggi dengan jumlah skor terendah dan membaginya dengan jumlah kategori. Analisis deskriptif data diperoleh hasil seperti pada tabel berikut:

Tabel 1. Kriteria Skor Perilaku Prososial

KATEGORI Interval FREKUENSI % MEAN STANDAR

DEVIASI Sangat Tinggi 54,4≤ x < 64 16 14% 49,47 5,292 Tinggi 44,8 ≤ x < 54,4 78 68% Sedang 35,2 ≤ x < 44,8 20 18% Rendah 25,6 ≤ x < 35,2 0 0% Sangat Rendah 16 ≤ x < 25,6 0 0%

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan tingkat perilaku prososial berada pada kategori sedang sebesar 18 %, kategori tinggi sebesar 68 %, pada kategori sangat tinggi sebesar 14%. Mean/rata-rata yang diperoleh pada tingkat perilaku prososial adalah 49,47 berada pada kriteria tinggi.

(23)

14

2. Psychological Well-Being

Variabel psychological well-being akan dibuat sebanyak 5 kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah. Rumus untuk mencari interval yang digunakan untuk menentukan kategori psychological well-being adalah dengan mengurangi jumlah skor tertinggi dengan jumlah skor terendah dan membaginya dengan jumlah kategori. Analisis deskriptif data diperoleh hasil seperti pada tabel berikut:

Tabel 2. Kriteria Skor Psychological Well-Being KATEGORI

Interval FREKUENSI % MEAN STANDAR

DEVIASI Sangat Tinggi 71,4≤x< 84 15 13% 62,58 7,822 Tinggi 58,8 ≤x< 71,4 68 60% Sedang 46,2 ≤x < 58,8 29 25% Rendah 33,6 ≤x< 46,2 2 2% Sangat Rendah 21 ≤x< 33,6 0 0%

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan tingkat psychological well-being berada pada kategori rendah didapati presentase sebesar 2 %, kategori sedang sebesar 25%, kategori tinggi sebesar 60%, kategori sangat tinggi sebesar 13%. Mean/rata-rata yang diperoleh adalah 62,58 Berdasarkan mean yang diperoleh, psychological well-being yang dimiliki siswa SMP N 4 Salatiga berada pada kriteria yang tinggi.

(24)

15

Hasil Uji Asumsi

1. Hasil Uji Normalitas

Berdasarkan hasil uji normalitas pada penelitian ini menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data pada masing-masing variabel. Berdasarkan hasil uji normalitas data menunjukkan dari variabel psychological well-being menujukkan nilai K-S-Z sebesar 0,651 dengan nilai sign. = 0,791 (p > 0,05), dan variabel perilaku prososial memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,639 dengan nilai sign. = 0,809 (p > 0,05) dengan demikian kedua variabel tersebut berdistribusi normal.

2. Hasil Uji Linieritas

Berdasarkan hasil uji linearitas, pada variabel psychological well-being dan perilaku prososial dapat diketahui nilai F beda sebesar 0,621 dengan signifikansi sebesar p = 0,897 (p > 0,05 ) yang menunjukkan hubungan antara kedua variabel tersebut sejajar atau linear.

3. Hasil Uji Hipotesis

Berdasarkan hasil uji korelasi Product Moment-Pearson dengan bantuan SPSS 16.00 for windows menunjukkan besar nilai r = 0,522 dan nilai p sig. 0,000 (p<0,05). Yang berarti terdapat adanya hubungan positif yang signifikan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada siswa di SMP N 4 Salatiga dimana semakin tinggi perilaku prososial maka semakin tinggi pula psychological well-being pada siswa di SMP N 4 Salatiga begitupun sebaliknya semakin rendah perilaku prososial maka

(25)

