PENDAHULUAN
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut, pantai berlumpur (Bengen, 2003). Ekosistem ini mempunyai sifat yang unik dan khas, dengan fungsi dan manfaat yang beraneka ragam bagi manusia serta mahluk hidup lainnya. Ekosistem hutan mangrove merupakan kawasan hutan di wilayah pantai. Ekosistem hutan ini tersusun oleh flora yang termasuk dalam kelompok Rhizoporaceae, Combretaceae, Meliaceae, Sonneratiaceae, Euphorbiaceae dan Sterculiaceae, sedangkan pada zona ke arah darat ditumbuhi oleh jenis paku-pakuan (Acrostichum aureum).
Hutan mangrove sebagai ekosistem alamiah, mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Hutan ini menyediakan bahan dasar untuk keperluan rumah tangga dan industri, seperti kayu bakar, arang, kertas dan rayon, yang dalam konteks ekonomi mengandung nilai komersial tinggi. Hutan mangrove memiliki fungsi-fungsi ekologis yang penting, antara lain
sebagai penyedia nutrien, tempat pemijahan (spawning grounds), tempat pengasuhan (nursery grounds) dan tempat mencari makan (feeding grounds) bagi biota laut tertentu.
Ekosistem hutan mangrove merupakan tipe sistem fragile, yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Ekosistem ini, pada kawasan tertentu bersifat open acces, sehingga meningkatnya eksploitasi oleh manusia akan menurunkan kualitas dan kuantitasnya. Pada beberapa dekade terakhir ini, pemanfaatan hutan dan ekosistem mangrove terus meningkat, bukan saja dari segi pemanfaatan lahannya, tetapi juga segi pemanfaatan pohon mangrovenya, baik secara tradisional maupun komersial (Naamin, 1991).
ISI
Pengertian Hutan Mangrove
Menurut Steenis (1978), yang dimaksud dengan “mangrove” adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut. Nybakken (1992), menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh (FAO, 1994). Dengan demikian bentuk hutan
mangrove dan keberadaannya dirawat oleh pengaruh darat dan laut.
Ahli-ahli lain mendefinisikan mangrove secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada satu-kesatuan yang sama. Saenger et al., (1983) mendefinisikan mangrove sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung. Sedangkan Bengen (2002) mendefinisikan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.
Di Indonesia, mangrove telah dikenal sebagai hutan pasang surut dan hutan mangrove, atau hutan bakau. Akan tetapi, istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari istilah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu Rhizophora sp. Karakteristik Hutan Mangrove Karakteristik hutan mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek seperti floristik, iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorphologi, hidrologi dan drainase.
- Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir
- Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat
- Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (hingga 38 permil).
Menurut Walter (1971), ekosistem mangrove terutama didapatkan di 3 (tiga) wilayah iklim berikut ini: (1) Zona khatulistiwa antara ±10 LU dan 5-10 LS; (2) Zona kering hujan tropika, zona sebelah utara dan selatan khatulistiwa, sampai ±25-30 LU dan LS; (3) Wilayah yang beriklim sedang (ugahari) yang pada musim dingin tidak terlalu dingin dan hanya terdapat di belahan batas tertimur dari benua pada zona ini.
Struktur Vegetasi Hutan Mangrove
Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia sp., Sonneratia sp., Rhizophora sp.,
Bruguiera sp., Ceriops sp., Xylocarpus sp., Lumnitzera sp., Laguncularia
sp., Aegiceras sp., Aegia tilis sp., Snaeda sp. dan Conocarpus sp.) yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen, 2000).
Selanjutnya, menurut Bengen (2000) bahwa vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove.
Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk kedalam empat famili: Rhizophoraceae (Rhizophora sp., Bruguiera sp. dan Ceriops sp.), Sonneratiaceae (Sonnera tia sp.), Avicenniaceae (Avicennia sp.) dan Meliaceae (Xylocarpus sp.).
Zonasi
Zonasi hutan mangrove terbagi atas daerah yang paling dekat dengan laut dengan
teduh dimana Avicennia sp. tidak dapat tumbuh dengan baik pada keadaan yang demikian, sehingga spesies yang berasosiasi dalam zona berlumpur ini adalah Sonneratia sp. (Bengen, 2002). Untuk zone yang lebih mengarah ke darat, umumnya didominasi oleh Rhizophora sp.
