• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN BISNIS SEBAGAI PROFESI ETIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMBANGUN BISNIS SEBAGAI PROFESI ETIS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBANGUN BISNIS SEBAGAI PROFESI ETIS Lukmanul Hakim

Dosen IAIN Madura

Email: lukman.zhuhakim@gmail.com

Subairi Dosen IAIN Madura

Email: subairisyamsuri@gmail.com

Abstract

When business is linked with ethics, it will generate many perspectives, with the basic question being is there an ethical business? what is the pattern of the relationship between business and ethics? Is there a connection between business and ethics? To be able to say that business is an ethical profession, the business that is being carried out should already be in the corridor of professionalism that adheres to the professional code of ethics or has deviated from that corridor. Islam strongly recommends working hard and doing business properly and lawfully, this business guidance is always associated with benefits that are not only material, but non-material benefits are always highlighted. In Islam, material and non-material are two things that cannot be separated.

Keywords: Ethics, Business, Islam, Profession Abstrak

Bisnis ketika di kaitkan dengan etika, maka akan banyak menimbulkan berbagai persepektif, dengan pertanyaan dasarnya adalah adakah bisnis yang etis itu? bagaimana pola hubungan antara bisnis dengan etika? Adakah kaitannya antara bisnis dan etis tersebut? Untuk dapat dikatakan bisnis sebagai profesi yang etis, maka mestinya bisnis yang dijalankan tersebut sudah dalam koridor profesionalisme yang patuh pada kode etik profesi apa malah melenceng keluar dari koridor tersebut. Agama Islam sangat menganjurkan untuk bekerja keras dan berbisnis secara baik dan halal, tuntunan bisnis ini selalu dikaitkan dengan keuntungan yang tidak hanya materi belaka, tetapi keuntungan yang non materi selalu ditonjolkan. Dalam islam materi dan non materi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Kata Kunci: Etika, Bisnis, Islam, Profesi

Pendahuluan

Bisnis merupakan aktifitas manusia dengan berinteraksi dengan sesama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Di dalam bisnis, berbagai kepentingan saling bertemu dan karena hal tersebutlah bisnis bisa berjalan. Bisnis merupakan aktifitas manusia yang paling tua, mulai dari peradaban manusia yang paling sederhana sampai dalam peradaban yang sangat komplek seperti dewasa ini, tentu mekanisme bisnis juga mengalami perkembangan. Karena bisnis ini syarat dengan berbagai kepentingan manusia pelakunya, tak jarang seseorang dalam menjalankan bisnisnya, melakukan hal-hal yang merugikan manusia lainnya demi mempertahankan kepentingannya. Disinilah bisnis yang berangkat dari etika mempunyai peranan yang sangat penting.

(2)

Bisnis ketika di kaitkan dengan etika, maka akan banyak menimbulkan berbagai persepektif, dengan pertanyaan dasarnya adalah adakah bisnis yang etis itu? bagaimana pola hubungan antara bisnis dengan etika? Adakah kaitannya antara bisnis dan etis tersebut? Dari beberapa pertanyaan diatas, hal yang pasti adalah pentingnya suatu pemahaman bersama, bahwa kepentingan dari berbagai orang harus dikelola dan dikomunikasikan dengan cara yang baik dan bijaksana, agar tidak terjadi kekacauan. Makalah ini menyajikan tinjauan etis terhadap bisnis dengan menghadirkan berbagai persepektif baik dari sisi agama, filosofisnya maupun dari sisi pragmatisnya.

Pengertian Bisnis dan Profesi Etis

Kata bisnis dalam bahasa indonesia diserap dari kata “business” dalam bahasa inggris yang berarti kesibukan. Jadi ada dugaan bahwa makna dari kata bisnis itu adalah kesibukan yang berorientasikan pada profit atau keuntungan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bisnis diartikan sebagai usaha dagang, usaha komersial didunia perdagangan, dan bidang usaha. 1

Skinner (1992) mendefinisikan bisnis adalah pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat. Juga di katakan bahwa bisnis adalah

business is institution with produces goods and services demanded by people (bisnis adalah suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat).2

