• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Kelong (Penaeus indicus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Kelong (Penaeus indicus)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Kelong (Penaeus indicus)

Udang kelong memiliki klasifikasi sebagai berikut, Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Class : Crustaceae Subkelas : Malacostraca Order : Decapoda Famili : Penaeidae Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus indicus (H. Milne Edwards, 1837)

Morfologi dari genus penaeus yang termasuk decapoda, tubuhnya terdiri atas dua bagian yaitu bagian kepala (cephalothorax) dan bagian perut (abdomen). Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri atas ruas-ruas (segmen). Cephalothorax terdiri atas 13 ruas yaitu kepala yang terdiri 5 ruas dan dada 8 ruas, dan pada bagian perut terdiri atas 6 ruas. Tiap ruas badan mempunyai sepasang anggota badan yang beruas-ruas pula. Seluruh tubuhnya tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton yang terbuat atas chitin. Kerangka mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan, sehingga memudahkan udang untuk bergerak (Suyanto & Mujiman, 2001).

Udang kelong mempunyai cucuk kepala (rostrum) tampak mencolok, baik pada udang muda maupun udang dewasa. Ketika mencapai usia dewasa, rostrum semakin memendek atau tidak mengalami pertambahan panjang seperti pada masa juvenil. Sungut berwarna belang-belang kuning cokelat. Dalam kondisi hidup berwarna kekuning-kuningan, setengah tembus cahaya dengan bintik-bintik biru pada abdomen. Bagian atas kelopak kepala (karapaks) dan badannya

(2)

berwarna sawo matang. Tangkai mata dan pangkal sungut kebiru-biruan. Sirip ekor atau ekor kipas berwarna biru dengan ujungnya berwarna merah cerah. Lebih tahan dan kuat terhadap perubahan kondisi perairan, tidak mudah stress, toleran terhadap perubahan suhu yang luas dan tingkat kelangsungan hidupnya tinggi (Kordi, 2010) (gambar 2.1).

abdomen

Gambar 2.1 Morfologi Udang Penaeid

Keterangan :

a. Alat pembantu rahang f. Sungut besar

b. Kerucut kepala g. Kaki jalan

c. Mata h. Kaki renang

d. Cangkang kepala (cephalothorax) i. Anus

e. Sungut kecil j. Ekor (telson)

Udang kelong/P. indicus/Indian white prawn dan udang putih (P. merguiensis)/banana prawn memiliki kemiripan morfologi. Hal yang paling

membedakan dari keduanya adalah warna tubuh udang kelong memiliki warna tubuh yang lebih orange kemerahan serta ukuran udang kelong yang lebih kecil dari udang putih. Menurut Holthuis (1980) pada buku katalog spesies udang menjelaskan, udang kelong jantan berukuran maksimal 184 mm dan betina maksimal 228 mm dengan panjang karapas maksimal 56 mm, sedangkan udang putih memiliki ukuran tubuh maksimum 240 mm. Perbedaan ukuran tubuh yang e c a b d j i h g f

(3)

tidak begitu jauh berbeda menyebabkan masyarakat awam di Indonesia mengkategorikan udang kelong dan udang putih merupakan jenis yang sama.

Selain perbedaan ukuran tubuh, Kordi (2010) menambahkan morfologi pada udang putih terdapat bintik-bintik cokelat dan hijau pada ujung ekor. Sungut berwarna kemerahan, pada bagian sungut pendek (antennula) terdapat belang-belang merah sawo. Kaki jalan dan kaki renangnya berwarna kekuningan atau kemerahan. Sirip ekor atau ekor kipas (uropoda) berwarna merah sawo matang dengan ujung kuning kemerahan kadang sedikit kebiru-biruan. Kulit tipis, tembus cahaya.

Induk udang kelong yang didapatkan dari perairan sebelah barat NAD yang mempunyai kisaran berat 75 - 200 gr/ekor dengan panjang tubuh 17 - 30 cm untuk induk betina, sedangkan pada udang jantan kisaran beratnya 40 - 100 gr/ekor dengan panjang tubuh 15 - 20 cm. Induk udang kelong tidak mempunyai guratan garis tubuh seperti pada udang windu, udang kelong hanya berwarna

bening kemerahan, hampir tidak berbeda jauh dengan induk udang windu (Idris, 2007).