16

semakin rendah pula psychological well-being pada siswa di SMP N 4 Salatiga. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 3. Uji Korelasi dengan Pearson Correlation Product Moment Correlations PWB PROSOSIAL PWB Pearson Correlation 1 .522 Sig. (1-tailed) .000 N 114 114 PROSOSIAL Pearson Correlation .522 1 Sig. (1-tailed) .000 N 114 114 PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang didapatkan untuk melihat hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being diperoleh hasil nilai r= 0,522 dengan signifikansi 0,000 (p < 0,05) yang berarti hasil tersebut menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada siswa di SMP N 4 Salatiga. Kedua variabel memiliki hubungan positif yang menunjukkan keduanya searah, artinya makin tinggi perilaku prososial, maka makin tinggi psychological well-being dan sebaliknya semakin rendah perilaku prososial maka, makin rendah tingkat psychological well-being. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Megawati dan Herdiyanto (2016) yang menyebutkan adanya hubungan positif

(26)

17

yang signifikan antara perilaku prososial dengan psychological well-being dimana semakin tingginya perilaku prososial semakin meningkat pula psychological well-being.

Perilaku prososial berkaitan dengan perilaku positif yang mendukung pertumbuhan diri remaja yang memiliki tingkah laku sosial yang bertanggung jawab. Individu yang memiliki tingkat perilaku prososial tinggi lebih mampu meningkatkan emosi positif dan mengurangi emosi negatif dengan kata lain karena orang melakukan hal-hal baik untuk orang lain, mereka akan merasakan sukacita, kepuasaan dan cinta lebih besar, yang membawa mereka untuk menikmati kesejahteraan secara keseluruhan, yang pada giliranya emosi positif ini dapat membantu memperbaiki hubungan sosial yang akan meningkatkan psychological well-being (Nelson, 2015). Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa teori yang mengatakan bahwa ada keterkaitan antara perilaku prososial dengan psychological well-being. Salah satunya adalah teori Wentzel dan Eisenberg (dalam Belgrave, Nguyen, Johnson & Hood, 2011) yang menjelaskan bahwa perilaku prososial merupakan sebuah indikator dari kompetensi sosial dan telah dikaitkan pada beberapa hasil yang positif seperti psychological well-being.

Weinstein (2010) yang menyatakan bahwa ketika seseorang memberikan pertolongan dalam bentuk perilaku prososial memiliki keterkaitan pada kesejahteraan psikologis (psychological well-being) pada orang yang melakukan tindakan menolong. Siswa yang mampu melakukan perilaku prososial yang tinggi maka mempengaruhi tingkat kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang dimiliki juga tinggi. Siswa yang mampu mengimplementasikan perilaku

(27)

18

prososial dalam kehidupan sehari-hari cenderung dapat mencapai kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang baik.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif diketahui bahwa tingkat perilaku prososial pada siswa di SMP N 4 Salatiga menurut data yang diperoleh yaitu tingkat perilaku prososial pada kategori sangat tinggi sebesar 14% berjumlah 16 orang, pada kategori tinggi sebesar 68% berjumlah 78 orang, pada kategori sedang sebesar 18% berjumlah 20 orang. Berdasarkan hasil analisis deskriptif tingkat perilaku prososial pada siswa di SMP N 4 Salatiga berada di kategori tinggi dengan rata-rata nilai sebesar 49,47.

Kategori tinggi dapat menggambarkan tingkat keterikatan individu terhadap perilaku prososial baik. Eisenberg & Miller (1987) menjelaskan bahwa perilaku prososial merupakan perilaku sukarela dan disengaja yang memiliki konsekuensi positif bagi kesejahteraan orang lain, termasuk di dalam kategori perilaku prososial seperti membantu, berbagi, merawat, dan empati (Caprara, 2005), dengan demikian dapat dipahami bahwa perilaku prososial terjadi ketika individu melakukan tindakan yang bermanfaat bagi orang lain, terkadang dengan mengorbankan dirinya sendiri.