Cakupan pengertian bisnis secara lebih spesifik adalah merupakan usaha produksi yang dilakukan produsen, yang kemudian didayagunakan atau dijual kepada para pemakai (konsumen) yang memang membutuhkan melalui proses transaksi. Ini artinya ada kesinambungan antara penyedia kebutuhan dengan pemakai segala jenis kebutuhan tersebut. Artinya bisa disebut bisnis ketika semua komponen saling terkait, sehingga tidak bisa dianggap sebagai suatu bisnis manakala hanya ada satu komponen saja. Dengan kata lain bisnis islami adalah usaha untuk mencukupi kebutuhan lewat proses penyediaan oleh produsen kepada konsumen dengan cara-cara serta aturan yang menurut syariat islam diperbolehkan. Baik cara memperolehnya, mengolahnya, maupun dari segi penggunaannya harus halal.3

Bisnis diartikan pula sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan

1 Joha n Arifin. Etika Bisnis Islami. Sema ra ng: Wa lisongo Press. 2009., ha l. 82-83. 2 Bown pa trello da la m Joha n Arifin. Ibid., ha l. 83.

3 M. Isma il Yusa nto, M. Ka rebet Widja ja kusuma. Menggagas Bisnis Islam. Ja ka rta : Gema Insa ni

(3)

efisien. Kegiatan ini meliputi beberapa sektor, yaitu sektor pertanian, sektor industri, sektor jasa dan sektor perdagangan yang dibutuhkan dan diperlukan oleh manusia atau masyarakat. Dewasa ini, dengan perkembangan pengetahuan dan kemajuan tekhnologi, maka kegiatan bisnispun berkembang dalam sektor produksi, bidang pemasaran, bidang finansial dan bidang sumberdaya manusia.4

Setelah kita mendefinisikan bisnis sebagaimana dipaparkan diatas, kita beralih untuk mendefinisikan profesi dan membedakan antara profesional dan profesionalisme. Pengertian profesi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan lain sebagainya) tertentu.

Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan dengan melibatkan kometmen pribadi (moral) yang mendalam. Dengan demikian orang yang profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi serta mempunyai kometmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya itu. Dengan kata lain, orang yang profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan karena ahli dibidang tersebut dan meluangkan seluruh waktu, tenaga, dan perhatiannya untuk pekerjaan tersebut.5

ada beberapa hal yang mencirikan sebuah profesi, yaitu :

1) Adanya keahlian dan keterampilan khusus. Profesi selalu mengandaikan adanya keahlian khusus yang dimiliki orang atau sekelompok yang profesional untuk bisa menjalankan pekerjaannya dengan baik. Keahlian ini umumnya dimiliki dengan kadar, lingkup dan tingkat yang lebih yang melebihi keahlian orang kebanyakan lainnya.

2) Adanya kometmen moral yang tinggi. Kometmen moral ini biasanya dituangkan, khususnya untuk profesi yang luhur, dalam bentuk aturan khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang mengemban profesi yang bersangkutan. Aturan ini biasa disebut dengan kode etik profesi.

3) Orang profesional biasanya adalah orang yang hidup dari profesinya. Profesi telah membentuk identitas orang tersebut dan ia mencurahkan seluruhnya untuk profesi ini.

4 Muslich. Etika Bisnis Islami. Yogya ka rta : Ekonesia . 2004., ha l. 46.

(4)

4) Pengabdian kepada masyarakat. Orang yang mengemban profesi tertentu biasanya mendahulukan kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan pribadinya. Dengan kata lain pula, bahwa orang yang profesional punya kometmen moral untuk memecahkan persoalan yang dihadapi kliennya sampai tuntas.

5) Pada profesi luhur biasanya ada izin khusus untuk menjalankan profesi tersebut. Izin ini diperlukan untuk melindungi masyarakat dari pelaksanaan profesi yang tidak becus, karena profesi yang luhur biasanya menyangkut kepentingan orang banyak, dan terkait dengan nilai luhur kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup, kesehatan dan sebagainya.

Berdasarkan ciri-ciri profesi diatas, terdapat pula prinsip-prinsip etika yang umumnya berlaku, yaitu:

1) Prinsip tanggung jawab. Seorang profesional harus dapat mempertanggungjawabkan pekerjaannya baik pada orang lain maupun untuk dirinya sendiri sebagai konsekwensi dari sikap profesionalnya dan juga dampak dari pekerjaannya bisa dipetanggungjawabkan terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain.

2) Prinsip keadilan. Prinsip ini menuntut agar seorang profesional berlaku adil, tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu dan tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pihak tertentu.