2.2 Habitat dan Daerah Sebaran

Udang kelong (P. indicus) ditemukan di perairan Indo-barat Pasifik dari timur dan tenggara Afrika, termasuk Malaysia dan Indonesia hingga China selatan dan Australia bagian utara. Udang kelong termasuk udang laut yang juvenilnya banyak tersebar di muara-muara laut yang memiliki lumpur atau pasir berlumpur pada kedalaman 2 - 90 m (6 - 300 kaki). Udang ini merupakan salah satu spesies yang sangat komersial. Kebanyakan udang ini menjadi hasil utama tangkapan nelayan di wilayah pesisir pantai Afrika timur, dan India khususnya diperikanan tangkap dekat pantai yang dimanfaatkan bagi pemeliharaan/kultur padi sawah seperti yang dilakukan di Kerala (Dore & Frimodt, 1987).

Holthuis (1980) menjelaskan bahwa penyebaran udang kelong (P. indicus) dapat ditemukan pada perairan tropis seperti Madagaskar, India,

Bangladesh, Thailand, Indonesia, serta Filipina dan menjadi spesies yang penting sehingga banyak dilakukan penangkapan lepas pantai dan usaha tambak untuk memenuhi permintaan pasar. Habitat udang kelong (P. indicus) berada pada

(4)

kedalaman 2 - 90 meter. Ketika dewasa banyak ditemukan di laut dan untuk tahap juvenil (anakan) sering ditemukan di muara-muara laut. Menurut Kordi (2010) Udang kelong (P. indicus) hidup bergerombol dalam jumlah besar, terdapat pada perairan dengan dasar berlumpur atau lumpur berpasir di daerah-daerah yang banyak muara sungai besarnya.

2.3 Daur Hidup Udang Kelong (P. indicus)

Pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai habitat oleh udang kelong (P. indicus) sangat erat kaitannya dengan upaya untuk mencari kondisi terbaik bagi kelangsungan hidupnya. Pada dasarnya pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai habitat oleh udang kelong (P. indicus) biasanya disesuaikan dengan orientasi untuk mencari makan, berpijah atau untuk berlindung dari predator. Dengan demikian, udang kelong memanfaatkan habitat mangrove sesuai dengan tahap perkembangannya. Keterkaitan antara perkembangan ontogenetik udang kelong (P. indicus) dengan pemanfaatan ekositem mangrove sebagai habitatnya sangat erat (Idris, 2007).

Udang kelong (P. indicus) merupakan jenis udang penaeid yang memerlukan waktu 90 hari untuk bertranformasi hingga menjadi udang dewasa (Gambar 2.2):

(5)

2.4 Ekosistem Mangrove

Aksornkoe (1993) mengemukakan bahwa, hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi) yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Nybakken (1992) menambahkan bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.

Hutan mangrove dapat dijumpai di daerah tropik dan sub tropik yang hidupnya akan berkembang baik pada temperatur 19 oC sampai 40 oC, dengan toleransi fluktuasi suhu tidak lebih dari 10 o

Hutan mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin juga merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati, ekosistem bakau juga sebagai plasma nutfah dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya.

C. Berbagai jenis tanaman bakau yang tumbuh di bibir pantai dan merambah tumbuh menjorok ke zona berair laut, merupakan suatu ekosistem yang khas, karena bertahan hidup di dua zona transisi antara daratan dan lautan, sementara tanaman lain tidak mampu bertahan. Kumpulan berbagai jenis pohon yang seolah menjadi garda depan garis pantai yang secara kolektif disebut hutan mangrove, memberikan perlindungan kepada berbagai organisme lain baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembang biak.

2.5 Peran Ekosistem Mangrove bagi Udang Kelong (P. Indicus)

Secara ekologis, mangrove memegang peranan kunci dalam pemutaran nutrien atau unsur hara pada perairan pantai di sekitarnya yang dibantu oleh pergerakan pasang surut air laut. Interaksi vegetasi mangrove dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi iklim yang sesuai untuk kelangsungan proses biologi

(6)

beberapa organisme akuatik, yang termasuk melibatkan sejumlah besar mikroorganisme dan makroorganisme. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dimana terdapat mangrove berarti disitu juga merupakan daerah perikanan yang subur, karena terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara hutan mangrove dengan tingkat produksi perikanan (Kordi, 2012).

Arief (2003), menjelaskan bahwa banyak jenis hewan menggunakan ekosistem mangrove untuk mencari makan dan menjadikannya sebagai tempat berlindung selama masih muda (sebagian hidupnya), ada pula yang menghabiskan seluruh siklusnya di ekosistem mangrove. Ada pergerakan materi organik dan anorganik ke dalam dan ke luar ekosistem mangrove secara terus-menerus. Proses-proses eksternal yang menentukan tersedianya air, hara, stabilitas habitat, seringkali tidak tampak sebagai bagian dari ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove menjadi habitat bagi fauna krustase dan moluska. Menurut Kordi (2012), tercatat 80 spesies krustase dan 65 moluska yang hidup diperairan mangrove, salah satunya adalah udang kelong (P. indicus).