Berdasarkan kategori tinggi tersebut siswa di SMP N 4 Salatiga memiliki perilaku prososial yang baik senantiasa melakukan tindakan yang dapat memberikan manfaat untuk orang lain. Tindakan yang dilakukan dalam bentuk tindakan membantu, berbagi, empati, dan merawat (Caprara, 2005). Demikian pula dengan siswa tersebut memiliki kemandirian dalam bertindak, tercipta hubungan yang positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, dan

(28)

19

mengembangkan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik (Setyawati, 2015). Penulis mengasumsikan bahwa hal lain yang dapat memengaruhi perilaku prososial yaitu karena siswa di SMP N 4 Salatiga sudah sejak dini lingkungan sekolah sudah menanamkan perilaku prososial dalam kehidupan sehari-hari, seperti Bimbingan dan Konseling memberikan layanan informasi mengenai perilaku prososial dengan tujuan memberikan pemahaman agar siswa mengerti mengenai pentingnya berperilaku prososial dalam kehidupan sehari-hari, selain itu setiap hari Jumat SMP N 4 Salatiga mengadakan infaq dan uang tersebut guna disumbangkan kepada orang yang membutuhkan, selain itu juga interaksi dengan teman sebaya juga memiliki peran pada siswa di SMP N 4 Salatiga untuk berperilaku prososial. Oleh karena itu, untuk membentuk perilaku prososial siswa dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak, baik keluarga, lingkungan akademik, dan lingkungan masyarakat. Selanjutnya berdasarkan pengamatan dan wawancara peneliti kepada siswa dSMP N 4 Salatiga memiliki jiwa sosial yang tinggi dilihat dari teman yang sedang membutuhkan mereka dengan segera menolongnya, mereka menghibur teman yang sedang bersedih, mereka dengan mudah meminjamkan uang kepada teman mereka.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif diketahui bahwa tingkat psychological well-being pada siswa di SMP N 4 Salatiga menurut data yang diperoleh tingkat psychological well-being pada kategori sangat tinggi sebesar 13% berjumlah 15 orang, pada kategori tinggi sebesar 60% berjumlah 68 orang, pada kategori sedang sebesar 25% berjumlah 29 orang, pada kategori rendah sebesar 2% berjumlah 2 orang. Berdasarkan hasil analisis deksriptif tingkat

(29)

20

psychological well-being siswa di SMP N 4 Salatiga berada di kategori tinggi dengan rata-rata nilai sebesar 62,58.

Kategori tinggi dapat memberikan gambaran mengenai psychological well-being berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Psychological well-being yang tinggi menunjukkan bahwa remaja mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangan di masa remaja. Tugas perkembangan yang berhasil remaja selesaikan, membuat remaja dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukannya. Keberhasilan penyelesaian tugas perkembangan akan menimbulkan kebahagiaan dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya (Havighurst, dalam Ali & Asrori, 2012). Individu yang mencapai kesejahteraan psikologis dapat meningkatkan kebahagiaan, kesehatan mental yang positif, dan pertumbuhan diri (Handayani, 2010). Lebih lanjut Rathi dan Rastogi (2007) menjelaskan bahwa remaja yang memiliki psychological well-being yang tinggi akan mampu mengevaluasi diri sendiri dan mampu untuk memenuhi aspek-aspek tertentu dalam kehidupan mereka, seperti memiliki hubungan positif dengan orang lain dan dapat membangun hubungan yang hangat dan saling percaya, mengalami empati dan keintiman serta memahami dinamika sebuah hubungan.