3) Prinsip otonomi. Ini konsekwensi dari hakikat profesi itu sendiri yang menghendaki bahwa dalam melakukan tugasnya, seorang profesional harus otonom dan tidak boleh ada campur tangan pihak luar.

4) Prinsip integritas moral. Seorang profesional adalah orang yang punya integritas yang tinggi karena ia mempunyai kometmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain atau masyarakat.

Problematika Bisnis dan Etika

Konsepsi seseorang atau masyarakat akan sesuatu, lambat laun akan melahirkan suatu kesadaran mengenai hal tersebut. Suatu kesadaran lahir dari suatu pengetahuan atau wawasan dari proses panjang perilaku yang dilakukan terus menerus. Pandangan tentang bisnis sebagai media usaha yang bersifat material untuk mencapai tujuan maksimalisasi laba dan tidak ada bisnis kecuali untuk keuntungan semata, tak pelak telah melahirkan

(5)

suatu kesadaran dalam masyarakat, bahwa bisnis bersifat material dan dilakukan hanya untuk mencapai maksimalisasi keuntungan.6

Bisnis dipahami sebagai aktifitas yang telah ada dalam sistem dan struktur yang “baku”. Bisnis berjalan sebagai proses yang sudah menjadi kegiatan manusia sebagai individu atau masyarakat untuk mencari keuntungan dan memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya. Sementara etika telah dipahami sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri,karenanya terpisah dari bisnis. Etika adalah ilmu yang berisi patokan-patokan mengenai apa yang benar atau salah, yang baik atau buruk dan yang bermanfaat atau tidak manfaat. Dalam kenyataan ini, hubungan bisnis dan etika dipandang sebagai dua hal yang tidak berkaitan, kalaupun ada maka hubungannya adalah negatif, dimana praktik bisnis bertujuan untuk mencapai laba yang sebesar-besarnya dalam situasi persaingan bebas. Sebaliknya etika bila diterapkan dalam dunia bisnis dianggap akan mengganggu upaya mencapai tujuan bisnis.7

Akibat adanya pandangan diatas, maka antara bisnis dan etika dianggap dua bidang garapan yang berbeda. Beberapa nilai moral yang sejalan dengan etika bisnis seperti toleran, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, religiusitas dipandang sebagai nilai-nilai yang tinggi oleh kaum menejer yang kurang berhasil. Sebaliknya nilai-nilai-nilai-nilai yang dipandang lebih sejalan dengan prinsip-prinsip bisnis seperti maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan bebas, menejemen konflik, merupakan nilai-nilai yang di junjung tinggi oleh menejer-menejer sukses. kondisi inilah yang memunculkan citra buruk terhadap bisnis dan dianggap sebagai “dunia hitam atau kotor”, baik di barat maupun dunia timur. Adanya anggapan sinis demikian karena adanya anggapan bahwa pada dasarnya bisnis itu berasaskan ketamakan dan keserakahan. Bisnis semata-mata berpedoman kepada pencarian laba. 8

Ada sebagian pula yang menyatakan bahwa pemisahan bisnis dengan etika tidak realistis, karena bisnis yang tidak didasarkan kepada etika akan menimbulkan kerugian dan kedepan akan merusak citra dari usaha bisnis yang digelutinya.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan kaitannya hubungan etika dan bisnis dalam upaya menyelesaikan problematika diatas (sebagaimana ditulis DR. A. Sonny Keraf dalam bukunya Etika Bisnis):9

6 Moha mmad, Alimin. Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam. Yogya ka rta : BPFE.

2004., ha l. 57.

7 Da wa m Ra ha rjo da lam Muhammad. Etika Bisnis Islami. Yogya ka rta : UPPAMPYKPN., ha l. 15. 8Ibid., ha l.16.

(6)

1) Meskipun bisnis sering sering diidentikan dengan judi, namun tidak seratus persen hal tersebut benar, banyak pertaruhan dan berspekulasi yang harus dimainkan dan tidak hanya yang bersifat materi saja, tetapi nama baik, keluarga, karyawannya untuk itu diperlukan cara dan strategi yang tepat untuk berhasil, sehingga tidak sampai merugikan orang lain, dan pada akhirnya tidak merugikan dirinya sendiri. Karena dalam bisnis ada nilai manusiawi yang dipertaruhkan, maka cara dan strategi untuk menangpun harus manusiawi. Dengan kata lain cara dan strategi pun harus etis.