Pada zona ini sering juga ditemukan Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp. Untuk zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp., dimana daerah ini memiliki sedimen yang lebih berat berupa tanah liat. Selanjutnya zona transisi yaitu zona antara hutan mangrove dengan hutan daratan rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya (Kusmana et al., 2003). Pembagian zonasi ini juga berhubungan dengan adaptasi pohon mangrove baik terhadap kadar oksigen yang rendah, sehingga memiliki bentuk perakaran yang khas, adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi sehingga beda bentuk daun dan adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang-surut sehingga struktur akar yang terbentuk sangat eksentif dan membentuk jaringan horisontal yang melebar dimana selain untuk memperkokoh pohon juga untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Menurut Santoso dan Dasminto (2002), Zonasi
tersebut akan berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, tergantung dari keadaan tempatnya.
Struktur Komunitas Hutan Mangrove
Sebagai daerah peralihan antar laut dan darat, ekosistem mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya pergoyangan beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan salinitas. Karena itu, hanya jenis-jenis tumbuhan dan binatang
yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor fisik itu dapat bertahan dan berkembang di hutan mangrove. Kenyataan ini menyebabkan keanekaragaman jenis biota mangrove kecil, akan tetapi kepadatan populasi masing-masing jenis umumnya besar (Santoso dan Dasminto, 2002).
luas area penutupan dan nilai penting jenis (Bengen, 2000). Dahuri et al., (1996) menyebutkan selama periode 1982 – 1993 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove Indonesia dari 5,21 juta ha menjadi sekitar 2,5 juta ha.
Metode Penilaian Mangrove
Metode penilaian yang dilakukan adalah dengan metode survei dimana struktur dan komunitas vegetasi mangrove akan diukur sesuai dengan zonasi, setelah itu dilakukan sampling kualitas perairan dan substrat. Penentuan stasiun penelitian akan diambil sebanyak lima stasiun berdasarkan zonasi ekosistem mangrove dari muara yang berhadapan langsung dengan laut sampai zona terluar mangrove. Metode sampling yang digunakan adalah sistem sampling sistematik yang digunakan berdasarkan arah rintis dan lebar hutan mangrove. Intensitas yang digunakan sebesar 4 % dari luas areal mangrove.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam vegetasi mangrove adalah menggunakan metode transek kuadrat, petak-petak contoh kemudian dibuat searah vertikal (tegak lurus) sebanyak 3 plot tiap stasiun dengan plot pengamatan berukuran 10 x 10 m untuk pohon dengan diameter > l0 cm dengan tinggi lebih dari 1,5 m, plot dengan ukuran 5 x 5 m untuk jenis anakan pohon (pancang) dengan diameter < 10 cm dengan tinggi kurang dari 1,5 m sedangkan untuk plot ukuran 2 x 2 m untuk tingkat semai.
Sampel substrat diambil setelah itu sampel substrat disimpan dalam kantong plastik dan diberi label lalu dibawa ke laboratorium untuk dianalisis jenis substrat dan kandungan C, N, C/N rasio serta P.
Setelah itu dilakukan pengambilan sampel kualitas perairan yang meliputi pengukuran salinitas, pH, suhu perairan, dan pengukuran amonia pada setiap stasiun penelitiannya. Struktur vegetasi dilakukan dengan menganalisis parameter yang mengacu pada Kusmana (1997), yaitu:
b. Frekuensi
c. Dominansi
d. Indeks Nilai Penting
e. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
Parameter yang diamati dalam penilaian adalah :
1. Diameter tiang/pohon dengan ukuran setinggi 1.3 m. Tiang/pohon mangrove yang tegak pengukuran diameter dilakukan pada ketinggian 1.3 m, diameter pohon dengan sistem perakaran tongkat penyangga diukur pada ketinggian 20 cm di atas pangkal akar. Tingkat pohon dengan 2 cabang diameter diukur pada kedua tiang dengan ketinggian 1.3 m atau setinggi dada orang dewasa (Kusmana, 1997).
2. Jumlah tiang/pohon, sapihan, dan semai tiap plot.
DAFTAR PUSTAKA
Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN, Bangkok, Thailand.
Ananthakhrisnan, T.N. 1982. Ecology; Conservation of natural resources; Nature conservation; India. Oxford & IBH (New Delhi).
Barbour, M.G., Burk, J.H., dan Pitts, W.D., 1987. Terrestrial Plant Ecology. Second Edition. Menlo Park CA : The Benjamin Cumming Pub. Co. Inc.
Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bengen, D. G. 2004. .Mengenal dan Memelihara Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Kartawinata. 1978. Status Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Prosiding Seminar Ekosistem Mangrove. Jakarta. Hlm 21-26.
Kitamura, S., Anwar, C., Chainago, A dan Baba S. 1997. Buku Panduan Mangrove di Indonesia Bali dan Lombok. Jaya Abadi. Denpasar.
Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kusmana, C dan Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Laboratorium Kehutanan. Fakultas Kehutanan. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.