Berdasarkan kategori tinggi tersebut siswa di SMP N 4 Salatiga memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan keenam aspek kehidupan yang di kemukakan Ryff (1989), yang artinya yaitu siswa di SMP N 4 Salatiga mempunyai pengalaman yang positif terhadap diri sendiri, yang kemudian memunculkan tindakan positif sehingga siswa tersebut mampu bersikap hangat dan percaya dalam suatu hubungan dengan orang lain. Hal ini juga dapat

(30)

21

dipengaruhi oleh antara lain lingkungan sekolah, dimana lingkungan SMP N 4 Salatiga mengajarkan untuk saling menghargai baik antar siswa dengan guru maupun guru terhadap siswa. Disamping itu, kepada siswa di SMP N 4 Salatiga terbuka dengan pengalaman-pengalaman baru sehingga dapat menyadari potensi yang ada dalam dirinya. Hal ini juga dipengaruhi oleh asal siswa di SMP N 4 Salatiga yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang yang beragam. Ketika siswa di SMP N 4 Salatiga tersebut bersekolah mereka cenderung memiliki hubungan relasi dengan orang lain dengan latar belakang yang berbeda pula. Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa membangun hubungan antara sesama siswa dengan siswa dan siswa dengan guru telah terbentuk dengan baik. Hal ini menunjukan adanya hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being yang positif.

Dari hasil penelitian korelasi antara perilaku prososial dengan psychological well-being terdapat sumbangan efektif perilaku prososial sebesar 27,25% terhadap psychological well-being dan 72,25% sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti, usia, dukungan sosial, status sosial ekonomi, budaya, dan kepribadian (Ryff & Keyes, 1995).

(31)

22

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada siswa di SMP N 4 Salatiga. Berdasarkan nilai tersebut maka menunjukkan semakin tinggi perilaku prososial siswa di SMP N 4 Salatiga maka dengan sendirinya psychological well-being siswa di SMP N 4 Salatiga akan meningkat. 2. Tingkat perilaku prososial pada siswa di SMP N 4 Salatiga sebagian besar

masuk dalam kategorisasi tinggi. Hal ini ditunjukkan berdasarkan rata-rata-rata subjek sebesar 49,47. Artinya siswa di SMP N 4 Salatiga sudah mampu sepenuhnya memiliki tingkat perilaku prososial dalam hal ini terkait dengan membantu, merawat, berbagi dan berempati.

3. Tingkat psychological well-being siswa di SMP N 4 Salatiga sebagian besar masuk kedalam kategori tinggi. Hal ini ditunjukkan berdasarkan rata-rata subjek sebesar 62,58. Artinya siswa di SMP N 4 Salatiga sudah memahami dan menerima berbagai dimensi kehidupan termasuk di dalamnya penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pengembangan pribadi.

(32)

23

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai, serta mengingat masih banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi Siswa

Bagi Siswa diharapkan untuk mengembangkan, mengaplikasikan perilaku prososial dalam kehidupan sehari-hari seperti membantu orang lain, berbagi, merawat dan memiliki rasa empati kepada orang lain agar tercapainya psychological well-being yang baik dimana siswa tersebut dapat memiliki kehidupan yang lebih bermakna dan ia akan lebih mudah untuk membuat keputusan sendiri dan mengatur perilakunya sendiri

2. Bagi Orang Tua

Bagi Orang Tua diharapkan untuk memberikan contoh atau teladan yang terkait dengan perilaku prososial seperti membantu orang lain, berbagi, merawat dan memiliki rasa empati dalam kehidupan sehari-hari kepada remaja. Dengan memberikan contoh atau teladan remaja dapat meniru perilaku prososial dari orang tua. Dengan mengembangkan perilaku prososial dalam kehidupan sehari-hari remaja akan memiliki kehidupan yang lebih bermakna, dan ia akan lebih mudah untuk membuat keputusan sendiri dan mengatur perilakunya sendiri

3. Bagi Sekolah

Bagi pihak sekolah khususnya guru diharapkan untuk menanamkan perilaku prososial kepada siswanya seperti membantu orang lain, berbagi, merawat, dan memiliki rasa empati kepada orang lain. Tujuannya agar

(33)

24

siswa tersebut memiliki sikap positif terhadap orang lain dan diri sendiri serta dapat memiliki kehidupan yang lebih bermakna dan ia akan lebih mudah untuk membuat keputusan sendiri dan mengatur perilakunya sendiri

4. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini menemukan terdapat hubungan positif yang signifikan antara perilaku prososial dengan psychological well-being sehingga masih terbuka kemungkinan untuk melakukan penelitian lanjutan yang ditinjau dengan usia, dukungan sosial, status sosial ekonomi, budaya dan kepribadian.