2) Bisnis terjadi dan berlangsung dalam masyarakat, itu bararti norma atau nilai yang dianggap baik dan berlaku dalam kehidupan pada umumnya, mau tidak mau juga ikut dibawa serta dalam kegiatan dan kehidupan bisnis seorang pelaku bisnis sebagai manusia.

3) Moralitas dan legalitas berkaitan namun tidak identik. Karena dalam praktiknya seringkali legalitas adalah hasil dari permainan politik yang tidak fair, karenanya belum tentu yang legal itu etis.

4) Etika harus dibedakan dari ilmu empiris. Dalam ilmu empiris, suatu fakta yang berulang terus dan terjadi dimana-mana menjadi alasan yang sah bagi kita untuk menarik suatu teori atau hukum ilmiah yang sah dan berlaku universal. Dalam etika tidak demikian. Dari kenyataan adanya sogok, suap menyuap, kolusi, monopoli, nepotisme yang terjadi berulang kali dan bisa ditemukan dimana-mana dalam praktik bisnis kita, tidak dengan sendirinya disimpulkan secara sah bahwa praktik ini adalah praktik yang normatif dan semua pelaku bisnis yang berhasil harus melakukan praktik yang sama. Hal semacam ini tidaklah benar, karena akan merugikan banyak orang dan menghancurkan sistem sosial bangsa secara keseluruhan. Praktek-praktek tersebut akan membuat ekonomi nasional tidak sehat dan dalam perdagangan global akan melemahkan daya saing kita.

5) Pemberitaan, surat pembaca, dan berbagai aksi protes yang terjadi dimana-mana (khususnya di dunia barat) untuk mengecam berbagai pelanggaran dalam kegiatan bisnis, atau mengecam kegiatan bisnis yang tidak baik, menunjukkan bahwa masih banyak orang dan kelompok masyarakat yang menghendaki agar bisnis dijalankan secara baik dan tetap mengindahkan norma-norma moral. Dengan demikian, bisnis dan etika mempunyai kaitan yang sangat erat dan tidak terpisahkan.

Bisnis dalam Beberapa Persepektif

(7)

Biasanya masalah etika bisnis muncul, bila terjadi suatu konflik tanggung jawab kepentingan, atau dilema memilih antara yang benar dan salah, yang salah dengan yang lebih salah, atau mempertimbangkan situasi yang kompleks, yang diakibatkan oleh bisnis. 10 Dalam kontruksi etika bisnis (konvensional), untuk

mengatasi masalah tersebut, diatasi oleh suatu reinterpretasi etika, atau dengan etika terapan. Etika menurut Robby Chandra harus mempunyai empat prinsip: pertama, terkait dengan hal-hal yang mempunyai konsekuensi serius untuk kebaikan manusia.

Kedua, validitas prinsip etika tidak tergantung pada legitimasi suatu lembaga, tetapi tergantung pada rasionalitas atas prinsip tersebut. Ketiga, Mengatasi interes pribadi. Dan keempat, bertumpu pada pertimbangan-pertimbangan yang tidak memihak atau imparsial.11

Adapun dari sudut pandang etika terapan (applied ethics), implementasi etika bisnis menurut Bertens dibagi menjadi tiga taraf: taraf makro, meso, dan mikro. Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek aspek moral dari sistem ekonomi secara umum. Masalah etika disoroti pada skala besar seperti keadilan, keadilan sosial dan lain-lain. Pada taraf meso atau menengah, etika bisnis menyelidiki masalah-masalah etis di bidang organisasi perusahaan, lembaga konsumen, perhimpunan profesi dan lain-lain. Sedangkan pada taraf mikro, etika bisnis memfokuskan pada individu-individu yang berhubungan dengan bisnis seperti tanggung jawab manager, karyawan, produsen, konsumen dan lain-lain.12

Dengan konstruksi etika bisnis tersebut, maka baik buruknya suatu bisnis ditinjau dari sudut pandang etika yang memerankan fungsinya sebagai outsider. Model ini secara langsung atau tidak akan “memaksakan atau menghakimi” suatu bisnis dengan norma-norma etika di atas. Akibatnya, tak pelak akan melahirkan tarik ulur yang tiada berujung. Suatu bisnis dinilai bermanfaat atau tidak merugikan, jika tidak bertentangan dengan nilai-nilai etika yang telah ditentukan. Paparan di atas menunjukkan bahwa, konstruksi etika bisnis dibangun dari keterpisahan bisnis dan etika pada satu sisi serta upaya penggabungan keduanya pada sisi lainnya.