Lingkungan ekosistem mangrove menjadi tempat yang cocok bagi biota akuatik untuk memijah (spawning ground), pengasuhan anaknya (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground). Dalam kaitannya dengan makanan, ekosistem mangrove menyediakan makanan bagi berbagai biota akuatik dalam bentuk material organik yang terbentuk dari jatuhan daun serta berbagai kotoran hewan darat yang kemudian diubah oleh mikroorganisme menjadi bioplankton yang sangat dibutuhkan biota laut (Sasekumar et al., 1992).

2.6 Faktor Biofisik-Kimia Perairan 2.6.1 Suhu Air

Dibandingkan dengan udara, air mempunyai kapasitas panas yang lebih tinggi. Untuk memanaskan sebanyak 1 kg air dari 15 oC menjadi 16 oC misalnya, dibutuhkan energi sebesar 1 kcal. Untuk hal yang sama, udara hanya membutuhkan energi sebesar seperempatnya. Dalam setiap penelitian pada ekosistem air, pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem air sangat dipengaruhi oleh

(7)

temperatur. Menurut hukum VAN’T HOFFS, kenaikan temperatur sebesar 10 O

Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme, karena itu penyebaran organisme baik di lautan maupun di perairan tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut. Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota perairan. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, dan dapat menekan kehidupannya bahkan menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrem (drastis) (Kordi, 2004).

C (hanya pada kisaran temperatur yang masih dapat ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatkan laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara di lain pihak dengan naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air akan berkurang (Barus, 2004).

2.6.2 Kecerahan

Kecerahan adalah sebagian cahaya yang diteruskan ke dalam air. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan, kita dapat mengetahui sampai dimana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh, dan paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan organisme perairan. Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton. Nilai kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan adalah lebih dari 45 cm atau lebih. Karena bila kecerahan kurang dari 45 cm, batas pandangan ikan akan berkurang (Kordi, 2004). Penetrasi cahaya seringkali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, lumpur, potongan tanaman yang mengendap dan populasi organisme misalnya fitoplankton sehingga membatasi zona fotosintesis dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman (Odum, 1994).

Faktor cahaya matahari yang masuk kedalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasaan yang menyebabkan kolam

(8)

air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini lebih baik ditransmisi dari dalam air sampai ke lapisan dasar. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya oleh plankton dan humin yang terlarut dalam air (Barus, 2004).

2.6.3 Kelarutan Oksigen (DO=Disolved Oxygen)

Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme-organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat di dalam air terdapat pada suhu 0 OC, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2

Hewan darat dan hewan air sama-sama memerlukan oksigen untuk proses kehidupannya. Namun, kandungan oksigen di udara dan di air sangat berbeda. Kandungan oksigen di air hanya 5% atau kurang dibanding kandungan oksigen di udara. Rendahnya kandungan oksigen dalam air menyebabkan hewan air harus memompa sejumlah besar air ke permukaan insang untuk mengambil oksigen. Bersamaan dengan itu, insang juga harus mengeluarkan ion-ion berlebih yang masuk ke dalam tubuh. Semua ini memerlukan energi metabolik (Fujaya, 2002).

. Dengan terjadinya peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Oksigen terlarut di dalam air bersumber terutama dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi organisme akuatik (Barus, 2004).

2.6.4 Salinitas

Salinitas adalah suatu besaran yang menunjukkan banyaknya kandungan garam (biasanya NaCl) dalam suatu larutan. Bergantung pada lingkungan, salinitas dapat

(9)

berfluktuasi besar kecil atau konstan. Adanya garam dalam suatu larutan akan menyebabkan turunnya tekanan osmosis larutan tersebut, artinya larutan tersebut akan menarik air dari sekitarnya. Makin tinggi salinitas makin kuat menarik airnya. organisme memerlukan air oleh karena itu air yang ada dalam tubuhnya akan dipertahankan sestabil mungkin. Kemampuan mempertahankan konsentrasi air dalam tubuh disebut osmoregulasi. Oleh karena itu, organisme yang tahan terhadap perubahan salinitas yang besar ada pula yang tidak. Organisme yang tahan hidup pada kisaran salinitas luas disebut euryhalin, sedangkan yang sempit disebut stenohalin.

Pengukuran salinitas merupakan hal rutin dilakukan dan bahkan faktor yang sangat penting dalam sampling di laut dan di muara. Alat yang praktis adalah jenis refraktometer. Tetapi ada kalanya data yang diperoleh bukan salinitas melainkan klorinitas atau presipitasi. Untuk mengetahui total dari hal ini menggunakan metode titrasi dengan perak nitrat. Sejak tahun 1962 rumus yang digunakan adalah Salinitas (0/00 = permil) = 1,80655 x khlorinitas (0/00 = permil).