(34)

25

DAFTAR PUSTAKA

Abeba, A. R. (2017, Agustus 05). Menelusuri Penyebab Meningkatnya Depresi Remaja Diambil kembali dari https://aura.tabloidbintang.com.

Azwar, S. (2012). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baron, Robert, A., & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial: Jilid 2 (10th ed). Alih Bahasa: Ratna Djuwita, dkk. Jakarta: Erlangga.

Brigham, J. C. (1991). Social psychology (2nd ed). USA: Harper Colling Publisher, Inc.

Carlo, G., & Randall, B. A. (2002). The Development of a Measure of Prosocial Behaviors for Late Adolescents. Published in Journal of Youth and Adolescence, 31, 31-44.

Caprara, G. V. (2005). A New Scale for Measuring Adults’ Prosocialness. Published in European Journal of Psychological Assessment, 21, 77-89. Chaturvedula, S., & Joseph, C. (2007). Dimensions of psychological well-being

and personality in military aircrew: A preliminary study. Indian Journal of Aerospace Medicine, 51, 17-27.

Cripps, K., & Zyromski, B. (2009). Adolescents’ Psychological Well-Being and Perceived Parental Involvement: Implications for Parental Involvement in Middle Schools. Research in Middle Level (RMLE) Online, 33, 1940-4476.

Deci, Edward, L., Ryan., & Richard, M. (2008). Hedonia, Eudaimonia, And Well-Being: An Introduction. Journal of Happiness Studies, 9, 1–11.

Eisenberg, N., & Miller, P. A. (1987). The Relation of Empathy to Prosocial and Related Behaviors. Psychological Bulletin, 101, 91-119.

Eisenberg, N., & Paul, P. M. (1989). The Roots of Prosocial Behavior in Children. Cambridge University Press.

Eisenberg, N., Cumberland, A., Guthrie, I. K., Murphy, B. C., & Shepard, S. A. (2005). Age changes in prosocial responding and moral reasoning in adolescence and early adulthood. Journal of research on adolescence, 75, 235-260.

Eisenberg, N., Spinrad, Tracy. L., & Knafo-Noam, A. (2015). Prosocial Development. In Lamb, Michael E. and Lerner, Richard M. Handbook Of Child Psychology And Developmental Science, 3, 610-656.

(35)

26

Flouri, E., & Buchanan, A. (2003). The Role Of Father Involvement And Mother Involvement In Adolescents’ Psychological Well-Being. British Journal of Social Work, 33, 399–406.

Huppert, Felicia, A. (2009). Psychological Well-being: Evidence Regarding its Causes and Consequences. International Association of Applied Psychology. Published by Blackwell Publishing Ltd.

Indrawati, T. (2013). Peranan Kecerdasan Emosi dan Dukungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis pada Siswa SMP Terbuka. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Jurnal Edukasia Islamika, 2, 77-103.

Kumar, R. (2014). Psychological well-being among adolescents: Role of prosocial behavior.Indian Journal of Health and Well-being, 5, 368-370.

Langford, B. H., & Badeau, S. (2013). A plan for investing in the social, emotional, and physical well-being of older youth in foster care:

Connected by 25. Diambil kembali

dariwww.ostercareworkgroup.org/media/resources/FCWG_WellBeing _Investment_Agenda.pdf.

Megawati, E., & Herdiyanto, Y. K. (2016). Hubungan antara Perilaku Prososial dengan Psychological Well-Being pada Remaja. Jurnal Psikologi Udayana, 3, 132-141.