- Persepektif Agama

Agama-agama terdahulu memandang bisnis sebagai sesuatu hal yang kotor penuh tipu daya, mengejar kepentingan sendiri-sendiri dan sesaat. Misalnya dalam

10 George da la m Lukma n Fa uroni. IQTISAD Journal of Islamic Economics. Vol. 4. No. 1. Muha rra m

1424 H/Ma ret 2003.

11 Robby Cha ndra . da la m Lukman Fa uroni. IQTISAD. Ibid.

(8)

nasrani, gereja sebagai central dari ajaran agama, harus diletakkan jauh dari pasar, karena pasar dipandang sebagai sarana orang dalam berbisnis dengan tidak jujur dan penuh tipu daya, sehingga harus dijauhi. Demikian pula dengan pandangan agama yahudi, dengan demikian agama harus memisahkan diri dari kehidupan bisnis yang kotor agar kesucian diri tetap terjaga.

Agama Islam adalah agama yang sempurna, ajarannya tidak memisah-misahkan antara urusan dunia dan urusan akhirat, ajaran islam sangat integratif, komprehensif, dan holistik. Urusan bisnis ataupun ekonomi adalah urusan agama, politik adalah urusan agama dan semua hal yang terkait dengan kehidupan manusia adalah urusan agama. Dalam islam bisnis dipandang sebagai lahan amal ibadah kepada Allah SWT. Islam secara ontologis mengakui bahwa bisnis yang etis itu ada dan bisa di wujudkan, secara aksiologis islam menganjurkan untuk mempraktikan bisnis yang sehat (etis) dan melawan praktik bisnis yang kotor. Atau dengan kata lain, islam mengajarkan untuk terjun dalam bisnis dan mewarnainya dengan aturan-aturan syar’i.

Dalam islam anjuran yang kuat dalam berbisnis setidaknya dapat kita lihat dari 2 hal, yaitu :

1) Perintah langsung dalam alqur’an

Kometmen islam yang memerintahkan umatnya untuk bekerja dimuka bumi mencari rizki karunia Allah SWT dapat ditunjukan dengan beberapa ayat sebagai berikut ini:

a.

وشنلا

هيلإو هقزر نم اولكو اهبكانم يف اوشماف لاولذ ضرلأا مكل لعج يذلا وه

Artinya :

Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. ( Al-Mulk: 15 ).

b.

عيبلا اورذو الله ركذ ىلإ اوعساف ةعمجلا موي نم ةلاصلل يدون اذإ اونمآ نيذلا اهيأ اي

نوملعت متنك نإ مكل ريخ مكلذ

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.( Al-Jumua’ah : 9 ).

c.

اريثك الله اوركذاو الله لضف نم اوغتباو ضرلأا يف اورشتناف ةلاصلا تيضق اذإف

(9)

Artinya :

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. ( Al-Jumu’ah : 10 ).

Ayat ini memberi pengertian agar berbisnis (mencari kelebihan karunia Allah) dilakukan setelah melakukan shalat dan dalam pengertian tidak mengesampingkan dan tujuan keuntungan yang hakiki yaitu keuntungan yang dijanjikan Allah. Karena itu walaupun mendorong melakukan kerja keras atau bisnis, al-Qur’an menggarisbawahi bahwa dorongan yang seharusnya lebih besar adalah memperoleh apa yang berada di sisi Allah.

d.

ضارت نع ةراجت نوكت نأ لاإ لطابلاب مكنيب مكلاومأ اولكأت لا اونمآ نيذلا اهيأ اي

اميحر مكب ناك الله نإ مكسفنأ اولتقت لاو مكنم

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. ( An-Nisa: 29 ).