Klorinitas adalah banyaknya Cl(g) yang dikandung oleh 1 kg air laut. Bila yang digunakan volume bukan berat, maka disebut klorositas (Hariyanto et al., 2008).

2.6.5 BOD5

BOD5 adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri selama penguraian

senyawa organik pada kondisi aerobik selama 5 hari. Pengukuran BOD dilakukan selama 5 hari karena selama 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai 70 %. BOD merupakan analisis empiris yang mencoba mendekati

secara global proses-proses mikrobiologis yang terjadi di dalam air (Alaerts & Santika, 1987). Nilai BOD diperlukan untuk menentukan beban

pencemar akibat air buangan penduduk atau industri, dan untuk mendesain sistem-sistem pengolahan biologis bagi air yang tercemar (Alaerts & Santika, 1987). Kadar BOD suatu perairan dipengaruhi oleh suhu, kelimpahan plankton, keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik dalam perairan tersebut (Radisho, 2009).

(10)

2.6.6 Fosfat (PO4)

Fosfat terdapat dalam perairan alami ataupun limbah sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat dan fosfat organik (Alaerts dan Santika, 1987). Ortofosfat merupakan senyawa bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfat (Hariyadi, 2002). Fosfat berasal dari sedimen yang selanjutnya terinfiltrasi ke dalam air tanah dan masuk ke badan perairan. Selain itu fosfat dapat berasal dari atmosfer dan bersama curah hujan masuk ke dalam sistem perairan (Barus, 2004). Penambahan fosfat dipengaruhi adanya masukan limbah industri, penduduk, pertanian dan aktivitas masyarakat lainnya. Kandungan fosfat pada perairan umumnya tidak lebih dari 0,1mg/l, kecuali pada daerah yang menerima limbah rumah tangga dan industri tertentu serta dari pertanian yang mendapat pemupukan fosfat. Bila kadar fosfat dalam air sangat rendah (< 0,01mg/1), pertumbuhan tanaman dan ganggang akan terhalang. Keadaan ini disebut oligotropik. Bila kadar fosfat dan nutrien lainnya tinggi, pertumbuhan tanaman akan menjadi tidak terbatas sehingga tanaman tersebut dapat menghabiskan oksigen dalam perairan di malam hari (Alaerts & Santika, 1987).

2.6.7 Nitrat (NO3)

Nitrat adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan senyawa stabil dan merupakan salah satu unsur yang penting untuk sintesis protein tumbuh-tumbuhan dan hewan, akan tetapi nitrat pada konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang yang tidak terbatas sehingga menyebabkan kematian organisme air. Secara alamiah kadar nitrat pada perairan rendah tetapi kadar nitrat

pada air tanah dapat menjadi tinggi apabila diberi pupuk nitrat atau nitrogen (Alaerts & Santika, 1987).

Gambar

Gambar 2.1 Morfologi Udang Penaeid
Gambar 2.2 Skema Perkembangbiakan Udang Penaeid (Murtidjo, 2007)

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian pakan buatan dalam jumlah yang berlebihan belum tentu akan menjamin pertumbuhan ikan secara maksimal karena sisa dari pelet yang mengendap justru dapat merusak

Santoso (1996) dan Direktorat Jendral Kehutanan (2007) menambahkan bahwa tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B

Kerangka pemikiran merupakan bagian yang dapat menggambarkan mengenai suatu alur pemikiran dalam sebuah penelitian untuk memberikan penjelasan kepada orang lain untuk

Menurut Chanmugan et.el, 1983, jumlah kandungan lemak udang laut tidak berbeda nyata dengan udang dari air tawar, yaitu 1,0 – 1,1 gram dalam 100 gram daging, sedangkan

Flavonoid merupakan senyawa antibakteri yang memiliki kemampuan untuk mengikat, membentuk kompleks dengan protein ekstra seluler dan terlarut, dan juga membentuk kompleks

Menurut Champagne et al (1992) untuk memperoleh bekatul yang bersifat food grade dengan mutu yang tinggi, seluruh komponen penyebab kerusakan harus dikeluarkan atau

Diantara tanaman padi yang termasuk ke bangsa Oryza Sativa L, terdapat ribuan varietas - varietas yang satu sama lain mempunyai ciri khas tersendiri sehingga dapatlah dikatakan

Dalam kedua metode tersebut, persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya.Metode adisi dapat dilakukan dengan