Mintarsih, M. A. (2015). Hubungan Anatara Perilaku Prososial dengan Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Pada Siswa Kelas XI di SMK Muhammadiyah 2 Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta. Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Universitas Negeri Yogyakarta.

Necolsen, G. (2018, Maret 02). Remaja 13 Tahun Dilaporkan Lompat Dari Jembatan Gunung Tabur. Diambil kembali dari www.tribunnews.com. Noor, L., & Intan. (2017). Gambaran kesejahteraan psikologis pada remaja

laki-laki di sma negeri se-dki jakarta. Jurnal Bimbingan Konseling, 6 ,50-59. Rathi, N., Rastogi., & Renu. (2007). Meaning in life and psychological

well-being in pre-adolescents and adolescents. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, 33, 31-38.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081.

Ryff, C. D., Keyes., & Corey, L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727.

(36)

27

Ryff, C. D., & Singer, H.B. (2008). Know thyself and become what you are a eudaimonic approach to psychological well being. Journal of Happiness Studies, 9, 13-39.

Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak (11th ed) Jakarta: Penerbit Erlangga. Sewaka, A. (2018, Maret 05). Pelajaran dari Kasus Bocah yang Coba Bunuh Diri

karena PR. Diambil kembali dari www.haibunda.com.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Penelitian R & D. Bandung: ALFABETA.

Susanti, Siswati., & Tri, P.A. (2010). Perilaku Prososial: Studi Kasus pada anak Prasekolah. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.

URBIS (2011). The Psychological And Emotional Wellbeing Needs Of Children And Young People: Models Of Effective Practice In Educational Settings. In Literature Review On Meeting, Final Report.

Vinothkumar, M. (2015). Adolescence psychological well-being in relation to spirituality and pro-social behavior. Indian Journal of Positive Psychology, 6, 361-366

Weinstein, N., Ryan., & Richard., M. (2010). When helping helps: Autonomous motivation for prosocial behavior and its influence on well-being for the helper and recipient. Journal of Personality and Social Psychology, 98, 222-244.

Wentzel, K. (2015). Prosocial Behaviour and Schooling. Encyclpedia on Early Childhood Development: PROSOCIAL BEHAVIOUR. Diambil kembali dari http://www.child-encyclopedia.com/sites/default/files/textes-experts/en/4447/prosocial-behaviour-and-schooling.pdf

Gambar

Tabel 1. Kriteria Skor Perilaku Prososial
Tabel 2. Kriteria Skor Psychological Well-Being   KATEGORI
Tabel 3. Uji Korelasi dengan Pearson Correlation Product  Moment  Correlations  PWB  PROSOSIAL  PWB  Pearson  Correlation  1  .522  Sig

Referensi

Dokumen terkait

Pelelangan Umum dengan Pascakualifikasi untuk pekerjaaan Pengadaan Alat Kesehatan Rumah Sakit Rujukan Regional RSUD Kardinah Tahun Anggaran 2015 tersebut dinyatakan

untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh temperatur quenching terhadap nilai kekerasan dan ketangguhan pada hasil pengelasan baja karbon sedang

Berdasarkan hasil dari data yang telah didapatkan pada hipotesis tentang adanya pengaruh penggunaan umpan alami dan umpan buatan menunjukkan bahwa hasil dari nilai sig yang

Segala puji dan syukur hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena anugerah penyertaan-Nya yang besar akhirknya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini

Karena ketiga nilai parameter kisi adalah sama atau = = , maka struktur kristal adalah kubik.. Hasil VSM nanopartikel MgFe 2 O 4 dengan menggunakan PEG 6000

Adapun pengamatan dalam materi penelitian ini adalah aspek demografi, ekonomi dan sosial usaha penangkapan unit alat tangkap Trammel net .Tangkap Trammel net

Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan.. Mollo Tengah Dalam