Salah satu ayat diatas (ayat Al-Jumu’ah ayat 9-10) bekerja dikaitkan dengan iman. Hal ini menunjukan bahwa hubungan antara iman dan kegiatan bagaikan hubungan antara akar tumbuhan dan buahnya.13 Dan diperkuat dengan

ayat 23 Al-Furqon; amal-amal yang tidak disertai iman tidak akan berarti disisi-Nya. Alquran juga tidak memberikan peluang bagi umatnya untuk menganggur sepanjang saat yang dialami dalam kehidupan dunia ini. Faidza faraghta fanshab

dalam surat al-insyiroh (94): 7 menjelaskan hal ini. Sebelum ayat ini dijelaskan;

sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, yang disebut dua kali, merupakan prinsip ketidak adanya keputus asaan (dalam bekerja). Kata faraghta yang di ambil dari kata faragha yang berarti kosong setelah sebelumnya penuh. Kata ini tidak digunakan kecuali untuk melukiskan kekosongan yang didahului oleh kepenuhan, termasuk keluangan yang didahului oleh kesibukan. Seseorang yang telah memenuhi aktunya dengan bekerja, kemudian ia menyelesaikan pekerjan tersebut,

13HM Qura isy Shiha b da lam Muhamma d, Lukma n Fauroni. Visi Alquran tentang Etika dan Bisnis. Ja ka rta : Sa lemba Diniya h. 2002., ha l. 25 – 26.

(10)

maka jarak waktu selesainya pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan selanjutnya dinamai faragh.14

e.

لدعلاب بتاك مكنيب بتكيلو هوبتكاف ىمسم لجأ ىلإ نيدب متنيادت اذإ اونمآ نيذلا اهيأ اي

.

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar... (Al- Baqarah : 282).

Paparan di atas menegaskan bahwa, pertama, al-Qur’an memberikan tuntunan bisnis yang jelas yaitu pertama, alquran mendorong dengan sangat kuat untuk selaku bekerja dan berbisnis dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, tidak boleh ada waktu senggang dan berlalu dengan diisi hal-hal yang sia-sia, visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan sesaat, melainkan mencari keuntungan yang hakiki; baik dan berakibat baik pula bagi kesudahannya. Kedua, Keuntungan bisnis menurut al-Qur’an bukan sematamata bersifat material tetapi bersifat material sekaligus immaterial, bahkan lebih mengutamakan hal yang bersifat immaterial atau kualitas. Ketiga, bahwa bisnis bukan sematamata berhubungan dengan manusia tetapi juga berhubungan dengan Allah. Dengan demikian etika bisnis dalam al-Qur’an berada dalam kesatuan pandangan dalam hakikat bisnis itu sendiri. Keempat, profesionalisme, akuntabilitas, dan kejelasan dalam transaksi bisnis haruslah diutamakan, yaitu dengan mencatatkan dengan baik sehingga ada bukti tertulis yang kuat dan tidak hanya didasarkan kepada asas kepercayaan semata.

2) Nabi adalah seorang pebisnis ulung.

Nabi muhammad adalah tauladan yang baik dalam kehidupan manusia. Beliau berhasil merumuskan kerangka etik dalam seluruh lini kehidupan manusia, baik itu dalam bidang perekonomian dan bisnis, politik, keluarga dan lain sebagainya. Contoh konkrit dari ajaran islam adalah pribadi rasul yang agung.

Kita tahu dalam sejarah perjalanan hidup beliau, sejak dari umur belia, beliau sudah mengenal bisnis dan jauh dari praktek bisnis yang kotor, meskipun rasul berada dalam lingkup praktik bisnis yang curang dan kotor (menghalalkan berbagai cara dalam memperoleh keuntungan materi, seperti banyak dipraktekan para pedagang quraisy) bahkan beliau mempraktekan bisnis yang baik dan etis,

(11)

seperti tercermin dari sikapnya dalam berbisnis yaitu jujur, amanah (tanggung jawab), profesional, tidak menipu, menepati janji, murah hati, dan segala perbuatannya selalu terintegrasi dengan dunia spiritual dan ukhrawi.15 Dengan

demikian, mengacu pada praktik rasul dalam berbisnis, menjadi jelaslah bahwa profesi bisnis adalah profesi yang etis.

- Persepektif Praktis Realistis

Bisnis adalah kegiatan diantara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual, dan membeli barang dan jasa untuk mencari keuntungan. 16 Pandangan ini

di dukung oleh ekonomi klasik (Adam Smith) dan neo-klasik (seperti Milton Friedman ). Asumsi yang dibangun dari pandangan ini adalah pertama, dalam dunia modern, pembagian kerja sudah merata, dan manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup semuanya dengan dirinya, sehingga ia harus menukarkan hasil produksinya dengan produksi orang lain. Dalam perjalanannya, ada sebagian yang berhasil memupuk dan sebagian lagi menjadi pekerja. Kedua, semua manusia ingin agar hidupnya lebih baik, Karenanya ekonomi harus tumbuh dan terus berjalan, hal yang perlu dialakukan adalah merangsang pemilik modal untuk tetap menanamkan modalnya dalam kegiatan produktif. Konsekwensinya adalah memberi keuntungan kepada pemilik modal, dan memberi upah kepada pekerja.

Dalam keadaan seperti diatas, mencari keuntungan sebagai satu-satunya alasan dalam berbisnis dipandang sebagai sesuatu hal yang etis, karena dengan keuntungan pemilik modal akan terus menanamkan modalnya dan ekonomi akan berjalan, sedangkan untuk buruh, memberikan upah untuk terus bekerja dan memperbaiki taraf hidupnya.

- Pandangan Idealis

Dalam pandangan ini, bisnis adalah kegiatan diantara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual, membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.17 Dengan pandangan ini, keuntungan dipandang sebagai

konsekwensi logis dari kegiatan bisnis, keuntungan adalah simbol dari kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis yang dijalankan. Artinya, karena masyarakat merasa

15 Joha n Arifin. Etika Bisnis Islami…, ha l. 53-61.

16 A. Sonny Kera f. Etika Bisnis…, hal. 48. 17 Ibid., ha l. 50.

(12)

kebutuhan hidupnya dipenuhi dengan baik, mereka akan menyukai produk kita, dan mereka akan tetap membelinya. Dari sinilah keuntungan akan mengalir terus.

1. Kesimpulan

Bisnis yang terpenting adalah bagaimana keuntungan itu dicapai, apakah dengan mengabaikan etika dan moralitas, atau memang keuntungan diperoleh dengan cara yang wajar, halal dan fair. Untuk dapat dikatakan bisnis sebagai profesi yang etis, maka mestinya bisnis yang dijalankan tersebut sudah dalam koridor profesionalisme yang patuh pada kode etik profesi apa malah melenceng keluar dari koridor tersebut. Agama Islam sangat menganjurkan untuk bekerja keras dan berbisnis secara baik dan halal, tuntunan bisnis ini selalu dikaitkan dengan keuntungan yang tidak hanya materi belaka, tetapi keuntungan yang non materi selalu ditonjolkan. Dalam islam materi dan non materi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bukti dari anjuran Islam untuk bergelut dalam dunia bisnis adalah banyaknya ayat yang menganjurkan akan hal tersebut, dan didukung oleh rasul yang seorang pebisnis yang baik nan sukses.

DAFTAR PUSTAKA

A. Sonny Keraf. Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius. 2010.

Johan Arifin. Etika Bisnis Islami. Semarang: Walisongo Press. 2009.

Mohammad, Alimin. Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam. Yogyakarta: BPFE. 2004.

Muhammad, Lukman Fauroni. Visi Alquran tentang Etika dan Bisnis. Jakarta: Salemba Diniyah. 2002.

Muhammad. Etika Bisnis Islami. Yogyakarta: UPPAMPYKPN.

M. Ismail Yusanto, M. Karebet Widjajakusuma. Menggagas Bisnis Islam. Jakarta: Gema Insani Press. 2002.

Muslich. Etika Bisnis Islami. Yogyakarta: Ekonesia. 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa, kombinasi ekstrak etanol daun sirsak ( Annona muricata L.) dan pegagan ( Centella asiatica

Schiffman dan Kanuk (2008) keduanya merupakan pakar perilaku konsumen yang masih berorientasi pada ilmu sosial, mengatakan bahwa kelompok adalah dua atau lebih

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 22 Pontianak Barat dan hasil analisis data yang diperoleh dari hasil skor pre-test dan post-test

oleh karena dengan desain penelitian ini sebuah proses.. sosial yang melatarbelakangi sebuah fenomena

Sedangkan faktor - faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih lokasi hunian di daerah pinggiran kota khususnya Perumahan Griya Paniki Indah yaitu

Sistem Pertahanan Negara dikembangkan untuk menghadapi segala bentuk ancaman yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa,

Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa meningkatkan akhlak siswa tidak terlepas dari pengajaran akhlak itu sendiri dengan metode yang disesuaikan dengan kondisi